Você está na página 1de 204

See discussions, stats, and author profiles for this publication at: https://www.researchgate.

net/publication/304571423

Petani Tembakau di Indonesia : Sebuah Paradoks Kehidupan

Book · February 2015

CITATIONS READS

0 6,358

8 authors, including:

Deni Wahyudi Kurniawan Akhmad Jayadi


Ohio University Airlangga University
2 PUBLICATIONS   0 CITATIONS    5 PUBLICATIONS   0 CITATIONS   

SEE PROFILE SEE PROFILE

Abdillah Ahsan Nur Hadi Wiyono


University of Indonesia University of Indonesia
51 PUBLICATIONS   78 CITATIONS    23 PUBLICATIONS   21 CITATIONS   

SEE PROFILE SEE PROFILE

Some of the authors of this publication are also working on these related projects:

food safety : communication guideline and economic impact View project

Road Safety for Children in Indonesia View project

All content following this page was uploaded by Abdillah Ahsan on 29 June 2016.

The user has requested enhancement of the downloaded file.


Petani Tembakau
Di Indonesia :
Sebuah Paradoks
Kehidupan
Petani Tembakau di Indonesia :
Sebuah Paradoks Kehidupan

Pengantar Ahli
Dr. Bayu Krisnamurthi, M.Si
Dr. Ir. Handewi Purwati Saliem, MS

Tim Penyusun
Sudibyo Markus
Tien Sapartinah
Deni Wahyudi Kurniawan
Akhmad Jayadi
Abdillah Ahsan
Abdoel Malik
Nugroho Agung Prabowo
Nurhadi Wiyono

Kontributor
Fauzi Ahmad Noor
Dewi Rokhmah

Editor
Asep Mulyana

Desain Cover :
Reza Arfah

Layout Isi :
@elchanatmadja

Indonesian Institute for Social Development


2015

v
DAFTAR ISI

DAFTAR ISI | vii


UCAPAN TERIMA KASIH | ix
KATA PENGANTAR | xiii
PENGANTAR AHLI 1 | xix
PENGANTAR AHLI 2 | xxvii
RINGKASAN EKSEKUTIF | xxxv
BAB I Pendahuluan | 1
A. Latar Belakang | 1
B. Tujuan Penulisan | 4
C. Permasalahan Pokok | 4
D. Sistematika Penulisan | 11
BAB II Tembakau di Indonesia | 13
A. Tembakau dalam Lintasan Sejarah | 13
B. Kebijakan Pertembakauan di Indonesia | 16
C. Kontribusi Pertanian Tembakau terhadap Ekonomi | 19
1. Peran Pertanian Tembakau terhadap Perekonomian
Nasional | 19
2. Produksi Tembakau Indonesia di Tengah Produsen
Tembakau Dunia | 22
3. Luas Lahan Pertanian Tembakau | 25
4. Jumlah Petani dan Tenaga Kerja Sektor Pertanian
Tembakau | 27
5. Nilai Perdagangan Ekspor dan Impor Tembakau | 29

vii
D. Kondisi Petani Tembakau di Indonesia | 31
1. Tingkat Kesejahteraan Petani Tembakau | 31
2. Kebijakan Tata Niaga Tembakau di Indonesia | 33
3. Posisi Tawar Petani di Temanggung dan Madura | 36
4. Kesulitan mengakses Perkreditan di Perbankan | 66
5. Risiko Green Tobacco Sickness (GTS) Pada
Petani Tembakau | 68
E. Pergeseran Pasar Tembakau Global | 73
1. Turunnya Produksi Tembakau Domestik | 74
2. Meningkatnya Impor Daun Tembakau | 76
3. Masuknya Industri Rokok Asing | 78
4. Konsumsi Rokok Meningkat, Petani Tetap Rugi | 85
F. Intervensi dan Lobi Industri | 87
BAB III Perlindungan dan Pemberdayaan Petani
Tembakau | 95
A. Peluang-peluang Kebijakan untuk Pemberdayaan Petani | 97
1. UU No. 19 Tahun 2013 tentang Perlindungan dan
Pemberdayaan Petani | 97
2. UU no. 39 Tahun 2007 Tentang Cukai | 99
B. Upaya Perlindungan dan Pemberdayaan Petani
Tembakau | 100
C. Petani Tembakau dan Masyarakat Sipil | 114
BAB IV Simpulan dan Rekomendasi | 125
A. Simpulan | 125
B. Rekomendasi | 130
C. Roadmap Perlindungan dan Pemberdayaan Petani
Tembakau | 136
Daftar Pustaka | 139
Biodata Penulis | 159

viii
UCAPAN TERIMA KASIH

Alhamdulillah setelah proses penulisan yang cukup


panjang buku “Kehidupan Petani Tembakau Indonesia : Sebuah
Paradoks Kehidupan” akhirnya bisa diluncurkan ke hadapan
sidang pembaca. Jalan panjang rangkaian kegiatan penulisan
buku ini dimulai dengan “Seminar Nasional Pertanian Tembakau:
Memetakan Masalah & Solusi Bagi Kesejahteraan Petani Tembakau”
yang dilaksanakan oleh Indonesian Institute for Social Development
(IISD) bekerjasama dengan Majelis Pemberdayaan Masyarakat
(MPM) PP Muhammadiyah dan Fakultas Pertanian Universitas
Muhammadiyah Jakarta (UMJ) pada 8 Januari 2014 yang dihadiri
oleh Dr. Suswono sebagai Menteri Pertanian Republik Indonesia
Kabinet Indonesia Bersatu jilid II. Diskusi kemudian berlanjut
dengan Diskusi Terfokus “Paradoks Kehidupan Petani Tembakau dan
Upaya Pemberdayaannya” di Marzuki Oesman (MOE) Office pada 24
April 2014. Dua kegiatan ini semakin meneguhkan bahwa pemetaan
permasalahan kehidupan petani tembakau sangat penting untuk
dibahas secara lebih mendalam.
Seperti difahami bahwa kehidupan petani tembakau di
Indonesia sangat bertolak belakang dengan perkembangan
bisnis produk tembakau di Indonesia. Sehubungan dengan
diundangkannya Undang-undang nomor 19 tahun 2013 tentang
Perlinduangan dan Pemberdayaan Petani, IISD merasa terpanggil
untuk mengkaji bagaimana jiwa dan semangat undang-undang
tersebut juga dapat diterapkan untuk pemberdayaan petani

ix
Tembakau. Terlebih lagi disadari bersama bahwa belum terlalu
banyak kajian dan pembahasan berupa buku tentang kehidupan
petani Tembakau dalam kaitannya dengan glamornya tata niaga
tembakau di Indonesia. Oleh karena itu dalam penulisan buku
ini IISD melibatkan berbagai pihak yang pernah terlibat dalam
berbagai penelitian mengenai kehidupan petani tembakau seperti
Lembaga Demografi Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia (LD-
FEUI), Universitas Muhammadiyah Magelang dan Rumah Gemilang
Indonesia disamping sejumlah pemerhati pertanian tembakau
lainnya.
Buku ini mencoba memotret peta permasalahan
kehidupan petani tembakau di Indonesia dengan segala macam
kendala dan tantangannya. Buku ini juga mengetengahkan
berbagai macam usulan kebijakan yang dapat diambil oleh para
pemangku kepentingan untuk meningkatkan kesejahteraan petani
Tembakau.
IISD memberikan penghargaan setinggi-tingginya kepada
(1) Bapak Dr. Bayu Krisnamurthi, Wakil Menteri Pertanian 2010-
2011 dan ketua umum Perhimpunan Ekonomi Pertanian Indonesia
(PERHEPI), dan (2) Ibu Dr. Handewi Purwati Saliem, Kepala
Pusat Studi Sosio-Ekonomi dan Kebijakan Pertanian (PSEKP)
Kementerian Pertanian Republik Indonesia, yang telah berkenan
memberikan pandangan-pandangan beliau sekaligus memberikan
pengantar ahli dalam buku ini.
IISD ingin mengucapkan terima kasih yang sedalam-
dalamnya kepada seluruh pihak yang terlibat dalam upaya
penyusunan buku ini:
- Para peneliti dan ahli pertanian tembakau yang terlibat
dalam penyusunan buku ini, Abdillah Ahsan S.E, M.S.E.
dan Ir. Nurhadi Wiyono, M.Si., dari Lembaga Demografi
Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia (LDFEUI), Bapak
N. A. Prabowo, ST, M.Kom, peneliti Lembaga Penelitian
Pengembangan dan Pengabdian Masyarakat di Universitas

x
Muhammadiyah Magelang (LPPM-UMM), Akhmad Jayadi
S.E., M.Ec.Dev, Peneliti Senior CIRUS dan Rumah Gemilang
Indonesia, serta bapak Asep Mulyana M.A., sebagai editor
penyusunan buku ini.
- Tim penulis IISD, Bapak Dr. Sudibyo Markus, MBA., sekaligus
koordinator, Deni Wahyudi Kurniawan SSI, dan Abdoel Malik
R. S.H.I.,
- Serta seluruh kontributor buku ini, saudara Fauzi Ahmad
Noor, S.IP, peneliti Muhammadiyah Tobacco Control Center
Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (MTCC-UMY) dan
Ibu Dewi Rokhmah, M.Kes dari Universitas Jember atas
data-data dan masukkannya terkait dengan kehidupan
petani dan risiko yang dihadapi seputar Green Tobacco
Sickness (GTS).

Akhirnya kami memohon maaf atas kekurangan dalam


penulisan buku ini. Kami berharap buku ini dapat memberikan
kontribusi positif dalam kajian pertanian tembakau untuk kehidupan
petani Tembakau yang lebih baik di masa yang akan datang. Terima
kasih.

Jakarta, 15 Februari 2015


Indonesian Institute for Social Development
Pembina,

Dra. Tien Sapartinah

xi
KATA PENGANTAR

Alhamdulillah, akhirnya buku “Petani Tembakau di Indonesia:


Sebuah Paradoks Kehidupan” ini dapat diterbitkan. Sengaja buku
ini ditulis dengan judul demikian untuk menggambarkan kondisi
kehidupan petani tembakau yang sebenarnya.
Buku ini memberikan analisis kritis terhadap kenyataan
kehidupan yang sangat memprihatinkan dari petani tembakau.
Ironisnya, hal itu mereka alami ditengah puncak gemerlapindustri
rokok di Indonesia. Terlebih, situasi yang miris ini juga terjadi di
tengah slogan nasional bahwa bangsa Indonesia adalah bangsa
agraris.
Memang Indonesia adalah negara produsen tembakau
terbesar keenam di dunia. Namun Indonesia juga merupakan
negara konsumen produk tembakau itu terbesar ketiga di dunia
setelah Cina dan India. Angka konsumsi produk tembakau (baca:
rokok) di Indonesia terus berkembang, dari angka 30 milyar batang
pada 1970, melesat menjadi 360 milyar batang pada 2014.
Tampak bahwa konsumsi rokok telah meningkat 12
kali dalam kurun waktu 44 tahun—sebuah pertumbuhan yang
menakjubkan. Angka ini benar-benar menakjubkan, karena justru
telah melewati angka yang ditargetkan oleh Road Map Industri
Produk Tembakau. Road Map ini menargetkan produksi sebesar
220 milyar batang rokok pada kurun waktu 2006-2010, 240 milyar
batang pada kurun 2010-2015, dan 260 milyar batang pada kurun
2015-2020. Untuk periode selanjutnya, karena mempertimbangkan

xiii
aspek kesehatan, angka produksi akan dipertahankan pada angka
260 milyar batang.
Kecenderungan meningkatnya konsumsi produk tembakau
di Indonesia terus berlanjut. Akhir-akhir ini industri tembakau
mendapat tekanan kuat di pasar AS, Eropa, dan Australia, karena
kebijakan pengendalian tembakau yang ketat di negeri-negeri itu.
Alhasil, pasar produk tembakau dialihkan ke negeri-negeri dengan
pangsa pasar yang besar, namun lemah dalam perlindungan
terhadap kesehatan masyarakat. Indonesia merupakan negara
dengan jumlah penduduk terbesar keempat di dunia dan tidak
memiliki kerangka kebijakan pengendalian tembakau.
Selain belum mengaksesi Konvensi Kerangka Kerja
Pengendalian Tembakau (Framework Convention on Tobacco
Control—FCTC), Pemerintah Indonesia juga tidak memiliki kebijakan
nasional yang komprehensif dalam perlindungan masyarakat
dari ancaman bahaya produk tembakau. Oleh karena itu, strategi
pasar global produk tembakau dialihkan ke negara yang memiliki
jumlah penduduk besar, namun memiliki kebijakan lemah dalam
pengendalian tembakau. Pengakuisisian PT HM. Sampoerna oleh
Philip Morris pada 2005 dan PT Bentoel oleh British American
Tobacco (BAT) pada 2009 tak lepas dari strategi global pengalihan
produsen sekaligus pasar produk tembakau dari Eropa dan AS ke
Indonesia.
Pesatnya pertumbuhan produksi dan konsumsi rokok serta
keuntungan berlipat yang dinikmati industri rokok tidak tidak serta-
merta diikuti oleh peningkatan kesejahteraan petani tembakau.
Padahal petani tembakau adalah ujung tombak dalam tata niaga
tembakau di Indonesia. Sebuah data yang diluncurkan Biro Pusat
Statistik (BPS) melansir penghasilan petani tembakau di Indonesia
pada 2013 masih berada di bawah Upah Minimum Regional (UMR).
Data ini sudah cukup menggambarkan betapa petani tembakau
merupakan kelompok paling rentan dalam mata rantai tata niaga
tembakau.

xiv
Dual Paradox (Paradoks Ganda) Petani Tembakau
Situasi yang sangat ironis terjadi ketika para raksasa industri
rokok itu mulai terusik oleh gerakan pengendalian tembakau
yang digulirkan oleh berbagai organisasi kemasyarakatan sejak
2005. Gerakan ini lahir setelah disetujuinya Framework Convention
on Tobacco Control (FCTC) di level dunia. FCTC adalah traktat
pengendalian tembakau yang dimaksudkan untuk melindungi
kesehatan masyarakat dari ancaman bahaya produk tembakau
yang mengandung nikotin tersebut.
Pihak industri rokok yang merasa terusik “zona
kenikmatannya” oleh kegiatan pengendalian tembakau ini,
dengan mudah menggerakkan petani tembakau -yang sudah
sangat tergantung kepada mereka- untuk menjadi bumper dan
ditempatkan pada garda depan dalam perlawanan terhadap gerakan
pengendalian tembakau. Mereka berdalih bahwa ratifikasi atau
aksesi FCTC akan menghancurkan kehidupan petani tembakau.
Demikianlah, petani tembakau di Indonesia mengalami
paradoks ganda: sebagai warga dari negara agraris, mereka
tetap miskin; sebagai petani yang kontributif terhadap tata niaga
tembakau, justru menjadi aktor yang paling dimarginalkan
dan dirugikan dalam tata niaga tembakau. Situasi yang sulit ini
makin berat ketika petani dijadikan bumper dan ditempatkan di
garda depan oleh industri tembakau dalam melawan gerakan
pengendalian tembakau.

Harmonisasi
FCTC adalah satu traktat di bidang kesehatan, yang
dimaksudkan untuk memenuhi the right to health, hak yang
paling asasi untuk hidup sehat dalam lingkungan yang sehat. Tak
seharusnya traktak ini dimusuhi dan diadu ‘head to head’ dengan
sektor-sektor lain non-kesehatan, dengan alasan untuk melindungi
petani tembakau dan pekerja industri tembakau.

xv
Dalam satu kehidupan berbangsa dan bernegara, tentu
perlu dikembangkan harmonisasi antarsektor. Terlebih FCTC tidak
dimaksudkan untuk ‘membunuh’ petani tembakau. Dalam buku ini
tergambar bahwa buruknya tingkat kesejahteraan petani tembakau
disebabkan oleh tata niaga tembakau yang meminggirkan
para petani tembakau. Segenap nilai tambah dan keuntungan
menggiurkan dari tembakau dan produk tembakau, hampir
seluruhnya dinikmati oleh pemodal, mulai dari tengkulak, pemilik
gudang, industri rokok, sampai ke jaringan pemasarannya.
Mengingat Undang Undang (UU) nomor 17 Tahun 2007 tentang
Rencana Pembangunan Jangka Panjang (RPJP) yang menegaskan
bahwa ”setiap kebijakan pembangunan harus memperhatikan aspek
kesehatan”, maka sudah saatnya para pemimpin negerimencari
titik temu kepentingan antaraktor dalam tata niaga tembakau dan
masyarakat pada umumnya yang berhak atas pemenuhan hak atas
kesehatan. Oleh karena itu, upaya harmonisasi antarsektor atas
dasar landasan dan amanat perundang-undangan adalah kunci.
Sudah saatnya kepentingan egosektoral disingkirkan, terlebih atas
dasar kepentingan lobi industri.

Perlindungan dan Pemberdayaan Petani


Alhamdulillah, negeri agraris ini akhirnya mengeluarkan UU
No. 19 Tahun 2013 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Petani.
UU ini menjadi dasar sekaligus instrumen untuk mengembangkan
pendekatan dan cara terbaik untuk melindungi dan memberdayakan
petani, baik petani tembakau maupun petani pada umumnya. UU
ini diharapkan menjadi era baru bagi peningkatan kesejahteraan
petani Indonesia pada umumnya maupun petani tembakau pada
khususnya.
Keberadaan tembakau sebagai komoditi yang tidak
diunggulkan dibanding dengan berbagai komoditi pertanian
lainnya di Indonesia, telah menyebabkan ketiadaan kebijakan dan
pengaturan dalam tata niaga tembakau dan produk tembakau.

xvi
Diperlukan kemauan politik dari seluruh perangkat pemerintahan
dan pembangunan untuk mengakhiri praktek kesewenang-
wenangan dalam tata niaga tembakau yang selama ini mencekik
petani tembakau di Indonesia.

Lingkungan Pendukung
Buku ini memberikan gambaran cukup mendalam tentang
derita petani tembakau yang mengalami dual paradox tersebut.
Para petani tembakau terjebak dalam situasi unavoidable, karena
mereka tidak memiliki enabling environment (faktor lingkungan
yang melindungi dan memberdayakan), mulai di level mikro, meso,
maupun makro.
Lingkungan pendukung di tingkat mikro adalah
perlindungan dan pemberdayaan petani dari setiap tindakan yang
merugikan petani sebagai ujung tombak tata niaga tembakau. Para
petani harus diangkat dari ketidakberdayaan mereka menghadapi
berbagai bentuk kesewenang-wenangan pihak industri sejak
penentuan (grading) terhadap kualitas, timbangan, dan harga
perkilogram daun tembakau. Mereka juga harus dilindungi dari
kesewenang-wenangan dalam menerima atau menolak daun
tembakau petani.
Adapun bentuk lingkungan pendukung di tingkat meso
adalah perlindungan dan pemberdayaan petani berupa fasilitasi
bagi usaha taninya serta memberikan iklim usaha yang kondisif
bagi peningkatan kesejahteraan petani sebagai pribadi, keluarga,
dan kelompok tani. Sebagian besar pasal dalam UU No. 19 Tahun
2013 merupakan janji pemerintah untuk memberikan perlindungan
dan pemberdayaan kepada petani.
Sementara itu, bentuk lingkungan pendukung di tingkat
makro adalah upaya perlindungan dan pemberdayaan petani,
berupa pengembangan kebijakan dan berbagai pengaturan dalam
tata niaga tembakau untuk memangkas kesewenang-wenangan
pihak industri dan jejaringnya. Di level makro, pemerintah juga

xvii
hendaknya mengurangi ketergantungan produk tembakau dalam
negeri dari bahan baku tembakau impor maupun menaikkan cukai
produk tembakau.

Suarakan Hak Petani


Kini tiba saatnya, petani tembakau, sebagai bagian dari
masyarakat sipil, menyuarakan dan menuntut hak-haknya di
ruang publik. Hal ini penting supaya mereka bebas dari dual
paradox yang mereka hadapi. Kini tiba saatnya bagi pemerintah
untuk membebaskan petani tembakau dari cengkeraman
ketidakadilan dalam tata niaga tembakau. Pemerintah hendaknya
tidak membiarkan pertentangan petani dan gerakan pengendalian
tembakau.
Kiranya buku Petani Tembakau di Indonesia; Sebuah Paradoks
Kehidupan ini dapat memberikan pencerahan dan pandangan baru
bagi pembaca semua mengenai kondisi kehidupan petani yang
sebenarnya. Semoga Allah memberkati.

Jakarta, 9 Februari 2015


Indonesian Institute for Social Development
Koordinator Tim Penulis

Dr. Sudibyo Markus, MBA

xviii
PENGANTAR AHLI 1
PARADOKS PERAN PETANI TEMBAKAU
DALAM SISTEM INDUSTRI ROKOK 
Oleh
Dr. Bayu Krisnamurthi, M.Si1
Ketua Umum Perhimpunan Ekonomi Pertanian Indonesia (PERHEPI)
Wakil Menteri Pertanian Republik Indonesia 2010-2011

Ada pertautan yang kuat antara petani tembakau, usahatani


tembakau dan rokok. Bukan hanya karena petani adalah produsen
tembakau yang merupakan bahan baku utama industri rokok,
tetapi juga karena kepentingan satu dan lainnya sangat terkait
namun bertentangan.
Selama ratusan tahun tembakau telah menjadi usahatani
yang menguntungkan bagi petani tembakau. Hal itu terkait dengan
konsumsi rokok yang terus meningkat dan telah menjadikan
keuntungan bisnis rokok yang jauh lebih besar lagi. Tanaman
tembakau sendiri bukan tanaman yang mudah ditanam dimana
saja. Tanaman ini membutuhkan lingkungan agroekosistem yang
khas untuk dapat hidup subur dan produktif. Bahkan lingkungan
yang berbeda akan menghasilkan ‘cita rasa’ dan kualitas tembakau
yang berbeda pula. Akibatnya, tembakau tumbuh ‘dikantong-
kantong’ wilayah tertentu dan diusahakan secara bertahun-tahun
ditempat yang sama, dengan teknologi pengusahaan yang juga
diturunkan dari generasi ke generasi. Di Indonesia pengusahaan
1
Beliau adalah dosen/peneliti Departemen Agribisnis Institute Pertanian Bogor
(IPB)dan juga Wakil Menteri Perdagangan RI 2011-2014

xix
tembakau terkenal dan pernah mengalami kejayaan di Sumatera
Utara, Jawa Tengah, Jawa Timur, dan Nusa Tenggara Barat.
Hampir seluruh produk tembakau –yaitu daunnya–
digunakan untuk rokok. Ada masanya tembakau atau tabac
atau tobacco adalah sebutan untuk rokok, barang yang proses
konsumsinya dilakukan dalam bentuk dibakar dan asapnya
dihisap. Di Indonesia secara garis besar produk rokok terbagi
tiga, yaitu rokok putih, rokok kretek dan cerutu. Rokok putih dan
rokok kretek –yang menambahkan campuran rempah cengkeh
bersama tembakau– merupakan produk yang dominan, sedangkan
perkembangan cerutu relatif terbatas meskipun Indonesia pernah
dikenal sebagai salah satu produsen utama dunia untuk tembakau
yang digunakan memproduksi cerutu kualitas prima. Dalam
perkembangannya ketiga jenis produk itu kemudian ada juga yang
bercampur dan menghasilkan produk-produk baru.
Sejarah tembakau diberbagai negara menunjukkan bahwa
ada masa tembakau menempati posisi terhormat dimana merokok
menjadi simbul anggota masyarakat kelas atas, kaya, dan terhormat.
Ada masanya ketika juga berkembang kesan bahwa jika tidak
merokok maka ‘bukan atau belum laki-laki’. Namun ada masanya
pula tembakau atau rokok-rokok palsu yang tidak membayar cukai
dan diselundupkan antar wilayah yang terlarang beredar luas
dan menjadi salah satu bagian dari kejahatan yang terorganisir.
Bahkan ada masa terjadi perang antar negara dan antar kelompok
masyarakat memperebutkan hak perdagangan tembakau. Sejarah
perkembangan itu turut memberi latar belakang kompleksitas
paradoksal yang dihadapi para petani produsen tembakau.
Saat ini kesan dan pemahaman bahwa rokok tidak baik bagi
kesehatan telah berkembang luas dan diterima masyarakat. Bahkan
rokok telah dipersepsikan sebagai sumber penyakit dan membawa
kematian, dan ini ditunjukkan oleh sekian banyak pembuktian
ilmiah, analisa empiris, testimoni penderita, dan sebagainya.
Kesemuanya bermuara pada kesimpulan bahwa konsumsi rokok

xx
harus dikurangi, wanita hamil jangan merokok, anak-anak jangan
merokok, menjadi perokok pasif –menghisap asap rokok tanpa
merokok– harus dihindari, dan seterusnya. Intinya konsumsi rokok
harus dikurangi dan dihindari, walaupun pada kenyataannya disisi
lain permintaan rokok belum terbendung, dan industri rokok terus
berkembang sebagai industri yang tetap menguntungkan.
Usaha untuk mengurangi konsumsi rokok telah dilakukan
secara intensif dan sistematis. Kampanye anti rokok dilakukan
secara meluas, pendidikan masyarakat akan bahaya rokok
dilakukan hingga ke sekolah-sekolah, pengajian, dan berbagai
kegiatan kemasyarakatan lain. Usaha pengurangan permintaan juga
dilakukan dengan meningkatkan harga rokok melalui peningkatan
cukai rokok. Harga rokok di Indonesia telah meningkat cukup
tinggi, meski harga rokok di Indonesia masih dianggap sebagai
salah satu yang paling rendah di dunia bersama Pakistan, Vietnam
dan Nikaragua dengan nilai yang hanya se-persepuluh harga di
negara-negara seperti Australia, Norwegia atau Inggris.
Pembatasan peredaran juga merupakan bagian dari usaha
untuk mengurangi permintaan rokok. Secara legal formal rokok
hanya dapat dijual ditempat-tempat khusus namun masih dapat
dijual di warung-warung eceran pinggir jalan. Merokok juga hanya
dapat dilakukan ditempat-tempat yang disediakan. Semakin
banyak kota yang telah melakukan pengaturan pembatasan tempat
merokok dan hampir semua gedung pemerintahan dan swasta
serta ruang publik telah melakukan pelarangan merokok. Hal yang
lebih masif dan sistematis adalah pembatasan dan pelarangan iklan
rokok dalam berbagai bentuk dan media.   Mulai dari pengaturan
konten iklan, pengaturan lokasi dan waktu pemasangan iklan,
hingga pengaturan rinci mengenai informasi bahaya rokok dalam
setiap iklan.
Apabila semua usaha pembatasan dari sisi permintaan rokok
itu berhasil maka pembelian rokok diharapkan akan berkurang.
Disinilah mulai terjadi Paradoks jika dilihat dari kepentingan

xxi
petani tembakau. Penurunan pembelian rokok pada gilirannya
akan mengurangi produksi rokok, yang kemudian berdampak
pada pengurangan pembelian tembakau petani oleh pabrik rokok.
Dan hal ini akan menekan perkembangan usahatani tembakau
dan mengancam pendapatan petani tembakau. Disisi lain, meski
usahatani tembakau adalah usahatani yang menguntungkan,
tingkat pendapatan dan kesejahteraan petani tidak tinggi; bahkan
banyak petani tembakau yang terkategorikan sebagai petani
miskin. Kehidupan petani tembakau banyak yang sangat terbatas
dan berkesusahan dengan semua indikator kualitas hidup
yang relatif rendah.  Usaha untuk mengurangi konsumsi rokok
karena alasan kesehatan individu dan masyarakat berhadapan
dengan kesejahteraan petani tembakau dan usaha meningkatkan
pendapatan petani.
Usaha untuk membatasi konsumsi tembakau bahkan
pernah dilakukan dengan cara yang lebih kontroversial yaitu dengan
“mengharamkan” usahatani tembakau –menyatakan usahatani
tembakau sebagai usahatani yang “terlarang diusahakan”. Hal ini
bukan hanya menghilangkan pendapatan petani tembakau tetapi
juga berhadapan dengan Undang-undang Budidaya Pertanian
dan Undang-undang Perlindungan dan Pemberdayaan Petani.
Petani memiliki hak untuk mengusahakan pertanaman yang
diinginkannya, kecuali produk tanaman itu memang dilarang
(seperti ganja atau bahan narkoba lainnya).
Pendekatan hukum dan regulasi untuk membatasi konsumsi
tembakau juga telah dilakukan. Undang-undang yang terkait
kesehatan, rokok bahkan secara khusus mengenai tembakau
telah diterbitkan atau akan diterbitkan. Semua bertujuan untuk
memberikan kerangka hukum bagi pembatasan konsumsi rokok
dan mengurangi dampak buruk dari konsumsi rokok. Secara
internasional juga telah dikembangkan regulasi dalam bentuk
kesepakatan antar negara mengenai pembatasan tembakau
yaitu FCTC atau Framework Convention on Tobacco Control.

xxii
Mekanismenya adalah negara-negara diajak untuk meratifikasi
FCTC dan kemudian menetapkannya dalam bentuk peraturan
perundangan-undangan dinegara masing-masing. Indonesia sudah
terlibat dalam pembahasan FCTC namun hingga saat ini belum
menanda-tangani ratifikasinya. Pertimbangan utamanya adalah
nasib para petani tembakau yang akan mengalami kesulitan lebih
besar lagi jika kerangka kerja itu disetujui, meski secara faktual
praktek pengendalian tembakau di Indonesia telah mengadopsi
berbagai prinsip dalam FCTC.  Posisi petani tembakau yang
penting disadari sepenuhnya oleh industri rokok, sehingga dalam
setiap pembahasan mengenai FCTC kepentingan petani itulah yang
selalu dikedepankan.
Ditengah berbagai usaha pembatasan konsumsi tembakau,
ternyata tingkat penjualan rokok di Indonesia tidak turun, tetapi
justru meningkat. Ketetapan dalam road-map produk tembakau
agar tingkat produksi (dan penjualan) rokok mencapai 260 milyar
batang pada tahun 2020 telah dicapai pada tahun 2014. Artinya
berbagai usaha pembatasan tembakau tidak berhasil mengurangi
konsumsi, meski mungkin laju pertumbuhan konsumsinya menjadi
lebih lambat akibat berbagai usaha pembatasan itu.  
Kondisi ini kembali menimbulkan dilema bagi dalam
pertembakauan. Pertumbuhan produksi membutuhkan
peningkatan pasokan bahan baku tembakau. Artinya pertanamanan
tembakau harus dikembangkan. Teknologi baru perlu diterapkan.
Input pertanian yang lebih baik, terutama bibit dan pengelolaan
usahatani yang lebih produktif, perlu diterapkan. Kesejahteraan
petani harus ditingkatkan melalui usaha tembakau sebagau
usahatani yang menguntungkan. Produktivitas petani harus
ditingkatkan, kualitas harus diperbaiki, identitas geografis dan
jenis tembakau berkualitas tinggi harus dikembangkan –produksi
dan nilai tembakau meningkat. Disamping itu perlu peningkatan
serapan industri rokok yang lebih besar atas tembakau-tembakau
petani lokal. Dan juga harus diusahakan agar bagian petani

xxiii
tembakau dalam rantai nilai rokok dapat diposisikan secara
lebih adil dan proporsional. Tingkat keuntungan yang besar dari
rokok harus juga dinikmati oleh para petani. Namun kesemuanya
itu menimbulkan dilema sebagai bagian dari Paradoks petani
tembakau: jika pengembangan pertembakauan dilakukan demi
kepentingan petani dengan memanfaatkan perkembangan pasar
rokok maka hal itu akan dianggap sebagai bertentangan dengan
usaha mengendalikan rokok dalam rangka menjaga kesehatan
masyarakat.
Disisi lain, mengendalikan rokok dengan hanya menekan
perkembangan pertanian tembakau (baca : menekan perkembangan
kegiatan usaha petani tembakau – juga kurang tepat). Dengan
pendekatan ini, yang pasti adalah tertekannya pendapatan
petani padahal belum pasti menekan perkembangan rokok. Ada
kekhawatiran yang cukup beralasan  bahwa pembatasan usahatani
tembakau domestik akan menyebabkan produksi tembakau dalam
negari berkurang, yang pada gilirannya ditengah kebutuhan yang
tetap tinggi akan mendorong peningkatan impor tembakau. Hal ini
sudah mulai terlihat dari perkembangan impor hingga saat ini.
Hal ini ditambah lagi dengan Paradoks lain. Bisnis rokok
yang berkembang, dengan keuntungan industri rokok yang besar
dan berkontribusi pada fakta bahwa 5 dari 10 orang terkaya di
Indonesia memiliki bisnis rokok. Namun bagian yang diterima
petani relatif kecil, dan masih banyak petani tembakau yang
terkategori sebagai rumah tangga miskin. Kondisi tidak adil ini
harus diperbaiki. Pendapatan petani tembakau harus ditingkatkan
dalam sistem industri rokok yang berkembang.  Lagi-lagi kondisi
ini dinilai bertentangan dengan kampanye rokok sebagai sesuatu
tidak baik bagi kesehatan dan harus dikurangi.
Ditengah kondisi paradoksal itu, tetap terbuka solusi yang
menghasilkan kemenangan bagi semua (win-win solution), termasuk
dari perspektif kepentingan petani. Pertama, petani tembakau
harus dibukakan pemahamanannya, didukung, dan didorong untuk

xxiv
beralih ke usaha lain. Sudah terbukti cukup banyak usahatani
yang lebih menguntungkan dari tembakau. Namun bukan hanya
itu yang menjadi faktor petani bisa beralih usaha. Banyak aspek
institusional-kultural yang harus diperhatikan, mulai dari hutang
kepada pedagang, tidak adanya kelembagaan pendukung bisnis,
rasa percaya terhadap bisnis baru, kemampuan dan ketrampilan
petani, hingga membangun keberanian petani memulai suatu
usaha yang baru. Oleh sebab itu dibutuhkan dukungan yang
komprehensif bagi petani tembakau. Mengurangi pertanaman
tembakau sebaiknya bukan dengan cara melarang-larang atau
membatasi produksi petani tetapi justru dengan cara memberikan
alternatif yang lebih baik dan lebih mensejahterakan.
Kedua, bagi petani yang tetap bertahan di tembakau
maka produktivitas dan kualitasnya harus ditingkatkan. Harga
yang diterima petani harus semakin baik. Ubah dan lakukan ‘de-
komoditi-sasi’ tembakau. Jadikan tembakau memiliki nilai lebih
dengan berbagai ‘features’ khusus seperti tembakau khusus cerutu,
tembakau khusus kretek, tembakau organik, tembakau rendah tar
dan rendah nikotin, dan sebagainya. Posisi petani dalam rantai
nilai industri rokok juga harus diperbaiki dengan memberikan
bagian yang lebih proporsional. Dengan demikian nilai tembakau
juga akan naik dan harganya akan menjadi lebih mahal, dengan
sebagian besar harga bisa dinikmati oleh petani.
Ketiga, perlu diusahakan pemanfaatan tembakau non-rokok
yang lebih besar. Sebagai pestisida organik dan ramah lingkungan
merupakan salah satu alternatif berpotensi besar. Kuncinya adalah
mendorong investasi dibidang ini. Berbagai produk lain juga perlu
dijajaki pengembangannya.
Jika ketiga hal diatas dilakukan maka setidaknya dari sisi
petani, situasi paradoksal dalam agribisnis tembakau mulai dapat
diurai. Dan hal tersebut harus dilakukan oleh semua pihak karena
semua pihak kiranya sependapat; rakyat harus sehat, petani harus
sejahtera..--

xxv
PENGANTAR AHLI 2
Oleh
Dr. Ir. Handewi Purwati Saliem, MS
Kepala Pusat Studi Sosio-Ekonomi dan Kebjikan Pertanian
Kementerian Pertanian Republik Indonesia

Dari sisi teknis pertanian, tembakau adalah tanaman


pertanian yang ditanam, dipelihara dan dipanen lalu dijual oleh
petani sebagaimana komoditas pertanian pada umumnya. Namun,
urusan tembakau menjadi pelik, ketika dihubungkan dengan
produk olahannya yaitu “rokok”.

Komoditas tembakau selalu melekat dengan pro-kontra


rokok dengan segala atribut sosial, ekonomi, dan kulturalnya; dan
terutama persoalan dampak kesehatannnya dan moralitasnya.
Pro-kontra ini berujung pada dua aspek, yakni antara kesehatan dan
ekonominya. Lebih jelasnya adalah dampak kesehatan tembakau
bagi perokok sehingga menguras anggaran negara menanggung
biaya kesehatannya, dan di sisi lain adalah besarnya keuntungan
ekonomi yang diciptakannya bagi petani dan ekonomi pedesaan
secara luas.

Dari sektor pertanian, tentu perhatian utama adalah


pada petani tembakau dengan segala aspeknya. Namun, tentu
permasalahan ini harus pula dilihat dari sisi lain, terutama dari sisi

xxvii
kesehatan. Di titik inilah lalu menjadi tidak mudah merumuskan
sikap dan kebijakan yang tepat. Demikian pula dari sisi riset, dimana
tidak mudah untuk membuat rumusan yang seimbang di antara
berbagai segi yang saling berlawanan satu sama lain tersebut.

Namun, penelitian yang dituangkan dalam buku ini


merupakan sebuah hasil kerja yang sangat bagus dalam
memetakan permasalahan, dan berusaha berdiri pada posisi
seimbang dalam pro-kontra persoalan ini. Meskipun berusaha
seimbang, bagaimanapun, karena titik masuknya adalah tembakau
–bukan rokok, maka keberpihakan kepada petani dalam narasinya
cukup terlihat juga.

Buku ini hendak mengatakan bahwa dari banyak aktor yang


terlibat dalam sistem tembakau dan rokok ini, namun petani lah
yang berada pada posisi paling lemah. Banyak pihak memperoleh
keuntungan yang besar dari industri rokok ini, bahkan termasuk
pihak yang tidak terlibat langsung. Namun, dari seluruh pihak
tersebut, petani lah yang berada pada posisi paling dirugikan.

Buku ini berupaya menyampaikan segala hal dengan


cukup komprehensif dan netral, misalnya kebutuhan dasar buruh
dan petani serta pengusaha yang berhubungan dengan industri
ini sampai kepentingan pemerintah yang membutuhkan devisa
dari pajak yang ditetapkan. Yang paling menonjol adalah sisi
kesehatan dan sisi ekonomi yang selalu saling berseberangan.
Walaupun merokok ataupun tidak merokok adalah pilihan masing-
masing individu, namun tulisan ini mencoba mengumpulkan
dan membandingkan data yang didapat mengenai hal-hal yang
menguntungkan dan merugikan berkaitan dengan industri rokok
serta kebijakan yang diharapkan dalam upaya pengendalian
tembakau di Indonesia.

Sesungguhnya, pemerintah tidak pernah tinggal diam


dengan urusan rokok, meskipun sampai saat ini kondisi yang

xxviii
dicapai belum memuaskan. Indonesia berperan aktif dalam proses
penyusunan Kerangka Kerja Organisasi Kesehatan Dunia tentang
Pengendalian Tembakau (WHO FCTC, World Health Organization
Framework Convention on Tobacco Control).

Pemerintah sangat peduli dengan ini, karena pendapatan


negara berupa cukai dari rokok memang cukup signifikan. Untuk
tahun 2004 nilai cukai rokok sebesar Rp 27 trilyun, lalu tahun 2006
meningkat menjadi Rp 38,53 triliun. Tahun 2008 misalnya, nilai
cukai rokok setara dengan 5,5 persen dari total APBN. Belum lagi
kontribusi dari sektor pertanian dan tenaga kerja.

Namun beban ekonomi yang ditimbulkan juga besar,


baik berupa biaya kesehatan langsung maupun tidak langsung
dan kerugian akibat turunnya produktivitas. Dalam konteks
pembangunan, rokok bisa ikut mengancam pencapaian MDGs.
WHO telah menyatakan bahwa terdapat relevansi cukup erat
dari rokok sebagai salah satu penghambat pencapaian MDGs.
Data menunjukkan, pada negara-negara miskin jumlah perokok
lebih banyak. Survei menunjukkan bahwa rumah tangga dengan
pendapatan rendah menggunakan 5 sampai 15 persen dari
pendapatan bersihnya untuk konsumsi tembakau. Keluarga miskin
cenderung mengorbankan alokasi belanja bahan kebutuhan pokok
keluarga termasuk beras, susu, telur, dan daging agar tetap
mempertahankan kebiasaan merokok. Keluarga miskin bahkan
lebih mengutamakan penggunaan uang untuk rokok daripada
untuk pendidikan.

Salah satu opsi kebijakan yang sedang dipertimbangkan


adalah menaikkan cukai rokok. Ini sejalan dengan tema Global
World No Tobacco Day 2014 (Hari Tanpa Tembakau Sedunia) yakni
menaikkan pajak cukai rokok, “Raise Taxes on Tobacco”.  Dengan
naiknya harga jual, diharapkan tingkat konsumsi rokok menurun,
dan perokok pemula kurang tertarik. Hal ini direspon Indonesia

xxix
dengan tema nasional Hari Tanpa Tembakau Sedunia menjadi:
“Naikkan Cukai Rokok, Lindungi Generasi  Penerus  Bangsa”. 

Tembakau Indonesia merupakan salah satu sumber daya


pertanian yang memiliki peran cukup penting bagi perekonomian
nasional. Berbagai varietas tembakau dan varian produk tembakau
telah lama menjadi salah satu komoditas ekspor andalan Indonesia,
dan mampu memberikan pendapatan kepada pelakunya. Karena
itu, perlindungan kepada industri tembakau dari hulu sampai
hilir, berarti merupakan usaha untuk melakukan penyelamatan
penerimaan negara dan penyerapan tenaga kerja yang sangat
besar. Industri kretek Indonesia memiliki kekhasan dan keunikan
tersendiri dan telah diakui dunia atau telah menjadi bagian dari
warisan budaya kita (national heritage).

Industri tembakau nasional menyerap tenaga kerja cukup


signifikan. Saat ini, sebanyak 4,15 juta tenaga kerja bekerja di
industri tembakau, dimana 93,77 persen diserap kegiatan usaha
tani termasuk pascapanen dan 6,23 persen di sektor pengolahan
rokok. Begitu juga cukai dari produksi rokok masih menjadi
andalan karena memberikan kontribusi sebanyak 96 persen dari
total penerimaan cukai negara.

Jumlah petani tembakau saat ini sekitar 689.360 orang


petani, dengan total luas areal pada kisaran 221.000 Ha yang
tersebar di 15 propinsi. Jenis produk tembakau yang kita hasilkan
beragam mulai dari rokok, cerutu, shag atau rokok tingwe/
gulungsendiri, dan tembakau pipa. Posisi tawar petani rendah
karena pasar tembakau bersifat oligopsoni, dimana harga sangat
ditentukan oleh industri rokok, dan fluktuasi harga yang sangat
besar dan cenderung tidak menentu.

Selain rokok, sesungguhnya masih banyak diversifikasi


produk dari bahan tembakau yang selama ini belum digarap.
Diversifikasi Produk Tembakau yang dapat dilakukan antara lain

xxx
dengan mengolah daun tembakau menjadi bahan kimia dasar yang
dapat digunakan sebagai pestisida, obat bius, produk kosmetik,
industri farmasi, dan lain-lain.

Di sisi lain, seluruh petani, termasuk petani tembakau,


adalah warga negara Indonesia yang berhak dan wajib dilindungi
oleh negara. Sesuai sila kelima Pancasila dan Pembukaan UUD
1945, secara jelas dinyatakan bahwa keadilan sosial bagi seluruh
rakyat Indonesia menjadi dasar salah satu filosofi pembangunan
bangsa, sehingga setiap Warga Negara Indonesia (WNI) berhak atas
kesejahteraan dirinya. Oleh karena itu, setiap WNI berhak dan wajib
sesuai dengan kemampuannya ikut serta dalam pengembangan
usaha untuk meningkatkan kesejahteraan, termasuk di bidang
pertanian. Karena itu, kesejahteraan petani merupakan tujuan
pokok di Kementerian Pertanian.

Selama ini Petani telah memberikan kontribusi yang nyata


dalam pembangunan pertanian dan pembangunan ekonomi
perdesaan. Petani sebagai pelaku pembangunan Pertanian perlu
diberi Perlindungan dan Pemberdayaan, yang selama ini belum
didukung oleh peraturan perundang-undangan yang komprehensif,
sistemik, dan holistik, sehingga kurang memberikan jaminan
kepastian hukum serta keadilan bagi petani dan pelaku usaha
di bidang pertanian. Undang-Undang yang ada selama ini masih
bersifat parsial dan belum mengatur upaya Perlindungan dan
Pemberdayaan secara jelas, tegas, dan lengkap.

