Escolar Documentos
Profissional Documentos
Cultura Documentos
c. Pekerja berisiko :
1. Peselam menggunakan kompresor konvensional : peselam mutiara,
peselam biota laut, peselam moroami, pekerja pasang bubu
2. Peselam menggunakan human kompresor (professional): pemasang
pipa/kabel bawah air, peselam militer, pekerja di hiperbarik chamber
3. Tidak menggunakan kompresor: pekerja tambang batubara, pekerja
pembuatan terowongan bawah tanah (subway).
d. Tanda dan gejala umum :
Gejala:
Gangguan ringan pelaksanaan tugas, euforia, mengantuk, halusinasi,
konsentrasi menurun hingga hilang ingatan.
e. Tatalaksana
Diagnosis okupasi
Langkah-langkah dalam menegakkan diagnosis:
1. Diagnosis klinis
2. Anamnesis: riwayat penyelaman
3. Pemeriksaan fisik: kesadaran menurun
4. Pemeriksaan penunjang : Pemeriksaan EEG
5. Pajanan di tempat kerja: terjadi pada kedalaman lebih dari 20 m dari
permukaan air pada penyelaman basah dan kering.
6. Evidence based: paparan tekanan tinggi menyebabkan konsentrasi
Nitrogen akan meningkat.
7. Apa pajanan cukup menimbulkan diagnosis klinis? lama penyelaman,
kedalaman penyelaman.
8. Faktor risiko yang berpengaruh terhadap timbulnya diagnosis klinis?
Tergantung pada kadar lemak seseorang, adanya hipoksia
9. Pajanan bahaya potensial di luar tempat kerja: -
10. Diagnosis okupasi: Nitrogen narkosis
a) Penatalaksanaan :
Penurunan ambang tekanan (Ascent) dengan cara naik ke permukaan air.
b) Pencegahan:
Hindari minum alkohol
Kenali gejala
Segera naik beberapa meter sampai gejala narcosis hilang/ naik ke
permukaan.
Hindari menyelam pada kedalaman tersebut.
2. KERACUNAN OKSIGEN
a. Pengertian :
Hiperoksia adalah suatu keadaan terjadinya kelebihan jumlah oksigen
dalam jaringan dan organ. Toksisitas oksigen terjadi saat tekanan parsial
oksigen di alveolar (PaO2) meningkat. Keadaan terjadinya paparan secara
terus menerus pada kondisi konsentrasi oksigen yang suprafisiologik,
keadaan hiperoksia terbentuk. Pada kondisi hiperoksi yang patologis terjadi
influks besar-besaran dari oksigen reaktif (reactive O2 species/ROS). Pada
sistem biologis baik intraselular maupun ekstraselular, efek peningkatan ROS
yang diakibatkan oleh paparan oksigen berlebihan akan mengganggu
keseimbangan antara oksidan dan antioksidan, dan gangguan homeostasis
ini menyebabkan kerusakan sel dan jaringan. Lamanya paparan, tekanan
atmosfer, dan fraksi oksigen yang diinspirasi (FiO2) menentukan dosis
oksigen kumulatif yang bisa berakibat terjadinya toksisitas oksigen.
b. Faktor penyebab keracunan oksigen
1. Lamanya paparan terhadap oksigen
Seseorang yang biasanya terkena paparan terhadap oksigen terlalu lama
akan mengkonsumsi oksigen secara berlebih. Sehingga hal ini menyebabkan
seseorang yang terkena paparan terhadap oksigen terlalu lama mengalami
keracunan oksigen karena mengkonsumsi oksigen secara berlebihan.
2. Daya serap oksigen pada setiap orang
Setiap orang memiliki daya serap terhadap oksigen berbeda-beda. Bagi
mereka yang memiliki daya serap terhadap oksigen terlalu tinggi dapat
menyebabkan seseorang mengalami keracunan oksigen.
