Escolar Documentos
Profissional Documentos
Cultura Documentos
OLEH:
Telah Diterima Dan Disahkan Oleh Clinical Teacher (CT) Dan Clinical
Instructure Stase Gadar Sebagai Syarat Memperoleh Penilaian Dari Department
Gadar Ners STIKES Buleleng.
Denpasar, 2017
4) Stadium IV-Konsolidasi
Bila aktivitas osteoclast dan osteoblast berlanjut, anyaman tulang berubah
menjadi lamellar. Sistem ini sekarang cukup kaku dan memungkinkan
osteoclast menerobos melalui reruntuhan pada garis fraktur dan tepat
dibelakangnya osteoclast mengisi celah-celah yang tersisa diantara fragmen
dengan tulang yang baru. Ini adalah proses yang lambat dan mungkin perlu
beberapa bulan sebelum tulang kuat untuk membawa beban yang normal.
5) Stadium Lima-Remodelling
Fraktur telah dijembatani oleh suatu manset tulang yang padat. Selama
beberapa bulan atau tahun, pengelasan kasar ini dibentuk ulang oleh proses
resorbsi dan pembentukan tulang yang terus-menerus. Lamellae yang lebih
tebal diletakkan pada tempat yang tekanannya lebih tinggi, dinding yang tidak
dikehendaki dibuang, rongga sumsum dibentuk, dan akhirnya dibentuk struktur
yang mirip dengan normalnya (Black, 1993 dan Apley,1993)
5. KLASIFIKASI
Berdasarkan hubungan dengan dunia luar:
a) Fraktur tertutup adalah fraktur tanpa adanya komplikasi, kulit masih utuh,
tulang tidak menonjol melalui kulit
b) Fraktur terbuka adalah fraktur yang merusak jaringan kulit, karena adanya
hubungan dengan lingkungan luar, maka fraktur terbuka potensial terjadi
infeksi.
Berdasarkan luas dan garis fraktur:
a) Fraktur complete adalah patah atau diskontinuitas jaringan tulang yang
luas sehingga tulang terbagi menjadi dua bagian dan garis patahnya
menyeberangkan dari satu sisi ke sisi lain serta mengenai seluruh korteks.
b) Fraktur incomplete adalah patah atau diskontinuitas jaringan tulang
dengan garis patah tidak menyeberang, sehingga tidak mengenai korteks
(masih ada korteks yang utuh)
Berdasarkan garis patah tulang:
a) Green Stick yaitu pada sebelah sisi dari tulang
b) Transverse yaitu patah melintang
c) Longitudinal yaitu patah memanjang
d) Obligue yaitu garis patah miring
e) Spiral yaitu patah melingkar
6. MANIFESTASI KLINIS
Lewis (2006) menyampaikan gejala klinis dari fraktur adalah sebagai berikut:
a) Nyeri
Nyeri dirasakan langsung setelah terjadi trauma. Hal ini dikarenakan adanya
spasme otot, tekanan dari patahan tulang atau kerusakan jaringan sekitarnya.
Nyeri dirasakan terus menerus dan bertambah beratnya sampai fragmen
tulang diimobilisasi. Spasme otot yang menyertai fraktur merupakan bentuk
bidai alamiah yang dirancang untuk meminimalkan gerakan antar fragmen
tulang.
b) Bengkak/edama
Edema muncul lebih cepat dikarenakan cairan serosa yang terlokalisir pada
daerah fraktur dan extravasi daerah di jaringan sekitarnya.
c) Memar/ekimosis
Merupakan perubahan warna kulit sebagai akibat dari extravasi daerah di
jaringan sekitarnya.
d) Spame otot
Merupakan kontraksi otot involunter yang terjadi disekitar fraktur.
e) Penurunan sensasi
Terjadi karena kerusakan syaraf, terkenanya syaraf karena edema.
f) Gangguan fungsi
Terjadi karena ketidakstabilan tulang yang frkatur, nyeri atau spasme otot,
paralysis dapat terjadi karena kerusakan syaraf.
