Você está na página 1de 13

13.

KEPUTUSAN PENDANAAN DAN STUKTUR MODAL

1. Pengertian Keputusan pendanaan


Keputusan pendanaan atau pembelanjaan (financing decision) menghasilkan kebijakan
mengenai sumber pendanaan. Dalam kebijakan pendanaan, manajer keuangan dituntut untuk
mempertimbangkan dan menganalisis kombinasi berbagai sumber dana yang ekonomis bagi
perusahaan, guna membelanjai berbagai kebutuhan investasi serta kegiatan usahanya. Hasil
kebijakan sumber pendanaan, secara singkat dapat dilihat pada sisi pasiva neraca perusahaan.
Sumber pendanaan terdiri dari modal dari pinjaman atau hutang dan modal sendiri. Penggunaan
dari masing-masing jenis modal mempunyai pengaruh berbeda terhadap laba bersih yang
diperoleh perusahaan. Penggunaan modal dari pinjaman akan menurunkan laba bersih, sebab
harus membayar bunga. Besarnya bunga dimanfaatkan sebagai pengurang pajak yang harus di
tanggung perusahaan, sedangkan penggunaan modal sendiri yang kompensasinya berupa
pembayaran dividen yang diambilkan dari laba bersih setelah pajak ( tidak mengurangi pajak).
Kombinasi dari berbagai sumber dana mencerminkan struktur keuangan dan struktur modal suatu
perusahaan.
Keputusan pendanaan menyangkut beberapa hal, yaitu: Pertama, keputusan mengenai
penetapan sumber dana yang diperlukan untuk membiayai investasi. Sumber dana yang akan
digunakan untuk membiayai investasi tersebut dapat berupa hutang jangka pendek, hutang jangka
panjang dan modal sendiri. Kedua, penetapan tentang perimbangan pembelanjaan yang terbaik
atau sering disebut struktur modal yang optimum. Struktur modal optimum merupakan
perimbangan hutang jangka panjang dan modal sendiri dengan biaya modal rata-rata minimal.
Oleh karena itu, perlu ditetapkan apakah menggunakan sumber modal yang berasal dari hutang
dengan menerbitkan obligasi, atau menggunakan modal sendiri dengan menerbitkan saham baru
sehingga beban biaya modal yang ditanggung perusahaan minimal. Kekeliriuan dalam
pengambilan keputusan pendanaan ini akan berakibat biaya modal yang ditanggung tidak
minimal. Biaya modal yang muncul berkaitan dengan keputusan pendanaan adalah biaya bunga
untuk dana yang berasal dari hutang dan dividen bagi dana yang berasal dari saham atau modal
sendiri. Biaya modal berupa bunga lebih mudah ditetapkan karena sifatnya akan tetap selama
umur hutang (obligasi), sedangkan penentuan tentang dividen yang dibayarkan kepada pemegang
saham memerlukan kebijakan (policy) tersendiri. Kebijakan dividen (dividend policy) harus
dianggap sebagai bagian terpadu dari keputusan pendanaan. Rasio pembayaran dividen
(dividend payout ratio) atau rasio antara dividen yang dibayarkan dibanding laba yang diperoleh,
menentukan jumlah laba yang dapat ditahan (retained earning). Semakin besar laba ditahan
berarti semakin kecil dana yang tersedia untuk pembayaran dividen dan sebaliknya, jika semakin
kecil laba yang ditahan maka semakin besar laba yang dibagi untuk pembayaran dividen.
Struktur modal merupakan perimbangan antara modal dari pinjaman atau hutang jangka
panjang dengan modal sendiri. Misalnya perusahaan A mempunyai hutang jangka panjang
sebesar Rp. 200 juta, sedangkan modal sendiri sebesar Rp. 300 juta, maka struktur modalnya
adalah sebesar 40 % artinya aktiva yang dimiliki perusahaan A 40 % didanai dengan hutang
jangka panjang dan 60 % didanai dengan modal sendiri. Menurut Martono (2003) struktur modal
( capital structure ) adalah perbandingan atau imbangan pendanaan jangka panjang perusahaan
yang ditunjukkan oleh perbandingan hutang jangka panjang terhadap modal sendiri. Struktur
modal merupakan bagian dari struktur keuangan ( financial structure ). Struktur keuangan adalah
perbandingan atau imbangan hutang jangka pendek ditambah hutang jangka panjang terhadap
modal sendiri. Perubahan struktur modal bisa menyebabkan perubahan nilai perusahaan,
sehingga muncul beberapa teori struktur modal. Teori struktur modal menjelaskan apakah ada
pengaruh struktur modal terhadap nilai perusahaan. Nilai perusahaan bisa diukur dengan harga
saham atau biaya modal yang dikeluarkan oleh perusahaan dalam memperoleh sumber modal
yang bersangkutan.

