Escolar Documentos
Profissional Documentos
Cultura Documentos
Oleh:
Oleh:
Lastri Ronauli Sitompul 04054811416086
Byanka Fitria 04054811416083
Retno Susilowati 04054811416088
Djodie Depati Singalaga 04054811416077
Inne Fia Mariety 04054821517005
Pembimbing:
dr. H. M. Zainie Hassan AR, Sp.KJ (K)
Puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa atas berkat dan
anugerah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan tugas ilmiah yang berjudul
“Consultation Liaison Psychiatry pada Penyakit Imun” sebagai salah satu tugas yang
merupakan bagian dari sistem pembelajaran kepaniteraan klinik, khususnya di Departemen
Ilmu Kedokteran Jiwa Fakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya Rumah Sakit Ernaldi Bahar
Palembang.
Pada kesempatan ini, penulis mengucapkan terima kasih kepada dr. H. M. Zainie
Hasan, AR, SpKJ (K) selaku pembimbing yang telah membantu dalam penulisan dan
memberi masukan sehingga tugas ilmiah ini dapat selesai.
Penulis menyadari bahwa dalam penulisan tugas ilmiah ini masih banyak terdapat
kesalahan dan kekurangan. Oleh karena itu, segala saran dan kritik yang bersifat
membangun sangat penulis harapkan. Semoga tugas ilmiah ini bermanfaat dan menambah
wawasan bagi siapa saja yang membacanya.
Tim Penulis
ii
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR......................................................................................................... ii
DAFTAR ISI........................................................................................................................ iii
BAB I PENDAHULUAN.................................................................................................... 1
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi Consultation Liaison Psychiatry..................................................................... 2
2.2 Sejarah Consultation Liaison Psychiatry...................................................................... 6
2.3 Tim Consultation Liaison Psychiatry........................................................................... 11
2.4 Konsep Manajemen Kerja Consultation Liaison Psychiatry........................................ 13
2.5 Gangguan psikiatrik pada penderita HIV/AIDS
2.5.1 Epidemiologi....................................................................................................... 15
2.5.2 Kelainan psikiatrik spesifik pada penderita HIV/AIDS..................................... 17
2.5.3 Farmakoterapi..................................................................................................... 20
2.5.4 Terapi Psikologi.................................................................................................. 22
BAB III KESIMPULAN...................................................................................................... 26
DAFTAR PUSTAKA.......................................................................................................... 27
iii
BAB I
PENDAHULUAN
Penyakit imunologi adalah suatu penyakit yang menyerang sistem imun. Salah satu
dari penyakit tersebut yang dikenal luas oleh masyarakat adalah HIV/AIDS (Human
Immunodeficiency Virus/Acquired Immunodeficiency Syndrome), yaitu penyakit yang
menyebabkan penurunan kekebalan pada sistem imun tubuh (imunodefisiensi). Di Indonesia,
angka kejadian HIV/AIDS terus mengalami peningkatan. Menurut Dirjen Pemberantasan
Penyakit Menular dan Penyehatan Lingkungan Pemukiman (P2MPLP) Departemen
Kesehatan Republik Indonesia jumlah pengidap infeksi HIV dan kasus AIDS yang
dilaporkan dari 1 Juli 1987 sampai dengan Maret 2008 angka kumulatif per 100.000
penduduk nasional sebesar 5,23 dengan jumlah keseluruhan 17.998 orang, dimana 11.868
penderita AIDS dan 6130 penderita HIV. Diperkirakan jumlah ini akan meningkat hingga
mencapai 80.000 - 120.000 kasus pada 2010.
HIV/AIDS dan gangguan psikiatrik mempunyai hubungan yang kompleks. Menjadi
terinfeksi HIV akan menyebabkan gangguan psikiatrik sebagai konsekuensi psikologis dari
infeksi atau karena efek dari virus HIV dalam otak. Perjalanan penyakit AIDS yang progresif
dan berakhir dengan kematian, serta penyebaran yang cepat, adanya stigma dan diskriminasi
terhadap penderita dapat menimbulkan keadaan stres dan gangguan psikiatrik pada penderita
tersebut. Penelitian menunjukkan bahwa prevalensi ganggguan psikiatrik pada orang yang
hidup dengan HIV/AIDS adalah antara 30% - 60%.
Gangguan psikiatrik pada penderita HIV/AIDS haruslah ditangani secara optimal
dengan menerapkan konsep biopsikososial yaitu suatu konsep yang melibatkan interaksi
antara faktor biologis, psikologis, dan sosial dalam upaya memahami proses penyakit yang
memandang pikiran dan tubuh sebagai satu kesatuan. Pendekatan ini dapat kita lihat
pada Consultation-Liaison Psychiatry (CLP), suatu perkembangan lebih lanjut dari psikiatri
klinik yang merupakan subspesialisasi dalam psikiatri yang menginkorporasikan pelayanan
klinis, pengajaran, dan penelitian pada perbatasan antara psikiatri dengan kedokteran.
Keterlibatan CLP pada penangangan dan perawatan pasien HIV/AIDS diharapkan akan
menghasilkan terapi yang maksimal yang memandang pasien secara holistik. Oleh karena itu,
referat ini mencoba memaparkan tentang definisi, konsep manajemen kerja CLP, dan peran
keterlibatan CLP pada penanganan dan perawatan pasien HIV/AIDS.
1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2
merujuk pada aktivitas pendidikan yang diberikan oleh psikiater pada tim medis mengenai
masalah yang berhubungan dengan aspek psikiatri dari penyakit.
