Você está na página 1de 40

BAB I

PENDAHULUAN

Sendi bahu merupakan suatu persendian yang mempunyai pergerakan yang sangat

mobile ke berbagai arah sehingga memungkinkan terjadinya gangguan pada bahu. Gangguan

aktivitas fungsional bahu bersifat krepitasi yang diawali rasa nyeri yang timbul saat

melakukan gerakan aktif maupun pasif.

Frozen shoulder secara terminologis berasal dari kata frozen yang berarti kaku dan

shoulder yang berarti bahu, sehingga frozen shoulder dapat diartikan sebagai kekakuan sendi

bahu. Menurut istilah, frozen shoulder merupakan gejala untuk semua gerakan gangguan

sendi bahu yang menimbulkan rasa nyeri dan keterbatasan gerak. Biasaya keluhan ini

disebabkan karena cedera yang relatif kecil pada bahu tetapi penyebab yang sering

berkembang belum jelas. Frozen shoulder juga sering dikaitkan dengan masalah kesehatan

lainnya seperti diabetes millitus (Teyhen, 2013).

Frozen shoulder di klasifikasikan berdasarkan penyebabnya terdiri atas frozen shoulder

primer dan frozen shoulder sekunder. Frozen shoulder dikatakan primer apabila penyebab

spesifik dari kondisi ini belum diketahui. Kemungkinan penyebab termasuk perubahan dalam

sistem kekebalan tubuh, atau ketidakseimbangan biokimia dan hormon. Penyakit seperti

diabetes mellitus, dan beberapa gangguan kardiovaskular dan neurologis juga dapat menjadi

faktor penyebab. Bahkan, pasien dengan diabetes memiliki risiko tiga kali lebih tinggi

terkena frozen shoulder daripada populasi umum. Frozen shoulder primer dapat

memengaruhi kedua bahu dan mungkin resisten terhadap sebagian besar bentuk perawatan.

Sedangkan frozen shoulder sekunder merupakan frozen shoulder yang telah diketahui
penyebabnya seperti kekakuan setelah cedera bahu, operasi, atau periode imobilisasi yang

berkepanjangan.

Secara epidemiologi frozen shoulder terjadi sekitar usia 40 - 65 tahun. Dari 2-5%

populasi sekitar 60% dari kasus frozen shoulder lebih banyak mengenai perempuan

dibandingkan dengan laki - laki. Frozen shoulder juga terjadi pada 10 - 20% dari penderita

diabetus millitus yang merupakan salah satu faktor resiko frozen shoulder (Miharjanto, et al.,

2010).

Frozen shoulder memiliki beberapa diagnosa banding antara lain: (1) tendinitis

supraspinatus, (2) tendinitis bisipitalis, (3) bursitis subakromialis, dan (4) ruptur rotator cuff

(Kuntono, 2004).

Pada kasus frozen shoulder, fisioterapi berperan untuk mengurangi nyeri, mencegah

kekakuan/keterbatasan sendi lebih lanjut, meningkatkan kekuatan otot sekitar bahu, dan

membantu mengembalikan aktivitas fungsional pasien. Modalitas fisioterapi yang dapat

digunakan untuk memberikan terapi pada kasus ini adalah short wave diathermy, terapi

latihan, interferential current, dan terapi manipulasi.

https://www.scribd.com/doc/315739184/Anatomi-Fungsional-Sendi-Bahu 9.27

https://silviaphysio.wordpress.com/2012/10/21/frozen-shoulder/ 9.30

http://eprints.ums.ac.id/25496/18/NASKAH_PUBLIKASI_.pdf 9.31

http://aiyutaka.blogspot.com/2013/02/makalah-frozen-shoulder.html 10.50
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Tinjauan Frozen Shoulder

1. Struktur Anatomi Shoulder

Shoulder kompleks merupakan sendi yang paling kompleks pada tubuh

manusia karena memiliki 5 sendi yang saling terpisah. Shoulder kompleks

tersusun oleh 3 tulang utama yaitu clavicula, scapula, dan humerus yang

membentuk kombinasi three joint yang menghubungkan upper extremity dengan

thoraks.