3. Tekanan Oksigen yang tidak sesuai
Memberikan tekanan Oksigen yang tidak sesuai juga dapat menjadi salah
satu faktor penyebab seseorang mengalami keracunan oksigen. Untuk itu
jangan sekali-sekali memberikan tekanan oksigen kepada seseorang tanpa
pengawasan dari dokter. Selain dari faktor-faktor Penyebab seseorang
mengalami keracunan oksigen alangkah lebih baik jika anda juga mengetahui
apa saja gejala-gejala yang dapat ditimbulkan dari seseorang yang
mengalami keracunan oksigen.
c. Efek keracunan oksigen
1. Efek Keracunan Oksigen pada Sistem Syaraf Pusat
Efeknya dapat muncul dalam beberapa menit setelah menghirup terlalu
banyak oksigen. Gejalanya hampir sama denga gejala pada orang yang
epilepsi, sehingga tentu menambah bahaya tenggelam jika terjadi pada
penyelam. Terbagi menjadi beberapa fase antara lain:
a. Fase Pre-Tonic Build-Up, dimana pada fase awal ini dapat dirasakan atau
gerakan otot kecil pada bibir atau otot muka lainnya (ya, dibalik kulit muka
yang tipis itu ada ototnya juga, meskipun kecil-kecil). Dapat dirasakan juga
rasa pusing, mual, pernafasan dapat menjadi tidak teratur, susah
konsentrasi, kebingungan, mati rasa, dan kesemutan. Muka juga menjadi
lebih pucat karena kelebihan oksigen dalam darah menyebabkan
vasokonstriksi (penyempitan pembuluh darah) pada muka. Jika anda
menghirup oksigen berlebih dan gejala ini muncul, segera ganti hirup ke
udara biasa saja Fase berikutnya adalah
b. Fase Tonik , dimana otot-otot menjadi kaku sehingga tidak bisa bernafas,
karena yang menggeraknan dada dan perut untuk bernafas itu otot. Dapat
berlangsung selama beberapa menit. Lalu diikuti
c. Fase Klonik , dimana penderita kejang-kejang selama beberapa menit.
Pernafasan mulai bekerja kembali. Fase terakhir adalah
d. Fase Relaksasi, dimana otot-otot menjadi lemas, penderita kebingungan
atau bengong dan sudah bernafas lagi. Tentu saja jika seorang penyelam
mengalami serangan keracunan oksigen ini saat di dalam air, sudah
selayaknya teman-temannya membantu membawanya keluar dari air
sebelum penyelam tadi makin dalam tenggelam. Saat fase klonik, penderita
harus dipegang agar tidak jatuh. Nah, saat penderita sudah masuk fase
relaksasi, Jalur pernafasan (airway) harus dibuka dengan cara kepala
diposisikan menengadah, dan mulut harus dibuka. Muntah yang tersisa di
mulut sebaiknya dikeluarkan, tapi hati-hati bagi penolong jangan
memasukkan jari ke mulut penderita, kalau-kalau terjadi kejang lagi, nanti
jari penolong bisa tergigit. Keadaan seperti capek, stress, lelah, karbon
dioksida yang berlebihan, tubuh terendam di air dingin, atau kondisi tubuh
yang sedang lemah akan meningkatkan kemungkinan terjadinya keracunan
oksigen ini.
2. Efek Keracunan Oksigen pada Paru-Paru
Saat paru-paru terekspos dengan oksigen yang berlebih dan dalam waktu
lama (terus-menerus), terjadi kerusakan secara bertahap. Pertama, terjadi
timbunan infiltrat / cairan pada jaringan paru (edema). Lalu terjadi kerusakan
pada alveoli dan pembuluh kapiler paru tadi, menyebabkan pendarahan
(hemoragi). Setelah itu, tubuh berusaha menyembuhkan dirinya, sehingga
daerah yang rusak di paru-paru tadi menjadi lebih tebal dan keras daripada
sebelumnya (seperti jika kita luka di kulit, bekas lukanya tentu tidak sebagus
kulit sehat sebelumnya, apalagi yang bakat keloid.). Kapasitas paru
berkurang karena dinding pembatas antara alveoli dan pembuluh darah
kapiler paru tadi menebal. Hal menyebabkan atelektasis, yaitu keadaan
anatomis dimana volume ruang udara pada paru berkurang. Pertama terjadi
edema, lalu hemoragi, akhirnya atelektasis. Adapun keluhan yang dapat
muncul adalah: batuk-batuk, rasa nyeri / sakit didalam dada, sulit bernafas,
deman, telinga berdenging, mual, muntah, dan kecapaian. Semua gejala
tersebut bisa berkurang perlahan dengan cara yang sangat mudah, yaitu
berhenti menghirup oksigen berlebihan dan mulai menghirup udara yang
biasa (sehari-hari) saja. Udara biasa ini gratis dan kadar oksigennya sesuai
untuk orang sehat.
