Escolar Documentos
Profissional Documentos
Cultura Documentos
2. Etiologi
Menurut Andra & Yessie (2013) penyebab apendik yaitu:
a. Ulserasi pada mukosa
b. Obstruksi pada colon oleh fecalit (feses yang mengeras)
c. Tumor
d. Berbagai macampenyakit cacing
e. Striktur karena fibrosis pada dinding usus
3. Patofisiologi
Appendiksitis biasanya disebabkan oleh penyumbatan lumen
appendik oleh fekalit, benda asing dan infeksi bakterial yang dapat
menyebabkan obstruksi. Obstruksi tersebut menyebabkan mukus yang
diproduksi mukosa mengalami bendungan. Makin lama mukus tersebut
semakin banyak, namun elastisitas dinding appendik mempunyai
keterbatasan sehingga dapat menekan dinding appendik. Tekanan
mengakibatkan edema pada appendik yang menimbulkan demam,
appendik yang meradang menimbulkan nyeri tekan perut kuadran kanan
bawah (titik Mc. Burney) dengan 4 regio, nyeri tekan dan lepas (tanda
rovsing dan tanda blumberg), tanda rovsing dapat timbul dengan
melakukan palpasi kuadran bawah kiri, yang secara paradoksial
menyebabkan nyeri yang terasa di kuadran kanan bawah. Apabila kumam
telah menyebar ke usus dapat mengiritasi usus sehingga terjadi
peningkatan produk sekretonik termasuk mucus, iritasi mikroba juga
mempengaruhi lapisan otot sehingga terjadi penurunan peristaltik usus dan
menyebabkan konstipasi. Apabila kuman menyebar ke umbilikus dan dan
menimbulkan ransangan nyeri hebat sehingga dapat meransang pusat
muntah, anoreksia dan perasaan enek. Appendik yang meradang harus
segara dilakukan prosedur pembedahan agar infeksi tidak menyebar.
Apabila appendik yang meradang tidak ditanggulangi dapat menyebabkan
komplikasi yaitu appendik supuratif akut dimana sekresi mukus berlanjut,
tekanan terus meningkat, obstruksi vena, edema bertambah dan bakteri
dapat menembus dinding. Apabila aliran arteri terganggu akan terjadi
infark dinding appendik yang diikuti dengan ganggren dan dikatakan pada
stadium appendiksitis ganggrenosa. Dan bila dinding yang telah rapuh itu
pecah akan terjadi appendiksitis perforasi sampai akhirnya terjadi
peritonitis.
4. Klasifikasi
Apendik dapat dibagi atas dua bagian yaitu.
a. Apendik Akut : jarang ditemui pada anak dibawah 5 tahun dan orang
tua diatas 50 tahun. Apendicitis dapat dibagi atas tiga bagian :
1) Apendicitis acut focalik atau segmentalis.
Terjadi pada bagian distal yang meradang seluruh rongga apendiks
sepertiga distal berisi nanah.
2) Apendicitis acut purulenta diffusa.
Pembentukan nanah yang berlebihan jika radangnya lebih hebat
dan dapat terjadi mikrosis dan pembusukan yang disebut
appendicitis gangrenous. Pada appendicitis gangrenous dapat
terjadi perfulasi akibat mikrosis kedalam rongga perut dan
mengakibatkan peritonitis.
3) Apendicitis acut traumatic.
Disebabkan oleh karena trauma karena kecelakaan pada operasi
didapatkan tampak lapisan eksudat dalam rongga maupun
permukaan.
b. Appendicitis kronik.
Appendicitis kronik dibagi atas dua bagian antara lain :
1) Appendicitis cronik focalis.
Secara mikroskopis nampak fibrosis setempat yang melingkar,
sehingga dapat menyebabkan stenosis.
2) Appendicitis cronik obliterative.
Terjadi fibrosis yang luas sepanjang appendiks pada jaringan sub
mukosa dan sub serosa, sehingga terjadi obliterasi (hilangnya
lumen) terutama dibagian distal dengan menghilangnya selaput
lender pada bagian tersebut.
5. Manifestasi Klinis
Nyeri kuadran kanan bawah dan biasanya demam ringan
a. Mual, muntah
b. Anoreksia, malaise
c. Nyeri tekan lokal pada titik Mc. Burney
d. Spasme otot
e. Konstipasi, diare
(Brunner & Suddarth. 2001. Keperawatan Medikal Bedah vol.2. hal.