Shoulder kompleks terdiri atas 3 sendi sinovial dan 2 sendi non-sinovial.

Ketiga sendi sinovial adalah sternoclavicular joint, acromioclavicular joint, dan

glenohumeral joint, sedangkan kedua sendi non-sinovial adalah suprahumeral

joint dan scapulothoracic joint. Suprahumeral joint merupakan syndesmosis

karena pertemuan kedua tulang hanya dihubungkan oleh ligamen (jaringan

fibrous) dan secara fungsional terlibat pada gerakan elevasi, depresi, protraksi,

retraksi, abduksi dan fleksi shoulder. Scapulothoracic joint merupakan sendi

fungsional karena secara anatomis tidak memiliki karakteristik arsitektur sendi,

dimana sendi ini secara fungsional terlibat pada gerakan elevasi, depresi,

protraksi, retraksi, abduksi dan fleksi shoulder.

a. Sternoclavicular joint

Sternoclavicular joint dibentuk oleh ujung proksimal clavicula yang

bersendi dengan incisura clavicularis dari manubrium sternum dan cartilago costa

I. Sternoclavicular joint terdiri dari 2 permukaan yang berbentuk saddle, salah


satu permukaan terdapat pada ujung proksimal clavicula dan satu permukaan lagi

terdapat pada incisura clavicularis dari manubrium sternum, sehingga

sternoclavicular joint tergolong kedalam saddle joint.

Sternoclavicular joint memiliki diskus artikular fibrokartilago yang dapat

memperbaiki kesesuaian kedua permukaan tulang yang bersendi & berperan

sebagai shock absorber. Sternoclavicular joint dibungkus oleh kapsul artikularis

yang tebal dan kendor, serta diperkuat oleh ligamen sternoclavicular anterior dan

posterior. Selain ligamen sternoclavicular anterior dan posterior, sendi ini juga

diperkuat oleh ligamen costoclavicularis dan interclavicularis. Ligamen

costoclavicular memiliki 2 lamina yaitu lamina anterior yang memiliki serabut

kearah lateral dari costa I ke clavicula, dan lamina posterior yang memiliki serabut

kearah medial dari costa I ke clavicula. Ligamen interclavicularis

menghubungkan kedua ujung proksimal clavicula dan ikut menstabilisasi

sternoclavicular joint.

Gambar 2.1. Struktur sendi sternoclavicular


b. Acromioclavicular joint

Acromioclavicular joint dibentuk oleh processus acromion scapula yang

bersendi dengan ujung distal clavicula. Acromioclavicular joint termasuk

kedalam irregular joint atau plane joint dengan permukaan sendi yang hampir

rata, dimana permukaan acromion berbentuk konkaf dan ujung distal clavicula

berbentuk konveks. Acromioclavicular joint memiliki diskus artikular diantara

kedua permukaan tulang pembentuk sendi.

Acromioclavicular joint dibungkus oleh kapsul artikularis yang lemah

tetapi diperkuat oleh ligamen acromioclavicularis superior dan inferior. Pada

bagian posterior dan superior sendi juga diperkuat oleh aponeurosis otot upper

trapezius dan deltoideus. Ligamen coracoclavicularis (serabut trapezoideum pada

sisi lateral dan serabut conoideum pada sisi medial) dan ligamen coracoacromialis

tidak berhubungan langsung dengan acromioclavicular joint tetapi ikut membantu

menstabilisasi acromioclavicular joint.

Gambar 2.2. Struktur sendi acromioclavicular


c. Glenohumeral joint

Glenohumeral joint dibentuk oleh caput humeri yang bersendi dengan

cavitas glenoidalis yang dangkal. Glenohumeral joint termasuk sendi ball and

socket joint dan merupakan sendi yg paling bebas pada tubuh manusia.