Teori struktur modal ini penting karena : 1) setiap ada perubahan struktur modal akan
mempengaruhi biaya modal secara keseluruhan, hal ini disebabkan masing-masing jenis modal
mempunyai biaya modal sendiri-sendiri. 2). Besarnya biaya modal secara keseluruhan ini,
nantinya akan digunakan sebagai cut of rate pada pengambilan keputusan investasi, oleh karena
itu kebijakan struktur modal akan mempengaruhi keputusan investasi.

Beberapa faktor yang perlu dipertimbangkan dalam menentukan kebijakan struktur modal:

1. Suitability atau kesesuaian.

Suitability merupakan kesesuaian antara cara pemenuhan dana dengan jangka waktu
kebutuhannya. Jika yang dibutuhkan perusahaan dana jangka pendek, apabila didanai
dengan hutang jangka panjang atau dengan menambah modal sendiri berarti kurang sesuai.
Cara pemenuhan dana, sebaiknya disesuaikan dengan jangka waktu kebutuhannya artinya
jika kebutuhan dana berjangka pendek, maka sebaiknya dipenuhi dari sumber dana jangka
pendek dan jika kebutuhan dana berjangka panjang sebaiknya dipenuhi dari sumber dana
jangka panjang.

2. Control atau pengawasan.

Pengawasan atau pengendalian perusahaan ada di tangan para pemegang saham.


Manajemen perusahaan mengemban tugas untuk menjalankan hasil keputusan rapat para
pemegang saham. Suatu perusahaan biasanya dimiliki oleh beberapa pemegang saham
saja, sehingga jika diperlukan tambahan dana perlu dipertimbangkan apakah fungsi
pengawasan dari pemilik lama tidak akan terkurangi. Dengan pertimbangan tersebut para
pemilik lama lebih menginginkan menambah hutang atau mengeluarkan obligasi dibanding
dengan menambah saham atau modal sendiri.

3. Earning per share atau laba per lembar saham

Memilih sumber dana apakah dari pinjaman atau hutang maupun dari saham baru, secara
finansial harus yang bisa menghasilkan keuntungan bagi para pemegang saham atau
earning per share lebih besar.

4. Risknes atau Tingkat risiko

Modal pinjaman atau hutang merupakan sumber dana yang mempunyai risiko tinggi, sebab
bunga harus tetap dibayar pada saat perusahaan memperoleh laba maupun saat mengalami
kerugian. Jika laba yang diperoleh perusahaan besar, penggunaan hutang lebih baik sebab
akan menghasilkan EPS lebih besar, namun jika laba yang diperoleh kecil maka penggunaan
hutang sangat berisiko. Semakin besar penggunaan dana dari hutang mengindikasikan
perusahaan mempunyai tingkat risiko semakin besar.

Pemenuhan kebutuhan dana perusahaan dari sumber modal sendiri berasal dari modal
saham, laba ditahan dan cadangan. Jika dalam pendanaan yang berasal dari modal sendiri masih
mengalami kekurangan (defisif) maka perlu dipertimbangkan pendanaan yang berasal dari luar
perusahaan, yaitu dari hutang (debt financing). Namun dalam pemenuhan kebutuhan dana,
perusahaan harus mencari alternatif-alternatif pendanaan yang efisien. Pendanaan yang efisien
akan terjadi bila perusahaan mempunyai struktur modal yang optimal. Struktur modal yang optimal
dapat diartikan sebagai struktur modal yang dapat meminimalkan biaya penggunaan modal
keseluruhan atau biaya modal rata-rata (ko), sehingga akan memaksimalkan nilai perusahaan.
Struktur modal yang optimal terjadi pada leverage keuangan sebesar x, di mana ko (tingkat
kapitalisasi perusahaan atau biaya modal keseluruhan) minimal yang akan memberikan harga
saham tertinggi. Leverage keuangan merupakan penggunaan dana di mana dalam penggunaan
dana tersebut perusahaan harus mengeluarkan beban tetap (biaya bunga). Leverage keuangan ini
merupakan perimbangan penggunaan hutang dengan modal sendiri dalam suatu perusahaan.

Struktur modal optimal terlihat pada gambar berikut:

Biaya Modal (%)

x Leverage Keuangan

Gambar 1. Biaya Modal dan Struktur Modal Optimal

2. Teori Struktur Modal

Teori struktur modal yang dikembangkan oleh beberapa ahli manajemen keuangan,
terutama digunakan untuk mengetahui apakah perusahaan bisa meningkatkan kemakmuran
pemegang saham melalui perubahan struktur modal. Dalam teori struktur modal diasumsikan
bahwa perubahan struktur modal berasal dari penerbitan obligasi dan pembelian kembali saham
biasa atau penerbitan saham baru. Selanjutnya perlu dikaji bagaimana pengaruh perubahan
struktur modal tersebut terhadap nilai perusahaan dan apakah ada pengaruh struktur modal
terhadap harga saham perusahaan sebagai pencerminan nilai perusahaan. Apabila ada pengaruh
struktur modal terhadap nilai perusahaan, pertanyaan berikutnya adalah bagaimana struktur modal
yang optimal bagi perusahaan. Dalam analisis struktur modal ini digunakan beberapa asumsi,
yaitu:
1. Tidak ada pajak penghasilan.