1098. Jakarta: EGC)
6. Komplikasi
a. Komplikasi utama adalah perforasi appediks yang dapat berkembang
menjadi peritonitis atau abses apendiks
b. Tromboflebitis supuratif
Tromboflebitis supuratif (septik) adalah infeksi pada vena yang
bertrombosi, dan biasanya dihubungkan dengan kateter intra-
vena.Dapat menyebabkan sepsis yang menetap pada penderita infeksi
pevis anerobik.Kejadian tromboflebitis septik pada vena subklavia dan
vena-vena besar, meningkat, sejak adanya hiper-alimentasi intra-vena.
c. Obstruksi usus
adalah gangguan pada aliran normal isi usus sepanjang traktus
intestinal (Nettina, 2001). Obstruksi terjadi ketika ada gangguan yang
menyebabkan terhambatnya aliran isi usus ke depan tetapi
peristaltiknya normal (Reeves, 2001). Obstruksi usus merupakan suatu
blok saluran usus yang menghambat pasase cairan, flatus dan makanan
dapat secara mekanis atau fungsional (Tucker, 1998).
d. Abses subfrenikus
Merupakan pengumpulan cairan antara diafrgama dan hati atau limpa.
Ini merupakan komplikasi dari pembedahan abdomen bagian atas
namun juga dapat disebabkan oleh perforasi saluran gastrointestinal.
Abses lebih sering terjadi pada sisi kanan.
7. Pemeriksaan Diagnostik
a. Pemeriksaan Fisik
1) Inspeksi : pada apendisitis akut sering ditemukan adanya
abdominal swelling, sehingga pada pemeriksaan jenis ini biasa
ditemukan distensi perut.
2) Palpasi : pada daerah perut kanan bawah apabila ditekan akan
terasa nyeri. Dan bila tekanan dilepas juga akan terasa nyeri. Nyeri
tekan perut kanan bawah merupakan kunci diagnosis dari
apendisitis. Pada penekanan perut kiri bawah akan dirasakan nyeri
pada perut kanan bawah. Ini disebut tanda Rovsing (Rovsing
Sign). Dan apabila tekanan di perut kiri bawah dilepaskan juga
akan terasa nyeri pada perut kanan bawah.Ini disebut tanda
Blumberg (Blumberg Sign).
3) Pemeriksaan uji psoas dan uji obturator : pemeriksaan ini juga
dilakukan untuk mengetahui letak apendiks yang meradang. Uji
psoas dilakukan dengan rangsangan otot psoas lewat hiperektensi
sendi panggul kanan atau fleksi aktif sendi panggul kanan,
kemudian paha kanan ditahan. Bila appendiks yang meradang
menempel di m. psoas mayor, maka tindakan tersebut akan
menimbulkan nyeri. Sedangkan pada uji obturator dilakukan
gerakan fleksi dan endorotasi sendi panggul pada posisi terlentang.
Bila apendiks yang meradang kontak dengan m.obturator internus
yang merupakan dinding panggul kecil, maka tindakan ini akan
menimbulkan nyeri. Pemeriksaan ini dilakukan pada apendisitis
pelvika.
4) Pemeriksaan colok dubur : pemeriksaan ini dilakukan pada
apendisitis, untuk menentukan letak apendiks, apabila letaknya
sulit diketahui. Jika saat dilakukan pemeriksaan ini dan terasa
nyeri, maka kemungkinan apendiks yang meradang terletak
didaerah pelvis. Pemeriksaan ini merupakan kunci diagnosis pada
apendisitis pelvika.
b. Pemeriksaan Penunjang
1) Laboratorium : terdiri dari pemeriksaan darah lengkap dan test
protein reaktif (CRP). Pada pemeriksaan darah lengkap ditemukan
jumlah leukosit antara 10.000-20.000/ml (leukositosis) dan
neutrofil diatas 75%, sedangkan pada CRP ditemukan jumlah
serum yang meningkat.
2) Radiologi : terdiri dari pemeriksaan ultrasonografi dan CT-scan.