CLP mempunyai dua tujuan utama berkaitan dengan sistem pelayanan dan
pemeliharaan kesehatan. Pertama, CLP menggunakan model kerjasama dan pendidikan untuk
mencoba menggabungkan pendekatan psikosomatis pada pasien, konsultasi psikiatri yang
menyeluruh, saran terapi dan tatalaksana yang berdasarkan penelitian psikosomatis,
pertimbangan perilaku dan seluruh aspek, dan bila sesuai, psikoterapi yang berorientasi
tilikan diri. Dalam pelaksanaannya, CLP mencoba untuk mengajarkan bagian dari kedokteran
yang ada dalam pengetahuan psikiatri dan bioperilaku. Kedua, CLP mencoba untuk
mengajarkan pada bidang psikiatri apa yang terjadi pada bidang kedokteran.
CLP didasarkan pada enam prinsip utama:
a. Hubungan kerja yang erat antara psikiater dan dokter umum. Pada beberapa kasus,
hubungan ini menjadi lebih penting dari pada permintaan konsultasi tertulis dan bentuk dasar
dari laporan pribadi antara dokter selama proses konsultasi.
b. Keterlibatan psikiater sejak awal perjalanan terapi pasien, bahkan sebelum ada gejala
psikiatri yang berkembang. Pada beberapa kasus, psikiater dapat dapat terlibat dalam
penyaringan pasien yang akan mendapat pembedahan terencana. Sebagai contoh adalah
evaluasi pasien pada transplantasi ginjal, hemodialisis, operasi jantung, operasi panggul
untuk nyeri panggul, dan operasi tulang belakang untuk nyeri punggung.
c. Keterlibatan dalam seluruh tim medis pada terapi pasien. Dengan adanya kegiatan
seperti konferensi psikososial, pertemuan tenaga perawatan, dan penyuluhan, CLP dapat
terlibat dalam seluruh kegiatan evaluasi informal dari setiap pasien dan terapi pada pasien
yang sesuai. Melalui kerjasama yang erat dengan tenaga kesehatan sosial dan keperawatan,
psikiater dapat memperluas perannya termasuk pengawasan terhadap orang yang terlibat
dalam perjalanan diagnosis dan perawatan dari pasien dan keluarganya.
d. Komitmen untuk mengikuti perjalanan dari pasien dan keluarganya. Konsultasi yang
sederhana tidak cukup. Setelah saran untuk terapi diberikan, CLP harus mengikuti seluruh
perjalanan di rumah sakit, bahkan setelah pemutusan hubungan dilakukan.
e. Pemahaman terhadap konflik utama intrapsikis dan intrakeluarga. Hubungan
psikoterapi antara pasien dan psikiater dapat mempertimbangkan keuntungan bagi pasien dan
keluarga. Schwab dan Kuhn dan Wahl telah membahas kurangnya perhatian yang diberikan
pada psikoterapi pendek, intensif, berorientasi tilikan diri bagi pasien yang berada di rumah
sakit.
3
f. Perhatian terhadap fungsi dari “medical ombudsman.” Psikiater liaison dapat
menolong penerimaan terhadap teknologi dan badan pelayanan kesehatan mutakhir dan
sering menolong pasien dari lingkungan yang asing dan terisolasi.
4
5. Definisi menurut Sasanto Wibisono (2001).
Berdasarkan arti istilah CLP itu sendiri :
Consultation - rujukan klinis untuk pemeriksaan dan saran penanganan.
Liaison - penghubung.
Liaison Psychiatry - ilmu yang dikembangkan untuk maksud tersebut.
Liaison Psychiatrist - psikiater ‘penghubung’ yang melaksanakan tugas liaison
psikiatri.
Consultation-Liaison Psychiatry - istilah atas dasar kebutuhan klinis praktis
(digabung).
Menurut pendapat Wibisono, definisi CLP menurut CTP VII: “CLP adalah
subspesialisasi cabang ilmu psikiatri yang mempelajari, mempraktekkan dan mengajarkan
mengenai ko-morbiditas medik & psikiatri” (Kaplan dan Sadock, 2000) terlalu sempit dan
menyesatkan dengan alasan :
a. Cenderung memperkuat dikotomi penyakit medik / psikiatrik.
b. Pengertiannya menjadi sempit, seakan CLP hanya diperlukan bila ada ko-morbiditas
dengan adanya gangguan psikiatrik, lebih bersifat konsultatif dan mengarah pada ‘rawat
bersama.’
c. Menempatkan psikiatri di ‘luar’ bidang ‘medik’, ini tidak akan membantu dalam
mengurangi stigma.
Wibisono berdasarkan modifikasi pendapat Pasnau dan Lipowski kemudian
mendefinisikan CLP sebagai “Subspesialisasi cabang ilmu psikiatri yang mendalami aspek
psikiatrik dari kondisi medik lain, baik dalam evaluasi, diagnosis, terapi, prevensi, riset
maupun pendidikan.” Prinsipnya adalah kerjasama/kolaborasi dengan bidang medik terkait,
menuju kepentingan bersama. Tujuan utamanya adalah manfaat optimal bagi pasien. CLP
merupakan perkembangan lanjut psikiatri dalam hubungan dengan bidang kedokteran umum
/bidang terkait lain, menjembatani ilmu kedokteran medik dengan aspek psiko-sosial/
behavioral, dan mengacu pada tujuan akhir terapi yaitu memulihkan kualitas hidup yang baik
(bukan sekedar ‘sembuh’ dari gejala/penyakit). Jadi menurut Wibisono, CLP bukan sekedar
konsultasi psikiatrik, tidak dapat di pelajari dalam waktu singkat. Penting memulai dengan
pemahaman konsep, persiapan dan pendalaman dari bidang psikiatri. Perlu pemahaman dan
kesiapan bidang medik lain serta penggalangan kerjasama.
.