Karena itulah, agar upaya perlindungan dan pemberdayaan


petani mencapai sasaran yang maksimal maka pemerintah
menetapkan UU Nomor 19 Tahun 2013 tentang Perlindungan
dan Pemberdayaan Petani yang ditetapkan tanggal 6 Agustus
2013. Perlindungan petani adalah segala upaya untuk membantu
petani dalam menghadapi permasalahan kesulitan memperoleh
prasarana dan sarana produksi, kepastian usaha, risiko harga,

xxxi
kegagalan panen, praktik ekonomi biaya tinggi, dan perubahan
iklim. Sementara, pemberdayaan petani adalah segala upaya untuk
meningkatkan kemampuan petani untuk melaksanakan usaha tani
yang lebih baik melalui pendidikan dan pelatihan, penyuluhan dan
pendampingan, pengembangan sistem dan sarana pemasaran
hasil pertanian, konsolidasi dan jaminan luasan lahan pertanian,
kemudahan akses ilmu pengetahuan, teknologi dan informasi,
serta penguatan kelembagaan petani.

Perlindungan dan pemberdayaan petani diselenggarakan


berdasarkan asas kedaulatan, kemandirian, kebermanfaatan,
kebersamaan, keterpaduan, keterbukaan, efisiensi-berkeadilan,
dan berkelanjutan. Perlindungan dan Pemberdayaan Petani
bertujuan untuk meningkatkan taraf kesejahteraan, kualitas, dan
kehidupan petani yang lebih baik. Dalam prakteknya, pemerintah
melindungi dengan menyediakan prasarana dan sarana pertanian
yang dibutuhkan, memberikan kepastian usaha tani, serta
melindungi petani dari fluktuasi harga, praktik ekonomi biaya
tinggi, dan gagal panen. Sasaran perlindungan dan pemberdayaan
petani adalah petani kecil yakni terutama petani penggarap dengan
luas garapan maksimal hektare.

Khusus untuk petani tembakau, selain UU nomor 19 tahun


2013 tersebut, Indonesia sebenarnya telah memiliki perangkat
hukum dan regulasi yang mengatur mengenai pengendalian
dampak tembakau bagi kesehatan yaitu UU No. 36 tahun 2009
tentang Kesehatan dan Peraturan Pemerintah No. 109 tahun 2012
tentang Pengamanan Bahan yang Mengandung Zat Adiktif Berupa
Produk Tembakau bagi Kesehatan.

Untuk dukungan teknis, maka perlindungan lain yang


diberikan Kementan adalah peramalan cuaca untuk penentuan
waktu tanam, pengembangan varietas unggul lokal, dukungan
terbentuknya pola kemitraan yang sinergis antara petani dan

xxxii
industri, pelatihan petani melalui sekolah lapang, eksplorasi
tanaman alternatif, serta pengembangan diversifikasi produk.
Perlindungan petani tembakau ini juga dalam upaya untuk
meningkatkan kualitas tembakau dalam negeri yang berkualitas
namun harganya murah. Untuk itu, pemerintah akan mengusahakan
berbagai dukungan yang akan segera direalisasikan di antaranya
adalah pemberian asuransi usaha pertanian, bantuan kredit, dan
bantuan pemasaran.

Pada intinya, pemerintah telah berupaya terus menerus


memberikan perlakuan yang adil bagi seluruh masyarakat,
sehingga persoalan tembakau dan petani tembakau ini harus
dikaji dan didekati secara bijak. Pemerintah berada pada posisi
melindungi petani tembakau, namun juga harus melindungi warga
lain sebagai konsumen ataupun mereka yang terkena dampak
buruk dari konsumsi tembakau ini. Kementerian Pertanian berada
pada garis terdepan dalam melindungi petani tembakau, yang
sesungguhnya adalah juga perokok atau konsumen dari tembakau
yang dihasilkannya sendiri.

Selamat kepada tim penulis yang telah mampu menggali


informasi dengan sangat lengkap dan dalam, serta telah mampu
memberikan analisis yang cukup berimbang. Buku ini menjadi
satu referensi yang sangat bernilai sumbangannya terhadap dunia
penelitian dan sekaligus masukan penting bagi pemerintah dalam
mengambil kebijakan yang adil.

Bogor, Maret 2015

Kepala PSEKP

(Dr. Handewi P. Saliem)

xxxiii
RINGKASAN EKSEKUTIF
Petani Tembakau di Indonesia: Sebuah Paradoks Kehidupan

Dalam catatan sejarah, tanaman tembakau (nicotiana


tabacum) merupakan tanaman asli Amerika Selatan. Tanaman
ini diperkenalkan ke wilayah Hindia Belanda bersamaan dengan
kedatangan para penjajah Belanda yang dipimpin Cornelis de
Houtman di Pantai Banten pada 1596. Selanjutnya dilaporkan
bahwa Raja Mataram Amangkurat I (1646—1677) sudah terbiasa
dengan mengisap tembakau, satu kebiasaan yang dianggapnya
akan menyetarakan posisinya dengan orang-orang Belanda yang
membawa kebiasaan baru tersebut. Narasi ini menggambarkan
bahwa Bangsa Indonesia sudah lama akrab dengan tanaman
tembakau.
Demikian tingginya nilai daun tembakau dalam perdagangan
internasional ketika itu, sehingga pada jaman Gubernur Jenderal
Van den Bosch (1830), Pemerintah Kolonial Hindia Belanda
menjadikan tanaman tembakau sebagai salah satu komoditas
tanam paksa atau yang dikenal dengan kulturstelsel. Pelaksanaan
tanam paksa di Hindia Belanda tersebut dilaksanakan bersamaan
dengan memuncaknya harga komoditas tembakau di Eropa.
Demikianlah, masyarakat Indonesia sudah menanam dan
mengonsumsi tembakau selama tak kurang dari enam abad.
Kantong-kantong industri tembakau tersebar di beberapa daerah,
seperti di Jawa Tengah, Jawa Timur, Sumatera Utara, dan Nusa
Tenggara Barat. Industri produk tembakau berupa rokok sangat
menggiurkan. Keuntungan berlipat ganda berulang terjadi
pada industri ini. Namun keuntungan itu hanya dinikmati kaum

xxxv
pemodal besar. Petani tembakau yang berposisi sebagai ujung
tombak industri ini, ironisnya, masih jauh dari glamournya industri
tembakau. Sebagian besar petani tembakau tak menikmati berkah
dari “daun emas” atau golden leaves yang mereka tanam. Tata niaga
tembakau yang timpang menyisakan dual paradox (paradoks ganda)
bagi petani tembakau. Bukan rahasia lagi, pendapatan petani
tembakau masih lebih rendah dari Upah Minimum Kabupaten/Kota
(UMK).

Paradoks Petani Tembakau


Walaupun daun tembakau biasa disebut sebagai “daun emas”
atau golden leaves, tapi petani tembakau menghadapi berbagai
permasalahan dari hulu ke hilir, mulai dari biaya penanaman yang
tinggi dan padat modal, risiko kesehatan akibat proses penanaman
tembakau, timpangnya tata niaga yang meniadakan standar harga
dan kepastian usaha, hingga risiko kerugian akibat perubahan
iklim dan anomali cuaca.
Kondisi hulu di atas merupakan hambatan-hambatan yang
harus dihadapi oleh petani tembakau, sehingga keuntungan dari
“daun emas” tersebut hanya dinikmati oleh pihak pemodal, mulai
dari tengkulak dan kaki tangannya sampai ke pihak industri.
Berbagai permasalahan dan resiko resiko kompleks yang dihadapi
oleh petani tembakau, meliputi:
1. Biaya produksi pertanian tembakau yang tinggi dan padat
modal;
2. Risiko kesehatan dalam proses penanaman tembakau;
3. Pasar yang bersifat monopsoni atau oligopsoni;
4. Tata niaga yang timpang dan tiadanya standar harga;
5. Perubahan iklim dan anomali cuaca;
6. Diversifikasi produk yang masih terbatas;
7. Ancaman hama tanaman;
8. Keterbatasan pemahaman dalam kualitas dan teknis
pengelolaan;

xxxvi
9. Organisasi petani tembakau yang belum mandiri dan
berdaya;
10. Ketiadaan lingkungan pendukung yang melindungi petani.

Disamping itu, petani tembakau masih harus menghadapi


sejumlah kendala di tingkat hilir, meliputi:
1. Menurunnya jumlah pabrik rokok dari kalangan pengusaha
kecil dan menengah, karena tekanan perusahaan rokok
besar dan asing;
2. Penurunan produksi tembakau;
3. Peningkatan impor tembakau;
4. Mekanisme penentuan harga yang merugikan petani.

Indonesia, dari Eksportir menjadi Importir


Dalam perdagangan tembakau internasional, terutama
sejak 15 tahun terakhir, Indonesia termasuk salah satu pemain
besar bersama 15 negara lainnya, baik sebagai eksportir maupun
importir, baik daun tembakau maupun produk lainnya seperti
cerutu, sigaret, ekstrak, dan esens tembakau. Ke-15 negara
tersebut adalah AS, Belanda, Brasil, Tiongkok, India, Indonesia,
Inggris, Italia, Jepang, Jerman, Malawi, Perancis, Rusia, Turki dan
Zimbabwe.
Pada 1989 dan 1990 Indonesia pernah menjadi negara
keempat dan kelima terbesar eksportir daun tembakau dengan
nilai ekspor bersih sebesar USD 22,1 juta dan USD 16,6 juta.
Namun sejak 1993 Indonesia menjadi negara net-importir. Bahkan
pada 2013 Indonesia menduduki urutan keempat, setelah Rusia,
Tiongkok, dan Jerman sebagai negara net-importir, dengan defisit
sebesar USD 425 juta.
Dalam posisinya sebagai importir tembakau, Indonesia
(bersama Tiongkok) merupakan negara eksportir produk tembakau
berupa rokok dan cerutu. Pembelian PT HM Sampoerna oleh Philip
Morris pada 2005 dan PT Bentoel oleh British American Tobacco

xxxvii
(BAT) pada 2009 tak lepas dari strategi global pengalihan produsen
dan pasar produk tembakau dari Eropa dan AS ke Indonesia dan
Tiongkok. Indonesia dan Tiongkok menjadi pilihan pengalihan
produsen produk tembakau karena ketersediaan faktor produksi,
berupa tenaga kerja dan tembakau yang murah dan melimpah,
serta pangsa pasar yang besar.

Tata Niaga Tembakau di Indonesia


Berdasar data input-output sebanyak 66 sektor pada
1995, 2000, 2005, 2008 dan 2010, terlihat bahwa kontribusi
pertanian tembakau dalam PDB berada pada peringkat ke-60,
ke-62, ke-64, ke-63 dan ke-64. Angka ini mencerminkan bahwa,
dalam perekonomian, peran pertanian tembakau tidak penting
dibandingkan dengan peran sektor lain, misalnya padi, sayur-
mayur dan buah-buahan yang menempati urutan ke-13 dan ke-14.
Oleh karena itu, tembakau tidak dikategorikan sebagai
komoditas unggulan yang diperhatikan dan diatur negara. Akibat
dari situasi ini adalah bahwa tembakau diposisikan sebagai barang
bebas yang tidak diatur tata niaganya. Asumsi ini diperkuat oleh
absennya kebijakan nasional yang secara khusus mengatur
mengenai tembakau. dalam prakteknya, tata niaga tembakau
diserahkan sepenuhnya pada mekanisme pasar. Walaupun di
beberapa daerah terdapat regulasi lokal, namun pelaksanaan
regulasi tersebut tidak pernah efektif.

Lingkungan Pendukung
Karena ketiadaan kebijakan tata niaga tembakau, maka
keseluruhan mata rantai tata niaga tembakau sangat didominasi
oleh jejaring industri. Keseluruhan Infrastruktur industry, dari hulu
dampai ke hilir, praktis mendominasi mata rantai tersebut.
Posisi tembakau sebagai non-komoditi unggulan, ditambah
ketiadaan kebijakan dan pengaturan dalam pengendalian tata
niaga, membuat pihak industri bisa sewenang-wenang dalam

xxxviii
menekan petani. Mereka juga leluasa melaksanakan lobi-lobi
transaksionalnya.

Harapan ke Depan
Dikeluarkannya Undang Undang (UU) No. 19 Tahun 2013
tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Petani memberikan
harapan bagi peningkatan posisi tawar petani pada umumnya,
maupun petani tembakau khususnya.
Pemerintah juga telah mengeluarkan sejumlah UU terkait
perlindungan dan pemberdayaan petani, antara lain UU No. 6
Tahun 2014 tentang Desa, UU No. 1 Tahun 2013 tentang Lembaga
Keuangan Mikro, UU No. 3 Tahun 2014 tentang Perindustrian, dan
UU No. 7 Tahun 2014 tentang Perdagangan.

Road Map Perlindungan & Pemberdayaan Petani Tembakau


Kementerian Perindustrian telah mengeluarkan Road Map
produk tembakau untuk mencapai target 220 milyar batang rokok
pada 2006—2010, 240 milyar batang pada 2010—2015, dan 260
milyar batang pada 2015—2020, serta mempertahankan target
sebesar 260 milyar batang pada 2020. Target sejumlah 260 milyar
batang pada 2020 bukan saja sudah berhasil dicapai, tapi bahkan
sudah terlewati pada 2014.
Kini saatnya Pemerintah Indonesia, dengan melandaskan
diri pada UU 19 Tahun 2013 dan berbagai UU RI terkait lainnya,
untuk menyusun Road Map Perlindungan dan Pemberdayaan
Petani Tembakau yang mencakup tema tema pengembangan di
bidang-bidang: (i) kebijakan dan legal; (ii) sarana dan prasarana;
(iii) bimbingan, penyuluhan dan pendampingan; (iv) kepastian
usaha dan pemasaran; (v) penguatan lembaga tani dan peran serta
masyarakat; (vi) pengembangan lindungan pendukung.

Jakarta, 9 Februari 2015


Tim Penyusun

xxxix
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Sejak ditemukan oleh para penjelajah Eropa pada abad
ke 15 di pedalaman Amerika, saat ini tembakau sudah menyebar
hampir ke seluruh penjuru dunia. Bagi penduduk asli Amerika
waktu itu, pada mulanya Tembakau dipercaya sebagai tanaman
surga yang dikonsumsi oleh para dewa dan diturunkan ke bumi
sebagai anugerah bagi Manusia. Tembakau dipercaya sebagai
penyembuh segala penyakit, dapat membantu manusia untuk
berkomunikasi dengan alam gaib serta digunakan dalam berbagai
upacara keagamaan pada saat itu. Namun seiring waktu dengan
kandungan nikotinnya yang membuat penggunanya ketagihan,
Tembakau secara pasti bertransformasi menjadi komoditas
rekreasi yang digunakan oleh ratusan juta orang di muka bumi yang
mengkonsumsinya secara terus menerus. Tembakau yang disebut
oleh Ian Gately sebagai komoditas yang telah meninabobokan
peradaban saat ini dikenal sebagai salah satu komoditas yang
paling menguntungkan sehingga di beberapa tempat disebut
sebagai ‘emas hijau’.
Kini, Tembakau ditanam di 124 negara dengan luas lahan
sebesar 3,8 juta hektar.2 Tiongkok, Brasil, India, dan Amerika
Serikat (AS) merupakan negara produsen tembakau terbesar di
Dunia. Pada 2010 keempat negara tersebut memproduksi 68,43%
2
Michael Eriksen, dkk. 2012. Tobacco Atlas (Georgia: American Cancer Society),
hal 52.

Sebuah Paradoks Kehidupan 1


dari total produksi tembakau dunia. Indonesia sendiri berada pada
posisi kelima negara penghasil tembakau di dunia dengan total
1,91% atau sebesar 135 ribu ton dari 7,1 juta ton produksi dunia.3
Penggunaan tembakau sebagai barang konsumsi dalam
bentuk rokok, cerutu, atau produk kunyah (bidis, guthka) menuai
kontroversi karena menimbulkan berbagai resiko kesehatan.
Laporan World Health Organization (WHO) menunjukkan
bahwa konsumsi tembakau bersama dengan konsumsi alkohol,
makanan tidak sehat, dan kurangnya aktifitas fisik merupakan
salah satu faktor risiko yang menyebabkan terjadinya berbagai
penyakit tidak menular seperti kanker, serangan jantung, stroke,
diabetes dan obesitas.4 Bahkan WHO menyatakan bahwa merokok
menyebabkan 5 juta kematian di tingkat global setiap tahunnya,
dan akan meningkat menjadi 8 juta kematian pertahun pada 2020,
jika konsumsinya tidak dikendalikan.5
Menurut penelitian Dr. Soewarta Koesen dari Kementerian
Kesehatan Republik Indonesia (Kemenkes RI) pada 2010, beban
ekonomi akibat konsumsi merokok di Indonesia mencapai Rp
245,41 triliun, jauh melebihi pendapatan negara dari cukai pada
tahun yang sama sebesar Rp 55 triliun.6
Mengingat besarnya beban ekonomi dan ancaman yang
begitu besar dari konsumsi tembakau, negara-negara di dunia
3
Tobacco Control Support Center – IAKMI. 2012. Bunga Rampai Fakta Tem-
bakau dan Permasalahannya di Indonesia (Jakarta: TCSC-IAKMI), Hal 37.
4
Global Status Report on Non Communicable Diseases, WHO, Geneve, 2011,
hal 16
5
lihat Mathers CD, Loncar D. Projections of global mortality and burden of dis-
ease from 2002 to 2030. PLoS Medicine, 2006, 3(11):e442, dan Murray CJL,
Lopez AD. Alternative projections of mortality and disability by cause 1990-2020:
Global burden of disease study. Lancet, 1997, 349(9064):1498-1504.
6
Lihat Presentasi Dr. Tjandra Yoga Aditama, Dirjen P2PL Kemenkes RI, ”Aksesi
FCTC dan Perlindungan Kesehatan Masyarakat dari Bahaya Produk Tembakau”
di acara FGD Peringatan Hari Tanpa Tembakau Se-Dunia 2013, di Komnas HAM
29 Mei 2013.

2 Petani Tembakau di Indonesia


bersepakat untuk mengendalikan konsumsi tembakau dengan
mengesahkan Framework Convention on Tobacco Control (FCTC—
Kerangka Kerja Pengendalian Tembakau) pada Februari 2003.7
Konvensi ini didukung oleh banyak negara di dunia dan dengan
cepat diratifikasi oleh negara-negara anggota Perserikatan
Bangsa Bangsa (PBB). Hingga saat ini sebanyak 180 negara telah
meratifikasi FCTC.8
Perdebatan yang muncul saat melakukan pengendalian
tembakau adalah efeknya terhadap kehidupan petani dan pekerja
yang bekerja di industri ini. Pengendalian tembakau dikhawatirkan
dapat menurunkan permintaan terhadap daun tembakau yang
merugikan petani.9 Di sisi lain, pengendalian tembakau juga
dipandang akan melahirkan pengangguran yang merugikan
pekerja di sektor ini.10
Pandangan yang simplistis semacam ini mengabaikan
fakta bahwa persoalan yang dihadapi petani tembakau sangatlah
kompleks. Petani tembakau menghadapi berbagai permasalahan
dari hulu ke hilir, mulai dari biaya produksi pertanian tembakau
yang tinggi dan padat modal, risiko kesehatan akibat proses
penanaman tembakau, timpangnya tata niaga yang meniadakan
standar harga dan kepastian usaha, hingga risiko kerugian akibat
perubahan iklim dan anomali cuaca.
Di level makro, persoalan petani tembakau juga terkait
dengan koordinasi antar sektor di level kementerian yang belum
maksimal. Ketika Kementerian Pertanian (Kementan) berupaya

7
lihat website WHO, http://www.who.int/fctc/about/negotiations/en/ diakses pada
10 Desember 2014.
8
Lihat Website WHO, http://www.who.int/fctc/signatories_parties/en/ diakses 10
Desember 2014.
9
Lihat http://www.antarajateng.com/detail/rugikan-petani-jokowi-diminta-tak-tan-
datangani-fctc.html, diakses 10 Desember 2014.
10
Lihat http://www.merdeka.com/uang/dpr-pengendalian-tembakau-melahirkan-
pengangguran.html, diakses 10 Desember 2014.

Sebuah Paradoks Kehidupan 3


meningkatkan kualitas dan produksi pertanian tembakau,
kementerian perdagangan yang berwenang pada urusan ekspor-
impor justru tidak melakukan pembatasan impor tembakau.
Permintaan produk tembakau yang terus meningkat kemudian
ditutup oleh impor. Alhasil, permintaan yang tinggi tidak berkorelasi
positif dengan nasib petani tembakau. Mereka tidak menikmati
keuntungan yang maksimal dari situasi tersebut.
Kondisi di atas hanyalah potret kecil petani tembakau yang
menghadapi paradoks ganda (dual paradox). Di satu sisi, industri
tembakau menikmati keuntungan melimpah akibat konsumsi
rokok yang terus meningkat, namun di sisi lain kehidupan petani
tembakau yang sejatinya berkontribusi besar bagi pertumbuhan
industri tembakau justru tidak menikmati keuntungan sebanding.
Buku ini hendak memberikan potret yang lebih lebih besar tentang
dual paradox tersebut dan kemungkinan-kemungkinan solusi untuk
memperbaiki kehidupan petani tembakau di Indonesia.

B. Tujuan Penulisan
Buku ini disusun untuk mencapai dua tujuan utama, yaitu:
1. Memberikan gambaran yang lebih lengkap mengenai kondisi
petani tembakau dalam tata niaga tembakau di Indonesia,
dengan mengambil sampel dua daerah penghasil utama
tembakau,;
2. Memberikan rekomendasi kepada pihak-pihak terkait yang
berwenang dalam mengambil langkah kebijakan untuk
memperbaiki situasi yang dihadapi petani tembakau di
Indonesia.

C. Permasalahan Pokok
Bagian ini menggambarkan secara singkat potret petani
tembakau di Indonesia, baik di sektor hulu maupun di sektor hilir.

4 Petani Tembakau di Indonesia


Masalah di Sektor Hulu
Berikut digambarkan beberapa isu kunci di sektor hulu
yang menyulitkan petani tembakau.
a) Biaya Produksi
Penelitian dari Keyser dan Juita pada 2003 menunjukkan
bahwa pertanian tembakau membutuhkan modal yang besar.
Pertanian tembakau membutuhkan biaya hampir Rp 15 juta
perhektar (ha).11 Hal ini hampir sama dengan pertanian cabe dan
kentang yang membutuhkan biaya Rp 13 juta—Rp 16 juta per Ha.
Pertanian tembakau membutuhkan perawatan yang sangat
telaten dan tenaga kerja yang banyak. Oleh karena itu, petani
tembakau acapkali melibatkan seluruh anggota keluarganya dalam
seluruh proses pertanian tembakau, baik sejak masa tanam, masa
panen, pengolahan, hingga pemasaran. Di banyak daerah pertanian
tembakau, mereka tak jarang melibatkan anak di bawah umur dan
perempuan.12 Jika dibandingkan dengan tembakau, menanam
cabe dan kentang memberikan penghasilan yang relatif sama dan
lebih baik ketimbang tembakau dengan jumlah hari kerja yang jauh
lebih sedikit.13

11
Lihat Keyser, JC and NR Juita 2005, Smallholder Tobacco Growing in Indone-
sia: Cost and profitability compared with agricultural enterprises, HNP Discussion
Paper, World Bank hal 17 – 18.
12
Cycle of Poverty in Tobacco Farming: Tobacco Cultivation in Southeast Asia,
TM Guazon, SEATCA, 2008, hal 12.
13
Keyser, JC and NR Juita 2005, Smallholder Tobacco Growing in Indonesia:
Cost and profitability compared with agricultural enterprises, HNP Discussion Pa-
per, World Bank hal 35

Sebuah Paradoks Kehidupan 5


TABEL 1
Data produksi kentang, cabe, dan tembakau
dengan intensitas manajemen yang tinggi

TANAMAN DAERAH BIAYA TENAGA Penghasilan KEUNTUNGAN


PRODUKSI KERJA kotor BERSIH
(000/ha) (hari) (000/ha)
Kentang Tinggi 13.932 213 36.400 22.487

CABE Semua 16.651 680 31.500 14.849


daerah
Tembakau Tinggi 14.911 918 24.984 10.073
Sumber: Keyser, JC, and NR Juita (2005)14

b) Risiko Kesehatan
Berdasarkan penelitian di beberapa negara di Asia
Tenggara, para pekerja yang melakukan pengolahan tembakau
berisiko terkena Green Tobacco Sickness (GTS). Hal itu terjadi
karena interaksi para pekerja itu dengan daun tembakau yang
basah. Tanda-tanda GTS adalah muntah-muntah, pusing, kram
perut, kelelahan, sakit kepala, kesulitan bernapas, tekanan darah,
dan detak jantung yang tidak stabil.15
Selain itu, proses penanaman tembakau juga
mengakibatkan petani terekspose dengan pestisida dan pupuk
kimia tanpa prosedur yang aman. Hal ini menimbulkan keracunan,
iritasi kulit dan mata, gangguan saraf dan pernapasan, serta ginjal.
Dalam jangka panjang, kondisi ini berakibat fatal bagi munculnya
berbagai gangguan kesehatan. Situasi ini, pada gilirannya, dapat
menurunkan produktifitas dan membahayakan kehidupan para
petani tembakau itu sendiri.16

14
Lihat Keyser, JC and NR Juita. Op.cit., hal 62.
15
Cycle of Poverty in Tobacco Farming. Opcit., hal 11—12.
16
Ibid.

6 Petani Tembakau di Indonesia


c) Tata Niaga yang Timpang
Pasar tembakau yang bersifat oligopsoni menurunkan
posisi tawar petani tembakau. Petani tembakau tidak memiliki
akses langsung ke pabrik. Proses jual-beli produk tembakau
diperantarai oleh middlemen/bandol/tengkulak/tauke dan pedagang
besar.17 Kondisi ini mengakibatkan fluktuasi harga tembakau yang
merugikan petani.18
Disisi lain membanjirnya tembakau impor yang dianggap
lebih berkualitas dan murah juga menimbulkan kesulitan tersendiri
bagi para petani tembakau di tanah air.19

d) Anomali cuaca
Tanaman tembakau sangat peka terhadap perubahan cuaca,
khususnya perubahan curah hujan. Jika curah hujan lebih basah
dibanding normal (efek El Nina), maka kualitas daun tembakau
akan menurun (ditandai dengan berkurangnya leletpada daun yang
ditandai dengan daun tidak lengket jika dipegang tangan).
Sementara itu, jika curah hujan di bawah normal (karena
kemarau panjang), maka produksi daun tembakau akan menurun
karena banyaknya tanaman tembakau yang mati.20

e) Terbatasnya Diversifikasi Produk


Produk tembakau digunakan dalam berbagai macam

17
Akhmad Jayadi. 2012. “Sengsara di Timur Jawa” Makalah yang dipresentasikan di dalam
acara “Seminar Tata Niaga Pertanian Tembakau dan Peran Pemerintah” pada 26 Juni 2012
di LDFEUI.Makalah tidak diterbitkan
18
Ir. H. Suswono. 2014. “Upaya Perlindungan Petani Tembakau Indonesia”, Disampai-
kan pada Seminar Nasional Pertanian Tembakau: Memetakan Masalah dan Solusi Bagi
Kesejahteraan Petani Tembakau Universitas Muhammadiyah, 8 Januari 2014 di Jakarta.
Makalah tidak diterbitkan.
19
Ibid.
20
Abdillah Ahsan. 2012. “MeretasJalanPeningkatanKesejahteraanPetaniTembakau”.
Makalah yang dipresentasikan di dalam acara “Seminar Tata Niaga Pertanian Tembakau
dan Peran Pemerintah?” 26 Juni 2012 di LDFEUI, makalah tidak diterbitkan.

Sebuah Paradoks Kehidupan 7


bentuk. Produk paling utama dari tembakau digunakan untuk
membuat rokok, yang mencapai 96% dari total penjualan produk
tembakau. Produksi tembakau lain berbentuk bidis (Asia Selatan—
Timur), kretek (Indonesia), dan snuff (berasal dari swedia, kini
sudah mengglobal).21
Penggunaan tembakau untuk jenis produk lain berbentuk
biopestisida, minyak atsiri, bahan kimia/farmasi, parfum/kosmetik, bio-oil,
bio-char, bio-gas, bio-diesel dan kompos.22Namun penggunaan lain dari
produk tembakau tersebut masih sangat terbatas.

f) Hama Tanaman
Tanaman tembakau harus dirawat dengan tekun karena rawan
terhadap serangan hama. Jika tak dirawat, petani tembakau terancam
mengalami gagal panen yang merugikan petani sendiri. Hama
cepat dalam berkembang dan merusak daun tembakau.23

g) Kualitas dan Teknis Pengelolaan


Persoalan lain yang menghantui petani tembakau adalah soal
pengelolaan. Hal ini terjadi akibat sebagian benih varietas unggul masih
diimpor dan juga teknik budidaya yang masih kurang tepat.

Masalah di Sektor Hilir


Selain tujuh persoalan hulu di atas, petani tembakau
juga mengalami permasalahan di tingkat hilir. Bagian berikut
menguraikan beberapa isu kunci di sektor hilir yang dihadapi
petani tembakau.24

21
American Cancer Society. 2012. Tobacco Atlas edisi 4 (Atalanta, Georgia: American Can-
cer Society), hal 24.
22
Ir Mastur. 2014. ”Penelitian Tanaman Tembakau dan Diversifikasi Produknya”, Makalah
yang disampaikan pada Seminar Nasional Pertanian Tembakau: Memetakan Masalah dan
Solusi Bagi Kesejahteraan Petani Tembakau di Universitas Muhammadiyah pada 8 Januari
2014 di Jakarta. Makalah tidak diterbitkan.
23
Abdillah Ahsan. Op.cit.
24
Ir. H. Suswono. Op.cit.

8 Petani Tembakau di Indonesia


a) Menurunnya Jumlah Pabrik Rokok
Industri rokok di Indonesia dikuasai oleh segelintir
perusahaan rokok. Dominasi ini terlihat dari penguasaan perusahaan
rokok besar terhadap sebagian besar pangsa pasar industri rokok.
HM Sampoerna Tbk (Phillip Morris Internasional), Gudang Garam,
dan Djarum menguasai 65% pangsa pasar industri rokok di tanah
air, dengan rincian berikut: HM Sampoerna (29%), Gudang Garam
(21,1%), Djarum (19,4%), disusul oleh British American Tobacco
(Bentoel) (8%), Nojorono (6,7%), dan perusahaan rokok lainnya
(15,8%). Angka di atas membuat kita makin miris tatkala diketahui
bahwa BAT dan Phillip Morris adalah dua perusahaan asing yang
menguasai 37% pangsa pasar rokok di Indonesia.25
Meskipun jumlah konsumsi rokok dan prevalensi perokok
naik, namun jumlah pabrik rokok menurun. Jumlah pabrik
pengolahan tembakau menurun sebanyak 423 pabrik, dari
sebanyak 1.555 pabrik pada 2009 menjadi 1.132 pabrik pada
2011, dengan rincian: sebanyak 871 pabrik Sigaret Kretek Tangan
(SKT), sebanyak 242 Sigaret Kretek Mesin (SKM), dan sebanyak 19
Sigaret Putih Mesin (SPM). Celakanya, ratusan pabrik rokok yang
tutup tersebut adalah pabrik-pabrik kecil yang bukan penguasa
pangsa pasar rokok di Indonesia Pabrik-pabrik kecil itu menutup
operasinya karena kalah bersaing dengan pabrik-pabrik besar
bermodal kuat.26

b) Produksi Tembakau Menurun


Indonesia merupakan produsen tembakau keenam di dunia
dengan produksi Tembakau sebesar 135.678 ton pada 2010. Namun
produksi Indonesia hanya 1,91% dari total produksi tembakau dunia

25
Tim Tobacco Control Support Center – IAKMI. 2012. Bunga Rampai Fakta Tembakau dan
Permasalahannya di Indonesia (Jakarta: TCSC-IAKMI), Hal 71.
26
Ibid., hal 72.

Sebuah Paradoks Kehidupan 9


yang mencapai 7 juta ton.27 Jika dibandingkan produksi tembakau
pada 2009 yang mencapai 176 ribu ton, maka produksi tembakau
pada 2010 tersebut mengalami penurunan sebesar 23%. Jika
dikumulasikan selama 10 tahun terakhir (2003—2013), ditemukan
tren penurunan produksi tembakau sebesar 40%, dari 200 ribu ton
pada 2003 menjadi 120 ribu ton pada 2013.28
Penurunan produksi tembakau ini sejalan dengan
penurunan luas areal lahan pertanian tembakau di Indonesia.
Dalam kurun waktu 1990—2009, prosentase luas areal lahan
pertanian tembakau terhadap arable land (tanaman semusim)
menunjukkan kecenderungan yang menurun, yaitu dari 1,16% pada
1990 menjadi 0,87% pada 2009.29 Luas lahan tembakau pada 1990
sebesar 235.866 ha, menurun menjadi 204.405 ha pada 2009.30

c) Permintaan dan Impor Tembakau


Di tengah penurunan produksi dan luas lahan pertanian
tembakau, konsumsi rokok meningkat signifikan hingga rata-
rata 30 miliar batang pertahun. Untuk menutupi kekurangan
pasokan tembakau dari dalam negeri, pabrik rokok memilih jalan
pintas dengan mengimpor tembakau. Data net ekspor dan impor
tembakau selama 20 tahun (1990—2010) menunjukkan bahwa
Indonesia selalu mengalami net ekspor negatif. Artinya, negeri
ini lebih banyak mengimpor ketimbang mengekspor tembakau,
kecuali pada 1990, 1992, dan 1998.31 Bahkan pada 2007—2010 nilai
net ekspor kita berada diatas minus 100%.
Tembakau impor didatangkan dari Tiongkok (53%), Brasil
(11,5%), AS (9,3%), India (7,9%), Filipina (3,7%), Afrika Selatan (2,3%),

27
Ibid., hal 37.
28
Ibid., hal 39. Lihat juga Ir. H. Suswono. Op.cit.
29
Ibid., hal 39.
30
Ibid., hal 42.
31
Ibid., hal 54.

10 Petani Tembakau di Indonesia


dan negara lainnya (11,7%), dengan nilai total impor sebesar 202
juta USD.32 Impor tembakau meningkat karena beberapa alasan.
Selain karena penurunan produksi tembakau dalam negeri, juga
karena tembakau impor dinilai lebih berkualitas dan murah.33

d) Mekanisme Penentuan Harga


Harga tembakau saat ini ditentukan sepenuhnya oleh
industri rokok. Situasi ini semestinya mendorong petani tembakau
untuk menuntut mekanisme yang adil dalam penentuan harga
tembakau. Mekanisme pasar yang berwatak oligopsoni telah
menempatkan petani tembakau dalam posisi tawar yang lemah.
Inilah akar masalah ketidakberdayaan petani tembakau.

D. Sistematika Penulisan
Untuk membahas persoalan paradoks ganda yang dihadapi
petani tembakau, buku ini membagi topik dalam beberapa bagian
berikut:
- BAB I berisi pendahuluan yang mencakup latar belakang
dan permasalahan pokok yang menjangkiti pertanian petani
tembakau;
- BAB II menguraikan kondisi pertembakauan di Indonesia, dimulai
dari uraian singkat tentang sejarah pertembakauan, tren global,
dan tata niaga pertanian tembakau di Indonesia.;
- BAB III membahas situasi petani tembakau dalam tata niaga
tembakau, baik mikro, meso, maupun makro. Pada bagian
ini dibahas pula tentang kontribusi pertanian tembakau terhadap
ekonomi, posisi tawar petani, dan peluang-peluang kebijakan untuk
melindungi dan memberdayakan petani;
- BAB IV berisi simpulan dan rekomendasi yang disampaikan kepada
pihak-pihak terkait yang berwenang dalam perbaikan kehidupan
petani tembakau di Indonesia. Bagian ini juga menawarkan saran
mengenai pentingnya penyusunan Road Map Perlindungan dan
32
Ibid., hal 57.
33
Ir. H. Suswono. Op.cit.

Sebuah Paradoks Kehidupan 11


Pemberdayaan Petani Tembakau.
BAB II
Tembakau di Indonesia

A. Tembakau dalam Lintasan Sejarah


Tembakau di Indonesia memiliki sejarah panjang. Jika
dirunut ke belakang, tembakau masuk ke Nusantara ketika
ekspedisi Belanda pimpinan Cornelis de Houtman memasuki
wilayah Banten pada 1596. Bagian berikut memaparkan secara
singkat awal-mula tanaman tembakau di tanah air.

Kemunculan Tembakau di Dunia


Tembakau disebut-sebut sebagai “warisan budaya”.
Benarkah? Jika ditelusuri jejak sejarahnya, tembakau sejatinya
bukanlah tanaman asli yang tumbuh di tanah Nusantara.34
Dalam catatan Gately (2001), tembakau dikenal orang sejak
18.000 tahun lalu. Ia merupakan tanaman asli benua AS yang
dikultivasi sejak 5.000-3.000 Sebelum Masehi (SM) oleh penduduk
yang mendiami Pegunungan Andes. Sejak itu, tembakau diketahui
menimbulkan efek halusinasi dan penurunan kesadaran, serta
sering diigunakan untuk berkomunikasi dengan apa yang mereka
sebut sebagai dewa.35
34
Lihat Ian Gately. 2001. Tobacco, a Cultural History of How an Exotic Plant Seduced
Civilization (London: Simon & Schuster) dalam Kartono Muhammad. 2014. “Sejarah Tem-
bakau”, makalah yang dipresentasikan dalam Lokakarya Pengendalian Konsumsi Produk
Tembakau, diselenggarakan oleh Majelis Pembina Kesehatan Umum, Pengurus Pusat (PP)
Muhammadyah, Bogor, 6—7 Nopember 2014.
35
Ibid.

Sebuah Paradoks Kehidupan 13


Pada 1492, anak buah Christopher Columbus menjadi
orang Eropa pertama yang berkenalan dengan tembakau. Istilah
tembakau berasal dari bahasa penduduk asli Kuba, yaitu“datupuka”
tobacco, tabak, tembakau. Kemudian pada 1501Spanyol,yang
membawa budak dari Afrika ke AS, mulai mengembangkan
pertanian tembakau di Haiti. Adapun di Eropa, tembakau hanya
ditanam sebagai tanaman hias di istana-istana, karena bunganya
yang bagus.36
Pada 1559, Jean Nicot memperkenalkan pertanian
tembakau di Perancis, yang kemudian menamai tanaman itu
sebagai nicotiana. Tanaman ini dikembangkan sebagai jamu
(obat herbal). Mengunyah daun atau menghisap asap tembakau
(sebagai obat) melalui pipa lalu menjadi populer. Ia dikenal sebagai
komoditas istimewa di kalangan bangsawan.37
Pada 1562 Sir Francis Drake mengenalkan tembakau
kepada Ratu Inggris yang ia peroleh dari Pantai Barat AS (sekarang
California).Lalu pada 1586 Sir Walter Raleigh menguasai pantai
timur AS (sekarang Virginia) dan bersama penduduk asli membuka
pertanian tembakau.Kapal-kapal Portugis, Spanyol, dan Inggris
membawa tembakau sebagai bekal bagi pelautnya dalam pelayaran
ke Genoa, Timur Tengah, dan Asia. Ketika orang-orang di daerah
yang dikunjungi itu mulai kecanduan tembakau, mereka lalu menjadikan
tembakau sebagai barang ekspor atau untuk barter pada 1500—1700.38
Pada 1541 Filipina mengenal tembakau yang dibawa oleh kapal
Spanyol. Pada era berikutnya, demam tembakau menjalar ke Srilanka,
Thailand, Kampuchea, Malaya, dan Indonesia. Tembakau masuk ke
Nusantara setelah dibawa oleh Pemerintah Kolonial Belanda pada
1596.39

36
Ibid.
37
Ibid.
38
Ibid.
39
Ibid.

14 Petani Tembakau di Indonesia


Masuknya Tembakau ke Indonesia
Sebelum masuk ke Indonesia, pada 1625 Pemerintah
Kolonial Belanda membangun perkebunan tembakau pertama
di Srilanka (Jaffna). Hasil perkebunan tersebut dijual ke wilayah
Asia. Itulah kenapa cerutu sebetulnya berasal dari bahasa Tamil,
yaitu shuruttu, yang berarti “menggulung”. Ketika itu Pemerintah
Kolonial Belanda berhasil memonopoli perdagangan tembakau di
wilayah Asia Selatan dan Tenggara.40
Perkebunan tembakau di Indonesia baru dibangun pada
1800-an. Pemerintah
Kolonial Belanda
mengenalkan kretek
untuk membujuk
orang Jawa membeli
tembakau. Kretek
pertama kali
dibungkus “klobot”
atau daun kawung dan
diikat dengan benang.
Adapun kretek yang
digulung kertas (sigaret
kretek) pertama kali 1952: Pengangkutan tembakau menuju rumah fermentasi, di perkebunan
tembakau Sumatera Timur.
diproduksi massal Sumber Foto : Wikimedia.org
pada 1930-an oleh
Nitisemito di Kudus.41

Tembakau dan Tanam Paksa


Tembakau merupakan salah satu tanaman wajib dalam
sistem Cultuurstelsel (Tanam Paksa). Tanam Paksa merupakan
sistem yang diberlakukan Pemerintah Kolonial Belanda selama

40
Ibid.
41
Ibid.

Sebuah Paradoks Kehidupan 15


40 tahun (1830—1870) di Pulau Jawa. Petani dipaksa menanam
tanaman ekspor yang telah ditetapkan pemerintah kolonial Belanda
pada seperlima dari tanah mereka. Jenis-jenis tanaman semusim,
seperti tebu, indigo (nila), dan tembakau, diharuskan ditanam pada
lahan sawah secara berotasi dengan padi.Ciri lain Tanam Paksa
adalah keharusan bagi rakyat di Jawa untuk membayar pajak
mereka dalam bentuk barang, yaitu hasil-hasil pertanian mereka.
Sistem perdagangan hasil jenis-jenis tanaman tersebut juga
dikendalikan dan dimonopoli oleh Pemerintah Kolonial Belanda.
Selain menyebabkan kerusakan lingkungan hutan secara besar-
besaran, Tanam Paksa menyebabkan kemiskinan makin meruak.42
Pada 1870 Tanam Paksa secara formal berakhir. Pemerintah
Kolonial Belanda kemudian memberlakukan UU Agraria yang
memperkuat cengkeraman perkebunan besar. Pada 1874,
lahan hutan dibuka secara besar-besaran di Deli, pesisir timur
Sumatera. Kawasan tersebut dijadikan perkebunan tembakau
dengan mendatangkan kuli-kuli sebagai tanah perkebunan. Nasib
para kuli sangat menyedihkan. Mereka hidup dalam kemelaratan
dengan angka kematian yang sangat tinggi. Pada kurun waktu
tersebut tercatat bencana kelaparan menimpa penduduk di Jawa
Tengah (Jepara pada 1842; Demak/Grobogan pada 1849—1850)
dan di Jawa Barat (Cirebon tahun 1844—1846).43

B. Kebijakan Pertembakauan di Indonesia


Berdasar Rencana Strategis Kementerian Pertanian
tahun 2010-2014, komoditas Tembakau merupakan salah satu
dari 39 produk unggulan nasional. Tembakau merupakan produk
unggulan perkebunan non pangan.44 Selama ini pertambahan

42
Marwati Djoened Poesponegoro & Nugroho Notosusanto. 2008. Sejarah Nasional Indo-
nesia IV: Kemunculan Penjajahan di Indonesia, ±1700-1900(Jakarta: Balai Pustaka).
43
Jurnal Analisis Sosial , Volume 6, Issue 2 - Page 174
44
Rencana Strategis Kementerian Pertanian 2010-2014 hal 56, diunduh pada 2 Januari
2015 di http://www.pertanian.go.id/sakip/admin/file/renstra-setjen-2010-2014.pdf

16 Petani Tembakau di Indonesia


produksi perkebunan Tembakau tidak terlalu
besar hanya berkisar 3,75% dalam 4 tahun
(153 ribu ton tahun 2005 menjadi 176 ribu ton
tahun 2009).45 Sehingga salah satu target dari
rencana strategis kementerian pertanian
terhadap perkebunan Tembakau adalah
meningkatkan produksi Tembakau menjadi
184 ribu ton dengan produktifitas 893 kg/ha
pada tahun 2014.46,47
Meskipun demikian Tembakau
bersama 19 komoditas lain seperti kelapa
sawit, karet, kakao, kopi, lada, cengkeh,
teh, jarak pagar, dan nilam produksinya
ditingkatkan untuk prioritas tujuan penerimaan devisa/ekspor,
pemenuhan kebutuhan bahan baku industry dalam negeri dan
substitusi impor.48
Meskipun begitu agribisnis tembakau juga memiliki
beberapa permasalahan diantaranya kesulitan pemasaran karena
banyaknya sentra produksi dan kelompok tani yang belum tergabung
dalam kemitraan dengan perusahaan pengelola/pabrik rokok
dan juga kebutuhan bahan bakar untuk pengovenan yang masih
menggunakan minyak tanah. Disamping usaha pertembakauan
juga akan terpengaruh dengan adanya Framework Convention on
Tobacco Control (FCTC) yang melakukan pengendalian konsumsi
produk tembakau secara bertahap dalam jangka panjang baik dari
45
Rencana Strategis Kementerian Pertanian 2010-2014 hal 16, diunduh pada 2 Januari
2015 di http://www.pertanian.go.id/sakip/admin/file/renstra-setjen-2010-2014.pdf
46
Rencana Strategis Kementerian Pertanian 2010-2014 hal 67, diunduh pada 2 Januari
2015 di http://www.pertanian.go.id/sakip/admin/file/renstra-setjen-2010-2014.pdf
47
Rencana Strategis Direktorat Perlindungan Perkebunan 2010-2014, diunduh pada
2 Januari 2015 di http://www.pertanian.go.id/sakip/admin/file/Renstra_Ditjenbun_Re-
visi_II.pdf
48
Rencana Strategis Kementerian Pertanian 2010-2014 hal 57, diunduh pada 2 Januari
2015 di http://www.pertanian.go.id/sakip/admin/file/renstra-setjen-2010-2014.pdf

Sebuah Paradoks Kehidupan 17


segi supply maupun demand.
Kebijakan pertembakauan pemerintah melalui renstra
Kementan adalah melakukan penyeimbangan antara supply dan
demand, mengintroduksi pengembangan komoditi alternatif
serta mengkaji diversifikasi produk tembakau selain untuk rokok,
misalnya untuk farmasi atau insektisida.49
Dari segi peluang pasar tembakau dalam negeri masih cukup
baik dan masih dapat memenuhi kebutuhan industri rokok putih dan
rokok kretek. Peluang pemasaran Tembakau masih sangat potensial
untuk pasar ekspor cerutu karena tembakau Indonesia memiliki
karakter khas tersendiri yang dibutuhkan oleh industri cerutu di
Eropa.50
Sebagaimana tanaman semusim lainnya, budidaya Tembakau
juga memiliki beberapa tantangan yang mesti dihadapi diantaranya: 51
a. Adanya fluktuasi harga komoditas tanaman semusim baik
di tingkat nasional maupun internasional yang berpengaruh
terhadap perkembangan usaha budidaya tanaman
semusim;
b. Ketersediaan bibit unggul yang masih terbatas;
c. Terjadinya perubahan iklim secara global yang
mempengaruhi proses produksi budidaya tanaman
semusim;52
d. Keterbatasan lahan dan terjadinya alih fungsi lahan
pertanian menjadi fungsi lain;
49
Rencana Strategic Direktorat Tanaman Semusim Perkebunan 2010-2014, halaman
18-19, diunduh 2 Januari 2015, http://www.pertanian.go.id/sakip/admin/file/RENSTRA_SE-
MUSIM_TAHUN_2010-2014.pdf
50
Rencana Strategic Direktorat Tanaman Semusim Perkebunan 2010-2014, halaman
20, diunduh 2 Januari 2015, http://www.pertanian.go.id/sakip/admin/file/RENSTRA_SE-
MUSIM_TAHUN_2010-2014.pdf
51
Rencana Strategic Direktorat Tanaman Semusim Perkebunan 2010-2014, halaman
20-21, diunduh 2 Januari 2015, http://www.pertanian.go.id/sakip/admin/file/RENSTRA_SE-
MUSIM_TAHUN_2010-2014.pdf
52
http://finance.detik.com/read/2010/12/30/200905/1536346/4/ekspor-12-komoditas-
unggulan-perkebunan-terus-naik

18 Petani Tembakau di Indonesia


e. Terbatasnya ketersediaan sarana dan prasarana produksi.