Pada pemeriksaan ultrasonografi ditemukan bagian memanjang
pada tempat yang terjadi inflamasi pada apendiks. Sedangkan pada
pemeriksaan CT-scan ditemukan bagian yang menyilang dengan
apendikalit serta perluasan dari apendiks yang mengalami
inflamasi serta adanya pelebaran sekum.
b) Data Obyektif
(1) Pasien tampak dalam pengaruh anastesi BSA
(2) Pasien tampak berbaring dalam posisi supinasi
(3) Tampak luka pembedahan appendiktomy
3) Post operasi
a) Data subyektif
Pasien mengatakan perutnya sakit pada daerah luka operasi, pasien
mengatakan nyeri seperti ditusuk-tusuk, skala nyeri 5 dari 10 skala
nyeri yang diberikan, pasien mengatakan nyerinya bertambah saat
badannya digerakkan, pasien mengeluh nyeri, pasien mengatakan
sebagian kebutuhan dibantu seperti mandi, pasien mengatakan
badannya terasa lemas, pasien mengatakan belum tahu tentang cara
perawatan luka operasi.
b) Pasien tampak kesakitan dan meringis saat badannya
digerakkan,pasien tampak sering memegang perutnya saat
bergerak, terdapat luka operasi di perut kanan bawah sepanjang 10
cm dengan 5 jahitan, tampak terpasang IVFD RL 28 tetes/menit
pada tangan kanan pasien, gaas luka tampak kering, pasien tampak
lemah, pasien hanya tampak berbaring di tempat tidur, pasien
hanya mampu miring kiri-kanan dengan sangat hati-hati,
kebutuhan ADL pasien dibantu oleh keluarga, pasien tampak tidak
leluasa untuk bergerak, pasien tampak bertanya-tanya tentang cara
perawatan luka operasi..
b. Diagnosa keperawatan:
1) Pre operasi (Doenges, 1999 dan Carpenito, 2000)
a) Nyeri akut berhubungan dengan peradangan pada appendik.
b) Ansietas berhubungan dengan ancaman integritas biologis
sekunder terhadap pembedahan.
c) Konstipasi berhubungan dengan penurunan peristaltik usus
sekunder terhadap tidak adekuatnya diet (kurang serat).
d) Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan
dengan anoreksia.
e) Kurang pengetahuan berhubungan dengan kurang informasi
tentang penyakit, penyebab, perawatan dan pengobatan.
2) Intra Operasi
a) Resiko syok berhubungan dengan lingkungan dan tindakan
pembedahan
3) Post operasi
a) Nyeri akut berhubungan dengan trauma jaringan dan spasme otot
sekunder terhadap pembedahan (appendiktomy).
b) Risiko terhadap infeksi berhubungan dengan sisi masuknya
organisme sekunder terhadap pembedahan (luka operasi) dan
adanya jalur invasive.
c) Intoleransi aktivitas berhubungan dengan kelemahan akibat efek
anastesi pasca pembedahan.
c. Perencanaan
Perencanaan merupakan tahap kedua dalam proses keperawatan yang
terdiri dari prioritas diagnosa keperawatan dan rencana keperawatan.
Prioritas diagnosa keperawatan berdasarkan Kebutuhan Dasar Maslow dan
berat ringannya masalah yang mengancam jiwa pasien yaitu:
1) Pre operasi (Doenges, 1999 dan Carpenito, 2000)
a) Nyeri akut berhubungan dengan peradangan pada appendik.
b) Ansietas berhubungan dengan ancaman integritas biologis
sekunder terhadap pembedahan.
c) Konstipasi berhubungan dengan penurunan peristaltik usus
sekunder terhadap tidak adekuatnya diet (kurang serat).
d) Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan
dengan anoreksia.
e) Kurang pengetahuan berhubungan dengan kurang informasi
tentang penyakit, penyebab, perawatan dan pengobatan.
2) Intra Operasi
a) Resiko syok berhubungan dengan lingkungan dan tindakan
pembedahan
3) Post operasi
a) Nyeri akut berhubungan dengan trauma jaringan dan spasme otot
sekunder terhadap pembedahan (appendiktomy).
b) Risiko terhadap infeksi berhubungan dengan sisi masuknya
organisme sekunder terhadap pembedahan (luka operasi) dan
adanya jalur invasive.
c) Intoleransi aktivitas berhubungan dengan kelemahan akibat efek
anastesi pasca pembedahan.
Tindakan keperawatan:
(1) Kaji tingkat pengetahuan pasien tentang perawatan pasca
pembedahan.
Rasional: untuk mengetahui seberapa besar pengetahuan pasien.
(2) Beri penjelasan tentang prosedur pembedahan.
Rasional: dengan memberi penjelasan kepada pasien diharapkan
pengetahuan pasien bertambah.
(3) Beri kesempatan pasien untuk bertanya.