5
Jadi dapat disimpulkan bahwa Consultation Liaison Psychiatry atau yang biasa
disingkat CLP merupakan bentuk pendekatan biopsikososial. Pada CLP, seorang dokter
psikiatri berperan sebagai konsultan bagi sejawat dokter lainnya dalam menangani pasien
dengan berbagi kondisi medis. Tujuannya adalah untuk mengidentifikasi gangguan mental
dan respon psikologis terhadap penyakit fisik pasien, sarana psikologis dan sosial, gaya
menghadapi masalah guna menganjurkan intervensi terapeutik yang paling tepat untuk
kebutuhan pasien
6
subspesialisasi telah dikembangkan. Tahun 1974 pendidikan psikiatri cabang NIHM
memutuskan untuk mendukung pengembangan dan perluasan layanan Consultation Liaison
Psychiatry di seluruh Amerika Serikat (Saravay et al. 1984). NIHM mendukung secara
material 130 program yang berkontribusi pada pelatihan lebih dari 300 psikiater.
Consultation Liaison Psychiatry terus bertumbuh selama 1980-an meskipun terjadi
pemotongan anggaran federal. Sampai pada tahun 2000an pencapaian terbesar dengan adanya
penyetujuan Consultation Liaison Psychiatry sebagai subspesialisasi dari American Board of
Medical Specialty (Philbrick et al. 2012).
Ada tiga fase dalam sejarah CLP : 1) fase organisasi, 2) fase pengembangan konsep,
dan 3) fase pertumbuhan yang pesat (Lipowski, 1996).
1. Fase organisasi : 1935 – 1960
Hal utama yang terlihat pada fase organisasi meliputi pembentukan pelayanan CLP,
pengembangan model operasional, evaluasi dari kegiatan CLP, dan perluasan pendidikan
(Lipowski, 1996).
Edward Billings memperkenalkan konsep CLP di University of Colorado, dengan
dukungan awal dari Rockefeller Foundation pada tahun 1935, yang mendirikan unit CLP di
sana dan tiga unit di rumah sakit universitas lainnya (Gitlin, 2004). Dengan menggunakan
model yang sama, pelayanan CLP di rumah sakit Mount Sinai di kota New York didirikan.
Model yang sedikit berbeda dari pelayanan CLP didirikan di rumah sakit pendidikan
University of Rochester pada tahun 1946. Unit ini disebut kelompok kedokteran liaison
(Lipowski, 1996).
Antara tahun 1935-1960, pelayanan CLP didirikan di beberapa rumah sakit pendidikan
di Amerika. Pengorganisasian pertama pelayanan ini dilakukan di Kanada tahun 1959. Pada
tahun 1960, program CLP diorginisasikan di sebagian besar rumah sakit pendidikan di
Amerika, tetapi pelatihan CLP hanya tersedia disedikit pusat pendidikan (Lipowski, 1996).
Dalam kurun waktu 1950 sampai 1960, memperlihatkan penyingkiran psikiatri dari
kedokteran umum, CLP menjadi menurun (Pasnau, 1982). Selama 1960, gerakan komunitas
kesehatan mental sangat dominan, psikiatri sekali lagi dikeluarkan dari kedokteran. Suasana
menjadi tidak mendukung untuk CLP, yang membawanya kepada fase kedua yaitu
konsolidasi dan pengembangan konsep (Lipowski, 1996).
7
2. Fase Pengembangan Konsep : 1960-1975.
Pada tahun 1970, dilakukan keputusan untuk memasukkan kembali psikiatri ke dalam
kedokteran, sebagai bagian dari didapatnya keuntungan asuransi kesehatan untuk pasien
dengan gangguan psikiatri, dan sebagai bagian dari keputusan National Institute of Mental
Health pada tahun 1974 yang mendukung pelatihan CLP. Peristiwa ini menandai pentingnya
CLP sebagai bagian dari bidang psikiatri (Pasnau, 1982).
Seturut dengan bertumbuhnya pelayanan CLP, terjadi peningkatan perhatian terhadap
metode operasional CLP, khususnya strategi dan prosedur yang digunakan untuk mencapai
tujuan spesifik. Proses dan pengaturan dari CLP pada pelayanan medis menjadi fokus utama.
Lima model untuk consultation yang diajukan dijabarkan pada Tabel 1-1 (Lipowski, 1996).
Bentuk lain dari fase ini adalah fokus pada masalah spesifik yang ditemukan oleh
konsultan diberbagai bidang pelayanan lain, seperti perawatan intensif, onkologi,
hemodialisis, rehabilitasi jantung, dan unit pediatrik. Beberapa CLP berkembang dengan
minat khusus di dalamnya dan proyek penelitian awal pada masalah psikiatri dan psikososial
dilakukan di bidang pelayanan kesehatan (Lipowski, 1996).
Bentuk lain yang penting pada fase perkembangan konseptual ini adalah bertumbuhnya
literatur yang berhubungan. Sebelum pertengahan 1960, tidak ada penerbitan buku atau
peninjauan menyeluruh pada CLP . Pada fase kedua ini, literatur diperkaya dengan tiga buku
(Pasnau 1975; Schwab 1968; Strain dan Grossman 1975) dan dua tinjauan (Lipowski 1967,
1974). Juga jurnal-jurnal di dalam Psychiatry in Medicine yang mulai dipublikasikan pada
tahun 1970 (Lipowski, 1996).
Devisi-devisi baru dari CLP berkembang di departemen psikiatri sekolah-sekolah
kedokteran dan rumah sakit umum. CLP mulai menggantikan bentuk lama dari kedokteran
psikosomatis (Pasnau, 1982). CLP mulai diterima sebagai subspesialis dari psikiatri, yang
membutuhkan pelatihan lebih lanjut untuk psikiater.
8
3. Consultee-oriented consultation memfokuskan pada masalah konsultasi yang
diberikan kepada pasien.
4. Situation-oriented consultation berkaitan dengan interaksi antara pasien dan tim
klinis.
5. Expand psychiatric consultation melibatkan pasien sebagai sentral figur dalam
kelompok operasional yang meliputi pasien, staff klinis, pasien lain, dan keluarga pasien.