C. Kontribusi Pertanian Tembakau terhadap Ekonomi


Kontribusi sektor dalam perekonomian dilihat dari Produk
Domestik Bruto (PDB). Angka ini dapat dihitung dengan Tabel Input
Output yang dikeluarkan oleh Badan Pusat Statistik (BPS). Tabel
Input Output dapat digunakan untuk menganalisis keterkaitan
antar sektor di dalam perekonomian dan kontribusi sektor-sektor
dalam perekonomian.

1. Peran Pertanian Tembakau terhadap Perekonomian


Nasional
Dengan menggunakan data Input Output 66 sektor pada
1995, 2000, 2005, 2008, dan 2010, terlihat bahwa kontribusi
pertanian tembakau dalam PDB berada pada peringkat ke-60, ke-
62, ke-64, ke-63, dan ke-64. Angka ini menunjukkan bahwa peran
pertanian tembakau dalam perekonomian tidak terlalu penting
jika dibandingkan dengan peran sektor lainnya, misalnya sektor
pertanian padi, sayur-mayur, dan buah-buahan, yang menempati
urutan ke-13 dan ke-14 (Lihat Tabel 3.1a dan 3.1b).

Sebuah Paradoks Kehidupan 19


Tabel 3.1a
Sumbangan Sektor Pertanian TembakauTerhadap Produk Domestik Bruto (PDB)
Untuk 66 Sektor, Indonesia 1995-2010

1995 2000 2005


Kode
Sektor
I-O Nominal Nominal Nominal
% Peringkat % Peringkat % Peringkat
(Rp T) (Rp T) (Rp T)

53 Perdagangan 62,645 11,71 1 186,188 13,63 1 331,987 2

52 Bangunan 35,748 6,68 3 76,573 5,61 3 206,862 2

Penambangan Minyak, gas


25 25,41 4,75 4 117,156 8,58 2 185,919 3
& Panas Bumi

41 Pengilangan Minyak Bumi 11,399 2,13 13 54,28 3,97 5 135,665 4

Usaha bangunan dan jasa


62 38,699 7,23 2 51,149 3,74 6 125,356 5
perusahaan

20 Petani Tembakau di Indonesia


...

34 Industri Rokok 10,419 1,95 15 21,859 1,6 19 44,784 1,56 20

14 Cengkeh 0,512 0,1 61 1,322 0,1 59 1,29 0,04 62

11 Tembakau 0,682 0,13 60 0,517 0,04 62 1,043 0,04 64

....

Total 535 1.366 2.876

Sumber: BPS. Tabel Input-Output 1995, 2000, 2005, 2008 dan 2010 (diolah)
Tabel 3.1b
Sumbangan Sektor Pertanian TembakauTerhadap Produk Domestik Bruto (PDB)
Untuk 66 Sektor, Indonesia 1995-2010
Kode Sektor 2008 2010
I-O Nominal % Peringkat Nominal % Peringkat
(Rp T) (Rp T)

53 Perdagangan 533,55 10,27 1 814,68 12.49 1


52 Bangunan 451,64 8,70 2 621,00 9.52 2
25 Penambangan 312,18 6,01 3 297,60 4.56 3
minyak,
gas & panas bumi

41 Pengilangan 237,67 4,58 4 290,11 4.45 4


minyak bumi
62 Usaha bangunan 207,52 4,00 5  256,24 3.93 5
dan
jasa perusahaan
  ...      

34 Industri Rokok 73,21 1,41 23 111,14 1.70 19


14 Cengkeh 2,42 0,05 60 3,74 0.06 61
11 Tembakau 1,83 0,04 63 1,44 0.02 64
  ...      

  Total 5.193     6.523

Sumber: BPS. Tabel Input-Output 1995, 2000, 2005, 2008 dan 2010 (diolah)

Secara nominal, kontribusi pertanian tembakau meningkat


dari Rp 0,68 triliun pada 1995 menjadi Rp 1,44 triliun pada 2010.
Namun laju peningkatannya tidak secepat dan sebesar sektor
lainnya, sehingga persentase kontribusinya menurun dari 0,13%
pada 2005 menjadi 0,02% pada 2010 (lihat Tabel 3.1a dan 3.1b).
Dengan demikian, secara nasional, klaim industri rokok tidak
berdasarkan pada data yang reliable, karena data menunjukkan
bahwa pertanian tembakau memang tidak berkontribusi besar
dalam perekonomian.

Sebuah Paradoks Kehidupan 21


2. Produksi Tembakau Indonesia di Tengah Produsen
Tembakau Dunia
Di antara negara-negara produsen tembakau, posisi
Indonesia menempati posisi 10 besar, di bawah Tiongkok, Brasil,
India, dan AS.Tiongkok merupakan negara penghasil daun
tembakau terbesar, yaitu 3,2 juta ton atau 42,7% dari produksi
dunia pada 2012, meningkat dari 3,0 juta ton pada 2010 (Lihat Tabel
3.2).

Tabel 3.2
Sepuluh Besar Negara Produsen Daun tembakau di Dunia (2010 dan 2012)
  Negara 2010 Negara 2012

 No. Dalam Ton % D a l a m %


Ton
1 Tiongkok 3.005.753 42,25 Tiongkok 3.201.850 42,7

2 Brasil 780.942 10,98 Brasil 810.550 10,8

3 India 755.500 10,62 India 875.000 11,7

4 AS 326.080 4,58 AS 345.837 4,6

5 Malawi 215.000 3,02 Indonesia* 226.704 3,0

6 Indonesia* 135.678 1,91 Malawi 151.500 2,0

7 Argentina 123.300 1,73 Argentina 148.000 2,0

8 Pakistan 119.323 1,68 Pakistan 115.000 1,1

9 Zimbabwe 109.737 1,54 Zimbabwe 98.000 1,3

10 Italia 97.200 1,37 Italia 84.000 1,5

Lainnya 1.445.452 20,32 Lainnya 1,434,224 19,1

  Dunia 7.113.965 100 Dunia 7.490.661 100,0

Sumber: http://faostat.fao.org/site/567/DesktopDefault.
aspx?PageID=567#ancor
*Statistik Perkebunan Indonesia 2011-2013: Tembakau, 2012, Kementerian Pertanian)

Jika empat negara penghasil tembakau terbesar digabung,


yaitu Tiongkok, Brasil, India, dan AS, maka produksi daun tembakau

22 Petani Tembakau di Indonesia


negara-negara tersebut mencapai 5,3 juta ton atau sekitar 70%
dari total produksi dunia pada 2012. Sementara itu, pada tahun
yang sama, posisi Indonesia berada peringkat kelima dengan
jumlah produksi sebesar 226.704 ton atau sekitar 3,0% dari total
produksi tembakau dunia. Pada 2010 Indonesia masih berada pada
peringkat keenam dengan produksi 135.678 ton atau 2% dari total
produksi dunia.
Produksi tembakau Indonesia mengalami fluktuasi pada
periode 2000—2012. Penyebab fluktuasi tersebut, antara lain,
adanya penurunan luas lahan dan kualitas tembakau, karena
hama dan cuaca. Selama kurun waktu 12 tahun itu, produksi daun
tembakau mengalami peningkatan sebesar 11% dari 204.3000
ton menjadi 226.7000 ton. Peningkatan produksi tembakau terjadi
mulai 2011 karena adanya peningkatan luas lahan tembakau dari
204.450 hektar pada 2009 menjadi 228.770 hektar pada 2011 (Lihat
tabel).
Produksi tembakau pada dasarnya tidak menjadi menjadi
komoditas unggulan di semua propinsi di Indonesia. Hanya tiga
propinsi yang menjadi penghasil utama tembakau di Indonesia,
yaitu Jawa Timur, Jawa Tengah, dan Nusa Tenggara Barat (NTB).
Pada 2011, produksi tembakau di tiga propinsi ini mencapai 195.000
ton atau 91% dari total produksi tembakau nasional. Sementara
pada 2012, produksi di tiga propinsi ini meningkat menjadi 205.000
ton. Namun persentase jumlah produksinya menurun menjadi
90% dari total produksi tembakau nasional. Persentase Propinsi
Jawa Timur sebagai penghasil tembakau meningkat dari 53%
pada 2011 menjadi 60% pada 2012. Angka-angka ini menunjukkan
bahwa Jawa Timur mengalami peningkatan produksi tembakau
yang cukup besar. Adapun propinsi-propinsi yang memproduksi
tembakau kurang dari 10% adalah Jawa Barat, Sumatera Utara,
Sulawesi Selatan, dan Bali (Lihat Tabel 3.4).

Sebuah Paradoks Kehidupan 23


Tabel 3.3
Produksi Tembakau Indonesia (ton) Tun 2000-2012
Tahun Total Produksi
2000 204.329
2001 199.103
2002 192.082
2003 200.875
2004 165.108
2005 153.470
2006 146.265
2007 164.851
2008 168.037
2009 176.510
2010 135.678
2011 214.524
2012 226.704*
*angka sementara
Sumber: Statistik Perkebunan Indonesia 2010-2012: Tembakau, Kementerian Pertanian, 2013.

Tabel 3.4
Produksi Tembakau menurut Propinsi (2011, 2012)
2011 2012
Propinsi Produksi Presentase Produksi Presentase
(ton) (%) (ton) (%)
Jawa Timur 114.816 53,5 136.329 60,1
NTB 40.992 19,1 38.507 17,0
Jawa Tengah 39.411 18,4 30.078 13,3
Jawa Barat 8.086 3,8 8.081 3,6
Sumatera Utara 2.320 1,1 2.951 1,3
Sulawesi Selatan 2.491 1,2 3.629 1,6
Bali 1.671 0,8 1.585 0,7
Lainnya 7.057 2,2 5.544 2,4
Jumlah 214.524 100,0 226.704 100,0
Catatan: Data 2012 masih data sementara
Sumber: Statistik Perkebunan Indonesia 2010-2012: Tembakau, Kementerian Pertanian, 2011.

24 Petani Tembakau di Indonesia


Menurut data dari Kementan, tembakau diusahakan oleh
perkebunan rakyat dan perkebunan negara.Tidak ada perusahaan
swasta yang tertarik berinvestasi di sektor pertanian tembakau.
Perkebunan rakyat mendominasi luas panen dan produksi
tembakau. Pada 2012 luas panen perkebunan rakyat mencapai
224.240 ha dengan produksi 223.946 ton, sedangkan luas panen
perkebunan negara mencapai 2.880 ha dengan produksi 2.758 ton.
Diantara pulau-pulau di Indonesia, Jawa menempati urutan teratas
yang memproduksi tembakau. Hal ini didukung oleh keberadaan
industri rokok yang tersebar di Jawa Timur dan Jawa Tengah, baik
skala besar, menengah, maupun kecil.

Tabel 3.5
Luas Panen dan Produksi Tembakau menurut Pulau dan Pengusahaan (2012)
Perkebunan Rakyat Perkebunan Negara Jumlah
Pulau
Luas panen Produksi Luas Produksi Luas panen Produksi
(ha) (ton) panen (ha) (ton) (ha) (ton)

Sumatera 3.899 4.247 2.340 2.333 6.239 6.580

Jawa 185.665 175.594 540 425 186.205 176.019

Nusa Tenggara 31.556 40.430 - - 31.556 40.430

Sulawesi 3.120 3.676 - - 3.120 3.676

Jumlah 224.240 223.946 2.880 2.758 227.120 226.704

Sumber: Statistik Perkebunan Indonesia 2010-2012: Tembakau, Kementerian


Pertanian, 2011.

3. Luas Lahan Pertanian Tembakau


Selama 12 tahun, luas lahan pertanian tembakau mengalami
fluktuasi. Pada 2000, luas lahan pertanian tembakau mencapai
239.000ha, kemudian meningkat menjadi 256.000ha pada 2003.
Pada 2006, luas lahanpertanian tembakau yang menyusut menjadi
172.000 ha, kembali meningkat pada 2011 menjadi 228.000 ha (Lihat
tabel 3.6). Peningkatan ini terjadi akibat permintaan tembakau
yang meningkat dari industri rokok.

Sebuah Paradoks Kehidupan 25


Tabel 3.6
Persentase Luas Lahan Tembakau Terhadap Dan Lahan Pertanian (2000—2012)
Tahun Luas Lahan Tem- Luas Lahan Pertani- % Lahan tembakau ter-
bakau (ha) an (ha) (dlm 000) hadap lahan pertanian
2000 239.737 45.677 0,52

2001 260.738 46.300 0,56

2002 256.081 46.881 0,55

2003 256.801 49.406 0,52

2004 200.973 51.766 0,39

2005 198.212 49.246 0,40

2006 172.234 50.200 0,34

2007 198.054 51.000 0,39

2008 196.627 52.000 0,38

2009 204.405 53.600 0,38

2010 216.271 54.600 0,39

2011 228.770 54.500 0,42


Sumber: FAO (http://faostat.fao.org/site/339/default.aspx pada 28 Mei 2012). Untuk
data lahan pertanian, lihat juga Statistik Perkebunan Indonesia 2010—2012: Tembakau,
Kementerian Pertanian, Direktorat Jenderal Perkebunan.

Jika dilihat luas lahan pertanian, ada peningkatan luas yang


konsisten sejak 2000—2011, yaitu dari 45,6 juta ha menjadi 54,5
juta ha (ada tambahan hampir 9 juta ha selama 12 tahun terakhir).
Jika dibandingkan antara luas lahan tembakau dan luas lahan
pertanian, ada kecenderungan presentasenya menurun dari 0.52%
pada 2000 menjadi 0,42% pada 2011 (lihat tabel3.6). Angka-angka
ini mencerminkan bahwa luas lahan pertanian tembakau menurun
dibandingkan dengan luas lahan pertanian pada umumnya.
Ekstensifikasi lahan pertanian berhasil menambah luas lahan
pertanian, terutama di luar Jawa.

26 Petani Tembakau di Indonesia


Tabel 3.7
Luas Lahan Tembakau menurut Propinsi, menurut hektar (ha), Indonesia
(2011—2012)

2011 2012
Propinsi

Lahan (ha) Persentase Lahan (ha) Persentase

Jawa Timur 130.824 57.2 152.934 61.2

Jawa Tengah 45.932 20.1 43.734 17.5

NTB 29.434 12.9 29.066 11.6

Jawa Barat 9.188 4.0 9.225 3.7

Sulawesi Selatan 2.557 1.1 2.398 1.0

Sumatera Utara 2.906 1.3 3.178 1.3

DIY 2.083 0.9 2.143 0.9

Lainnya 5.846 2.6 7.103 2.8

Jumlah 228.770 100.0 249.781 100.0


Catatan: Data 2012 masih data sementara
Sumber: Statistik Perkebunan Indonesia 2008—2009dan 2009—2011: Tembakau,
Kementerian Pertanian, Direktorat Jenderal Perkebunan.

Sebagaimana produksi tembakau, luas lahan pertanian


tembakau juga hanya terkonsentrasi di tiga propinsi. Pada 2011,
luas lahan pertanian tembakau yang mencapai 206.000 ha (90%)
dari total lahan tembakau yang terfokus di tiga propinsi, yaitu Jawa
Timur (57%), Jawa Tengah (20%), dan Nusa Tenggara Barat (13%).
Adapun sekitar 8% luas lahan pertanian tembakau tersebar di
beberapa propinsi, yaitu Jawa Barat, Sulawesi Selatan, Sumatera
Utara, dan Daerah Istimewa Yogyakarta(LihatTabel 3.7).

4. Jumlah Petani dan Tenaga Kerja Sektor Pertanian


Tembakau
Selama ini industri rokok dan asosiasi petani tembakau
mengklaim bahwa petani tembakau berjumlah jutaan orang. Klaim

Sebuah Paradoks Kehidupan 27


ini tidak mengherankan mengingat mereka memasukkan seluruh
anggota keluarga sebagai petani tembakau. Namun jika merujuk
pada Kementan, jumlah petani tembakau sebetulnya tak lebih dari
satu juta orang.Selama kurun waktu 2000—2012, jumlah petani
tembakau mengalami fluktuasi, antara 500.000—900.000 orang.
Jika dibandingkan dengan jumlah petani di sektor pertanian,
maka fluktuasi persentasenya berkisar antara 1,2%—2,3%.
Selama periode 2000—2012, jumlah petani tembakau mengalami
kenaikan, baik secara absolut maupun relatif,terhadap jumlah
seluruh pekerja, dari 665.000 menjadi 786.000 atau naik sebesar
18% (Lihat Tabel 3.8).

Tabel 3.8
Proporsi Petani Tembakau terhadap Jumlah Pekerja di Sektor Pertanian
(2000—2012)
% petani tembakau terhadap
Petani Tem- Jumlah pekerja di
Tahun jumlah pekerja di sekor
bakau sektor pertanian (000)
pertanian
2000 665.292 40.667 1,6
2001 913.208 39.744 2,3
2002 808.897 40.634 2,0
2003 714.699 43.042 1,7
2004 693.551 40.608 1,7
2005 683.603 41.814 1,6
2006 512.338 42.323 1,2
2007 597.501 42.608 1,4
2008 581.978 42.689 1,4
2009 628.320 43.029 1,5
2010 679.627 42.826 1,6
2011 761.310 42.475 1,8
2012 786.222* 41.205 1,9
Catatan: * angka sementara, ** estimasi
Sumber: a) Statistik Perkebunan Indonesia 2011-2013: Tembakau, Kementerian
Pertanian, 2012.b) Keadaan Angkatan Kerja di Indonesia (Sakernas) 2000-2013, BPS,
Jakarta

28 Petani Tembakau di Indonesia


5. Nilai Perdagangan Ekspor dan Impor Tembakau
Selain itu, salah satu masalah pertanian tembakau adalah
besarnya nilai impor ketimbang ekspor. Dengan alasan bahwa
produksi tembakau di dalam negeri tidak mencukupi kebutuhan, maka
industri rokok mengimpor tembakau dari berbagai negara,terutama dari
Tiongkok. Jika dilihat angkanya, angka impor jauh lebih besar ketimbang
ekspor.Dilihat dari nilai net ekspor (ekspor dikurangi impor), selama
2000—2011, Indonesia selalu mengalami net ekspor negatif (lebih banyak
mengimpor dibandingkan mengekspor). Walaupun nilai net ekspor negatif
tersebut besarnya cenderung fluktuatif, akan tetapi pada lima tahun
terakhir, nilai net ekspor Indonesia semakin negatif. Dengan demikian,
Indonesia makin banyak mengimpor daun tembakau (Lihat Tabel
3.9). Pada 2011, misalnya, nilainya mencapai US$ -360.490.
Angka ini mencerminkan dua hal: (1) produksi tembakau dalam
negeri makin tertekan karena membanjirnya tembakau impor; (2)
cadangan devisa berkurang.

Tabel 3.9
Nilai, Ekspor, Impor and Nilai Ekspor Bersih (Net) Daun tembakau, Indonesia
(1990—2011)
Nilai Ekspor US$ Nilai Impor US$ Nilai Net Ekspor US$
Tahun
(000) (000) (000)
2000 71.287 114.834 -43.547
2001 91.404 139.608 -48.204
2002 76.684 105.953 -29.269
2003 62.874 95.190 -32.316
2004 90.618 120.854 -30.236
2005 117.433 179.201 -61.768
2006 107.787 189.915 -82.128
2007 124.423 267.083 -142.660
2008 133.196 330.510 -197.314
2009 172.629 290.170 -117.541
2010 195.633 378.710 -183.077
2011 146.698 507.188 -360.490
Sumber: Statistik Perkebunan Indonesia 2010-2012: Tembakau, Kementerian Pertanian, 2013

Sebuah Paradoks Kehidupan 29


Tabel 3.10
Impor Tembakau Virginia*
menurut Negara Asal, Kuantitas dan Nilai, 2011
Negara Kuantitas Nilai impor

(000 kg) (US$ 000)

Jumlah % Jumlah %

Tiongkok 24,022 43.4 118,481 45.2

Brasil 10,500 19.0 51,181 19.5

AS 2,983 5.4 22,198 8.5

India 4,453 8.0 17,102 6.5

Filipina 4,036 7.3 15,180 5.8

Turki 1,849 3.3 6,498 2.5

Lainnya 6,147 11.1 23,469 8.9

Total 55,398 100.0 262,230 100.0

*Keterangan: Tembakau Virginia yang dihitung dalam tabel ini meliputi: a) Virginia
tobacco, not stemmed/strip/flue cured; b) Virginia tobacco partly/wholly stemmed/
stripped, flue cured
Sumber: Statistik Perkebunan Indonesia 2010-2012: Tembakau, Kementerian Pertanian,
2013.

Salah satu jenis tembakau yang banyak diimpor adalah


tembakau Virginia untuk memenuhi kebutuhan industri rokok
putih. Secara keseluruhan nilai impor tembakau Virginia pada
2011 mencapai 55 juta ton atau senilai US$ 262,2 juta. Tiongkok
merupakan negara pengekspor terbesar tembakau Virginia,
mencapai US$ 118,5 juta (45,2%), disusul Brasil sebesar US$
51,1 juta (19,5%) dan AS sebesar US$ 22,1 juta (8,5%) (Lihat Tabel
3.10).

30 Petani Tembakau di Indonesia


D. Kondisi Petani Tembakau di Indonesia
Petani tembakau di Indonesia menjalani kehidupan yang
berbanding terbalik dengan pencapaian industri tembakau.
Beberapa bagian berikut menggambarkan kondisi petani tembakau
di Indonesia.

1. Tingkat Kesejahteraan Petani Tembakau


Media massa di Indonesia amat jarang—untuk mengatakan
tidak ada—melakukan reportase tentang kehidupan petani
tembakau yang sesungguhnya. Begitu pula dengan penelitian
tentang kehidupan petani tembakau di kantong-kantong utama
perkebunan tembakau yang masih sangat minim.
Dari kajian yang sedikit itu, salah satu riset yang dapat
dijadikan rujukan adalah penelitian yang dilakukan Lembaga
Demografi Fakultas Ekonomi Univesitas Indonesia (LDFEUI)
dan Tobacco Control Support Centre—Ikatan Ahli Kesehatan
Masyarakat Indonesia (TCSC—IAKMI). Riset ini dilakukan di tiga
daerah yaitu, Kendal (Jawa Tengah), Bojonegoro (Jawa Timur), dan
Lombok Timur (Nusa Tenggara Barat—NTB).53
Riset dengan jumlah responsen sebanyak 451 orang
buruh tani dan 66 orang petani penggarap ini menggambarkan
beberapa hal penting. Pertama, kondisi rumah petani yang tidak
layak. Sebanyak 42% petani pengelola (pemilik, penyewa, dan bagi
hasil) tinggal di rumah yang berlantai tanah, 44% lainnya tinggal
di rumah yang berlantai semen, hanya 8% yang tinggal di lantai
keramik. Selain itu,sebanyak 58% buruh tani tinggal di rumah
yang berlantai tanah, 35% tinggal di rumah yang berlantai semen,
serta hanya 4% yang tinggal dirumah yang berlantai keramik.
Kedua, tingkat pendidikan petani dan buruh tani tembakau sangat
rendah.Sebagian besar petani pengelola (64%) berpendidikan SD
53
John C Keyser dan Nina Ratna Juita. 2012. “Smallholder Tobacco Grown in Indonesia;
Cost and Probability Compared with Other Agriculture Enterprise” dalam TCSC. 2012. Bun-
ga Rampai Fakta Tembakau dan Permasalahannya di Indonesia. (Jakarta: TCSC-IAKMI),
hal 49—50.

Sebuah Paradoks Kehidupan 31


kebawah. Begitu pula dengan buruh tani yang sebagian besar
(69%) juga berpendidikan SD ke bawah.Ketiga, upah rendah yang
diterima buruh tani. Rata–rata upah harian buruh tani sebesar Rp
15.899 perhari atau sekitar Rp413.374 perbulan, dengan asumsi 26
hari kerja. Upah ini hanya 47% dari rata-rata upah nasional yang
mencapai Rp883.693 perbulan. Artinya, upah buruh tani tembakau
hanya separuh upah rata-rata nasional. Dibandingkan dengan
Upah Minimum Kabupaten/Kota (UMK) di daerah penelitian, upah
buruh tani tembakau juga masih lebih rendah.54
Di Bojonegoro, Jawa Timur, buruh tani menerima upah Rp
17.756 perhari atau Rp461.656 perbulan.Jumlah ini setara dengan
73% dari UMK yang sebesar Rp630.000 perbulan. Di Kendal, Jawa
Tengah, buruh tani menerima upah Rp 16.037 perhari atau Rp
416.962 perbulan atau 68% dari UMK sebesar Rp615.000 perbulan.
Di Lombok Timur, NTB, buruh tani menerima upah Rp13.920 perhari
atau Rp361.920 perbulan. Angka ini setara dengan 49% dari UMK
setempat yang besarnya mencapai Rp 730.000 perbulan.55
Disisi lain, petani tembakau mendapatkan keuntungan rata-
rata selama satu kali musim tanam sebesar Rp 4.061.800. Jika satu
musim rata-rata berlangsung selama empat bulan, maka petani
hanya mendapatkan keuntungan sekitar Rp1 juta. Penghasilan ini
relatif kecil jika dibandingkan dengan risiko usaha yang ditanggung
oleh petani pengelola, seperti cuaca, hama, dan turunnya harga
daun tembakau.56
Hasil riset tersebut menggambarkan kondisi kesejahteraan
petani tembakau dan buruh tani yang jauh dari selayaknya.

54
Ibid.
55
Ibid.
56
Ibid.

32 Petani Tembakau di Indonesia


2. Kebijakan Tata Niaga Tembakau di Indonesia
Tata niaga merujuk pada sistem perdagangan komoditas
tertentu yang mencakup proses dan kondisi yang terjadi, mulai
pemasaran hingga komoditi itu sampai di tangan konsumen.57
Adapun istilah tata niaga tembakau yang digunakan di sini merujuk
pada sistem atau mata rantai pemasaran tembakau dari petani
hingga ke konsumen.
Dalam hal ini, tembakau diposisikan sebagai barang bebas
yang tidak diatur tata niaganya. Oleh karena itu, harga tembakau
ditentukan berdasarkan kualitas tembakau dan kebutuhan pabrik
yang menggunakannya. Pemerintah tidak membangun regulasi
apapun dalam hal ini.58
Tembakau tidak dikategorikan sebagai komoditas unggulan
yang diperhatikan negara. Bahkan Kementan sendiri tidak
memiliki perhatian lebih terhadap komoditas Tembakau. Asumsi
ini diperkuat oleh absennya kebijakan nasional yang secara khusus
mengatur mengenai komoditas tembakau. Alhasil, pengaturan
komooditas tembakau diserahkan sepenuhnya pada mekanisme
pasar. Di beberapa daerah di Madura (Sumenep dan Pamekasan)
tata niaga tembakau memang diatur oleh regulasi lokal, namun

57
KamusBesarBahasaIndonesia, http://kbbi.web.id/tata+niaga, diakses pada 30 Desember
2014.
58
Pemerintah Diminta Atur Harga Tembakauhttp://www.tempo.co/read/
news/2014/08/08/090598160/Pemerintah-Diminta-Atur-Harga-Tembakau. Diakses pada 10
Nopember 2014.

Sebuah Paradoks Kehidupan 33


pelaksanaannya tidak dapat berjalan lancar.59
Tiadanya pengaturan secara khusus melahirkan akibat
lain. Sekjen Organisasi Petani Merapi Merbabu (OPMM) Soeseno
menyatakan bahwa bahwa penambahan nilai ekonomi tembakau
itu 60% terjadi di tingkat pedagang, sementara di kalangan petani
hanya mendapatkan 19% saja.60Bagian berikut menggambarkan
beberapa permasalahan dalam tataniaga tembakau.

Struktur Pasar Oligopsoni


Oligopsoni adalah keadaan dimana dua atau lebih pelaku
usaha menguasai penerimaan pasokan atau menjadi pembeli
tunggal atas barang dan/atau jasa dalam suatu pasar komoditas.61
Struktur semacam ini terjadi pada pasartembakau yang dikuasai
oleh segelintir perusahaan besar saja. Sebanyak 65% dari pasar
industri rokok di Indonesia hanya dikuasai oleh empat perusahaan
besar, yaitu HM Sampoerna, Djarum, Bentoel, dan Gudang
Garam.62
Sementara di level global, lebih dari 96% tembakau memang
hanya diserap dan digunakan untuk memenuhi permintaan produk
tembakau dalam bentuk rokok atau cerutu.63 Belum ada industri
hasil tembakau yang massif, selain industri rokok. Meskipun
dipahami bahwa tembakau bisa digunakan untuk kegunaan lain
disamping rokok. Namun kondisi ini menempatkan industri rokok
dalam posisi yang sangat berkuasa terhadap semua pemangku
kepentingan dalam tata niaga tembakau, termasuk petani dan
tengkulak.
59
Lihat http://www.maduracorner.com/perda-tata-niaga-tembakau-sulit-ditegakkan/, di-
akses pada 25 Oktober 2014.
60
http://edisicetak.joglosemar.co/berita/sistem-tata-niaga-tembakau-merugikan-petani-
112686.html
61
http://id.wikipedia.org/wiki/Oligopsoni diakses pada 25 Oktober 2014.
62
Tobacco Control Support Center – IAKMI. Op.cit.
63
American Cancer Society. Op.cit.

34 Petani Tembakau di Indonesia


Penetapan Mutu dan Harga
Penilaian mutu tembakau ditentukan secara manual dan
visual. Ukuran standar mutu tembakau meliputi warna, pegangan/
body, aroma, tingkat kekeringan, kebersihan, kemurnian, ketuaan
daun, posisi daun dan lebar rajangan.64 Dari beberapa kriteria
tersebut, tembakau diklasifikasikan ke dalam beberapa jenis mutu
yang menentukan harga masing-masing.65 Dari cerita ini tampak
bahwa penilaian mutu tembakau masih didominasi oleh pemilik
pabrik.
Penentuan harga tembakau bersifat fancy product. Harga
ditentukan oleh mutu tembakau yang dihasilkan. Akibatnya, harga
bisa berubah tergantung kepada tingkatan mutu tembakau yang
dijual. Dalam posisi ini, grader sebagai pihak yang menentukan
harga tembakau berkuasa penuh untuk menentukan suatu
tembakau masuk ke grade yang mana. Pada praktiknya, petani
acapkali menjadi pihak yang dirugikan.

Tata Niaga yang Panjang


Tata niaga tembakau menggunakan pola bertingkat,
sehingga aktor yang terlibat dalam tata niaga tembakau banyak
sekali. Adapun para aktor tersebut adalah bandol (perantara),
tengkulak, dan tauke (pemilik gudang).66
Sistem tautan juragan atau bandol inilah mekanisme yang
paling populer di kalangan petani tembakau. Rantai tata niaga
yang panjang semacam ini cenderung menempatkan petani dalam
posisi yang kurang diuntungkan, karena pabrik tidak bersedia

64
Thomas Santoso. 2001. “Tata Niaga Tembakau di Madura”. Jurnal Manajemen &
Kewirausahaan Vol. 3, No. 2, September 2001.
65
Di Temanggung, tembakaudiklasifikasikankedalam grade A–F. Semakinjauh alphabet,
semakintinggiharganya. Sementara di Madura tembakaudiklasifikasikanmenjadi I–IV den-
ganukurandariamatbaiksampaisedang.
66
Thomas Santoso. Op.cit.

Sebuah Paradoks Kehidupan 35


bertransaksi langsung dengan petani. Hal ini menempatkan posisi
juragan dalam posisi yang sentral. Ia memiliki akses eksklusif
terhadap pabrik.

3. Posisi Tawar Petani di Temanggung dan Madura


Bagian ini menguraikan posisi tawar petani tembakau yang
sangat lemah dalam tata niaga tembakau, bahkan di level paling
mikro sekalipun. Untuk memberikan gambaran yang jelas, bagian
ini menguraikan dua kasus yang diteliti, yaitu Kasus Temanggung
dan Kasus Madura, dua daerah yang menjadi kantong perkebunan
tembakau.

a. Kasus Temanggung
Tembakau, bagi masyarakat Kabupaten Temanggung,
menjadi bagian dari urat nadi kehidupan. Tembakau bahkan sudah
dianggap sebagai “heritage”, karena budidaya tembakau dilakukan
secara turun-temurun dari nenek moyang petani di daerah lereng
Gunung Sindoro Sumbing.
Tembakau Temanggung terkenal dengan srinthil, yaitu
tembakau dengan kualitas tinggi dengan kadar nikotin yang tinggi
pula dan biasanya dipakai untuk produksi rokok kretek. Pada 1980-
an, satu keranjang tembakau srinthil bisa ditukar dengan sebuah
mobil hardtop keluaran terbaru dari pabrik otomotif Toyota. Hal
ini mencerminkan betapa besar nilai produk tembakau srinthil
di Temanggung. Namun, seiring berjalannya waktu dan berbagai
perubahan alam, jenis tembakau srinthil makin sulit didapat. Hal
ini diperburuk oleh kondisi cuaca yang tidak mendukung.
Masalah lain yang tak kalah penting adalah rendahnya
posisi tawar petani. Mereka menggantungkan produk tembakaunya
pada para tengkulak, juragan, dan pabrikan. Hingga kini tata
niaga tembakau di Kabupaten Temanggung masih menggunakan
sistem monopsoni, yaitu jual-beli dengan jumlah penjual yang

36 Petani Tembakau di Indonesia


banyak,sementara jumlah pembeli hanya beberapa.67
Tata niaga tembakau di Temanggung menunjukkan
perdagangan yang tidak seimbang antara petani dan juragan
(grader/perwakilan pabrik besar). Lingkaran jual-beli dimulai
dari petani menjual ke tengkulak, kemudian tengkulak menjual
ke pemilik gudang (grader), dan akhirnya, pemilik gudang (grader)
akan menjualnya ke pabrik besar, yang hanya berjumlah 2—4pabrik
besar.
Para juragan mengutus tengkulak (bakul) turun ke desa-
desa untuk membeli tembakau. Para tengkulak itu menawarkan
kesepakatan pembelian tembakau yang masih dijemur oleh
petani.Mereka meninggalkan ”girik”atau selembar kertas sebagai
cek kepada petani sebagai
akad jual-beli dengan
harga tertentu yang sesuai
dengan kesepakatan.
Setelah tembakau
kering dan dibungkus
dalam keranjang, keesokan
harinyapetani membawa
tembakau ke gudang
sesuai dengan perjanjian
dengan tengkulak yang
datang ke rumahnya.
Namun sesampainya di
gudang, harga tembakau
yang tertera di dalam
girik tersebut belum tentu
disepakati oleh juragan
sumber foto : Fauzi Ahmad Noor

67
Sistem tata niaga tembakau semacam ini sering diplesetkan “seperti setan”.Istilah yang
beredar di masyarakat adalah ”soto” (tembakau) = setan (hantu)”. Tata niaga di Temang-
gung makin buruk karena adanya tekanan dari pabrik, sistem timbangan yang tidak men-
guntungkan petani, dan permasalahan jeratan hutang petani kepada juragan.

Sebuah Paradoks Kehidupan 37


pemilik gudang. Harga tembakau yang semula sudah disepakati
antara petani dengan tengkulak acapkali dipermainkan oleh
juragan pemilik gudang.
Kondisi ini diperburuk oleh adanya potongan timbangan
sebagai ”ansion” (kelebihan timbangan yang digunakan untuk
antisipasi dari pemilik gudang jika kualitas tembakau tidak sesuai
dengan standar). Ironisnya, potongan ansion tersebut dikenakan
kepada petani rata-rata sebesar 15—20% dari berat tembakau
mereka. Model ansion semacam ini terjadi juga pada tata niaga
tembakau di daerah lain, meskitidak sebesar di Temanggung.
Hingga kini petani tembakau tidak pernah menanyakan
kenapa potongan untuk ansion sedemikian besarnya. Sedangkan
para tengkulak dan juragan tidak mau rugi, karena dengan
potongan yang tinggi dari petani saja mereka sudah mendapatkan
untung yang besar.
Berdasarkan hasil prasurvei kepada para petani dan
tengkulak, mereka berpendapat bahwa ansion tersebutselainmasuk
ke gudang jugadigunakan sebagai pajak atau masuk ke kas
daerah. Petani tidak mengetahuinya secara jelas dan transparan,
bagaimana realisasinya dan apa tindaklanjut dari penggunaanya.
Jika rata-rata produksi tembakau di Kabupaten Temanggung
sebesar 4.000 ton saja setiap tahunnya, dan jika rata-rata setiap
keranjang dapat memuat 40 kg, maka hal itu berarti bahwa terdapat
100.000 keranjang setiap tahun. Jika setiap keranjang dipotong rata-rata
20% (10% untuk keranjang dan 10% untuk ansion), maka untuk ansion
saja mencapai 400 ton. Jika harga rata-rata tembakau dihitung perkilonya
Rp 20.000,- saja, maka nilai ansoin mencapai Rp8 Miliar.Angka sebesar
itu sangat signifikan untuk menambah Pendapatan Asli Daerah (PAD)
Kabupaten Temanggung. Dan apabila kita amati lebih lanjut, Kabupaten
Temanggung sudah puluhan tahun menikmati panen tembakau dengan
hasil yang melimpah. Jika angka itu tidak hanya masuk ke juragan dan
murni untuk kas daerah, maka pembangunan dan kesejahteraan
di Temanggung tentu akan lebih banyak dinikmati masyarakat.

38 Petani Tembakau di Indonesia


Truk mengangkut tembakau ke gudang-gudang penampungan.
Sumber Foto : Fauzi Ahmad Noor

Jika ditelusuri ke belakang, tembakau di Temanggung


merupakan tanaman komoditi untuk keperluan industri rokok
berskala kecil di daerah pedesaan. Kini, industri rokok berskala
besar membangun perwakilan. Hal ini mengakibatkan matinya
industri rokok berskala kecil. Situasi makin sulit bagi petani
ketika tata niaga tembakau yang tidak berpihak kepada mereka.
Petani tembakau di Temanggung tidak menikmati hasil produksi
tembakau. Mereka juga tidak memiliki jaminan atas resiko produksi
dan resiko harga yang mungkin mereka hadapi.
Resiko produksi sangat dipengaruhi faktor alam, yaitu
cuaca yang tidak stabil dan tidak menentu. Sudah menjadi tradisi
turun temurun apabila memasuki bulan Mei atau sudah akhir
dari musin penghujan sudah mulai menanam tembakau. Mereka
berharap hujan turun dengan intensitas sedang, sehingga bibit
tembakau mendapatkan pengairan dari hujan. Masa panen jatuh
pada Agustus—Oktober (musim kemarau) dan diharapkan hasil
tembakau mendapatkan cukup cahaya matahari untuk pengeringan.
Namun cuaca tidak menentu dan tidak bisa diprediksi. Gagal panen

Sebuah Paradoks Kehidupan 39


dan gagal produksi sering terjadi karena faktor ini, khususnya sejak
2007 hingga sekarang.
Adapun resiko harga sangat dipengaruhi oleh tata niaga
tembakau. Petani di Temanggung, misalnya, tidak bisa langsung
menjual produksi olahan tembakau kepada pabrik, tetapi harus
melalui mata rantai perdagangan yang panjang dan penuh
ketidakpastian.
Hasil produksi tembakau yang sudah siap dijual biasanya
ditampung terlebih dahulu oleh juragan atau tengkulak atau
pedagang kecil dengan harga yang belum pasti. Prediksi harga yang
ditulis tengkulak di sebuah kertas cigaret (girik)memang menjadi
patokan awal harga. Namun tembakau yang sudah dikemas
kedalam keranjang dibawa oleh juragan/tengkulak tanpa uang
muka. Setelah itu, hasil tembakau ditampung oleh pedagang besar
untuk dikumpulkan dan disimpan beberapa saat agar terkumpul
sambil menunggu perwakilan pabrik rokok membuka gudangnya
untuk pembelianpengadaan stok tembakau.
Perwakilan gudang pabrik besar biasanya akan membuka
gudang untuk menambah stok tembakau setelah masa panen tiba
dan biasanya membuka kuota pembelian dengan sangat terbatas.
Hal ini merupakan strategi untuk mendapatkan barang berkualitas
baik, tetapi dengan harga yang sangat rendah. Peran grader yang
menentukan kualitas dan harga dari perwakilan pabrik inilah yang
sangat menentukan harga tembakau. Grade kualitas tembakau
biasanya terbagi menjadi enam tingkatan/grade, yaitu dari A
sampai dengan F. Harga tersebut ditentukan nilai harganyasecara
berjenjang. Biasanya harga pergrade dari tahun ke tahun sangat
bervariasi dan tidak selalu sama, tergantung ketersediaan stok,
jumlah produksi secara massal, atau sesuai hukum ekonomi (jika
ketersediaan banyak, maka harga rendah, begitu sebaliknya).
Katakanlah harga tembakau dengan kualitas C
ditentukan oleh grader dengan harga Rp 75.000,- Pedagang besar
menerima harga tersebut dikalikan dengan jumlah kilogram

40 Petani Tembakau di Indonesia


Sumber : derawidjaja.wordpress.com

tembakau yang dijual atau disetorkan. Karena pedagang besar


atau cukong mempunyai akses yang baik dengan pabrik dan
hanya melalui cukong hasil tembakau bisa diterima oleh pabrik,
maka cukong mengambil keuntungan yang tidak sedikit (rata-
rata 20%-30%per kilogram). Pedagang besar akan membayar
kepada pedagang kecil atau juragan/tengkulak dengan harga
Rp 50.000,- perkilogram, kemudian oleh pedagang kecil dengan
berbagai alasansepertipengembalian modal, tranportasi, sewa
gudang, dan lain-lain, maka harga yang diterima oleh petani bisa
berkisar antara Rp 15.000-Rp 20.000 (sekitar 10%-30%) dari harga
jual sesungguhnya. Padahal petani masih harus menanggung
biaya produksi, seperti membayar buruh tanam, buruh pengrajin
tembakau, pupuk, dan lain-lain. Cerita ini menguatkan fakta
bahwa pada akhirnya petani menghadapi resiko harga yang sangat
merugikan.
Selain itu, petani juga menghadapi persoalan permodalan.
Hasil panen acapkali tidak digunakan untuk modal bercocok tanam.
Di sisi lain, kepercayaan perbankan yang rendah terhadap petani

Sebuah Paradoks Kehidupan 41


tembakau menjadi faktor mengapa pemasok modal legal, seperti
bank perkreditan rakyat, tidak memberikan bantuan modal. Petani
akhirnya mengambil jalan singkat, yaitu meminjam uang kepada
juragan atau tengkulak dengan bunga yang “mencekik”. Mereka
pada akhirnya terjerat dalam “lingkaran setan” yang membelit
kehidupan petani tembakau dalam utang tak berkesudahan.
Setelah panen, tak jarang petani tak bisa menikmati hasil panennya,
kerana hasil panen tembakau dialihkan untuk membayar utang
kepada juragan/tengkulak. Dengan ikatan demikian, peran juragan
sangat sentral dalam menentukan keberlangsungan pengolahan
tembakau.
Cerita ini merupakan potret kecil dari carut-marut tata
niaga tembakau di Temanggung. Di satu sisi, tanaman tembakau
dinilai sebagai “heritage” atau warisan nenek moyang, namun
faktor alam dan tata niaga yang buruk telah menjerumuskan petani
tembakau dalam “jalan buntu”.

