Você está na página 1de 11

LAPORAN PENDAHULUAN

EPILEPSI

A. PENGERTIAN
Epilepsi merupakan sindrom yang ditandai oleh kejang yang terjadi berulang-
ulang. Diagnose ditegakkan bila seseorang mengalami paling tidak dua kali kejang
tanpa penyebab (Jastremski, 1988)
Epilepsi adalah penyakit serebral kronik dengan karekteristik kejang berulang
akibat lepasnya muatan listrik otak yang berlebihan dan bersifat reversibel (Tarwoto,
2007)
Epilepsi adalah gangguan kronik otak dengan ciri timbulnya gejala- gejala yang
datang dalam serangan-serangan, berulang-ulang yang disebabkan lepas muatan
listrik abnormal sel-sel saraf otak, yang bersifat reversible dengan berbagai etiologi.
Serangan ini ialah suatu gejala yang timbulnya tiba-tiba dan menghilang secara
tiba- tiba pula (Mansjoer Arief, 1999).
Menurut Smeltzer (2001) pengertian epilepsi adalah gejala kompleks dari
banyak gangguan fungsi otak berat yang dikarakteristikan oleh kejang
berulang

B. ETIOLOGI

Menurut (Mansjoer, 2000), penyebab epilepsi antara lain :

1. Idiopatik: sebagian besar epilepsi pada anak adalah epilepsi pada anak adalah
epilepsi idiopatik.
2. Faktor herediter: ada beberapa penyakit yang bersifat
herediter yang disertai bangkitan kejang seperti sklerosis tuberosa,
neurofibriomatosis, angiomatosis ensepalo- trigeminal, fenilketonuria,
hipoparatiroidisme, hipoglikemia.
3. Faktor genetik: pada kejang demam dan breath holding spells
4. Kelainan kongenital otak: atropi, forensepali, agenesis korfus kalosum.
5. Gangguan metabolik: Hipoglikemia, hipokalsimia, hiponatremia,
hipernatremia.
6. Infeksi: radang yang disebabkan bakteri atau virus pada otak dan selaputnya,
toksoplasmosis.
7. Trauma: Kontusio serebri, hematoma subaraknoid, hematoma subdural.
8. Neoplasma otak dan selaputnya.
9. Kelainan pembuluh darah, mal formasi, penyakit kolagen.
10. Keracunan: timbal (Pb), kamper (kapur barus), fenotiazin, air.
11. Lain-lain: penyakit darah, gangguan keseimbangan hormon, degenerasi
serebral.