g) Mobilitas abnormal
Mobilitas abnormal adalah pergerakan yang terjadi pada bagian-bagian yang
pada kondisi normalnya tidak terjadi pergerakan. Ini terjadi pada fraktur
tulang panjang.
h) Krepitasi
Krepitasi merupakan rasa gemeretak yang terjadi jika bagian-bagaian tulang
digerakkan. Krepitasi yang teraba akibat gesekan antara fragmen satu dengan
lainnya. Uji krepitus dapat mengakibatkan kerusakan jaringan lunak yang
lebih berat.
i) Deformitas
Abnormalnya posisi dari tulang sebagai hasil dari kecelakaan atau trauma
dan pergerakan otot yang mendorong fragmen tulang ke posisi abnormal,
akan menyebabkan tulang kehilangan bentuk normalnya.
j) Syok hipovolemik
Syok terjadi sebagai kompensasi jika terjadi perdarahan hebat. Ditandai
dengan nadi cepat, kerja jantung meningkat, vasokontriksi.
k) Pemendekan tulang
Pada fraktur panjang terjadi pemendekan tulang yang sebenarnya
karena kontraksi otot yang melekat di atas dan bawah tempat fraktur.
Fragmen sering saling melingkupi satu sama lain sampai 2,5 sampai 5 cm (1
sampai 2 inci)
7. PEMERIKSAAN FISIK
a) Mengidentifikasi tipe fraktur
b) Inspeksi daerah mana yang terkena
Deformitas yang nampak jelas
Edema, ekimosis sekitar lokasi cedera
Laserasi
Perubahan warna kulit
Kehilangan fungsi daerah yang cidera
Penonjolan yang abnormal, angulasi, rotasi, pemendekan
Kulit robek atau utuh
Perhatikan adanya sindrom kompartemen pada bagian distal fraktur
femur.
c) Palpasi
Bengkak, adanya nyeri dan penyebaran
Krepitasi pada daerah paha
Nadi, dingin
Observasi spasme otot sekitar daerah fraktur
Terdapat nyeri tekan setempat
d) Movement
Krepitus dan gerakan abnormal dapat ditemukan, tetapi lebih penting untuk
menanyakan apakah pasien dapat menggerakan sendi-sendi dibagian distal
cedera. Gerakan yang dilihat adalah gerakan pasif dan aktif. Berdasarkan
pemeriksaan didapatkan adanya gangguan/keterbatasan gerak tungkai,
ketidakmampuan menggerakkan kaki, dan penurunan kekuatan otot
ekstremitas bawah dalam melakukan pergerakan
8. PEMERIKSAAN PENUNJANG
a) Pemeriksaan Radiologi
Sebagai penunjang, pemeriksaan yang penting adalah “pencitraan”
menggunakan sinar rontgen (x-ray). Untuk mendapatkan gambaran 3
dimensi keadaan dan kedudukan tulang yang sulit, maka diperlukan 2
proyeksi yaitu AP atau PA dan lateral. Dalam keadaan tertentu diperlukan
proyeksi tambahan (khusus) ada indikasi untuk memperlihatkan pathologi
yang dicari karena adanya superposisi. Perlu disadari bahwa permintaan x-
ray harus atas dasar indikasi kegunaan pemeriksaan penunjang dan hasilnya
dibaca sesuai dengan permintaan. Hal yang harus dibaca pada x-ray:
Bayangan jaringan lunak.
Tipis tebalnya korteks sebagai akibat reaksi periosteum atau biomekanik
atau juga rotasi.
Trobukulasi ada tidaknya rare fraction.
Sela sendi serta bentuknya arsitektur sendi.
Selain foto polos x-ray (plane x-ray) mungkin perlu teknik khususnya
seperti:
Tomografi: menggambarkan tidak satu struktur saja tapi struktur yang
lain tertutup yang sulit divisualisasi. Pada kasus ini ditemukan kerusakan
struktur yang kompleks dimana tidak pada satu struktur saja tapi pada
struktur lain juga mengalaminya.
Myelografi: menggambarkan cabang-cabang saraf spinal dan pembuluh
darah di ruang tulang vertebrae yang mengalami kerusakan akibat
trauma.
