Você está na página 1de 58

KEJANG DEMAM (4A)

Gambar 1. Etiologi kejang pada anak

Gambar 2. Perbedaan kejang demam simpleks dan kompleks

Gambar 3. Perbedaan kejang demam dan demam disertai kejang


Gambar 4. Algoritme kejang akut dan status kovulsif pada anak

Gambar 5. Algoritme kejang akut dan status kovulsif pada anak (2)
TETANUS (4A)
Catatan:
 Masa inkubasi 8 hari (3-21 hari)
 3 bentuk manisfestasi klinis: lokal dan cephal (jarang dijumpai) , Umum (sering terjadi)
 Tetanus secara umum: mulai dari atas ke bawah trismus, sulit menelan, otot kaku, kejang
 Kejang dapat berlangsyng 3-4 minggu; sembuh total dapat terjadi beberapa bulan

Gambar 1. Patofisiologi tetanus


Gambar 2. Luka rentan tetanus

Gambar 3. Tetanus symptom

Gambar 4. Oposthotonus
Gambar 5. Neonatal tetanus

Tatalaksana Tetanus dr. Kiking (tahun 2004 tapi)


1. Antibiotik
Membunuh bentuk vegetatif dari c.tetani saja
 Dewasa : Parental penicillin 1,2 juta unit/hari selama 10 hari IM dan Anak: Penicillin
dosis 50.000 unit/kgbb/12 jam secara IM 7-10 hari
 Bila sensitif penicillin tetrasiklin dosis 30-40 mg/kgbb/24 jam, tetapi dosis tidak
melebih 2 gram dan diberikan dalam dosis terbagi (4 dosis)
 Bila ada penicillin IV berikan dengan dosis 200.000 unit/kgbb/24 jam, dibagi 6 dosis
selama 10 hari
2. Antitoksin
 HTIG dengan dosis 3.000-6.000 U secara IM dosis tunggal. Tidak boleh diberikan IV
karena TIG mengandung “anti complementary aggregates of globulin” dan bisa
mencetuskan reaksi alergi yang serius
 Jika HTIG tidak ada Tetanus antitoksin (Mungkin ATS) yang berawal dari hewan,
dengan dosis 40.000 U dengan cara pemberiannya NaCL fisiologis dan diberikan
secara IV, pemberian harus diselesaikan dalam waktu 30-45 menit. Setengah dosis
yang tersisa 20.000 U diberikan secara IM pada daerah sebelah luar
3. Tetanus toksoid
 Pemberain tetanus toksoid pertama (TT) dilakukan bersamaan dengan pemberian
antitoksin tetapi pada sisi yang berbeda dengan alat suntik yang berbeda. Pemberian
dilakukan secara IM. Pemberian TT harus dilanjutkan sampai imunisasi dasar terhadap
tetanus selesai
Gambar 6. Petunjuk pencegahan terhadap tetanus pada keadaan luka

Gambar 7. Petunjuk penggunaan antikonvulsan


Gambar 8. Petunjuk lanjutan
Tatalaksana Tetanus (kalbemed)
1. Membuang sumber tetanospasmin
 Luka harus dibersihkan secara menyeluruh dan di debridement untuk mengurangi
muatan bakteri dan mencegah pelepasan toksin lebih lanjut
 Antibiotik  eradikasi bakteri : Metronidazole IV, dosis inisial 15 mg/kgBB
dilanjutkan dengan dosis 30 mg/kgBB/hari setiap 6 jam selama 7-10 hari. Lini kedua:
Penicillin procain 50.000-100.000 U/kgBB/hari selama 7-10 hari. Jika hipersensitif
penicillin dapat diberi Tetracyclin 50 mg/kgBB/hari (untuk anak berumur lebih dari 8
tahun). Sampai saat ini, pemberian penicillin G 100.000 U/kgBB/hari IV selama 6 jam
selama 10 hari direkomendasikan pada semua kasus tetanus. (?)
2. Menetralisasi toksin yang tidak terikat
 Setelah evaluasi awal Human Tetanus Immunoglobulin (HTIG) dengan dosis total
3.000-10.000 Unit IM, dibagi 3 dosis yang sama dan diinjeksikan di 3 tempat berbeda.
Rekomendasi British National Formulary adalah 5.000-10.000 Unit IV. Untuk bayi
dosisnya adalah 500 IU IM dosis tunggal. Sebagian dosis diberikan secara infiltrasi di
tempat sekitar luka; hanya dibutuhkan sekali pengobatan karena waktu paruhnya 25-
30 hari. Bila HTIG tidak tersedia ATS dosis 100.000-200.000 unit diberikan 50.000
unit IM dan 50.000 unit IV pada hari pertama, kemudian 60.000 unit dan 40.000 unit
IM masing-masing pada hari kedua dan ketiga
 Setelah penderita sembuh, sebelum keluar ruah sakit harus diberi imunisasi aktif
degan toksoid karena seseorang yang sudah sembuh dari tetanus tidak memiliki
kekebalan
3. Perawatan penunjang (suportif) sampai tetanospasmin yang berikatan dengan jaringan
telah habis di metabolisme
 Semua pasien yang dicurigai tetanus ICU
 Meminimalisir risiko spasme paroksimal dirawat diruangan gelap dan tenang.
Pasien diposisikan agar mencegah pneumonia aspirasi. Cairan IV harus diberikan,
pemeriksaan elektrolit serta analisis gas darah
 Suction  sekresi bronkus berlebihan
 Trakeostomi untuk menjaga jalan nafas terutama jika ada opistotonus dan
keterlibatan otot-otot panggung, dada, atau distres pernafasan. Kematian akibat
spasme laring mendadak, paralisis diafragma, dan kontrasi otot respirasi tidak
adekuat sering terjadi jika tidak tersedia akses ventilator
 Spasme otot dan rigiditas diazepam 0,1-0,3 mg/kgBB/kali dengan interval 2-4 jam
sesuai gejala klinis, dosis untuk <2 taun adalah 8 mg/kgBB/hari oral dalam dosis 2-3
mg setiap 3 jam. Spasem harus segera dihentikan dengan diazepam 5 mg rektal untuk
BB<10 mg dan 10 mg per rektal untuk BB>10 kg atau IV untuk anak 0,3 mg/kgBB/kali.
Setelah spasem berhenti diazepam rumatan sesuai keadaan klinis
 Alternatif lain untuk bayi (tetanus neonatorum) diberi dosis awitan 0,1-0,2 mg/kgbb
IV untuk menghilangkan spasme akut diikuti infus tetesan tetap 15-40 mg/kgbb/hari.
Setelah 5-7 hari dosis diazepam diturunkan bertahap 5-10 mg/hari dan dapat
diberikan melalui pipa orogastrik. Dosis maksimal adalah 40 mg/kgbb/hari
 Tambahan efek sedasi barbiturate khusus nya phenobarbital dan phenotiazine
seperti chlorpromazine, penggunaannya dapat menguntungkan pasien dengan
gangguan otonom. Phenpbarbital dapat diberikan dengan dosis 120-200 mg mg IV
dan diazepam dapat ditambah terpisah dengan dosis sampai 120 mg/hari.
Chlorpromazine di berikan setiap 4-8 jam dengan dosis dari 4-12 mg bagi bayi sampai
50-150 mg bagi dewasa. Morphine bisa memiliki efek sama dan biasanya digunakan
sebgaia tambahan sedasi benzodiazepine

Tatalaksana Tetanus pediatric (ichrc.org)

1. Pasang jalur IV dan beri cairan dengan dosis rumatan.


2. Berikan diazepam 10 mg/kgBB/hari IV dalam 24 jam atau bolus IV setiap 3 jam (0.5 mL per kali
pemberian), maksimum 40 mg/kgBB/hari.
3. Jika jalur IV tidak terpasang, berikan diazepam melalui rektum.
4. Jika frekuensi napas < 20 kali/menit, obat dihentikan, meskipun bayi masih mengalami spasme.
Jika bayi mengalami henti napas selama spasme atau sianosis sentral setelah spasme, berikan
oksigen dengan kecepatan aliran sedang. Jika belum bernapas spontan lakukan resusitasi dan
jika belum berhasil dirujuk ke rumah sakit yang mempunyai fasilitas NICU.
5. Jika ada, beri human tetanus immunoglobulin 500 IU IM atau tetanus antitoksin 5 000 IU IM
6. Tetanus toksoid 0.5 mL IM diberikan pada tempat yang berbeda dengan tempat pemberian
antitoksin
7. Penisilin prokain 50 000 IU/kgBB/hari IM dosis tunggal atau Metronidazol IV selama 10 hari
(lihat dosis obat untuk bayi baru lahir)
8. Jika terjadi kemerahan dan/atau pembengkakan pada kulit sekitar pangkal tali pusat, atau
keluar nanah dari permukaan tali pusat, atau bau busuk dari area tali pusat, berikan
pengobatan untuk infeksi lokal tali pusat.
HIV AIDS TANPA KOMPLIKASI (4A)

Gambar 1. Alur pemeriksaan Antibodi (A1, A2, A3) pada HIV

Terapi HIV (sumber surat edaran kementrian kesehatan 2018)

1. Indikasi memulai terapi ARV


 Terapi ARV diberikan kepada semua ODHA tanpa melihat stadium klinis dan jumlah
CD4 (termasuk anak <1tahun, 1-10 tahun, remaja, ibu hamil dan dewasa)
 ARV diberikan segera atau tanpa ditunda (dalam hari yang sama dengan diagnosis
sampai 1 minggu) pada pasien yang siap dan tidak ada kontraindikasi klinis. Hasil
pemeriksaan laboratorium lengkap tidak menjadi pra-syarat untuk memulai terapi ARV
2. Panduan terapi
 Dewasa : TDF + 3TC (atau FTC) + EFV dalam bentuk kombinasi dosis tetap (KDT) (?)
 Remaja 10-19 tahun: TDF +3TC (atau FTC) + EFV
 Anak 3-10 tahun: AZT +3TC+EFV
 Anak <3 tahun: (ABC atau AZT) + 3TC+ LPV/r
Pemantauan

1. Pemeriksaan viral load (VL) dilakukan pada 6 dan 12 bulan sejak mulai terapi ARV dan
selanjutnya tiap 12 bulan
2. Pemeriksaan jumlah CD4 dapat dilakukan untuk pemantauan di tempat yang tidak ada akses
pemeriksaan VL dan untuk pemberian kotrimoksasol. Namun tidak menjadi syarat untuk
memulai terapi (?)