C. PATOFISIOLOGI
Otak merupakan pusat penerima pesan (impuls sensorik) dan sekaligus
merupakan pusat pengirim pesan (impuls motorik). Otak ialah rangkaian berjuta-juta
neuron. Pada hakekatnya tugas neuron ialah menyalurkan dan mengolah aktivitas
listrik saraf yang berhubungan satu dengan yang lain melalui sinaps. Dalam sinaps
terdapat zat yang dinamakan neurotransmiter. Asetilkolin dan norepinerprine ialah
neurotranmiter eksitatif, sedangkan zat lain yakni GABA (gama-amino-butiric-acid)
bersifat inhibitif terhadap penyaluran aktivitas listrik sarafi dalam sinaps. Bangkitan
epilepsi dicetuskan oleh suatu sumber gaya listrik di otak yang dinamakan fokus
epileptogen. Dari fokus ini aktivitas listrik akan menyebar melalui sinaps dan dendrit
ke neron-neron di sekitarnya dan demikian seterusnya sehingga seluruh belahan
hemisfer otak dapat mengalami muatan listrik berlebih (depolarisasi). Pada keadaan
demikian akan terlihat kejang yang mula-mula setempat selanjutnya akan menyebar
ke bagian tubuh/anggota gerak yang lain pada satu sisi tanpa disertai hilangnya
kesadaran. Dari belahan hemisfer yang mengalami depolarisasi, aktivitas listrik dapat
merangsang substansia retikularis dan inti pada talamus yang selanjutnya akan
menyebarkan impuls-impuls ke belahan otak yang lain dan dengan demikian akan
terlihat manifestasi kejang umum yang disertai penurunan kesadaran.
Selain itu, epilepsi juga disebabkan oleh instabilitas membran sel saraf, sehingga sel
lebih mudah mengalami pengaktifan. Hal ini terjadi karena adanya influx natrium ke
intraseluler. Jika natrium yang seharusnya banyak di luar membrane sel itu masuk ke
dalam membran sel sehingga menyebabkan ketidakseimbangan ion yang mengubah
keseimbangan asam-basa atau elektrolit, yang mengganggu homeostatis kimiawi
neuron sehingga terjadi kelainan depolarisasi neuron. Gangguan keseimbangan ini
menyebabkan peningkatan berlebihan neurotransmitter aksitatorik atau deplesi
neurotransmitter inhibitorik.
Kejang terjadi akibat lepas muatan paroksismal yang berlebihan dari sebuah
fokus kejang atau dari jaringan normal yang terganggu akibat suatu keadaan
patologik. Aktivitas kejang sebagian bergantung pada lokasi muatan yang berlebihan
tersebut. Lesi di otak tengah, talamus, dan korteks serebrum kemungkinan besar
bersifat apileptogenik, sedangkan lesi di serebrum dan batang otak umumnya tidak
memicu kejang. Di tingkat membran sel, sel fokus kejang memperlihatkan beberapa
fenomena biokimiawi, termasuk yang berikut:
1) Instabilitas membran sel saraf, sehingga sel lebih mudah mengalami pengaktifan.
2) Neuron-neuron hipersensitif dengan ambang untuk melepaskan muatan menurun
dan apabila terpicu akan melepaskan muatan menurun secara berlebihan.
3) Kelainan polarisasi (polarisasi berlebihan, hipopolarisasi, atau selang waktu dalam
repolarisasi) yang disebabkan oleh kelebihan asetilkolin atau defisiensi asam
gama-aminobutirat (GABA).
4) Ketidakseimbangan ion yang mengubah keseimbangan asam-basa atau elektrolit,
yang mengganggu homeostatis kimiawi neuron sehingga terjadi kelainan
depolarisasi neuron. Gangguan keseimbangan ini menyebabkan peningkatan
berlebihan neurotransmitter aksitatorik atau deplesi neurotransmitter inhibitorik.
Perubahan-perubahan metabolik yang terjadi selama dan segera setelah kejang
sebagian disebabkan oleh meningkatkannya kebutuhan energi akibat hiperaktivitas
neuron. Selama kejang, kebutuhan metabolik secara drastis meningkat, lepas muatan
listrik sel-sel saraf motorik dapat meningkat menjadi 1000 per detik. Aliran darah
otak meningkat, demikian juga respirasi dan glikolisis jaringan. Asetilkolin muncul di
cairan serebrospinalis (CSS) selama dan setelah kejang. Asam glutamat mungkin
mengalami deplesi (proses berkurangnya cairan atau darah dalam tubuh terutama
karena pendarahan; kondisi yang diakibatkan oleh kehilangan cairan tubuh
berlebihan) selama aktivitas kejang.

D. MANIFESTASI KLINIS
1. Kejang-kejang, gangguan kesadaran atau gangguan penginderaan
2. Kelainan gambaran EEG
3. Bagian tubuh yang kejang tergantung lokasi dan sifat fokus epileptogen
4. Dapat mengalami aura yaitu suatu sensasi tanda sebelum kejang epileptik (aura
dapat berupa perasaan tidak enak, melihat sesuatu, mencium bau-bauan tidak
enak, mendengar suara gemuruh, mengecap sesuatu, sakit kepala dan
sebagainya)
5. Napas terlihat sesak dan jantung berdebar
6. Raut muka pucat dan badannya berlumuran keringat
7. Satu jari atau tangan yang bergetar, mulut tersentak dengan gejala sensorik
khusus atau somatosensorik seperti: mengalami sinar, bunyi, bau atau rasa yang
tidak normal seperti pada keadaan normal
8. Individu terdiam tidak bergerak atau bergerak secara automatik, dan terkadang
individu tidak ingat kejadian tersebut setelah episode epileptikus tersebut lewat
9. Di saat serangan, penyandang epilepsi terkadang juga tidak dapat berbicara
secara tiba- tiba
10.Kedua lengan dan tangannya kejang, serta dapat pula tungkainya menendang-
menendang
11.Gigi geliginya terkancing
12.Hitam bola matanya berputar- putar
13.Terkadang keluar busa dari liang mulut dan diikuti dengan buang air kecil