Gambar I : Pengalaman Maryanto, Kualitas Tembakau di luar musim hujan buruk.


Sumber : Kesaksian dari Temanggung, IISD

42 Petani Tembakau di Indonesia


Gambar II: Timbangan Tembakau yang Selalu Merugikan Petani. Sumber : Kesaksian dari
Temanggung, IISD

Derita Maryanto, Petani Tembakau dari Temanggung

Temanggung adalah salah satu sentra tembakau di jawa


Tengah yang terkenal dengan kualitas tembakaunya yang
sangat baik. Bahkan tembakau Temanggung disebut sebagai
‘tembakau lauk’ untuk menyebut sebagai tembakau dengan
kualitas paling bagus. Meskipun begitu di tingkat lokal
petani sejatinya mengalami berbagai permasalahan yang
sangat rumit. Hal ini terungkap dari kisah Pak Maryanto,
seorang petani Tembakau di desa Tlahap, Kecamatan
Kledung, Kabupaten Temanggung.

Maryanto menggeluti pertanian Tembakau secara turun


temurun, orang tuanya juga Petani Tembakau. Pada
mulanya mereka bertani tembakau untuk konsumsi sendiri
bukan untuk dijual. Tembakau diolah sendiri untuk menjadi
Tembakau Garangan yang dapat langsung dikonsumsi.

Sebuah Paradoks Kehidupan 43


Dalam bertani Tembakau, Maryanto mendapatkan modal
awal untuk bertani tembakau dari Tengkulak. Meminjam
ke tengkulak adalah pola yang biasa dilakukan oleh
petani Tembakau untuk mendapat modal untuk bercocok
tanam tembakau yang membutuhkan biaya tidak sedikit.

Pola ini yang memberikan tenkulak posisi tawar yang tinggi,


sehingga Petani memiliki ketergantungan sangat tinggi
terhadap mereka.

Tembakau adalah tanaman semusim yang hanya dapat


tumbuh di musim kemarau. Pertanian Tembakau biasanya
dilakukan pada bulan Maret-April sampai Agustus/
September saja saat musim kemarau berlangsung. “Saya
tidak bisa menanam tembakau jika musim hujan” ujar
Maryanto. Tembakau Tembakau yang masih ada di musim
hujan biasanya adalah tukulan yaitu tembakau kualitas
nomor kedua atau perintilan yang dinamakan Sogleng.
Namun karena kini cuaca sering tidak menentu, petani sulit
untuk mendapatkan hasil panen yang baik.

Selain terkendala oleh kondisi cuaca, keluhan yang


dihadapi petani tembakau adalah tata niaga tembakau itu
sendiri. Petani tidak bisa menjual tembakau langsung ke
pabriknya. Setiap pabrik besar seperti Gundang Garam
atau Djarum memiliki perwakilan, dan petani harus
menjual tembakaunya melalui perwakilan tersebut yang
hanya menerima tembakau dari tengkulak. Karena posisi
Tengkulak yang sangat istimewa ini memberikan mereka
posisi tawar yang sangat tinggi dan mengendalikan
permainan. Akhirnya petani semakin dirugikan sedangkan
pedagang selalu di untungkan, yang menjadi sebuah dilema
dari petani tembakau di Temanggung saat ini. “Secara jujur
saya akui masing-masing dari pewakilan yang jujur itu tidak
ada. Yang benar-benar berkumpul dengan para petani itu
juga tidak ada yang cocok dengan petani” ujarnya.

Alih-alih membantu menyambungkan petani dengan pabrik,


pada faktanya Tengkulak seringkali mengambil keuntungan

44 Petani Tembakau di Indonesia


dari proses jual beli Tembakau dengan memainkan harga
atau mengurangi timbangan. Misalnya pabrik mematok
harga tembakau di beli Rp10.000,- namun dari tengkulak
hanya mau membayar Rp 5.000,- Rp 7.000,- saja. Belum
lagi untuk mentolerir perbedaan kualitas tembakau, pabrik
melakukan pemotongan 10 % dari jumlah timbangan petani.

Namun tidak cukup sampai disitu, jika petani menjual ke


Tengkulak potongan harga bisa mencapai 20% sampai 25
%. Praktek seperti ini sangat merugikan petani, karena bila
ia menjual 1 kwintal, pemotongan timbangan di Tengkulak
bisa mencapai 20 – 25 Kilogram. “Kami Petani seharusnya
mendapatkan untung, tapi kok malah buntung!” ujar
Maryanto.

Para petani di lapangan sangat berharap Pemerintah dapat


turun tangan untuk mengatur tata niaga Tembakau. Salah
satunya adalah dengan mengatur proses penimbangan
tembakau supaya petani tidak menjadi korban kecurangan.
“Saat ini timbangan yang ada dirumah saya dan timbangan
yang ada di tengkulak itu tidak sama atau tidak cocok.
Misalkan saya mengukur hasil panen saya dirumah sudah
seberat 1 kwintal, tetapi pada sesampainya di tengkulak
besarnya timbangan itu hanya 93 kilogram dan maksimal
96 kilogram saja” ungkap Maryanto.

Jika yang mengukur dari pemerintah harapannya Petani


tidak dirugikan. “Saya sudah mencoba mengadu untuk
kepada pihak pemerintah atau kepolisian. Tetapi tidak
pernah di bantu untuk masalah timbangan ini akhirnya
saya pun kalah dan hanya bisa menerima apa adanya saja”
pasrahnya.

Maka dibalik hingar bingar cerita mengenai kesejahteraan


petani tembakau dan keuntungan industry rokok di media,
namun di lapangan ternyata kondisi petani tidak terlalu
menggembirakan. Di Temanggung sendiri yang sangat
diuntungkan untuk masalah tembakau adalah pihak

Sebuah Paradoks Kehidupan 45


pedagang atau tengkulak, bukan petani. Petani adalah pihak
yang sangat dirugikan.

Sumber : Penelitian Tingkat Kesejahteraan Petani Tembakau


di Temanggung dan Film Dokumenter “Kesaksian dari
Temanggung”, produksi IISD

2. Kasus Madura

a. Posisi Tawar Petani Tembakau di Madura


Ketidakberdayaan petani tembakau di Madura bermula
dari tata niaga tembakau. Beberapa aktor terlibat dalam tata niaga
tembakau. Sayangnya, petani merupakan aktor terlemah dalam
tata niaga tersebut (Lihat Gambar 1).

Gambar 1
Lembaga Pemasaran dan Hubungannya
pada Agribisnis Tembakau di Madura68

68
Solfiyah dkk. 2009. dalam Handewi P. Saliem, “Permasalahan dan Tantangan Pertanian
Tembakau serta Solusinya”, Makalah yang dipresentasikan pada FGD Pertanian Tembakau,
Bogor, 16 Oktober 2014.

46 Petani Tembakau di Indonesia


Bandol (tengkulak) bebas adalah pedagang yang membeli
tembakau dari petani, dan bebas menjual kepada juragan (ranting)
mana saja.69Bandol (tengkulak) terikat adalah pedagang yang
membeli tembakau dari petani, dan menjualnya hanya pada satu
juragan (ranting) tertentu. Ranting (juragan) adalah pemilik gudang
yang dipercaya oleh gudang pabrik untuk membeli tembakau
dari bandol sesuai kriteria tembakau yang dibutuhkan. Gudang
pabrik (pabrikan) adalah perusahaan rokok (misalnya Sampoerna,
Gudang Garam, Djaroem, Bentoel, Nojorono) yang memiliki kuasa
pembelian di tiap wilayah di Madura (misalnya di Kabupaten
Pamekasan dan Kabupaten Sumenep).

Posisi Tawar Petani di Depan Bandol


Menjelang masa panen, bandol mulai mencari tembakau
untuk dibeli. Pembelian tembakau oleh bandol terdiri atas dua
jenis, yaitu beli langsung dalam bentuk tanaman (tebbasan)
dan beli tembakau dalam bentuk rajangan. Harga tembakau
tebbasan lebih murah daripada rajangan, karena tanpa melewati
proses pemetikan, penggulungan, penyimpanan, perajangan, dan
penjemuran. Tembakau tebbasanumumnya dibeli dalam hitungan
perseribu pohon, misalnya Rp 2,5 juta.70Tembakau rajangan lebih
mahal, namun kadang tidak lebih menguntungkan.
Petani ada yang lebih suka menjual tebbasan, ada juga
yang lebih suka rajangan. Petani yang menjual rajangan biasanya
memiliki modal untuk membayar kuli petik, gulung, rajang, dan
jemur. Namun masalah yang dihadapi petani adalah ketidakpastian
harga dari bandol. Adakalanya bandol membayar di awal, adakalanya
menjanjikan di akhir ketika tembakau yang dibelinya sudah laku

69
Akhmad Jayadi & Taufik Arbiansyah. 2012.Sengsara di Timur Jawa: Kisah Ketidakber-
dayaan para Petani Tembakau Sumenep, Pamekasan dan Jember Menghadapi Tata Niaga
Tembakau yang Memiskinkan(Jakarta: Yayasan Indonesia Sehat), hal 17.
70
Wawancara dengan Anton Waluyo, petani tembakau asal Desa Artodung, Kecamatan
Galis, Kabupaten Pamekasan, 15 Oktober 2014.

Sebuah Paradoks Kehidupan 47


ke juragan (pemilik gudang). Kedua model pembayaran tersebut
sama-sama menyimpan masalah bagi petani. Namun pembayaran
di awal masih lebih baik daripada pembayaran di akhir.
Dalam membeli tembakau, bandol menerapkan sistem
potong timbangan. Jika misalnya berat satu bal tembakau petani
adalah 51 kg, biasanya bandol menghitungnya 50kg. Selain itu
bandol masih akan memotong “kepala”, yaitu 5 kg, karena beratnya
50-an kg. Jika berat satu bal tembakau tersebut 45kg, maka
potongannya adalah 4kg.71Petani tidak bisa memprotes tindakan
bandol tersebut, karena bandol menganggapnya sebagai biaya
transportasi72 dan komisi telah membantu meloloskan tembakau
tersebut ke gudang.
Pembayaran di akhir pembelian lebih parah lagi. Selain
menghadapi persoalan potongan timbangan di atas, mereka masih
terancam tidak dilunasi jika bandol merugi. Seringkali petani tidak
berani melawan bandol yang demikian, dan memilih membiarkan
dirinya kehilangan uang tembakau yang nilainya mencapai jutaan
rupiah.73
Lemahnya posisi petani di depan bandol diakibatkan oleh
panjangnya rantai niaga tembakau. Petani tidak dapat menjual
tembakau secara langsung kepada juragan, karena juragan
hanya menerima pembelian dalam jumlah besar. Bandol adalah
kepanjangan tangan juragan untuk membeli tembakau-tembakau
dari petani.

Posisi Tawar Bandol di Depan Juragan


Tidak ada jaminan bahwa semua tembakau yang dibawa

71
Wawancara dengan Herli Budianto, petani tembakau asal Desa Montok, Kecamatan
Larangan, Kabupaten Pamekasan, September 2012.
72
Lihat http://rrisumenep.com/penyiar/reporter/1646-panen-tembakau-tinggal-5-persen.
html, diakses 17 Oktober 2014.
73
Lihat pengalaman Samiman, petani dari Desa Sokalelah, Kecamatan Kadur, Kabupaten
Pamekasan dalam Akhmad Jayadi dan Taufik Arbiansyah (2012; hal 15).

48 Petani Tembakau di Indonesia


bandol akan dibeli oleh juragan. Mereka masih harus menghadapi
grader di gudang. Grader adalah orang yang bertugas menentukan
kualitas (dan harga) tembakau. Grader membantu juragan
memutuskan harga tembakau yang dibawa bandol, namun kadang
grader adalah pemilik gudang (juragan) itu sendiri. Ada tiga kualitas
yang dinilai, yaitu keharuman, warna dan kelengketan.74
Kualitas dan harga tembakau ditentukan sepihak oleh
grader (juragan). Bandol tidak dapat melakukan tawar-menawar,
kecuali hanya berharap dan memohon agar tembakaunya dibeli
dengan harga tinggi. Bandol akan merugi manakala tembakaunya
dibeli juragan dengan harga lebih murah dari harga yang telah
dibayarkannya pada petani, atau, walaupun harganya di atas
harga yang dibayarkannya pada petani, namun masih belum
menutupongkos produksi, seperti beli tikar, transportasi, kuli
angkut dan lain-lain.Ketidakpastian harga dari grader di gudang
dan ketidakberdayaan bandol menawar harga telah melahirkan
sistem bayar di akhir oleh bandol kepada petani. Petani tidak
berdaya menolak sistem atau harga dari bandol akibat panjangnya
rantai niaga tembakau.Petani hanya berharap pemerintah dapat
memotong mata rantai penjualan tembakau melalui program
sekolah lapang dan program kemitraan antara pabrikan dan
petani.75

Posisi Tawar Juragan di Depan Pabrikan


Setiap tembakau yang dibeli juragan dari bandol disesuaikan
dengan kriteria tembakau yang dibutuhkan oleh pabrikan. Biasanya
juragan terikat kontrak dengan satu pabrikan, namun tidak sedikit
juga juragan yang bebas menjual tembakaunya ke pabrikan mana
saja. Untuk itu, juragan melakukan pengelompokan jenis tembakau
perjenis pabrikan. Pabrikan telah memberikan arahan tentang
74
Lihat http://peluangusaha.kontan.co.id/news/berkat-jasa-hidung-mereka-terpilih-daun-
tembakau-prima-1, diakses 17 Oktober 2014.
75
http://mediamadura.com/inilah-kesimpulan-dialog-pwi-yang-disampaikan-ke-pemkab/

Sebuah Paradoks Kehidupan 49


kualitas yang akan dibelinya, misalnya soal keharuman, warna dan
kelengketan tembakau.76
Jika ada tembakau yang tidak terbeli oleh pabrikan,
maka tembakau itu akan disimpan di gudang juragan. Gudang
tersebut memiliki kualifikasi tertentu, sehingga memungkinkan
penyimpanan tembakau untuk satu tahun ke depan. Umumnya,
juragan tidak pernah rugi, karena masih dapat menyimpan
tembakaunya yang ditawar murah (oleh pabrikan) tahun ini
untuk dijualnya tahun depan. Resiko yang dihadapi juragan
hanyalah kesulitan (lebih tepatnya penundaan) likuiditas ketika
banyak tembakaunya tidak terbeli pabrikan tahun ini.Jika tahun
ini seorang juragan menyimpan tembakau yang dibeli murah
dari bandol (pada akhir masa pembelian), dan menjualnya tahun
depan pada masa awal pembelian (ketika harga masih tinggi)77,
maka juragan tersebut akan untung besar. Juragan akan menjual
semua tembakaunya jika kuota pembelian pabrikan belum
terpenuhi, dan harga dirasa menguntungkan. Sebaliknya, juragan
akan menyimpan tembakaunya jika kuota pembelian pabrikan
telah terpenuhi, atau harga tawaran pabrikan dianggap kurang
menguntungkan juragan.
Di luar harga tawaran pabrikan, masalah lain adalah waktu
pembelian yang tidak menentu. Sejak sepuluh tahun terakhir, jadwal
pembelian antarpabrikan tidak sama, sehingga menciptakan pasar
monopsoni (dari yang awalnya oligopsoni). Hanya ada satu pabrikan
yang buka, sementara pabrikan lain masih tutup.78 Akibatnya,
antarjuragan bersaing di depan satu pabrikan. Fenomena serupa
76
Wawancara dengan H. Samsul, pemilik gudang di Desa Tentenan Timur, Kecamatan
Larangan, Kabupaten Pamekasan, 16 September 2014.
77
Lihat Akhmad Jayadi. 2014. “Pilihan Dilematis Petani Madura”. Makalah Dipresentasikan
pada Seminar Nasional Pertanian Tembakau, Fakultas Pertanian, Universitas Muhammadi-
yah Jakarta, 8 Januari 2014. Periksa juga Akhmad Jayadi & Taufik Arbiansyah (2012; hal
23)..
78
Lihat http://www.maduraterkini.com/berita-pamekasan/pabrik-belum-buka-bandul-tak-
berani-beli-tembakau.html, diakses pada 18 Oktober 2014.

50 Petani Tembakau di Indonesia


juga terjadi di daerah lain, Bojonegoro misalnya79.

Posisi Tawar Pabrikan


Ada beberapa alasan mengapa pabrikan menetapkan
hargayang tidak bisa ditawar oleh juragan (serta bandol, dan
otomatis juga, petani). Pertama, rendahnya kualitas tembakau
petani. Hal ini biasanya disebabkan oleh cuaca maupun cara tanam
yang kurang baik.
Kedua, perilaku petani atau bandol yang memperburuk
kualitas tembakau, misalnya dengan mencampur tembakau rajang
dengan gula (gula pasir yang digiling), atau mencampur tembakau
Madura dengan tembakau Jawa (misalnya Paiton, Besuki atau
Bojonegoro).
Ketiga, tidak kompetitifnya harga tembakau Madura
dibanding tembakau daerah lain. Seringkali murahnya tembakau
daerah lain (atau bahkan tembakau impor) dijadikan alasan
turunnya harga tembakau Madura. Untuk itu,Pemkab Pamekasan
mengeluarkan Perda Nomor 6 tahun 2008 yang salah satu pasalnya,
mengatur tentang pelarangan masuknya tembakau luar Madura.
Keempat, adanya biaya partisipasi yang harus dibayar pihak
pabrikan, yakni Rp 100,- per kilogram tembakau yang dibelinya dari
juragan. Biaya yang diatur dalam Perda Nomor 6 tahun 2008 ini
membuat total semua pabrikan tiap tahunnya mengeluarkan biaya
sekitar Rp 2,4 miliar. Pihak yang terkena pada akhirnya adalah
petani, karena pabrikan akan menurunkan harga beli tembakau.

Berharap pada Dewan dan Wartawan


Petani yang memilki posisi tawar yang lemah hanya
berharap pada tiga aktor, yaitu anggota dewan (DPRD), wartawan,
dan kelompok peduli (mahasiswa ataupun komunitas). DPRD
diharapkan membantu keterpurukan petani dengan penyusunan
79
Lihat http://blokbojonegoro.com/read/article/20140803/pabrikan-tembakau-diharap-bu-
ka-semua.html, diakses pada 18 Oktober 2014

Sebuah Paradoks Kehidupan 51


regulasi atau kontrol terhadap kinerja SKPD terkait. Adapun
wartawan dapat membantu petani dalam menyampaikan kepada
publik terkait masalah yang dihadapi petani tembakau. Sementara
kelompok peduli biasanya menggelar diskusi atau aksi turun ke
jalan ketika ditemukan jalan buntu dalam pemecahan masalah
petani.
DPRD Kabupaten Pamekasan, misalnya,berencana untuk
merevisi perda yang mengatur pengambilan sampel tembakau di
pabrikan. Langkah tersebut diambil setelah ada permintaan dari
kelompok peduli (aktivis mahasiswa).80Langkah DPRD lainnya
adalah pemanggilan SKPD ketika terjadi kelangkaan pupuk,
penurunan harga, dan lain-lain.81 Langkah Persatuan Wartawan
Indonesia (PWI) Kabupaten Pamekasan juga membantu petani
dengan mengadakan dialog bertema “Mengawal Tata niaga
Tembakau” yang menghasilkan enam kesimpulan dan diserahkan
pada Pemda Pamekasan untuk diperhatikan dan ditindaklanjuti.82
Demikianlah, posisi tawar antaraktor dalam mata rantai tata
niaga tembakau tidak setara satu sama lain. Kondisi yang membuat
miris adalah posisi tawar petani yang sangat lemah, sehingga
petani tak kunjung terangkat dalam keterpurukannya. Penting
untuk melakukan upaya menyetarakan posisi tawar antaraktor,
mulai dari petani, bandol, juragan, gudang, dan pabrikan. Untuk
itu, mekanisme jual-beli tembakau perlu disusun ulang. Misalnya,
penting untuk menyusun regulasi yang mewajibkan semua
pabrikan melakukan pembelian secara serentak dalam waktu yang
bersamaan untuk menghindari munculnya mekanisme monopsoni
yang melemahkan posisi tawar petani tembakau. Jika ada beberapa

80
Lihat http://www.koranmadura.com/2013/10/11/dprd-akan-perketat-pengambilan-sam-
pel-tembakau/, diakses 10 Oktober 2014.
81
Lihat http://www.madurachannel.com/madura/berita-madura/ekonomi/9887-anjlok-komi-
si-b-dprd-sumenep-curigai-ada-permainan.html, diakses 30 September 2014
82
Periksa http://www.pwipamekasan.com/catatan-dialog-tata-niaga-tembakau-pwi-pame-
kasan/, diakses 10 Oktober 2014.

52 Petani Tembakau di Indonesia


pembeli (pabrikan dan gudang) yang bersaing memperebutkan
tembakau yang ditawarkan penjual (bandol dan petani), maka akan
tercipta mekanisme pasar yang sehat. Alhasil, harga tembakau
akan bergerak mengikuti demand dan supply tembakau.

b. Hambatan Petani Tembakau di Madura


Dalam teori ekonomi mikro, jual-beli tembakau di
Madura termasuk contoh pasar oligopsoni, dimana terdapat
beberapa pembeli (pabrikan) dan banyak penjual (petani). Akibat
penawaranyang lebih besar daripada permintaan, maka reaksi
selanjutnya adalah turunnya harga pada titik yang lebih didorong
oleh kekuatan pabrikan. Kondisi tersebut semakin parah dengan
tidak adanya intervensi harga oleh pemerintah daerah setempat.
Fungsi pemerintah sebagai regulator selayaknya dimaksimalkan
dengan membangun aturan main yang melindungi pabrikan
dan petani dari tindakan saling mengeksploitasi. Namun dalam
praktiknya, pemerintah daerah tidak dapat melakukan tindakan
tegas dalam menyeimbangkan pasar tembakau.
Masalah ketidakseimbangan pasar yang dihadapi petani
tembakau di Madura (khususnya Pamekasan dan Sumenep)
terdiri atas dua sisi. Pertama, sisi penawaran (supply side). Sisi ini
mempengaruhi kualitas dan kuantitas tembakau petani, misalnya
kelangkaan pupuk, kurang tersedianya alat, minimnya modal,
terbatasnya penyuluhan dan pelatihan, buruknya cuaca, serta
masuknya tembakau dari luar Madura. Kedua, sisi permintaan
(demand side). Sisi ini mempengaruhi harga dan jumlah pembelian,
seperti mekanisme penetapan harga, kuota, dan mata rantai
niaga.

Hambatan pada Sisi Penawaran


Bagian berikut ini menjelaskan beberapa persoalan yang
dihadapi petani tembakau di Madura pada sisi penawaran.

Sebuah Paradoks Kehidupan 53


Kelangkaan Pupuk
Pemupukan adalah salah satu faktor kunci keberhasilan
tanaman tembakau. Tembakau di Madura membutuhkan
setidaknya tiga kali pemupukan pada tiap-tiap batang tanaman,
yaitu pada masa sebelum tanam, pada usia 7—10hari, dan pada usia
20—25hari. Jenis pupuk yang direkomendasikan untuk tembakau
Madura adalah pupuk yang tidak mengandung klor, seperti pupuk
kandang, ZA, SP 18, dan ZK.83
Setiap musim tanam tembakau dimulai, masalah yang
dihadapi petani adalah kelangkaan dan mahalnya harga pupuk
bersubsidi.84 Pupuk yang biasanya dijual seharga Rp 90.000 persak,
pada musim tembakau bisa mencapai Rp115.000 persak. Untuk
mendapatkan pupuk itu pun, petani harus antri dengan memesan
terlebih dahulu.85
Pihak yang aktif mengatasi masalah ini adalah DPRD.
Mereka biasanya memanggil Satuan Kerja Pemerintah Daerah
(SKPD) terkait dan melakukan inspeksi mendadak (sidak) ke gudang
penyimpanan pupuk. Pemerintah sendiri kurang tanggap dalam
pengawasan dan pengendalian penggunaan pupuk bersubsidi.
Pemerintah beralasan bahwa stok pupuk bersubsidi untuk
kabupaten Pamekasan memang sedikit dan kurang, sehingga
harus didatangkan dari daerah lain. Hal inimengakibatkan kenaikan
harga pupuk dari harga normal.86

83
Dinas Kehutanan dan Perkebunan. 2009. Panduan Teknis Budidaya Tembakau
Madura(Pamekasan: Pemerintah Kabupaten Pamekasan Press), hal 23.
84
Periksa http://www.koranmadura.com/2014/07/09/pupuk-tetap-langka-di-sejumlah-keca-
matan/, diakses pada 17 Oktober 2014.
85
Lihat http://www.beritamadura.com/2013/05/komisi-b-mengkawatirkan-ketersediaan-
pupuk-pada-musim-tanam-tembakau.html, diakses pada 17 Oktober 2014.
86
Periksa http://mediamadura.com/pemerintah-dinilai-lemah-kendalikan-peredaran-pupuk-
bersubsidi/, diakses pada 17 Oktober 2014

54 Petani Tembakau di Indonesia


Keterbatasan Alat Produksi
Alat-alat yang digunakan selama masa tanam tembakau,
antara lain traktor, mesin pompa, alat rajang, dan sak-sak bambu
penjemuran. Petani yang memiliki (atau mampu mengakses) alat-
alat tersebut akan menghadapi biaya produksi yang lebih ringan
daripada petani yang harus membeli atau menyewa. Sistem
kepemilikan secara kelompok dianggap model yang paling banyak
membantu petani dalam meringankan biaya produksi. Dalam
model ini, petani hanya membayar uang Bahan Bakar Minyak
(BBM)/listrik dari penggunaan alat tersebut, misalnya traktor,
mesin pompa, dan mesin rajang.
Upaya yang dilakukan pemerintah dalam membantu
petani mengurangi biaya produksi adalah dengan memberikan
bantuan alat-alat pertanian kepada kelompok tani (poktan). Upaya
ini, misalnya, terlihat di Kabupaten Sumenep.87 Setiap poktan
umumnya beranggotakan 20—30 orang. Secara bergantian mereka
menggunakan alat pertanian selama masa tanam, pemeliharaan,
panen, dan pascapanen tembakau.
Bantuan peminjaman alat rajang juga diterapkan
oleh pabrikan Sampoerna, melalui CV IDS selaku pihak yang
bertanggungjawab terhadap pembinaan dan pelatihan poktan.
Setiap anggota poktan yang terikat kontrak dengan CV IDS
mendapat jatah peminjaman alat ini secara cuma-cuma ditambah
bantuan BBM.88 Dengan mengikuti syarat yang ditentukan, petani
dapat menjual tembakau kepada pabrikan Sampoerna dengan
fasilitas harga minimal Rp35.000 perkilogram (kg) selama pabrikan
belum mencapai kuota yang ditetapkan.89

87
Lihat http://www.sumenep.go.id/?page=detailberita.html&id=8338, diakses 17 Oktober
2014.
88
Wawancara dengan Samsuri, ketua Kelompok Tani Dusun Ra’as, Desa Kaduara Barat,
Kecamatan Larangan, Kabupaten Pamekasan, 12 September 2014.
89
Wawancara dengan Anton Waluyo, petani tembakau di Desa Artodung, Kecamatan Ga-
lis, Kabupaten Pamekasan, pada 15 Oktober 2014.

Sebuah Paradoks Kehidupan 55


Keterbatasan Modal Usaha
Menjelang musim tanam tembakau, petani membutuhkan
banyak modal untuk pembelian bibit, pupuk, pestisida, sewa mesin
pompa air, sewa traktor, dan lain-lain. Untuk memenuhi kebutuhan
ini, mereka mencari dana dengan berbagai cara. Sebagian dari
petani mengambil tabungan, menjual ternak, meminjam kepada
kerabat (atau juga rentenir), menggadaikan sepedamotor, atau
menjual perhiasan keluarga.90
Selama ini petani mengeluhkan tidak adanya skema bantuan
modal dari pemerintah untuk petani tembakau. Berbeda dengan
petani tanaman lain (tebu, misalnya) yang, selain mendapatkan
kontrak dengan perusahaan penggilingan tebu, juga mendapat
bantuan modal91. Skema lain yang pernah diberikan pemerintah
adalah berupa bibit tembakau, seperti bantuan dari Dinas
Kehutanan dan Perkebunan Pamekasan kepada petani berupa
bibit yang sesuai lahan tembakau Pamekasan.92
Modal menjadi masalah pelik bagi petani tembakau, karena
besar kecilnya keuntungan tembakau mereka ditentukan tidak saja oleh
harga pembelian tembakau oleh pabrikan, namun juga besaran modal
yang dikeluarkan dalam biaya produksi.93 Jika petani terjebak
pada rentenir yang menerapkan bunga tinggi, maka bunga kredit
menjadi komponen biaya produksi yang membebani mereka.

90
Lihat Akhmad Jayadi & Taufik Arbiansyah. Op.cit.,hal 18. Periksa juga http://portalma-
dura.com/harga-stabil-petani-tembakau-jual-perhiasan-untuk-tambahan-modal/12551/,
diakses pada 17 Oktober 2014.
91
Periksa http://m.beritajatim.com/politik_pemerintahan/212017/sejumlah_petani_tem-
bakau_berharap_pemda_ pamekasan_adil.html#.VECcAyKUe3s, diakses pada 17 Oktober
2014.
92
http://surabaya.bisnis.com/m/read/20140616/10/72286/petani-di-pamekasan-dapat-
bantuan-bibit-tembakau, diakses pada 17 Oktober 2014.
93
Akhmad Jayadi. 2014. “Paradoks Kehidupan Petani Tembakau Madura dan Upaya Pem-
berdayaannya”, Makalah dipresentasikan pada FGD Pertanian Tembakau, Marzuki Usman
Office, 24 April 2014. Makalah tidak diterbitkan.

56 Petani Tembakau di Indonesia


Kebutuhan Pendampingan dan Kemitraan
Hampir semua pabrikan besar (seperti Sampoerna,
Gudang Garam, dan Djarum) menjalin kemitraan dengan petani.
Di Kabupaten Pamekasan, menurut data Dinas Kehutanan
dan Perkebunan (Dishutbun) Pemerintah Kabupaten (Pemkab)
Pamekasan, hanya program kemitraan Sampoerna yang memiliki
data yang jelas tentang jumlah petani binaan dan lahan. Selain
masalah pelaporan, hal ini juga terkait keberlanjutan dan
konsistensi pabrikan dalam mendampingi petani. Sampoerna
selama ini dipandang sebagai pabrikan yang serius, tidak
mengingkari kontrak, serta menguntungkan petani.94
Kemitraan tersebut berbentuk dua macam, yaitu kemitraan
penuh dan tidak penuh. Dalam kemitraan penuh,pengusaha
terlibat secara langsung, termasuk teknik budidaya dan teknik
pemeliharaan selama musim tanam hingga panen. Adapun
dalam kemitraan tidak penuh, pabrikan hanya memberi bantuan
modal (misalnya pupuk atau lainnya), namun tidak ada bimbingan
langsung berupa penyuluhan. Pabrikan hanya mengharuskan
petani menjual tembakaunya kepada mereka.95
Walaupunpetani sudah lama memiliki pengetahuan
tentang budidaya tembakau, namun tidak sedikit dari mereka
yang mengabaikan standar kualitas tembakau yang dibutuhkan
pabrikan, misalnya teknik budidaya, usia tanam, dan pemupukan.
Perilaku ini dipicu oleh hasrat ingin panen lebih awal di saat harga
tembakau sedang tinggi.96Untuk membantu petani mendapatkan
hasil yang baik, Dishutbun Pemkab Pamekasan menurunkan
tenaga penyuluh ke semua kecamatan di Pamekasan.97
94
Wawancara dengan Anton Waluyo, pada 12 September 2014.
95
Lihat http://www.antaranews.com/berita/315900/petani-dan-pengusaha-tembakau-
madura-jalin-kemitraan, http://surabaya.bisnis.com/m/read/20140616/10/72286/petani-di-
pamekasan-dapat-bantuan-bibit-tembakau, diakses 15 Oktober 2014.
96
Akhmad Jayadi. 2014.Op.cit.
97
http://www.iyaa.com/finance/berita/umum/3292140_2115.html, diakses 17 Oktober 2014.

Sebuah Paradoks Kehidupan 57


Anomali Cuaca
Tembakau membutuhkan sinar matahari yang cukup,
sehingga harus ditanam di tempat terbuka. Penyiraman pada
tembakau memiliki frekuensi yang berbeda-beda sesuai umur
tanaman. Pada 20 hari pertama, tembakau disiram setiap hari,
sedangkan pada seminggu terakhir tembakau disiram setiap
tiga hari.98Hujan sangat tidak diharapkan pada minggu-minggu
terakhir. Sekali saja hujan lebat di minggu akhir sebelum masa
petik dapat menggagalkan seluruh panen. Tembakau yang terkena
hujan menjadi berbintik-bintik, mengandung banyak nikotin, dan
hampir tidak ada pasar yang menghendakinya.99
Untuk sebagian, buruknya kualitas tembakau, rendahnya
jumlah panen, dan kerugian petani disebabkan oleh faktor
cuaca. Kekurangan air akibat keringnya sumber air di sawah100
atau kelebihan air dapat mengakibatkan gagal panen.101 Target
pembelian yang ditetapkan pabrikan di Pamekasan yang tiap
tahunnya mencapai 20 ribu-an ton tidak tercapai.102
Ketika produksi tembakau lebih rendah dari target
konsumsi, hukum pasar akan menarik harga ke atas. Setiap terjadi
gagal panen, petani berharap pabrikan membeli tembakau petani
dengan harga yang tinggi. Di satu sisi, anomali cuaca merugikan
petani, namun di sisi lain situasi ini menguntungkan sebagian kecil
petani lainnya.

98
Dinas Kehutanan dan Perkebunan. Op.cit, hal 26.
99
Lihat Huub de Jonge. 1989.Madura Empat Zaman: Pedagang, Perkembangan Ekonomi,
dan Islam (Jakarta: KITLV-LIPI-Gramedia), hal 160.
100
Lihat http://www.lensaindonesia.com/2012/07/21/belasan-hektar-tanaman-tembakau-
pamekasan-gagal-panen.html, diakses pada 17 Oktober 2014.
101
Periksa http://skalanews.com/berita/detail/156487/Cuaca-Anomali-Produksi-Tembakau-
Pamekasan-Anjlok, diakses pada 17 Oktober 2014.
102
Lihat http://regional.kompas.com/read/2013/09/19/1045520/.Rekor.Baru.Pamekasan.
Kekurangan.Tembakau.20.000. Ton, diakses pada 17 Oktober 2014.

58 Petani Tembakau di Indonesia


Masuknya tembakau dari luar Madura
Kurangnya produksi tembakau memicu pedagang
mendatangkan tembakau dari luar Madura, seperti Paiton dan
Bojonegoro. Tembakau tersebut dijadikan bahan campuran
tembakau rajang Madura untuk dijual ke pabrikan. Pedagang akan
untung besar jika tembakau campuran ini tidak diketahui pihak
pabrikan, karena biaya produksinya lebih murah. Namun pada
beberapa kasus, fenomena tembakau campuran ini menciptakan
stigma negatif pabrikan atas para pedagang, yang pada akhirnya
menurunkan harga tembakau Madura secara keseluruhan di
pasaran.103
Dalam skala nasional jika produksi tembakau rendah, industri
rokok akan mengimpor tembakau dari luar negeri. Isu masuknya
tembakau luar menjadi dasar protes petani atas rendahnya harga
beli tembakau di dalam negeri.104Petani berharap pemerintah
membuat kebijakan tegas untuk melindungi kesejahteraan petani.
Salah satu upaya Pemkab Pamekasan dalam melindungi petani
adalah dengan menerbitkan Peraturan Daerah (Perda) nomor 6
tahun 2008 tentang Penatausahaan Tembakau Madura.
Di lain pihak, bagi para produsen rokok berskala kecil
(dengan tenaga kerja antara 20—30orang), masuknya tembakau
dari luar Madura membawa keuntungan karena meringankan
biaya produksi rokok. Abdul Rahman, pemilik perusahaan rokok
lokal, misalnya, mengaku mendatangkan tembakau dari Paiton
untuk merk rokoknya. Dia beralasan bahwa dengan harga eceran
Rp5.000 perbungkus, biaya produksi menggunakan tembakau lokal
Pamekasan terlalu besar.105
103
Lihat http://radarmadura.co.id/2014/09/petani-tetap-tembakau-waswas/ diakses 17 Ok-
tober 2014.
104
Periksa http://surabaya.bisnis.com/read/20140824/10/73944/ini-harapan-petani-tem-
bakau-pamekasan-kepada-jokowi diakses 17 Oktober 2014.
105
Wawancara dengan Abdul Rahman, Pengusaha Rokok Lokal di Desa Blumbungan,

Sebuah Paradoks Kehidupan 59


Tuntutan warga untuk penyelesaian masalah-masalah
di atas telah lama disuarakan kepada pemerintah, baik melalui
forum fasilitasi DPRD, diskusi antarelemen, rekomendasi
wartawan, bahkan demonstrasi dan aksi protes warga. Pemerintah
daerah merespon tuntutan petani dengan dua bentuk, yaitu secara
legal-formal, pemerintah menyusun Perda dan secara informal,
pemerintah menyerukan berbagai bentuk himbauan. Namun
demikian, respon pemerintah dalam dua bentuk itu tidak efektif.
Akibatnya, petani tembakau di Madura masih tetap menghadapi
persoalan yang berulang setiap tahunnya.

Hambatan pada Sisi Permintaan


Bagian berikut ini menjelaskan beberapa persoalan yang
dihadapi petani tembakau di Madura pada sisi permintaan.

Kuota Pembelian Pabrikan


Setiap pabrikan menetapkan estimasi kuota
pembelian tiap tahunnya dengan mendasarkan hitungan
pada realisasi pembelian tahun sebelumnya. Pada 2014
target kuota pembelian seluruh pabrikan di Pamekasan
mencapai 24.000 ton dengan kuantitas yang berbeda
antarpabrikan.106Kalkulasi dari pabrikan diinformasikan
kepada pemerintah (dalam hal ini Dinas Perindustrian
dan Perdagangan—Disperindag) untuk dilanjutkan kepada
petani. Petani dengan pertimbangan modal, ekspektasi
cuaca, dan harga akan memutuskan apakah mereka
menanam atau tidak, serta seberapa banyak mereka
menanam.
Diluar faktor kualitas tembakau itu sendiri, faktor lain
yang mempengaruhi turunnya harga pembelian tembakau

Kecamatan Larangan, Kabupaten Pamekasan, 12 September 2014.


106
Lihat http://surabaya.bisnis.com/m/read/20140809/10/73606/rencana-pembelian-tem-
bakau-oleh-industri-di-pamekasan-meningkat, diakses 15 Oktober 2014.

60 Petani Tembakau di Indonesia


oleh pabrikan adalah terpenuhinya target kuota pembelian.
Di saat target konsumsi tembakau pabrikan lebih kecil
dari produksi tembakau petani, maka harga tembakau
akan turun akibat over-supply (penawaran berlebih). Hal
ini umumnya terjadi ketika pabrikan mengurangi jumlah
pembelian daripada tahun sebelumnya, seperti yang terjadi
pada 2010 di Pamekasan.107
Pada 2014 penjualan tembakau di Pamekasan
secara umum lebih baik dari tahun-tahun sebelumnya.
Harga berkisar antara Rp25.000—44.000 perkg.108Hal ini
terjadi karena penawaran lebih kecil daripada permintaan.
Total tembakau yang terbeli hanya 80 persen dari
kebutuhan.109Kondisi baik ini biasanya memicu petani untuk
menanam tembakau pada tahun depan. Jika tahun depan
kondisi cuaca baikdan pabrikan membeli tembakau lebih
kecil dari tahun ini, maka kecenderungan yang terjadi adalah
turunnya harga tembakau. Demikian pula sebaliknya.

Mekanisme Penetapan Harga


Petani menghadapi harga yang ditetapkan pabrikan
secara sepihak. Walaupun menurut teori ekonomi hanya
di pasar persaingan sempurna-lah penjual menjadi price
taker, namun dalam praktek jual-beli tembakau, petani
tidak berdaya. Petani hanya punya dua pilihan: terima atau
tinggalkan. Mayoritas petani menerima harga tersebut,
walaupun di bawah biaya produksi minimal atau Break Event
Point (BEP).

107
Lihat http://www.tempo.co/read/news/2010/05/26/090250517/Petani-Tembakau-Pame-
kasan-Terjepit, diakses pada 17 Oktober 2014.
108
Lihat http://www.rri.co.id/post/berita/102873/ekonomi/harga_tembakau_madura_di_pa-
mekasan_mencapai_ puncaknya.html, diakses 18 Oktober 2014.
109
Periksa http://radarmadura.co.id/2014/10/hasil-evaluasi-disperindag-dan-dishutbun-
gudang-kekurangan-tembakau/, diakses 17 Oktober 2014.