9
dan “liaison model.” Akhirnya, kurang jelasnya teori dan konsep berkaitan kedokteran
psikosomatik, pendekatan psikosomatik, dan gangguan psikosomatik (Pasnau, 1982).
Menyadari kebutuhan akan penelitian lebih mendalam dalam menghadapi penyakit
medis, NIMH melakukan suatu serial Research Development Workshops untuk psikiater
dibidang CLP pada tahun 1985. Pada tahun 1991, telah ada 55 kelompok CLP yang terdaftar
dalam Academy of Psychosomatic Medicine. Pada tahun 1992, dengan dukungan American
Psychiatric Association (APA), Academy of Psychosomatic Medicine mengajukan ke
American Board of Psychiatry dan Neurology (APBN) agar CLP dapat berstatus sebagai
subspesialis. Pada saat itu APBN memberikan perhatian lebih kepada nama dan cakupan dari
subspesialis yang diajukan. Pada tahun 2002, American Board of Psychiatry and Neurology,
American Psychiatric Association, Residency Review Committee of Accreditation
Committee for Graduate Medical Education, dan The Academy of Psychosomatic Medicine
mengajukan CLP sebagai subspesialis dari Psikiatri kepada American Board of Medical
Specialties. Pada tahun 2003, CLP secara resmi menjadi subspesialis Psikiatri di Amerika. Di
tingkat internasional, telah dibentuk organisasi CLP yaitu International Organization for
Consultation-Liaison Psychiatry pada tahun 1999 dan pada tahun 2000 berdiri European
Association for Consultation-Liaison Psychiatry and Psychosomatics (Gitlin, Levenson, dan
Lyketsos, 2004).
Tahun 2003 di Amerika Serikat adalah merupakan awal permulaan yang
menggembirakan bagi perkembangan secara formal dari bidang Consultation Liaison
Psychiatry. The American Board of Psychiatry and Neurology (ABPN) mengesahkan
Consultation Liaison Psychiatry sebagai subspesialisasi ketujuh dan diberi nama
Psychosomatic Medicine. Selanjutnya American Board of Medical Specialty (ABMS) juga
mengesahkan hal ini pada Maret 2003. Populasi pasien yang menjadi perhatian layanan
kedokteran psikosomatik adalah pasien medis yang kompleks. The Academy of
Psychosomatic Medicine (APM) yang merupakan organisasi para Consultation Liaison
Psychiatry mendorong terbentuknya suatu dewan yang secara formal menyelenggarakan
suatu pendidikan lanjutan subspesialisasi Psychosomatic Medicine dan ujian kompetensi bagi
para peserta pendidikan tersebut. Di dalam klausal yang diajukan ke ABPN, psikiater yang
telah mendapatkan pendidikan kedokteran psikosomatik (Psychosomatic Medicine) adalah
psikiater yang mempunyai kompetensi khusus dalam mendiagnosis dan mengobati gangguan
psikiatri atau gejala psikiatri pada pasien dengan kondisi medis yang kompleks. Ujian board
yang diselenggarakan oleh The Academy of Psychosomatic Medicine untuk meluluskan
10
psikiater subspesialisasi kedokteran psikosomatik pertama kali dilakukan pada tahun 2005
(Lobo et al. 2007; Sharpe et al. 1997; McIntyre, 2002).
Istilah Psychosomatic Medicine sebagai subspesialisasi yang sebelum tahun 2003
disebut sebagai Consultation Liaison Psychiatry hanya digunakan di Amerika Serikat.
Walaupun pada kenyataan di lapangan terutama di Amerika Serikat, penggunaan istilah
Consultation Liaison Psychiatry dan Psychosomatic Medicine seringkali dipakai secara
berkebalikan dan bergantian dengan makna yang sama. Namun secara formal, semua buku
teks yang sebelumnya berjudul Consultation Liaison Psychiatry telah diubah namanya
menjadi Psychosomatic Medicine. Negara Eropa sampai saat ini menggunakan istilah Liaison
Psychiatry untuk merujuk kepada Consultation Liaison Psychiatry sebagai suatu bidang
subspesialisasi dari psikiatri. Bahkan di Jerman dan Jepang, Psychosomatic Medicine adalah
suatu bidang spesialisasi yang terpisah dari psikiatri dan mempunyai pendidikan formal
spesialisasi sendiri (Lobo et al. 2007; Sharpe et al. 1997; McIntyre, 2002).
11
unik. Tim ini akan bekerja dalam hal-hal yang bersangkutan dengan manifestasi, penilaian,
dan penanganan dari kondisi-kondisi resiko tinggi dan memiliki pengetahuan tentang bidang
si perujuk. Ini adalah kesempatan untuk mendukung tim di luar psikiatri dan memperluas
pemahaman mereka terhadap gangguan mental dan respon emosional individu menyangkut
penyakitnya. Hal ini akan memungkinkan tim Consultation Liaison Psychiatry untuk
membangun hubungan yang kooperatif dengan tim-tim yang lain, memperoleh rasa hormat
dari mereka, dan mempersilahkan mereka untuk menawarkan penilaian dan intervensi pada
tahap awal. Pendekatan ini sangat penting untuk penanganan penyakit gangguan somatofom
(Jorsh, 2006).
Dalam pelaksanaan tugasnya, ada keterampilan dasar yang dibutuhkan Consultation
Liaison Psychiatry. Pada umumnya mereka perlu melakukan suatu penilaian kompleks di
bangsal medis atau bedah, memahami bagaimana merespon rujukan meskipun tidak ada
kelainan psikiatri yang muncul pada saat itu, meningkatkan keterampilan wawancara khusus,
menilai depresi pada pasien yang sakit secara fisik, mendeteksi gangguan psikologi yang
muncul dengan gejala somatik, dan menilai perilaku penyakit. Mereka juga perlu untuk
mengasimilasi semua fakta relevan ke dalam suatu perumusan kasus yang meliputi aspek
fisik maupun psikologis (Guthrie and Creed, 1996).