Arthrografi: menggambarkan jaringan-jaringan ikat yang rusak karena
ruda paksa.
Computed Tomografi-Scanning: menggambarkan potongan secara
transversal dari tulang dimana didapatkan suatu struktur tulang yang
rusak.
b) Pemeriksaan Laboratorium
Kalsium Serum dan Fosfor Serum meningkat pada tahap penyembuhan
tulang.
Alkalin Fosfat meningkat pada kerusakan tulang dan menunjukkan
kegiatan osteoblastik dalam membentuk tulang.
Enzim otot seperti Kreatinin Kinase, Laktat Dehidrogenase (LDH-5),
Aspartat Amino Transferase (AST), Aldolase yang meningkat pada tahap
penyembuhan tulang.
c) Pemeriksaan lain-lain
Pemeriksaan mikroorganisme kultur dan test sensitivitas: didapatkan
mikroorganisme penyebab infeksi.
Biopsi tulang dan otot: pada intinya pemeriksaan ini sama dengan
pemeriksaan diatas tapi lebih dindikasikan bila terjadi infeksi.
Elektromyografi: terdapat kerusakan konduksi saraf yang diakibatkan
fraktur.
Arthroscopy: didapatkan jaringan ikat yang rusak atau sobek karena
trauma yang berlebihan.
Indium Imaging: pada pemeriksaan ini didapatkan adanya infeksi pada
tulang.
MRI: menggambarkan semua kerusakan akibat fraktur.
9. DIAGNOSIS/KRITERIA DIAGNOSIS
a) Anamnesis : pada penderita didapatkan riwayat trauma ataupun cedera
dengan keluhan bagian dari tungkai tidak dapat digerakkan
b) Pemeriksaan fisik :
Look: Pembengkakan, memar dan deformitas (penonjolan yang
abnormal, angulasi, rotasi, pemendekan) mungkin terlihat jelas, tetapi
hal yang penting adalah apakah kulit itu utuh; kalau kulit robek dan luka
memiliki hubungan dengan fraktur, cedera terbuka
Feel: Terdapat nyeri tekan setempat, tetapi perlu juga memeriksa bagian
distal dari fraktur untuk merasakan nadi dan untuk menguji sensasi.
Cedera pembuluh darah adalah keadaan darurat yang memerlukan
pembedahan
Movement: Krepitus dan gerakan abnormal dapat ditemukan, tetapi
lebih penting untuk menanyakan apakah pasien dapat menggerakan
sendi-sendi di bagian distal cedera.
b. Penanganan Operasi
c. Pembatasan aktivitas
Studi spesifik yang membandingkan keluaran dengan atau tanpa
pembatasan aktivitas belum ada. Jadi toleransi terhadap respon pengobatan
yang bersifat individual sebaiknya menjadi panduan bagi praktisi. Pada
tahap akut sebaiknya hindari pekerjaan yang mengharuskan gerak leher
berlebihan. Pemberian edukasi mengenai posisi leher yang benar sangatlah
membantu untuk menghindari iritasi radiks saraf lebih jauh. Seperti
contohnya : penggunaan telepon dengan posisi leher menekuk dapat
dikurangi dengan menggunakan headset, menghindari penggunaan
kacamata bifokal dengan ekstensi leher yang berlebihan, posisi tidur yang
salah. Saat menonton pertandingan pada lapangan terbuka, maupun layar
lebar sebaiknya menghindari tempat duduk yang menyebabkan kepala
menoleh/berotasi ke sisi lesi.
d. Penggunaan collar brace
Ada banyak jenis kolar yang telah dipelajari untuk membatasi gerak
leher. Kolar kaku/ keras memberikan pembatasan gerak yang lebih banyak
dibandingkan kolar lunak (soft collars ), kecuali pada gerak fleksi dan
ekstensi. Kelebihan kolar lunak : memberikan kenyamanan yang lebih pada
pasien. Pada salah satu studi menunjukkan bahwa tingkat kepatuhan pasien
untuk menggunakan kolar berkisar 68-72%. Penggunaan kolar sebaiknya
selama mungkin sepanjang hari. Setelah gejala membaik, kolar dapat
digunakan hanya pada keadaan khusus , seperti saat menyetir kendaraan dan
dapat tidak digunakan lagi bila gejala sudah menghilang. Sangatlah sulit
untuk menyatakan waktu yang tepat kolar tidak perlu digunakan lagi,
namun dengan berpatokan : hilangnya rasa nyeri, hilangnya tanda spurling
dan perbaikan defisit motorik dapat dijadikan sebagai petunjuk.