Sebuah Paradoks Kehidupan 61


Pemerintah Pamekasan berupaya melindungi
petani melalui himbauan tentang harga pembelian minimal
di atas BEP. Namun himbauan ini tidak efektif, karena
tidak memiliki daya eksekusi. Kalaupun pabrikan tidak
mematuhi himbauan ini, maka pemerintah pamekasan
tidak dapat memberikan sanksi.110 Ancaman pencabutan
ijin bagi gudang yang membeli tembakau di bawah BEP
(di Pemekasan pada 2012 sebesar Rp 26 ribu perkg) hanya
menjadi berita di media.111
Posisi tawar pabrikan makin kuat ketika pemerintah
tidak mau bertindak sebagai pengatur harga. Kabid
Perdagangan Disperindag Sumenep bahkan menyatakan
bahwa tembakau tidak termasuk barang tata niaga
atau termasukbarang bebas, sehingga harga tembakau
ditentukan berdasarkan kualitas dan kebutuhan pabrik
rokok.112Atas dasar pemikiran semacam itu, maka logis jika
selama lebih dari sepuluh tahun terakhir113 di Pamekasan
dan Sumenep, petani menjadi korban permainan harga
pihak pabrikan.114
Selain tidak efektiknya kebijakan floor price di
lapangan, ketidakberdayaan petani juga tampak dari
subjektivitas pabrikan dalam menetapkan parameter
kualitas tembakau, seperti keharuman (aroma) dan

110
Lihat http://www.maduraterkini.com/berita-pamekasan/pabrikan-berpotensi-mainkan-
harga-tembakau.html/2, diakses 16 Oktober 2014.
111
Periksa http://skalanews.com/news/detail/119879/2/bupati-pamekasan-ancam-cabut-
izin-gudang-pabrikan-rokok-.html, diakses 17 Oktober 2014.
112
Lihat http://www.tempo.co/read/news/2014/08/08/090598160/Pemerintah-Diminta-Atur-
Harga-Tembakau, diakses 30 Agustus 2014.
113
Periksa http://www.antaranews.com/berita/115682/perlawanan-dengan-akal-akalan-
petani-tembakau-madura, diakses 17 Oktober 2014.
114
Lihat http://www.maduraterkini.com/berita-pamekasan/pabrikan-berpotensi-mainkan-
harga-tembakau.html, diakses 25 Agustus 2014

62 Petani Tembakau di Indonesia


kelengketan (pegangan), dan warna.115Grader, petugas
penilai kualitas tembakau yang masuk ke pabrikan atau
gudang, memiliki otoritas menentukan harga tembakau
yang akan dibeli. Grader adalah orang kepercayaan
pabrikan (jika tidak pemilik gudang sendiri) yang sangat
berpengalaman.116

Mata Rantai Tata Niaga


Dalam alur jual-beli tembakau, ada mata rantai yang
cukup panjang dan signifkan dalam menentukan harga
akhir. Pabrikan tidak membeli tembakau langsung dari
petani, melainkan melalui kuasa pembelian atau gudang
tengkulak besar kepercayaan pabrikan. Di bawah gudang
tengkulak ada pedagang yang lebih kecil lagi, yaitu bandul
atau perantara. Adakalanya bandul memiliki akses langsung
ke pabrikan.117
Posisi bandul memang membantu petani dalam
memasukkan tembakaunya ke gudang atau pabrikan,
namun tidak jarang posisi mereka malah merugikan,
terutama dalam timbangan dan harga. Bandul mengurangi
berat tembakau (umumnya 5 kg) dari angka yang
ditunjukkan timbangandan menghitungnya sebagai biaya
transportasi118, namun petani menganggap biaya tersebut
terlalu besar karena diterapkan pada tiap bal (umumnya
seberat 40—50kg) tembakau.
Tidak sedikit bandul yang membebankan kerugian
(penjualan tembakau mereka di gudang atau pabrikan)
115
Lihat Akhmad Jayadi & Taufik Arbiansyah. 2012. Op.cit.
116
Periksa http://peluangusaha.kontan.co.id/news/berkat-jasa-hidung-mereka-terpilih-
daun-tembakau-prima-1 diakses 17 Oktober 2014.
117
Lihat Akhmad Jayadi & Taufik Arbiansyah, “Sengsara di Timur Jawa”, 2012 hal 14
118
Lihat http://rrisumenep.com/penyiar/reporter/1646-panen-tembakau-tinggal-5-persen.
html diakses 17 Oktober 2014

Sebuah Paradoks Kehidupan 63


kepada petani.119Uang tembakau yang dijanjikan akan
dibayar di akhir tidak dibayar penuh, atau bahkan tidak
dibayar samasekali. Ulah nakal bandul seperti ini telah
menurunkan kepercayaan petani. Para petani memberi
‘cap merah’ dan menolak bertransaksi dengan bandul
bermasalah tersebut pada tahun berikutnya.120
Di level gudang petani atau bandul juga menghadapi
tengkulak yang mengambil sampel tembakau yang—
bagipetani atau bandul—terlalu besar (sekitar 1 kg). Upaya
Pemkab Pamekasan melindungi petani dari pengambilan
sampel (contoh) secara berlebihan tertera dalam Pasal 17
ayat 3 Perda Nomor 6 tahun 2008 yang berbunyi “Pengambilan
contoh dilakukan oleh pembeli paling banyak satu kilogram
setiap kemasan”.121 Sedangkan Pemkab Sumenep, melalui
Perda Nomor 6 Tahun 2012 tentang Pedoman Pelaksanaan
Pembelian dan Pengusahaan Tembakau mengatur bahwa
“Pengambilan sampel atau contoh dilakukan oleh pembeli
secara baik dan benar dengan ketentuan sebesar satu
kilogram perbal tembakau”.122

Persaingan Antar Pabrikan


Dalam pasar oligopsoni yang normal, beberapa
pembeli bersaing secara serentak dalam waktu yang
sama memperebutkan barang dari banyak penjual.
Namun dalam perdagangan tembakau di Pamekasan dan
Sumenep antarpembeli tidak bersaing serentak, melainkan

119
Lihat Radar Madura, 12 Juli 2000, “Harga Tembakau Rusak Akibat Ulah Bandul Yang
Rugi”. http://zkarnain.tripod.com/PMKAS-86.HTM, diakses pada 17 Oktober 2014.
120
Wawancara dengan Anton Waluyo, pada 15 Oktober 2014.
121
Lihat http://www.jdih.setjen.kemendagri.go.id/files/KAB_PAMEKASAN_6_2008.pdf di-
akses 18 Oktober 2014.
122
Periksa http://www.maduraterkini.com/berita-sumenep/pengambilan-sampel-tembakau-
hanya-1-kilogram.html diakses 17 Oktober 2014.

64 Petani Tembakau di Indonesia


membeli sendiri-sendiri dalam satu waktu. Akibatnya,
proses pembelian terjadi dalam bentuk monopsoni secara
bergantian antarwaktu. Pada 2013 di Pamekasan, misalnya,
hanya ada satu pabrikan yang buka (siap membeli) tembakau
pada awal musim beli (akhir musim panen).123Fenomena ini
terjadi sejak sepuluh tahun terakhir.124 Celakanya, model
seperti ini tidak hanya di Madura, namun juga terjadi di
daerah lain, seperti Bojonegoro.125
Harga bergerak naik jika terjadi persaingan
kesediaan pembeli untuk membayar (willingness to pay).
Namun jika tidak ada persaingan, harga lamban bergerak
mengikuti kualitas-kuantitas produk penjualdan selera
pembeli (yang tunggal). Setidaknya demikian gambaran
tidak kompetitifnya pasar tembakau di Madura yang tidak
menguntungkan penjual (petani tembakau). Pemerintah
tidak melakukan pengaturan tata niaga, kecuali hanya
memantau dan mengawasi pembelian di gudang.126
Hingga saat ini belum ada Perda (baik di Kabupaten
Pamekasan maupun Kabupaten Sumenep) yangmewajibkan
semua pabrikan untuk melakukan pembelian pada waktu
yang bersamaan. Pada pasal 15 Perda Kabupaten Sumenep
Nomor 6 tahun 2012 tentang Pedoman Pelaksanaan
Pembelian Dan Pengusahaan Tembakau memang tercantum
kalimat “...dan pembeli berhak pula membeli tembakau
Madura dari pihak manapun serta wajib menciptakan iklim

123
Lihat http://www.maduraterkini.com/berita-pamekasan/pabrik-belum-buka-bandul-tak-
berani-beli-tembakau.html diakses 18 Oktober 2014.
124
Lihat Akhmad Jayadi dan Taufik Arbiansyah. 2012. Op.cit.
125
Lihat http://blokbojonegoro.com/read/article/20140803/pabrikan-tembakau-diharap-
buka-semua.html diakses 18 Oktober 2014.
126 Periksa http://beritajatim.com/ekonomi/215452/gudang_tembakau_buka_pembe-
lian,_dishutbun_turunkan_tim_ pemantau.html#.VEG4SyKUe3s diakses 18 Oktober 2014.

Sebuah Paradoks Kehidupan 65


Petani sedang mengeringkan Tembakau, Temanggung.
Sumber : Fauzi Ahmad Noor

pasar yang sehat, jujur, dan transparan”127. Pengaturan ini,


sayangnya, tidak memuat penjelasan lebih lanjut tentang
persaingan yang sehat. Demikian juga Pasal 11 ayat 1 dan 2
Perda Kabupaten Pamekasan Nomor 6 tahun 2012 tentang
Penatausahaan Tembakau Madura yang hanya mewajibkan
pihak pabrikan untuk melapor kepada pemerintah tentang
jadwal pembukaan dan penutupan pembelian.128

4. Kesulitan mengakses Perkreditan di Perbankan


Selama ini petani mengalami kesulitan dalam mengakses
sumber permodalan dari lembaga keuangan formal.Salah satu
sebabnya adalah rumitnya prosedur pengajuan kredit. Selain itu,
sebagian besar usaha pertanian berskala kecil dengan kepemilikan
lahan yang sempit, sehingga kondisi itu tidak memungkinkan untuk
dijadikan sebagai agunan untuk peminjaman modal.
127
Lihat http://www.jdih.setjen.kemendagri.go.id/files/KAB_SUMENEP_6_2012.pdf, di-
akses 18 Oktober 2014
128
Ibid.

66 Petani Tembakau di Indonesia


Situasi ini mengakibatkan perbankan kurang berminat
untuk membangun jaringan hingga ke pelosok-pelosok desa. Hal
ini berujung pada minimnya proporsi dan alokasi penyerapan
pembiayaan usaha kecil di bidang pertanian. Di sisi lain,
kelembagaan kelompok tani dan kualitas sumber daya yang kurang
menjadi hambatan petani dalam menyusun rencana usaha dan
mengelola administrasi keuangan, sehingga usahanya menjadi
layak secara perbankan(bankable). Pada prakteknya, petani
kemudian lebih memilih lembaga nonformal, seperti “rentenir”,
yang menyediakan pinjaman modal cepat dengan tingkat bunga
yang tinggi dibanding lembaga keuangan formal.129
Pemerintah sudah semestinya menjembatani kesenjangan
yang terjadi antara lembaga perbankan formal dengan petani
tembakau yang tersebar di perdesaan.Pemerintah dapat
memberikan stimulus kepada lembaga keungan formal untuk
memberikan kredit program dan kredit komersial berbunga rendah
kepada petani tembakau.
Dalam merancang produk kredit petani kecil hendaknya
mempertimbangkan karakteristik usaha pertanian yang khas. Studi
kasus mengenai aksesibilitas petani di tingkat desa menunjukkan
bahwa petani kecil mengharapkan kredit dengan jenis agunan
yang lebih fleksibel,
misalnya tidak harus
selalu berupa sertifikat
tanah. Hal itu karena
petani penggarap
biasanya tidak memiliki
tanah atau surat
sertifikat tanah. Tingkat
suku bunga kredit yang
rendah dengan kisaran sumber : antarafoto.com

129
Periksa Rencana Strategis Kementerian Pertanian 2010-2014 hal 33, http://www.perta-
nian.go.id/sakip/admin/file/renstra-setjen-2010-2014.pdf, diakses pada 2 Januari 2015.

Sebuah Paradoks Kehidupan 67


18—24persen pertahun dan pemberian kredit berupa uang tunai
dengan periode kredit sesuai daur hasil panen dapat menjadi
pilihan bagi petani tembakau.130
Upaya lain yang bisa ditempuh, antara lain, mendorong
pemberdayaan kelembagaan usaha kelompok untuk menjadi cikal
bakal lembaga keuangan mikro di pedesaan, yang diharapkan
dapat berkembang menjadi lembaga mandiri milik masyarakat
petani tembakau di perdesaan. Upaya semacam ini perlu dukungan
pemerintah, termasuk dalam bentuk pembinaan manajemen dan
bantuan modal kepada kelompok atau gabungan kelompok tani
yang sudah siap tumbuh menjadi lembaga keuangan mikro di
pedesaan.131

5. Risiko Green Tobacco Sickness (GTS) Pada Petani


Tembakau
Pertanian tembakau berisiko menimbulkan gangguan
kesehatan bagi petani Tembakau. Salah satunya adalah penyakit
terkait dengan paparan pestisida dan absorbsi nikotin pada daun
tembakau basah melalui kulit yang disebut Green Tobacco Sickness
(GTS).132 Petani dapat terkena GTS apabila bekerja di lahan
tembakau yang basah tanpa memakai alat pelindung diri (APD)
yang ditandai dengan gejala sakit kepala, mual, muntah, lemas.133
Di beberapa negara GTS telah diteliti dan menunjukkan
tingkat insidensi yang cukup tinggi. Sebuah studi di Brazil
menyebutkan 107 dari 130 sampel kelompok menunjukkan
130
Ade Supriatna. “Aksesibilitas Petani kecil pada Sumber Kredir Pertanian di Ting-
kat Desa: Studi Kasus Petani di NTB”. Lihat http://ojs.unud.ac.id/index.php/soca/article/
view/4198/3183, diakses pada 17 Oktober 2014.
131
Rencana Strategis Kementerian Pertanian. Op.cit.
132
Lihat TCSC-Indonesia. 2012. Petani Tembakau di Indonesia. (Jakarta : TCSC-AIKMI).
[serial online]. http://tcsc-indonesia.org/wp-content/uploads/2012/08/Fact-Sheet-Petani-
Tembakau-Di-Indonesia.pdf. Diaksesi pada 20 Januari 2015
133
McKnight, R.H. Spiller, H.A. 2005. Green Tobacco Sickness in Children and Adoles-
cents. (Public Health Report/November-December/Volume 120).

68 Petani Tembakau di Indonesia


Petani Seringkali tidak menggunakan alat pelindung diri ketika berangkat ke kebun tembakau, Jember.

gejala-gejala GTS seperti pusing, sakit kepala, lemas, mual


dan muntah dengan kecenderungan yang lebih tinggi terjadi pada
kelompok laki-laki, bukan perokok dan bekerja di lahan tembakau
saat panen.134
Sementara penelitian di Carolina, Amerika Serikat,
menyebutkan 18,4% dari 304 petani tembakau positif terkena GTS
dengan gejala gatal-gatal dan luka di kulit.135
Di Indonesia beberapa penelitian mengenai GTS menunjukkan
kecenderungan yang sama. Penelitian yang dilakukan oleh
Suprapto pada tahun 2005 di Kabupaten Temanggung menyebutkan
bahwa tingkat insidensi GTS mencapai 63,7% dengan gejala yang
134
Oliveira, P.P.V. 2010. First Reported Outbreak of Green Tobacco Sickness in Brazil [se-
rial online].http://portal.saude.gov.br/portal/arquivos/pdf/artigodoencafolhaverdearapiraca.
pdf. Diakses pada 24 Januari 2015
135
Arcury T.A, Quandt S.A, Preisser J.S, Norton D. 2005. The Incidence of Green Tobacco
Sickness and Skin Integrity among Migrant Latino Farmworkers. Journal Occupacional En-
vironment Medical 2001;43:601-9.

Sebuah Paradoks Kehidupan 69


Gambar pekerja tembakau yang didominasi wanita, Jember. Sumber : Dewi Rokhmah

ditemukan adalah pusing, sakit kepala serta kelelahan.136 Adapun


faktor resiko terjadinya GTS diantaranya adalah pengalaman
kerja, letak daun yang dipetik, serta penggunaan alat pelindung.
Penggunaan alat pelindung diri dan pakaian yang bisa melindungi
sentuhan langsung dengan daun tembakau basah dapat membantu
meminimalisir kemungkinan terkena GTS. Sementara penelitian
Dewi Rokhmah dari Universitas Jember yang meneliti 89 responden
petani Tembakau menunjukkan 66 % petani mengalami gejala
GTS.137
Namun selama ini risiko terkena GTS belum banyak disadari
oleh petani Tembakau. Penelitian di Jember di atas menunjukkan
tingkat pengetahuan Petani terhadap GTS masih rendah (96%),
sikap yang negatif terhadap pencegahan GTS (98%), serta memiliki
perilaku pencegahan GTS yang kurang baik (76%). Kurangnya
136
Suprapto, S. 2005. Insiden dan Faktor Risiko Green Tobacco Sickness (GTS) pada
Petani Pemetik Daun Tembakau di Desa Bansari, Kecamatan Parakan, Kabupaten Te-
manggung. Jawa Tengah. Tesis. Universitas Indonesia. [serial online]. http://lontar.ui.ac.id/
opac/themes/libri2/detail.jsp?id=80274&lokasi=lokal.
137
Dewi Rokhmah, Analisis Faktor Risiko Green Tobacco Sickness (GTS) Dan Me-
tode Penanganannya Pada Petani Tembakau,http://repository.unej.ac.id/bitstream/
handle/123456789/58903/dewi_pemula_205.pdf?sequence=1 diakses 23 Januari 2015

70 Petani Tembakau di Indonesia


Pertanian Tembakau melibatkan anggota keluarga petani bahkan yang sudah tua sekalipun, Jember.
Sumber : Dewi Rokhmah
pemahaman dan pengetahuan masyarakat mengenai risiko GTS ini
juga menyebabkan isu GTS menjadi sebuah realitas yang terabaikan.
Sebagain petani yang merasakan gejala-gejala gangguan ini
bahkan tidak menyadari bahwa mereka sudah terjangkit GTS.
Oleh karena itu ada beberapa pendekatan yang dapat
dilakukan unuk menanggulangi dan mencegah terjangkitnya GTS
pada petani Tembakau yaitu melalui (1) peningkatan pengetahuan
dan sikap petani tembakau tentang GTS (2) pengadaan APD berupa
sarung tangan dan pakaian tahan air dan sepatu boot, serta (3)
peningkatan peran ketua kelompok tani dan petugas penyuluh
kesehatan dalam pencegahan GTS.138
Mengingat GTS dapat menimbulkan gangguan kesehatan
maka diharapkan ada sosialisasi pencegahan gejala GTS di
kalangan petani tembakau. Sosialisasi ini bisa dilakukan melalui
pertemuan kelompok tani yang ada di setiap desa atau kecamatan
sentra penghasil
tembakau melalui
petugas penyuluh
pertanian Dinas
Perkebunan. Upaya lain
yang bisa dilakukan oleh
pemerintah membantu
menyediakan APD
berupa kaus tangan dan
baju panjang berbahan
kedap air serta sepatu
anti air untuk petani
tembakau dalam rangka
mencegah terjadinya
gejala GTS.
Gambar anak-anak diantara daun tembakau
Sumber : Dewi Rokhmah

138
ibid

72 Petani Tembakau di Indonesia


E. Pergeseran Pasar Tembakau Global
Menurut data WHO, pada 1999, lima besar eksportir daun
tembakau adalah Brasil, AS, Zimbabwe, Tiongkok dan Turki,
sedangkan lima besar importir daun tembakau adalah Rusia, AS,
Jerman, Inggris dan Belanda. Menarik untuk dicatat bahwa AS
mengekspor dan mengimpor tembakau dalam jumlah yang tidak
jauh beda (241 dan 191 ribu metrik ton).139
Karena tembakau ASsangat populer dan cenderung lebih
mahal daripada tembakau daerah lain, maka nilai transaksi ekspor
tembakau AShampir dua kali lipat nilai impornya. Hal yang sama
juga terjadi pada produksi rokok dimana pada 1999 AS menjadi
eksportir utama rokok (hampir 20% dari total perdagangan rokok
diekspor oleh AS.140 Namun sejak lima tahun terakhir AS menjadi
net-importir rokok.141
Jika dilihat secara statistik, tampak bahwa perdagangan
dunia atas tembakau dan produk turunannya berubah secara
dinamis dari waktu ke waktu. Terjadi pergeseran pasar, baik untuk
daun tembakau (2401), rokok dan cerutu (2402), maupun tembakau
olahan (2403).
Data berikut merupakan data neraca perdagangan/balance
of payment (BOP) atau ekspor minus impor 15 negara pemain
utama perdagangan tembakau dan produk turunannya, dan
ditampilkan dalam grafik top 5 net-exporter dan top 5 net-importer
saja. Data didapat dari nomenklatur HS 6 tahun 1986142World

139
Telusuri lebih jauh di http://whqlibdoc.who.int/publications/2002/9241562099.pdf, diak-
ses pada 16 Oktober 2014.
140
Lihat Mardiyah Chamim�����������������������������������������������������������
,����������������������������������������������������������
dkk������������������������������������������������������
. ����������������������������������������������������
2011������������������������������������������������
. ����������������������������������������������
A Giant Pack of Lies, Bongkah Raksasa Kebohon-
gan: Menyorot Kedigdayaan Industri Rokok di Indonesia (Jakarta: KOJI Communications
dan TEMPO Institute), hal 176—177.
141
Lihat Gambar 4, periksa juga www.wits.worldbank.org, diakses pada 17 Oktober 2014.
142
Keterangan lebih lanjut tentang HS Code bisa dibaca di http://customsjakarta.
com/?plh=hscode

Sebuah Paradoks Kehidupan 73


Integrated Trade Solution (WITS) World Bank143. Rentang waktu data
dari 1988 sampai 2013 dengan satuan data dalam Dolar AS (USD).
Lima belas negara dipilih secara purposive berdasarkan intensitas
ekspor-impornya dalam kelompok produk tembakau. Data 0 (nol)
tidak diartikan sebagai tidak adanya transaksi, namun lebih kepada
tidak tersedianya data (tidak tercatat dengan baik) di negara yang
bersangkutan. Data disajikan dalam jumlah bersih (net) yaitu
dengan mengurangkan total nilai ekspor (suatu negara terhadap
semua negara di dunia) dengan total nilai impornya pada tahun
yang sama.
Nilai kelompok produk daun tembakau (2401) didapat
dengan menjumlahkan tiga produk yaitu tobacco, not stemmed/
stripped (240110), tobacco, partly or wholly stemmed/stripped
(240120) dan tobacco refuse (240130). Nilai kelompok produk Rokok
dan cerutu (2402) didapat dari penjumlahan produk cigars, cheroots
and cigarillos containing tobacco (240210), cigarettes containing
tobacco (240220) dan cigars, cigarillos, cigarettes, etc, not containing
tobacco (240290). Nilai kelompok produk Tembakau olahan (2403)
didapat dari penjumlahan produk smoking tobacco with or without
tobacco substitute (240310), homogenized or reconstituted tobacco
(240391) dan other manufactured tobacco, nes (240399).

1. Turunnya Produksi Tembakau Domestik


Lima negara yang menjadi pengekspor bersih daun
tembakau pada 2013 adalah Brasil, India, Zimbabwe, Malawi, dan
Italia. Total ekspor bersih Brasil mencapai USD 3,2 miliar, hampir
tiga kali lipat di atas India yang berada di peringkat kedua sebesar
USD 832 juta. Zimbabwe di urutan ketiga mendapatkan keuntungan
bersih perdagangan daun tembakau sebanyak USD 798 juta,
sedangkan Malawi dan Italia masing-masing sebesar USD 478 juta
dan USD 267 juta.

143
http://wits.worldbank.org/wits/, diakses pada 20 Oktober 2014.

74 Petani Tembakau di Indonesia


Gambar 2
Grafik Lima Besar Negara Net-Eksportir Daun tembakau (2401) tahun 2013 (USD)

3,500,000,000

3,000,000,000

2,500,000,000

2,000,000,000

1,500,000,000

1,000,000,000

500,000,000

0
1988
1989
1990
1991
1992
1993
1994
1995
1996
1997
1998
1999
2000
2001
2002
2003
2004
2005
2006
2007
2008
2009
2010
2011
2012
2013
Brazil India Zimbabwe Malawi Italia

Brasil secara konsisten sejak 1989 (USD 519 juta) hingga 2013
(kecuali tahun 1995) menjadi negara net-eksportir daun tembakau
terbesar di dunia. Luas lahan pertanian di Brasil dan posisinya
di wilayah khatulistiwa memungkinkan Brasil memproduksi
tembakau dalam jumlah besar. Namun demikian,pada 1995 Brasil
kalah dari ASyang mencatat ekspor bersih sebesar USD 818 juta.
AS tidak masuk lima besar pada 2013, walaupun sejak 1992 sampai
2012 selalu berada pada peringkat 5 besar. Pada 1992 hingga 2007
(kecuali tahun 1996 dan 2005), ASmasuk dalam tiga besar bersama
Brasil.
Selain AS, dua negara yang menempati lima besar pada
tahun-tahun sebelum 2013 adalah Tiongkok dan Turki. Turki sejak
1990—2006berada pada kelompok empat besar. Bahkan pada
1990, 1991, dan 2005 Turki berada di urutan kedua net-eksportir
daun tembakau di bawah Brasil. Secara lengkap perubahan urutan
peringkat lima besar negara net-eksportir daun tembakau sejak
1988—2013dapat dilihat pada tabel di bawah ini.

Sebuah Paradoks Kehidupan 75


Tabel 2
Lima Besar Negara Net-Eksportir Daun tembakau, 1988-2013144

No 1988 1989 1990 1991 1992 1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013
1 IND BRA BRA BRA BRA BRA BRA USA BRA BRA BRA BRA BRA BRA BRA BRA BRA BRA BRA BRA BRA BRA BRA BRA BRA BRA
2 BRA TUR TUR TUR USA USA USA BRA MWI USA USA USA USA ZWE USA USA ZWE TUR USA MWI IND IND IND ZWE IND IND
3 ZWE IND MWI USA TUR TUR TUR ZWE TUR MWI MWI MWI ZWE USA MWI MWI USA IND MWI USA MWI MWI MWI IND ZWE ZWE
4 MWI IDN IND MWI IND IND MWI MWI USA IND TUR TUR MWI MWI ZWE IND TUR USA TUR IND USA USA USA MWI ITA MWI
5 ITA ZWE IDN IND CHN CHN CHN IND IND TUR CHN IND IND IND IND TUR IND ITA IND ITA ITA ITA ZWE USA USA ITA

Sumber: www.wits.worldbank.org (data diolah)

Dari tabel di atas terlihat bahwa ada sembilan negara


yang pernah masuk lima besar net-eksportir daun tembakau dari
1988—2013. Negara dengan frekuensi paling tinggi adalah Brasil,
yaitu sebanyak 26 kali. Urutan kedua hingga kedelapan adalah India
(24 kali), AS (22 kali), Malawi (20 kali), Turki (14 kali), Zimbabwe (11
kali), Italia (7 kali) dan Tiongkok (4 kali). Indonesia adalah negara
yang frekuensinya paling kecil di lima besar net-eksportir daun
tembakau, yakni sebanyak 2 kali.

2. Meningkatnya Impor Daun Tembakau


Indonesia pernah menjadi negara keempat dan kelima
terbesar eksportir daun tembakau, yakni pada 1989 dan 1990,
dengan nilai ekspor bersih sebesar USD 22,1 juta dan USD 16,6
juta. Selain itu, pada 1992 dan 1998, Indonesia juga menempati
posisi keenam dan ketujuh, dengan nilai ekspor bersih sebesar USD
16,4 juta dan USD 7,15 juta. Namun sejak 1993 Indonesia menjadi
negara net-importir. Bahkan pada 2013 Indonesia menduduki
urutan keempat, setelah Rusia, Tiongkok dan Jerman, dengan
defisit sebesar USD 425 juta.

144
Nama negara ditulis dengan singkatan mengikuti standar perdagangan internasional,
yaitu: BRA (Brasil), CHN (Tiongkok), DEU (Jerman), FRA (Perancis), GBR (Inggris), IDN
(Indonesia), IND (India), ITA (Italia), JPN (Jepang), MWI (Malawi), NLD (Belanda), RUS
(Rusia), TUR (Turki), USA (Amerika Serikat), dan ZWE (Zimbabwe).

76 Petani Tembakau di Indonesia


Gambar 3
Grafik Lima Besar Negara Net-Importir Daun tembakau (2401) tahun 2013 (USD)

250,000,000

0
1988
1989
1990
1991
1992
1993
1994
1995
1996
1997
1998
1999
2000
2001
2002
2003
2004
2005
2006
2007
2008
2009
2010
2011
2012
2013
-250,000,000

-500,000,000

-750,000,000

-1,000,000,000

-1,250,000,000

Belanda Indonesia Jerman China Rusia

Sumber: www.wits.worldbank.org (data diolah)

Meningkatnya impor Indonesia atas daun tembakau


disebabkan oleh beberapa hal. Pertama,berkurangnya lahan
pertanian tembakau akibat dinamika sektor ekonomi. Tembakau
yang biasa ditanam di Jawa, Madura, Sumatera, dan NTB,mengalami
kekurangan lahan, karena meningkatnya permintaan tanah untuk
perumahan dan industri. Kedua,anomali cuaca. Hujan dan kurangnya
air di musim tanam tembakau menyebabkan kuantitas dan kualitas
tembakau menurun. Ketiga, harga tembakau impor yang semakin
kompetitif (murah), khususnya dari India, Zimbabwe dan Malawi.
Keempat,meningkatnya jumlah perokok di Indonesia.145
Negara paling banyak mengimpor daun tembakau pada
2013 adalah Rusia, yaitu senilai USD 1,11 miliar. Rusia menjadi net-
importir terbesar sejak 2004 hingga 2013. Impor bersih terbesar
Rusia terjadi pada 2012 senilai USD 1,14 miliar. Tahun-tahun

145 Lihat Madiyah Chamim, Op.cit., hal 23—31

Sebuah Paradoks Kehidupan 77


sebelumnya didominasi oleh Jerman dengan defisit perdagangan
terbesar pada 1992 sebesar USD 842 juta.
Negara lain yang pernah menjadi importir lima terbesar,
antara lain Jepang, Inggris, dan Perancis. Umumnya negara
importir daun tembakau adalah negara kutub yang tidak dapat
menanam tembakauatau negara produsen rokok. Dinamika lima
besar negara net-importir daun tembakau pada 1988—2013
tampak pada tabel berikut.

Tabel 3
Lima Besar Negara Net-Importir Daun tembakau, 1988-2013146
No 1988 1989 1990 1991 1992 1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013
5 IDN NLD NLD CHN GBR IDN FRA IDN RUS RUS NLD GBR NLD NLD NLD NLD GBR JPN JPN JPN GBR JPN JPN CHN IDN NLD
4 CHN CHN CHN RUS RUS NLD GBR GBR NLD NLD RUS NLD RUS GBR GBR GBR NLD GBR GBR GBR JPN GBR GBR GBR CHN IDN
3 RUS RUS RUS IDN NLD GBR NLD NLD JPN JPN GBR RUS JPN JPN JPN JPN JPN NLD NLD NLD NLD NLD DEU DEU NLD DEU
2 JPN DEU JPN JPN JPN JPN DEU JPN DEU DEU JPN JPN DEU RUS DEU RUS DEU DEU DEU DEU DEU DEU NLD NLD DEU CHN
1 DEU JPN DEU DEU DEU DEU JPN DEU GBR GBR DEU DEU GBR DEU RUS DEU RUS RUS RUS RUS RUS RUS RUS RUS RUS RUS

Sumber: www.wits.worldbank.org (data diolah)

3. Masuknya Industri Rokok Asing


Meningkatnya kepedulian masyarakat terhadap risiko
kesehatan akibat konsumsi rokok membuat pertumbuhan konsumsi
rokok di negara-negara maju tidak sesuai harapan. Berbagai
kebijakan ketat yang disusun untuk melindungi warganya membuat
industri tembakau tersudutkan.147 Salah satunya kerangka kebijakan
dunia yang mengetatkan distribusi produk tembakau adalah Konvensi
Kerangka Kerja Pengendalian Tembakau (Framework Convention on Tobacco
Control—FCTC). FCTC merupakan konvensi yang dikeluarkan pada
2003 oleh WHO dan telah diratifikasi oleh 180 negara di dunia.148

146
Urutan negara net-importir dari atas ke bawah dimulai dari nomor 5 hingga nomor 1,
untuk memberikan penekanan bahwa negara yang paling bawah adalah negara net-importir
tertinggi (nomor 1).
147
Pada tahun 2004 pertumbuhan penjualan pasar domestik Phillip Morris (PM) di Amerika
hanya tumbuh 3%. Sementara dengan ekspansi internasionalnya PM mampu meraih ke-
naikan penjualan hingga 18%. http://finance.detik.com/read/2005/03/15/105751/317484/6/
di-balik-pembelian-hm-sampoerna-oleh-philips-morris diakses pada 19 Januari 2015.
148
Lihat http://www.who.int/fctc/en/ diakses pada 19 Januari 2015.

78 Petani Tembakau di Indonesia


Ketatnya regulasi dan meningkatnya kepedulian masyarakat
terhadap bahaya merokok mendorong industri-industri rokok
internasional untuk melakukan ekspansi ke negara-negara
berkembang yang merupakan pasar potensial. Selain penduduknya
besar, negara berkembang pada umumnya tidak memiliki
kerangka kebijakan pengendalian tembakau. Indonesia merupakan
salah satu tujuan investasi yang sangat diminati industrirokok
internasional. Dengan jumlah penduduk lebih dari 200 juta jiwa,
Indonesia merupakan pasar produk tembakau yang sangat menarik
dengan pertumbuhan penduduk yang tinggi. Kondisi ini didukung
pula dengan sikap pemerintah Indonesia yang selama ini ‘ramah’
terhadap investor termasuk industri rokok asing.
Ekspansi ke Indonesia merupakan suatu peluang yang
sangat strategis bagi industri rokok internasional untuk menikmati
pertumbuhan Indonesia sebagai pasar rokok kelima terbesar
di dunia. Langkah ekspansi tersebut dilakukan dengan cara
melakukan akuisisi atau pembelian kepemilikan saham industri
rokok nasional oleh perusahaan rokok internasional. Selama
ini perusahaan rokok internasional kesulitan bersaing untuk
memperebutkan pasar rokok kretek yang mencakup 93% pasar
rokok Indonesia.Rokok kretek adalah rokok yang dibuat dari
tembakau dan cengkeh dan diproduksi dengan mesin atau dibuat

Sebuah Paradoks Kehidupan 79


dengan tangan. Dengan mengakuisisi perusahaan local, maka
industri rokok internasional dapat dengan mudah masuk ke dalam
pasar rokok kretek Indonesia.149
Dalam dua puluh tahun terakhir paling tidak ada tiga
peristiwa akuisisi perusahaan rokok lokal oleh perusahaan asing,
yaitu akuisisi HM Sampoerna oleh Phillip Morris, Bentoel oleh BAT
dan Trisakti Purwosari Makmur (TPM) oleh KT&G.

Tabel 3.a
Akuisisi Perusahaan Rokok Lokal oleh Industri Asing
No Perusahaan Nilai Tahun
1. HM Sampoerna oleh Phillip Morris 48 T 2005
International
2. Bentoel oleh BAT US$ 494 juta (Rp 5 T) 2009
3. TPM oleh KT&G Rp 1,12 triliun 2012

Pada 2005 Phillip Morris International Inc (PMI)


mengumumkan pembelian 97% saham PT HM Sampoerna
seharga 48 triliun.150 Phillip Morris adalah bagian dari Altria
Group yang merupakan perusahaan tembakau Internasional dari
AS yang menguasai 15,7% pasar tembakau Internasional pada
2013.151Pembelian Sampoerna oleh PMI merupakan transaksi
korporasi terbesar dalam sejarah perusahaan di Tanah Air.
Pembelian Sampoerna pada 2005 memuluskan langkah PMI untuk
menguasai pangsa pasar kretek Indonesia. Pada 2005 Phillip
Morris hanya menguasai 8% pangsa pasar kretek Indonesia,
sementara Sampoerna menguasai 92 persen atau sekitar 210

149
Periksa http://news.detik.com/transisipresiden/read/2009/06/17/110437/1149220/6/
akuisisi-bentoel-bat-incar-pasar-kretek-indonesia diakses pada 19 Januari 2015.
150
Lihat http://www.tempo.co/read/news/2005/05/18/05661178/Philip-Morris-Kuasai-97-
Persen-Saham-Sampoerna diakses pada 19 Januari 2015.
151
Lihat http://www.pmi.com/eng/about_us/company_overview/pages/company_overview.
aspx, diakses pada 12 Januari 2015.

80 Petani Tembakau di Indonesia


miliar batang.152 Akuisisi
Sampoerna oleh Phillip
Morris telah meningkatkan
penguasaan Sampoerna
terhadap industri rokok di
Indonesia, dari 27 % pada 2009
menjadi 35% pada 2012.153
Saat ini HM Sampoerna
merupakan industri rokok
terbesar di Indonesia dengan
jumlah pekerja mencapai 100.000 pekerja di 47 fasilitas produksi
dan merupakan pembeli tembakau dan cengkeh lokal terbesar.154
Keberanian Phillip Morris membeli Sampoerna dengan harga
mahal terbayar dengan keuntungan yang menjanjikan. Pada 2013
saja Sampoerna meraih laba bersih sebesar 10 T.155
Kesuksesan Phillip Morris dengan Sampoerna mendorong
industri rokok internasional lain untuk melakukan langkah serupa.
Pada 2009 British American Tobacco (BAT) mengakuisisi 85%
saham perusahaan rokok terbesar ke-4 di Indonesia, yaitu PT
Bentoel Internasional Investama Tbk (RMBA), dari PT Rajawali
Corpora seharga US$ 494 juta atau setara Rp 5,003 triliun.156BAT
adalah perusahaan rokok internasional yang berasal dari Inggris

152
Periksa http://finance.detik.com/read/2005/03/15/105751/317484/6/di-balik-pembelian-
hm-sampoerna-oleh-philips-morris diakses pada 15 Januari 2015
153
Lihat http://www.thejakartapost.com/news/2009/06/18/bat-buys-bentoel-challenge-big-
three-market-domination.html diakses pada 12 Januari 2015
154
Periksa http://swa.co.id/business-strategy/perjalanan-hm-sampoerna-merajai-swa-100-
tahun-2013 diakses pada 19 Januari 2015
155
Lihat http://www.tribunnews.com/bisnis/2014/05/09/2013-hm-sampoerna-raup-laba-rp-
108-triliun diakses pada 19 Januari 2015
156
Periksa http://finance.detik.com/read/2009/06/17/110437/1149220/6/akuisisi-bentoel-
bat-incar-pasar-kretek-indonesia, juga lihat http://news.detik.com/transisipresiden/read/2
009/06/17/105830/1149214/6/bat-crossing-85125-saham-bentoel-rp-5003-triliun diakses
pada 19 Januari 2015

Sebuah Paradoks Kehidupan 81


dan merupakan
salah satu dari lima
perusahaan rokok
terbesar di dunia.
Bahkan selain
membeli Bentoel,
BAT juga melirik
perusahaan rokok
nasional lain, yaitu
Wismilak dan dikabarkan telah menguasai 40% dari saham
perusahaan rokok tersebut.157 Akuisisi Bentoel dan pembelian
sebagian saham Wismilak menjadikan BAT sebagai penantang
Phillip Morris di pasar tembakau Indonesia.
Langkah akuisisi perusahaan juga dilakukan oleh Korea
Tomorrow and Global Corporation (KT & G), salah satu perusahaan
dari Korea Selatan. KT & G adalah pemilik merk rokok Esse dan
cerutu Bohem dan beberapa merk internasional lainnya.158 Pada
2012, KT & G membeli 60% saham PT Trisakti Purwosari Makmur
(TPM) senilai 140 miliar won atau setara Rp 1,12 triliun dari
perusahaan tembakau terbesar keenam di Indonesia itu.159Di Pulau
Jawa, produk-produk TPM kurang digemari, namun perusahaan
tersebut memfokuskan
pemasaran produknya di
luar pulau Jawa mencakup
Medan, Padang, Palembang,
Pekan Baru, Samarinda,
dan Banjarmasin. TPM

157
Lihat http://bisnis.news.viva.co.id/news/read/506350-perusahaan-rokok-asing-incar-
saham-wismilak dan http://en.wikipedia.org/wiki/British_American_Tobacco
158
Periksa http://en.wikipedia.org/wiki/Korea_Tobacco_%26_Ginseng_Corporation di-
akses pada 19 Januari 2015.
159
Lihat http://www.liputan6.com/read/345051/korsel-beli-perusahaan-rokok-indonesia di-
akses pada 19 Januari 2015.

82 Petani Tembakau di Indonesia


mengklaim sebagai perusahaan rokok terbesar keenam di
Indonesia dan telah berhasil menjual 3 miliar batang rokok dengan
Jumlah karyawan lebih dari 3.000 orang.160
Tren akuisisi perusahaan rokok Indonesia oleh perusahaan
asing nampaknya masih belum berakhir. Beberapa sumber
menyebutkan bahwa Japan Tobacco International (JTI), produsen
rokok asal Jepang, juga berminat melakukan hal yang sama. JTI
dikabarkan sedang melakukan pembicaraan dengan perusahaan
rokok besar di Indonesiaseperti Djarum, Gudang Garam, dan
Nojorono. JTI adalah produsen rokok terbesar ketiga di dunia.161
Namun hingga kini belum ada kabar kepastian perusahaan mana
yang akan diakuisisi oleh perusahaan rokok pemilik merek Winston,
Camel, dan Mild Seven tersebut.
Ekspansi industri rokok di Indonesia terjadi karena adanya
kebijakan pengendalian tembakau di negara-negara maju. Pada
2014, Phillip Morris menutup pabriknya di Morabbin di Victoria,
Australia, karena penurunan penjualan dan hanya berproduksi
setengah dari kapasitas aslinya. Penutupan ini juga merupakan
buntut dari pembatasan ekspor yang dilakukan oleh pemerintah
setempat dan penerapan kebijakan baru bungkus rokok di
australia.162 Pada tahun2012 Australia menjadi negara pertama di
dunia yang memperkenalkan kebijakan “bungkus rokok polos” (plain
packaging), yang melarang semua penggunaan logo perusahaan
dan warnadengan tetap harus menampilkan peringatan kesehatan
bergambar. Hal inilah yang dikalim menjadi penyebab pemindahan
produksi rokok ke pabrik Phillip Morris di Korea Selatan.163

160
Lihat http://ekonomi.inilah.com/read/detail/1875686/industri-rokok-diincar-karena-molek
diakses pada 5 Januari 2015.
161
ibid
162
Lihat http://ekbis.sindonews.com/read/849914/35/philip-morris-tutup-pabrik-di-australia-
1396431758 diakses pada 19 Januari 2015.
163
Periksa http://www.bbc.co.uk/indonesia/majalah/2014/04/140402_bisnis_philip_mor-
ris_tutup diakses pada 19 Januari 2015.