2. Tidak ada pertumbuhan laba.

3. Pembayaran seluruh laba kepada pemegang saham yang berupa dividen.

4. Perubahan struktur modal terjadi dengan menerbitkan obligasi dan membeli kembali
saham biasa atau dengan menerbitkan saham biasa dan menarik obligasi.

Pendapat lain tentang asumsi-asumsi yang diberikan dalam rangka mempermudah


pembahasan teori struktur modal yaitu:

1. Keuntungan yang diperoleh perusahaan dianggap konstan, artinya perusahaan tidak


mengadakan perubahan terhadap investasinya.
2. Seluruh keuntungan yang diperoleh merupakan hak pemegang saham, sehingga akan
dibagikan semuanya kepada para pemegang saham.
3. Hutang yang digunakan bersifat permanen, dengan arti bahwa jika ada hutang yang
jatuh tempo harus di roll-over atau segera diganti dengan hutang baru.
4. Perusahaan dapat merubah struktur modalnya secara langsung, misalnya mengubah
obligasi menjadi saham dan sebaliknya saham menjadi obligasi dengan mudah dan
tidak ada biaya transaksi.
Beberapa asumsi tersebut, analisis struktur modal bisa dilakukan dengan melihat besarnya
nilai perusahaan atau biaya modal. Jika tujuan perusahaan yaitu meningkatkan nilai perusahaan
artinya sama dengan menurunkan biaya modal. Untuk menghitung besarnya biaya modal dalam
kaitannya dengan struktur modal dan nilai perusahaan digunakan beberapa rumus sebagai berikut
(perlu diingat kembali bahwa biaya modal sama dengan return yang diharapkan oleh investor,
sehingga menghitung biaya modal sebenarnya sama dengan menghitung return modalnya):

1. Rumus untuk menghitung return obligasi:

ki = dimana:

ki = Return dari obligasi

I = Bunga hutang obligasi tahunan

B = Nilai pasar obligasi yang beredar

2. Rumus untuk menghitung return saham biasa:

ke = dimana:

ke = Return dari saham biasa

E = Laba untuk pemegang saham biasa

S = Nilai pasar saham biasa yang beredar

3. Rumus untuk menghitung return bersih perusahaan:

ko = dimana:

ko = Return bersih perusahaan (sebesar biaya


modal rata-rata minimal)

O = Laba operasi bersih Operasi (EBIT)

V = Total nilai perusahaan


3.a. Rumus untuk menghitung biaya modal rata-rata tertimbang:

ko = dimana:

ko = Biaya rata-rata tertimbang (sebesar biaya


modal rata-rata minimal)

O = Laba operasi bersih Operasi (EBIT)

V = Total nilai perusahaan

Perlu diketahui bahwa nilai perusahaan sama dengan nilai pasar obligasi ditambah nilai
pasar saham atau V = B + S, dimana B = nilai pasar Obligasi atau Hutang, sedangkan S = nilai
pasar modal sendiri. ko merupakan tingkat kapitalisasi total perusahaan dan diartikan sebagai
rata- rata tertimbang biaya modal, sedangkan kd merupakan Biaya hutang atau tingkat bunga, oleh
karena itu ko dapat dirumuskan sebagai berikut:

 B   S   B   S 
ko = k i   + ke   ko = k i   + kd  
B  S B  S  B  S B  S 
atau

Apakah terjadi perubahan ki, ke, dan ko apabila leverage keuangan mengalami perubahan
dapat dianalisis dengan beberapa pendekatan, yaitu pendekatan laba operasi bersih, pendekatan
tradisional dan pendekatan Modigliani - Miller yang akan dibahas pada bahasan berikutnya.

2.1. Pendekatan Laba Operasi Bersih (Net Operating Income Approach)

Pendekatan laba operasi bersih dikemukakan oleh David Durand Tahun 1952. Pendekatan
ini menggunakan asumsi bahwa investor memiliki reaksi yang berbeda terhadap penggunaan
hutang perusahaan. Pendekatan ini melihat bahwa biaya modal rata-rata tertimbang bersifat
konstan berapapun tingkat hutang yang digunakan oleh perusahaan. Dengan demikian, pertama,
diasumsikan bahwa biaya hutang konstan. Kedua, penggunaan hutang yang semakin besar oleh
pemilik modal sendiri dilihat sebagai peningkatan risiko perusahaan. Artinya apabila perusahaan
menggunakan hutang yang lebih besar, maka pemilik saham akan memperoleh bagian laba yang
semakin kecil, oleh karena itu tingkat keuntungan yang disyaratkan oleh pemilik modal sendiri
akan meningkat sebagai akibat meningkatnya risiko perusahaan. Akibatnya biaya modal rata-rata
tertimbang akan berubah. Untuk melihat dampak atau pengaruh laba operasi bersih terhadap nilai
perusahaan, lihat contoh berikut::
Contoh 1.