Dosis obat ARV (untuk yang anak-anak, susah banget dosisnya)

ABC Abacavir Dewasa : 300 mg tablet tiap 12 jam atau 600 mg PO


sekali sehari

Anak :
Oral solution
>3 bulan : 8 mg/kg PO tiap 12 jam atau 16 mg/kg/hari.
Tidak lebih dari 600 mg/hari

Tablet
14 - 19 kg: 150 mg PO tiap 12 jam atau 300 mg/hari
20 – 24 kg: 150 mg AM & 300 mg PM atau 450 mg/hari
>24 kg : 300 mg PO tiap 12 jam atau 600 mg PO/hari

d4T Stavudine NRTI , Dikurangi penggunaannya karena toksisitasnya


ddl Didanosine
EFV Efavirenz NNRTI, Dewasa : 600 mg PO/hari

ENF (T- Enfuvirtide


20)
FTC Emtricitabine Dewasa : kapsul 200 mg PO /hari atau oral solution 240
mg PO perhari

IDV Indinavir
LPV/r Lopinavir/rionavir Protease Inhibitor (PI), yang dianjurkan di Indonesia

Dewasa : 400 mg/100 mg PO tiap 12 jam atau 800


mg/200 mg PO/hari

NFV Nelfinavir Protease Inhibitor (PI)


NVP Nevirapine NNRTI

Dewasa : dosis awal 200 mg setiap 24 jam selama 14


hari pertama dalam panduan ARV lini pertama bersama
AZT atau TDF + 3TC. Bila tidak ditemukan tanda
toksisitas hati, dosis dinaikan menjadi 200 mg tiap 12
jam pada hari ke 15 dan selanjutnya.

SQV Saquinavir
SMX Sulfametoksasol
TDF Tenovir disoproxil fumarate Dewasa : 300 mg/hari

TMP Trimetropine
ZDV atau Zidovudine (juga dikenal NRTI
AZT dengan AZT)
Dewasa :

 300 mg PO tiap 12 jam atau 200 mg PO tiap 8


jam (600 mg/hari)
 IV: 1 mg/kg/dosis tiap 4 jam (6 kali sehari)

3TC Lamivudine NRTI

Dewasa: Epivir 300 mg PO / hari atau 150 mg tiap 12


jam

Kombinasi obat
1. Tenofovir 300 mg + Lamivudine 150 mg + Efavirenz 600 mg
2. Lamivudine 150 mg + Zidovudine 300 mg + efavirenz 600 mg
3. Lamivudine 150 mg + Zidovudine 300 mg + Nevirapine 150 mg
4. Tenofovir 300 mg + Lamivudine 150 mg + Nevirapine 150 mg
5. Tenofovir 300 mg + Emtricitabine 200 mg + Efavirenz 600 mg
6. Tenovir 300 mg, Emtricitabine 200 mg, Nevirapine 150 mg
7. Tenofovir 300 mg + Lamifudine 150 mg + Lopinavir 200 mg/Ritonavir 50 mg
BELLS PALSY (4A)

Bells palsy
 Bells palsy juga bisa mengenai kedua sisi wajah
 Gejala: kelumpuhan otot wajah pada satu sisi tiba-tiba (beberapa jam sampai maksimal 7
hari), nyeri disekitar telinga, rasa bengkak atau kaku pada wajah walaupun tidak adagangguan
sensorik. Kadang disertai hiperakusis, berkurangnya produksi air mata, hipersalivasi dan
berubahnya pengecapan
 Perbedaan dengan kelumpuhan sentral: kelumpuhan sentral terjadi hanya pada bagian
bawah wajah saja, otot dahi masih dapat berkontraksi karena dipersarafi oleh korteks sisi ipsi
dan kontra lateral sedangkan kelumpuhan perifer terjadi pada satu sisi wajah.
 Pemeriksaan :
o Tes gustometri  menilai fungsi pengecapan
o Tes schirmer  menilai perbedaan produksi air mata
o Penilaian house-brackmann (derajat kelumpuhan nervus fasialis)

Gambar 1. House brackman scale


Tatalaksana Bells palsy
Golden period : dalam waktu 12 jam harus segera dibawa ke rumah sakit dan diberikan kortikosteroid
(kata dr. Cut AA). Karena tatalaksana yang cepat bisa mencegah kelumpuhan parsial menjadi komplit,
meningkatkan penyembuhan komplit, menurunkan insiden sinkinesis dan kontraktur serta
mencegah kelainan pada mata
1. Tatalaksana menurut Jacky Munilson dkk (diagnosis dan penatalaksanaan bell’s palsy) pada
dewasa:
 Prednison tablet dosis 60 mg/hari dibagi dalam 4 dosis (untuk 5 hari)  kontrol hari ketiga
 terdapat perbaikan score house brackmann setelah hari kelima nya diturunkan menjadi
40 mg/hari dibagi dalam 4 dosis (untuk 5 hari selanjutnya)  setelah 10 hari pemberian
tersebut, terdapat perbaikan  dosis kortikosteorid diturunkan secara bertahap setiap 3 hari
sampai mencapat dosis minimal (1x5 mg)
 Antiviral : Acyclovir atau jenis lainnya seperti valaciclovir, famciclovir dan sorivudine. Dosis
acyclovir 400 mg 5 kali sehari selama 10 hari atau valaciclovir 500 mg 2 kali sehari selama 5
hari. Jika penyebabnya diduga herpes zooster makan acyclovir dinaikan menjadi 800 mg 5 kali
sehari atau valaciclovir 1 gram 2 kali sehari
 Pemberian dalam 72 jam akan memberikan efek yang lebih baik. Dan dari studi lain
menyebutkan tidak terdapat perbedaan lama penyembuhan antara pemberian obat secara
oral atau intravena

2. Tatalaksana dari http://update.neurologi.org/artikel/bell-palsy-7.html

Walaupun tidak semua penelitian setuju, pemberian kortikosteroid aman dan mungkin efektif untuk
meningkatkan keluaran fungsional pada pasien dengan Bell Palsy. Sebuah meta analisis secara jelas
menunjukkan hasil yang bermakna secara statistik pada pasien dengan IFPN (Ramsey dkk, 2000)
 Prednisone (1 mg/kgBB/hari) 80 mg sehari selama 5 hari kemudian ditapering off tergantung
dari progresifitas kelemahan yang bertambah berat atau stabil. Bila stabil, hentikan steroid
tanpa tapering atau tapering cepat dalam 4 hari berikutnya sampai total dosis 530 mg. Bila
bertambah berat, tapering dalam 7 hari berkutnya sampai total dosis 680 mg. Catatan: 5 mg
prednisone equivalen dengan 0.6 mg-0.75 mg betamethasone, 25 mg of cortisone, 0.75 mg
dexamethasone, 20 mg hydrocortisone, 4 mg methylprednisolone, 5 mg prednisolone, dan 4
mg triamcinolone.
 Pemberian terapi antivirus masih kontroversi. Penelitian menduga acyclovir kombinasi dengan
prednisone kemungkinan efektif dalam meningkatkan keluaran fungsional. Acyclovir, 400 mg
lima kali sehari selama 7-10 hari dapat diberikan bila fungsi ginjal normal. Valacyclovir, 1 gr tiga
kali sehari sering digunakan karena frekuensi pemberian yang lebih jarang.
Penangan akan lebih efektif bila diberikan dalam waktu kurang dari 72 jam dan kurang efektif setelah
7 hari (Holland dan Weiner, 2004).
Gambar 1. Pengobatan Bells Palsy
3. Tatalaksana berdasarkan Bell’s palsy oleh Moch Bahrudin FK Univ. muhammadiah malang
1. Istirahat terutama saat keadaan akut
2. Medikamentosa : prednison : pemberian sebaiknya selekas-lekasnya terutama pada kasus BP
secara elektrik menunjukan denervasi. Tujuannya untuk mengurangi edem dan mempercepat
reinervasi. Dosis dianjurkan 1 mg/kgbb/hari sampai ada perbaikan, kemudian dosis diturunkan
bertahan selama 2 minggu
3. Fisioterapi : sering dikerjakan bersama-sama pemberian prednison, dapat dianjurkan pada
stadium akut. Tujuan fisioterapi untuk mempertahankan tonus otot yang lumpuh. Cara yang
sering digunakan yaitu: mengurut/massage otot wajah selama 5 menit pagi-sore atau dengan
faradisasi (?)
4. Operasi: umumnya tidak dianjurkan pada anak-anak karena dapat menimbulkan komplikasi
lokal maupun intracranial. Tindakan operatif seperti dekompresi nervus fascialis (membuka
kanalis fasialis pars piramidalis mulai dari foramen stilomastoideum nerve graft operasi plastik
untuk kosmetik (muscle sling, tarsoraphi). Tindakan operatif dilakukan apabila:
a. Tidak ada penyembuhan spontan
b. Tidak terdapat perbaikan dengan pengobatan prednisone
c. Pada pemeriksaan elektrik terdapat denervasi total
Prognosis Bells palsy
85% penderita menunjukan tanda perbaikan pada minggu ketiga setelah onset. 15% kesembuhan
pada 3-6 bulan kemudian. Bahkan ada yang sudah sembuh sempurna dalam waktu 2 bulan
Gambar 1. Perbedaan Central facial palsy (contohnya stroke) dan Peripheral facial palsy (bells palsy)

Gambar 2. Perbedaan Central facial palsy (contohnya stroke) dan Peripheral facial palsy (bells palsy)
Gambar 3. Perbedaan Upper dan Lower motor neuron lesion
VERTIGO (BENIGN PAROXYMAL POSITION VERTIGO) (4A)

Diagnosis dan Pemeriksaan standar BPPV:


Diagnosis BPPV tipe kanal posterior ketika nistagmus posisional paroxymal dapat
diprovokasi dengan manuver dix-hallpike. Terjadi
setelah manuver. Kriteria berikut harus
terpenuhi:
 Vertigo dgn nistagmus diprovokasi tes
dix-hallpike
 Ada periode laten antara selesainya tes
dix-hallpike dengan onset vertigo dan
nistagmus
 Vertigo dan nistagmus yang diprovokasi
meningkat dan kemudian hilang dalam
periode waktu 60 detik sejak onset
nistagmus
Diagnosis BPPV tipe kanal lateral (horisontal)  Supine roll test atau supine head turn
manuver (Pagnini McClure manuever)
 Tapi bisa juga dix-hallpike
Temuan nistagmus yang potensial dapat terjadi
pada manuver ini:
1. Tipe Geotrofik
2. Tipe Apogeotrofik
Diagnosis BPPV tipe kanal Anterior dan Tipe SUSAAAH BANGET UDAHLAH YA CAPEK AING
Polikanalikular

