Você está na página 1de 20

Analisis Rencana Pemanfaatan Pinjaman Luar Negeri 2015-2019

Sesuai dengan ketentuan Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 2011, Menteri Perencanaan
Pembangunan Nasional/Kepala Bappenas mendapat amanat untuk menyusun RPPLN. RPPLN
disusun dengan berpedoman pada RPJMN serta memperhatikan BMP luar negeri. Secara
substansi, RPPLN memuat indikasi kebutuhan dan rencana penggunaan Pinjaman Luar Negeri
dalam jangka menengah. Dengan telah ditetapkannya RPJMN 2015-2019, maka RPPLN 2015-
2019 perlu disusun sebagai panduan dalam kebijakan pemanfaatan pinjaman luar negeri selama
periode 20152019.

 3.1.1 Indikasi Kebutuhan Pinjaman Luar Negeri 2015-2019


Penyusunan indikasi kebutuhan pinjaman luar negeri jangka menengah mengacu pada kebijakan
dan kebutuhan pembiayaan dalam RPJMN 2015-2019 serta memperhatikan batas maksimal
pinjaman selama periode tersebut. Prosestersebut dapat digambarkan seperti pada Gambar 3.1.

Kebutuhan pinjaman luar negeri mengacu pada kebijakan makro RPJMN 2015-2019. Beberapa
kebijakan makro dalam RPJMN yang menjadi dasar penentuan kebutuhan pinjaman luar negeri
adalah: (i) menjaga dan mempertahankan kesinambungan fiskal, (ii) meningkatkan kinerja
neraca pembayaran, (iii) diarahkan dengan mengurangi rasio defisit anggaran menjadi sekitar
satu persen pada tahun 2019, dan (iv) menjaga rasio utang di bawah 30 persen terhadap PDB.
Berbagai kebijakan tersebut mendasari nilai perkiraan pembiayaan defisit yang salah
satunyaakan dibiayai melalui pinjaman luar negeri selama 2015-2019 (Tabel 3.1).
Rencana pembiayaan pinjaman luar negeri tersebut juga memperhatikan nilai BMP luar negeri
2015-2019 yang ditentukan oleh Menteri Keuangan (Tabel 3.2). BMP luar negeri terdiri dari
rencana pinjaman sedang berjalan (on going) dan rencana penarikan pinjaman baru untuk jenis
pinjaman program dan pinjaman proyek termasuk pinjaman yang diteruspinjamkan.

Dengan berpedoman pada postur pembiayaan 2015-2019 dan BMP luar negeri 2015-2019, maka
dapat diperhitungkan rencana penarikan pinjaman luar negeri 2015-2019. Rencana penarikan
pinjaman luar negeri tersebut terdiri dari rencana penarikan pinjaman sedang berjalan (on going)
dan rencana penarikan pinjaman luar negeri baru (ruang gerak pinjaman baru). Indikasi
kebutuhan pinjaman luar negeri baru yang dibutuhkan untuk memenuhi rencana pembiayaan
pinjaman luar negeri tahun 2015-2019 diperhitungkan dari nilai komitmen pinjaman yang
dibutuhkan untuk mengisi ruang gerak pinjaman luar negeri baru. Nilai komitmen yang
dibutuhkan ini terdiri dari pinjaman program dan pinjaman proyek yang ditentukan nilainya
berdasarkan pola penyerapan kedua jenis pinjaman tersebut. Untuk pola penyerapan pinjaman
proyek, berdasarkan pengalaman pelaksanaan proyek, rata-rata umur proyek diperkirakan
berjalan selama enam tahun dengan pola penyerapan dari tahun pertama sampai ke-6 (5 persen,
10 persen, 15 persen, 40 persen, 25 persen, dan 5 persen). Untuk pinjaman program, memiliki
pola penyerapan yang langsung habis dalam satu tahun karena bersifat pinjaman tunai.
Berdasarkan pola penyerapan tersebut, maka untuk mengisi ruang gerak pinjaman luar negeri
baru dibutuhkan komitmen pinjaman selama 2015-2019 yang diperhitungkan dalam persentase
terhadap PDB dalam range ± 10 persen (Tabel 3.3).
 3.1.2 Kebijakan Pemanfaatan Pinjaman Luar Negeri 2015-2019

Pemanfaatan pinjaman luar negeri pemerintah diatur dalam ketentuan Peraturan


Pemerintah Nomor 10 Tahun 2011 tentang Tata Cara Pengadaan Pinjaman Luar Negeri dan
Penerimaan Hibah. Selain itu dalam jangka menengah, kebijakan pemanfaatan pinjaman luar
negeri mengacu pada RPJMN Tahun 2015-2019. Peraturan dan kebijakan tersebut
mengatur prinsip dan memberi panduan mengenai arah kebijakan pemanfaatan dan
kriteria penggunaan pinjaman luar negeri.

Prinsip Penggunaan Pinjaman Luar Negeri


Pinjaman luar negeri harus dilaksanakan dengan prinsip tata kelola yang baik (good
governance) yaitu dilakukan secara transparan, akuntabel, efisien dan efektif, serta dengan
kehati-hatian. Selain itu, untuk menjaga kedaulatan nasional, pelaksanaan pinjaman luar negeri
harus tidak disertai ikatan politik dan tidak memiliki muatan yang dapat mengganggu stabilitas
keamanan negara.
Prinsip kesetaraan dalam pelaksanaan kerjasama dengan mitra pembangunan juga
perlu dilakukan dengan menempatkan mitra pembangunan sebagai partner (partnership) dan
bukan sebagai pemberi bantuan (assistance). Sedangkan prinsip yang terakhir, pinjaman luar
negeri dilaksanakan dengan selalu mengutamakan kepentingan nasional dalam semua aspek,
termasuk aspek politik, ekonomi, sosial budaya, maupun pertahanan dan keamanan.