E. PENATALAKSANAAN MEDIS
Pengobatan epilepsi adalah pengobatan jangka panjang. Penderita akan
diberikan obat antikonvulsan untuk mengatasi kejang sesuai dengan jenis serangan.
Penggunaan obat dalam waktu yang lama biasanya akan menyebabkan masalah
dalam kepatuhan minum obat (compliance) seta beberapa efek samping yang
mungkin timbul seperti pertumbuhan gusi, mengantuk, hiperaktif, sakit kepala, dll.
 Fenitoin (PHT)
Fenitoin dapat mengurangi masuknya Na ke dalam neuron yang terangsang
dan mengurangi amplitudo dan kenaikan maksimal dari aksi potensial saluran Na
peka voltase fenitoin dapat merintangi masuknya Ca ke dalam neuron pada
pelepasan neurotransmitter.
 Karbamazepin (CBZ)
Karbamazepin dapat menghambat saluran Na . Karbamazepin dapat
memperpanjang inaktivasi saluran Na .juga menghambat masuknya Ca ke dalam
membran sinaptik.
 Fenobarbital (PB)
Fenobarbital adalah obat yang digunakan secara luas sebagai hipnotik,
sedatif dan anastetik. Fenobarbital bekerja memperkuat hambatan GABAergik
dengan cara mengikat ke sisi kompleks saluran reseptor Cl- pada GABAA. Pada
tingkat selular, fenobarbital memperpanjang potensial penghambat postsinaptik,
bukan penambahan amplitudonya. Fenobarbital menambah waktu buka jalur Cl-
dan menambah lamanya letupan saluran Cl- yang dipacu oleh GABA. Seperti
fenitoin dan karbamazepin, fenobarbital dapat memblokade aksi potensial yang
diatur oleh Na . Fenobarbital mengurangi pelepasan transmitter dari terminal
saraf dengan cara memblokade saluran Ca peka voltase.
 Asam valproat (VPA)
VPA menambah aktivitas GABA di otak dengan cara menghambat GABA-
transaminase dan suksinik semialdehide dehidrogenase, enzim pertama dan
kedua pada jalur degradasi, dan aldehide reduktase.
 Gabapentin (GBP)
Cara kerja: mengikat pada reseptor spesifik di otak, menghambat saluran Na
peka voltase, dapat menambah pelepasan GABA.
 Lamotrigin (LTG)
Cara kerja: Menghambat saluran Na peka voltase.
 Topiramate (TPM)
Cara kerja: Menghambat saluran Na , menambah kerja hambat dari
GABA.11
 Tiagabine (TGB)
Cara kerja: menghambat kerja GABA dengan cara memblokir uptake-
nya.Selain pemilihan dan penggunaan optimal dari AED, harus diingat akan efek
jangka panjang dari terapi farmakologik. Karbamazepin, fenobarbital, fenitoin,
primidone, dan asam valproat dapat menyebabkan osteopenia, osteomalasia,
dan fraktur. Fenobarbital dan primidone dapat menyebabkan gangguan jaringan
ikat, mis frozen shoulder da kontraktur Dupuytren. Fenitoin dapat menyebabkan
neuropati perifer. Asam valproat dapat menyebabkan polikistik ovari dan
hiperandrogenisme.

PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK
1. Pungsi Lumbar
Pungsi lumbar adalah pemeriksaan cairan serebrospinal (cairan yang ada di otak dan
kanal tulang belakang) untuk meneliti kecurigaan meningitis. Pemeriksaan ini
dilakukan setelah
kejang demam pertama pada bayi.
a. Memiliki tanda peradangan selaput otak (contoh : kaku leher)
b. Mengalami complex partial seizure
c. Kunjungan ke dokter dalam 48 jam sebelumnya (sudah sakit dalam 48 jam
sebelumnya)
d. Kejang saat tiba di IGD (instalasi gawat darurat)
e. Keadaan post-ictal (pasca kejang) yang berkelanjutan. Mengantuk hingga sekitar 1
jam setelah kejang demam adalah normal.
f. Kejang pertama setelah usia 3 tahun
Pada anak dengan usia > 18 bulan, pungsi lumbar dilakukan jika tampak tanda
peradangan selaput otak, atau ada riwayat yang menimbulkan kecurigaan infeksi
sistem saraf pusat. Pada anak dengan kejang demam yang telah menerima terapi
antibiotik sebelumnya, gejala meningitis dapat tertutupi, karena itu pada kasus
seperti itu pungsi lumbar sangat dianjurkan untuk dilakukan.
2. EEG (electroencephalogram)
EEG adalah pemeriksaan gelombang otak untuk meneliti ketidaknormalan
gelombang. Pemeriksaan ini tidak dianjurkan untuk dilakukan pada kejang demam
yang baru terjadi sekali tanpa adanya defisit (kelainan) neurologis. Tidak ada
penelitian yang menunjukkan bahwa EEG yang dilakukan saat kejang demam atau
segera setelahnya atau sebulan setelahnya dapat memprediksi akan timbulnya
kejang tanpa demam di masa yang akan datang. Walaupun dapat diperoleh
gambaran gelombang yang abnormal setelah kejang demam, gambaran tersebut
tidak bersifat prediktif terhadap risiko berulangnya kejang demam atau risiko
epilepsi.
3. Pemeriksaan laboratorium
Pemeriksaan seperti pemeriksaan darah rutin, kadar elektrolit, kalsium, fosfor,
magnsium, atau gula darah tidak rutin dilakukan pada kejang demam pertama.
Pemeriksaan laboratorium harus ditujukan untuk mencari sumber demam, bukan
sekedar sebagai pemeriksaan rutin.
4. Neuroimaging
Yang termasuk dalam pemeriksaan neuroimaging antara lain adalah CT-scan dan MRI
kepala. Pemeriksaan ini tidak dianjurkan pada kejang demam yang baru terjadi untuk
pertama kalinya.