Pemeriksaan standar adalah Dix-Hallpike dan tes kalori:


1. Tes Dix Hallpike
Tes ini tidak boleh dilakukan pada pasien yang memiliki masalah dengan leher dan punggung.
Tujuannya adalah untuk memprovokasi serangan vertigo dan untuk melihat adanya nistagmus.
Cara melakukannya sebagai berikut :
 Pertama-tama jelaskan pada penderita mengenai prosedur pemeriksaan, dan vertigo
mungkin akan timbul namun menghilang setelah beberapa detik.
 Penderita didudukkan dekat bagian ujung tempat periksa, sehingga ketika posisi
terlentang kepala ekstensi ke belakang 300-400, penderita diminta tetap membuka
mata untuk melihat nistagmus yang muncul.
 Kepala diputar menengok ke kanan 450 (kalau kanalis semisirkularis posterior yang
terlibat). Ini akan menghasilkan kemungkinan bagi otolith untuk bergerak, kalau ia
memang sedang berada di kanalis semisirkularis posterior.
 Dengan tangan pemeriksa pada kedua sisi kepala penderita, penderita direbahkan
sampai kepala tergantung pada ujung tempat periksa.
 Perhatikan munculnya nistagmus dan keluhan vertigo, posisi tersebut dipertahankan
selama 10-15 detik.
 Komponen cepat nistagmus harusnya „up-bet‟ (ke arah dahi) dan ipsilateral.
 Kembalikan ke posisi duduk, nistagmus bisa terlihat dalam arahyang berlawanan dan
penderita mengeluhkan kamar berputar kearah berlawanan.
 Berikutnya manuver tersebut diulang dengan kepala menoleh ke sisi kiri 450 dan
seterusnya.
Pada orang normal nistagmus dapat timbul pada saat gerakan provokasi ke belakang,
namun saat gerakan selesai dilakukan tidak tampak lagi nistagmus. Pada pasien BPPV
setelah provokasi ditemukan nistagmus yang timbulnya lambat, 40 detik, kemudian
nistagmus menghilang kurang dari satu menit bila sebabnya kanalitiasis, pada kupulolitiasis
nistagmus dapat terjadi lebih dari satu menit, biasanya serangan vertigo berat dan timbul
bersamaan dengan nistagmus.
2. Tes Kalori
Tes kalori ini dianjurkan oleh Dix dan Hallpike. Pada cara ini dipakai 2 macam air, dingin dan panas.
Suhu air dingin adalah 300C, sedangkan suhu air panas adalah 440C. Volume air yang dialirkan ke
dalam liang telinga masing-masing 250 ml, dalam waktu 40 detik. Setelah air dialirkan, dicatat lama
nistagmus yang timbul. Setelah telinga kiri diperiksa dengan air dingin, diperiksa telinga kanan
dengan air dingin juga. Kemudian telinga kiri dialirkan air panas, lalu telinga dalam. Pada tiap-tiap
selesai pemeriksaan (telinga kiri atau kanan atau air dingin atau air panas) pasien diistirahatkan
selama 5 menit (untuk menghilangkan pusingnya).

Tatalaksana (Untuk THT baca panduan khusus bukunya ya)


1. Non farmakologi
Manuver reposisi partikel/ particle repositioning maneuver (PRM)  dilakukan oleh dokter
spesialis THT karena bisa menimbulkan efek samping seperti mual, muntah, vertigo dan
nistagmus karena adanya debris otolitith yang tersumbat saat berpindah ke segmen yang lebih
sempit misalnya dari ampula ke kanal bifurcasio. Setelah manuver hendaknya pasien tetap
berada pada posisi duduk miimal 10 menit untuk menghilangkan risiko jatuh. Tujuan manuver
adalah untuk mengembalikan partiekl ke posisi awalnya yaitu pada makula utrikulus. Contoh
manuver:
 Manuver epley  paling sering digunakan pada kanal vertikal. Pasien diminta untuk
menolehkan kepala ke sisi yang sakit sebesar 45ᵒ lalu pasien berbaring dengan kepala
tergantung dan dipertahankan 1-2 menit. Lalu kepala ditolehkan 90ᵒ ke sisi sebaliknya
dan posisi supinasi berubah menjadi lateral dikubitus dan dipertahankan 30-60 detik.
Setelah itu pasien mengistirahatkan dagu pada pundaknya dan kembali ke posisi duduk
secara perlahan
 Manuver semont  manuver ini diindikasikan untuk pengobatan cupulolithiasis kanan
posterior. Jika kanal posterior terkena, pasien diminta duduk tegak, lalu kepala
dimiringkan 45° ke sisi yang sehat, lalu secara cepat bergerak ke posisi berbaring dan
dipertahankan selama 1-3 menit. Ada nistagmus dan vertigo dapat diobservasi. Setelah
itu pasien pindah ke posisi berbaring di sisi yang berlawanan tanpa kembali ke posisi
duduk lagi.
 Manuver Lempert  manuver ini dapat digunakan pada pengobatan BPPV tipe kanal
lateral. Pasien berguling 360° yang dimulai dari posisi supinasi lalu pasien menolehkan
kepala 90° ke sisi yang sehat, diikuti dengan membalikkan tubuh ke posisi lateral
dekubitus. Lalu kepala menoleh ke bawah dan tubuh mengikuti ke posisi ventral
dekubitus. Pasien kemudian menoleh lagi 90° dan tubuh kembali ke posisi lateral
dekubitus lalu kembali ke posisi supinasi. Masing-masing gerakan dipertahankan
selama 15 detik untuk migrasi lambat dari partikel-partikel sebagai respon terhadap
gravitasi.
 Forced Prolonged Position  manuver ini digunakan pada BPPV tipe kanal lateral.
Tujuannya adalah untuk mempertahankan kekuatan dari posisi lateral dekubitus pada
sisi telinga yang sakit dan dipertahankan selama 12 jam.
 Brandt-Daroff exercise  manuver ini dikembangkan sebagai latihan untuk di rumah
dan dapat dilakukan sendiri oleh pasien sebagai terapi tambahan pada pasien yang
tetap simptomatik setelah manuver Epley atau Semont. Latihan ini juga dapat
membantu pasien menerapkan beberapa posisi sehingga dapat menjadi kebiasaan.
Gambar 1. Manuver Epley

Gambar 2. Manuver semont


Gambar 3. Manuver lempert

Gambar 4. Forced Prolonged Position

Gambar 5. Brandt-Daroff exercise


2. Farmakologi: tidak rutin dilakukan. Beberapa pengobatan hanya diberikan untuk jangka
pendek untuk gejala-gejala vertigo, mual dan muntah yang berat yang dapat terjadi pada
pasien BPPV, seperti setelah melakukan PRM. Obat tersebut golongan supressant vestibular

Betahistine HCL Dosis umum 24-48 mg per hari. 8 mg tablet: 1-2


tablet 3 x sehari
Betahistine Mesilate Dosisi 6-12 mg 3 x sehari

3. Operasi : kronik dan sangat sering mendapat serangan BPPV yang hebat, bahkan setelah
melakukan manver-manuver diatas. Indikasi: pada intactable BPPV, yang biasanya mempunyai
klinis penyakit neurologi vestibular, tidak seperti BPPV biasa. Dua pilihan intervensi dengan
teknik operasi yang dipilih, yaitu:
a. Singular neurectomy (transeksi saraf ampula posterior)
b. Oklusi kanal posterior semisirkular  lebih dipilih karena singular neurectomy berisiko
kehilangan pendengaran yang tinggi

Vertigo dan jenis-jenisnya:

Gambar 6. Jenis-jenis vertigo


Gambar 7. Jenis-jenis dizziness

Gambar 8. Perbedaan Vertigo Vestibular dan non vestibular

Gambar 9. Perbedaan Vertigo Vestibular perifer dan sentral


Gambar 10. DD vertigo perifer
Gambar 11. DD vertigo sentral
MIGRAIN (4A)
Migrain
Pemicu Migrain
Multifaktorial:
 Faktor hormonal (menstruasi, ovulasi, kontrasepsi oral, penggantian hormon)
 Diet (alkohol, daging yang mengandung nitrat, MSG, aspartam, cokelat, keju yang sudah
lama/basi, tidak makan, puasa, minuman kafein)
 Psikologis (stres, kondisi setelah stres/liburan akhir minggu, cemas, takut, depresi)
 Lingkungan fisik (cahaya menyilaukan, cahaya terang, stimulasi visual, sinar
berpendar/berpijar, bau yang kuat, perubahan cuaca, suara bising, ketinggian, mandi
keramas)
 Tidur (kurang idur, terlalu banyak tidur)
 Obat-obatan (atenolol, kafein, simetidin, danazol, diklofenak, estrogen, H2-receptor
blockers, histamin, hidralazin, indometasin, nifedipin, nitrofurantoin, nitrogliserin, etinil
estradiol, ranitidin, reserpin)
 Faktor lain (trauma kepala, latihan fisik, kelelahan)

Migrain tanpa aura Migrain dengan aura


HIS (international headache society) a. Setidaknya dua serangan memenuhi kriteria
a. Setidaknya terdapat 5 kali serangan yang B
memenuhi kriteria B-D b. Setidaknya terdapat 3 dari 4 karakteristik
b. Serangan sakit kepala berlangsung 4-72 berikut ini:
jam jika tidak diobati ataupun diobati o Satu atau lebih gejala aura yang
namun tidak membaik reversibel yang menandakan adanya
c. Sakit kepala setidaknya memiliki 2 dari 4 disfungsi korteks serebral fokal dan atau
karakteristik dibawah ini batang otak
o Lokasinya unilateral o Setidaknya terdapat satu gejala aura
o Sifatnya berdenyut yang terjadi bertahap dalam 4 menit,
o Intensitasnya ringan sampai atau 2 atau lebih gejala yang terjadi
berat berurutan
o Memberat dengan naik tangga o Tidak terdapat gejala aura yang
atau aktifitas rutin sejenisnya berlangsung lebih dari 60 menit. Jika
d. Selama terjadinya sakit kepala, terdapat lebih dari satu gejala , durasi
setidaknya terdapat satu darihal-hal terjadinya aura akan meningkat secara
dibawah ini: proporsional (?)
o Mual dan atau muntah
o Fotofobia dan fonofobia
BEBERAPA PILIHAN ALUR PENGOBATAN MIGRAIN
Derajat Migrain Diagnosis Terapi
Migrain ringan Sakit kepala berdenyut NSAID
kadang-kadang
Tidak ada gangguan Kombinasi analgetik
fungsi berat (?) Agonis 5HT 1 (triptan) oral (jika
tidak mempan juga)
Migrain moderat Sakit kepala moderat Agonis 5 HT 1 oral, nasal atau
sampai berat subkutan
Mual (umum terjadi) Antagonis dopamin oral
(antiemetik)
Terdapat gangguan
fungsi
Migrain berat Sakit kepala berat. 3 Agonis 5 HT1 SC, IM atau IV
kali perbulan
Terdapat gangguan Antagonis dopamin IM atau IV
fungsi yang signifikan