Kebijakan Penggunaan Pinjaman Luar Negeri 2015-2019


Pinjaman luar negeri tidak semata-mata dimanfaatkan untuk menutup defisit (financing
gap) saja, namun terdapat beberapa pertimbangan yang menjadi dasar pemanfaatan pinjaman
luar negeri, antara lain: (i) sebagai bagian dari pengelolaan biaya dan risiko pinjaman
pemerintah, (ii) menambah kapasitas implementasi terutama untuk program-program di bidang
infrastruktur termasuk dengan mendorong peran BUMN dan swasta, (iii) sebagai upaya
pengembangan model proyek/kegiatan melalui replikasi dari proyek/kegiatan pinjaman luar
negeri, dan (iv) sebagai instrumen kerjasama pembangunan (development cooperation) dengan
para mitra.
Berdasarkan beberapa dasar pertimbangan tersebut dan merujuk pada arah kebijakan
RPJMN 2015-2019, maka pinjaman luar negeri untuk periode 2015-2019 akan
dimanfaatkan untuk mendukung pencapaian prioritas pembangunan nasional melalui tiga
dimensi pembangunan nasional dalam RPJMN 2015-2019, yaitu; dimensi pembangunan sektor
unggulan, pembangunan manusia, dan pemerataan dan kewilayahan. Prioritas tersebut
mencakup bidang kedaulatan pangan, kedaulatan energi, ketenagalistrikan, kemaritiman,
kelautan, pariwisata, industri, pendidikan, kesehatan, perumahan, ketahanan air, infrastruktur
dasar dan konektivitas.
Merujuk pada arah pemanfaatan pinjaman luar negeri tersebut, kegiatan yang dapat
dibiayai melalui pinjaman luar negeri harus memenuhi beberapa kriteria untuk mendukung
pencapaian program prioritas RPJMN 2015-2019. Pertama, pinjaman luar negeri dapat
memberikan dampak yang besar dalam rangka mendorong pertumbuhan ekonomi, termasuk
kegiatan dalam rangka (i) pengembangan kerjasama pembangunan yang melibatkan pihak
swasta, (ii) pelaksanaan penugasan Pemerintah kepada BUMN, atau (iii) mendorong
pembangunan di daerah. Kedua, kegiatan pinjaman luar negeri juga dapat diarahkan dalam
rangka meningkatkan jangkauan (akses) dan kualitas pelayanan
kepada masyarakat. Ketiga, pemerataan pembangunan untuk mengurangi
kesenjangan antar wilayah juga perlu menjadi pertimbangan penting dalam
menentukan kegiatan pinjaman luar negeri.
Untuk mengoptimalkan pemanfaatan pinjaman luar negeri diperlukan perbaikan secara
terus-menerus dengan melakukan penguatan pengelolaan pinjaman luar negeri mulai dari
tahap perencanaan, pelaksanaan, pemantauan, dan evaluasi. Beberapa strategi dan upaya yang
dapat dilakukan diantaranya adalah: (i) melakukan pola pendekatan perencanaan berbasis
program (program based approach), hal ini dilakukan dengan penekanan pada pencapaian
hasil/sasaran program (outcome); (ii) peningkatan koordinasi dan kualitas kesiapan kegiatan,
termasuk rencana pembebasan lahan dan rencana pelaksanaan kegiatan, (iii)
penyusunan rencana penarikan pinjaman luar negeri dengan memperhatikan jenis kegiatan,
masa laku, dan kapasitas penyerapan instansi pelaksana, (iv) penguatan kapasitas lembaga
yang terlibat dalam pengelolaan pinjaman luar negeri serta peningkatan koordinasi
antar lembaga dalam pelaksanaan kegiatan, dan (v) peningkatan kualitas pemantauan dan
evaluasi kegiatan pinjaman luar negeri untuk memastikan efektivitas pelaksanaan kegiatan
pinjaman luar negeri yang sedang berjalan maupun sebagai input bagi perencanaan
pinjaman luar negeri ke depan.

Kebijakan Pemanfaatan Pinjaman Luar Negeri Aspek Makro dan Mikro


Kebijakan pemanfaatan pinjaman luar negeri dapat dilihat dari aspek makro dan mikro.
Aspek makro melihat kebijakan penarikan pinjaman luar negeri secara menyeluruh yang
dilihat dari dampak pinjaman luar negeri dalam neraca pembayaran, kesinambungan fiskal,
portofolio utang, dan crowding out effect. Di sisi mikro, pinjaman luar negeri dilihat dari sisi
manfaat kegiatan (proyek) dalam mendukung pembangunan nasional. Kebijakan makro dan
mikro harus berjalan secara harmonis, sehingga kebijakan yang digariskan dalam aspek makro
mampu diterjemahkan dalam kebijakan aspek mikro. Hal ini dapat dilakukan apabila kebijakan
pemanfaatan proyek-proyek (pada level mikro) didesain untuk memberikan kontribusi
dalam mencapai arah kebijakan makro.
 Kebijakan Pemanfaatan Pinjaman Luar Negeri dalam Aspek Makro