F. KOMPLIKASI
1. Kerusakan otak akibat hipeksia dan retardasi mental dapat timbul akibat kejang
yang berulang
2. Dapat timbul depresi dan keadaan cemas ( Elizabeth, 2001 : 174 )

G. Diagnosa
Diagnosa keperawatan adalah suatu pernyataan yang menjelaskan respons
manusia (status kesehatan atau resiko perubahan pola) dari individu atau kelompok
dimana perawat secara akuntabilitas dapat mengidentifikasi dan memberikan
intervensi secara pasti untuk menjaga status keehatan menurunkan, membatasi,
mencegah dan merubah. (Nursalam, 2001).
Diagnosa keperawatan yang mungkin muncul pada klien dengan epilepsi
menurut Widagdo, wahyu. 2008, Arif, Muttaqin. 2011, Fransisca B. Batticaca. 2012
adalah:
1. Nyeri akut b.d nyeri kepala sekunder respons pascakejang (Postikal).
2. Resiko cedera b.d kejang berulang, ketidaktahuan tentang epilepsi dan cara
penanganan saat kejang serta penurunan tingkat kesadaran.
3. Kecemasan b.d kejang berulang, penyakit yang diderita.
4. Koping individu tidak efektif b.d depresi akibat epilepsi, stigma sosial yang
berkaitan dengan epilepsi, penyakit yang kronis.
5. Kurang pengetahuan b.d baru pertama didiagnosa, seringnya aktifitas kejang,
status perkembangan dan usia.
6. Defisit perawatan diri b.d kebingungan, malas bangun sekunder respons
pascakejang (postikal).