3. Efek Keracunan Oksigen pada Mata
Pada orang dewasa, dapat menjadi rabun jauh (myopia) yang dapat
membaik seiring berjalannya waktu. Tetapi pada bayi yang lahir prematur,
dapat terjadi kerusakan mata yang sampai kepada kebutaan. Retinopathy of
Prematurity (ROP), yaitu terlepasnya retina dari tempatnya di dalam bagian
belakang mata. Retina sendiri fungsinya menerima gambaran penglihatan,
jadi jika retina tidak pada tempatnya, maka gambaran penglihatan tidak bisa
masuk untuk diterima otak. Diduga terjadi karena terpapar
oksigen berlebihan menimbulkan celah di antara sel spindel mesenkimal
mata. Celah ini mengganggu pembentukan pembuluh darah mata yang
normal (yang memberi makan retina). Lihat retina yang warna kuning itu.
Harusnya dia menempel di dinding putih di belakangnya. Tapi tentu saja
retinanya tidak langsung terlepas, tetapi bertahap (ada 5 stage). Maka jika
ROP ini sampai terjadi, harus segera diterapi sebelum memberat sampai ke
kebutaan. Tapi jangan langsung mencabut selang oksigen dari inkubator bayi
yang prematur., karena bayi prematur selain tidak boleh kelebihan oksigen,
mereka juga tidak boleh kekurangan oksigen. Jika bayi prematur kekurangan
oksigen dapat menyebabkan kerusakan otak bernama Cerebral Palsy. Dapat
disimpulkan bahwa keracunan oksigen itu bisa terjadi. Dan juga oksigen,
seperti segala sesuatu, baik dan berguna pada kadar yang cukup, dan tidak
baik pada kadar yang kelebihan maupun kekurangan.
d. Terapi Dan Pencegahan
Pengobatan pada kondisi ini hingga memerlukan ventilasi mekanik diikuti
dengan pengobatan suportif. Karena pengobatan pada kasus ini lebih pada
simtomatik, maka pencegahan dan pengawasan untuk mengenali kondisi
hiperoksik secara dini lah yang lebih penting. Namun harus diingat juga
bahwa penghentian secara mendadak pemberian oksigen pada saat onset
keracunan dimulai justru akan memunculkan efek oxygen off dan
memperburuk kondisi. Penurunan kapasitas vital dapat digunakan sebagai
indikator untuk mengawasi kemungkinan terjadinya keracunan oksigen.
Penurunan pemberian oksigen maksimal yang dapat diterima adalah 10%.
Komplians paru yang dinamis serta kapasitas difusi karbon monoksida juga
akan menurun.