A. Mendukung Kinerja Neraca Pembayaran

Neraca pembayaran dapat diartikan sebagai suatu neraca yang merangkum transaksi
finansial suatu negara dengan negara lain (Todaro, 2000). Neraca pembayaran memiliki dua
jenis transaksi yaitu transaksi berjalan, dan transaksi modal
dan finansial (Gambar 3.2)

Dalam neraca pembayaran, aktivitas pinjaman luar negeri seperti penarikan pinjaman,
pembayaran cicilan pokok, dan pembayaran bunga berada dalam transaksi investasi lainnya
dan pendapatan primer. Penarikan pinjaman luar negeri akan berpengaruh positif dalam neraca
investasi lainnya, sebaliknya pembayaran pokok pinjaman luar negeri akan berpengaruh
negatif. Di sisi lain, pembayaran bunga pinjaman luar negeri akan berpengaruh dalam
transaksi pendapatan primer.

Sesuai dengan data Bank Indonesia, pada triwulan III-2015, transaksi investasi lainnya
di sisi kewajiban untuk sektor publik mengalami surplus sebesar USD 1,6 miliar, hal ini
disebabkan karena adanya penarikan pinjaman luar negeri pemerintah yang mencapai USD 2,1
miliar, sedangkan pembayaran pokok selama triwulan ini hanya sekitar USD 0,5 miliar. Dalam
periode yang sama, meskipun terjadi penurunan pembayaran bunga pinjaman luar negeri,
namun neraca pendapatan primer masih mengalami defisit USD 7,1 miliar. Defisit tersebut
disebabkan oleh meningkatnya jumlah pembayaran pendapatan investasi langsung dan
pendapatan investasi

portofolio sesuai pola musimannya (Bank Indonesia, 2015b). Beberapa data tersebut di
atas menunjukkan bahwa aktivitas penarikan dan pembayaran pinjaman luar negeri turut
mempengaruhi neraca pembayaran, meskipun tidak sebesar pengaruh ekspor, impor, dan
foreign direct investment (FDI). Saat melakukan penarikan pinjaman luar negeri, terdapat
aliran modal yang masuk (capital inflow) sehingga dapat meningkatkan cadangan devisa
(Gambar 3.3). Pada saat melakukan pembayaran pokok pinjaman dan bunga, terdapat
aliran modal yang keluar (capital outflow) yang mengakibatkan keluarnya sejumlah valuta
asing sehingga cadangan devisa berkurang.

Di sisi lain, pinjaman luar negeri juga dapat dimanfaatkan untuk mengimpor barang/jasa
yang belum mampu diproduksi oleh industri atau supplier dalam negeri. Impor tersebut
utamanya terkait dengan proyek pemerintah seperti di bidang infrastruktur yang belum
mampu diproduksi di dalam negeri, seperti pengadaan track materials, bridge materials,
dan alutsista. Dengan melakukan pinjaman luar negeri untuk keperluan impor, maka
pemerintah tidak perlu menukarkan rupiah ke
dalam mata uang lain (valuta asing) sehingga cadangan devisa dapat dihemat.
Seperti yang dijelaskan sebelumnya bahwa kinerja neraca pembayaran sangat
dipengaruhi oleh kinerja ekspor. Oleh karena itu, peran pinjaman luar negeri dalam
mendukung neraca pembayaran dapat dilakukan dengan mendorong peningkatan ekspor.
Dalam hal ini, pinjaman luar negeri dapat dimanfaatkan untuk mendorong investasi pada
sektor-sektor industri yang memiliki pasar ekspor yang
tinggi (Gambar 3.4).

B. Dilaksanakan dalam Rangka Mendukung Kesinambungan Fiskal

Kesinambungan fiskal adalah kondisi APBN yang sehat dalam jangka panjang dan
mampu meminimalisir adanya risiko gagal bayar (default risk). Hal ini dapat dilihat dari
dua sisi, yaitu bagaimana pengelolaan APBN dapat dilakukan secara prudent dan bagaimana
APBN digunakan secara optimal dengan meningkatkan kualitas belanja (quality of spending).
Oleh karena itu, kondisi fiskal yang berkesinambungan, adalah terciptanya struktur APBN
yang dapat berfungsi sebagai stabilisator perekonomian untuk menjaga kestabilan makro
(inflasi, jumlah pengangguran, pertumbuhan ekonomi) melalui pengeluaran pemerintah yang
berkualitas, serta mampu mengelola APBN untuk menjamin terpenuhinya pengeluaran
pemerintah dalam jangka panjang dan portofolio pembiayaan yang terkendali (Gambar 3.5).
Indikator yang lazim digunakan adalah defisit APBN yang berada pada tingkat yang relatif
rendah dan debt to GDP ratio yang dapat dikelola
secara baik (manageable) (Waluyanto, 2012

Dalam rangka mempertahankan kesinambungan fiskal, pemanfaatan pinjaman luar


negeri dapat dioptimalkan melalui peningkatan quality of spending dan pengelolaan
pinjaman luar negeri secara baik sebagai bagian dari
pembiayaan defisit (Gambar 3.6).