Rasional: untuk mengetahui seberapa besar pemahaman pasien
terhadap penjelasan yang diberikan.
2) Intra Operasi
b) Resiko syok berhubungan dengan lingkungan dan tindakan
pembedahan
Tujuan : syok tidak terjadi
Kriteria Hasil :
(1) Saturasi >95%
(2) Tekanan Darah dalam batas normal pasien
(3) Perdarahan <20% cairan tubuh
(4) Suhu tubuh pasien dalam rentang normal 36,5-37,5 o C
(5) Nadi dalam batas yang diharapkan
Intervensi :
(1) Monitor status sirkulasi hemodinamik (tekanan darah, warna kulit,
suhu kulit, HR, kapiler refill)
Rasional : Status hemodinamik yang menurun merupakan tanda-
tanda awal terjadinya syok.
(2) Monitor tanda inadekuat oksigenasi jaringan dan pernafasan.
Rasional : Status oksigenasi yang menurun merupakan tanda-
tanda awal terjadinya syok
(3) Lihat dan pelihara kepatenan jalan nafas
Rasional : Efek anastesi akan membuat kelumpuhan otot,
termasuk otot-otot nafas
(4) Tempatkan pasien pada posisi supine, kaki elevasi
Rasional : posisi supine membantu peningkatan preload dengan
tepat
(5) Kolaborasi dalam pemberian cairan IV
Rasional : Cairan intravena diperlukan untuk mengatasi
kehilangan cairan tubuh secara hebat.
3) Post operasi
a) Nyeri akut berhubungan dengan trauma jaringan dan spasme otot
sekunder terhadap pembedahan (appendiktomy).
Tujuan: nyeri hilang atau terkontrol.
Kriteria hasil: pasien tampak rileks, mampu tidur atau istirahat dengan
baik, nadi 80-84 x/menit, pasien tidak meringis lagi,
skala nyeri ringan (1-3).
Tindakan keperawatan:
(1) Kaji nyeri, catat lokasi, karakteristik, beratnya (skala 0-10).
Rasional: perubahan karakteristik nyeri menunjukkan terjadinya
abses/peritonitis, memerlukan upaya evaluasi medik
dan intervensi.
(2) Ajarkan teknik distraksi seperti berbincang-bincang dan menonton
dan relaksasi seperti nafas dalam.
Rasional: dengan distraksi mengalihkan fokus terhadap nyeri dan
relaksasi dapat meningkatkan koping.
2) Fase kedua
Merupakan puncak implementasi yang berorientasi pada tujuan, keamanan
fisik dan psikologi dilindungi, misalnya teknik aseptik, memberi rasa
nyaman. Hal penting pada implementasi adalah mengumpulkan data yang
berhubungan reaksi klien termasuk reaksi fisik, psikologi, sosial dan
spiritual.
3) Fase ketiga
Merupakan terminasi perawat-klien setelah implementasi. Setelah selesai
implementasi dilakukan dokumentasi yang meliputi intervensi yang sudah
dilakukan.
d. Evaluasi
Evaluasi adalah bagian terakhir dari proses perawatan. Semua tahap
proses keperawatan (diagnosis, tujuan, intervensi) harus dievaluasi.(Keliat,
1996)
Elemen yang akan dievaluasi pada setiap komponen proses
keperawatan.
1) Pengkajian : akurat atau tidak, kelengkapan, validasi, kualitas, alternatif.
2) Identifikasi masalah : sesuaikan dengan lingkup keperawatan, kejelasan
akurat atau tidak, akurat atau tidak penyebab, validasi, alternatif.
3) Planning : kriteria outcome (spesific, measurable, achievable, realistic,
time-bound), rencana intervensi (jelas atau spesifik untuk individu),
alternatif, validasi.
4) Implementasi : respon klien, respon staf, pencapaian hasil, alternatif,
keamanan/keakuratan, validasi, keahlian dalam merawat.
Evaluasi yang diharapkan pada teori Appendiksitis adlah:
1) Pre operasi
a) Nyeri hilang atau terkontrol.
b) Ansietas terkontrol.
c) Konstipasi tidak terjadi.
d) Tidak terjadi kekurangan nutrisi.
e) Pengetahuan pasien bertambah tentang perawatan pasca pembedahan.
2) Intra Operasi
a) syok tidak terjadi
3) Post operasi
a) Nyeri hilang atau terkontrol.
b) Infeksi tidak terjadi.
c) Pasien dapat beraktivitas secara mandiri.