Pada pemeriksaan dengan elektroensefalogram, tidak ada hasil yang
bermakna dalam memonitor adanya toksisitas oksigen terhadap otak. Tidak
ada obat yang dapat digunakan untuk mencegah terjadinya kejang pada
keracunan oksigen pada SSP. Pada percobaan dengan hewan, kejang dapat
dicegah dengan obat namun kerusakan sel otak akibat kejang yang
berkelanjutan masih akan ada. Cara paling efektif untuk menurunkan resiko
keracunan oksigen pada SSP adalah dengan membatasi tekanan oksigen
yang diberikan, membatasi waktu paparan, dan istirahat menghirup oksigen
murni saat melakukan penyelaman. Namun menurut Patel et al antioksidan
eksogen seperti vitamin E dan C dapat diberikan sebagai pencegahan pada
bayi dengan resiko keracunan oksigen, mengingat mekanisme keracunan ini
didasarkan pada ROS sebagai radikal bebas. Dosis yang direkomendasikan
adalah, vitamin E 100mg/kgBB/hari selama 4 – 6 minggu. Adrenalektomi,
hipofisektomi, dan kondisi hipotiroid berkaitan dengan penurunan
keparahan terjadinya keracunan karena sebagai penyekat alfa adrenergik.
Pengobatan pada kondisi ini hingga memerlukan ventilasi mekanik diikuti
dengan pengobatan suportif.
e. Tatalaksana
a) Diagnosis okupasi
Langkah-langkah dalam menegakkan diagnosis:
1. Diagnosis klinis
Anamnesis: Riwayat penyelaman, batuk-batuk
2. Pemeriksaan fisik : Oedem, hiperemis pada faring, konvulsi
3. Pemeriksaan penunjang : PTcO2
4. Pajanan di tempat kerja: terjadi setelah menyelam basah ( close sircuit)
dan penyelaman kering (terapi oksigen hiperbarik)
5. Evidence based: Paparan tekanan tinggi menyebabkan konsentrasi
oksigen akan meningkat sesuai dengan hukum Dalton.
6. Apa pajanan cukup menimbulkan diagnosis klinis? Penyelaman berulang,
lama penyelaman, kedalaman penyelaman.
7. Faktor risiko yang berpengaruh terhadap timbulnya diagnosis klinis?
demam, minum obat obatan; antara lain steroid atau narkotik (morpin)
8. Pajanan bahaya potensial di luar tempat kerja: -
9. Diagnosis okupasi: penyakit akibat keracunan oksigen
b) Penatalaksanaan :
Pada terapi HBO: Buka masker oksigen
Pada penyelam close circuit: naik kepermukaan perlahan
c) Pencegahan:
Pemberian antioksidan
Hindari faktor risiko
3. KERACUNAN KARBONMONOKSIDA (CO)
a. Pengertian :
Kemampuan pengikatan hemoglobin (hb) terhadap CO 200 kali lebih besar
daripada oksigen sehingga mengakibatkan eliminasi CO yang sangat lambat dan
mengakibatkan hb tidak dapat mengangkut oksigen. Menurut Akmal (2009),
karbon monoksida CO) jika terhisap ke dalam paru-paru akan ikut peredaran
darah dan akan menghalangi masuknya oksigen yang dibutuhkan tubuh. Hal ini
dapat terjadi karena gas CO bersifat racun metabolisme, ikut bereaksi secara
metabolisme dengan darah.
b. Gejala-gejala Paparan Gas Karbon Monoksida
Umunya rute keterpaparan gas karbon monoksida adalah melalui jalan
pernapasan atau rute terhirup atau inhalasi (inhalation route). Gas ini
dikelompokkan sebagai bahan kimia asfiksia (asphyxiate). Ia mengakibatkan
racun dengan cara meracuni hemoglobin (Hb) darah. Hb berfungsi mengikat
darah dalam bentuk HbO. Setelah CO mengikat hemoglobin darah terbentuk
ikatan HbCO, maka otomatis oksigen akan terusir. Dengan mekanisme ini, tubuh
mengalami kekurangan oksigen dan gejala asfiksia atau kekurangan oksigen akan
terjadi. Hal ini disebabkan afinitas atau sifat pengikatan atau daya lengket
karbon monoksida ke hemoglobin darah dibandingkan dengan oksigen jauh lebih
besar sebanyak 200-3000 kali lipat. Dalam jumlah sedikit pun gas karbon
monoksida jika terhirup dalam waktu tertentu dapat menyebabkan gejala racun
terhadap tubuh (Majid, 2011).