Suatu perusahaan mempunyai hutang sebesar Rp. 8.000.000,- dengan tingkat bunga sebesar
15%. Laba operasi bersih Rp. 8.000.000,- dengan tingkat kapitalisasi total sebesar 20%, dan
saham yang beredar sejumlah 10.000 lembar. Maka dari data di atas nilai perusahaan adalah:

Keterangan Nilai

Laba operasi bersih (O)


Rp. 8.000.000
Tingkat kapitalisasi total (ko) 20%

Nilai total perusahaan (V) Rp. 40.000.000

Nilai pasar hutang (B) Rp. 8.000.000

Nilai pasar saham (S)


Rp. 32.000.000

Laba untuk pemegang saham biasa (E) = O – I


= Rp. 8.000.000 – (15% x 8.000.000) = Rp. 8.000.000 – Rp. 1.200.000 = Rp. 6.800.000,-
Sahingga tingkat return modal sendiri yang disyaratkan, ke adalah:

E 6.800.000
ke = = = 21,25%
S 32.000.000

32.000.000
Harga saham per lembar = = Rp. 3.200,-
10.000

Misalnya perusahaan mengganti sebagian modal sahamnya dengan modal hutang sebesar Rp.
16.000.000,-, sehingga diperlukan saham sebanyak = Rp. 16.000.000 / 3.200 – 5.000 lembar
saham untuk mendapatkan hutang tersebut. Dengan demikian jumlah saham beredar sekarang
berkurang menjadi 5.000 lembar (10.000 lbr – 5.000 lbr), sehingga nilai perusahaan menjadi:

Keterangan Nilai

Laba operasi bersih (O)


Rp. 8.000.000
Tingkat kapitalisasi total (ko) 20%

Nilai total perusahaan (V) Rp. 40.000.000

Nilai pasar hutang (B) Rp. 24.000.000

Nilai pasar saham (S)


Rp. 16.000.000
Laba untuk pemegang saham biasa (E) =O–I
= Rp. 8.000.000 – {15% x (8.000.000 + 16.000.000)} = Rp. 8.000.000 – Rp. 3.600.000
= Rp. 4.400.000,-

Sahingga tingkat return modal sendiri yang disyaratkan, (ke) adalah:


E 4.400.000
ke = = = 27,5%
S 16.000.000

16.000.000
Harga saham per lembar = = Rp. 3.200,-
5.000

Kesimpulan:

Contoh di atas diketahui bahwa, peningkatan leverage ternyata mempengaruhi tingkat keuntungan
(return) yang disyaratkan. Tingkat return yang disyaratkan (ke) meningkat secara linear dengan
leverage keuangan (financial leverage) yang diukur dengan perimbangan antara hutang (B)
dengan saham (S). Sedangkan nilai total perusahaan (V) dan harga saham per lembar tidak
berubah walaupun leverage keuangannya berubah.

2.2. Pendekatan Tradisional (Traditional Approach)

Pada pendekatan tradisional diasumsikan terjadi perubahan struktur modal yang optimal
dan peningkatan nilai total perusahaan melalui penggunaan financial leverage (hutang dibagi
modal sendiri atau B/S). Sebagai contoh dapat dijelaskan sebagai berikut:

Contoh .2.

Perusahaan “ABC” pada awal mula berdirinya menggunakan modal hutang obligasi sebesar
Rp. 45.000.000,- dengan bunga 5%, dan mendapat laba operasi bersih sebesar Rp. 15.000.000,-
per tahun. Keuntungan yang disyaratkan dari pemilik sebesar 11% per tahun. Jumlah saham yang beredar
12.750 lembar. Dari data tersebut maka nilai perusahaan akan nampak sebagai berikut:

Keterangan Nilai

Laba operasi bersih (O) Rp. 15.000.000

Bunga hutang 5% (I) Rp. 2.250.000

Laba tersedia untuk pemegang saham (E) Rp. 12.750.000

Keuntungan yang disyaratkan (ke) 0,11

Nilai pasar saham (S) Rp. 115.909.090*

Nilai pasar hutang (B) Rp. 45.000.000

Nilai total perusahaan (V) Rp. 160.909.090

* Pembulatan

Tingkat kapitalisasi keseluruhan (ko) = 15.000.000 / 160.909.090 = 9,3% Harga per lembar saham
= Rp. 115.909.090/12.750 = Rp. 9.090,- (dibulatkan).