Sebuah Paradoks Kehidupan 83


Phillip Morris juga mengumumkan penutupan pabriknya di
Bergen op Zoom, West Brabant, Belanda pada 2014 yang membuat
1.230 karyawannya kehilangan pekerjaan. Pabrik di Bergen op Zoom
mempekerjakan setidaknya 1.400 pekerja dan merupakan salah
satu pabrik terbesar dimana pada 2013 mampu memproduksi 75
juta batang rokok merek Marlboro dan Chesterfield di pabrik itu.164
Pabrik ini mengekspor rokok ke sejumlah negara di Eropa dan
Jepang. Alasan penutupan ini adalah penurunan penjualan yang
drastis hingga 20%dalam empat tahun terakhir. Phillip Morris
menyatakan penurunan ini terjadi karena krisis keuangan yang
terjadi di Eropa yang membuat orang memilih untuk membeli
rokok yang lebih murah.165
Fenomena ini justru berbanding terbalik dengan apa yang
terjadi dengan pabrik-pabrik rokok di Indonesia. Perusahaan rokok
melakukan investasi besar-besaran untuk menggenjot produksinya.
Pada Juni tahun 2012 PT Hanjaya Mandala (HM) Sampoerna Tbk
meresmikan dua pabrik rokok baru di Probolinggo dan Lumajang,
Jawa Timur, dengan menciptakan lebih dari 8.400 lapangan kerja
bagi warga setempat.166 Kemudian pada 10 Oktober 2013, PT HM
Sampoerna kembali meresmikan pabrik baru di Karawang, Jawa
Barat dengan nilai sekitar 174 juta dolar AS atau sekitar Rp 2 triliun.
Paul Janelle, direkturutama Phillip Morris Indonesia menyatakan
bahwa investasi di Karawang dilakukan dalam rangka peningkatan
kapasitas produksi Marlboro untuk pasar domestik dan ekspor,
khususnya pasar Asia Pasifik.167
164
Lihat http://www.tribunnews.com/internasional/2014/04/04/setelah-di-australia-pabrik-
rokok-marlboro-juga-tutup-di-belanda diakses pada 19 Januari 2015.
165
Periksa http://finance.detik.com/read/2014/05/19/080355/2585367/1036/induk-hm-
sampoerna-juga-tutup-pabrik-di-australia-dan-belanda diakses pada 2 Januari 2015.
166
Lihat http://www.neraca.co.id/bursa-saham/16326/Bangun-Dua-Pabrik-Baru-Sampoer-
na-Buka-8400-Lapangan-Kerja diakses pada 1 Januari 2015.
167
Periksa http://www.tribunnews.com/bisnis/2013/10/10/investasi-rp-2-t-philip-morris-wu-
jud-kepercayaan-penanaman-modal-di-indonesia dan http://finance.detik.com/read/2013/1
0/09/165720/2382703/1036/sampoerna-dan-philip-morris-bangun-pabrik-rokok-rp-2-triliun-

84 Petani Tembakau di Indonesia


Ekspansi dan peningkatan produksi ini tak hanya dilakukan
dengan menambah pabrik baru seperti dilakukan di Surabaya,
Purwokerto, Pasuruan, Gresik, Madiun, dan Panarukan, namun
juga dengan melakukan intensifikasi kerja seperti menambah line
produksi dan menerapkan duashift kerja.168Ekspansi juga dilakukan
oleh perusahaan rokok lainnya, Bentoel membangun 8 pabrik baru
untuk memenuhi target produksi 20 milliar batang pada 2009.169

4. Konsumsi Rokok Meningkat, Petani Tetap Rugi


Fenomena ekspansi pabrik rokok di negara berkembang dan
ditutupnya beberapa pabrik di negara maju semakin menegaskan
bahwa industri rokok internasional memang melakukan relokasi ke
pasar-pasar baru untuk mendapatkan penjualan yang lebih stabil
dan menekan biaya produksi. Dengan regulasi yang cenderung
lebih longgar, industri rokok internasional leluasa menggunakan
kelebihan modal yang dimiliki untuk menguasai pasar-pasar
konsumsi rokok di negara-negara berkembang.
Agresifitas dari industri rokok internasional ini terlihat dari
peningkatan konsumsi rokok di Indonesia yang meningkat dengan
sangat cepat. Laporan WHO pada 2008 menunjukkan Indonesia
berada pada peringkat ketiga untuk jumlah perokok terbesar
dari jumlah perokok dunia (4.8%), setelah Cina (30%) dan India
(11.2%).170Konsumsi rokok di Indonesia meningkat dari 182 milyar
batang pada 1998 menjadi 260,8 milyar batang pada 2009.171Dari
di-karawang, diakses pada 19 Januari 2015.
168
Lihat http://finance.detik.com/read/2013/05/19/175701/2250004/1036/2/djarum-gu-
dang-garam-sampoerna-cs-ekspansi-pabrik-penerimaan-cukai-kinclong, diakses pada 19
Januari 2015.
169
Periksa http://finance.detik.com/read/2008/08/08/124044/985168/4/2/bentoel-bangun-8
-proyek-baru, diakses pada 19 Januari 2015.
170
World Health Organization. WHO Report on the Global Tobacco Epidemic 2009: Imple-
menting smoke-free environments. Geneva, WHO, 2009 di http://www.who.int/tobacco/
mpower/2009/en/index.html diakses pada 8 Januari 2015
171
Lihat TCSC. 2012. Bunga Rampai Fakta Tembakau dan Permasalahannya di Indonesia.
(Jakarta: TCSC-IAKMI), hal 2.

Sebuah Paradoks Kehidupan 85


2010—2011, produksi rokok mengalami kenaikan dari 270 miliar
batang menjadi 300 miliar batang,172dan ditargetkan meningkat
menjadi 358 miliar batang rokok pada 2014.173
Peningkatan konsumsi dan produksi rokok yang sangat
tinggi itu tentu saja membutuhkan pasokan dari pertanian
Tembakau sebagai bahan baku utama. Logikanya, kebutuhan yang
tinggi akan rokok, maka harga daun tembakau akan naik, karena
permintaan yang meningkat. Namun fakta di lapangan berbicara
lain. Peningkatan konsumsi rokok tidak diiringi dengan peningkatan
produksi daun tembakau sebagai bahan baku industri rokok. Jika
produksi rokok meningkat 88 milliar batang dalam empat tahun
(2010—2014), maka produksi tembakau hanya bertambah 30,5 ribu
ton dari 135.680 ton tahun 2010 menjadi 166.262 ton.174
Salah satu penyebab tidak terlalu pesatnya pertumbuhan
produksi tembakau adalah perubahan cuaca yang ekstrim.
Tembakau merupakan tanaman semusim yang hanya bisa tumbuh
baik di musim panas. Sementara jika terjadi hujan yang tidak menentu
maka produksi tembakau petani menjadi terganggu. Curah hujan yang tinggi
mengakibatkan petani gagal panen.175 Musim hujan yang tidak menentu
juga membuat masa panen berubah, seperti yang terjadi di Kendal pada
2014. Mundurnya masa tanam yang biasanya dimulai pada Mei bergeser ke
Juni. Perubahan masa tanam mengakibatkan petani kehilangan momentum
untuk menjual produknya ke pabrik dan berakibat pada anjloknya harga
tembakau.176
172
Ibid., hal 69.
173
Lihat http://www.tempo.co/read/news/2014/09/04/090604453/Produksi-Rokok-Turun-
Target-Cukai-Tak-Tercapai, diakses pada 5 Januari 2015.
174
Data produksi pertanian tembakau sebagai mana dikutip dalam TCSC. 2012. Bunga
Rampai Fakta Tembakau dan Permasalahannya di Indonesia. (Jakarta: TCSC-IAKMI), hal
38 dan http://www.pertanian.go.id/Indikator/tabel-3-prod-lsareal-prodvitas-bun.pdf, diakses
1 Januari 2015.
175
Lihat http://www.tribunnews.com/bisnis/2013/10/17/produksi-tembakau-tahun-2013-
anjlok-karena-curah-hujan-tinggi, diakses pada 1 Januari 2015.
176
Periksa http://kabar24.bisnis.com/read/20140716/78/243827/produksi-tembakau-mero-
sot-harga-di-kendal-anjlok, diakses pada 1 Januari 2015.

86 Petani Tembakau di Indonesia


Produksi daun tembakau Indonesia berkisar antara 130—
170ribu ton setiap tahunnya. Sementara kebutuhan daun tembakau
industri rokok setiap tahunnya berkisar 250 ribu ton. Dengan
demikian, terdapat devisit 80—110ton dari kebutuhan industri.177
Kebutuhan ini kemudian dipenuhi dengan impor tembakau dari
negara penghasil tembakau lain seperti China, India, dan Amerika
Serikat. Pada 2012, volume impor tembakau Indonesia mencapai
137.425,70 ton.178
Namun kebijakan untuk memenuhi defisit produksi daun
tembakau dengan cara impor menimbulkan masalah baru. Karena
kebijakan impor yang dibuka luaskerapkali mengakibatkan keadaan
dimana stok daun tembakau dipasar terlalu banyak, sehingga
terjadi over supply. Kondisi ini mengakibatkan harga tembakau
menjadi turun dan petani kembali dirugikan.

F. Intervensi dan Lobi Industri


Selama ini berkembang mitos yang mengagungkan peran
penting pertanian tembakau dalam perekonomian. Disebutkan
bahwa pertanian tembakau menghidupi jutaan petani. Asosiasi
petani tembakau yang didukung oleh industri rokok juga
mendukung pentingnya pertanian tembakau dalam kehidupan
petani. Mereka memperjuangkan adanya UU khusus yang mengatur
pertembakauan. Dengan lobi yang cukup kuat dari asosiasi petani
tembakau dan industri rokok, Rancangan UU (RUU) Pertembakauan
pun disetujui untuk dibahas di DPR.179
RUU Pertembakauan tersebut ternyata lolos masuk
Prolegnas, baik di DPR 2009-1014 maupun di DPR 2014-2019.

177
Lihat http://skalanews.com/news/detail/119570/5/setiap-tahun--80-ribu-ton-tembakau-
impor-masuk-indonesia-.htmldiakses 1 Januari 2015.
178
Periksa http://www.neraca.co.id/industri/41898/Impor-Tembakau-Cenderung-Terus-
Meningkat/2, diakses 1 Januari 2015.
179
Lihat http://www.dpr.go.id/id/berita/paripurna/2014/jul/15/8374/ruu-pertembakauan-
disetujui-jadi-usul-inisiatif-dpr, diakses pada 17 Oktober 2014.

Sebuah Paradoks Kehidupan 87


PLAZA INDONESIA, yang dibeli oleh pengusaha rokok dan orang terkaya di Indonesia adalah
lambang supremasi kedigdayaan industri tembakau di Indonesia.
Sumber: http://indoplaza.files.wordpress.com/2010/05/gist.jpg

Padahal RUU tersebut tidak memiliki Naskah Akademik, tanpa


melalui Sidang Komisi dan ditolak oleh Pleno DPR 2009-2014.
Beberapa pasal dari RUU tersebut nyata-nyata bertabrakan
dengan UU RI No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan dan beberapa
Peraturan Pemerintah turunannya.180 Karena mulusnya RUU
tersebut masuk ke Prolegnas dengan tanpa memalui berbagai
persyaratan dan prosedur baku diDPR, sehingga Nafsiah Mboi,
Menteri Kesehatan (2013-2014) menduga bahwa RUU tersebut
merupakan pesanan industri rokok.181
Sudah merupakan rahasia umum bahwa industri
rokok memiliki kekuatan intervensi dan lobi dalam rangka
memperjuangkan kelapangan usaha dan menguasai pasar.
180
Ahmad Nur Hasim, RUU Kontroversial Masuk Program Legislasi, Koran Tempo 7
Februari 2015 halaman 7
181
Ibid

88 Petani Tembakau di Indonesia


Kekuatan lobi dan intervensi tersebut tidak saja bermain di tingkat
hilir, tapi juga di tingkat hulu nasional dalam rangka mewujudkan
kebijakan Pemerintah yang menguntungkan usahanya. Kasus
dimunculkannya dengan mulus RUU Pertembakauan di DPR
2014-2019 ini, disatu sisi akan mendukung mitos industri bahwa
tembakau adalah komoditas unggulan nasional, mengalahkan
komiditi pangan unggulan lain seperti padi, sayur mayur yang tidak
ada undang-undangnya, tapi RUU Pertembakauan tersebut kalau
berhasil akan sekaligus menabrak UU RI No. 36 tentang Kesehatan
dengan segala turunannya.
Upaya penyelundupan RUU Pertembakauan tersebut
merupakan skandal DPR jilid kedua, setelah skandal DPR jilid
pertama berupa “skandal ayat yang hilang”, yakni ketika lobi
industri di DPR2009-2014 tiba-tiba bisa menghilangkan Ayat
2 Pasal 113 RUU tentang Kesehatan yang menegaskan bahwa
tembakau, sesuai namanya nicotiana tabacum, mengandung nikotin
yang merupakan zat adiktive yang berbahaya.` Seperti diketahui,
upaya penghilangan Ayat 2 Pasal 113 tersebut terjadi setelah RUU
tentang Kesehatan tersebut disahkan oleh Pleno DPR pada tanggal
14 September 2009, sebelum naskah dikirim ke Sekretariat Negara
untuk ditandatangani oleh Presiden RI182.
Tidak menyerah dengan kegagalan “skandal pencurian
ayat” di DPR tersebut pada tahun 2009 tersebut, lobi industri
masih meneruskan usahanya melalui Asosiasi Petani Tembakau
Indonesia Jawa Tengah dan Asosiasi DPRD Kabupaten Seluruh
Indonesia, yang kembali mendesak penghapusan ayat tentang
nikotin sebagai zat adiktive tersebut.183
Hal hal tersebut di atas membuktikan betapa kuasanya lobi
industri dalam mempengaruhi tidak saja Pihak eksekutif maupun
182
http://health.kompas.com/read/2010/09/23/03113930/Penyelidikan Hilangnya Ayat
Tembakau Tak Jelas
183
http://health.kompas.com/index.php/read/2010/09/24/07303892/Ada rencana Pengha-
pusan Ayat Tembakau

Sebuah Paradoks Kehidupan 89


legislative, di pusat maupun di
daerah. Berbagai kegiatan intervensi
dan lobi industri tersebut tidak saja
dilaksanakan oleh industri sendiri,
tapi secara kompak didukung oleh
mitra dan jejaring bisnisnya, meliputi
asosiasi petani/ penanam tembakau,
kalangan manufakturer, distributor
termasuk pengecer. Bahkan para
perokok aktive yang sudah terjerat
dalam gurita sarang laba-laba zat
adiktive tersebut juga merupakan
pembela yang gigih terhadap lobi dan
intervensi industri.
Anehnya, dalam situasi
semacam ini, dimana petani tembakau
nyata-nyata termarginalkan dalam
mata rantai tata niaga tembakau, tapi
asosiasi petani tembakau terbukti lebih loyal mendukung lobi
industri dalam rangka mempertahankan pangsa pasar keuntungan
industri.
Disamping didukung oleh jejaring tata niaga tembakau,
ternyata lobi industri juga didukung oleh “Pihak ketiga”, misalnya
pada cendekiawan yang dibiayai untuk melaksanakan penelitan
dalam bidang yang terkait dengan industri tembakau. Pemberian
beasiswa melalui apa yang disebut “corporate social responsibility”
juga merupakan usaha pengembangan “third parties allies” tsb.
Secara umum intervensi dan lobi industri yang dimaksudkan
untuk memberikan keleluasaan usaha, untuk mengeruk
untung sebesar-besarnya, termasuk untuk melawan kegiatan
pengendalian tembakau mencakup184:
184
Tobacco Industry Interference with Tobacco Control,WHO World Health Organization
2008, 12-13 www.who.int/publications/industry/interference/en

90 Petani Tembakau di Indonesia


• Pengumpulan berbagai informasi inteligens untuk
mengantisipasi perubahan di pasar dan di masyarakat.
• Public Relations dalam membangun citra perusahaan dan
produk tembakau sebagai komoditi yang menguntungkan.
• Donasi politik dalam rangka “investasi” di bidang politik
untuk mempengaruhi kebijakan publik, yang diguyurkan
dalam berbagai kegiatan Pemilu / Pilkada maupun kepada
pejabat-pejabat pengambil keputusan di pusat dan daerah.
• Lobi politik pengambilan keputusan di bidang kebijakan.
• Merekrut konsultan ahli di berbagai idang.
• Membiayai riset di berbagai perguruan tinggi untuk
mendukung kelancaran tata niaga.
• Memberdayakan “smokers right groups”,memberdayakan
para perokok untuk membela melalui berbagai media dan
isu, seperti bahwa “erokok adalah hakasasi manusia”.
• Membangun dan mengkonsolidasikan aliansi front line
jejaring industri sejak petani tembakau, pengecer,
advertising agencies, manufacturer atau pabrikan dan
“Pihak ketiga” lain.
• Intimidasi menggunakan kekuatan ekonomi dan legal.
• Philantropi untuk “membeli” teman berupa sponsorship
olahraga, pendidikan, kebudayaan dsb.
• Corporate social responsibility untuk membelokkan citra
industri tembakau sebagai pengembang bisnis zat adiktive
yang merusak masyarakat dan generasi muda,menjadi
agen perubahan di bidang pendidikan, lingkungan dsb.
• Pencegahan perokok remaja untuk membangun citra bahwa
produk tembakau diperuntukkan bagi orang dewasa, serta
menutupi citranya yang mentargetkan perokok remaja.
• Litigasi, melalui segala upaya mempengaruhi dan
menentang segala bentuk litigasi yang merugikan industri.
Dari berbagai kegiatan terkait dengan intervensi dan lobi
tersebut di atas, tergambar betapa tidak mudah memperbaiki dan

Sebuah Paradoks Kehidupan 91


mengangkat posisi tawar petani tembakau yang termarginalkan,
ditengah gurita kekuasaan industri dan jaringannya, terutama di
tingkat hilir.
Terjadinya akuisisi beberapa perusahaan rokok nasional
oleh beberapa perusahaan rokok internasional, dikhawatirkan
jepitan gurita tata niaga tembakau tersebut akan semakin ketat
membelit para petani tembakau.
Akhirnya, harapan terbesar para petani tembakau hanyalah
kepada komitmen dan keputusan politik Pemerintah untuk benar-
benar secara konsekwen dan adil melaksanakan jiwa dan materi
UU RI no. 19 tahun 2013 tentang Perlindungan & Pemberdayaan
Petani. Walau kenyataan bahwa tembakau tidak masuk komiditi
tani unggulan, tapi UU tersebut harus secara adil diarahkan dan
dilaksanakan di kalangan komunitas di daerah-daerah kantong
petani tembakau.

92 Petani Tembakau di Indonesia


BAB III
Perlindungan dan Pemberdayaan
Petani Tembakau

Dalam Pancasila dan Pembukaan Undang Undang Dasar


(UUD) 1945dinyatakan bahwa “Keadilan Sosial bagi Seluruh
Rakyat Indonesia” menjadi dasar pemikiran dan falsafah bangsa.
Pemerintahan Indonesia dibentuk untuk tujuan perwujudan keadilan
sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, termasuk memfasilitasi
kesejahteraan bagi petani tembakau. Namun demikian, falsafah
bangsa tersebut masih jauh dari harapan. Alih-alih kesejahteraan
petani tembakau meningkat pesat karena pesatnya industri rokok,
hal sebaliknya justru yang terjadi. Petani tembakau tak kunjung
lepas dari jeratan tata niaga tembakau yang timpang dan lebih
berpihak kepada para pemodal.
Pertanian tembakau memiliki sejumlah resiko, antara lain
resiko perubahan cuaca, resiko perubahan harga, resiko hama
tanaman, dan resiko hilangnya permintaan. Di samping itu, petani
tembakau juga menghadapi permasalahan permodalan dan
jaminan usaha.
Resiko perubahan cuaca terjadi karena tanaman sangat
sensitif terhadap hujan. Walaupun tanaman tembakau sudah siap
panen, namun jika terjadi hujan beberapa hari sebelum panen,
maka hal ini akan mengakibatkan turunnya kualitas dan harga
daun tembakau. Di sisi lain, jika tidak ada hujan sama sekali, maka
tanaman tembakau akan sulit berkembang.

Sebuah Paradoks Kehidupan 95


Sementara itu, resiko perubahan harga terjadi karena
tidak adanya sistem baku dalam penetapan harga daun tembakau.
Penetapan harga daun tembakau ditentukan secara subjektif oleh
grader berdasarkan warna dan aroma.
Di samping itu, perawatan tanaman tembakau
memerlukan ketelatenan karena banyaknya tahapan dalam proses
penanamannya. Ada sembilan tahapan dalam proses penanaman
tembakau yaitu persiapan lahan, pengolahan lahan, pembuatan
guludan, pemindahan bibit, penanaman, pemeliharaan tanaman,
pemangkasan, pemetikan dan pengolahan hasil. Di dalam semua
tahapan itu terdapat resiko dimana tanaman tembakau terkena
hama tanaman.
Adapun resiko hilangnya permintaan akan daun tembakau
akan terjadi pada saat petani memanen hasilnya, namun pabrik
rokok tidak bersedia untuk membelinya, karena masih banyaknya
persediaan di pabrik. Hal ini terjadi karena hampir semua produksi
daun tembakau digunakan oleh pabrik rokok yang jumlahnya
sedikit. Hilangnya permintaan mengakibatkan petani tembakau
mengalami kerugian total.
Sebagaimana komoditas pertanian lainnya, petani tembakau
menghadapi permasalahan kesulitan mendapatkan permodalan
dari sektor perbankan. Hal ini dikarenakan sulitnya mendapatkan
jaminan pinjaman dan tingginya resiko di sektor pertanian. Ini juga
resiko yang dihadapi petani tembakau.
Situasi ini tidak menyurutkan optimisme yang harus terus
dibangun untuk memperbaiki kehidupan petani tembakau. Di antara
sederetan kebijakan pemerintah yang belum berpihak pada petani
tembakau, ada peluang-peluang kebijakan dan beberapa upaya
yang dapat dimaksimalkan untuk melindungi dan memberdayakan
petani tembakau.

96 Petani Tembakau di Indonesia


A. Peluang-peluang Kebijakan untuk Pemberdayaan Petani
Bagian berikut bertendensi menguraikan peluang-peluang
kebijakan yang bisa dimaksimalkan untuk memberdayakan aktor
paling rentan dalam tata niaga tembakau tersebut.

1. UU No. 19 Tahun 2013 tentang Perlindungan dan


Pemberdayaan Petani
Pemerintah telah mengesahkan UU No. 19 Tahun 2013
tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Petani (PPP). UU ini
memberikan jaminan perlindungan dan pemberdayaan bagi
petani yang wajib dilakukan oleh negara. UU dilatar belakangi
oleh keadaan petani yang sering mengalami kerugian, baik akibat
kebijakan maupun akibat kondisi alamiah. UU memiliki beberapa
tujuan yang ingin dicapai, antara lain:185
a. mewujudkan kedaulatan dan kemandirian petani dalam
rangka meningkatkan taraf kesejahteraan, kualitas, dan
kehidupan yang lebih baik;
b. menyediakan prasarana dan sarana pertanian yang
dibutuhkan dalam mengembangkan usaha tani;
c. memberikan kepastian usaha tani;
d. melindungi petani dari fluktuasi harga, praktik ekonomi
biaya tinggi, dan gagal panen;
e. meningkatkan kemampuan dan kapasitas petani serta
kelembagaan petani dalam menjalankan usaha tani
produktif, maju, modern dan berkelanjutan;
f. menumbuhkembangkan kelembagaan pembiayaan
pertanian yang melayani kepentingan Usaha Tani.

Melalui UU ini, Pemerintah memberi jaminan kepada petani,


termasuk saat mengalami gagal panen, agar petani tidak rugi.
Jaminan ini ditegaskan pada pasal 33 Ayat (1) yang menyebutkan,
“pemerintah dan pemerintah daerah dapat memberikan bantuan ganti
185
Lihat naskah UU no 19 tahun 2013 Tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Petani.

Sebuah Paradoks Kehidupan 97


rugi gagal panen akibat kejadian luar biasa sebagaimana dimaksud
pasal 7 ayat 2 huruf e sesuai dengan kemampuan keuangan negara.”
UU ini juga menyiapkan tujuh strategi perlindungan petani,
yakni: i. sarana dan prasarana produksi pertanian; ii. kepastian
usaha; iii. harga komoditas pertanian; iv. penghapusan praktik
ekonomi biaya tinggi; v. ganti rugi gagal panen akibat kejadian
luar biasa; vi. sistem peringatan dini dan penanganan dampak
perubahan iklim; vii. asuransi pertanian.186
Sedangkan untuk pemberdayaan petani,UU PPP menyiapan
beberapa strategi yaitu: i. pendidikan dan pelatihan; ii. penyuluhan
dan pendampingan; iii. pengembangan sistem dan sarana
pemasaran hasil pertanian; iv. konsolidasi dan jaminan luasan lahan
pertanian; v. penyediaan fasilitas pembiayaan dan permodalan; vi.
kemudahan akses ilmu pengetahuan, teknologi dan informasi; vii.
serta penguatan kelembagaan petani.
UU ini juga memfasilitas kemudahan memperoleh
pembiayaan dan permodalan bagi petani. Hal ini tertuang dalam
Pasal 66 yang menyebutkan “Pemerintah dan Pemerintah Daerah
sesuai dengan kewenangannya berkewajiban memfasilitasi
pembiayaan dan permodalan Usaha Tani”. Adapun penyediakan
fasilitas pembiayaan dan permodalan diupayakan dengan:pinjaman
modal untuk memiliki dan/atau memperluas kepemilikan lahan
pertanian;pemberian bantuan penguatan modal bagi petani
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (2);pemberian subsidi
bunga kredit program dan/atau imbal jasa penjaminan; dan/
ataupemanfaatan dana tanggung jawab sosial serta dana program
kemitraan dan bina lingkungan dari badan usaha.
UU ini memang belum sepenuhnya dapat membebaskan
petani tembakau dari jeratan tata niaga yang timpang dan posisi
tawar yang lemah dari petani tembakau. Namun bagaimanapun,
UU ini menyediakan peluang yang dapat memberikan jalan bagi

186
Ibid., Pasal 7 Ayat (2)

98 Petani Tembakau di Indonesia


segala upaya perlindungan dan pemberdayaan petani.

2. UU no. 39 Tahun 2007 Tentang Cukai


Peluang kebijakan lain bagi petani tembakau adalah Dana
Bagi Hasil Cukai Hasil Tembakau (DBHCHT) sebagaimana diatur
dalam UU 39 tahun 2007 tentang perubahan Atas UU no 11 tahun
1995 Tentang Cukai. Pasal 66 A UU ini menyebutkan, “Penerimaan
negara dari cukai hasil tembakau yang dibuat di Indonesia dibagikan
kepada provinsi penghasil cukai hasil tembakau sebesar 2% (dua
persen) yang digunakan untuk mendanai peningkatan kualitas bahan
baku, pembinaan industri, pembinaan lingkungan sosial, sosialisasi
ketentuan di bidang cukai, dan/atau pemberantasan barang kena
cukai illegal”.187
Selanjutnya Peraturan Menteri Keuangan Nomor 84/
PMK.07/2008 tentang Penggunaan Dana Bagi Hasil Cukai Hasil
Tembakau dan Sanksi Atas Penyalahgunaan Alokasi Dana Bagi
Hasil Cukai Hasil Tembakau sebagaimana telah diubah dengan
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 20/PMK.07/2009 dalam pasal
3 ayat 1 menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan Peningkatan
kualitas bahan baku meliputi: a. standarisasi kualitas bahan baku;
b. mendorong pembudidayaan bahan baku berkadar nikotin rendah;
c. pengembangan sarana laboratorium uji dan pengembangan
metode pengujian; d. penanganan panen dan pascapanen bahan
baku; dan/ atau e. penguatan kelembagaan kelompok petani
tembakau
Data Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan
Kementerian Keuangan menunjukkan bahwa pemerintah sudah
mendistribusikan DBHCHT senilai Rp1,76 triliun untuk 17 provinsi
di tahun 2013. Alokasi Dana Bagi Hasil Cukai Hasil Tembakau
(DBH CHT) yang begitu besar ke daerah-daerah, tentunya bisa
meningkatkan kualitas mutu untuk petani tembakau. Tapi
187
lihat UU no. 39 tahun 2007 tentang Cukai di http://www.sjdih.depkeu.go.id/
fullText/2007/39TAHUN2007UU.htm diaksesi 17 Oktober 2014

Sebuah Paradoks Kehidupan 99


sayangnya ini belum optimal.188
Adapun skema pendanaannya adalah 2% dananya diberikan
kepada provinsi penghasil tembakau, dibagi lagi pengelolaannya
30% propinsi, 40% kabupaten/kota daerah penghasil, dan 30%
kota lain. Dengan perolehan dana sebesar 40% yang diberikan ke
kabupaten/kota daerah penghasil tembakau, maka semestinya
para petani tembakau dapat meningkatkan mutu bahan bakunya.

B. Upaya Perlindungan dan Pemberdayaan Petani Tembakau


Selain beberapa peluang kebijakan di atas ada beberapa hal
yang secara teknis dapat dilakukan untuk mengatasi permasalahan
petani tembakau di atas diantaranya adalah sebagai berikut :

1. Perbaikan mekanisme penetapan harga daun tembakau


Persoalan penetapan harga daun tembakau secara
sepihak oleh grader yang menjadi kaki tangan industri rokok
perlu dicarikan solusinya. Pemerintah perlu membantu
petani tembakau agar tercipta mekanisme penentuan harga
yang baku dan disepakati oleh kedua belah pihak. Pihak
industri rokok harus menjelaskan dengan rinci kualitas
daun tembakau yang mempunyai harga mahal kepada para
petani, sehingga petani tidak merasa dipermainkan oleh
para grader penentu harga tembakau.
Di samping itu, untuk melindungi kesejahteraan
petani tembakau, pemerintah juga seharusnya dapat
menetapkan harga minimal pembelian daun tembakau. Hal
ini dilakukan agar petani tembakau tidak rugi dan mampu
menopang hidupnya.

188
Lihat http://wartaekonomi.co.id/berita14517/dana-bagi-hasil-cukai-hasil-tembakau-har-
us-lebih-fokus-untuk-petani-dan-buruh-industri-tembakau.html, diakses pada 17 Oktober
2014.

100 Petani Tembakau di Indonesia


2. Komunikasi intensif dan terbuka antara petani, industri
rokok, dan pemerintah
Kerjasama tripartit antara petani tembakau, industri
rokok, dan pemerintah sangat diperlukan terutama dalam
pembukaan informasi mengenai kuantitas dan kualitas
daun tembakau yang diperlukan industri rokok dari wilayah
tertentu. Pabrik rokok seharusnya terbuka mengenai jumlah
persediaan tembakau dan berapa kebutuhan tembakau
dengan spesifikasi tertentu dari suatu daerah. Hal ini
diperlukan agar pemerintah dan petani mampu membuat
perencanaan luas tanaman tembakau di suatu daerah
agar tidak terjadi kelebihan penawaran yang menyebabkan
turunnya harga. Para petani juga harus diberi pemahaman
agar tidak beramai-ramai menanam tembakau yang
melebihi perencanaan. Hal ini dilakukan untuk menjaga
harga tembakau agar tidak turun drastis pada saat panen.
Pemerintah harus tegas memaksa industri rokok
untuk menyatakan secara terbuka jumlah dan spesifikasi
daun tembakau yang dimintanya dari suatu daerah di
tahun tertentu. Tidak boleh terulang dimana petani
tembakau menanam banyak sekali, namun pada saat panen
permintaan dari industri rokok rendah, sehingga harganya
turun drastis. Industri rokok seharusnya memiliki niat baik
untuk mendukung upaya peningkatan kesejahteraan petani
tembakau dengan cara mencegah terjadinya kelebihan
penawaran pada saat panen.

3. Penyebarluasan teknik penanaman tembakau yang tahan


hama
Proses penanaman tembakau yang banyak tahapannya
akan meningkatkan kerentanan tembakau terhadap hama
tanaman. Oleh karena itu, proses penanaman tembakau perlu
lebih disederhanakan dan ditingkatkan produktivitasnya.

Sebuah Paradoks Kehidupan 101


Pemerintah melalui Kementan seharusnya mampu
menemukan teknik produksi yang sederhana, namun tinggi
produktivitasnya. Setelah teknik pertanian tembakau yang
modern dan lebih produktif ditemukan, upaya berikutnya
adalah menyebarluaskan teknik ini ke petani tembakau
secara luas, sehingga produksi daun tembakau Indonesia
mampu bersaing dengan produksi daun tembakau dari luar
negeri.

4. Penyediaan bibit tembakau dalam negeri yang tahan


hama
Untuk mendukung kemandirian pertanian
tembakau, diperlukan upaya penemuan bibit tembakau
handal yang tahan hama dan diproduksi di dalam negeri.
Upaya ini penting agar petani tembakau dalam negeri tidak
tergantung pada bibit impor. Bibit tembakau yang khas
Indonesia dan tahan hama akan meningkatkan daya saing
tembakau dalam negeri.
Kementan, melalui Balai Penelitian Tembakau dan
Tanaman Serat (Balittas), seharusnya mampu menemukan
bibit tembakau yang kuat untuk kemudian disebarluaskan
kepada para petani tembakau di seluruh Indonesia.

5. Pembuatan gudang tembakau dan sistem resi gudang


Permasalahan mendasar petani tembakau adalah
ketidakpastian harga pada saat panen. Petani tembakau
seharusnya memiliki pilihan untuk tidak menjual daun
tembakaunya pada saat harga rendah. Hal ini bisa dilakukan
dengan cara menyimpan hasil panen daun tembakau sampai
harga tembakau mencapai tingkat yang menguntungkan.
Pemerintah dapat mendukung pembuatan gudang
skala menengah dan kecil untuk menampung hasil panen
daun tembakau para petani. Pemerintah dapat membantu

102 Petani Tembakau di Indonesia


koperasi petani tembakau untuk mewujudkan hal ini. Di
samping itu, inisiatif ini dapat dibarengi dengan pembuatan
sistem resi gudang dimana pemerintah mengeluarkan
bukti kepemilikan tembakau yang disimpan di gudang yang
bisa digunakan sebagai jaminan pinjaman ke perbankan.
Jika ini dapat dilakukan, maka permasalahan kelebihan
penawaran, penurunan harga, dan pinjaman permodalan
akan mampu teratasi.

6. Peningkatan akses petani tembakau ke kredit perbankan


Selama ini kesulitan petani secara umum adalah
kemampuannya mengakses kredit dari perbankan.
Hal ini terjadi karena beberapa hal, misalnya rumitnya
persyaratan administratif, petani tidak percaya diri masuk
ke sistem perbankan, rendahnya literasi perbankan,
sulitnya memenuhi persyaratan jaminan kredit, tingginya
bunga pinjaman, dan besarnya resiko gagal panen dalam
sektor pertanian.
Pemerintah, otoritas perbankan, dan pelaku usaha
perbankan perlu membuat strategi untuk meningkatkan
partisipasi petani dalam sistem perbankan baik sebagai
penabung maupun sebagai peminjam. Hal ini mendesak
dilakukan karena selama ini banyak petani tembakau
yang terjerat dalam hutang, baik dengan rentenir maupun
pabrikan rokok. Program peningkatan kapasitas dapat
berbentuk sosialisasi sistem perbankan, kampanye “Ayo
ke Bank”, serta asistensi pembuatan jaminan bagi kredit
ke bank. Dengan menggunakan dana bagi hasil cukai
tembakau, pemerintah daerah penghasil daun tembakau
dapat membentuk lembaga penjamin pinjaman bagi para
petani tembakau yang akan meminjam ke bank.
7. Pembuatan asuransi pertanian tembakau
Selama ini penduduk yang berkiprah di sektor
pertanian menghadapi ketidakpastian yang tinggi. Hal ini
terutama terkait dengan perubahan cuaca, hama tanaman,
dan perubahan harga. Cuaca yang tidak menentu dan sulit
diprediksi membuat nasib petani tidak pasti. Pada saat
hujan besar terjadi, petani akan rugi karena banjir. Pada
saat musim kemarau panjang, petani juga akan rugi karena
tanamannya mati tidak mendapatkan air. Wabah hama
tanaman juga bisa membuyarkan impian petani untuk
mendapatkan keuntungan yang diidamkan.
Demikian juga dengan perubahan harga. Pada saat
panen raya, persediaan melimpah dan harga jatuh. Kerugian
pun mengancam. Untuk mengurangi resiko kerugian
petani, diperlukan sebuah skema asuransi pertanian.
Karena resikonya besar dan kemungkinan besar sektor
swasta tidak tertarik dalam hal ini, maka pemerintah perlu
mengintervensinya.
Intervensi ini dapat dilakukan dengan cara
memerintahkan BUMN asuransi untuk membuat program
asuransi pertanian tembakau. Mengenai pembayaran
preminya, jika preminya mahal dan petani tidak sanggup
untuk membayarnya, maka pemerintah bisa mengalihkan
sebagian dana subsidi BBM yang salah sasaran untuk
membayar preminya. Program ini dapat dimulai dengan
percobaan di beberapa kota yang menjadi sentra pertanian
tembakau, seperti di Temanggung, Lombok Timur, dan
Kendal.

8. Program asistensi pengalihan tanaman tembakau


Harus diakui bahwa pertanian tembakau di daerah-
daerah tertentu menghasilkan keuntungan yang besar dan
meningkatkan kesejahteraan para petaninya. Namun, tidak

104 Petani Tembakau di Indonesia


dapat dipungkiri pula bahwa sebagian besar kesejahteraan
petani tembakau masih rendah. Hal ini disebabkan terutama
oleh rendahnya keuntungan dari berkebun tembakau.
Bagi para petani tembakau yang selama ini
mengalami kerugian, namun tetap bertani tembakau
karena mereka tidak memiliki pengetahuan produk
lainnya, pemerintah seharusnya membantu mereka untuk
berpindah ke tanaman lain yang lebih menguntungkan.
Inisiatif ini bersifat sukarela bagi para petani tembakau
yang, karena kerugiannya selama ini, menginginkan untuk
berganti tanaman, namun tidak memiliki pemahaman yang
memadai.
Kementan perlu membuat proyek percontohan
pengalihan usaha tani tembakau ke tanaman lainnya.
Program ini harus unik dengan daerah yang dituju dimana
pemilihan komoditas alternatif didasarkan pada kecocokan
agroklimat, ketersediaan pasar, dan tingginya harga jual di
daerah tersebut. Petani harus diyakinkan dengan contoh
konkret dan bukan hanya dengan penyuluhan tanpa tindak
lanjut.

9. Program pemberian insentif bagi industri alternatif


pembeli daun tembakau
Selain menjadi bahan baku utama industri rokok,
daun tembakau juga dapat digunakan untuk bahan baku
produk lainnya, seperti obat, kosmetika, pestisida, dan
produk konsumen lainnya. Namun hingga kini penggunaan
daun tembakau untuk bahan baku industri tersebut masih
rendah dan belum menjadi pengetahuan umum.
Kementerian Perindustrian seharusnya dapat
membuat dan mengimplementasikan pemberian
insentif bagi industri-industri alternatif tersebut untuk
menggunakan daun tembakau Indonesia sebagai bahan

Sebuah Paradoks Kehidupan 105


bakunya. Insentif tersebut dapat berupa insentif perpajakan,
seperti pengurangan pajak bagi industri yang melakukannya
maupun insentif non-pajak, seperti fasilitas tambahan bagi
industri yang mau melakukannya. Pemerintah seharusnya
menginfomasikan dan menindaklanjuti penggunaan daun
tembakau untuk bahan baku industri selain rokok agar
petani memiliki alternatif pilihan dalam memasarkan daun
tembakaunya.

10. Pembatasan impor daun tembakau


Impor daun tembakau terus meningkat dalam
lima tahun terakhir. Data memperlihatkan bahwa hampir
setengah dari konsumsi daun tembakau dipenuhi dari impor.
Jika dibandingkan beras yang dikonsumsi ratusan juta
penduduk Indonesia, daun tembakau bukanlah kebutuhan
utama rakyat Indonesia. Apabila beras yang menjadi
komoditas penting diatur impornya agar harganya tidak
turun, sudah sewajarnya apabila impor daun tembakau juga
dibatasi impornya.
Komitmen pemerintah dan lembaga legislatif dalam
mendukung peningkatan kesejahteraan petani tembakau dapat
diwujudkan dengan mendorong pembatasan impor daun tembakau.
Pembatasan impor dapat dilakukan melalui instrumen tarif
maupun kuota. Namun, tantangannya adalah era perdagangan
bebas yang saat ini berlaku di kawasan ASEAN. Dengan adanya
perdagangan bebas, kemampuan pemerintah untuk menerapkan
tarif bea masuk impor sangat minim. Oleh karenanya, perlu dijajaki
upaya untuk memasukkan daun tembakau sebagai pengecualian.
Argumen perlindungan kesehatan publik dapat digunakan untuk
mengenakan tarif bea masuk impor tembakau. Pada saat yang
sama upaya ini akan meningkatkan kesejahteraan petani tembakau,
sehingga upaya pembatasan impor adalah win win solution bagi
sektor kesehatan dan juga bagi petani tembakau itu sendiri.

106 Petani Tembakau di Indonesia


Kisah Sukses Alih Tanam Tembakau ke Sayuran di lereng
Merapi

Pada ketinggian 1185 mdpl di sebuah dusun perbatasan


akhir denganPuncak Gunung Merapi tepatnya di Dusun
Kepuh, Desa Sidorejo, Kecamatan Kemalang Klaten,
Sukiman (42 tahun) menjalani aktivitas hidup sebagai
seorang petani asli lereng merapi dengan suasana damai
dan tenang. Aktivitas pagi itu diawali Sukiman ke ladang
belakang rumah untuk merawat tanaman sayuran tomat
yang sudah mulai berbuah. Disamping tomat tanaman cabai
merah dan sayuran kembang kol juga nampak tumbuh
subur di ladang belakang rumah dibawah gardu pandang
pengawasan Gunung Merapi ini.

Kebanyakan orang mengetahui bahwa Deles merupakan


daerah wisata disisi timur lereng Gunung Merapi yang
masuk Kabupaten Klaten Jawa Tengah. Pada saat erupsi
Merapi tahun 2010, Deles merupakan daerah rawan
bencana 3, semua warga dari dusun ini mengungsi secara
sukarela ke Desa Manjung, Kota Klaten selama 40 hari.
Dari sekian banyak kisah menarik dari dusun di lereng
Merapi disamping kisah heroik disaat merapi meletus 2010,
juga kisah kearifan masyarakat lokal dalam penghijauan
hutan di lereng Gunung Merapi, ternyata ada sebuah kisah
perjuangan seorang petani dalam merubah pola tanam
tembakau ke sayuran dan tanaman produktif lainnya.

Sejak jaman dahulu sampai awal tahun 2003, masyarakat


di daerah Deles dan sekitarnya adalah petani tembakau.
Tanaman tembakau merupakan tanaman yang
dibudidayakan secara turun temurun oleh warga. Deles
termasuk daerah penghasil tembakau wilayah jawa Tengah.
Selain tembakau tanaman cengkih juga menjadi tanaman
unggulan dari warga Deles.

Sukiman seorang lulusan SMEA Muhammadiyah


Cangkringan Sleman sekitar tahun 1990 mencoba
membuat sebuah perubahan yang sangat bersejarah di

Sebuah Paradoks Kehidupan 107


Deles. Bermodalkan tekad dan pengetahuan yang dimiliki,
Sukiman melakukan budi daya tanaman sayuran atau
tanaman selain tanaman tembakau. Awal mulanya orang
menganggap apa yang dilakukan Sukiman ini aneh karena
tidak biasa. Tanaman tomat, kembang kol, cabai dan
beberapa sayuran lain mulai dibudidayakan Sukiman mulai
tahun 2003. Perlahan namun pasti hasil ketekunannya
membuahkan hasil,yakni hasil panen tanaman sayur yang
bagus. Satu persatu masyarakat mulai bertanya kepada
Sukiman dan meniru pola tanam yang dilakukan Sukiman.
Dengan penuh kesabaran Sukiman memberikan bimbingan
dan penyuluhan kepada petani walaupun dia bukan seorang
pegawai penyuluh pertanian resmi dari pemerintah.

Dari kampung ke kampung Sukiman dengan gigih


memberikan penyuluhan kepada para petani cara bertanam
sayuran yang bagus, mulai dari penyediaan bibit tanaman,
penyemaian perawatan dari hama penyakit sampai
pengolahan pasca panen. Sukiman tidak pernah meminta
upah ketika memberi penyuluhan kepada warga tetapi
secara kearifan lokal masyarakat kadang warga membeli
imbalan berupa sekarung rumput yang langsung ditaruh
warga di motor Sukiman bagitu selesai penyuluhan. Hasil
panen sedikit demi sedikit menarik para pengepul sayuran
untuk naik ke lereng Merapi ketika musim panen tiba.
Banyak petani yang awalnya menanam tembakau kemudian
mulai beralih ke sayuran walaupun saat itu adalah saat
musim bertanam tembakau. Pelan namun pasti, Sukiman
tidak pernah memaksakan petani tembakau untuk beralih
dari tembakau ke sayuran. Semua mengalir dengan alami
karena bukti yang di bawa Sukiman menjanjikan secara
nyata, bahwa hasil sayuran yang di tanam secara ekonomi
melebihi hasil bertanam tembakau yang harganya sangat
fluktuatif dan selalu di permainkan tengkulak.

Pengorbanan Sukiman tidak sia-sia, secara bertahap


sejak tahun 2003 sampai 2011 tiga desa di lereng Merapi
sisi timur yaitu meliputi Desa Sidorejo, Desa Sidomulyo,
dan Desa Balerante mulai berubah pola tanamnya dari

108 Petani Tembakau di Indonesia


petani tembakau menjadi petani sayuran. Tembakau secara
perlahan tergantikan oleh komoditi sayuran dan luas ladang
tembakau lama-lama semakin kecill karena perubahan
pola tanam masyarakat ini.

Di tahun 2014, beliau kembali mengajak warga untuk beralih


tanam tembakau dengan memulai membudidayakan jamur
tiram putih sebagai alternatif bercocok tanam. Tahun
ini jumlah petani tembakau hanya sekitar 300 KK dari
Kecamatan Kemalang.