Untuk jelasnya mari melihat ruang lingkup dari Consultation Liaison Psychiatry itu
sendiri:
1. Memahami dampak dari penyakit medis dan sistem di mana penyakit di perlakukan dan
bagaimana ini mempengaruhi presentasi, pengalaman, dan dampak morbiditas psikiatri
dan psikososial
2. Melakukan penilaian biopsikososialkultural, membuat formulasi, dan menerapkan
perawatan yang tepat dalam konteks rumah sakit umum termasuk komunikasi efektif
dengan seluruh tim yang melakukan pengobatan
3. Menilai reaksi terhadap penyakit, dan membedakan presentasi dari depresi dan
kecemasan dalam kondisi medis umum
4. Memahami gabungan dari penyakit dan masalah perkembangan dari orang dengan
masalah kesehatan jiwa dan penyakit mental
5. Kemampuan untuk menilai dan mengobati gangguan somatisasi dan somatoform.
6. Kemampuan untuk menilai dan menangani gangguan neuropsikiatri, dengan penekanan
khusus pada delirium
12
7. Memahami kebutuhan khusus dari populasi tertentu dengan morbiditas psikiatri dan
psikososial dalam pengaturan medis, termasuk orang muda, orang tua, penduduk asli,
dan orang-orang dengan cacat intelektual
8. Menilai dan mengelola presentasi akut dan darurat dari morbiditas psikiatri dalam
kondisi medis umum.
Seorang Consultation Liaison Psychiatry maupun tim adalah dokter yang memiliki
kualifikasi secara medis, yang mampu mendiagnosis dan melakukan pengobatan pada:
1. Penyakit kejiwaan yang secara medis sakit
2. Penyakit kejiwaan dan faktor psikologi lainnya yang mengganggu pemulihan dari
penyakit medis
3. Gejala-gejala fisik yang timbul, yang secara medis tidak bisa dijelaskan dengan
penyakit fisik yang mendasari
4. Penggunaan obat-obat psikiatri dan terapi psikilogis dalam konteks penyakit fisik.
Layanan Consultation Liaison Psychiatry berbasis di rumah sakit umum, namun
semakin besar kerjasamanya dengan perawatan primer dalam pengelolaan penyakit medis
dan kejiwaan.
13
mencetuskan penyakit; berusaha untuk menekan penyakit; dan menangani gejala akut
seperti kecemasan, depresi, dan sifat karakter yang berlebihan yang dapat
memperburuk stress dan menghalangi pemulihan.
Pada pencegahan tersier, liaison psychiatry berusaha untuk menghambat
kekambuhan psikologis yang dapat mengikuti suatu episode akut (sebagai contoh,
konflik psikologis yang menghasilkan gangguan mood, kecemasan, dan penghambatan
dan fobia tentang kembali bekerja atau melakukan aktivitas seksual meskipun secara
psikologis mampu melakukannya). Tindakan tersier psikiatri membantu pasien
beradaptasi dengan keterbatasan psikologis mereka, sehingga mengurangi
kemungkinan kekambuhan penyakit. Mencegah kekambuhan penyakit sering
membutuhkan follow-up pasien rawat jalan setelah pulang dari RS untuk efektivitas
yang maksimal.
2. Deteksi dan Diagnosis
Deteksi kasus dalam pelayanan kesehatan adalah keahlian yang dimiliki oleh
psikiater CLP yang akan dihubungi oleh rekan sejawat. Konsultan psikiater secara
khusus mempunyai kesulitan dalam mendeteksi gangguan psikososial dan dapat
menjadi resisten terhadap tindakan psikiatri. Pada kenyataannya, karena konsultasi
psikiatri bergantung pada rujukan dari rekan yang motivasinya rendah dan
informasinya kurang, akhirnya menjadi tindakan pencegahan sekunder.
Archinard menjelaskan, psikiater liaison mendidik rekan di masa mendatang
untuk mendapatkan dan menganalisa data, yang meningkatkan kewaspadaan, deteksi,
diagnosis, dan/atau rujukan morbiditas psikiatri, berbeda dengan konsultan psikiater,
yang menunggu rekan untuk mencarinya. Gangguan mental yang diakibatkan oleh
penyakit medis dan gangguan mental yang disebabkan penggunaan zat adalah contoh
model dari gangguan psikofisiologis yang sering muncul, tetapi sering tidak terdeteksi
pada pelayanan medis atau bedah. Strategi dan rencana untuk deteksi kasus dan
merujuk penting dalam pelayanan medis-bedah dan menjadi dasar dari liaison psikiatri:
tindakan skrining diagnosis untuk gangguan fungsi kognitif, depresi, kecemasan, dan
penyalahgunaan obat untuk saat ini telah tersedia jika struktur diubah dari model
konsultasi kepada sesuatu yang menggabungkan metodologi rujukan.
3. Penilaian dari Penyedia Layanan Kesehatan
Model kerjasama dari liaison psikiatri menunjukkan bahwa tanggung jawab untuk
perawatan psikiatri dari penyakit medis tidak dapat dilimpahkan secara tunggal kepada
psikiater. Tanggung jawab menjadi milik bersama dari gabungan para dokter, perawat,
14
dan pekerja sosial, anggota keluarga yang penting, dan lainnya yang memberikan
pengaruh psikoligis di bangsal. Fungsi penting dari Consultation Liaison Psychiatry
adalah untuk menilai tingkat stress yang disebabkan pasien terhadap penyedia layanan
medis dan anggota keluarga, dan kemampuan dari staf RS dan anggota keluarga
untuk beradaptasi terhadap pasien dan penyakitnya (dan melakukan tindakan terhadap
perawatan psikologis), dan di atas semuanya itu, kemampuan dari staf dan keluarga
untuk melakukan perawatan psikiatris atau psikologis.