Gambar 1. Bagan Pengobatan Migrain 1

Gambar 2. Bagan Pengobatan Migrain 2


Gambar 3. Bagan Pengobatan Migrain 3
Obat migrain non spesifik
Nama obat Dosis (mg) Level of evidence Efek smaping
Asam asetilsalisilat 1.000 oral A Saluran cerna
(ASA)
Asam asetilsalisilat 1.000 IV A Saluran cerna
(ASA)
Ibuprofen 200-800, oral A Saluran cerna
Naproksen 500-1.000, oral A Saluran cerna
Diklofenak 50-100, oral A Saluran cerna
Parasetamol 500-1.000 A Gagal ginjal, gagal hati
ASA + PCT+kafein 250+250+50 A Saluran cerna
Metamizol 1.000 oral B Gagal ginjal, gagal hati
1.000 IV B Agranulositosis
Fenazon 1.000 oral B Hipotensi
Asam tolfenamat 200, oral B Gagal ginjal, gagal hati,
Saluran cerna

Obat abortif migren spesifik – Triptan (lebih dipilih dari ergot)


Nama obat Dosis (mg) Dosis maksimal Level of evidence
Sumatripatan 25, 50, 100 mg 200 mg A
Rizatriptan 5,10 mg 30 mg A
Zolmitriptan 2,5 , 5 mg 10 mg A
Naratriptan 1,2, 5 mg 5 mg A
Almotriptan 12,5 mg 25 mg A
Frovatriptan 2,5 mg 7,5 mg A
Eletriptan 20-40 mg 80 mg A

Ergotamin tartrat
Dihydroergotamine 2 mg (oral dan
suppositoria)

Obat Antiemetik
Nama obat Dosis (mg) Level of Efek samping
evidence
Metoklopramid 10-20 mg PO B Diskinesia; Kontraindikasi pada
(Untuk dewasa dan 20 mg (supp) anak, kehamilan, penggunaan
remaja) analgesik
10 mg (im, iv, sc)
Domperidon (anak-anak) 20-30 mg (po) B Lebih ringan dari metoklopramid;
dapat diberikan pada anak
INSOMNIA (4A)

Penyebab Insomnia:
1. Insomnia primer : tidak jelas penyebabnya
2. Insomnia sekunder: oleh kondisi medis (penyakit paru, jantung, nyeri, sesak, DM), gangguan
psikiatri (cemas, depresi, skizofrenia, gangguan bipolar) atau obat-obatan (beta-bloker,
bronkodilator dan nikotin)
3. 3P’s insomnia akut: Predisposition (ansietas, depresi, gangguan lain), Precipitation (stres,
perubahan dalam kehidupan), dan Perpetuation (kebiasaan tidur yang buruk)
Diagnosis :
Keluhan tentang tidur : singkat atau kurang, tidak pulas, mudah terbangun, tidak menyegarkan
Lama keluhan? Akut atau kronik ? kronik menetap lebih ari satu bulan
Klasifikasi :
1. Sleep initiating insomnia
2. Sleep maintaining insomnia
3. Early morning insomnia or short period of sleep
4. Non-restorative sleep (multiple awakenings, combination of above patterns)
Derajat :
o Ringan : tidak ada gangguan dengan kehidupan sosial atau kerjanya
o Sedang : gangguan sosail atau kerja ringan-sedang
o Berat : sudah parah

Insomnia pada usia lanjut


dikarenakan pertambahan umur menyebabkan terjadinya perubahan pola tidur. Pelajari sleep
architecture dan ritme sirkadiannya ya.
Terapi non-farmakologi usia lanjut atau tidak: cari juga penyebab utamanya
Behavioral Therapies
Stimulus control Pasien diedukasi untuk menggunakan tempat tidur hanya untuk tidur dan
menghindari aktifitas lain seperti membaca dan menonton TV di tempat
tidur. Ketika mengantuk pasien datang ke tempat tidur, tapi jika selama 15-
20 menit berada disana pasien tidak bisa tidur, maka pasien harus bangun
dan melakukan aktifitas lain sampai merasa mengantuk baru kembali ke
tempat tidur. Kamar harus tenang. Harus dikombinasikan dengan sleep
hygiene dan terapi relaksasi supaya bisa bermanfaat tidak hanya untuk
insomnia primer tapi juga insomnia sekunder.
Sleep restriction Mengurangi frekuensi tidur dan meningkatkan sleep eficiency. Pasien
diedukasi agar tidak tidur terlalu lama dengan mengurangi frekuensi
berada di tempat tidur. Terlalu di tempat tidur akan menyebabkan pola
tidur jadi terpecah-pecah. Pada pasien usia lanjut, yang sudah tidak
beraktifitas lebih senang menghabiskan waktunya di tempat tidur namun,
berdampak buruk karena pola tidur menjadi tidak teratur.

Sleep higiene Olahraga secara teratur di pagi hari, tidur secara teratur, melakukan
aktivitas yang merupakan hobi dari usia lanjut, mengurangi konsumsi
kafein, mengatur waktu bangun pagi, menghindari rokok dan minum
alkohol 2 jam sebelum tidur dan tidak makan daging terlalu banyak sekitar
2 jam sebelum tidur

Terapi relaksasi Pada beberapa usia lanjut mengalami kesulitan untuk tidur kembali setelah
terjaga. Metode relaksasi meliputi: melakukan relaksasi otot, guided
imagery, latihan pernafasan dengan diafragma, yoga atau meditasi. Pada
pasien usia lanjut sangat sulit melakukan metode ini karena tingkat
kepatuhannya sangat rendah

Cognitive behavioral Kombinasi antara stimlus control, sleep restriction, terapi kognitif dengan
therapy atau tanpa terapi relaksasi. Terapi ini bertujuan untuk mengubah
maladaptive sleep belief menjadi adaptive sleep belief. Contoh: pasien
memiliki kepercayaan bahwa harus tidur selama 8 jam setiap malam, jika
kurang makan pasien merasa kualitas tidurnya menurun. Hal ini harus
dirubah mengingat yang menentukan kualitas tidur tidak hanya durasi
tetapi kedalaman tidur.

Prinsip terapi farmakologi:


o Menggunakan dosis yang rendah tetapi efektif
o Dosis yang diberikan bersifat intermitten (3-4 kali dalam seminggu)
o Pengobatan jangka pendek (3-4 minggu)
o Penghentian terapi tidak menimbulkan kekambuhan pada gejala insomnia
o Memiliki efek sedasi yang rendah sehingga tidak mengganggu aktifitas sehari-hari pasien

Terapi farmakologi aman untuk usia lanjut


*untuk yang gak usia lanjut kayaknya bisa juga
Benzodiazepine (*utamakan yang short acting) Non benzodiazepine
Temazepam (intermediatte acting) 15-30 mg Zalepon 5-10 mg, waktu paruh hanya 1 jam
setiap malam sering dipakai karena memiliki
waktu paruh 8-20 jam
Zolpidem 5-10 mg, KI pada sleep related
breathing disorder dan gangguan hati. ES: mual,
dizziness, dan efek ketergantungan
Eszopiclone 2mg
Melatonin Reseptor agonist (Ramelton) 
bagus untuk kronik primary insomnia
Sedating antidepressant  diakibatkan oleh
depresi juga. Contoh obat amitriptilin

Gambar 1. Benzodiazepine
Gambar 2. Efek klinis Benzodiazepine
*AED: anti epileptic drug, DTs: delirium tremens
Gambar 1. Alur Treatment insomnia (agak susah cari guideline nya emang)
URTIKARIA AKUT (4A)
Urtikaria akut <6 minggu. Harus dibedakan dengan peninggian kulit atau angioedema, seperti tes
tusuk kulit, reaksi anafilaksis, sindrom autoinflamasi dan hereditary angioedema.
Tabel 1. Klasifikasi urtikaria berdasarkan ada atau tidaknya faktor pencetus

Gejala harus memenuhi kriteria dibawah ini:


1. Ditemukan edema sentral dengan ukuran bervariasi, dan bisa disertai eritema di sekitarnya
2. Terasa gatal atau kadang-kadang sensasi terbakar
3. Umumnya dapat hilang dalam 1-24 jam, ada yang <1 jam
Tatalaksana Urtikaria
Subtipe Terapi Alternatif
Urtikaria spontan akut Antihistamin H1 non Prednisolon 2x20 mg/hari 4 hari
sedatif
Urtikaria kronis spontan Antihistamin H1 non Prednisolone 50 mg/hari selama 3 hari; antihistamin-H2 dosis
sedatif tunggal 5 hari
Tingkatkan dosis sampai Kombinasi antihistamin H-l non-sedatif dengan antihistamin-H2
4x (apabila tidak (Cimetidine).
membaik setelah 2 Monoterapi: Antidepresan trisiklik (doxepin), Ketotifen,
minggu) Hydroxychloroquine,
Dapsone, Sulfasalazine, Methotrexate, Kortikosteroid
Pilihan terapi lain
Terapi kombinasi: Antihistamin-Hl non-sedatif dan Stanazolol
Antihistamin-Hl non-sedatif dan Zafirhikast Antihistamin-Hl
non-sedatif
dan Mikofenolat mofetil Antihistamin-Hl non-sedatif dan
narrowband
UV-B Antihistamin-Hl non-sedatif dan Omalizumab
Monoterapi: Oxatomide, Nifedipin, Warfarin, Interferon,
Plasmafaresis
Imunoglobulin, Injeksi whole blood autologus
Urtikaria fisik Menghindari stimulus
Urtikaria Antihistamin H1 non Ketotifen; narrowband UV-B
dermografisme sedatif
simptomatis
Delayed pressure Antihistamin H1 non Terapi kombinasi:
urticaria sedatif (cetirizine) Montelukast dan antihistamin-Hl non-sedatif (Loratadine)
Monoterapi: Prednisolone 20-40mg
Pilihan terapi lain
Terapi kombinasi: Ketotifen dan nimesulide
Monoterapi: Klobetasol propionat topikal, Sulfasalazine
Urtikaria dingin Antihistamin H1 non Dicoba dengan penicillin i.m/p.o atau doksisiklin p.o
sedatif Induksi toleransi fisik
Tingkatkan dosis sampai Pilihan terapi lain
4x lipat bila perlu Cyproheptadine, Ketotifen, Montelukast
Urtikaria solar Antihistamin H1 non Induksi toleransi fisik
sedatif Pilihan terapi lain
Plasmafaresis - PUVA, fotofaresis, pertukaran plasma, IVIGs,
Omalizumab
Urtikaria kolinergik Antihistamin-Hl “Exercise tolerance”
nonsedatif Pilihan terapi lain
Tingkatkan dosis sampai Ketotifen, Danazol Omalizumab
4x lipat bila perlu