Selain itu Sukiman juga aktif sebagai seorang relawan


dalam memantau Gunung merapi dari sisi timur. Lewat
radio komunitasnya dan organisasi lintas merapi yang
didirikannya Sukiman memberikan banyak pencerahan
dan ide-ide kebersamaan yang menghidupkan kembali
semangat warga daerah sini. Semangat untuk mandiri dan
saling membantu diantara warga yang kuat serta kepedulian
pada alam sekitar dengan melakukan penghijauan hutan
dan pencegahan dari eksplorasi pasir di lereng Merapi,
menjadi contoh keteladanan yang luar biasa dari seorang
Sukiman, petani lulusan SMEA yang tidak tergoda bekerja
di kota tetapi memilih menetap di kampung dan menjadi
motivator warga sekitarnya.

Gambar : Sukiman dan tanaman cabai di kebunnya

Gambar : Sukiman dan tanaman cabai di kebunnya

Sebuah Paradoks Kehidupan 109


Gambar : Lahan tanam sayuran Sukiman

Gambar : Lahan tanam sayuran Sukiman

Gambar: Sukiman dan Pertanian Jamurnya


Petani Merdeka :Kisah Petani Tembakau Yang Sukses Beralih
Tanam ke Sayuran
(Bangsal, Ketundan Pakis, Magelang, Jawa Tengah)

Berawal dari Petani Tembakau


Tanaman tembakau bagi sebagian warga Jawa Tengah,
khususnya daerah penghasil tembakau seperti di
temanggung dan Magelang, adalah ‘emas hijau’ yang
dijadikan sumber kesejahteraan bagi petani setiap
tahunnya. Namun kondisi bisnis pertembakauan di Jawa
Tengah mengalami pasang surut dalam 10 tahun terkahir,
dimana cerita tentang kejayaan ‘emas hijau’ itu lambat
laun hanya menjadi cerita turun temurun saja. Tembakau
sudah kehilangan masa jayanya karena banyak faktor
seperti cuaca dan musim yang kadang tidak pas lagi, serta
mekanisme tata niaga perdagangan tembakau yang kurang
berpihak pada petani.

Berawal dari keprihatinan terkait menurun kondisi pertanian


tembakau di daerahnya, Pak Suyanto seorang kepala dusun
di bangsal, Ketundan Pakis mencoba menginisiasi sebuah
perubahan besar di kampung yang pada awalnya adalah
daerah penghasil tembakau di Kabupaten Magelang Jawa
Tengah.

Saat ini, jika kita menuju dusun Bangsal desa Ketundan


Kecamatan pakis kabupaten magelang ini kita akan melihat
pemandangan yang agak aneh. Khususnya di saat musim
tembakau saat sebelum sampai ke dusun ini kita akan
melihat hampir semua lahan di tanamai tembakau. Namun
ketika kita sudah masuk ke dusun Bangsal, sejauh mata
memandang sulit kita menemukan tanaman tembakau.
Yang ada adalah hamparan tanaman sayuran yg ditanam
dengan memakai plastik mulsa. Bahkan kita akan melihat
banyak green house berdiri di lahan-lahan pertanian.

Mengubah dengan Bukti


Pak Suyanto (52 th), akrab di panggil pak Yanto, mencoba
menginisiasi diversifikasi tanaman di kampungnya.

Sebuah Paradoks Kehidupan 111


Langkahnya yaitu dengan menanam tanaman alternatif
untuk mengisi lahan setelah musim tembakau habis. Pada
awalnya pak Yanto mencoba menananm beberapa sayuran
seperti terong, tomat, lobak, kol, cabai dan beberapa
tanaman alternatif lainnya termasuk palawija. Usaha yang
dilakukan sejak tahun 1996 kini telah berhasil, dimana dari
60 hektare luas lahan pertanian di dusun Bangsal 70 %
diantaranya sudah beralih total menjadi lahan sayuran.

Saat ini sudah hampir 70 Kepala Keluarga (KK) yang sudah


menjadi petani sayuran, sementara 20 KK masih bertanam
tembakau dengan tumpangsari. Proses peralihan tanaman
dari tembakau ke tanaman sayuran terjadi secara alami,
dimana para petani melihat sendiri bahwa tanaman selain
tembakau yang sudah dirintis oleh pak Yanto memberikan
keuntungan. Tanaman lain yang diperkirakan mempunyai
nilai ekonomis yang tinggi seperti tanaman Stevia
Rebondiana, sejenis tanaman penghasil zat pengganti gula
tebu dan sangat pas untuk penderita diabetes, juga sudah
mulai di uji coba dan mulai dikembangkangkan. Lambat
laun saat ini hampir semua lahan pertanian yang dulunya di
tanami tembakau telah beralih menjadi tenaman sayuran.
Tembakau yang selama ini disebut sebagai ‘emas hijau’
sudah tidak lagi berlaku bagi masyarakat di dusun Bangsal
ini.

Dari Desa Mendunia


Sebuah langkah maju dilakukan oleh pak Yanto bersama
kelompok taninya di tahun 2012 yaitu dengan mencoba
meluaskan pasar hasil pertanian sayuran melalui ekspor
keluar negeri. Salah satu komoditi yang sudah berhasil
diekspor keluar negeri adalah tanaman buncis perancis.
Buncis prancis ini menjadi komoditi unggulan warga Dusun
Bangsal.

Upaya untuk peningkatan kemampuan petani juga sudah


dilakukan baik dalam proses penanaman sampai panen,
juga mulai mengejar standart kualitas internasional dimana
kemudian di dirikan rumah Pengepakan sebagai pusat

112 Petani Tembakau di Indonesia


sortir dan packaging (pengepakan) sebelum di ekspor ke
luar negeri.

Peningkatan kesejahteraan penduduk juga sudah mulai


terlihat ketika kita masuk ke kampung Bangsal ini. Hampir
rata-rata semua rumah mempunyai motor lebih dari
satu dan kepemilikan mobil juga meningkat. Selain itu
masyarakat juga sudah mulai terbuka pola pikirnya untuk
bisa menyekolahkan anak-anaknya bahkan beberapa
sampai ke jenjang perguruan tinggi.

Menjadi Petani Merdeka sekarang sudah menjadi pilihan


hidup masyarakat Bangsal ini, Masalah cuaca dan sistem
tataniaga yang menyusahkan petani ketika disaat bertanam
tembakau sudah menjadi cerita masa lalu.

Gambar : Salah satu Kebun sayuran Alternatif dari Pertanian Tembakau di Dukuh Pakis Ketandan, Magelang
C. Petani Tembakau dan Masyarakat Sipil
Petani tembakau, sebagai pihak yang menanam tembakau
sebagai bahan baku industri tembakau, sebagaimana halnya
pekerja industri, memiliki peran yang amat mendasar dalam tata
niaga tembakau. Tanpa mereka, mata rantai tata niaga tembakau
tidak akan terjadi.
Namun dalam berbagai kasus, baik dalam studi kasus
maupun dalam penelitian lainnya, petani tembakau selalu dalam
posisi paling lemah dan termarginalkan dalam mata rantai tata
niaga tembakau. Hampir semua petani tembakau mewarisi tradisi
budi daya tembakau dari orang tua atau leluhur mereka. Mereka
berada dalam kondisi terbatas, baik dalam kepemilikan lahan,
modal usaha, pengetahuan dan tehnik budi daya.
Situasi semacam ini rawan dimanfaatkan para pemodal
yang terdiri atas beberapa perusahaan besar. Mereka mendorong
lahirnya praktik monopsoni atau oligopsoni dalam industri
tembakau. Praktik semacam inimemaksa petani tembakau untuk
menjual produk daun tembakau hanya kepada satu atau beberapa
pabrik, yang dengan semena-mena menentukan kualitas, harga,
bahkan memutuskan untuk membeli atau tidak membeli daun
tembakau petani.
Pilihannya hanya dua: menjual dengan penentuan kualitas,
timbangan, dan harga yang ditentukan oleh pabrik, melalui para
tengkulak dan grader atau bandol, atau menahan tembakau
mereka dengan resiko yang lebih buruk. Petani tembakau tak
punya pilihan. Mereka harus hidup dan menghidupi keluarga
mereka. Hanya petani bermodal besar yang bisa menyimpan atau
menyetok tembakau mereka, agar bisa dijual dengan harga yang
lebih baik.

1. Termarginalkan tanpa Posisi Tawar


Para petani tembakau semakin terpinggirkan dalam tata
niaga tembakau. Hal ini disebabkan oleh tiadanya posisi tawar

114 Petani Tembakau di Indonesia


petani terhadap aktor-aktor lain dalam tata niaga tembakau.

a) Budidaya Turun-temurun
Petani tembakau, termasuk sarana dan prasarana
yang mereka miliki serta kemampuan teknis dalam budidaya
tembakau merupakan sesuatu yang dimiliki secara turun-
temurun. Namun situasi lingkungan yang dihadapi petani
tembakau telah berubah dan makin tidak ramah. Lahan
yang mereka miliki semakin sempit, karena dua hal, yaitu
warisan lahan yang harus dibagi dengan sejumlah ahli waris
laindan juga kerana desakan pembangunan wilayah. Selain
itu, perubahan musim juga menekan produktivitas lahan
mereka. Rendahnya tingkat pendidikan keluarga petani
tembakau mengakibatkan situasi dimana generasi pewaris
tanaman tembakau jatuh pada generasi yang lemah dalam
pendidikan. Mereka yang berpendidikan tinggi cenderung
memilih profesi lain yang lebih menjanjikan.
Kehidupan petani tembakau sama sekali tak
memberikan situasi yang kondusif. Mereka tak punya posisi
tawar yang cukup dalam menentukan kualitas dan harga
tembakau. Mereka juga tak memiliki posisi tawar untuk
mendapatkan berbagai kemudahan sejak memperoleh
modal usaha, memperoleh bibit dan pupuk, serta
mendapatkan harga yang pantas dari hasil panen mereka.

b) Berbagai Tekanan terhadap Petani


Mekanisme pasar lokal terhadap hasil panen
tembakau, dengan semena-mena, dipermainkan oleh para
tengkulak dan grader, sebagai ujung tombak industri. Para
tengkulak dan grader boleh dikatakan memiliki kewenangan
dalam menilai kualitas dan harga daun tembakau. Dalam
situasi monopsoni atau oligopsoni, dimana hanya terdapat
satu atau sejumlah kecil gudang milik sejumlah kecil

Sebuah Paradoks Kehidupan 115


industri besar, maka ”jadwal pembelian” dipermainkan
untuk menekan harga tembakau petani.
Dalam situasi pasar tembakau yang bersifat
oligopsoni, petani tembakau yang memiliki keterbatasan
internal yang mereka warisi secara turun temurun
tersebutseperti keterbatasan lahan, keterbatasan modal,
kelemahan organisasi tani, keterbatasan pemahaman tehnik
budi daya, masih harus menghadapi tekanan eksternal yang
tak bisa mereka hindari.
Pertama,tekanan tengkulak. Petani tembakau tak
berdaya menghadapi tengkulak dan kaki tangannya yang
dengan semena-mena menentukan kualitas, timbangan
dan harga tembakau hasil panen mereka. Para kaki tangan
tengkulak dapat menolak dan tak bersedia membeli hasil
panen mereka, yang memaksa petani menjual dengan harga
yang sangat murah, bilamana grader menentukan bahwa
kualitas hasil panen mereka dinilai berkualitas rendah.
Kedua, tekanan produk tembakau nonlokal. Masuknya
tembakau dari luar daerah yang dioplos” dengan tembakau
lokal untuk kualitas lebih baik. Praktik pengoplosan
tembakau lokal mengakibatkan adanya ”quota” penjualan
tembakau lokal ke gudang-gudang oligopsoni yang penuh
permainan tersebut akan terkurangi, karena diisi oleh
tembakau dari luar daerah tsb.
Ketiga, ketiadaan perlindungan berupa peraturan
lokal. Tembakau bukan termasuk komoditi unggulan
pertanian, sehingga pemerintah tidak merasa peru untuk
menyusun kebijakan lokal yang mengendalikan perdagangan
tembakau di daerah. Hal ini mengakibatkan kaki tangan
industri tembakau bergerak bebas dalam melaksanakan
praktek-praktek kotor perdagangan tembakau di daerah.
Keempat, tekanan tembakau impor. Sebagian besar
bahan baku rokok di Indonesia adalah tembakau impor. Hal

116 Petani Tembakau di Indonesia


ini disebabkan oleh luas areal lahan tembakau dalam negeri
yang tak pernah bertambah, bahkan cenderung menyusut.
Kelima, ketiadaan pembelaan/advokasi di daerah.
Kuatnya lobi industri tembakau di daerah, termasuk
lobitransaksional dan lobi politik, telah membuat petani
tembakau benar-benar tak berdaya menghadapi gurita kaki
tangan industri. SKPD di tingkat Kabupaten/Kota maupun
perangkat Kecamatan dan Desa/Kelurahan dan berbagai
organisasi masyarakat lokal, yang mestinya mengayomi
dan membela petani tembakau, tidak dapat melaksanakan
fungsi dan peran tersebut.Pembelaan/advokasi untuk petani
tembakau biasanya datang dari media lokal atau mahasiswa
yang bersifat kasuistik, ad hoc, dan tak terstruktur.

c) Tekanan dari GerakanTobacco Control


Selain kelima tekanan di sektor hulu tata niaga
tembakau, industri rokok menganggap bahwa kebijakan
dalam Pasal 113 UU No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan
(UU Kesehatan) dan gerakan pengendalian tembakau
(tobacco control) yang semakin marak belakangan ini
sebagai biang keladi merosotnyaproduktivitas industri
tembakau.Pasal 113 UU Kesehatan menegaskan bahwa
daun tembakau mengandung nikotin yang bersifat adiktif.
Pasal ini membuka peluang bagi merebaknya gerakan
pengendalian tembakau.
Padahal kegiatan gerakan pengendalian tembakau
lebih banyak menekankan pada demand reduction dan
tidak pada supply reduction. Dengan kata lain, gerakan
pengendalian tembakau sama sekali tidak mengusik sisi
produktivitas petani tembakau. Kegiatanpengendalian
tembakaudi Indonesia lebih banyak diarahkan pada
pencegahan untuk generasi muda dan gerakan untuk
”merokok yang baik dan benar”, seperti tidak merokok di

Sebuah Paradoks Kehidupan 117


fasilitas atau tempat umum atau tidak merokok di depan
isteri dan anak-anaknya.
Kasus penolakan Pengadilan Negeri Bogor (2012) dan
Yogyakarta (2014) yang masing-masing menolak gugatan
pihak industri rokok terhadap kampanye pengendalian
tembakau yang dilaksanakan oleh ”Non TobaccoCommunity”
(NTC) di Bogor, dan ”Jogja Sehat Tanpa Tembakau” (JSTT)
di Yogyakarta, mencerminkan tidak relevan dan tidak
signifikannya pengaruh gerakan pengendalian tembakau
terhadap penurunan produktivitas petani tembakau.

2. Petani Tembakau bagian dari Masyarakat Sipil


Petani tembakau merupakan bagian dari masyarakat
sipil. Sebagai masyarakat sipil, petani tembakau semestinya
189

dapat bahu-membahu untuk mengagendakan pembelaan,


dan memperjuangkan, serta mencari solusi atas masalah dan
kepentingan bersama yang mereka perjuangkan. Idealnya, petani
tembakau memiliki organisasi yang ”kuat dan dinamis ditandai oleh
keberadaan jejaring infrastruktur sosial yang padat (solid) dengan
hubungan face-to-face antaranggotanya, serta sanggup menerabas
segala batas antarkelompok suku, etnis, kelas, maupun jender atau
jenis kelamin, sehingga sanggup mendorong bangkitnya kehidupan

189
CIVICUS NGO Alliance mendefinisikan masyarakat sipil sebagai “suatu arena atau
ruang publik diantara keluarga, negara dan pasar, yang dibangun oleh perorangan dan
aksi kolektif, organisasi dan institusi untuk mengangkat dan mengedepankan kepentingan
bersama”.Ada tiga syarat masyarakat sipil, yakni: 1). Bergerak di ruang publik diantara ke-
luarga, negara dan pasar/industri. Masyarakat sipil adalah entitas mandiri, independen dari
tekanan negara dan pasar/industri; 2). Didukung oleh individu/aksi kolektif atau kelompok,
organisasi dan lembaga masyarakat setempat.Pendukung tersebut disamping terdiri atas
perorangan maupun wakil-wakil kelompok organisasi masyarakat dan berbagai lembaga
di komunitas setempat, seperti tokoh agama, tokoh adat, guru, media, perkumpulan pe-
muda, perkumpulan wanita, kelompok tani, majlis taklim, jemaat gereja, dsb; 3). Memiliki
kemampuan dalam mengagendakan dan memperjuangkan kepentingan bersama, dalam
hal ini membebaskan petani tembakau dari tekanan industri tembakau dan jaringan kaki-
tangannya, untuk peningkatan kesejahteraan petani.Lihat htp://www.civicus.org, diakses
pada 1 Februari 2014.

118 Petani Tembakau di Indonesia


pemerintah demokratis yang kuat dan bertanggung-jawab”.190
Dalam konteks masyarakat Indonesia, khususnya petani
tembakau yang hidup di pedesaan, semua warga danb penduduk
dengan mudah dikumpulkan dalam suatu pertemuan atau majelis.
Disamping organisasi kemasyarakatan lokal tersebut yang biasa
disebut sebagai community-based organization (CBO), hampir di
seluruh daerah di Indonesia juga terdapat organisasi masyarakat
besar yang memiliki jaringan hingga ke akar rumput, misalnya
Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah dengan segala jejaringnya.
Pada umumnya mereka hidup di tengah komunitas, namun dalam
banyak hal masih sibuk dengan agenda masing masing. Pada
akhirnya memang diperlukan kepemimpinan lokal yang memiliki
visi dan komitmen untuk memperbaiki masyarakat menuju tata
kehidupan masyarakat yang lebih baik.
Segenap petani tembakau, baik sebagai individu atau
kelompok, termasuk buruh tani, sebagaimana warga komunitas
lainnya, terutama di tingkat komunitas basisadalah bagian dari
apa yang disebut masyarakat sipil, masyarakat warga atau
masyarakat madani.Dalam situasi dimana masyarakat petani
mendapat tekanan dari kaki tangan industri tembakau dari
generasi ke generasi, dan ketika instansi pemerintah maupun
lembaga masyarakat setempat tidak memfungsikan diri dengan
baik untuk membela kepentingan petani, maka petani tembakau
bersama-sama dengan kelompok tani dan elemen masyarakat
lainnya idealnya dapat mengorganisasikan diri untuk melakukan
advokasi terhadap kebijakan dan praktek-praktek yang merugikan
petani tembakau.Pengorganisasian petani adalah harga mati
untuk membangun konsolidasi yang mumpuni dalam menghadapi
tekanan pihak industri tembakau dan kaki tangannya.

190
Lihat definisi yang ditulis Edwards, B,Foley, MW and Diani, M. 2001. Beyond Tacqueville
Civil Society and the Social Capital Debate in Comparative Perspective, (Hanover: Univer-
sity Press of New England)

Sebuah Paradoks Kehidupan 119


3. Peningkatan Kapasitas Organisasi Petani
Seorang pakar perubahan sosial mengatakan bahwa proses
pengambilan keputusan dan aksi (decision making process and
action) di komunitas paling efektif terjadi pada beberapa tingkat,
yaitu:191
- Kelompok primer, yaitu satu kelompok kecil warga yang
berbeda latar belakang, berasal dari basis wilayah yang
berbeda, tapi memiliki kesamaan pandang dan harapan
untuk melaksanakan suatu perubahan tertentu;
- Kelompok masyarakat, yaitu satu kelompok masyarakat
yang berasal dari basis wilayah yang sama serta memiliki
kesamaan pandang dan cita-cita untuk melaksanakan
suatu perubahan di basis wilayahnya;
- Lokalitas, yaitu satu wilayah, biasanya setingkat Kelurahan
atau Desa, dimana semua warga masyarakat memiliki
keterhubungan dan keterikatan yang sama, misalnya pasar
yang sama, sekolah yang sama, mesjid atau gereja yang
sama, puskesmas yang sama, berada di bawah patronage
atau pola kepemimpin yang sama. Kesamaan ini cenderung
mempermudah pencapaian kesepakatan dalam proses
pengambilan keputusan dan menentukan rencana aksi.
Keterikatan yang bersifat community-based ini, kini justru
dipandang semakin penting di era globalisasi. Pengalaman
keberhasilan dalam bekerjasama dan berjejaring di
era global, justru ditentukan oleh keberhasilan dalam
melibatkan komunitas lokal dalam pengambilan keputusan
dan rencana aksi tersebut.

Dalam perbincangan soal petani tembakau di tanah air,


keputusan harus melibatkan petani tembakau sendiri di tingkat
basis. Situasi semacam ini seirama dengan semangat UU No.
191
NormanUphoff. 1992. “Local Institutions and Participation for Sustainable Development”,
International Institute for Environment and Development (IIED), Gatekeeper Series No. 31.

120 Petani Tembakau di Indonesia


6 Tahun 2013 tentang Desa dan UU No. 19 Tahun 2013 tentang
Perlindungan dan Pemberdayaan Petani. Kedua regulasi baru ini
memberikan tekanan bagi peningkatan dan pemberdayaan peran
masyarakat desa, termasuk petani dalam mengorganisasikan dan
mengagendakan kepentingan bersama mereka untuk merubah,
memperbaiki dan menjngkatkan kesejahteraan mereka.
Masyarakat tani bersama seluruh elemen masyarakat sipil
bertanggung jawab mengembangkan agenda untuk memperbaiki
kehidupan petani tembakau, baik melalui agenda aksi bersama
maupun melalui kegiatan pembelaan atau advokasi kebijakan di
tingkat lokal hingga ke tingkat nasional.
Pembelaan terhadap perlindungan dan pemberdayaan
petani tembakau tak akan pernah terjadi jika petani tembakau
sendiri, bersama seluruh unsur atau elemen masyarakat sipil
setempat, tidak bersatu padu mengorganisasikan dirinya untuk
melawan perilaku semena-mena pihak industri. Para petani
tembakau, bersama dengan elemen masyarakat sipil lainnya,
harus bersatu dan bangkit untuk mengagendakan kepentingan
ketertindasan mereka oleh gurita kaki tangan industri tembakau.
Adapun Industri tembakau semestinya mendengar suara para
petani dengan melibatkan petani dalam pengambilan keputusan
yang berkaitan dengan praktek tata niaga tembakau di tingkat
lokal.

4. Agenda Bersama Masyarakat Sipil


Sayangnya, petani tembakau selama ini dalam posisi
”tak berdaya” dalam perangkap gurita mafia industri tembakau.
Terlebih pihak industri menumbuhkan organisasi ”binaan” yang
mengatasnamakan komunitas petanitembakau. Organ binaan ini
difasilitasi pihak industri, sehingga mereka cenderung membela
kepentingan indusri daripada kepentingan petani.
Sebagai kekuatan di luar negara dan pasar, masyarakat
sipil, dimana kelompok petani tembakau menjadi bagian

Sebuah Paradoks Kehidupan 121


darinya, sebetulnya dapat memainkan beberapa fungsi, yaitu:
1). membentuk perilaku sehari-hari komunitas setempat; 2).
pertemuan kepentingan individu dengan kepentingan sosial;
3). sebagai sel, sumber penggerak organisme masyarakat; 4).
merupakan miniatur masyarakat dg pembagian kerja, kode etik,
pemerintahan, ideologi, prestise dsb.192
Sementara itu, kalau para petani tembakau ini dapat
mengorganisasikan dirinya dengan baik, maka ia dapat
mengembangkan peran strategisnya sebagai masyarakat sipil,
seperti: 1). Sebagai modal sosial (social capital), sbg kompensasi
bg ketiadaan sumber daya alam dan SDM; 2). Mencegah ashabiyah,
membangun solidaritas kolektif, cohesiveness secara terstruktur;
3). Sebagai sektor ke tiga, memobilisasi diri keluar dari dominasi
sektor negara dan pasar; 4). Sebagai penyeimbang dalam proses
demokratisasi dan goodgovernance.193
Tak dapat disangkal, bahwa jaringan kaki tangan industri
besar,seperti PT HM Sampoerna, PT Djarum, PT Bentoel dan PT
Gudang Garam, sangat berkuasa di daerah. Ketiadaan kebijakan
Pemerintah Daerah dalam tata niaga tembakau makin menguatkan
daya cengkeram kaki tangan oligopsonis tersebut.Jangankan petani
tembakau, beberapa instansi pemerintah daerah pun tak berdaya
menghadapi cengkeraman gurita lobi industri.
Berikut ini berbagai agenda bersama yang dapat diambil
kelompok petani tembakau untuk memperbaiki kehidupan
mereka.

- Peningkatan produktivitas
Sebagaimana diatur dalam UU PPP, strategi
perlindungan petani meliputi:(i) prasarana dan prasarana
192
Prof. Soerjono Soekantodalam Sudibyo Markus. 2014. “Pedoman Index Masyarakat
Sipil dan Forum Masyarakat Madani”. Hand Out pada Pertemuan Forum Masyarakat Mad-
ani di Jakarta, 30 Oktober 2014.
193
Ibid.

122 Petani Tembakau di Indonesia


produksi; (ii) kepastian usaha; (iii) harga komoditas
pertanian; (iv) penghapusan praktek ekonomi biaya tinggi;
(v) ganti rugigagal panen; (vi) sistem peringatan dini dampak
perubahaniklim; (vi) asuransi pertanian.
Adapun tentang strategi pemberdayaan petani, UU
ini menyebutkan pentingnya beberapa hal berikut bagi
petani, yakni: (i) pendidikan dan pelatihan; (ii) penyuluhan
dan pendampingan; (iii) pengembangan sistem dan sarana
pemasaran hasil pertanian; (iv) konsolidasidan jaminan
luasan lahan pertanian; (v) penyediaan fasilitas pembiayaan
dan permodalan; (vi) kemudahan akses informasi dan
tehnologi; (vii) penguatan kelembagaan petani.

- Advokasi kebijakan publik


Petani tembakau melalui kelompok tani atau
organisasi masyarakat sipil setempat, dapat juga melalui
berbagai forum/lembaga desa, seperti Musyawarah Desa,
melaksanakan advokasi terhadap berbagai kepentingan
petani, antara lain:
1) Menjadikan budi daya tembakau sebagai bagian dari
program pembangunan desa;
2) Dukungan pembiayaan dari Badan Usaha Milik Desa
(BUMD) atau Lembaga Keuangan Mikro yang ada di
Kabupaten setempat;
3) Advokasi ke SKPD, pemerintahan kecamatan dan
desa bagi terlaksananya berbagai ketentuan yang
sudah diatur dalam berbagai UU dan regulasi
turunannya.
4) Menolak berbagai praktekindustri tembakau yang
tidak sesuai dengan UU tentang Perlindungan dan
Pemberdayaan Petani, UU Desa, UU Perdagangan,
UU Perindusterian, UU Lembaga Keuangan Mikro
maupun UU lainnya.

Sebuah Paradoks Kehidupan 123


- Peningkatan peran organisasi masyarakat tani
Penting untuk mengorganisasi segenap petani
tembakau dalam kelompok tani dan organisasi masyarakat
sipil setempat sebagai wahana pembelaan, perlindungan
dan pemberdayaan petani. Upaya ini dapat dirintis dengan
mengidentifikasi beberapa unsur atau elemen masyarakat
sipil setempat berupa beberapa lembaga swadaya
masyarakat (LSM), atau kelompok masyarakat basis
atau community based organization(CBO), untuk kemudian
menghimpun diri dalam suatu forum untuk mengagendakan
upaya perbaikan dan peningkatan kesejahteraan petani
tembakau.
Forum tersebut cukup bersifat wahana untuk
berdialog antarsemua unsur yang berhimpun. Ia tak harus
mewujud dalam wadah resmi yang berstatus perkumpulan
atau yayasan.

- Data dasar, index masyarakat sipil dan dan rencana aksi


Sebelum melangkah maju dengan menyusun
rencana aksi, jejaring forum petani tembakau semestinya
memiliki data dasar sederhana mengenai tatanan dan
kondisi kehidupan petani tembakau. Data dapat bersifat
data primer maupun sekunder.Akan lebih ideal bilamana
dapat dilaksanakan pengukuran “Index Masyarakat Sipil”
dengan formula Civicus Index194, satu metode praktis dan
cepat untuk mengukur tingkat kekuatan atau kelemahan
(semacam SWOT atau strength, weakness, opportunity ,
threat) jejaring forum tersebut.
Berbasis nilai civicus index dan data dasar tersebut
di atas, forum dapat mendiskusikan berbagai rencana aksi
dan advokasi kebijakan di lokalitas mereka lebih lanjut.

194
Lihat www.civicus.org, diakses pada 12 Januari 2015.

124 Petani Tembakau di Indonesia


BAB IV
Simpulan dan Rekomendasi

A. Simpulan
Berdasarkan uraian dan penggambaran pada Bab I, II dan
III, buku ini menarik simpulan tentang kondisi kehidupan petani
tembakau di Indonesia dan rekomendasi yang penting dilakukan
untuk mengangkat posisi petani tembakau dari berbagai paradoks
yang mereka hadapi.
Simpulan dan Rekomendasi berisikan segala hal yang
berkaitan dengan kondisi petani tembakau sendiri yang mewarisi
budi daya tanam tembakau yang bersifat turun-temurun, juga
berbagai upaya agar para petani dapat memperbaiki taraf hidupnya
dengan keluar dari paradoks kehidupan yang mereka alami. Semua
itu dimulai dari diri petani, tata niaga industri tembakau, serta sisi
lingkungan pendukung di berbagai jenjang.

Negeri paradoks
Indonesia adalah negara agraris yang membiarkan petani
hidup dalam kemiskinan. Selama bertahun-tahun, pemerintah
membiarkan posisi tawar petani sedemikian rendah dalam
mata rantai tata niaga tani di Indonesia. Pemerintah yang justru
mengimpor beras ketika petani sedang dalam masa panen adalah
contoh kasat mata tentang ketiadaan perlindungan pemerintah
terhadap kehidupan petani.
Derita serupa juga dialami petambak garam di negara yang

Sebuah Paradoks Kehidupan 125


memiliki pantai terpanjang di dunia ini. Mereka tak memiliki daya
tawar terhadap kebijakan impor garam. Demikian juga nelayan
Indonesia yang tak berdaya terhadap kebijakan “pembiaran”
terhadap pencurian ikan oleh ribuan perahu nelayan asing yang
merugikan negara ratusan triliun rupiah setiap tahunnya.
Petani tembakau Indonesia adalah bagian dari paradoks
yang diderita petani pada umumnya. Walaupun tembakau bukan
produk tani unggulan, namun kini produk tembakau di Indonesia
mengalami masa keemasan, dengan pasar yang lucrative, sehingga
pengusaha rokok terbesar Indonesia kini dinobatkan menjadi orang
terkaya nomor satu dan nomor dua di Indonesia. Hal ini terjadi
karena industri tembakau mengalami “panen raya”. Target Road
Map Industri Rokok sebesar 260 milyar batang pada 2015-2025
terlewati dengan capaian 360 milyar batang pada 2014.
Namun, karena lemahnya kebijakan pengendalian produk
tembakau, Indonesia dianggap pasar paling menjanjikan. Tidak
mengejutkan jika Philip Morris dan BAT mengakuisisi pabrikan
besar rokok Indonesia.

Petani Tembakau Berisiko Tinggi


Usaha budi daya tembakau tradisional merupakan usaha
dengan resiko tinggi, karena sifat-sifatnya yang padat modal, padat
karya, resiko penyakit tanaman maupun resiko kesehatan berupa
Green Tobacco Sickness (GTS). Petani juga dibayangi oleh gangguan
cuaca ekstrim, ketidakpastian kualitas dan harga tembakau, yang
dengan semena-mena ditentukan oleh tengkulak dan sejumlah
kecil pengusaha tembakau (oligopsoni).
Tidak mengherankan bilamana budi daya tembakau yang
bersifat turun-temurun dan tradisional tersebut, kebanyakan
masih dilanjutkan oleh anggota keluarga yang tidak memiliki
modal, pengetahuan, dan keterampilan untuk mengembangkan
usaha lain.

126 Petani Tembakau di Indonesia


Tekanan Internal dan Eksternal
Petani tembakau sebagai bagian dari petani Indonesia
mengalami paradoks ganda. Pertama, sebagai petani di negara
yang subur dan menyebut dirinya agraris, kehidupan petani tidak
sanggup mengangkat mereka ke taraf kehidupan yang layak.
Kedua, sebagai petani tembakau, satu komoditi tani yang telah
mengantar industri produk tembakau sebagai industri glamor,
yang telah mengangkat para pengusahanya sebagai orang-orang
terkaya di negeri ini, tetap berada dalam kubangan kehidupan yang
menyesakkan.
Petani tembakau adalah ujung mata rantai tata niaga
tembakau yang paling tidak diuntungkan, bahkan dapat dikatakan
dieksploitasi oleh industri. Kehidupan petani yang paradoksal
ini disebabkan oleh berbagai kondisi internal para petani, yang
kemudian diperburuk dengan berbagai kondisi eksternal.
Adapun kondisi internal petani tembakau meliputi: 1)
Keterbatasan lahan yang mereka warisi turun temurun dari leluhur
mereka, ditambah desakan perluasan lahan untuk pembangunan,
serta berbagai kasus alih tanam karena ingin mencari peluang
usaha tani yang lebih menjanjikan; 2) Keterbatasan modal; 3)
Keterbatasan sarana dan pra-sarana produksi; 4) Ketiadaan
bimbingan dan pendampingan; 5) Keterbatasan pemahaman dalam
metode dan tehnologi usaha tani yang lebih baik.
Sementara kondisi eksternal yang sangat menekan
petani tembakau meliputi: 1) Perilaku tengkulak yang secara
sepihak menentukan kualitas, timbangan, dan harga tembakau
hasil panen; 2) Tekanan tembakau non-lokal yang masuk dari
luar daerah dengan kualitas yang lebih rendah, yang mendesak
kuota penjualan petani tembakau lokal; 3) Sebagai produk tanam
yang bersifat monopsoni atau oligopsoni, sejumlah gudang yang
dimiliki sejumlah kecil pabrikan, dengan mudah mempermainkan
“daya tampung” gudang mereka agar petani bersedia menjual
hasil panen dengan harga yang semurah-murahnya; 4) Tekanan

Sebuah Paradoks Kehidupan 127


tembakau impor, yang justru merupakan bahan baku utama
dalam produksi rokok Indonesia; 5) Modernisasi, penggantian
rokok manual/lintingan dengan mesin yang berakibat PHK tenaga
kerja pelinting rokok; 6) Ketidakmampuan ndustri rokok kecll dan
lokal untuk bersaing dengan industri besar; 7) Karena tembakau
bukan produk tani unggulan, maka tak semua Pemerintah daerah
yang mengeluarkan Peraturan Daerah untuk melindungi petani
tembakau; 8) Ketiadaan pendampingan dan pembelaan kepada
petani, baik dalam upaya peningkatan produktivitas budi daya
tanam tembakau, maupun pendampingan dan pembelaan terhadap
paktek sewenang-wenang pihak pabrikan, tengkulak, serta kaki
tangannya; 9) Desakan komunitas internasional terhadap kebijakan
pengendalian tembakau, seperti WHO, ECOSOC, Organisasi
Konferensi Islam (OIC), dan ASEAN.

Perlindungan dan Pemberdayaan Petani


Sudah waktunya derita panjang petani tembakau diakhiri.
Sudah saatnya membebaskan petani dari perlakuan semena-mena
pihak industri ala jaman tanam paksa. Di samping para petani
harus bersatu menggalang kekuatan mereka sebagai kekuatan
masyarakat sipil, pemerintah sudah selayaknya melaksanakan
pembaruan menyeluruh terhadap kebijakan dan praktek tata-
niaga tembakau, dengan pendekatan yang lebih pro-petani.
Pada era Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) maupun era
perekonomian global, pemerintah harus berada di pihak dan tidak
membiarkan membiarkan Indonesia menjadi pasar produk asing.

Kebijakan Publik dan Landasan Hukum


Harus disyukuri bahwa pada akhirnya Pemerintah telah
mengeluarkan beberapa instrumen hukum untuk melindungi dan
memberdayakan petani. Salah satu capaian itu adalah terbitnya
UU No.19 Tahun 2013 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan
Petani. Namun masih tersisa pertanyaan tentang seberapa besar

128 Petani Tembakau di Indonesia


komitmen politik pemerintah untuk melaksanakan amanat UU
tersebut dan komitmen untuk benar-benar konsisten melindungi
petani, tidak kalah oleh lobi-lobi transaksional inidustri tembakau.
Pemerintah juga mengeluarkan sejumlah UU lain yang
terkait dengan perlindungan dan pemberdayaan petani, antara
lain UU RI No. 6 Tahun 2014 tentang Desa, UU No. 1 Tahun 2013
tentang Lembaga Keuangan Mikro, UU No. 3 Tahun 2014 tentang
Perindustrian, dan UU No. 7 Tahun 2014 tentang Perdagangan.

Pengembangan Sarana dan Prasarana


Sebagai petani tradisional yang hanya melaksanakan
kegiatan budi daya tanam tembakau sebagai kegiatan turun-
temurun, petani tembakau Indonesia miskin dukungan sarana dan
prasarana. Akibatnya, mereka tidak memiliki kemampuan untuk
melaksanakan kegiatan budi daya tanaman tembakau secara
optimal, baik dalam kualitas maupun kuantitas.
Indonesia pernah menjadi pengekspor tembakau di
masa lalu, bahkan pengekspor tembakau yang berkualitas baik
seperti tembakau Deli. Namun sejak 1993 Indonesia menjadi net-
importir tembakau. Hal ini membuktikan terjadinya kemerosotan
produktvitas petani tembakau di Indonesia. Dalam hal ini faktor
ketiadaan dukungan sarana dan prasarana merupakan masalah
yang paling langsung dirasakan oeh petani tembakau.

Pendampingan dan Fasilitasi


Ketika petani tembakau Indonesia tetap melaksanakan
kegiatan budidaya taninya secara trasidisional, padahal dalam
waktu dekat harus bersaing dengan produk-produk pertanian
sejenis di pasar global, maka petani akan selalu lemah dalam
tata niaga tembakau. Oleh karena itu, pendampingan dan fasilitasi
pemerintah kepada petani tembakau adalah kunci.

Sebuah Paradoks Kehidupan 129


Kepastian Usaha dan Pemasaran
Kepastian usaha dan pemasaran petani tembakau sangat
rentan dan rendah dalam mata rantai tata niaga tembakau. Di satu
pihak karena budidaya tani tradisional yang mereka laksanakan,
kelemahan infrastruktur pendukung, sarana dan prasarana,
perubahan iklim, dan dilain pihak praktek dominasi industri dan
kaki tangannya akibat pasar yang monopsoni atau oligopsoni.

Ketiadaan lingkungan Pendukung


Kelemahan petani tembakau juga disebabkan oleh absennya
lingkungan pendukung. Lingkungan yang tak mendukung ini ada di
berbagai level, mulai di tingkat mikro (tata niaga yang didominasi
tengkulak), tingkat meso (ketiadaan payung dan perlindungan
hukum dari pemerintah Kabupaten/Kota), hingga tingkat makro
(ketiadaan payung dan pembelaan/advokasi di tingkat nasional)

Peran Lembaga Tani dan Masyarakat


Peran Lembaga Tani dan masyarakat sangat penting
dalam upaya perlindungan dan pemberdayaan petani tembakau.
Dalam kenyataannya, keberadaan lembaga tani yang dikuasai dan
dikooptasi oleh jaringan dan kaki tangan industri membuat lembaga
ini mandul dalam memperjuangkan kepentingan petani. Alhasil,
lembaga tani hanya merupakan perpanjangan untuk menyuarakan
kepentingan industri. Dalam pasar yang berwatak monopsoni atau
oligopsoni, petani tembakau dan masyarakat pada umumnya tak
bisa berbuat banyak. Terlebih jika mesin birokrasi tunduk di bawah
gurita lobi transaksional industri tembakau.

B. Rekomendasi
Menyadari bahwa petani tembakau adalah aktor utama
sebagai penghasil bahan baku dalam tata niaga tembakau yang
paling dirugikan, maka tidak terbantahkan jika direkomendasikan
perlunya upaya mendasar dan struktural untuk memperbaiki

130 Petani Tembakau di Indonesia


kehidupan petani tembakau. Perbaikan tersebut utamanya
mencakup tata niaga tembakau yang lebih adil dan menyejahterakan
petani tembakau.
Rekomendasi ini juga menekankan pelaksanaan dari UU RI
No.19 Tahun 2013 tentang Perlindungan & Pemberdayaan Petani
secara konsekwen dan adil. Walaupun difahami bahwa tembakau
bukanlah komoditas tani unggulan, namun UU RI tersebut di
atas harus secara konsekwen dan adil ditrapkan pada berbagai
komunitas dan kelompok tani di berbagai daerah kantong penghasil
tembakau sebagai “daun emas” tersebut.
Bagian berikut menguraikan beberapa rekomendasi yang
perlu diambil oleh pemerintah dan pihak-pihak terkait untuk
melepaskan petani tembakau dari jebakan paradoks ganda yang
sudah berurat-akar tersebut.

1. Kebijakan dan legal


Praktek tata niaga tembakau yang hanya didominasi
oleh industri dan tak berpihak kepada petani tembakau
harus segera diakhiri. Pemerintah, baik pemerintah pusat,
daerah, maupun desa, perlu mengeluarkan regulasi yang
mengupayakan petani tembakau memiliki daya tawar yang
lebih tinggi dan kepastian dalam melaksanakan usaha
taninya.
Di samping UU No. 19 Tahun 2014 tentang
Perlindungan dan Pemberdayaan Petani, terdapat sejumlah
UU yang memerlukan pengaturan turunan yang mendukung
perlindungan dan pemberdayaan petani, antara lain UU No.
6 Tahun 2014 tentang Desa, UU No. 3 Tahun 2014 tentang
Perindustrian, UU No. 7 Tahun 2014 tentang Perdagangan,
UU No. 1 Tahun 2013 tentang Lembaga Keuangan Mikro, dan
UU No. 13 Tahun 2011 tentang Penanganan Fakir Miskin.
Walaupun tembakau tidak termasuk sebagai komoditi
tani dan pangan strategis, namun mengingat komoditi ini

Sebuah Paradoks Kehidupan 131


merupakan komoditi unggulan di beberapa daerah, maka
pengaturan tentang tembakau sangat diperlukan, terutama
untuk tujuan perlindungan dan pemberdayaan petani
tembakau, sesuai Rencana Pembangunan Jangka Panjang
(RPJP) dan Strategi Induk Pembangunan Pertanian (SIPP).
Diperlukan pula langkah-langkah taktis jangka
pendek dan menengah di tingkat daerah untuk mengatasi
hambatan di level lokal, misalnya berupa pengembangan
Lembaga Keuangan Mikro (LKM) sebagaimana diatur oleh
UU No. 1 Tahun 2013 maupun UU No. 6 Tahun 2014 tentang
Desa, khususnya ketentuan yang mengatur BUMD dalam
rangka mendukung pengembangan usaha masyarakat dan
pembangunan desa.

2. Sarana dan Prasarana


Keterbatasan lahan petani tembakau, ditambah
kesulitan sarana produksi pertanian tembakau—seperti
bibit, pupuk, dan peptisida—semakin mempersulit usaha
budidaya tembakau oleh petani kecil. Keterbatasan ini
dimanfaatkan jaringan industri di tingkat bawah, seperti
rentenir, tengkulak, dan grader. Kiranya hal-hal kecil
tapi fundamental tersebut dapat diatasi oleh pemerintah
kabupaten/kota dengan mengupayakan prasarana
pendukung, berupa pasar dan pergudangan.
Oleh karena itu, diperlukan komitmen Pemerintah
Daerah dan Pemerintahan Desa sebagai wujud dari revolusi
mental dan reformasi birokrasi, dalam mewujudkan praktek
good governance dalam agribisnis tembakau di daerah.
Tanpa komitmen tersebut, maka berbagai UU, khususnya
UU tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Petani,
tidak akan dapat diaplikasikan secara efektif. Hal ini tentu
akan bermuara pada posisi petani yang tetap marjinal dan
mengalami paradoks ganda.