Misalnya perusahaan akan mengganti seluruh modal hutang obligasi dengan saham.
Karena nilai obligasi sebesar Rp. 45.000.000,- dengan harga saham per lembar sebesar Rp.
9.090,-, maka diperlukan sebanyak Rp. 45.000.000 / 9.090 = Rp. 4.950,- lembar saham.
Sekarang, seluruh modal perusahaan merupakan modal sendiri sehingga tingkat keuntungan yang
disyaratkan oleh investor (modal sendiri) menjadi lebih rendah, misalnya dari 11% menjadi sebesar
10%. Dengan demikian nilai perusahaan dan biaya modalnya sebagai berikut:

Keterangan Nilai
Laba operasi bersih (O)
Rp. 15.000.000
Bunga hutang (I) 0

Laba tersedia untuk pemegang saham (E) Rp. 15.000.000

Keuntungan yang disyaratkan (ke) 0,10

Nilai pasar saham (S) Rp. 150.000.000

Nilai pasar hutang (B) 0

Nilai total perusahaan (V) Rp. 150.000.000

Tingkat kapitalisasi keseluruhan atau (ko) - 15.000.000 / 150.000.000 - 10%, sedangkan harga
saham menjadi 150.000.0007 (12.750 + 4.950) = Rp. 8.474,58 per lembar. Sehingga harga saham
berubah (turun) dari Rp. 9.090,- menjadi Rp. 8.474,58,- akibat perubahan struktur modal.

Misalkan sekarang ini perusahaan mengganti sahamnya dengan hutang sebesar


Rp. 45.000.000,- dari keadaan semula, sehingga jumlah hutang menjadi Rp. 45.000.000 + Rp. 45.000.000 =
Rp. 90.000.000. Dengan demikian jumlah sahamnya akan berkurang sejumlah 4.950 lembar lagi. Jadi jumlah
sahamnya tinggal 7.800 lembar (12.750 lembar -4.950 lembar). Karena sekarang proporsi modal asing
menjadi lebih besar (dengan kata lain risiko finansialnya menjadi lebih besar), maka mungkin tingkat
kapitalisasi modal sendiri menjadi lebih besar, katakanlah menjadi 14%. Dengan kata lain para pemegang
saham mensyaratkan tingkat keuntungan yang lebih tinggi karena menganggap risiko perusahaan
meningkat. Tetapi karena risiko yang makin tinggi, maka hutang (obligasi) harus membayar bunga lebih
besar, katakanlah menjadi 6%. Dari data tersebut di atas, penilaian terhadap perusahaan akan menjadi:

Keterangan Nilai

Laba operasi bersih (O)


Rp. 15.000.000
Bunga hutang 6% (I) Rp. 5.400.000

Laba tersedia untuk pemegang (E) Rp. 9.600.000


saham

Keuntungan yang disyaratkan (ke) 0,14

Nilai pasar saham (S) Rp. 68.571.429*

Nilai pasar hutang (B) Rp. 90.000.000

Nilai total perusahaan (V) Rp. 158.571.429


* Pembulatan

Tingkat kapitalisasi keseluruhan adalah = O / V =15.000.000 / 158.571.429 = 9,5%. Berarti


mengalami kenaikan dibandingkan dengan struktur modal semula sebesar 9,3%. Sedangkan
harga pasar sahamnya menjadi = Rp. 68.571.429/7.800 = Rp. 8.791,- per lembar, yang berarti
lebih rendah dari harga saham semula sebesar Rp. 9.090,-.

Kesimpulan apa yang dapat diambil dari uraian di atas? Dengan menggunakan pendekatan
tradisional, bisa diperoleh struktur modal yang optimal yaitu struktur modal yang memberikan biaya
modal keseluruhan yang terendah dan memberikan harga saham yang tertinggi. Hal ini
disebabkan karena berubahnya tingkat kapitalisasi perusahaan, baik untuk modal sendiri maupun
pinjaman setelah perusahaan merubah struktur modalnya (leverage) melewati batas tertentu.
Perubahan tingkat kapitalisasi ini disebabkan karena adanya risiko yang berubah.