e. Modalitas terapi lain
Termoterapi dapat digunakan untuk membantu menghilangkan
nyeri. Modalitas terapi ini dapat digunakan sebelum atau pada saat traksi
servikal untuk relaksasi otot. Kompres dingin dapat diberikan selama 15-30
menit, 1 sampai 4 kali sehari, atau kompres panas /pemanasan selama 30
menit , 2 sampai 3 kali sehari jika dengan kompres dingin/pendinginan
tidak efektif. Pilihan antara modalitas panas atau dingin sangatlah
pragmatik tergantung pada persepsi pasien terhadap pengurangan nyeri.
Traksi leher merupakan salah satu terapi yang banyak digunakan
meskipun efektifitasnya belum dibuktikan dan dapat menimbulkan
komplikasi sendi temporomandibular. Ada beberapa jenis traksi, namun
yang dapat dilakukan di rumah adalah door traction. Traksi dapat dilakukan
3 kali sehari selama 15 menit , dan dapat dilakukan dengan frekuensi yang
lebih sedikit selama 4 sampai 6 minggu. Setelah keluhan nyeri hilang pun
traksi masih dapat dianjurkan. Traksi dikontraindikasikan pada pasien
dengan spondilosis berat dengan mielopati dan adanya arthritis dengan
subluksasi atlanto-aksial. Latihan yang menggerakan leher maupun
merangsang nyeri sebaiknya dihindari pada fase akut. Saat nyeri hilang
latihan penguatan otot leher isometrik lebih dianjurkan.
Penggunaan terapi farmakologik dapat membantu mengurangi rasa
nyeri dan mungkin mengurangi inflamasi di sekitar radiks saraf (meskipun
inflamasi sebenarnya tidak pernah dapat dibuktikan di radiks saraf maupun
diskus). Jika gejala membaik dengan berbagai modalitas terapi di atas,
aktivitas dapat secara progresif ditingkatkan dan terapi dihentikan atau
kualitas diturunkan. Jika tidak ada perbaikan atau justru mengalami
perburukan sebaiknya dilakukan eksplorasi yang lebih jauh termasuk
pemeriksaan MRI dan dipertimbangkan dilakukan intervensi seperti
pemberian steroid epidural maupun terapi operatif. Tidak ada patokan sampai
berapa lama terapi non-operatif dilanjutkan sebelum tindakan operatif. Defisit
neurologis pada herniasi diskus daerah lumbal yang cukup besar dilaporkan
bisa terjadi perbaikan tanpa operasi. Mungkin hal ini juga bisa terjadi pada
herniasi diskus di servikal.
11. KOMPLIKASI
Komplikasi awal
a) Syok
Syok hipovolemik atau traumatik akibat perdarahan (baik kehilangan darah
eksterna maupun yang tidak kelihatan) dan kehilangan cairan ekstrasel ke
jaringan yang rusak.
b) Sindrom emboli lemak
Setelah terjadi fraktur femur dapat terjadi emboli lemak khususnya pada
dewasa muda (20-30 tahun) pria. Pada saat terjadi fraktur, globula lemak
dapat masuk ke dalam darah karena tekanan sumsum tulang lebih tinggi dari
tekanan kapiler atau karena katekolamin yang dilepaskan oleh reaksi stres
pasien akan memobilisasi asam lemak dan memudahkan terjadinya globula
lemak dalam aliran darah. Globula lemak akan bergabung dengan trombosit
membentuk emboli yang kemudian menyumbat pembuluh darah kecil yang
memasok otak, paru, ginjal dan organ lain. Awitan gejalanya sangat cepat,
dapat terjadi dari beberapa jam sampai satu minggu setelah cedera, namun
paling sering terjadi dalam 24 sampai 72 jam. Gambaran khasnya berupa
hipoksia, takipnea, takikardia dan pireksia. Gangguan cerebral diperlihatkan
dengan adanya perubahan status mental yang bervariasi dari agitasi ringan
dan kebingungan sampai delirium dan koma yang terjadi sebagai respon
terhadap hipoksia, akibat penyumbatan emboli lemak di otak.