4. Memberikan kewenangan pada staf nonpsikiatri
Boutin (2003) menjelaskan beberapa kewenangan dari pengetahuan dan keahlian
kesehatan yang digunakan sebagai skema untuk mengajar dan mengambil keputusan.
Ini mengijinkan pendidik dan penilai untuk menetapkan tujuan bagi program pelatihan
mereka atau untuk disiplin khusus: psikiatri, perawatan primer, psikologi, pekerja
sosial, perawat klinik, konseling pastoral, rencana pemulangan, masalah hukum pasien,
dan bahkan perawat kesehatan desa pada negara berkembang.
5. Perubahan stuktural dalam pelayanan kesehatan
Consultation Liaison Psychiatry berusaha untuk memberikan perubahan
struktural pada departemen psikiatri dan departemen lainnya melalui RS (sebagai
contoh, unit pengobatan psikiatri, klinik nyeri, dan unit penilaian postpartum) yang
akan bertahan melalui tantangan yang diberikan.
15
(6,6%). Sisanya melalui transfusi darah/produk darah, transmisi perinatal, dan tidak
diketahui.
Psikiatri memegang peranan penting pada pasien HIV/AIDS karena:
Sekitar 75--90% pasien AIDS mengalami patologi otak dengan berbagai sindrom
neuropsikiatri. Pada 10% pasien dengan infeksi HIV, komplikasi neuropsikiatri
merupakan gejala pertama.
Pada pasien dengan infeksi HIV dan AIDS dapat ditemukan kelainan-kelainan
psikiatri klasik seperti depresi, ansietas, psikosis, dan lain-lain.
Terdapat berbagai dampak psikososial yang dapat ditemukan pada pasien HIV/AIDS.
Manifestasi neuropsikiatri dari penyakit ini meliputi dua bidang, yaitu neurobiologik
dan psikobiologik. Manifestasi neurobiologik terdiri dari komplikasi primer berupa invasi
langsung dari HIV ke Susunan Saraf Pusat (SSP) sepertiAIDS Dementia Complex (ADC) dan
komplikasi sekunder seperti delirium yang dicetuskan oleh berbagai keadaan seperti infeksi
oportunistik, neoplasma, gangguan metabolik, dan efek samping medikasi. Manifestasi
psikobiologik merupakan refleksi berbagai usaha psikologis sebagai coping
strategies (mekanisme pertahanan diri) yang biasanya muncul pada transition points (saat-
saat transisi). Misalnya, pada saat penentuan hasil serokonversi positif, adaptasi pada status
HIV positif asimtomatik, respons terhadap gejala-gejala medis yang mulai muncul, sampai
keadaan dimana dia didiagnosis sebagai AIDS.
Ketika seseorang diberitahukan bahwa hasil tes HIV-nya positif, mereka
dikonfrontasikan pada kenyataan bahwa mereka berhadapan dengan suatu keadaan terminal.
Kenyataan ini akan memunculkan perasaan syok, penyangkalan, tidak percaya, depresi,
kesepian, rasa tak berpengharapan, duka, marah, dan takut. Hal ini dapat menimbulkan
kecemasan dan depresi. Selama tahun-tahun awal di mana belum muncul gejala, stres akan
berkurang. Tetapi, dengan berjalannya waktu di mana fungsi imun semakin menurun dan
mulai ada tanda-tanda berhubungan dengan HIV seperti ruam-ruam kulit, penurunan berat
badan, sesak napas, dan sebagainya, kecemasan serta depresi dapat timbul lagi. Mungkin
disertai pula gagasan bunuh diri, gangguan tidur, dan sebagainya. Selain itu, latar belakang
pasien dan adanya riwayat psikiatrik pramorbid yang tinggi pada individu risiko tinggi
tertular penyakit HIV/AIDS juga menambah risiko timbulnya gejala psikobiologik ini.
Dengan adanya interaksi fenomena neurobiologik dan psikobiologik, psikiater CL harus
mengembangkan pengetahuan dan ketrampilannya pada aspek medis penyakit HIV/AIDS
dengan tidak melupakan pentingnya model biopsikososial. Jika hal ini dilakukan, CLP dapat
16
berperan penting dalam mendiagnosis gejala neuropsikiatri dan membantu tim spesialistik
multidisipliner untuk mengantisipasi gangguan-gangguan emosional serta perilaku yang
dapat muncul. Dengan demikian, pasien HIV/AIDS dapat menerima kualitas hidup terbaik
yang mungkin dapat dicapainya.
17
Penatalaksanaan ditujukan untuk mengatasi etiologi utama yang muncul, misal menggunakan
agen antiretroviral yang tepat atau obat kombinasi untuk infeksi oportunistik, dan untuk
mengontrol gejala yang timbul dengan menggunakan obat antianxietas dan neuroleptik yang
cocok. Menurut McArthur dkk, sebelum ditemukannya terapi antiretroviral kombinasi,
penderita demensia pada pasien HIV memiliki prognosis yang buruk, yaitu sekitar 6 bulan
setelah onset. Menurut penelitian McArthur dkk, pada tahun 1993, prediktor penting untuk
pasien HIV dengan demensia, meliputi Hemoglobin yang rendah dan BMI rendah 1-6 bulan
sebelum menderita AIDS, gejala-gejala yang muncul 7-12 bulan sebelum onset AIDS, dan
usia tua. Faktor risiko lain yang teridentifikasi, pada penelitian Farinour dkk, meliputi
peningkatan usia, penggunaan obat intravena, dan IQ yang rendah.
18
AIDS. Obat neuroleptik memberikan outcome yang baik pada individu-individu yang
terinfeksi HIV.