Jenis obat
Obat Keterangan
Antihitsamin H1 non Azelastine, bilastine, cetirizine, Apabila keluhan masih menetap setelah terapi 2
sedatif/generasi kedua deslorataadine, ebastine, fexofenadine, minggu, maka dosis dapat ditingkatkan sampai 4x
levocetirizine, loratadine, mizolastine, lipat dosis awal yang diberikan.
dan rupatadine
Antihistamine generasi pertama sudah jarang
Cetirizine : digunakan, hanya direkomendasikan sebagai
Dewasa 1x10 mg PO tablet terapi tambahan urtikaria kronis yang tidak
Anak 6 bulan-2 tahun: 2,5 mg PO (1/2 terkontrol dengan antihistamin generasi kedua.
sendok teh) 1x1/2 cth Antihistamin generasi pertama sebaiknya
Anak 2-6 tahun: 2,5-5 mg PO (kasih aja diberikan dosis tunggal malam hari karena
2,5 mg 2x1/2 cth) mempunya efek sedatif
Anak >6 tahun: 5-10 mg PO 1x1

Loratadine:
Dewasa: 10 mg PO 1x1 atau 5 mg 2x1 PO
(diinternet gak ada 5 mg tablet)
Anak usia 2-5 tahun: 5 mg 1x1 cth
sirup BB<30 kg; 10 mg 2x1 cth BB>30
kg

Sediaan cetirizin dan loratadine sama:


10 mg tab
5mg/5mL syr
Antagonis H2 Cimetidine Diberikan dalam kombinasi dengan antagonis H1
pada urtikaria kronis. Meskipun efikasinya
rendah, beberapa ahli berpendapat bisa
diberikan sebelum terapi lini kedua
Antagonis reseptir Dapat dicoba jika tidak respon pengobatan
leukotrien antihistamin
Kortikosteroid Hanya pada urtikaria akut atau eksaserbasi akut
urtikaria kronis. Berikan dalam dosis terendah.
Salah satu kortikosteroid yang disarankan adalah
prednison 15 mg/hari diturunkan 1 mg setiap
minggu
Agen anti-inflamasi Dapson, sulfasalazine, hidrosiklorokuin,
kolkisin
Imunosupresan Siklosporin, azatioprin, metrotreksat,
siklofosfamid, mikofenolat mofetil
Agen biologis Omalizumab

Figure 1. Alur pengobatan urtikaria


MASTITIS (4A)

Statis ASI (saat ASI menetap dibagian tertentu payudara lalu saluran tersumbat dan payudara
bengkak) mastitis tanpa infeksi (bila ASI tidak juga segera dikeluarkan , akan terjadi peradangan
jaringan payudara) mastitis terinfeksi (bila terjadi infeksi bakteri). Kumpulan gejala:
1. Demam dengan suhu lebih dari 38o C, mengigil
2. Nyeri atau ngilu di seluruh tubuh
3. Payudara menjadi kemerahan, tegang, panas, bengkak, sangat nyeri
4. Natrium dalam ASI >> membuat bayi menolak menyusu karena ASI asin
5. Timbul garis-garis merah ke arah ketiak

Gambar 1. Mastitis

Faktor risiko mastitis:


Riwayat mastitis, puting lecet (menyebabkan timbulnya rasa nyeri yang membuat kebanyakan ibu
menghindari pengosongan payudara secara sempurna), frekuensi menyusui yang jarang atau waktu
menyusui yang pendek, biasanya mulai terjadi pada malam hari saat ibu tidak memberikan bayinya
minum sepanjang malam atau pada ibu yang menyusui dengan tergesa-gesa, pengosongan ayudara
yang tidak sempurna, pelekatan bayi pada payudara yang kurang baik (Bayi yang hanya mengisap
puting (tidak termasuk areola) menyebabkan puting terhimpit diantara gusi atau bibir sehingga aliran
ASI tidak sempurna), Ibu atau bayi sakit, frenulum pendek, produksi ASI yang terlalu banyak, berhenti
menyusu secara cepat/ mendadak, misalnya saat bepergian, penekanan payudara misalnya oleh bra
yang terlalu ketat atau sabuk pengaman pada mobil, sumbatan pada saluran atau muara saluran oleh
gumpalan ASI, jamur,serpihan kulit, dan lain-lain, penggunaan krim pada putting, iIbu stres atau
kelelahan, ibu malnutrisi (Hal ini berhubungan dengan daya tahan tubuh yang rendah)
Pencegahan :*mohon maap, agak susah disingkat
 Pencegahan terhadap kejadian mastitis dapat dilakukan dengan memperhatikan faktor risiko
di atas. Bila payudara penuh dan bengkak (engorgement), bayi biasanya menjadi sulit melekat
dengan baik, karena permukaan payudara menjadi sangat tegang. Ibu dibantu untuk
mengeluarkan sebagian ASI setiap 3 - 4 jam dengan cara memerah dengan tangan atau pompa
ASI yang direkomendasikan. Sebelum memerah ASI pijatan di leher dan punggung dapat
merangsang pengeluaran hormon oksitosin yang menyebabkan ASI mengalir dan rasa nyeri
berkurang. Teknik memerah dengan tangan yang benar perlu diperlihatkan dan diajarkan
kepada ibu agar perahan tersebut efektif. ASI hasil perahan dapat diminumkan ke bayi dengan
menggunakan cangkir atau sendok. Pembengkakan payudara ini perlu segera ditangani untuk
mencegah terjadinya feedback inhibitor of lactin (FIL) yang menghambat penyaluran ASI.

 Pengosongan yang tidak sempurna atau tertekannya duktus akibat pakaian yang ketat dapat
menyebabkan ASI terbendung. Ibu dianjurkan untuk segera memeriksa payudaranya bila
teraba benjolan, terasa nyeri dan kemerahan. Selain itu ibu juga perlu beristirahat,
meningkatkan frekuensi menyusui terutama pada sisi payudara yang bermasalah serta
melakukan pijatan dan kompres hangat di daerah benjolan.

 Puting lecet, bayi yang tidak tenang saat menetek, dan ibu-ibu yang merasa ASInya kurang,
perlu dibantu untuk mengatasi masalahnya. Pada peradangan puting dapat diterapi dengan
suatu bahan penyembuh luka seperti atau lanolin, yang segera meresap ke jaringan sebelum
bayi menyusu. Pada tahap awal pengobatan dapat dilakukan dengan mengoleskan ASI akhir
(hind milk) setelah menyusui pada puting dan areola dan dibiarkan mengering. Tidak ada bukti
dari literatur yang mendukung penggunaan bahan topikal lainnya.

 Cukup istirahat. Kelelahan sering menjadi pencetus terjadinya mastitis

 Jaga kebersihan tangan (Staphylococcus aureus), gunakan teknik mencuci tangan yang baik.
Alat pompa ASI juga biasanya menjadi sumber kontaminasi sehingga perlu dicuci dengan sabun
dan air panas setelah digunakan.

Tatalaksana :*mohon maap, agak susah disingkat

Tatalaksana suportif 1. Perbaiki teknik menyusui ibu agar aliran ASI baik
2. Seringlah menyusui dimulai dari payudara yang bermasalah, tapi jika sangat
nyeri yaudah gak papa, yang sehat dulukemudian sesegera mungkin ke
payudara bermasalah bila sebagian ASI telah menetes (let down) dan nyeri
seudah berkurang
3. Posisikan bayi pada payudara sedemikian rupa sehingga dagu atau ujung
hidung berada pada tempat yang mengalami sumbatan
4. Tidak ada bukti terjadi gangguan kesehatan pada bayi yang terus menyusu dari
payudara yang mengalami mastitis
5. Jika tidak mampu melanjutkan menyusui harus memerah ASI dari payudara
dengan tangan atau pompa
6. Jangan berhent menyusu tiba2, karena memicu risiko yang lebih besar
terhadap terjadinya abses dibandingkan yang melanjutkan menyusui
7. Pijatan payudara yang dilakukan dengan jari-jari yang dilumuri minyak atau
krim selama proses menyusui dari daerah sumbatan ke arah putting juga
dapat membantu melancarkan aliran ASI
8. Istirahat, konsumsi cairan yang adekuat dan nutrisi seimbang
9. Kompres hangat terutama saat menyusu sangat membantu mengalirkan ASI
10. Setelah menyusui atau memerah ASI, kompres dingin dapat dipakai untuk
mengurangu nyeri dan bengkak.
11. Namun, pada payudara sangat bengkak kompres panas kadang membuat rasa
nyeri bertambah, pada kondisi ini kompres dingin justru membuat ibu lebih
nyaman. Keputusan untuk memilih kompres panas atau dingin lebih
tergantung pada kenyamanan ibu
12. Perawatan dirumah sakit dipertimbangkan bila ibu sakit berat atau tidak ada
yang dapat membantunya dirumah. Selama di rumah sakit dianjurkan rawat
gabung ibu dan bayi agar proses menyusui terus berlangsung
Terapi medikamentosa  Analgesik: yang dianjurkan ibuprofen maksimal dosis 1,6 gram/hari
(dibandingkan PCT)