Dalam rangka mendukung kesinambungan fiskal, pemanfaatan pinjaman luar negeri


melalui peningkatan kualitas belanja (quality of spending) dapat dilakukan dengan
mengutamakan pinjaman luar negeri pada kegiatan yang produktif dengan investment leverage
tinggi. Kegiatan yang mempunyai investment leverage yang tinggi dapat merangsang
tumbuhnya investasi yang berdampak pada peningkatan pertumbuhan ekonomi dan
peningkatan lapangan kerja. Peningkatan pertumbuhan ekonomi tersebut dapat meningkatkan
potensi penerimaan pajak yang saat ini menjadi sumber terbesar penerimaan negara dalam
APBN, sehingga peningkatan pajak tersebut dapat memperkuat APBN dan mendukung
kesinambungan fiskal. Meskipun demikian, selain fokus pada kegiatan investment leverage,
pinjaman luar negeri juga tetap diarahkan dalam rangka mewujudkan pemerataan
pembangunan. Hal ini dilakukan sebagai bentuk kewajiban pemerintah dalam
meningkatkan akses pelayanan publik bagi seluruh masyarakat.

Disisi lain, pengelolaan pinjaman luar negeri dalam rangka menjaga kesinambungan
fiskal dilakukan melalui manajemen pengelolaan pinjaman luar negeri sebagai bagian dari
portofolio utang. Hal ini ditujukan untuk menjaga indikator-indikator utang, yaitu debt
service ratio (DSR), debt to GDP ratio (DTO), dan debt to export ratio (DTX) berada dalam
batas aman (Tabel 3.4), sehingga APBN menjadi lebih kuat dalam jangka panjang.
Secara umum, semua indikator fiskal (APBN) di Indonesia saat ini masih relatif
aman. Hal ini ditunjukkan dari rendahnya DSR, DTO dan DTX dibandingkan dengan batas
aman yang lazim digunakan (best practices).

C. Sebagai Bagian dari Pengelolaan Biaya dan Risiko Utang Pemerintah


Pengelolaan risiko merupakan suatu pendekatan dalam mengelola ketidakpastian yang
berkaitan dengan ancaman, termasuk penilaian risiko, pengembangan strategi untuk
mengelolanya, dan mitigasi risiko dengan menggunakan pengelolaan sumber daya (Sadgrove,
2005). Dalam utang pemerintah, risiko yang dapat muncul antara lain nilai tukar, default
(gagal bayar), dan jangka waktu jatuh tempo. Sedangkan biaya yang dapat muncul antara lain
yield, suku bunga, fee (antara lain commitment fee, front-end-fee), dan lain-lain.
Sumber pembiayaan defisit APBN dapat diperoleh melalui pinjaman luar negeri,
pinjaman dalam negeri, penerbitan Surat Berharga Negara (SBN) dan Surat
Berharga Syariah Negara (SBSN). Masing-masing sumber utang tersebut memiliki
tingkat biaya dan risiko yang berbeda-beda. Oleh karena itu, manajemen portofolio utang perlu
dilakukan sebagai bentuk dari efisiensi biaya dan mitigasi risiko. Dengan melakukan
manajemen portofolio utang yang baik, biaya dan risiko pinjaman
diharapkan menjadi rendah dan terkendali (manageable).

Saat ini Indonesia digolongkan sebagai negara Lower Middle Income


Countries (LMIC). Oleh karena itu, Indonesia masih mendapatkan fasilitas pinjaman luar
negeri dengan terms and conditions yang relatif lunak (concessional loan), meskipun sudah
semakin terbatas. Rendahnya biaya dalam pinjaman luar negeri dapat menjadi salah satu opsi
sumber pembiayaan untuk mencapai portofolio utang dengan biaya dan risiko yang rendah
(Gambar 3.7).
Sejak tahun 2000, sebagian besar utang pemerintah diperoleh melalui penerbitan SBN
dan pinjaman luar negeri. Apabila dilihat dari persyaratan utang (terms and conditions),
pinjaman luar negeri relatif memiliki biaya yang lebih murah daripada SBN (Tabel 3.5).
Namun demikian, apabila dilihat dari sisi risiko, pinjaman luar negeri dan juga SBN valas
memiliki risiko nilai tukar
Dengan demikian, perlu dipertimbangkan adanya upaya mitigasi risiko terkait dengan
fluktuasi nilai tukar tersebut. Salah satu alternatif upaya mitigasi risiko fluktuasi nilai tukar
adalah dengan penerapan mekanisme hedging dalam persyaratan pinjaman luar negeri ataupun
pada penerbitan SBN valas. Penerapan hedging tersebut harus dilaksanakan sejalan dengan
ketentuan dan peraturan perundangan
yang berlaku di Indonesia.

Grafik 3.1 menunjukkan proporsi pembiayaan utang pemerintah pada tahun


2014. Satu hal yang cukup menarik dalam proporsi tersebut adalah bahwa SBN valas memiliki
proporsi yang cukup besar melebihi penarikan pinjaman luar negeri
Lebih jauh lagi apabila kita lihat dari status kepemilikan SBN, kepemilikan asing di
SBN cenderung meningkat dari tahun 2011 sebesar 30,8 persen menjadi 37,1 persen
pada Oktober 2015 (Grafik 3.2). Hal ini perlu menjadi bahan pertimbangan dalam pengelolaan
dan komposisi utang Indonesia kedepan, penerbitan SBN perlu didorong untuk dimanfaatkan
dalam mengoptimalkan potensi pendanaan dalam negeri khususnya masyarakat untuk terlibat
dalam memanfaatkan obligasi sebagai salah satu produk keuangan (meningkatkan financial
inclusion) dan berkontribusi
dalam pembiayaan pembangunan nasional.