Gejala-gejala lain dari keracunan CO antara lain, pusing, rasa tidak enak
pada mata, telinga berdengung, mual, muntah, detak jantung meniningkat, rasa
tertekan di dada, kesukaran bernafas, kelemahan otot-otot, tidak sadar, dan bias
meninggal dunia (Mukono, 2008).
c. Efek Karbon Monoksida
Akibat paparan gas karbon monoksida (CO) adalah bercampurnya gas
karbon monoksida (CO) dengan hemoglobin yang terdapat dalam darah menjadi
karboksihemoglobin (COHb). Dimana dengan bertambahnya COHb, fungsi
pengaliran oksigen dalam darah terhambat dan apabila terdapat COHb 5%
dalam darah (setara dengan 40 ppm gas karbon monoksida (CO) di udara) akan
menimbulkan keracunan dalam darah (Arifin dan Sukoco, 2009).
Telah lama diketahui bahwa kontak antara manusia dan CO pada konsentrasi
tinggi dapat menyebabkan kematian. Tetapi CO sebenarnya sangat berbahaya
karena pada konsentrasi relatif rendah (100 ppm atau kurang) juga dapat
menimbulkan gangguan kesehatan. Hal ini penting untuk diketahui terutama
dalam hubungannya dengan masalah lingkungan karena konsentrasi CO di udara
pada umumnya memang kurang dari 100 ppm (Fardiaz, 1992).
Keracunan gas Karbon Monoksida (CO) dapat ditandai dari gejala yang ringan,
berupa pusing, sakit kepala dan mual. Keadaan yang lebih berat berupa
menurunnya kemampuan gerak tubuh, gangguan pada system kardiovaskuler,
serangan jantung sampai pada kematian (Wardhana, 2004). Gejala lain yang
dirasakan antara lain sakit kepala, mual, muntah, rasa lelah, berkeringat banyak,
pyrexia(kenaikan suhu tubuh), pernafasan meningkat, gangguan penglihatan,
kebingungan, hipotensi, hipertensi, takikardi, kehilangan kesadaran dan sakit
dada mendadak yang dapat muncul pada orang yang menderita nyeri dada
(Badan POM, 2004).
d. Pengendalian Karbon Monoksida
1. Tindakan Pencegahan
a. Kadar Karbon Monoksida dalam udara sekeliling kita harus dibawah batas
paparan yang telah ditentukan antara lain dengan ventilasi ruangan yang
memadai.
b. Semua alat dengan proses pembakaran harus terkena udara di tempat
terbuka (Sartono, 2001).
c. Penggunaan Alat Pelindung Diri (APD) seperti masker gas, yang berguna
untuk menutup/menghindari tempat-tempat yang mengandung karbon
monoksida (CO).
d. Pemasangan detektor karbon monoksida yang dapat mendeteksi gas
karbon monoksida (CO) dalam sebuah ruangan atau kendaraan. Detektor
karbon monoksida akan memberikan peringatan berupa alarm jika dalam
ruangan atau kendaraan tersebut terdapat gas CO (Samsuri, 1982:100).
2. Tindakan Penanggulangan
Pertolongan bagi yang keracunan gas karbon monoksida pada tingkat yang
reltif masih ringan dapat dilakukan dengan membawa korban ke tempat yang
berudara terbuka (segar) dan memberikan kesempatan kepada korban untuk
bernafas dalam-dalam (Wardhana, 2004).
b. Pekerja berisiko :
Peselam yang bekerja dengan menggunakan kompresor konvensional
(yang digunakan untuk tambal ban)
Ventilasi yg inadequate:
- Skip breathing
- Foulty regulator (Kerusakan regulator)
- Tight wetsuit (Baju selam yang ketat)
- Kontaminasi udara
d. Tatalaksana:
a) Diagnosis okupasi
Langkah-langkah dalam menegakkan diagnosis:
1. Diagnosis klinis
Anamnesis: riwayat penyelaman dengan kompresor konvensional
Pemeriksaan fisik: pemeriksaan tanda vital, sianosis
Pemeriksaan penunjang: pemeriksaan gas darah dan elektrolit
2. Pajanan di tempat kerja: terjadi setelah menyelam basah
3. Evidence based: paparan tekanan tinggi yang menggunakan kompresor
konvensional menyebabkan konsentrasi karbon dioksida yang diproduksi
dari hasil pembakaran yang tidak sempurna dari oli kompresor akan
meningkat.