132 Petani Tembakau di Indonesia


3. Bimbingan, Penyuluhan, Pendampingan, dan fasilitasi
Bimbingan, penyuluhan, pendampingan, serta
fasilitasi sangat diperlukan petani tembakau, terlebih petani
tembakau gurem, yang rentan terhadap begitu banyak
gangguan internal dan eksternal. Bimbingan, penyuluhan,
pendampingan dan fasilitasi, sangat diperlukan agar petani
tembakau mendapatkan jaminan untuk mendapatkan bibit
tembakau yang tahan hama, sekaligus teknik budi daya
tembakau tahan hama.
Bimbingan, pendampingan, dan fasilitasi juga
diperlukan untuk meningkatkan akses petani pada kredit
perbankan, asuransi produk tani, serta pembuatan gudang
tembakau dan sistem resi gudang.
Di samping peningkatan kualitas dan kapasitas
produksi tembakaunya, para petani tembakau juga
memerlukan bimbingan dan asistensi agar mampu
berinovasi dalam beberapa hal, yakni: (i) melaksanakan
tumpang sari; (ii) pengembangan tanaman sela; (iii)
kemungkinan diversifikasi atau melaksanakan alih
tanam secara terencana, bilamana hal tersebut memang
diperlukan, baik karena pertimbangan untung rugi para
petani sendiri, maupun karena pertimbangan-pertimbangan
pembangunan daerah, atau karena perubahan cuaca yang
ekstrim.
Di samping dilaksanakan oleh petugas bimbingan
dan penyuluhan dari instansi pertanian terkait, bimbingan
juga dapat diberikan oleh instansi perindustrian dan
perdagangan, karena tembakau bukan hanya komoditi
pertanian, juga merupakan komoditi perindustrian dan
perdagangan. Oleh karena itu, berbagai upaya inovatif
diperlukan untuk penemuan dan pengembangan berbagai
manfaat lain dari daun tembakau.

Sebuah Paradoks Kehidupan 133


Sementara itu juga perlu dikembangkan kebijakan dalam
pentgetrapan UU RI tentang Perlindungan & Pemberdayaan
Petanitersebut secara konsekwen dan adil terhadap berbagai
kondisi petani tembakau yang berbeda-beda yang meliputi:
a. Terhadap petani dengan sumber daya manusia serta
lahan dan dengan produksi tembakau yang baik, perlu
didorong untuk meningkatkan kualitas produksinya hingga
berkualitas ekspor.
b. Terhadap petani dengan keterbatasan kemampuan budi
daya, kualitas tanah yang kurang baik serta produksi daun
tembakau yang kurang berkualitas, perlu didukung dengan
berbagai sarana dan prasarana untuk peningkatan kualitas
dan kuantitas produksinya.
c. Sementara terhadap petani dengan lahan terbatas dan
kualitas lahan yang kurang baik, perlu berbagai dukungan,
bimbingan dan fasilitasi berupa sarana dan prasarana untuk
melaksanakan tumpang sari dan diversifikasi, bahkan kalau
diperlukan juga alih tanam yang tepat.

4. Kepastian Usaha dan Pemasaran


Secara umum, kepastian usaha petani tembakau
akan terwujud jika dilaksanakan berdasarkan strategi
perlindungan dan pemberdayaan petani, sebagaimana
diatur dalam UU No. 19 Tahun 2013. Ketiadaan strategi tersebut,
terutama di tingkat kabupaten/kota, akan melahirkan dominasi
permanen oleh industri rokok terhadap petani tembakau.
UU Perlindungan dan Pemberdayaan Petani
mewajibkan pemerintah pusat maupun pemerintah
daerah untuk memberikan kepastian usaha dan kepastian
pemasaran, sehingga petani bukan saja mampu
meningkatkan kualitas produksinya, tapi juga memiliki
posisi tawar yang lebih kuat dalam penentuan harga daun
tembakau.

134 Petani Tembakau di Indonesia


Selain memerlukan dukungan kepastian usaha dan
pemasaran di tingkat lokal, kepastian dalam peningkatan
produktivitas petani tembakau juga memerlukan dukungan
berupa kebijakan pembatasan atau pengendalian impor
tembakau. Di sini diperlukan komitmen pemerintah untuk
meningkatkan kualitas produksi tembakau sekaligus
mengendalikan impor daun tembakau.

5. Penguatan Lembaga Tani dan Masyarakat


Penguatan kelembagaan tani dan partisipasi
masyarakat mutlak diperlukan untuk kepentingan
peningkatan kapasitas produksi dengan tata kelola yang baik
(good governance) maupun untuk kepentingan peningkatan
posisi tawar petani dalam menghadapi cengkeraman
industri tembakau.
Kelembagaan tani dibentuk bukan untuk
memperkokoh dan melanggengkan dominasi kekuatan
industri, melainkan sebagai penyeimbang agar petani
dapat bersikap kritis terhadap perilaku industri tembakau.
Ke depan, kelembagaan petani tembakau, bersama
masyarakat warga lainnya, jangan lagi berfungsi sebagai
pendukung hegemoni dunia industri rokok. Kelembagaan
petani seharusnya dapat menempatkan diri pada posisi
yang mandiri, sebagai bagian dari jaringan Lembaga
Kemasyarakatan di tingkat Desa, sebagaimana diatur dalam
UU No. 6 Tahun 2014 tentang Desa.
Kelembagaan tani harus dikembangkan fungsinya
sebagai wahana komunikasi intensif dan terbuka antara
petani, industri tembakau dan pemerintah.

Sebuah Paradoks Kehidupan 135


6. Lingkungan Pendukung (enabling environment)
Seiring dengan diberlakukannya seperangkat
kebijakan di bidang pertanian, desa, perindustrian dan
perdagangan, maka tidak ada lagi hambatan untuk
mengembangkan kepastian usaha bagi petani tembakau,
baik di aras mikro, meso, maupun makro.
Saat ini yang diperlukan bangsa ini adalah semangat
untuk melaksanakan revolusi mental dan reformasi
birokrasi di semua lini untuk menciptakan lingkungan
yang mendukung terciptanya iklim yang kondusif bagi
perlindungan dan pemberdayaan petani tembakau, sehingga
mereka dapat melepaskan diri dari jebakan paradoks ganda
dalam kehidupan mereka.

C. Roadmap Perlindungan dan Pemberdayaan Petani


Tembakau
Dalam rangka menjamin kepastian perlindungan dan
pemberdayaan petani tembakau di Indonesia, sebagaimana spirit
beberapa produk perundang-undangan baru yang bermaksud
melindungi dan memberdayakan, maka diperlukan suatu Road
Map atau Peta Jalan yang sistematis, terencana, dan terukur.
Peta Jalan tersebut perlu dikembangkan berdasar beberapa tema
pengembangan (development theme) di bidang-bidang berikut
(Lihat Tabel):
1. Kebijakan Publik dan Legal
2. Sarana dan Prasarana
3. Bimbingan, Penyuluhan, Pendampingan, dan Fasilitasi
4. Kepastian Usaha dan Pemasaran
5. Pengembangan Lingkungan Pendukung
6. Lembaga tani & peran serta masyarakat

136 Petani Tembakau di Indonesia


Tabel 4
Tema Pengembangan Pokok
Road Map Perlindungan dan Pemberdayaan Petani Tembakau

1. Kebijakan Publik Pemerintah Pusat dan Pemerintah Kabupaten/Kota, mengeluarkan kebi-


dan Legal jakan publik dan berbagai produk perundang-undangan/Peraturan Daer-
ah sebagai turunan dari UU No. 19 Tahun 2013 tentang Perlindungan dan
Pemberdayaan Petani, UU No.3 Th 2014 tentang Perindustrian dan UU RI,
dan UU No. 7 Tahun 2014 tentang Perdagangan.

2.Sarana dan Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah mengembangkan infrastruk-


Prasarana tur beserta sarana-prasarana pendukung untuk memberikan fasilitasi
dan kemudahan dalam upaya peningkatan produksi daun tembakau yang
berkualitas.

3.Bimbingan, Pemberian berbagai bentuk bimbingan, pendampingan, dan fasilitasi dari


Penyuluhan , instansi dan tenaga profesional kepada petani tembakau, baik secara per-
Pendampingan, orangan maupun secara berkelompok, sehingga petani tembakau Indo-
dan Fasilitasi nesia mampu memproduksi tembakau berkualitas yang mampu bersaing
untuk memenuhi kebutuhan bahan baku produk tembakau dalam negeri
dan menekan impor tembakau.

4. Kepastian Usaha Pemerintah dan Pemerintah Daerah wajib memberikan jaminan bagi ter-
dan Pemasaran laksananya kepastian usaha tembakau dan produk tembakau, termasuk
dalam pemasarannya, baik berupa pembelian secara langsung, penam-
pungan hasil usaha tani,maupun pemberian akses pasar.

5. Pengemban- Dikembangkannya lingkungan pendukung yang kondusif bagi kepastian


gan Lingkungan rangkaian proses usaha tembakau dan produk tembakau, yang mendu-
Pendukung kung harmonisasi antara kepentingan membangun harkat & martabat
kemanusiaan (human dignity), baik dalam rangka pemenuhan the right to
health maupun dengan kepentingan masyarakat tani.

6. Lembaga Tani Memperkuat dan memberdayakan lembaga asosiasi petani tembakau


&Peran Serta sebagai entitas mandiri (civil society) yang memiliki kemampuan untuk
Masyarakat mengagendakan permasalahan dan kepentingan bersama masyarakat
petani tembakau, sehingga petani tembakau memiliki posisi tawar yang
baik dan sanggup melaksanakan advokasi kebijakan terhadap pemerintah
dan industri.

Sebuah Paradoks Kehidupan 137


138 Petani Tembakau di Indonesia
Daftar Pustaka

Aditama, TA. (2013). Sambutan Dirjen P2PL Kemenkes RI: Aksesi


FCTC dan Perlindungan Kesehatan Masyarakat dari
Bahaya Produk Tembakau. FGD Peringatan Hari
Tanpa Tembakau Se-Dunia 2013, di Komnas HAM 29
Mei 2013.

Ahsan, A. (2012). Meretas Jalan Peningkatan Kesejahteraan Petani


Tembakau. Seminar Tata Niaga Pertanian Tembakau
dan Peran Pemerintah, 26 Juni 2012 di LDFEUI,
makalah tidak diterbitkan.

American Cancer Society. (2012). Tobacco Atlas 4th Edition.Atalanta,


Georgia: American Cancer Society.

Arcury T.A, Quandt S.A, Preisser J.S, Norton D. (2005). The Incidence
of Green Tobacco Sickness and Skin Integrity among
Migrant Latino Farmworkers. Journal Occupacional
Environment Medical 2001;43:601-9.

Dinas Kehutanan dan Perkebunan. (2009). Panduan Teknis Budidaya


Tembakau Madura(Pamekasan: Pemerintah
Kabupaten Pamekasan Press).

Sebuah Paradoks Kehidupan 139


Edwards, B,Foley, MW and Diani, M. (2001). Beyond Tacqueville Civil
Society and the Social Capital Debate in Comparative
Perspective, (Hanover: University Press of New
England).

Eriksen, M dkk. (2012). Tobacco Atlas. (Georgia: American Cancer


Society)

Huub de Jonge. (1989).Madura Empat Zaman: Pedagang,


Perkembangan Ekonomi, dan Islam. (Jakarta: KITLV-
LIPI-Gramedia).

Ir Mastur. (2014). Penelitian Tanaman Tembakau dan Diversifikasi


Produknya. Seminar Nasional Pertanian Tembakau:
Memetakan Masalah dan Solusi Bagi Kesejahteraan
Petani Tembakau Universitas Muhammadiyah pada 8
Januari 2014 di Jakarta. Makalah tidak diterbitkan.

Ian Gately. (2001). Tobacco, a Cultural History of How an Exotic


Plant Seduced Civilization. (London: Simon &
Schuster) dalam Kartono Muhammad. 2014.
“Sejarah Tembakau”, makalah yang dipresentasikan
dalam Lokakarya Pengendalian Konsumsi
Produk Tembakau, diselenggarakan oleh Majelis
Pembina Kesehatan Umum, Pengurus Pusat (PP)
Muhammadyah, Bogor, 6—7 Nopember 2014.

Jurnal Analisis Sosial , Volume 6, Issue 2 - Page 174

140 Petani Tembakau di Indonesia


Jayadi, A. & Arbiansyah, T. (2012).Sengsara di Timur Jawa: Kisah
Ketidakberdayaan para Petani Tembakau Sumenep,
Pamekasan dan Jember Menghadapi Tata Niaga
Tembakau yang Memiskinkan.Jakarta: Yayasan
Indonesia Sehat.

Jayadi, A. (2014). Makalah “Pilihan Dilematis Petani Madura”.


Seminar Nasional Pertanian Tembakau, Fakultas
Pertanian, Universitas Muhammadiyah Jakarta, 8
Januari 2014.

Jayadi, A. (2012). Sengsara di Timur Jawa. Seminar Tata Niaga


Pertanian Tembakau dan Peran Pemerintah, pada
26 Juni 2012 di LDFEUI.Makalah tidak diterbitkan.

Jayadi, A. (2014). Paradoks Kehidupan Petani Tembakau Madura


dan Upaya Pemberdayaannya. Makalah pada FGD
Pertanian Tembakau, Marzuki Usman Office, 24 April
2014. Makalah tidak diterbitkan.

Kamus Besar Bahasa Indonesia, http://kbbi.web.id/tata+niaga.


Keyser, JC and Juita, NR. (2005). Smallholder Tobacco Growing
in Indonesia: Cost and profitability compared with
agricultural enterprises. Jakarta: HNP Discussion
Paper World Bank.

Mathers CD, Loncar D. (2006). Projections of global mortality and


burden of disease from 2002 to 2030. PLoS Medicine,
2006, 3(11):e442,

Murray CJL, Lopez AD. (1997). Alternative projections of mortality and


disability by cause 1990-2020: Global burden of disease
study. Lancet, 1997, 349(9064):1498-1504.

Sebuah Paradoks Kehidupan 141


Marwati Djoened Poesponegoro & Nugroho Notosusanto. 2008.
Sejarah Nasional Indonesia IV: Kemunculan Penjajahan
di Indonesia, ±1700-1900(Jakarta: Balai Pustaka).

Mardiyah Chamim, dkk. (2011). A Giant Pack of Lies, Bongkah


Raksasa Kebohongan: Menyorot Kedigdayaan Industri
Rokok di Indonesia (Jakarta: KOJI Communications
dan TEMPO Institute).

McKnight, R.H. Spiller, H.A. (2005). Green Tobacco Sickness in


Children and Adolescents. (Public Health Report/
November-December/Volume 120).

NormanUphoff. (1992). Local Institutions and Participation for


Sustainable Development. International Institute for
Environment and Development (IIED), Gatekeeper
Series No. 31.

Nur Hasim, A. RUU Kontroversial Masuk Program Legislasi. Koran


Tempo, 7 Februari 2015.

Oliveira, P.P.V. (2010). First Reported Outbreak of Green


Tobacco Sickness in Brazil [serial online]. http://
p o r t a l . s a u d e . g o v. b r / p o r t a l / a r q u i v o s / p d f /
artigodoencafolhaverdearapiraca.pdf.

Prof. Soerjono Soekantodalam Sudibyo Markus. (2014).Pedoman


Index Masyarakat Sipil dan Forum Masyarakat Madani.
Hand Out pada Pertemuan Forum Masyarakat
Madani di Jakarta, 30 Oktober 2014.

142 Petani Tembakau di Indonesia


Radar Madura, 12 Juli 2000. Harga Tembakau Rusak Akibat Ulah
Bandul Yang Rugi. http://zkarnain.tripod.com/
PMKAS-86.HTM, diakses pada 17 Oktober 2014.

Rencana Strategis Kementerian Pertanian 2010-2014 hal 33, http://


www.pertanian.go.id/sakip/admin/file/renstra-
setjen-2010-2014.pdf, diakses pada 2 Januari 2015.

Rokhmah, D. (2014). Analisis Faktor Risiko Green Tobacco Sickness


(GTS) Dan Metode Penanganannya Pada Petani
Tembakau,http://repository.unej.ac.id/bitstream/
handle/123456789/58903/dewi_pemula_205.
pdf?sequence=1 diakses 23 Januari 2015.

Supriatna, A. (2014). Aksesibilitas Petani kecil pada Sumber Kredir


Pertanian di Tingkat Desa: Studi Kasus Petani di NTB.
Denpasar: Universitas Udayana dalam http://ojs.
unud.ac.id/index.php/soca/article/view/4198/3183,
diakses pada 17 Oktober 2014.

SEATCA. (2008). Cycle of Poverty in Tobacco Farming: Tobacco


Cultivation in Southeast Asia. Bangkok : SEATCA.

Suswono. (2014). Sambutan Menteri Pertanian: Upaya Perlindungan


Petani Tembakau Indonesia. Seminar Nasional
Pertanian Tembakau: Memetakan Masalah dan Solusi
Bagi Kesejahteraan Petani Tembakau Universitas
Muhammadiyah, 8 Januari 2014 di Jakarta. Makalah
tidak diterbitkan.

Sebuah Paradoks Kehidupan 143


Suprapto, S. 2005. Insiden dan Faktor Risiko Green Tobacco
Sickness (GTS) pada Petani Pemetik Daun Tembakau
di Desa Bansari, Kecamatan Parakan, Kabupaten
Temanggung. Jawa Tengah. Tesis. Universitas
Indonesia. [serial online]. http://lontar.ui.ac.id/opac/
themes/libri2/detail.jsp?id=80274&lokasi=lokal.

Solfiyah dkk. 2009. dalam Handewi P. Saliem, “Permasalahan dan


Tantangan Pertanian Tembakau serta Solusinya”,
Makalah yang dipresentasikan pada FGD Pertanian
Tembakau, Bogor, 16 Oktober 2014.
Tobacco Control Support Center – IAKMI. 2012. Bunga Rampai
Fakta Tembakau dan Permasalahannya di Indonesia
(Jakarta: TCSC-IAKMI),

Thomas Santoso. 2001. “Tata Niaga Tembakau di Madura”.


Jurnal Manajemen & Kewirausahaan Vol. 3, No. 2,
September 2001.

Tobacco Industry Interference with Tobacco Control, World Health


Organization 2008, 12-13 www.who.int/publications/
industry/interference/en

TCSC-Indonesia. 2012. Petani Tembakau di Indonesia. (Jakarta :


TCSC-AIKMI). [serial online]. http://tcsc-indonesia.
org/wp-content/uploads/2012/08/Fact-Sheet-
Petani-Tembakau-Di-Indonesia.pdf

The Tobacco Atlas, World Heath Organization, 2002 http://


whqlibdoc.who.int/publications/2002/9241562099.
pdf, diakses pada 16 Oktober 2014.

144 Petani Tembakau di Indonesia


WHO. (2011). Global Status Report on Non Communicable Diseases
2011. Geneve: WHO.

World Health Organization. WHO Report on the Global Tobacco


Epidemic 2009: Implementing smoke-free
environments. Geneva, WHO, 2009 di http://www.
who.int/tobacco/mpower/2009/en/index.html
diakses pada 8 Januari 2015
World Bank, World Trade Integrated Solution, www.wits.worldbank.
org, diakses pada 17 Oktober 2014.

Republik Indonesia. (2013). UU no. 19 tahun 2013 Tentang


Perlindungan dan Pemberdayaan Petani
Republik Indonesia. (2007). UU no. 39 tahun 2007 tentang Cukai

Wawancara :
Wawancara dengan Anton Waluyo, petani tembakau asal Desa
Artodung, Kecamatan Galis, Kabupaten Pamekasan,
15 Oktober 2014.

Wawancara dengan Herli Budianto, petani tembakau asal


Desa Montok, Kecamatan Larangan, Kabupaten
Pamekasan, September 2012.

Wawancara dengan H. Samsul, pemilik gudang di Desa Tentenan


Timur, Kecamatan Larangan, Kabupaten Pamekasan,
16 September 2014.

Wawancara dengan Samsuri, ketua Kelompok Tani Dusun Ra’as,


Desa Kaduara Barat, Kecamatan Larangan,
Kabupaten Pamekasan, 12 September 2014.

Sebuah Paradoks Kehidupan 145


Wawancara dengan Abdul Rahman, Pengusaha Rokok Lokal di
Desa Blumbungan,

Website :
Antara Jateng. (2014). Rugikan Petani Jokowi Diminta Tak
Tandatangani FCTC. http://www.antarajateng.
com/detail/rugikan-petani-jokowi-diminta-tak-
tandatangani-fctc.html

Antaranews. (2012). Petani dan Pengusaha Tembakau Madura


Jalin Kemitraan. http://www.antaranews.com/
berita/315900/petani-dan-pengusaha-tembakau-
madura-jalin-kemitraan

Antaranews. (2008). Perlawanan Dengan Akal-akalan Petani


Tembakau Madura.http://www.antaranews.com/
berita/115682/perlawanan-dengan-akal-akalan-
petani-tembakau-madura

BBC. (2014). Phillip Morris Tutup di Australia. http://www.bbc.


co.uk/indonesia/majalah/2014/04/140402_bisnis_
philip_morris_tutup

Berita Jatim. (2014). Gudang Tembakau Buka Pembelian, Dishutbun


Turunkan Tim Pemantau. http://beritajatim.
com/ekonomi/215452/gudang_tembakau_buka_
pembelian,_dishutbun_turunkan_tim_ pemantau.
html#.VEG4SyKUe3s

146 Petani Tembakau di Indonesia


Berita Jatim. (2014). Sejumlah Petani Tembakau Berharap
Pemda Pamekasan Adil. http://m.beritajatim.com/
politik_pemerintahan/212017/sejumlah_petani_
tembakau_berharap_pemda_ pamekasan_adil.
html#.VECcAyKUe3s

Berita Madura. (2013). Komisi B Mengkhawatirkan Ketersediaan


Pupuk pada Musim Tanam Tembakau. http://
w w w. b e r i t a m a d u ra . co m / 2 0 1 3 / 0 5 / ko m i s i - b -
mengkawatirkan-ketersediaan-pupuk-pada-
musim-tanam-tembakau.html

Bisnis. (2014). Ini Harapan Petani Tembakau Pamekasan


Kepada Jokowi. http://surabaya.bisnis.com/
read/20140824/10/73944/ini-harapan-petani-
tembakau-pamekasan-kepada-jokowi

Bisnis. (2014. Rencana Pembelian Tembakau Oleh Industri di


Pamekasan Meningkat. http://surabaya.bisnis.
c o m / m / re a d / 2 0 1 4 0 8 0 9 / 1 0 / 7 3 6 0 6 / re n c a n a -
pembelian-tembakau-oleh-industri-di-pamekasan-
meningkat

Bisnis. (2014). Petani di Pamekasan Dapat Bantuan Bibit


Tembakau. http://surabaya.bisnis.com/m/
read/20140616/10/72286/petani-di-pamekasan-
dapat-bantuan-bibit-tembakau

Blok Bojonegoro. (2014) Pabrikan Tembakau Diharap Buka Semua.


http://blokbojonegoro.com/read/article/20140803/
pabrikan-tembakau-diharap-buka-semua.html

Sebuah Paradoks Kehidupan 147


Blok Bojonegoro. (2014). Pabrikan Tembakau Diharap Buka Semua.
http://blokbojonegoro.com/read/article/20140803/
pabrikan-tembakau-diharap-buka-semua.html

CIVICUS, http://www.civicus.org

Custom Jakarta. http://customsjakarta.com/?plh=hscode

Detik.com. (2013). Sampoerna dan Phillip Morris Bangun Pabrik


Rokok Rp 2 triliun di Karawang. http://finance.
detik.com/read/2013/10/09/165720/2382703/103
6/sampoerna-dan-philip-morris-bangun-pabrik-
rokok-rp-2-triliun-di-karawang
Detik.com. (2013). Djarum Gudang Garam Sampoerna Cs Ekspansi
Pabrik Penerimaan Cukai Kinclong. http://finance.
detik.com/read/2013/05/19/175701/2250004/1036/
2/djarum-gudang-garam-sampoerna-cs-ekspansi-
pabrik-penerimaan-cukai-kinclong

Detik.com. (2008). Bentoel Bangun 8 Proyel Baru. http://finance.


detik.com/read/2008/08/08/124044/985168/4/2/
bentoel-bangun-8-proyek-baru

Detik.com. (2014). Induk HM Sampoerna Juga Tutup Pabrik di


Australia dan Belanda. http://finance.detik.com/r
ead/2014/05/19/080355/2585367/1036/induk-hm-
sampoerna-juga-tutup-pabrik-di-australia-dan-
belanda

Detik.com. (2009). BAT Crossing 85,125% Saham Bentoel Rp 5,003


Triliun. http://news.detik.com/transisipresiden/r
ead/2009/06/17/105830/1149214/6/bat-crossing-
85125-saham-bentoel-rp-5003-triliun

148 Petani Tembakau di Indonesia


Detik.com. (2005). Di Balik Pembelian HM Sampoerna oleh
Phillip Morris. http://finance.detik.com/
read/2005/03/15/105751/317484/6/di-balik-
pembelian-hm-sampoerna-oleh-philips-morris

Detik.com. (2005). Di Balik Pembelian HM Sampoerna oleh


Phillips Morris. http://finance.detik.com/
read/2005/03/15/105751/317484/6/di-balik-
pembelian-hm-sampoerna-oleh-philips-morris

Detik.com. (2009). Akuisisi Bentoel BAT Incar Pasar Kretek


Indonesia. http://news.detik.com/transisipresiden/
read/2009/06/17/110437/1149220/6/akuisisi-
bentoel-bat-incar-pasar-kretek-indonesia

DPR RI. (2014). RUU Pertembakauan Disetujui Jadi Usul Inisiatif


DPR.http://www.dpr.go.id/id/berita/paripurna/2014/
jul/15/8374/ruu-pertembakauan-disetujui-jadi-
usul-inisiatif-dpr

Inilah.com. (2012). Industri Rokok Diincar Karena Molek. http://


ekonomi.inilah.com/read/detail/1875686/industri-
rokok-diincar-karena-molek

Iyaa. (2014). Dishutbun Pamekasan Terjunkan 16 Penyuluh


Tembakau. http://www.iyaa.com/finance/berita/
umum/3292140_2115.html

Joglosemar. (2013). Sistem Tata Niaga Tembakau Merugikan Petani.


http://edisicetak.joglosemar.co/berita/sistem-tata-
niaga-tembakau-merugikan-petani-112686.html

Sebuah Paradoks Kehidupan 149


Kabar 24. (2014). Produk Tembakau Merasa Harga di
Kendal Anjlok.http://kabar24.bisnis.com/
read/20140716/78/243827/produksi-tembakau-
merosot-harga-di-kendal-anjlok

Kabupaten Pamekasan. (2008). Peraturan Daerah Nomor 6 Tahun


2008 Tentang Penatausahaan Tembakau. http://
www.jdih.setjen.kemendagri.go.id/files/KAB_
PAMEKASAN_6_2008.pdf

Kabupaten Sumenep. (2012). Sisa Panen Tembakau di Sumenep


Tinggal 5 Persen. http://www.sumenep.
go.id/?page=detailberita.html&id=17740

Kabupaten Sumenep. (2012). Peraturan Daerah Nomor 6 Tahun


2012 Tentang Pedoman Pelaksanaan Pembelian Dan
Pengusahaan Tembakau. http://www.jdih.setjen.
kemendagri.go.id/files/KAB_SUMENEP_6_2012.pdf

Kabupaten Sumenep. Bupati Sumenep Serahkan Bantuan


Alat Panen Tembakau.http://www.sumenep.
go.id/?page=detailberita.html&id=8338
Kamus Besar Bahasa Indonesia, http://kbbi.web.id/tata+niaga

Kementerian Pertanian. (2014). Tabel Luas Areal, Produksi dan


Produktivitas Perkebunan di Indonesia. http://www.
pertanian.go.id/Indikator/tabel-3-prod-lsareal-
prodvitas-bun.pdf

Kompas. (2013). Rekor Baru Pamekasan Kekurangan Tembakau


20.000 Ton. http://regional.kompas.com/
read/2013/09/19/1045520/.Rekor.Baru.Pamekasan.
Kekurangan.Tembakau.20.000. Ton

150 Petani Tembakau di Indonesia


Kompas. (2010). Penyelidikan Hilangnya Ayat Tembakau
Tak Jelas. http://health.kompas.com/
read/ 2010/ 09/ 23/ 03113 9 3 0 / Pe n ye li d i ka n -
Hilangnya-Ayat-Tembakau-Tak-Jelas

Kompas, (2010). Ada Rencana Penghapusan Ayat Tembakau.


http://health.kompas.com/index.php/
read/2010/09/24/07303892/Ada-rencana-
Penghapusan-Ayat-Tembakau

Kontan. (2010). Berkat Jasa Hidung Mereka Terpilih Daun


Tembakau Prima. http://peluangusaha.kontan.co.id/
news/berkat-jasa-hidung-mereka-terpilih-daun-
tembakau-prima-1

Koran Madura. (2013) DPRD Akan Perketat Pengambilan


Sample Tembakau, http://www.koranmadura.
com/2013/10/11/dprd-akan-perketat-pengambilan-
sampel-tembakau/

Koran Madura. (2014). Pupuk Tetap Langka Di Sejumlah Kecamatan.


http://www.koranmadura.com/2014/07/09/pupuk-
tetap-langka-di-sejumlah-kecamatan/

Lensa Indonesia. (2012). Belasan Hektar Tanaman Tembakau


Pamekasan Gagal Panen. http://www.lensaindonesia.
co m / 2 0 1 2 / 0 7 / 2 1 / b e l a s a n - h e k t a r- t a n a m a n -
tembakau-pamekasan-gagal-panen.html

Liputan6. (2011). Korsel Beli Perusahaan Rokok Indonesia.http://


www.liputan6.com/read/345051/korsel-beli-
perusahaan-rokok-indonesia

Sebuah Paradoks Kehidupan 151


Madura Terkini. (2014). Pabrik Belum Buka, Bandul Tak Berani Beli
Tembakau. http://www.maduraterkini.com/berita-
pamekasan/pabrik-belum-buka-bandul-tak-berani-
beli-tembakau.html

Madura Channel. (2012). Harga Tembakau Anjlok, Komisi B DPRD Sumenep


Curigai Ada Permainan. http://www.madurachannel.com/
madura/berita-madura/ekonomi/9887-anjlok-komisi-b-
dprd-sumenep-curigai-ada-permainan.html

Madura Terkini. (2014). Pabrikan Berpotensi Mainkan Harga


Tembakau. http://www.maduraterkini.com/berita-
pamekasan/pabrikan-berpotensi-mainkan-harga-
tembakau.html/2

Madura Terkini. (2014). Pengambilan Sampel Tembakau Hanya 1


Kilogram. http://www.maduraterkini.com/berita-
sumenep/pengambilan-sampel-tembakau-hanya-
1-kilogram.html

Madura Corner. (2014). Perda Tata Niaga Tembakau Sulit


Ditegakkan. http://www.maduracorner.com/perda-
tata-niaga-tembakau-sulit-ditegakkan/

Merdeka. (2013). DPR: Pengendalian Tembakau Melahirkan


Pengangguran. http://www.merdeka.com/uang/
dpr-pengendalian-tembakau-melahirkan-
pengangguran.html

Media Madura. (2014). Inilah Kesimpulan Dialog PWI Yang


Disampaikan Ke Pemkab. http://mediamadura.com/
inilah-kesimpulan-dialog-pwi-yang-disampaikan-
ke-pemkab/

152 Petani Tembakau di Indonesia


Media Madura. (2014). Pemerintah Dinilai Lemah Kendalikan
Peredaran Pupuk Bersubsidi. http://mediamadura.
com/pemerintah-dinilai-lemah-kendalikan-
peredaran-pupuk-bersubsidi/

Neraca. (2012). Bangun Dua Pabrik Baru Sampoerna Buka 8400 Lapangan
Kerja. http://www.neraca.co.id/bursa-saham/16326/Bangun-Dua-
Pabrik-Baru-Sampoerna-Buka-8400-Lapangan-Kerja

Neraca. (2014). Impor Tembakau Cenderung Terus Meningkat,


Konsumsi Rokok Putih Naik. http://www.neraca.
co.id/industri/41898/Impor-Tembakau-Cenderung-
Terus-Meningkat/2

Phillip Morris Internasional. Company Overview. http://www.pmi.


com/eng/about_us/company_overview/pages/
company_overview.aspx

Portal Madura. (2012). Harga Stabil Petani Tembakau Jual Perhiasan


Untuk Tambahan Modal. http://portalmadura.com/
harga-stabil-petani-tembakau-jual-perhiasan-
untuk-tambahan-modal/12551/

PWI Pamekasan. (2014). Catatan Dialog Tata Niaga Tembakau


PWI Pamekasan. http://www.pwipamekasan.
com/catatan-dialog-tata-niaga-tembakau-pwi-
pamekasan/

Radar Madura. (2014). Petani Tetap Tembakau Was-was.


http://radarmadura.co.id/2014/09/petani-tetap-
tembakau-waswas/

Sebuah Paradoks Kehidupan 153


Radar Madura. (2014). Hasil Evaluasi Disperindag dan Dishutbun
Gudang Kekurangan Tembakau. http://radarmadura.
co.id/2014/10/hasil-evaluasi-disperindag-dan-
dishutbun-gudang-kekurangan-tembakau/

RRI. (2014). Harga Tembakau Madura Di Pamekasan Mencapai


Puncaknya. http://www.rri.co.id/post/berita/102873/
e ko n o m i / h a rg a _ te m b a ka u _ m a d u ra _ d i _
pamekasan_mencapai_ puncaknya.html

Sindonews. (2014). Phillip Morris Tutup Pabrik di Australia. http://


ekbis.sindonews.com/read/849914/35/philip-
morris-tutup-pabrik-di-australia-1396431758

Skalanews. (2012). Setiap Tahun 80 ribu Ton Tembakau Impor


Masuk Indonesia.http://skalanews.com/news/
detail/119570/5/setiap-tahun--80-ribu-ton-
tembakau-impor-masuk-indonesia-.html

Skalanews. (2013). Cuaca Anomali Produksi Tembakau Pamekasan


Anjlok.
http://skalanews.com/berita/detail/156487/Cuaca-Anomali-
Produksi-Tembakau-Pamekasan-Anjlok

Skalanews. (2012). Bupati Pamekasan Ancam Cabut Izin Gudang


Pabrikan Rokok. http://skalanews.com/news/
detail/119879/2/bupati-pamekasan-ancam-cabut-
izin-gudang-pabrikan-rokok-.html

SWA. Perjalanan HM Sampoerna Merajai SWA 100 Tahun 2013.


http://swa.co.id/business-strategy/perjalanan-hm-sampoerna-
merajai-swa-100-tahun-2013

154 Petani Tembakau di Indonesia


Tempo. (2014). Pemerintah Diminta Atur Harga Tembakau. http://
www.tempo.co/read/news/2014/08/08/090598160/
Pemerintah-Diminta-Atur-Harga-Tembakau

Tempo. (2010). Petani Tembakau Pamekasan Terjepit. http://www.


tempo.co/read/news/2010/05/26/090250517/Petani-
Tembakau-Pamekasan-Terjepit

Tempo. (2005). Phillip Morris Kuasai 97 Persen Saham


Sampoerna. http://www.tempo.co/read/
news/2005/05/18/05661178/Philip-Morris-Kuasai-
97-Persen-Saham-Sampoerna

Tempo. (2014). Produksi Rokok Turun Target Cukai Tercapai. http://


www.tempo.co/read/news/2014/09/04/090604453/
Produksi-Rokok-Turun-Target-Cukai-Tak-Tercapai

The Jakarta Post. (2009). BAT Buys Bentoel Challenge Big Three
Market Domination. http://www.thejakartapost.com/
news/2009/06/18/bat-buys-bentoel-challenge-big-
three-market-domination.html

Tribunnews. (2014). 2013 HM Sampoerna Raup Laba Rp


108 Triliun. http://www.tribunnews.com/
bisnis/2014/05/09/2013-hm-sampoerna-raup-laba-
rp-108-triliun

Tribunnews. (2014). Setelah di Australia Pabrik Rokok Marlboro


Juga Tutup di Belanda. http://www.tribunnews.
com/internasional/2014/04/04/setelah-di-australia-
pabrik-rokok-marlboro-juga-tutup-di-belanda

Sebuah Paradoks Kehidupan 155


Tribunnews. (2013). Produksi Tembakau 2013 Anjlok Karena
Curah Hujan. http://www.tribunnews.com/
bisnis/2013/10/17/produksi-tembakau-tahun-2013-
anjlok-karena-curah-hujan-tinggi

Tribunnews. (2013). Investasi Rp 2T Phillip Morris Wujud


Kepercayaan Modal di Indonesia. http://www.
tribunnews.com/bisnis/2013/10/10/investasi-rp-2-
t-philip-morris-wujud-kepercayaan-penanaman-
modal-di-indonesia

Vivanews. (2014). Perusahaan Rokok Asing Incar Saham Wismilak.


http://bisnis.news.viva.co.id/news/read/506350-
perusahaan-rokok-asing-incar-saham-wismilak

Warta Ekonomi. (2013). Dana Bagi Hasil Cukai Hasil Tembakau


Harus Lebih Fokus Untuk Petani dan Buruh Industri
Tembakau. http://wartaekonomi.co.id/berita14517/
dana-bagi-hasil-cukai-hasil-tembakau-harus-
lebih-fokus-untuk-petani-dan-buruh-industri-
tembakau.html

WHO. (2003). WHO Framework Convention on Tobacco Control.


http://www.who.int/fctc/en/

WHO. Framework Convention on Tobacco Control. http://www.who.


int/fctc/about/negotiations/en/

WHO. Framework Convention on Tobacco Control Signatory Parties.


http://www.who.int/fctc/signatories_parties/en/

Wikipedia. British American Tobacco. http://en.wikipedia.org/wiki/


British_American_Tobacco
Wikipedia. Oligopsoni. http://id.wikipedia.org/wiki/Oligopsoni

Wikipedia. Korea Tobacc & Ginseng Corporation. http://en.wikipedia.


org/wiki/Korea_Tobacco_%26_Ginseng_Corporation

Sebuah Paradoks Kehidupan 157


Biodata Penulis

Dr. Sudibyo Markus, MBA.


Adalah aktifis masyarakat sipil yang berminat pada isu-isu
pembangunan masyarakat sipil dan kesejahteraan social.
Pada 2005-2010 menjabat esbagai salah satu ketua Pimpinan
Muhammadiyah yang membidangi kesejahteraan & kesehatan
masyarakat. Saat ini beliau adalah wakil ketua Lembaga Hubungan
Luar Negeri dan Kerjasama Internasional PP Muhammadiyah
periode 2010-2015. Beliau aktif dalam merancang berbagai gerakan
praksis demi kemaslahatan masyarakat melalui Indonesia Institute
for Social Development (IISD) dan salah satu pegiat di Association
for Community Empowerment (ACE) . Aktif dalam Indonesia Tobacco
Control Network (ITCN), beliau adalah penggagas perumusan Peta
Jalan Pengendalian Tembakau di Indonesia.

Abdillah Ahsan S.E, M.S.E.,


Dosen Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia yang juga merupakan
wakil ketua dan peneliti senior Lembaga DemografiFakultas
Ekonomi Universitas Indonesia. Beliau mengkhususkan diri dalam
bidang penelitian Ekonomi Tembakau di Indonesia meliputi sektor
rokok dan tembakau, rokok dan kemiskinan, pertanian tembakau
dan terutama kebijakan cukai di Indonesia. Beliau telah melakukan
berbagai riset dan publikasi seputar kajian Ekonomi Tembakau di
tingkat nasional maupun internasional. Salah satu karyanya adalah
“Ekonomi Tembakau di Indonesia”yang diterbitkan tahun 2010.

Sebuah Paradoks Kehidupan 159


N. A. Prabowo, ST, M.Kom.,
Peneliti Lembaga Penelitian Pengembangan dan Pengabdian
Masyarakat di Universitas Muhammadiyah Magelang. Beliau
aktif melakukan pemberdayaan masyarakat khususnya dalam
upaya pendampingan dan pemberdayaan petani tembakau di
daerah Temanggung dan Magelang. Beliau melakukan penelitian
mengenai tingkat kesejahteraan petani tembakau di Temanggung
pada tahun 2012.

Ir. Nurhadi Wiyono, MSi.,


Dosen Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia dan Peneliti di LD
FE UI dalam bidang Ekonomi Tembakau. Beliau aktif memberikan
seminar, diskusi dan pelatihan terkait Demografi. Diantaranya
karyanya adalah Buku Panduan Dana Bagi Hasil Cukai Tembakau
Kementerian Kesehatan Republik Indonesia dan An Analysis Of
The Impact Of Higher Cigarette Prices On Employment In Indonesia
yang diterbitkan oleh South East Asia Tobacco Control Alliance
(SEATCA). 

Akhmad Jayadi, S.E., M.Ec.Dev.,


Adalah dosen STAI-NATA Sampang dan Dosen Universitas
Airlangga, Surabaya. Beliau adalah Peneliti Senior CIRUS (Center
for Indonesian Regional and Urban Studies), Jakarta dan juga peneliti
The Habibie Center. Salah satu penelitiannya adalah mengenai
kesejahteraan petani Tembakau di Madura yang diterbitkan menjadi
sebuah buku bertajuk: “Sengsara di Timur Jawa: Kisah Kemiskinan
dan Ketidakberdayaan Para Petani Tembakau Sumenep, Pamekasan
dan Jember Menghadapi Tata Niaga Tembakau yang Memiskinkan”,
Yayasan Indonesia Sehat (YIS), Jakarta September 2012.

160 Petani Tembakau di Indonesia


Deni Wahyudi Kurniawan, S.S.I.,
Adalah peminat isu-isu kebijakan publik dan pemberdayaan
generasi muda. Beliau adalah ketua umum Pimpinan Pusat Ikatan
Pelajar Muhammadiyah tahun 2008-2010. Lulusan Universitas
Islam Negeri Syarif Hidayatullah juga aktif dalam advokasi
kebijakan publik dan merupakan Program Manager Indonesia
Institute for Social Development (IISD), Jakarta.

Abdoel Malik R., S.H.I.,


Lulusan Sarjana Hukum Islam dari Universitas Muhammadiyah
Surakarta, seorang intelektual muda yang berkhidmat di
IISD sebagai perancang pengembangan program (program
development). Dia juga pengiat di Muhammadiyah Disaster
Management Centre (MDMC) sebagai strategist dalam community
development (comdev). Beliau juga merupakan tenaga ahli untuk
Majelis Ekonomi & Kewirausahaan PP. Muhammadiyah.

Editor
Asep Mulyana, M.A.
Adalah Peneliti Komnas HAM di sub komisi Pengkajian dan
Pengembangan. Beliau merupakan Magister Ilmu Politik,
Konsentrasi HAM dan Demokrasi, dari Universitas Gadjah Mada
& University of Oslo (Norwegia), 2011. Minatnya adalah dalam
kajian Bisnis dan Hak Asas Manusia dan ia telah menulis dalam
berbagai jurnal ilmiah seputar kajian Hak Asasi Manusia di dalam
dan luar negeri. Beliau Berpengalaman sebagai wartawan dan
editor penerbitan dengan lebih dari puluhan buku yang sudah
diterbitkan.

Sebuah Paradoks Kehidupan 161


Kontributor Profil Petani
Fauzi Ahmad Noor, SIP.
Aktifis Tobacco Control sejak tahun 2009 sebagai Tim Advokasi dan
Komunikasi di Indonesian Institute for Social Development(IISD)
Jakarta. Saat ini beliau adalah adalah Program Manager MTCC
(Muhammadiyah Tobacco Control Center) di bawah LP3M Universitas
Muhammadiyah Yogyakarta. Beberapa karyanya diantaranya
adalah film dokumenter (Kesaksian Dari Temanggung) sebuah
kisah nyata petani tembakau Temanggung, tahun 2010 dan film
dokumenter (Petani Merdeka) kisah sukses alih tanam tembakau
petani Magelang 2014.

Dewi Rokhmah, M.Kes.,


Dosen Promosi Kesehatan dan Ilmu Perilaku Fakultas Kesehatan
Masyarakat Universitas Jember, Alumnus S1 Administrasi dan
Kebijakanan Kesehatan FKM Universitas Airlangga Surabaya dan S2
Promosi Kesehatan Universitas Diponegoro Semarang merupakan
salah pengiat pengendalian konsumsi produk tembakau di Jember.
Perempuan kelahiran Malang, salah satu penelitian yang dimuat
dalam buku ini adalah: “Analisis Faktor Risiko GTS (Green Tobacco
Sickness) Pada Petani Tembakau dan Metode Penangganannya”
merupakan sajian yang cukup menarik untuk dikaji aspek
kesehatan bagi petani tembakau.

162 Petani Tembakau di Indonesia


View publication stats

Você também pode gostar