D. Mengurangi Potensi Crowding Out Effect


Crowding out effect dapat terjadi karena pemerintah mengeluarkan pinjaman/penerbitan
obligasi dalam negeri yang cukup besar untuk ditawarkan kepada masyarakat sehingga
menyerap sebagian besar dana masyarakat. Akibatnya, volume pinjaman/penerbitan obligasi
dalam negeri meningkat dan porsi
dana investasi swasta yang tersedia berkurang (Gambar 3.8).
Dalam hal ini, peran pinjaman luar negeri dalam meminimalisir crowding out effect
dapat dilakukan dalam konteks manajemen portofolio utang dimana terdapat beberapa
pilihan sumber utang yang berasal dari dalam negeri (sumber pembiayaan domestik) maupun
sumber luar negeri.

Pembiayaan domestik yang tinggi baik dari sisi volume ataupun biaya (tingkat bunga)
karena tingginya kebutuhan pembiayaan defisit dapat dikurangi dengan upaya pemerintah
untuk memanfaatkan sumber eksternal. Pinjaman luar negeri sebagai salah satu sumber
pembiayaan eksternal dapat dimanfaatkan, sehingga pinjaman/penerbitan obligasi dalam
negeri dapat terjaga dalam batas wajar baik
dari sisi volume maupun biaya (Gambar 3.9).

 Kebijakan Pemanfaatan Pinjaman Luar Negeri dalam Aspek Mikro


A. Menambah Kapasitas

Selain sebagai sumber pembiayaan, pinjaman luar negeri juga dimanfaatkan untuk
meningkatkan kapasitas bagi pihak yang terlibat dalam kegiatan pinjaman luar negeri.
Peningkatan kapasitas tersebut dapat diperoleh dari penerapan international best practices
maupun alih ilmu dan teknologi (transfer of knowledge) melalui interaksi antara pihak yang
terlibat dalam proyek. Beberapa pihak yang diharapkan dapat menerima dampak
peningkatan kapasitas implementasi antara lain: (i) pelaksana proyek, (ii) penerima manfaat
(beneficiaries), dan (iii) stakeholder
lain (kontraktor, supplier)
Beberapa bentuk peningkatan kapasitas sangat beragam, untuk pemerintah yang
terlibat dalam proyek dapat memperoleh pembelajaran dan peningkatan kapasitas
implementasi proyek khusunya mengenai penyiapan dan manajemen proyek. Di sisi lain,
beragam manfaat dapat diperoleh oleh penerima manfaat (beneficiaries) yang sebagian besar
diterima masyarakat diantaranya adalah pengetahuan berorganisasi, peningkatan keahlian,
dan peningkatan kemandirian masyarakat secara sosial maupun ekonomi. Untuk para
stakeholder lain seperti kontraktor atau swasta dalam negeri, peningkatan kapasitas dapat
diperoleh melalui pembelajaran inovasi, teknologi, know-how dari pihak luar (internasional)
melalui transfer of knowledge ataupun internasional best practices.
Untuk mengoptimalkan pemanfaatan pinjaman luar negeri dalam peningkatan
kapasitas implementasi, dibutuhkan pemilihan mitra yang sesuai dengan keahlian di
bidangnya. Dalam hal ini, Pemerintah Indonesia telah melakukan kerjasama dengan berbagai
mitra pembangunan baik secara bilateral maupun multilateral. Masing-masing mitra
pembangunan tersebut mempunyai comparative advantage di dalam sektor-sektor proyek
tertentu. Peningkatan kapasitas implementasi yang diperoleh dalam pelaksanaan proyek
pinjaman luar negeri dapat dilihat dari hasil pemantauan dan evaluasi pinjaman luar negeri
yang dilaksanakan oleh pemerintah. Berdasarkan pemantauan dan evaluasi tersebut dapat
dinilai bagaimana masing-masing lender mampu memberikan peningkatan kapasitas baik
bagi pelaksana proyek maupun penerima manfaat (beneficiaries).

B. Pengembangan Model Proyek/Kegiatan (Replikasi/Scaling Up)

Dengan adanya pembelajaran berupa transfer of knowledge dan penerapan international


best practices, kegiatan pinjaman luar negeri berpotensi untuk dikembangkan melalui
replikasi/scaling up. Replikasi/scaling up merupakan upaya untuk melanjutkan proyek
pinjaman yang dinilai sukses dengan menerapkan kegiatan yang serupa untuk
memperluas pelaksanaannya. Untuk mengidentifikasi kelayakan proyek pinjaman luar
negeri yang akan direplikasi/scaling up, dapat dilihat dari hasil pematauan dan evaluasi
terhadap output/outcome dan manfaat proyek.
Beberapa aspek yang harus dipertimbangkan untuk menilai proyek tersebut layak untuk
di replikasi/scaling up adalah aspek unsur pembelajaran (best practice), aspek kelayakan
(feasible), dan aspek prioritas (priority) (Gambar 3.11). Best practice, artinya proyek tersebut
mampu memberikan lesson learn/inovasi dan memberikan dampak positif bagi pembangunan
baik dari sistem dan tata kelola yang lebih baik