Caput humeri yang berbentuk hampir setengah bo-la memiliki area

permukaan 3 – 4 kali lebih besar daripada fossa glenoidalis scapula yang dangkal

se-hingga memungkinkan terjadinya mobilitas yang tinggi pada shoulder. Fossa

glenoidalis diperlebar oleh sebuah bibir/labrum fibrokartilago yang mengelilingi

tepi fossa, disebut dengan “labrum glenoidalis”. Labrum glenoidalis dapat

membantu menambah stabilitas glenohumeral joint. Kapsul artikularisnya kendor

dan jika lengan ter-gantung ke bawah akan membentuk kantong kecil pada

permukaan medial, yang disebut “recessus axillaris”.

Bagian atas kapsul diperkuat oleh lig. coracohumeral dan bagian anterior

kapsul diperkuat oleh 3 serabut lig. glenohumeral yang lemah yaitu lig.

glenohumeral superior, middle dan inferior. Ada 4 tendon otot yang memperkuat

kapsul sendi yaitu supraspinatus, infraspinatus, teres minor dan subscapularis.

Keempat otot tersebut dikenal dengan “rotator cuff muscle”, berperan sebagai

stabilitas aktif shoulder joint.

Selain rotator cuff muscle, stabilitas aktif sendi juga dibantu oleh tendon

caput longum biceps brachii. Rotator cuff muscle memberikan kontribusi

terhadap gerakan rotasi humerus dan tendonnya membentuk collagenous cuff

disekitar sendi shoulder sehingga membungkus shoulder pada sisi posterior,

superior dan anterior. Ketegangan dari rotator cuff muscle dapat menarik caput
humerus kearah fossa glenoidalis sehingga memberikan kontribusi yang

signifikan terhadap stabilitas sendi.

Gambar 2.3. Struktur glenohumeral joint (shoulder joint)

d. Suprahumeral joint

Suprahumeral joint terdiri atas coracoclavicular joint dan

coracoacromialis joint. Kedua sendi tersebut tidak memiliki karakteristik sinovial,

kedua tulang hanya dihubungkan oleh ligamen sehingga tergolong syndesmosis.

Coracoclavicularis joint dibentuk oleh processus coracoideus scapula dan

permukaan inferior clavicula yang diikat oleh lig. coracoclavicularis.

Coracoacromialis joint dibentuk oleh processus coracoideus scapula dan

processus acromion scapula yang diikat oleh lig. coracoacromialis.

Suprahumeral joint memiliki ruang dengan atapnya adalah processus

acromion dan ujung distal clavicula sedangkan dindingnya adalah ligamen coraco

acromialis dan ligamen coracoclavicularis (serabut trapezoideum dan serabut


conoideum). Didalam ruang suprahumeral terdapat struktur jaringan yaitu bursa

subacromialis/subdeltoidea, tendon supraspinatus & tendon caput longum biceps.

Bursa subacromial berperan sebagai bantal dari rotator cuff muscle

terutama otot supraspinatus dari tulang acromioin diatasnya. Bursa subacromial

dapat menjadi teriritasi akibat kompresi yang berulang-ulang selama aksi/pukulan

overhead lengan.

e. Scapulothoracic joint

Scapulothoracic joint merupakan pertemuan antara scapula dengan

dinding thoraks, yang dibatasi oleh otot subscapularis & serratus anterior.

Scapulothoracic joint dipertahankan oleh 3 otot trapezius, rhomboid major et

minor, serratus anterior & levator scapula. Otot-otot yang melekat pada scapula

melakukan 2 fungsi yaitu :

1) Fungsi pertama ; otot-otot tersebut berkontraksi untuk menstabilisasi regio

shoulder. Sebagai contoh, ketika kopor/tas diangkat dari lantai maka otot

levator scapula, trapezius & rhomboid berkontraksi untuk menyanggah

scapula.