c) Sindrom kompertemen
Sindrom kompartemen disebabkan karena penurunan ukuran kompartemen
otot karena fasia yang membungkus otot terlalu ketat atau gips atau balutan
yang menjerat, atau peningkatan isi kompartemen otot karena edema atau
perdarahan sehubungan dengan berbagai masalah. Pasien mengeluh adanya
nyeri dalam, berdenyut tak tertahankan. Palpasi pada otot akan terasa
pembengkakan dan keras.
Komplikasi lambat
a) Penyatuan terlambat atau tidak ada penyatuan
Penyatuan terlambat terjadi bila penyembuhan tidak terjadi dengan
kecepatan normal untuk jenis dan tempat fraktur tertentu. Penyatuan
terlambat mungkin berhubungan dengan infeksi sistemik atau distraksi
fragmen tulang. Tidak ada penyatuan terjadi karena kegagalan penyatuan
ujung-ujung patahan tulang.
Malunion : tulang patah telah sembuh dalam posisi yang tidak
seharusnya.
Delayed union : proses penyembuhan yang terus berjalan tetapi dengan
kecepatan yang lebih lambat dari keadaan normal.
Non union : tulang yang tidak menyambung kembali
b) Nekrosis avaskuler tulang
Nekrosis avaskuler terjadi bila tulang kehilangan asupan darah dan mati,
dapat terjadi setelah fraktur khususnya pada kolum femoris. Tulang yang
mati mengalami kolaps atau diabsorbsi dan diganti dengan tulang baru.
Pasien mengalami nyeri dan keterbatasan gerak.
c) Reaksi terhadap alat fiksasi interna
Alat fiksasi interna biasanya diambil setelah penyatuan tulang telah terjadi,
namun pada kebanyakan pasien alat tersebut tidak diangkat sampai
menimbulkan gejala. Nyeri dan penurunan fungsi merupakan indikator
utama telah terjadi masalah. Masalah tersebut meliputi pemasangan dan
stabilisasi yang tidak memadai, alat yang cacat atau rusak, berkaratnya alat
menyebabkan inflamasi lokal, respon alergi terhadap campuran logam yang
digunakan dan remodeling osteoporotik di sekitar alat fiksasi.
c. Pola Eliminasi
Untuk kasus fraktur humerus tidak ada gangguan pada pola eliminasi, tapi
walaupun begitu perlu juga dikaji frekuensi, konsistensi, warna serta bau
feces pada pola eliminasi alvi. Sedangkan pada pola eliminasi uri dikaji
frekuensi, kepekatannya, warna, bau, dan jumlah. Pada kedua pola ini juga
dikaji ada kesulitan atau tidak (Doenges, 1999).
h. Pola Perseptual
Pada pasien fraktur daya rabanya berkurang terutama pada bagian distal
fraktur, sedang pada indera yang lain tidak timbul gangguan. Begitu juga
pada kognitifnya tidak mengalami gangguan. Selain itu juga, timbul rasa
nyeri akibat fraktur (Ignatavicius, 1995).
2. DIAGNOSA KEPERAWATAN
1) Ketidakefektifan pola napas yang berhubungan dengan kerusakan tulang
punggung, disfungsi neurovaskular, kerusakan sistem muskuloskeletal.
2) Gangguan pertukaran gas berhubungan dengan ketidakseimbangan perfusi
ventilasi dan perubahan membran alveolar kapiler.
3) Ketidakefektifan bersihan jalan nafas berhubungan dengan
ketidakmampuan untuk membersihkan sekret yang menumpuk.
4) Nyeri akut berhubungan dengan agen cedera fisik (desakan fragmen cedera
pada jaringan lunak) ditandai dengan pasien tampak meringis, laporan
secara verbal terasa nyeri, perubahan posisi untuk menghindari nyeri.