2.3. Pendekatan Modigliani dan Miller (MM Approach)

Franco Modigliani dan MH. Miller (disingkat MM) menentang pendekatan tradisional
dengan menawarkan pembenaran perilaku tingkat kapitalisasi perusahaan yang konstan. MM
berpendapat bahwa risiko total bagi seluruh pemegang saham tidak berubah walaupun struktur
modal perusahaan mengalami perubahan. Hal ini didasarkan pada pendapat bahwa pembagian
struktur modal antara hutang dan modal sendiri selalu terdapat perlindungan atas nilai investasi.
Yaitu karena nilai investasi total perusahaan tergantung dari keuntungan dan risiko, sehingga nilai
perusahaan tidak berubah walaupun struktur modalnya beijubah. Asumsi- asumsi yang digunakan
MM adalah:

1. Pasar modal adalah sempurna, dan investor bertindak rasional

2. Nilai yang diharapkan dari distribusi probabilitas semua investor sama

3. Perusahaan mempunyai risiko usaha (business risk) yang sama

4. Tidak ada pajak

Pendapat MM didukung oleh adanya proses arbitrase, yaitu proses mendapatkan dua
aktiva yang pada dasarnya sama dan membelinya dengan harga yang termurah serta menjual lagi
dengan harga yang lebih tinggi. Untuk memperjelas proses arbitrase akan diberikan contoh
sebagai berikut:

Contoh 3.

Ada dua perusahaan yang serupa yaitu perusahaan A yang modal seluruhnya merupakan modal
sendiri, dengan keuntungan yang disyaratkan sebesar 15%. Perusahaan kedua adalah
perusahaan B yang sebagian modalnya berupa obligasi sebesar Rp. 240.000.000,- dengan bunga
12% dan keuntungan yang disyaratkan pemegang saham sebesar 16%. Maka penilaian kedua
perusahaan adalah sebagai berikut:
Perusahaan A
Perusahaan B
Keterangan
(Rp)
(Rp)

Laba operasi bersih (0) 80.000.000 80.000.000

Bunga hutang obligasi (I) 0 28.800.000

Laba yang tersedia untuk pemegang saham (E) 80.000.000 51.200.000

Keuntungan yang disyaratkan (ke) 0,15 0,16

Nilai pasar saham (S) 533.333.333* 320.000.000

Nilai pasar hutang (B) 0 240.000.000

Nilai total perusahaan (V) 533.333.333 560.000.000

*) pembulatan

Tingkat kapitalisasi keseluruhan (ko):

Perusahaan A - Rp 80.000.000 / Rp 533.333.333 = 15%,

Perusahaan B = Rp 80.000.000 / Rp 560.000.000 = 14,3%.

Menurut MM, situasi di atas tidak dapat berlangsung terus karena akan terjadi proses
arbitrase yang menjadikan kedua nilai perusahaan sama. Perusahaan B tidak akan memiliki nilai
yang lebih tinggi karena perusahaan tersebut memiliki struktur modal yang berbeda dengan
perusahaan A. Menurut MM investor dalam perusahaan B akan mampu memperoleh keuntungan
yang sama tanpa peningkatan risiko keuangan dengan cara menginvestasikan dananya pada
perusahaan A. Transaksi arbitrase ini terus berlangsung sampai membuat nilai total kedua
perusahaan sama. Misalnya seorang investor memiliki sejumlah 5% saham di perusahaan B,
maka langkah-langkah yang dilakukan investor tersebut adalah sebagai berikut:

1. Menjual saham perusahaan B untuk mendapatkan dana sebesar Rp. 16.000.000 yaitu dari 5%
x Rp. 320.000.000,-
2. Meminjam dana Rp. 12.000.000,- yaitu dari 5% x Rp. 240.000.000 dengan bunga 12%,
sehingga total dana = Rp. 16.000.000 + Rp. 12.000.000 = Rp. 28.000.000,-

3. Membeli 5% saham perusahaan A seharga 26.666.666,65 (dibulatkan 26.666.667) yaitu dari


5% x Rp. 533.333.333,-

Sebelum transaksi di atas dilakukan, investor tersebut mengharapkan keuntungan


investasinya dari perusahaan B sebesar 16% dari nilai investasi Rp. 16.000.000 yaitu sebesar =
16% x Rp. 16.000.000 = Rp. 2.560.000,-. Sedangkan keuntungan yang ia harapkan dari
perusahaan A sebesar 15% dari investasi sebesar Rp. 26.666.667,- yaitu sama dengan 15% x Rp.
26.666.667 = Rp. 4.000.000,-. Dengan keuntungan ini investor harus mengurangi sebagian
keuntungannya untuk membayar bunga pinjaman, sehingga keuntungan bersihnya adalah :

Keuntungan investasi dari perusahaan A = Rp. 4.000.000

- Bunga yang harus dibayar (12% x 12.000.000) = Rp. 1.440.000

- Keuntungan bersih = Rp. 2.560.000


Keuntungan bersih sebesar Rp. 2.560.000, sama dengan keuntungan investasi pada
perusahaan B. Tetapi pengeluaran kas untuk investasi perusahaan A hanya sebesar Rp.
14.666.667 (dari Rp. 26.666.667 – Rp. 12.000.000) dibandingkan pengeluaran kas untuk investasi
pada perusahaan B sebesar Rp. 16.000.000,-. Karena investor dapat memperoleh keuntungan
yang sama dengan menggunakan jumlah investasi yang lebih kecil dan risiko finansialnya juga
sama, maka investor akan melakukan langkah arbitrase tersebut. Dan apabila karena suatu alasan
kemudian harga saham perusahaan A lebih tinggi dari perusahaan B, maka proses abitrase akan
berlangsung juga, namun dalam arah yang sebalikya.