19
2.5.3 Farmakoterapi
Jika dimungkinkan, intervensi langsung harus bertujuan untuk mengobati penyebab
gangguan psikiatri pada pasien terinfeksi HIV. Terapi utama HIV/AIDS adalah dengan 3
kelas obat antiviral, nucleoside reverse transcriptase inhibitors, non-nucleoside reverse
transcriptase inhibitors dan protease inhibitors. Sejumlah antiviral lain dapat digunakan
untuk infeksi spesifik sebagai tambahan pada agen anti infeksi lain. Beberapa agen tersebut
dapat menginduksi gangguan mood atau bahkan kondisi psikosis sehingga dibutuhkan
pengawasan ketat.
Umumnya, terapi gangguan psikiatri pada individu dengan HIV serupa dengan
individu non-infeksi. Meskipun kebanyakan agen psikofarmakologik pada beberapa
penggunaan dapat aman digunakan pada penderita HIV namun dapat lebih mudah
menyebabkan efek samping, dosis yang lebih tinggi, efek samping dan interaksi obat.
SSRIs
Agen ini adalah terapi lini pertama untuk depresi pada pasien HIV. Sejumlah SSRI
telah tampak digunakan dalam populasi yang terkena, termasuk fluoxetine, sertraline,
dan paroxetine. Fluoxetine bersama dengan terapi grup pendukung telah dilaporkan
lebih baik daripada plasebo. Meskipun SSRI memiliki beberapa efek samping, agen
ini dapat memiliki interaksi signifikan dengan obat psikotropik lain yang dapat
membatasi kegunaannya pada beberapa individu. Efek sampingnya (termasuk
gangguan fungsi seksual) dapat menurunkan efikasinya.
20
Agen lain-lain
Sejumlah agen lain telah disarankan dapat berguna dalam terapi depresi terkait HIV,
termasuk nefazodone, mirtazapine, venlafaxine, psychostimulants, dan testosterone.
Prekursor testosterone seperti DHEA dan L-acetylcarnitine, suatu agen serupa
asetilkolin telah diperiksa. Sebagai tambaha, telah dilaporkan bahwa rokok kanabis
dapat berguna untuk mereka yang positif HIV, meskipun masih kontroversial.
Bupropion telah diperiksa tetapi belum ditemukan sebagai terapi yang efektif.
Antipsikotik
Seluruh jenis antipsikotik digunakan untuk terapi penyakit psikotik pada penderita
HIV. Obat ini juga berguna dalam menterapi berbagai kondisi seperti mual dan
delirium. Terdapat peningkatan resiko efek ekstrapiramidal dan neuroleptic malignant
syndrome pada pasien psikotik dengan ensefalopati HIV dibandingkan dengan
psikotik non-AIDS. Penggunaan clozapine pada pasien HIV masih kontroversial dan
tidak direkomendasikan pada populasi ini. Antipsikotik atipikal direkomendasikan
sebagai lini pertama, dan terdapat bukti bahwa agen seperti risperidone dan
haloperidol adalah agen yang berguna untuk terapi psikotik pasien HIV. Olanzapine
dapat pula berguna, bagaimanapun, terdapat bukti inadekuat untuk digunakan secara
luas.
Anxiolitik
Benzodiazepine dan agen hipnotik secara luas digunakan dalam psikiatri dan dapat
berguna pada penderita HIV dengan ansietas atau insomnia. Penggunaan jangka
panjang dari agen ini tidak direkomendasikan, dan perhatian harus diberikan dalam
mengobati penyebab ansietas dengan metode non-farmakologi. Sedasi berlebih dapat
terjadi ketika benzodiazepine atau zopuclone diberikan dengan ritonavir
21
2.5.4 Terapi psikologis
Sejumlah pendekatan psikologis telah digunakan, baik itu sebagai intervensi terapeutik
utama maupun sebagai tambahan dalam terapi psikofarmakologik. Hal ini termasuk
didalamnya yaitu konseling, dukungan, dan pendekatan psikoedukasi, termasuk psikoterapi
(psikodinamik dan interpersonal) dan CBT (cognitive-behavioural therapy).
Konseling
Konselng telah tampak menjadi suatu intervensi penting dan berguna pada berbagai stadium
perjalanan penyakit HIV, termasuk pre-test dan post-test. Strategi psikoedukasi bertujuan
mempertahankan kesehatan dan pemenuhan dengan obat-obat dapat pula efektif.
Psikoterapi
Keduanya baik itu psikodinamik maupun terapi interpersonal telah tampak membantu.
Sebagai contoh, terapi psikodinamik grup dan individual telah tampak efektif pada pria
homoseksual dengan HIV.
Terapi interpersonal (IT) adalah terapi mingguan singkat (12-16 minggu) yang fokus
pada mengembangkan fungsi interpersonal. Individu dengan HIV telah menunjukkan
efektivitas dalam asosiasi dengan antidepresan sebaik bila dipakai sendiri, dan suatu RCT
yang membandingkan 4 intervensi psikoterapi yang berbeda pada pasien HIV positif dengan
depresi (IT, CBT, supportive therapi (ST) dan ST dengan imipramine) menduga bahwa terapi
interpersonal menghasilkan perkembangan yang secara signifikan lebih baik pada depresi
daripada CBT atau ST saja. Studi ini juga menunjukkan bahwa ST dengan imipramine
efikasinya sebanding dengan IT
Intervensi sosial
HIV dan AIDS menyerang individu, keluarga, teman, dan komunitasi yang lebih luas
secara umum. Karenanya memasukkan dukungan sosial adalah tambahan penting dalam
22
mensukseskan terapi setiap mortalitas psikiatri terkait HIV. Intervensi yang dapat berguna
termasuk strategi edukasi yang tepat, perhatian terhadap keuangan, tempat tinggal, dukungan
sosial, dan isu kebutuhan umum. Kurangnya kemandirian dapat menyebabkan distress yang
hebat dan harus ditangani segera. Sejumlah individu dengan HIV mengalami isolasi sosial
dan stigmatisasi yng dapat tertolong dengan berbagai organisasi penyokong HIV/AIDS.