5) Hipertermi berhubungan dengan respon inflamasi sistemik ditandai dengan
peningkatan suhu tubuh > 37,5° C, akral teraba hangat.
6) Hambatan mobilitas fisik berhubungan dengan kontraktur otot ditandai
dengan pasien tidak mampu menggerakkan daerah yang mengalami fraktur,
pasien mengeluh nyeri saat menggeser bagian yang fraktur.
7) Gangguan perfusi jaringan perifer berhubungan dengan gangguan
vaskularisasi ditandai dengan oedema ekstremitas, sianosis, perubahan
temperatur kulit.
8) PK: Perdarahan
9) PK: Anemia
10) Ansietas berhubungan perubahan kondisi fisik (patah tulang) ditandali
dengan pasien mengeluh merasa cemas dengan situasi fisiknya, pasien
tampak gelisah.
11) Risiko infeksi berhubungan dengan prosedur invasif aibat tindakan
ORIF/OREF
3. INTERVENSI KEPERAWATAN
1) Ketidakefektifan pola napas yang berhubungan dengan kerusakan
tulang punggung, disfungsi neurovaskular, kerusakan sistem
muskuloskeletal.
Tujuan: setelah diberikan asuhan keperawatan selam ….x24 jam, klien mampu
menunjukan perilaku pola napas efektif, dengn kriteria hasil:
NOC Label >> Respiratory status: ventilation, Respiratory status: Airway
patency
Mendemonstrasikan batuk efektif dan suara napas yang bersih, tidak ada
sianosis dan dyspnea.
Menunjukkan jalan napas yang paten.
Mampu mengidentifikasikan dan mencegah faktor yang dapat
menghambat jalan napas
Intervensi:
NIC Label >> Airway management
1. Posisikan pasien untuk memaksimalkan ventilasi
2. Lakukan fisioterapi dada bila perlu
3. Keluarkan secret dengan batuk dan suctioning
4. Auskultasi suara napas, catat adanya suara napas tambahan
5. Berikan bronkodilator bila perlu
6. Atur intake dan ouput untuk mengoptimalkan keseimbangan.
9) PK: Anemia
Setelah diberikan asuhan keperawatan selama … x … jam, perawat dapat
meminimalkan komplikasi anemia yang terjadi, dengan kriteria hasil:
NOC Label >> Vital Signs
- Tekanan darah dalam batas normal (110/70-130/90 mmHg) atau
terkontrol
- Nadi dalam batas normal (60-100x/mnt)
- RR dalam batas normal (16-20 x/mnt)
- Suhu tubuh dalam batas normal (36-37,5°C)
NOC Label >> Tissue Perfussion: Peripheral
- CRT < 3 detik
- Akral hangat
- Pasien tidak pucat
- Konjungtiva berwarna merah muda
NOC Label >> Blood Loss Severity
- Hb pasien dalam batas normal (12-16 g/dL)
- HCT dalam batas normal (45-55%)
- Mukosa bibir lembab
- Pasien tidak mengalami lemas dan lesu
Intervensi:
1. Pantau tanda dan gejala anemia yang terjadi.
Rasional: memantau gejala anemia pasien penting dilakukan agar tidak
terjadi komplikasi yang lebih lanjut.
2. Pantau tanda-tanda vital pasien.
Rasional: perubahan tanda vital menunujukkan perubahan pada kondisi
pasien.
3. Anjurkan pasien mengkonsumsi makanan yang mengandung banyak zat
besi dan vit B12.
Rasional: Makanan yang mengandung vitamin B12 dan asam folat
dapat menstimulasi pembentukan Hemoglobin.
4. Minimalkan prosedur yang bisa menyebabkan perdarahan.
Rasional: Dapat memperparah kondisi pasien yang mengalami anemia.