3. KETIDAKSEMPURNAAN PASAR DAN ISU INSENTIF

Dengan menggunakan asumsi bahwa pasar modal adalah sempurna, maka proses
penyeimbangan pasar akan menjamin kebenaran (validity) pendapat MM, yaitu bahwa biaya
modal dan penilaian keseluruhan perusahaan tidak tergantung pada struktur modalnya. Untuk
memperdebatkan hal ini haruslah digunakan dasar bahwa pasar modal sebenarnya adalah tidak
sempurna, yang menyebabkan proses penyeimbangan harga pasar tidak tergantung pada
keuntungan yang disyaratkan dan risiko sistematisnya. Dalam keadaan semacam ini “leverage”
mungkin mempunyai pengaruh atas nilai keseluruhan perusahaan dan biaya modalnya. Meskipun
demikian, ketidaksempurnaan ini tidak hanya harus cukup besar (materiil) tetapi juga harus
searah. Misalnya, biaya transaksi membatasi proses arbitrase yang telah dikemukakan di atas.
Jadi arbitrase hanya akan terjadi sampai dengan batas yang ditetapkan oleh biaya transaksi.
Walaupun demikian, pengaruh bersih dari ketidaksempurnaan ini tidaklah dapat diduga
sebagaimana arahnya. Berikut ini adalah argumen-argumen utama yang menentang proses
arbitrase Modigliani dan Miller.

1. Adanya Biaya Kebangkrutan

Apabila ada kemungkinan untuk bangkrut, dan apabila biaya kebangkrutan tersebut cukup
besar, maka perusahaan yang menggunakan hutang (leverage) mungkin menjadi kurang menarik
bagi para investor dibandingkan dengan perusahaan tanpa hutang. Dalam pasar yang sempurna
biaya kebangkrutan dianggap sama dengan nol. Apabila suatu perusahaan bangkrut, maka pada
hakekatnya aset perusahaan dianggap dapat dijual pada harga (nilai) ekonomisnya, dan tidak ada
biaya-biaya likuidasi. Kemudian penghasilan yang diperoleh dari penjualan kekayaan ini akan
dibagikan kepada para kreditur dan pemilik, sesuai dengan prioritas dan proporsinya. Jadi kreditur
menerima bagiannya dulu, baru pemegang saham preferen dan setelah itu sisanya untuk
pemegang saham biasa. Apabila ada biaya kebangkrutan, maka aktiva-aktiva tersebut mungkin
harus dijual pada harga yang lebih rendah (distress price) daripada nilai ekonomisnya.
Pengurangan ini merupakan kemungkinan para kreditur dan pemegang saham mendapatkan
claim mereka sepenuhnya.

Dalam kejadian kebangkrutan, para pemilik saham secara keseluruhan menerima bagian
kurang dari yang seharusnya apabila tidak ada biaya kebangkrutan. Karena perusahaan yang
memiliki hutang mempunyai kemungkinan yang lebih besar untuk mengalami kebangkrutan
daripada perusahaan yang tidak memiliki hutang, maka perusahaan tersebut menjadi kurang
menarik, apabila hal-haknya sama. Kemungkinan kebangkrutan biasanya bukan merupakan fungsi
linear dari perbandingan hutang dengan modal sendiri (debt to equity ratio) tetapi akan meningkat
dengan tingkat yang semakin tinggi setelah mencapai tingkat leverage tertentu. Sebagai hasilnya,
biaya kebangkrutan yang diharapkan akan meningkat semakin tinggi dan mempunyai efek negatif
yang sama terhadap nilai perusahaan dan biaya modalnya. Dengan kata lain, biaya modal sendiri
meningkat dengan semakin cepat.
2. Adanya Biaya Agensi

Biaya agensi adalah biaya yang berhubungan dengan pengawasan manajemen untuk
meyakinkan bahwa manajemen bertindak konsisten sesuai dengan perjanjian perusahaan dengan
kreditur dan pemegang saham. Biaya agensi memiliki hubungan cukup dekat dengan biaya
kebangkrutan yaitu berhubungan dengan pengaruh yang dimiliki atas struktur dan nilai modal.
Manajemen merupakan agen dari pemegang saham, sebagai pemilik perusahaan. Untuk dapat
melakukan fungsinya dengan baik, manajemen harus diberikan insentif dan pengawasan yang
memadai. Pengawasan dapat dilakukan dengan cara pengikatan agen, pemeriksaaan laporan
keuangan, dan pembatasan terhadap keputusan yang dapat diambil oleh manajemen. Kegiatan
pengawasan ini tentunya membutuhkan biaya.