Terapis perlu sadar akan perasaan dan responsnya yang dapat mempengaruhi
perawatan pasien dan membahayakan rapport. Dengan berbicara mengenai ketakutannya
pada kolega yang terpercaya, terapis sering dapat menangani stres psikologisnya. Yang
terpenting ialah seorang terapis harus memiliki pengetahuan, keluwesan, dan kejujuran untuk
23
mengkronfrontasikan ketakutan, emosi, serta perasaan frustasinya dalam melakukan
pekerjaan ini.
Pasien HIV/AIDS memiliki kebutuhan-kebutuhan khusus yang perlu dipertimbangkan
dengan menetapkan tujuan terapi sebagai berikut:
1. Membantu pasien mempertahankan kontrol akan hidupnya dan membantu mereka
menemukan mekanisme pertahanan yang sehat, termasuk sikap yang selalu positif
dalam menghadapi begitu banyak tantangan dan stres dalam perjalanan penyakitnya.
2. Membantu pasien menghadapi perasaan bersalah, penyangkalan, panik, dan putus asa.
3. Bekerja bersama pasien menciptakan perasaan self-respect (menghormati diri sendiri)
dan menyelesaikan konflik mereka jika ada (misalnya homoseksualitas, penggunaan
obat-obat terlarang, dan sebagainya).
4. Membantu mereka berkomunikasi dengan keluarga, pasangan hidup dan teman-teman
mengenai penyakit mereka dan rasa takut akan penolakan serta ditinggalkan. Juga
membantu mereka membina hubungan interpersonal yang memuaskan.
5. Membantu mereka membangun strategi untuk berhadapan dengan krisis nyata yang
mungkin terjadi, baik dalam kesehatan maupun sosioekonomi, dan hal-hal dalam
kehidupan lainnya.
Bekerja bersama pasien HIV membutuhkan keahlian profesional yang tinggi, empati,
dan uniknya, pengertian akan diri sendiri. Selain memiliki pengetahuan medis yang luas
mengenai kondisi klinis yang mempunyai rentang yang luas, juga kemauan untuk
menghadapi masalah-masalah psikodinamis yang sudah berlalu dan perhatian medis serta
sosial yang realistik saat ini dan yang akan datang.
Pendekatan yang penting dan tidak boleh dilupakan pada pasien penyakit terminal
seperti HIV/AIDS ini adalah pendekatan agama. Setiap manusia, baik religius maupun
sekuler, pada prinsipnya memiliki kebutuhan dasar spiritual. Yang perlu digarisbawahi,
pendekatan ini tidak berarti mengubah kepercayaan masing-masing pasien melainkan
meningkatkan kekuatan spiritual mereka dalam menghadapi penyakitnya. Tujuan pendekatan
ini adalah membuat pasien dapat menerima kenyataan sepenuhnya dan dapat melewati fase-
fase terakhir dalam hidupnya dengan damai dan tenang, membuat dia merasa kembali pada
Tuhan, seperti manusia lainnya di mana tidak ada seorang pun yang dapat mencegah
datangnya kematian.
Agama, budaya, dan tradisi memegang peranan penting dalam proses pelaksanaan
strategi pengobatan yang menyeluruh serta bukan hanya tanggung jawab dari bidang
24
psikiatri. Psikiater yang memahami CLP tentunya harus mengetahui dan memahami peran
berbagai faktor di atas dengan melibatkan serta bekerjasama dengan berbagai bidang/pakar
lain. Dengan demikian, tercipta hubungan trans-sektoral dan interdisplin yang menunjang
keberhasilan proses pengobatan.
25
BAB III
KESIMPULAN
Gangguan psikiatri pada penderita penyakit imun seperti salah satunya yaitu
HIV/AIDS meliputi dua bidang, yaitu neurobiologik dan psikobiologik, yang keduanya
berkaitan erat dengan penyakit HIV itu sendiri. Ilmu psikiatri memainkan peran penting
dalam mengatasi gejala psikotik maupun non-psikotik yang dialami oleh individu dengan
HIV serta mencegah dampak psikososial yang dapat ditemukan pada pasien HIV ini. CLP
sebagai salah satu subspesialisasi cabang ilmu psikiatri yang mempelajari, mempraktekkan,
dan mengajarkan mengenai komorbiditas medik dan psikiatri, memiliki peranan penting
dalam menangani pasien dengan HIV/AIDS karena pendekatannya dalam bentuk pendekatan
biopsikososial.
Terkhusus untuk pasien dengan HIV/AIDS dengan manifestasi psikiatri, bukan hanya
terapi psikofarmakologis tetapi juga terapi non-farmakologis menunjukkan hasil yang baik
dalam meningkatkan kualitas hidup individu dengan HIV dan gejala psikiatri. Terapi
psikologis mulai dari konseling, psikoterapi, CBT, hingga intervensi sosial harus diterapkan
secara optimal dalam pengobatan pasien HIV dengan gangguan psikiatri. Dan dalam
penerapannya perlu perhatian khusus untuk pasien HIV/AIDS karena terdapat kondisi-
kondisi spesifik yang berpengaruh terhadap kesembuhan dan keberhasilan terapi psikologis
untuk pasien HIV. Dengan optimalnya penerapan ilmu dan konsep kerja dari CLP diharapkan
didapatkan pula pengobatan yang optimal bagi pasien HIV/AIDS dengan gejala psikiatri.
26
DAFTAR PUSTAKA
Ditjen PPM & PL Depkes RI. Statistik Kasus HIV/AIDS di Indonesia Dilapor s/d Maret
2008. Available from : http://www.aids-ina.org/files/datakasus/jun2008.pdf
27
Smith G. 2006. “Effectiveness of integrated care: terminology and approach” School of
Psychology, Psychiatry and Psychological Medicine Monash University Melbourne,
Australia, EACLPP.
28