 Antibiotik: jika tidak ada perbaikan gejala dalam 12-24 jam, atau jika ibu
tampak sakit berat, maka berikan antibiotik. Diklosasilin atau fluklosasilin 500
mg tiap 6 jam PO (mereka golongan penicillin), jika alergi bisa kasih Sefaleksin
(golongan sepalosporin) atau klindamisin (makrolid). Krn kalo alergi penicillin,
takutnya alergi cepha juga. Minimal 10-14 hari. Biasanya ibu menghentikan
antibiotik sebelum waktunya, ini akan berisiko mastitis berulang. Jika sudah
terjadi >2x  USG cek tumor kista atau galaktokel

Komplikasi mastitis:
1. Abses : Teraba bagian keras, merah dan tegang walaupun udah diterapi USG  bisa
dikeluarkan dnegan aspirasi jarum halus sekalian diagnostik+terapi, bahkan mungkin perlu
aspirasi serial. Jika besar harus dibedah. Selama tindakan ini harus diberikan antibiotik. ASI dari
sekitar tempat abses juga perlu dikultur agar antibiotik yang diberikan sesuai
2. Mastitis berulang (kronis) : karena terlambat atau tidak adekuat. Ibu harus benar2 istirahat,
banyak minum, makanan dengan gizi seimbang, serta tidak stres. Pada kasus berulang karena
bakteri, diberikan antibiotik dosis rendah eritromisin 500 mg 1x1 selama masa menyusui
3. Infeksi jamur : nyeri berupa rasa terbakar yang menjalar di sepanjang saluran ASI. Diantara
waktu menyusu permukaan payudara terasa gatal. Putting mungkin nampak kelainan. Ibu dan
bayi perlu diobati. Pengobatan terbaik adalah mengoleskan nistatin krem yang juga
mengandung kortison ke puting dan aerola setiap selesai bayi menyusu dan bayi juga harus
diberi nistatin oral pada saat yang sama
HEPATITIS A (4A)

Gejala:
Terasa kurang sehat, rasa sakit, demam, mual, kurang nafsu makan, perut terasa kurang enak, diikuti
dengan air seni berwarna pekat, tinja pucat dan penyakit kuning (mata dan kulit menjadi kuning).
Biasanya selama 1-3 minggu dan hampir selalu diikuti dengan penyembuhan sempurna. Hepatitis A
tidak mengakibatkan penyakit hati jangka panjang dan kematian akibat Hepatitis A jarang terjadi. Jarak
waktu kontak virus dengan gejala biasanya 4 minggu.
Penularan:
Orang yang terinfeksi dapat menularkan virus ini dari 2 minggu sebelum timbul gejala sampai 1 minggu
timbul penyakit kuning (kira2 3 minggu secara keseluruhan). Ditularkan melalui fekal-oral
 Makan atau minum tercemar
 Menyentuh lampin, seprai dan handuk yang dikotori tinja dari orang yang menularkan penyakit
 Hubungan langsung (seksual) dengan orang yg terinfeksi
Wabah hepatitis A juga dilaporkan pada:
 Hubungan kelamin pria – pria (anus)
 Air minum yang tercemar dengan saliran
 Makan makanan yang telah dicemari saliran seperti kerang-kerangan
 Makan makanan yang tercemar oleh pekerja makanan yang dapat menularkan

Figure 1. What is Hepatitis A


Pencegahan :
1. Vaksin , butuh 2minggu untuk memberikan perlindungan. Diberikan pada kelompok yang
berisiko tinggi (kelompok risiko tinggi: tinggak serumah dengan penderita, okupasi (perawatan
harian), pelancong daerah hiperendemis, pria homoseksual serta pengguna narkoba)
2. Cuci tangan dengan baik dengan sabun dan air mengalir selama lebih kurang 10 detik dan
dikeringkan dengan handuk bersih
3. Jangan menggunakan peralatan bareng orang lain (makan, seprai, handuk, dll)
4. Jangan berhubungan kelamin pada yang terinfeksi
Siapa saja yang perlu o Vaksin hepatitis A diberikan dalam 2 kali suntikan dengan jarak 6-12 bulan
vaksin Hepatitis A? o Sediaan vaksin di Indonesia : Avaxim dan Havrix. Havrix memiliki 2 sediaan,
yaitu untuk anak dengan dosis 720 IU dan juga dosis dewasa 1440 IU
o Tersedia pula vaksin Hepatitis A yang kombo dengan Hepatitis B, bernama
Twinrix. Untuk vaksin kombo ini, harus diberikan dengan mengikuti jadwal
hepatitis B
o Ada juga Vaksin Hepatitis A dikombinasikan dengan tifoid tapi belum masuk
ke Indonesia

Anaka Balita IDAI telah mewajibkan vaksin Hep A sebagai imunisasi dasar, yaitu pada anak
berusia 2 tahun dalam 2 dosis. Dosis pertama setelah anak menginjak usia 2
tahun, dan dilanjutkan dengan dosis kedua setelah 6 bulan hingga 12 bulan
sejak dosis pertama diberikan

Wisatawan Dosis pertama dapat diberikan 2 minggu sebelum berpergian atau secepatnya.
Sebagai perlindungan tambahan pada orang dewasa, pada penderita gangguan
imunitas atau penyakit kronis, dapat diberikan suntikan imunoglobulin.
Suntikan ini juga dimanfaatkan untuk anak usia dibawah 1 tahun yang belum
bisa memperoleh vaksin Hep A.Jadi pada wisatawan bisa diberikan vaksin dan
imnogobulin

Orang yang rentan Penyakit hati kroniis, pria yang berhubngan seksual sesama jenis dan
terkena infeksi virus penggunaan obat terlarang baik melalui suntikan maupun tidak. Penderita
penyakit yang mempengaruhi sistem darah dan kekebalan tubuh. Penjaga dan
perawat hewan yang terkena infeksi Hep A, ilmuwan laboratorium riset Hep A,
para tenaga kesehatan dan mereka yang harus bekerja di area yang kurang
higienis

Dianosis :
Anamnesis
Riwayat penyakit: Singkirkan overdosis asetaminofen karena gejalanya miri, perjalanan ke luar negri,
riwayat imunisasi, penggunaan narkoba suntik.
Gejala :
o Fase prodormal / pra-ikterik
Mengalami gejala seperti flu ringan, berupa anoreksia, mual, muntah, rasa lelah, malaise,
demam ringan, mialgia dan nyeri kepala ringan. Perokok sering kehilangan selera terhadap
tembakau, seperti orang yang terkena apendisitis (?)
o Fase ikterik
Urin berwarna gelap (bilirubinuria), kadang diikuti dengan feses pucat, ikterus terjadi pada 70-
85% penderita Hepatitis A akut dewasa, kurang sering pada anak, dan jarang pada bayi.
Umumnya disertai gatal yang derajatnya meningkat sesuai usia. Nyeri abdomen terjadi pada
40% penderita. Artralgia dan ruam kulit lebih jarang terjadi. Ruam lebih sering pada tungkai
bawah, mungkin berupa vaskulitis

*di sumber lain bisa juga tambahan sakit perut dan diare

o Resolusi
Biasanya 3-6 minggu

Kekambuhan (Relaps)
Bisa terjadii, tapi jarang. Lebih sering terjadi pada orangtua. Relaps jarang terjadi lebih dari 2 episode.
Berlangsung <3 minggu secara klinis lebih ringan. Kecendrungan kolestatis lebih besar pada kelompok
relaps. Ruam kulit vaskulitis dan nefritis dapat menjadi petunjuk klinis tambahan. Selama relaps terjadi
juga shedding virus dan hasil pemeriksaan antibodi IgM akan positif.

Pemeriksaan fisik:
Harus dicari gambaran hepatitis akut, seperti sklera ikterik, nyeri tekan abdomen kanan atas dan
hepatomegali, ataupun penyakit hati kronis, seperti eritema palmaris, spider nevi, kaput medusa, dan
splenomegali, serta dinilai ada tidaknya dekompensasi hati, seperti asites dan edema tungkai.
Penderita dapat mengalami demam hingga 40o C
Laboratorium:
o Ditemukan IgM terhadap Hepatitis A
o Limfositosis dan hemolisis ringan sering dijumpai. Pure red cell aplasia dan pansitopenia jarang
terjadi. Protombine time (PT) biasanya tetap dalam atau mendekati batas normal. Bila
meningkat signifikan makan perlu diwaspadai dan dipantau lebih ketat. Peningkatan PT dengan
ensefalopati merupakan petanda FHF
Pengobatan :
o Pada kasus tanpa komplikasi akut : Perawata suportif seperti tirah baring, diet dan terapi
simptomatik. Penderita sebaiknya tidak bekerja selama fase akut (hingga 10 hari dari sejak
timbulnya ikterus), dianjurkan diet tinggi kalori, menghindari alkohol dan obat hepatotoksik
seperti anti kejang dan anti tuberkulosis. Perawatan di RS diperlukan bila ada mual dan
muntah serta dehidrasi yang memerlukan pemberian cairan intravena, penderita dengan
tanda atau gejala gagal hati akut juga perlu dirawat di RS. Paracetamol doberikan secara
hati-hati untuk mengurangi rasa nyeri dan atau demam, dosis maksimum 3-4 g/hari pada
dewasa.
o Jangan menghadiri tempat kerja atau sekolah ketika dapat menularkan penyakit
o Untuk yang kontak dengan pasien bisa disuntik imunoglobulin (infeksi dapat dicegah atau
dikurangi keparahannya jika diberikan dalam waktu 2 minggu setelah kontak dengan orang
yang dapat menularkan penyakit)

Diagnosis banding
Yang paling mirip adalah Hepatitis E. bahkan bisa terjadi infeksi ganda, namun belum tau prognosis
dan implikasi penyakit nya gimana.
DEMAM TIFOID (4A)
Gejala klinis Tifoid:
Demam Gejala utama tifoid. Pada awal sakit, demamnya kebanyakan samar-samar saja,
selanjutnya suhu tubuh sering turun naik. Pagi lebih rendah atau normal, sore dan
malam lebih tinggi (demam intermitten). Dari hari kehari intensitas demam makin
tinggi yang disertai banyak gejala lain seperti sakit kepala (pusing-pusing) yang
sering dirasakan di area frontal, nyeri otot, pegal-pegal, insomnia, anoreksia, mual
dan muntah. Pada minggu ke-2 intensitas demam makin tinggi, kadang-kadang terus
menerus (demam kontinyu). Bila pasien membaik maka pada minggu ke-3 suhu
badan berangsur turun dan dapat normal kembali pada akhir minggu ke-3. Perlu
diperhatikan terhadap laporan, bahwa demam yang khas tifoid tersebut tidak selalu
ada. Tipe demam menjadi tidak beraturan. Hal ini mungkin karena intervensi
pengobatan atau komplikasi yang dapat terjadi lebih awal. Pada anak khususnya
balita, demam tinggi dapat menimbulkan kejang