Jensen dan Meckling telah mengembangkan suatu teori yang disebut agensi. Salah satu
pendapat dalam teori agensi adalah siapapun yang menimbulkan biaya pengawasan, maka biaya
yang timbul pasti merupakan tanggungan pemegang saham. Apabila kita memegang obligasi
maka dalam mengantisipasi biaya pengawasan, maka kita akan membebankan bunga yang lebih
tinggi. Jumlah pengawas yang diminta oleh pemegang obligasi akan meningkat seiring dengan
meningkatnya jumlah obligasi yang beredar. Biaya pengawasan seperti halnya biaya
kebangkrutan, cenderung meningkat pada tingkat kecepatan yang meningkat dengan adanya
financial leverage.

3. Hutang dan Insentif Bagi Efisiensi Manajemen

Dengan adanya tingkat hutang yang tinggi, maka manajemen berada pada posisi yang
“terdesak” karena harus memastikan arus kas yang dihasilkan mencukupi pembayaran hutang.
Oleh karena itu, manajemen memiliki insentif untuk menggunakan dana yang ada bagi investasi
yang menguntungkan dan berusaha menghindari timbulnya beban yang akan menghabiskan
dana. Caranya adalah perusahaan yang menggunakan leverage akan lebih efisien karena
manajemen berusaha menghilangkan biaya-biaya yang tidak perlu. Sedangkan, perusahaan
dengan sedikit pinjaman memiliki kecenderungan untuk tidak terlalu mengawasi pemakaian biaya-
biaya yang sebenarnya dapat dikurangi. Kekhawatiran karena tidak mampu membayar hutang
merupakan insentif bagi manajemen dalam hal efisiensi.

4. Batasan-batasan Institusional

Batasan-batasan yang dimiliki oleh lembaga-lembaga yang membeli saham sering


membatasi proses arbitrase. Misalnya lembaga dana pensiun, perusahaan asuransi dan lembaga
pendidikan, yang memiliki saham, tidaklah mudah untuk membuat hutang. Lembaga-lembaga
tersebut harus menjaga hutang dalam tingkatan yang tetap “aman”. Di samping itu mereka juga
tidak boleh begitu saja membeli saham perusahaan-perusahaan yang mempunyai tingkat leverage
yang tinggi. Dengan demikian perusahaan-perusahaan dengan tingkat leverage yang tinggi akan
“kehilangan” pembeli saham (lembaga-lembaga tersebut).

5. Biaya-biaya Transaksi

Biaya-biaya transaksi cenderung membatasi proses arbitrase. Arbitrase akan terjadi jika
biaya transaksi mencapai jumlah tertentu, di luar itu arbitrase tidak akan memberikan keuntungan
lagi. Akibatnya, perusahaan yang menggunakan leverage akan memiliki nilai total yang sedikit
lebih tinggi atau lebih rendah dari yang diperkirakan.

6. Pengaruh Pajak terhadap Perusahaan

Apabila dimasukkan unsur pajak, maka kita harus rnenilai kembali pendapat bahwa
perubahan struktur modal tidak mempengaruhi nilai perusahaan. Hal ini disebabkan karena
pembayaran bunga atas hutang bisa dipakai untuk mengurangi pajak (tax deductible). Dengan
demikian hal ini akan menurunkan rata-rata tertimbang dari biaya modal setelah pajak, tidak
seperti yang dikemukan oleh MM. Untuk lebih jelasnya perhatikan contoh berikut ini :

Perusahaan A dan B memiliki laba operasi bersih (net operating income) masing-
masing sebesar Rp. 16.000.000,-. Perusahaan B memiliki hutang sebesar Rp. 40.000.000,- dengan
bunga 12%, sedangkan perusahaan A tidak memiliki hutang. Jika tarif pajak sebesar 40%, maka diperoleh:

Perusahaan A Perusahaan B
Keterangan
(Rp)
(Rp)

Laba operasi bersih 16.000.000 16.000.000

Bunga hutang 0 4.800.000

Keuntungan sebelum pajak 16.000.000 11.200.000

Pajak 40% 6.400.000 4.480.000

Laba yang tersedia bagi pernegang saham 9.600.000 6.720.000

Total laba yang tersedia bagi pernegang 9.600.000 11.520.000


saham

Perbedaan keuntungan yang tersedia bagi pernegang saham antara perusahaan A dan
perusahaan B adalah = Rp. 11.520.000 – Rp. 9.600.000) = Rp. 1.920.000,-. Hal ini bisa
terjadi karena investor pada perusahaan B (pemegang obligasi) akan menerima
pembayaran bung; sebelum dikurangi pajak, sedangkan investor pada perusahaan A
(pemegang saham) aka menerima dividen setelah digunakan untuk membayar pajak
sehingga investor di perusahaa A akan menerima laba yang lebih kecil.

Você também pode gostar