maupun inovasi teknologi. Feasible, adalah kesesuaian desain proyek untuk


memungkinkan dilaksanakan dengan menggunakan sistem nasional baik dengan/tanpa
modifikasi proyek. Beberapa kriteria proyek yang feasible untuk direplikasi/scaling up yaitu;
model yang sederhana, memiliki standar pedoman yang jelas dan akuntabel, menawarkan
inovasi yang belum pernah dikembangkan di program lain, tidak berkonteks lokal, tidak
memiliki karakteristik tertentu yang dapat mengurangi relevansi perluasan, serta efektif dan
efisien dari segi biaya maupun kelembagaan (Direktorat Pendanaan Luar Negeri Multilateral,
2014). Hal terakhir yang perlu menjadi suatu pertimbangan dalam pemilihan proyek untuk
replikasi/scaling up adalah priority, artinya adalah proyek tersebut merupakan prioritas
nasional untuk mencapai sasaran pembangunan

nasional. Proyek/kegiatan yang dapat direplikasi/scaling up dapat diklasifikasikan


berdasarkan sifatnya, yaitu kuantitatif atau kualitatif (Gambar 3.12)3. Kegiatan bersifat
kuantitatif apabila replikasi/scaling up ditujukan untuk menjangkau penerima manfaat yang
lebih luas atau adanya penambahan lokasi kegiatan. Di sisi lain, kegiatan yang bersifat
kualitatif diidentifikasi dari apakah replikasi/scaling up dilakukan dengan mengadopsi
sebagian atau keseluruhan model dalam sistem dan
program pemerintah (Direktorat Pendanaan Luar Negeri Multilateral, 2014).

C. Sebagai Instrumen Kerjasama Pembangunan

Seiring dengan perkembangan ekonomi global, pinjaman luar negeri yang dilakukan
Indonesia memiliki upaya dalam mendorong peningkatan kerjasama internasional baik di
forum multilateral maupun bilateral. Pada tingkat multilateral, pinjaman luar negeri
dilakukan dengan menjalin kerjasama dengan lembaga-
lembaga multilateral seperti World Bank, Asian Development Bank, Islamic
Development Bank, dan lain-lain. Selain sebagai member country dan borrower, peran
Indonesia juga dapat ditingkatkan untuk lebih aktif dalam lembaga tersebut. Selain itu,
kerjasama dalam lembaga tersebut juga mampu membangun network dengan dunia
internasional (Gambar 3.13).

Pada tingkat bilateral, pelaksanaan pinjaman luar negeri G-to-G akan memperkuat
hubungan bilateral antar negera sehingga dapat meningkatkan kerjasama pada level yang
lebih besar seperti pada aspek perdagangan, pariwisata, dan sebagainya. Selain itu,
pinjaman luar negeri dapat dioptimalkan
dengan memanfaatkan comparative advantage di masing-masing Negara
Adanya peran aktif Indonesia dalam menjalin kerjasama internasional baik secara
multilateral maupun bilateral dapat mendukung peran Indonesia dalam melakukan diplomasi
ekonomi yang dapat menciptakan citra internasional yang baik. Namun yang perlu
diperhatikan adalah keselarasan diplomasi ekonomi dan diplomasi politik agar dapat
memberikan hasil yang optimal dalam memenuhi kepentingan nasional di dunia internasional.

D. Mendorong Peran BUMN dan Swasta Nasional

Proyek pinjaman luar negeri tidak hanya melibatkan kerjasama G-to-G saja, namun juga
melibatkan peran BUMN dan swasta nasional dalam pelaksanaannya. BUMN dan swasta
dapat terlibat secara langsung dalam proyek pinjaman luar negeri sebagai pelaksana proyek,
kontraktor, pemasok (supplier), atau bagian dari KPS (Kerjasama Pemerintah-Swasta)
(Gambar 3.14).
Sesuai dengan Peraturan Presiden Nomor 82 Tahun 2015, BUMN dapat memanfaatkan
pinjaman luar negeri melalui pinjaman langsung (direct lending) yang memungkinkan
adanya jaminan pemerintah didalamnya. Pemanfaatan pinjaman luar negeri juga dapat
diarahkan untuk mengembangkan industri BUMN

dan swasta nasional dengan semaksimal mungkin memanfaatkan pasokan (supply) produk-
produk mereka dalam mendukung proyek pinjaman luar negeri. Terkait dengan keterlibatan
BUMN dan swasta nasional dalam KPS, hal ini dilakukan dengan mengarahkan pinjaman luar
negeri untuk membiayai proyek dengan skema KPS. Dalam pola ini, pemerintah
memanfaatkan pinjaman luar negeri untuk mendanai

porsi pemerintah, sedangkan BUMN dan Swasta membiayai porsi privat-nya. Secara
tidak langsung, proyek pinjaman luar negeri dapat meningkatkan peran BUMN dan
swasta melalui pengalokasian beberapa proyek pinjaman luar negeri pada kegiatan yang
paling dibutuhkan BUMN dan swasta untuk berkembang. Jenis kegiatan yang dimaksud
merupakan kegiatan yang dapat meningkatkan daya tarik investasi (investment leverage)
seperti proyek pada sektor infrastuktur dan energi. Proyek-proyek di sektor infrastruktur
dan energi akan meningkatkan daya saing nasional dalam melakukan usaha (doing
business), yang salah satunya adalah adanya penurunan biaya investasi (cost of investment)
yang harus dikeluarkan oleh BUMN dan swasta. Dampak dari efisiensi tersebut akan
meningkatkan minat dan peran BUMN dan swasta untuk berinvestasi di Indonesia dan
meningkatkan kontribusi mereka dalam pembangunan nasional.