Gangguan saluran Sering ditemukan bau mulut yang tidak sedap karena demam yang terlalu lama. Bibir
pencernaan kering dan kadang-kadang pecah-pecah. Lidah kelihatan kotor dan ditutup selaput
putih. Ujung dan tepi lidah kemerahan dan tremor (coated tongue atau selaput
putih). Dan pada penderita anak jarang ditemukan . pada umumnya penderita sering
mengeluhkan nyeri perut, terutama regio epigastrik (nyeri ulu hati), disertai nausea,
mual da muntah. Pada awal sakit sering meteorismus dan konstipasi. Pada minggu
selanjutnya kadang-kadang timbul diare

Gangguan kesadaran Umumnya terdapat gangguan kesadaran yang kebanyakan berupa penurunan
kesadaran ringan. Sering didapatkan kesadaran apatis dengan kesadaran seperti
berkabut (tifoid). Bila klinis berat, tak jarang penderita sampai somnolen dan koma
atau dengan gejala-gejala psychosis (organic brain syndrom). Pada penderita
dengan toksik, gejala delirium lebih menonjol

Hepatosplenomegali Hati atau limpa, ditemukan sering membesar. Hari terasa kenyal dan nyeri tekan

Bradikaida relatif Tidak sering ditemukan, mungkin karena teknis pemeriksaan yang sulit dilakukan.
Bradikardia relatif adalah peningkatan suhu tubuh yang tidak diikuti oleh
peningkatan frekuensi nadi. Patokan yang sering dipakai adalah bahwa setiap
peningkatan suhu 1o C, tidak diikuti peningkatan frekuensi nadi 8 denyut dalam 1
menit. Gejala-gejala lain yang dapat ditemukan pada demam tifoid adalah rose spot
yang biasanya ditemukan di regio abdomen atas, serta sudamina, serta gejala-gejala
klinis yang berhubungan dengan komplikasi yang terjadi. Rose spot pada anak jarang
ditemukan malahan lebih sering epitaksis.

Diagnosis:
1. Suspek demam tifoid (suspect case), anamnesis dan pemfis : demam, ganggua GI tract,
gangguan kesadaran biasanya dibuat pada pelayanan kesehatan dasar
2. Demam tifoid klinis (probable case) ,didukung oleh gambaran laboratorium yang menunjukan
tifoid. Beberapa DD tifoid : Gastroenteritis, hepatitis akut, dengue, tuberulosis, malaria,
shigellosis, brucellosis, tularemia, leukimia, limfoma, leptospirosis, dll
Diagnosis demam tifoid dapat ditegakan apabila ditemukan gejala klinis tifoid yang di dukung dengan
minimal salah satu pemeriksaan penunjang berikut:
- Uji diagnostik lainnya yang lebih sensitif dan spesifik seperti serologi IgM, Imunoblotting (Typhi
Dot), DNA probe, serta pemeriksaan PCR, serologi widal (titer O 1/320 sudah menyokong kuat
diagnosis demam tifoid, tapi kalo (-) tidak mneyingkirkan diagnosis tifoid, *apakah widal dites
lagi ke-2? (+) jika ada kenaikan titer 4x lipat 5-7 hari kemudian (?))
- Biakan Salmonella Typhi (bisa dari darah, dan feses)
Tatalaksana Tifoid tanpa komplikasi:
1. Tirah baring, harus tirah baring dengan sempurna untuk mencegah komplikasi terutama
perdarahan dan perforasi. Untuk pasien tirah baring yang penurunan kesadaran, posisi tidur
harus diubah-ubah pada waktu tertentu untuk mencegah komplikasi pneumonia hipostatik
dan dekubitus. Penyakit membaik, maka dilakukan mobilisasi secara bertahap, sesuai dengan
pulihnya kekuatan penderita.
2. Nutrisi, cairan yang cukup dan diet harus mengandung kalori dan protein cukup. Sebaiknya
renda selulose (rendah serat) untuk mencegah perdarahan dan perforasi. Bisa diberikan diet
cair, bubur lunak, tim dan nasi biasa. Hindari susu, daging berserat kasar, lemak, terlalu manis,
asam, berbumbu tajam serta diberikan dalam porsi kecil
3. Menjaga kebersihan, tangan harus dicuci sebelum menangani makanan, selama persiapan
makanan, dan setelah menggunakan toilet
4. Antibiotik dan terapi simptomatik, antibiotik bisa dilihat ditabel. Untuk simptomatik bisa
diberikan antipiretik dan antiemetik jika perlu serta roboransia/vitamin
*terapi pengobatan agak sedikit berbeda dari sumber*
Terapi antibiotik penyakit demam tifoid kecuali ibu hamil dan ibu menyususi
Pilihan pertama orang dewasa: Ciprofloksasin
Pilihan pertama anak: kloramfenikol
Antibiotik Dosis Keterangan
Ciprofloksasin PO: 5-7 hari Tidak direkomendasikan pada
anak-anak usia dibawah 15-18
Dewasa : 2x500 mg/hari tahun, akan tetapi risiko yang
Anak – anak: 30 mg/kg/hari mengancam jiwa dari tifoid
dalam 2 dosis terbagi melebihi risiko efek samping
(alternatif 2, fully sensitive
multidrug resistent)
Cefixime PO: 7 hari dapat menjadi alternatif dari
Anak-anak (lebih dari usia 3 ciprofloksasin bagi anak-anak
bulan): 20 mg/kg/hari dalam 2 dibawah 15 tahun
dosis terbagi
Amoksisilin PO: 14 hari Jika tidak adanya resistensi
Dewasa: 3 gram/hari dalam 3 (fully sensitive)
dosis terbagi
Anak-anak: 75-100 mg/kg/hari
dalam 3 dosis terbagi
Kloramfenikol PO: 10-14 hari (tergantung Jika tidak adanya resisten
tingkat keparahan) (pilihan utama, fully sensitive)
Anak-anak:
1-12 tahun: 100 mg/kg/hari
dalam 3 dosis terbagi
>12 tahun : 3 gram/hari dalam
3 dosis terbagi
Tiamfenikol PO: 5-6 hari Efek samping hematologis pada
75 mg /kgBB/hari penggunaan tiamfenikol lebih
jarang dari pada kloramfenikol
(alternatif 1)
Azitromisin PO: 6 hari Azitromisin efektif dan aman
20 mg/kg/hari diberikan pada anak-anak dan
dewasa yang menderita
demam tifoid tanpa komplikasi.
(tapi hati-hati efek ototoksik
seperti tinitus)
Ceftriaxone IM/IV (3 menit) Salmonella typhi dengan cepat
Infus (30 menit) berkembang resisten terhadap
10-14 hari (tergantung tingkat kinolon. Pada kasus ini gunakan
keparahan) ceftriaxone
Dewasa: 2-4 gr sehari sekali
Anak-anak: 75 mgkg sehari
sekali
Terapi antibiotik penyakit demam tifoid untuk ibu hamil dan menyusui
Amoksisilin PO: 14 hari Jika tidak ada resisten
Dewasa: 3 gram/hari dalam 3
dosis terbagi
Ceftiaxone IM/IV (3 menit) (pelarut Jika adanya resisten
ceftiraxone untuk injeksi IM Namun jika gagal,
menggunakan lidocaine, tidak direkomendasikan
boleh diberikan dengan rute IV, ciprofloksasin (umumnya tidak
untuk pemberian IV direkomendasikan bagi ibu
menggunakan pelarut air untuk hamil dan menyusui) PO 5-7
injeksi) hari
Infus (30 menit)
10-14 hari (tergantung tingkat Dewasa: 1 gram/hari dalam 2
keparahan) dosis terbagi akan tetapi risiko
Dewasa: 2-4 gram sehari sekali yang mengancam jiwa dari
tifoid melebihi risiko efek
samping
Terapi kortikosteroid penyakit demam tifoid
Dexametason IV 2 hari Pada pasien yang mengalami
Dosis awal: 3 mg/kg dan tifoid berat dengan keadaan
kemudian 1 mg/kg setiap 6 jam (halusinasi, perubahan
kesadaran atau perdarahan
usus)

Lini Pertama
Antibiotika Dosis Kelebihan
1. Kloramfenikol Dewasa : 4 x 500 mg (2 gr) o Merupakan obat yang sering
selama 14 hari digunakan dan telah lama
dikenal efektif untuk tifoid
Anak-anak: 50-100 mg/kgBB/hr o Murah dan dapat diberi
Maksimal 2 gr sealam 10-14 peroral dan sensitivitas
hari dibagi dalam 4 dosis masih tinggi
o Pemberian PO/IV
o Tidak diberikan bila leukosit
<2000/mm3
2. Ampisillin atau Dewasa : 3-4 gr/hr selama 14 o Aman untuk ibu hamil
amoxicillin (aman untuk hari o Sering dikombinasikan
penderita yang sedang dengan kloramfenikol pada
hamil) Anak-anak : 100 mg/kgBB/hr pasien kritis
selama 10 hari (amoksisilin o Tidak mahal
oral) atau ampisilin IV o Pemberian PO/IV
3. Trimetroprin- Dewasa : 2 x (160-800) selama - Tidak mahal
Sulfametoksazol 2 minggu - Pemberian peroral
(kotrimoksasol)
Anak-anak: kotrimoksazol 48
mg/kgBB/hari (dibagi 2 dosis)
PO selama 10 hari
Lini Kedua
1. Seftriakson (diberikan Dewasa : 2-4 gr/hr selama 3-5 - Cepat menurunkan
untuk dewasa dan anak) hari suhu, lama pemberian
pendek dan dapat dosis
Anak-anak: 80 mg/kgBB/hari tunggal serta cukup
dosis tunggal selama 5 hari aman untuk anak
- Pemberian IV
2. Cefixim (efektif untuk anak) Anak – anak: 15-20 - Aman untuk anak
mg/kgBB/hr dibagi 2 dosis - Efektif
selama 10 hari - Pemberian peroral
3. Quinolone (tidak - Siprofloksasin : 2 x 500 - Pefloksasin dan
dianjurkan untuk anak <18 mg 1 minggu fleroksasin lebih cepat
tahun, karena dinilai - Ofloksasin: 2 x (200- menurunkan suhu
mengganggu pertumbuhan 400) 1 minggu - Efketif mencegah
tulang) - Pefloksasin: 1 x 400 relaps dan karier
selama 1 minggu - Pemberian peroral
- Fleroksasin: 1 x 400 - Anak: tidak dianjurkan
selama 1 minggu karena efek samping
pada pertumbuhan
tulang
4. Tiamfenikol Dewasa: 4 x 500 mg - Dapat untuk anak dan
Anak : 50 mg/kgBB/hari selama dewasa
5-7 hari bebas panas - Dilaporkan cukup
sensitif pada beberapa
daerah