2) Fungsi kedua ; otot-otot scapula dapat memfasilitasi gerakan-gerakan upper

extremitas melalui posisi yang tepat dari glenohumeral joint. Sebagai cntoh,

selama lemparan overhead otot rhomboid berkontraksi untuk menggerakkan

seluruh shoulder kearah posterior pada saat humerus horizontal abduksi dan

exorotasi selama fase persiapan melempar. Pada saat lengan dan tangan

bergerak ke depan untuk melakukan lemparan, maka ketegangan otot

rhomboid dilepaskan untuk memberikan gerakan ke depan dari shoulder joint.


2. Biomekanik Shoulder

a. Sternoclavicular joint

Sternoclavicular joint merupakan bentuk sendi saddle biaxial yang

memiliki 2 pasang gerakan (2 DKG) yaitu elevasi – depresi dan protraksi –

retraksi. Gerakan elevasi – depresi terjadi dalam bidang gerak frontal (axis

sagital), sedangkan gerakan protraksi – retraksi terjadi dalam bidang gerak

transversal (axis longitudinal).

ROM elevasi adalah 0o – 48o, sedangkan ROM depresi sebesar 0o –

15o. Otot yang bekerja pada gerakan elevasi adalah upper trapezius dan

levator scapula, sedangkan otot yang bekerja pada gerakan depresi adalah

pectoralis minor, subclavius, lower trapezius, dan latissimus dorsi.

ROM protraksi adalah 0o – 15o/20o, sedangkan ROM retraksi adalah

0o – 20o/30o. Otot yang bekerja pada gerakan protraksi adalah serratus

anterior, pectoralis minor, dan pectoralis major. Sedangkan otot yang bekerja

pada gerakan retraksi adalah rhomboid major et minor dan middle trapezius.

b. Glenohumeral joint (shoulder joint)

Sendi-sendi yang menyusun atau membentuk shoulder kompleks

memberikan kontribusi terhadap gerakan 180o abduksi/fleksi – elevasi

shoulder, dimana gerakan tersebut menghasilkan kombinasi gerakan pada

scapula, clavicula, dan humerus. Gerakan scapula terhadap thoraks secara

normal memberikan kontribusi sekitar 1/3 dari total gerakan abduksi/fleksi –

elevasi shoulder melalui hubungan gerakan pada sternoclavicular joint dan


acromioclavicular joint, sedangkan glenohumeral joint memberikan

kontribusi sekitar 2/3 dari total gerakan abduksi/fleksi – elevasi shoulder.

Bentuk dari shoulder girdle atau gelang bahu yang menyebabkan

terjadinya mobilitas extremitas superior, sehingga membuat tangan dapat

diletakkan pada hampir semua ruang dalam bentuk gerakan sperikal.

Meskipun demikian, keadaan diatas dibatasi oleh faktor utama, yakni panjang

lengan dan ruang dimana tubuh akan melakukan gerakan. Adanya kombinasi

mekanik dan sendi otot-ototnya akan menyediakan mobilitas sekaligus

dengan kontrolnya.

Shoulder joint adalah sendi proksimal pada anggota gerak atas yang

paling mobilitas dari sendi-sendi tubuh manusia. Persendian ini mempunyai

3 DKG dan terjadi pada 3 bidang gerak dengan axis-axis sebagai berikut :

a. Axis transversalis, untuk mengontrol gerakan fleksi dan ekstensi yang

dilakukan pada gerakan sagital.

b. Axis antero-posterior, mengontrol gerakan Abduksi yang Adduksi

dilakukan pada bidang gerak frontal.

c. Axis vertikalis, berjalan melalui perpotongan bidang gerak fleksi dan

ekstensi yang dilakukan bidang gerak horizontal dengan lengan dalam

posisi Abduksi 90°.

d. Axis longitudinal humeri, untuk mengontrol gerakan endorotasi dan

exorotasi lengan.