E. Mendukung Pertumbuhan Ekonomi, Meningkatkan Akses Pelayanan, atau


Pemerataan Pembangunan

Pinjaman luar negeri dapat dilakukan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat


melalui peningkatan pertumbuhan ekonomi, akses pelayanan, dan pemerataan pembangunan
(Gambar 3.15). Untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi, pinjaman luar negeri
difokuskan pada proyek-proyek pembangunan

dengan investment leverage yang tinggi seperti sektor infrastruktur dan energi. Dalam
hal peningkatan akses pelayanan, pinjaman luar negeri lebih difokuskan untuk
kegiatan yang dapat meningkatkan fasilitas kebutuhan dasar masyarakat (basic public need
project). Peningkatan fasilitas kebutuhan dasar masyarakat yang dimaksud adalah akses rumah
sakit bagi masyarakat, sarana pendidikan, dan lain-lain. Untuk pemerataan pembangunan,
pinjaman luar negeri diarahkan pada proyek untuk daerah terluar, terpencil, dan pinggiran.
Pelaksanaan proyek perlu dilaksanakan dengan memperhatikan potensi keunggulan komparatif
dan keunggulan kompetitif daerah, serta posisi geografis strategis di masing-masing pulau
agar sasaran pembangunan tercapai dan kesejahteraan masyarakat pun
meningkat.
Dampak Hutang Luar Negeri Indonesia
Dampak positif
Dalam jangka pendek, utang luar negeri sangat membantu pemerintah Indonesia dalam
upaya menutup defisit anggaran pendapatan dan belanja negara, yang diakibatkan oleh
pembiayaan pengeluaran rutin dan pengeluaran pembangunan yang cukup besar. Dengan adanya
utang luar negeri membantu pembangunan negara Indonesia, dengan menggunakan tambahan
dana dari negara lain. Laju pertumbuhan ekonomi dapat dipacu sesuai dengan target yang telah
ditetapkan sebelumnya.
Dampak Negatif
Dalam jangka panjang utang luar negeri dapat menimbulkan berbagai macam persoalan
ekonomi negara Indonesia, salah satunya dapat menyebabkan nilai tukar rupiah jatuh(Inflasi).
Utang luar negeri dapat memberatkan posisi APBN RI, karena utang luar negeri tersebut harus
dibayarkan beserta dengan bunganya. Negara akan dicap sebagai negara miskin dan tukang
utang, karena tidak mampu untuk mengatasi perekonomian negara sendiri, (hingga
membutuhkan campur tangan dari pihak lain).
Selain itu, hutang luar negeri bisa memberikan manfaat sebagai berikut:
1. Membantu dan mempermudah negara untuk melakukan kegiatan ekonomi.
2. Sebagai penurunan biaya bunga APBN
3. Sebagai sumber investasi swasta
4. Sebagai pembiayaan Foreign Direct Investment (FDI) dan kedalaman pasar modal
5. Berguna untuk menunjang pembangunan nasional yang dimiliki oleh suatu negara

Hutang luar negeri tersebut tentunya berkaitan dengan anggaran pemerintah. Apabila
anggaran pemerintah salah sasaran dalam mengeluarkan pembiayaan rutin dan pembiayaan
pembangunan maka uang yang telah dikeluarkan tersebut menjadi sia- sia bahkan yang terjadi
adalah terhambatnya pembangunan akibat sasaran atau alokasi dana yang salah
serta menyebakan keuangan negara terbuang sia-sia tanpa ada yang mau bertanggung jawab, lalu
proyek-proyek lainnya yang banyak terabaikan ataupun tidak terurus menyebabkan anggaran
terus berkurang begitu saja. Anggaran yang defisi akan membuat pemerintah kekurangan dana
untuk menutupi anggaran sehingga mengakibatkan pemerintah meminjam dana utang dari luar
negeri dan utang Indonesiapun semakin meningkat dan menumpuk dan lama kelamaan Indonesia
dapat dikuasai oleh negara lain karena hutang yang menumpuk dan bisa menjadi negara yang
termiskin akibat adanya utang tersebut dan kemakmuran dan kesejahteraan masyarakat menjadi
menurun.
Selain hutang luar negeri yang menghambat pembangunan ekonomi di Indonesia yaitu faktor
nasib pembangunan yaitu pengangguran dan pengerjaan proyek-proyek pembangunan yang
berkaitan dengan kehidupan massal masyarakat . Pengangguran salah satu faktor yang
menghambat pembangunan di Indonesia akibat tidak tersedianya lapangan pekerjaan dan
kurangnya lapangan pekerjaan di daerah-daerah. Kurangnya lapangan pekerjaan di daerah serta
tidak meratanya pendapatan mengakibatkan pola pikir masyarakat daerah bahwa jika ingin kaya
harus bekerja di kota-kota besar. Akibat pola pikir masyarakat tersebut yang pergi ke kota ada
yang mendapatkan pekerjaan dan ada yang tidak mendapat pekerjaan, bagi yang tidak
mendapatkan pekerjaan akan mengakibatkan masalah-masalah baru yang terjadi di kota tersebut
sehingga pengangguranpun semakin banyak, pengemis semakin marak dan kejahatan terjadi.
Namun bagi yang mendapatkan pekerjaan di kota kota besar tersebut tentunya akan menaikkan
pajak penghasilan bagi kota dan negara. Akan tetapi hal tersebut tidaklah sehat karena
kesenjangan akan meningkat antara orang orang di kota dan di daerah. Seharusnya pemerintah
membuat , membuka, dan menyediakan lapangan pekerja di daerah-daerah agar lapangan
pekerjaan di Indonesia dapat merata dan distribusi pendapatan pun merata serta pajak
penghasilanpun dapat merata. Bagi pihak swasta pun yang berpusat di kota juga membuka
lapangan pekerjaan di daerah-daerah agar kesenjangan antara kota dan daerah berkurang dan
distribusi pendapatan dan pajak penghasilan merata di berbagai daerah.
Oleh karena itu, jika ingin bangkit dari ketergantungan dari negara asing dan pembangunan pun
meningkat maka harus ada perubahan yang dilakukan oleh pemerintah Indonesia, yaitu :
Pertama, Meningkatkan daya beli masyarakat, yakni melalui pemberdayaan ekonomi pedesaan
dan pemberian modal usaha kecil seluasnya. Dengan peningkatan daya beli masyarakat ini
membuat barang-barang hasil buatan dalam negeri terjual habis tentu akan memberikan
peningkatan kesejahteraan masyarakat. Apalagi yang terjual dan laku terbeli itu yaitu produk
hasil ekonomi pedesaaan dan usaha kecil, tentu akan membuat perkembangan yang signifikan
bagi kemajuan usaha pedesaan dan usaha kecil sehingga mampu bersaing perusahaan besar milik
swasta. Keuntungan lain dari peningkatan daya beli masyarakat yaitu perputaran uang akan lebih
banyak terdapat di dalam negeri sehingga uang ini akan menambah pendapatan negara dengan
pajak.
Kedua, meningkatkan pajak secara progresif terhadap barang mewah dan impor. Realitas yang
ada saat ini pemerintah mengambil pajak barang mewah