4. Apa pajanan cukup menimbulkan diagnosis klinis? Penyelaman berulang,
lama penyelaman, kedalaman penyelaman.
5. Faktor risiko yang berpengaruh terhadap timbulnya diagnosis klinis?
ventilasi pulmoner menurun, kontaminasi media pernapasan, ventilasi
yang tidak adekuat di lingkungan tertutup, peralatan tidak memadai.
6. Pajanan bahaya potensial di luar tempat kerja: polusi udara
7. Diagnosis okupasi: penyakit akibat keracunan carbon dioksida
b) Penatalaksanaan :
Hiperbarik oksigen, anti konvulsi (bila kejang)
c) Pencegahan
Monitor kadar CO2
Menghindari kerja fisik yang berat
Memilhara batas aman pada system absorbent
b. Pekerja berisiko :
Peselam menggunakan kompresor konvensional : peselam mutiara,
peselam biota laut, peselam moroami, pekerja pasang bubu
Peselam menggunakan human kompresor (professional): pemasang
pipa/kabel bawah air, peselam militer, pekerja di hiperbarik chamber
Tidak menggunakan kompresor: pekerja tambang batubara, pekerja
pembuatan terowongan bawah tanah (subway).
d. Tatalaksana
b) Diagnosis okupasi
Langkah-langkah dalam menegakkan diagnosis:
1. Diagnosis klinis
Anamnesis: riwayat penyelaman
Pemeriksaan fisik: kesadaran menurun
Pemeriksaan penunjang : Pemeriksaan EEG
2. Pajanan di tempat kerja: terjadi pada kedalaman lebih dari 20 m dari
permukaan air pada penyelaman basah dan kering.
3. Evidence based: paparan tekanan tinggi menyebabkan konsentrasi
Nitrogen akan meningkat.
4. Apa pajanan cukup menimbulkan diagnosis klinis? lama penyelaman,
kedalaman penyelaman.
5. Faktor risiko yang berpengaruh terhadap timbulnya diagnosis klinis?
Tergantung pada kadar lemak seseorang, adanya hipoksia
6. Pajanan bahaya potensial di luar tempat kerja: -
7. Diagnosis okupasi: Nitrogen narkosis
a) Penatalaksanaan :
Penurunan ambang tekanan (Ascent) dengan cara naik ke permukaan air.
b) Pencegahan:
Hindari minum alkohol
Kenali gejala
Segera naik beberapa meter sampai gejala narcosis hilang/ naik ke
permukaan.
Hindari menyelam pada kedalaman tersebut.
b. Pekerja berisiko :
Peselam menggunakan kompresor konvensional : peselam mutiara,
peselam biota laut, peselam moroami, pekerja pasang bubu
Peselam menggunakan human kompresor (professional): pemasang
pipa/kabel bawah air, peselam militer.
Peselam tahan nafas
d. Tatalaksana
a) Diagnosis
Anamnesis : Riwayat penyelaman
Gejala : Sesuai lokasi gigitan
Pemeriksaan fisik: adanya bekas luka, tanda vital
Pemeriksaan penunjang:laboratorium, foto rontgen
b) Penatalaksanaan :
Mengatasi shock (infus+Transfusi)
Analgetik sedatif
Operasi tergantung besar luka
c) Pencegahan
Memakai pakaian pelindung warna gelap
jangan berenang bila ada luka
jangan kencing di air
jangan membawa ikan yang sudah ditombak
jangan membawa peledak di bawah air
bergerak pelan, tenang tanpa panik
berenang bergerombol
berenanang berpasangan mengurangi serangan 50%