Gerakan-gerakan Osteokinematika adalah :


a. Gerakan fleksi/ekstensi, terjadi pada bidang gerak sagital dengan axis

transversalis/frontalis :

1) Extensi : 45 - 50°.

2) Fleksi : 180°, perlu dicatat posisi fleksi 180°, sama dengan Abduksi

180°.

3) Otot yang bekerja pada gerakan fleksi adalah pectoralis major,

coracobrachialis, biceps brachii, dan deltoideus pars anterior

4) Otot yang bekerja pada gerakan ekstensi adalah teres major, triceps

brachii (caput longum), deltoideus pars posterior, dan latissimus dorsi.

b. Gerakan Abduksi/Adduksi

Abduksi adalah gerakan dari anggota gerak atas menjauhi

trunkus, yang terjadi pada bidang gerak frontal dengan axis antero-

posterior, dimana saat Abduksi 180°, maka tangan akan vertikal di atas

trunkus. Sedangkan Adduksi adalah sebaliknya. Gerakan

Abduksi/Adduksi dimulai dengan posisi awal :

1) Abduksi terjadi hingga 180°, sama dengan posisi fleksi 180°.

2) Adduksi, dapat dilakukan dalam 2 posisi yaitu : kombinasi adduksi +

ekstensi, adduksi + fleksi (30 - 45°).

3) Otot yang bekerja pada gerakan abduksi adalah supraspinatus dan

deltoideus pars middle.

4) Otot yang bekerja pada gerakan adduksi adalah pectoralis major,

teres major, dan latissimus dorsi.


Gambar 2.4. Gerakan fleksi/ekstensi shoulder
Gambar 2.5. Gerak abduksi/adduksi shoulder

c. Gerakan rotasi lengan

Terjadi pada axis frontalis humeri

1) Posisi awal, abduksi 90° sehingga lengan bawah pada bidang gerak

sagital (lengan bawah dalam posisi pronasi).

2) Eksorotasi 80 - 90°.
3) Endorotasi 90 - 95°.

4) Otot yang bekerja pada gerakan eksorotasi adalah infraspinatus dan

teres minor.

5) Otot yang bekerja pada gerakan endorotasi adalah subscapularis dan

pectoralis major pars clavicularis.

d. Gerakan rotasi axial

Terjadi pada axis longitudinal humeri

1) Posisi awal, lengan bawah disamping tubuh dengan fleksi elbow 90o

(lengan bawah dalam posisi midposition).

2) Eksorotasi 80 - 90°.

3) Endorotasi 90 - 95°.

Untuk memperoleh endorotasi yang luas, maka lengan bawah

harus diletakkan di belakang trunkus/punggung.

e. Gerakan-gerakan sendi gelang bahu pada bidang gerak horizontal.

Pada gerakan ini akan turut melibatkan scapula pada thoraks, seperti :

1) Posisi awal

2) Gerakan scapula kebelakang dari sendi gelang bahu.

3) Gerakan scapula kedepan dari sendi gelang bahu.

Dimana ROM untuk gerakan ke depan lebih besar dari pada ke

belakang. Adapun otot-otot yang terlibat :

1) Forward movement : pectoralis mayor, pectoralis minor dan serratus

anterior.
2) Backward movement : rhomboid, trapezius (bagian transversal),

latissimus dorsi.

f. Gerakan lengan atas pada bidang gerak horizontal.

Terjadi pada axis vertikal, serta melibatkan shoulder dan scapula

ROM total = 180° .

1) Posisi awal : 90° Abduksi pada bidang gerak frontal

Otot yang berperan adalah deltoid (serabut acromialis), supraspinatus,

trapezius ( bagian upper dan middle).

2) Fleksi + Abduksi anterior : ROM 140°

Otot yang bekerja adalah deltoid (serabut yang melekat pada spina

scapula), intraspinatus teras mayor, pectoralis minor serratus anterior.

3) Ekstensi + Adduksi posterior : ROM 30° .