Ketiga, Konsep pembangunan yang berkesinambungan, berlanjut dan mengarah pada satu titik
maksimalisasi kekuatan ekonomi nasional, melepaskan secara bertahap ketergantungan utang
luar negeri. Telah di jelaskan pada awal prinsip pembangunan yang diusung Orde Baru yakni
mengutang untuk pembangungan, sekarang saatnya membangun Indonesia dari keringat peluh
yang dihasilkan diri sendiri Indonesia walaupun harus bertahap sesuai dengan pendapatan yang
diraih. Jangan asal cepat-cepat membangun negeri sehingga kita selalu bertumpu pada utang /
Investasi luar negeri tapi membangun negeri perlu proses sehingga dibutuhkan sikap sabar yang
tinggi pemerintah untuk membangun negeri. Masyarakat sebagai rakyat harus mendukung setiap
tindakan pemerintah yang benar.

Keempat, menggalakan kebanggaan akan produksi dalam negeri, meningkatkan kemauan dan
kemampuan ekspor produk unggulan dan membina jiwa kewirausahaan masyarakat. Hal yang
memprihatinkan dengan televisi atau surat kabar di negeri ini yakni banyaknya iklan swasta
produk luar negeri berkembang di dalam negeri, sadar atau tidak iklan-iklan ini mempengaruhi
pergaulan masyarakat di negeri ini, Para remaja lebih suka makanan produk luar negeri daripada
produk-produk dalam negeri seperti kacang rebus, ketela godok. Sehingga hasil jual lebih banyak
keluar daripada ke dalam negeri.Padahal dari segi kandungan zat makanan tradisional inilah
lebih banyak di banding produk luar negeri. Negeri ini kaya akan Sumber daya alam unggulan
sehingga bila kita manfaatkan secara maksimal maka akan memberikan devisa negara, akhir-
akhir ini negeri kita mampu dengan “swasembada pangan” mengapa kita tidak swasembada
kehutanan, pertambangan atau seterusnya. Permasalahan yang ada adalah terkendala dana dan
teknologi peraalatan, sebenarnya ini dapat disiasati dengan memanfaatkan dana terbatas dan
peralatan kurang itu untuk mendukung produksi hasil pada potensi yang sangat besar.

Kelima, mengembangkan sumber daya manusia berkualitas dan menempatkan kesejateraan yang
berkeadilan dan merata sebagai landasan penyusunan operasionalisasi pembangunan ekonomi.
Pepatah ada yang bilang “ orang yang bodoh dekat dengan kemiskinan” ini tentu sesuai dengan
realitas yang ada di Indonesia, banyak anak kecil di kolong-kolong jembatan dan Perhentian
lampu merah tidak bersekolah malah mencari nafkah membantu orang tua-nya. Ditambah lagi
dengan harga pendidikan Indonesia yang mahal tentu akan menambah daftar panjang orang-
orang bodoh baru yang akan bernasib sama. Padahal negara kita akan menghadapi perdagangan
bebas sungguh sangat ironi bila negara kita hanya bergantung dengan bangsa lain. Bila kita
cermati dengan tingkat pendidikan tinggi rata-rata penduduknya akan memberikan penghasilan
yang besar bagi penduduk akan memperkuat ekonomi nasional melalui pengurangan tenaga kerja
luar negeri. Bila kesejateraan penduduk besar tentu akan memberikan pajak sangat besar
sehingga negeri ini memperoleh pendapatan yang besar.

Keenam, perbaikan rencana anggaran negara yang salah dalam pembiayaan pembangunan
negara.

Dari solusi Ekonomi nasionalis populis tersebut akan berhasil bila ada sinergi antara legislatif,
eksekutif dan yudikatif. Tidak lupa hal terpenting yakni adanya kemauan rakyat untuk berubah
dan bergerak bersama untuk menghasilkan negara Indonesia yang mandiri dan bertekad bangkit
serta mengakhiri utang luar negeri.

Você também pode gostar