H. Perencanaan
Perencanaan merupakan suatu proses penyusunan berbagai intervensi
keperawatan yang dibutuhkan untuk mencegah, menurunkan atau mengurangi
masalah-masalah klien. ( Aziz Alimul, 2004).
Intervensi pada epilepsi adalah:
No.
Tujuan Intervensi Rasional
Dx
1. Setelah dilakukan11. Berikan lingkungan11. Menurunkan reaksi
tindakan keperawatan yang aman dan tenang. terhadap rangsangan
keluhan nyeri berkurang eksternal atau sensitivitas
dengan kriteria hasil: terhadap cahaya dan
- Klien dapat tidur menganjurkan klien untuk
dengan tenang. 22. Lakukan manajemen beristirahat.
- Wajah klien tampak nyeri dengan metode22. Membantu menurunkan
rileks. distraksi dan relaksasi (memutuskan) stimulasi
- Klien nafas dalam. sensasi nyeri.
memverbalisasikan 33. Lakukan latihan gerak
penurunan rasa sakit. aktif atau pasif sesuai33. Dapat membantu relaksasi
kondisi dengan lembut otot-otot yang tegang dan
dan hati-hati. dapat menurunkan rasa sakit
atau tidak nyaman.
44. Kolaborasi pemberian44. Diperlukan untuk
analgesik. menurunkan rasa sakit.
2. Setelah dilakukan
1. 1. Kaji tingkat
1. 1. Data dasar untuk
tindakan keperawatan pegetahuan klien dan intervensi selanjutnya.
klien bebas dari cedera keluarga cara
yang disebabkan oleh penanganan kejan
kejang dan penurunan
2. 2. Anjurkan keluarga2. 2. Melindungi klien apabila
kesadran dengan agar mempersiapkan kejang terjadi.
kriteria: lingkungan yang aman
- Klien dan keluarga seperti memasang
mengetahui cara batasan ranjang atau
mengontrol kejang. paan pengaman dan
- Menghindari stimulus alat suction untuk selalu
kejang. berada dekat klien.
- Melakukan
. 3. Anjurkan untuk
pengobatan teratur mempertahankan tirah3. 3. Mengurangi risiko jatuh
untuk menurunkan baring total selama fase atau terluka jika vertigo,
intensitas kejang. akut. sinkope, dan ataksia terjadi.
4. 4. Kolaborasi pemberian4. 4. Terapi medikasi untuk
terapi, fenytoin menurunkan respons kejang
(dilantin). berulang.
3. Setelah dilakukan
1. 1. Bantu klien
1. 1. Ketakutan yang
tindakan keperawatan mengekspresikan rasa berkelanjutan memberikan
ketakutan klien hilang takut. dampak psikologis yang tidak
atau berkurang dengan baik.
kriteria hasil: . 2. Lakukan kerja sama
2. 2. Kerja sama klien dan
- Klien dapat mengenal dengan keluarga. keluarga sangat penting
perasaannya 3. 3. Hindari konflik
3. 3. Konflik dapat
- Klien dapat dengan pasien dan jalin meningkatkan rasa marah,
mengidentifikasi trust dengan baik. menurunkan kerja sama dan
penyebab atau faktor mungkin memperlambat
yang mempengaruhi penyembuhan.
kecemasan atau 4. Ajarkan kontrol
4. 4. Kontrol kejang bergantung
ketakutan yang kejang. pada aspek pemahaman dan
dialaminya. kerja sama klien. Klien
dianjurkan untuk mengikuti
gaya hidup rutin reguler dan
sedang, diet (menghindari
stimulan yang berlebuhan),
latihan dan istirahat tidur.
5. Aktivitas sedang adalah
terapi yang baik karena
5. 5. Beri lingkungan yang penggunaan energi yang
tenang dan suasana berlebihan dapat dihindari.
untuk istirahat. 6. Mengurangi rangsangan
6. 6. Kurangi stimulus eksternal yang tidak perlu.
ketegangan. 6. 7. Keadaan tegang (ansietas,
7. Berikan penjelasan frustasi) mengakibatkan
tentang keadaan kejang pada beberapa klien.
klien/penyakit yang
7. 8. Memberikan respons balik
diderita klien. yang positif. Orientasi dapat
8. 8. Orientasikan klien menurunkan kecemasan.
terhadap prosedur rutin
dan aktifitas yang
diharapkan.

I. Pelaksanaan
Merupakan komponen dari proses keperawatan (Potter & Perry, 2005) adalah
kategori dari perilaku keperawatan di mana tindakan yang di perlukan untuk
mencapai tujuan dan hasil yang di perkirakan dari asuhan keperawatan di lakukan
dan di selesaikan. Sudut pandang teori, implementasi dari rencana asuhan
keperawatan mengikuti komponen perencanaan dari proses keperawatan. Namun
demikian, di banyak lingkungan perawatan kesehatan, implementasi mungkin
dimulai secara langsung setelah pengkajian. Sebagai contoh, implementasi segera
diperlukan ketika perawat mengidentifikasi kebutuhan klien yang mendesak, dalam
situasi seperti henti jantung, kematian mendadak dari orang yang dicintai, atau
kehilangan rumah akibat kebakaran.

J. Evaluasi
Evaluasi merupakan proses keperawatan mengukur respon klien terhadap
tindakan keperawatan dan kemajuan klien kearah pencapaian tujuan (Potter & Perry,
2005). Evaluasi terjadi kapan saja perawat berhubungan dengan klien. Perawat
mengevaluasi apakah perilaku atau respon klien mencerminkan suatu kemunduran
atau kemajuan dalam diagnose keperawatan atau pemeliharaan status yang sehat.
Selama evaluasi, perawat memutuskan apakah langkah proses keperawatan
sebelumnya telah efektif dengan menelaah respon klien dan membandingkannya
dengan perilaku yang disebutkan dalam hasil yang diharapkan.

Você também pode gostar