Komplikasi
Pengobatan
1. Bila penderita dengan klinis berat sampai toksik atau syok septik, antimikroba yang efektif
adalah pemberian parenteral dan ganda (2 macam antibiotik) (lihat halaman untuk terapi
komplikasi)
2. Bila ada riwayat tifoid serta memiliki predisposisi untuk carier, maka pengobatan pertama
adalah golongan Quinolone dan lihat terapi untuk karier
3. Jangan memilih antimikroba yang dikena tidak potensial untuk tifoid walaupun hasil tes
kepekaan dengan sensitivitas yang tinggi
Prinsip
- Komplikasi demam tifoid harus terdeteksi secara dini
- Monitor dan evaluasi, baik klinis maupun laboratoris harus terlaksana secara adekuat
- Bila komplikasi ada, terapi yang tepat segera di berikan. Bila komplikasi berbahaya, harus
dilaksanakan perawatan intensif serta di rawat secara bersama dari bermacam-macam
disiplin spesialis yang terkait
- Pengobatan dan perawatan standar tifoid harus tetap terlaksana
Tifoid toksik Terdapat gangguan atau penurunan  Parenteral dan ganda. Seperti kombinasi
kesadaran akut dengan gejala delirium Ampisillin+kloramfenikol. Pemberian
sampai koma yang disertai atau tanpa kortikosteroid seperti deksametason
kelainan neurologis lainnya. Analisis cairan dengan dosis 4x10 mg IV. Dosis untuk
biasanya dalam batas normal anak: 1-3 mg/kgBB/hr selama 3-5 hari
 Penderita dirawat secara intensif
Syok septik Penderita jatuh ke dalam fase kegagalan  Penderita dirawat secara intensif
vaskular (syok). Tensi turun, nadi cepat dan  Kegagalan hemodinamik yang terjadi
halus, berkeringat serta akral dingin. Akan diatasi secara optimal
berbahaya bila syok menjadi irreversible  Antimikroba dipilih parenteral dan dapat
ganda (spektrum luas) seperti pada tifoid
toksik
 Obat vasoaktif (seperti dopamin)
dipertimbangkan bila syok mengarah
irreversible
Perdarahan Terjadi pada minggu ke-2 atau setelah itu.  Intensif
dan perforasi Perdarahan dengan gejala berak darah  Pertimbangkan transfusi darah bila telah
(hematoskhezia) atau dideteksi dengan tes indikasi. Segera transfusi bila terjadi
perdarahan tersembunyi (occult blood perdarahan akut, dimana perdarahan
test). Perforasi intestinal ditandai dengan terjadi sebanyak 5 ml/khBB/jam dan
nyeri abdomen akut, tegang dan nyeri pemeriksaan hemostasis normal
tekan yang paling nyata di kuadran kanan  Bila perforasi:
bawah abdomen. Suhu tubuh tiba-tiba - Rawat bersama dengan dokter bedah
menurun dengan peningkatan frekuensi - Operasi “Cito” bila telah indikasi
nadi dan berakhir syok. Pada pemeriksaan - Beri antibiotik spektrum luas untuk terapi
perut di dapatkan tanda-tanda ileus, bising tifoid dan infeksi kontaminasi usus. Dipilih
usus melemah dan pekak hati menghilang, antibiotika dengan parenteral, seperti
perforasi dapat dipastikan dengan Ampisilin + kloramfenikol + Metronidazol
pemeriksaan foto polos abdomen 3 posisi. - Billa perforasi, perlu resusitasi cairan,
Perforasi intestinal adalah komplikasi tifoid puasa, pasang tube hidung lambung, diet
yang serius karena sering menimbulkan parenteral, serta montiro keseimbangan
kematian cairan (bila perlu dipasang kateter urin)
Perforasi Biasanya menyertai perforasi, tetapi dapat
terjadi tanpa perforasi. Ditemukan gejala-
gejala abdomen akut yakni nyeri perut
hebat, kembung serta nyer pada
penekanan. Nyeri lepas lebih khas untk
peritonitis.
BRONKITIS AKUT (4A)

Definisi: Infeksi saluran pernafasan bawah yang melibatkan saluran nafas besar (bronkus) tanpa bukti
pneumonia yang terjadi tanpa adanya penyakit paru obstruktif kronis.
Faktor risiko: perokok, sistem kekebalan tubuh lemah (lanjut usia, bayi < 12 bulan, anak-anak),
terpapar oleh bahan kimia pada saat bekerja, refluks pada perut, usia>50 tahun
Gejala klinis: batuk akut, dengan atau tanpa produksi sputum, dan tanda-tanda infeksi saluran
pernafasan bawah tanpa adanya penyakit paru-paru kronis, seperti PPOK, atau penyebab yang dapat
diidentifikasi, seperti pneumonia atau sinusitis. Gejala lain: produksi sputum, dyspnea, hidung
tersumbat, sakit kepala, demam (jika >37,8 C pertimbangkan influenza atau pneumonia), nyeri dada
di dinding atau dada saat batuk, sputum purulen (tidak berkorelasi dengan infeksi bakteri)
 Berlangsung biasanya minimal 5 hari
 Biasanya sembuh sendiri, terjadi perbaikan dalam 1-3 minggu
 Gejala diakibatkan paling sering karena virus (85-95%). Bakteri terisolasi biasanya commensals
dari oropharynx, atau bisa karena Mycoplasma pneumonia, bordetella pertussis atau
corynebacterium diphtheriae
Pemeriksaan fisik :
 PASIEN TAMPAK SAKIT RINGAN
 Demam pada sepertiga pasien
 Asukustalsi paru: biasanya suara nafas normal, kadang mengi serta ronki yang biasanya
membaik dengan batuk
Tatalaksana:
Penatalaksanaan difokuskan pada edukasi dan suportif. Antibiotik tidak diperlukan untuk sebagian
besar pasien.
Suportif dan simptomatis
Simptomatis: tapi belum tentu bermanfaat
1. Antitusiv : Dextrometrofan
2. Ekspetoran: guaifenesin (merangsang sekresi pernafasan, meningkatkan volume caira
pernafasan dan penurunan viskositas lendir dan juga mungkin memiiiki sifat antitusif)
3. Beta 2 agonis: lebih baik dihindari aja, kecuali jika ada riwayat penyakit paru yang mendasar.
Tapi mungkin memiliki manfaast pada orang dewasa tertentu yang mengi pada sat evaluasi
yang tidak emmiliki dx asma
Penggunaan antibiotik terbatas, indikasinya pada:
 Pasien dalam kondisi umum buruk (malnutrisi, campak, rakhitis, anemia berat, jantung,
pasien lanjut usia, dll)
 Pasien mengalami dyspnoea, demam >38,5 C dan sputum purulen: kemungkinan infeksi
sekunder dengan H. Influenza atau dengan pneumokokus
Amoxicillin (oral)
Anak-anak : 100 mg/kg/hari dalam 3 dosis terbagi selama 5 hari
Dewasa: 3 g/hari dalam 3 dosis terbagi selama 5 hari
Edukasi pasien mengenai penyakit. Dan beri tahu pasien bahwa batuk bisa bertahan selama 10-21
hari dan kadang-kadang hingga 6 minggu

Diagnosis Banding:
1. Infeksi saluran pernafasan atas (flu)
2. Pneumonia
Penting untuk menyingkirkan pneumonia:
 Biasanya dengan demam tinggi
 Tampak sakit sedang sampai berat
 Hipoksia
 Tanda-tanda konsolidasi paru-paru
o Bunyi nafas bronkial
o Ronki, egofoni, dan
o Peningkatan fremitus taktil
 Pemeriksaan lab: pada pneumonia, lihat PCT dan C-reaktif protein (CRP>50 mcg/mL)
Komplikasi:
1. Bila infeksi tidak teratasi dapat berlanjut menjadi pneumonia
2. Selain itu dapat terjadi: bronkitis kronis dan brnkiektasis

Você também pode gostar

  • Tetanus
    Tetanus
    Documento35 páginas
    Tetanus
    Verra Anindya
    Ainda não há avaliações
  • Intoksikasi Rodentisida
    Intoksikasi Rodentisida
    Documento40 páginas
    Intoksikasi Rodentisida
    Verra Anindya
    Ainda não há avaliações
  • Kasus Poli
    Kasus Poli
    Documento28 páginas
    Kasus Poli
    Verra Anindya
    Ainda não há avaliações
  • Epitaksis Anterior Pada AML
    Epitaksis Anterior Pada AML
    Documento80 páginas
    Epitaksis Anterior Pada AML
    Verra Anindya
    Ainda não há avaliações
  • HIL Kongenital
    HIL Kongenital
    Documento31 páginas
    HIL Kongenital
    Verra Anindya
    Ainda não há avaliações
  • Contoh Kasus
    Contoh Kasus
    Documento15 páginas
    Contoh Kasus
    Verra Anindya
    Ainda não há avaliações
  • Preskas Intoksikasi Obat
    Preskas Intoksikasi Obat
    Documento38 páginas
    Preskas Intoksikasi Obat
    Verra Anindya
    Ainda não há avaliações
  • Resep Mata
    Resep Mata
    Documento7 páginas
    Resep Mata
    Verra Anindya
    Ainda não há avaliações
  • Anti Nyeri
    Anti Nyeri
    Documento12 páginas
    Anti Nyeri
    Verra Anindya
    Ainda não há avaliações
  • KTI Hasil Penelitian
    KTI Hasil Penelitian
    Documento62 páginas
    KTI Hasil Penelitian
    Verra Anindya
    Ainda não há avaliações
  • CAPCAY (Udah Dicoba)
    CAPCAY (Udah Dicoba)
    Documento2 páginas
    CAPCAY (Udah Dicoba)
    Verra Anindya
    Ainda não há avaliações