5. Pantau nilai PT dan PTT
Rasional: Untuk mengkaji apakah terjadi perpanjangan waktu
pembekuan darah
6. Pantau hasil lab Hb dan HCT
Rasional: Penurunan Hb dan perubahan nilai HCT menunjukkan terjadi
anemia pada pasien
NIC Label >> Blood Products Administration
7. Kolaborasi pemberian tranfusi darah sesuai indikasi.
Rasional: transfusi darah diperlukan jika kondisi anemia pasien buruk
untuk menambah jumlah darah dalam tubuh.
4. IMPLEMENTASI
Implementasi dilakukan sesuai dengan rencana keperawatan yang sudah
dilakukan
5. EVALUASI
No. Diagnosa keperawatan Evaluasi
Dx
1 Ketidakefektifan pola napas yang NOC Label >> Respiratory status:
berhubungan dengan kerusakan tulang ventilation, Respiratory status: Airway
punggung, disfungsi neurovaskular, patency
kerusakan sistem muskuloskeletal. Mendemonstrasikan batuk efektif dan suara
napas yang bersih, tidak ada sianosis dan
dyspnea.
Menunjukkan jalan napas yang paten.
Mampu mengidentifikasikan dan mencegah
faktor yang dapat menghambat jalan napas
2 Gangguan pertukaran gas berhubungan NOC Label >> Respiratory status: Gas
dengan ketidakseimbangan perfusi exchange, Respiratory status: ventilation,
ventilasi dan perubahan membran Vital sign status
alveolar kapiler. Mendemonstrasikan peningkatan ventilasi
dan oksigenasi yang adekuat
Memelihara kebersihan paru-paru dan bebas
dari tanda-tanda distress pernafasan
Mendemonstrasikan batuk efektif dan suara
napas yang bersih, tidak ada sianosis dan
dispena
Tanda-tanda vital dalam rentang normal
3 Ketidakefektifan bersihan jalan nafas NOC Label >> Respiratory status:
berhubungan dengan ketidakmampuan ventilation, Respiratory status: Airway
untuk membersihkan sekret yang patency
menumpuk. Mendemonstrasikan batuk efektif dan suara
napas yang bersih, tidak ada sianosis dan
dyspnea.
Menunjukkan jalan napas yang paten.
Mampu mengidentifikasikan dan mencegah
faktor yang dapat menghambat jalan napas
4 Nyeri akut berhubungan dengan agen NOC Label >> Pain Control
cedera fisik (desakan fragmen cedera Pasien mengenali onset nyeri.
pada jaringan lunak) ditandai dengan Pasien dapat mendeskripsikan faktor
pasien tampak meringis, laporan secara penyebab.
verbal terasa nyeri, perubahan posisi Pasien menerapkan teknik manajemen nyeri
untuk menghindari nyeri. non farmakologis.
Pasien menggunakan analgesik sesuai
rekomendasi.
NOC Label >> Pain Level
Pasien tidak melaporkan adanya nyeri
Ekspresi wajah terhadap nyeri
Diaphoresis
RR dalam batas normal (16-20 kali/menit)
Nadi dalam batas normal (60-100
kali/menit)
Tekanan darah dalam batas normal (120/80
mmHg)
5 Hipertermi berhubungan dengan respon NOC Label >> Thermoregulation
inflamasi sistemik ditandai dengan
Suhu tubuh pasien normal (36-37±0,5˚C)
peningkatan suhu tubuh > 37,5° C, akral
Melaporkan rasa nyaman
teraba hangat.
Tidak menggigil
NOC Label >> Vital Signs
Suhu : 36-37±0,5˚C
Nadi: 60-100x/menit
RR: 16-20 x/menit
TD: 120/80 mmHg
6 Hambatan mobilitas fisik berhubungan Fleksbilitas sendi dapat dipertahankan
dengan kontraktur otot ditandai dengan Otot tidak mengalami atropi
pasien tidak mampu menggerakkan Otot tidak mengalami kontraktur
daerah yang mengalami fraktur, pasien
mengeluh nyeri saat menggeser bagian
yang fraktur.
7 Gangguan perfusi jaringan perifer NOC Label >> Tissue Perfussion: Peripheral
berhubungan dengan gangguan Tidak ada nekrosis pada jari-jari.
vaskularisasi ditandai dengan oedema CRT dalam batas normal (kurang dari 3
detik).
ekstremitas, sianosis, perubahan Akral hangat.
temperatur kulit. Tidak ada sianosis pada kuku kaki ataupun
tangan.
8 PK: Perdarahan Tidak terjadi kehilangan darah yang nyata
Tidak terjadi penurunan tekanan darah
sistolik
Tidak terjadi penurunan tekanan darah
diastolic
Tidak terjadi peningkatan nadi apical
Tidak terjadi penurunan suhu tubuh
Tidak terjadi penurunan kognisi
Tidak terjadi penurunan hemoglobin
Tidak terjadi penurunan hematocrit
9 PK: Anemia Tidak terjadi penurunan tekanan darah
sistolik
Tidak terjadi penurunan tekanan darah
diastolic
Tidak terjadi peningkatan nadi apical
Tidak terjadi penurunan suhu tubuh
Tidak terjadi penurunan kognisi
Hemoglobin dalam batas normal
Hematocrit dalam batas normal
Tidak terjadi peningkatan nadi apical
Tidak terjadi penurunan TD
Tidak terjadi demam
Tidak terjadi gatal dan kemerahan
Tidak terjadi kelemahan
Tidak terjadi mual
Tidak terjadi hemoglobinuria
Tidak terjadi nyeri dada
10 Ansietas berhubungan perubahan kondisi NOC Label >> Anxiety Level
fisik (patah tulang) ditandali dengan Mengatakan secara verbal tentang
pasien mengeluh merasa cemas dengan kecemasan
situasi fisiknya, pasien tampak gelisah. Mengatakan secara verbal tentang
ketakutan
Kepanikan berkurang
NOC Label >> Anxiety Self-Control
Mampu mengurangi penyebab cemas
Mengontrol respon cemas
Apley, A. Graham. 1995. Buku Ajar Ortopedi dan Fraktur Sistem Apley. Jakarta :
Widya Medika
Black, J.M, et al. 1995. Luckman and Sorensen’s Medikal Nursing : A Nursing
Process Approach, 4 th Edition, W.B. Saunder Company.
Carpenito, Lynda Juall. 1999. Rencana Asuhan dan Dokumentasi Keperawatan.
Jakarta : EGC.
Doenges M.E. 2000. Nursing Care Plan, Guidlines for Planning Patient Care (2nd
ed). Philadelpia, F.A. Davis Company
Dorland, W.A. Newman. 2002. Kamus Kedokteran Dorland Edisi 29. Jakarta: EGC
Departemen Kesehatan Republik Indonesia. 1999. Sistem Kesehatan Nasional.
Jakarta
Henderson, M.A. 1992. Ilmu Bedah untuk Perawat. Yogyakarta: Yayasan Essentia
Medika
Hudak and Gallo. 1994. Keperawatan Kritis. Jakarta : EGC.
Ignatavicius, Donna D. 1995. Medical Surgical Nursing : A Nursing Process
Approach, W.B. Saunder Company.
Long, Barbara C. 1996. Perawatan Medikal Bedah. Jakarta : EGC.
Mansjoer, Arif. 2000. Kapita Selekta Kedokteran. Jakarta : Medika Aesculapius.
Muttaqin, A. 2008. Buku Ajar Asuhan Keperawatan Pasien Gangguan Sistem
Muskuloskletal. Jakarta : EGC
Oswari, E. 1993. Bedah dan Perawatannya. Jakarta : PT Gramedia Pustaka Utama.
Price, Evelyn .1997. Anatomi dan Fisiologi Untuk Paramedis. Jakarta : Gramedia.
Price Sylvia, A. 1994. Patofisiologi: Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit.
Jakarta: EGC.
Sylvia, A. 1994. Patofisiologi: Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit.Jakarta: EGC
Smeltzer & Bare. 2002. Buku Ajar Medikal Bedah, Brunner & Suddart. Jakarta:
EGC
Reksoprodjo, Soelarto. 1995. Kumpulan Kuliah Ilmu Bedah. Jakarta : Binarupa
Aksara
Tucker, Susan Martin. 1998. Standar Perawatan Pasien. Jakarta : EGC.