Otot yang bekerja adalah deltoid (serabut yang melekat pada spina

scapula), infraspinatus, teras mayor, teres minor, trapezius (serabut

transversalis), latissimus dorsi.

g. Gerakan codman’s paradox

Gerakan ini dapat menguji integritas permukaan sendi, yang

proses pelaksanaannya sebagai berikut :

1) Mulai dari posisi fundamental dengan ekstremitas superior tergantung

vertikal disamping badan, telapak tangan menghadap kearah medial

serta ibu jari tangan menghadap ke anterior, selanjutnya abduksikan

lengan sampai 180° pada bidang gerak frontal, kemudian kembalikan

lengan ke posisi semula, tetapi lengan sudah bergantung pada samping


badan dalam posisi telapak tangan menghadap kearah lateral dan ibu

jari pada posisi posterior.

2) Kombinasi gerakan tersebut sebagai mekanikal resultan, dimana

manuver tersebut tidak dapat dilakukan sebagai terbalik.

Gambar 6.6. Gerakan codman’s paradox


h. Gerakan sirkumduksi

Adalah gerakan kombinasi yang elemen-elemennya dari 3 axis,

sehingga akan membentuk kerucut. Adapun bidan gerak yang terjadi

adalah :

1) Bidang gerak sagital (fleksi dan ekstensi)

2) Bidang gerak frontal (Adduksi dan abdukasi)

3) Bidang gerak horizontal (fleksi dan ekstensi saat lengan Abduksi 90° )

Analisis gerakan abduksi dan fleksi

Ada 3 fase gerak abduksi yaitu :

a. Fase I : 0o – 90o

Otot yang berperan adalah deltoid dan surpraspinatus, dan pada

akhir 90° maka bahu akan terkunci oleh tertumbuknya tuberositas

mayus humeri pada margo superior glenoidalis. Apabila dilakukan

exorotasi humeri maka akan membuat tuberositas mayus berpindah

kearah posterior untuk menghilangkan hambatan penguncian

mekanikal.

b. Fase II : 90o – 150o

Bahu akan terkunci sehingga membutuhkan partisipasi dari sendi

gelang bahu berupa gerakan :

1) Swing scapula berotasi dengan arah berlawanan jarum jam untuk

membuat cavitas glenoidalis menghadap ke superior . adapun jarak

gerak sendinya adalah 60° .


2) Rotasi aksial dari sternoclavicular joint dan acromioclavicular joint

yang memberikan kontribusi masing-masing 30°.

Otot yang berperan adalah trapezius dan serratus anterior.

Gerakan ini sekitar 150° (90° + 60° yang dihasilkan rotasi scapula) akan

ditahan oleh penguluran otot adductor, seperti : latissimus dorsi dan

pectoralis mayor.

c. Fase III : 150o – 180o

Untuk membuat tangan dapat menjangkau posisi vertikal, maka

gerakan columna vertebralis menjadi diperlukan jika hanya satu lengan

abduksi maksimal, maka akan terjadi perpindahan columna vertebralis

kearah lateral oleh adanya aksi dari otot spinalis kontralateral.

Columna vertebralis akan mulai membengkok sebelum

mencapai abduksi 150°. dan diakhir abduksi semua abduktor akan

berkontraksi.

Ada 3 fase gerakan fleksi yaitu :

a. Fase I : 0o – 50o/60o

Otot yang berperan : deltoid pars anterior, corcobrachialis,

pectoralis mayor pars clavicularis.

Gerakan ini dibatasi oleh 2 faktor, yaitu :

 Ketegangan lig. Coraco-humeral.

 Tahanan oleh teres minor, teres mayor dan infraspinatus.

b. Fase II : 50o/60o – 120o


Pada saat 60° akan terjadi rotasi scapula, sehingga cavitas

glenoidalis menghadap kearah superior dan anterior.

Ada 2 sendi yang memberikan kontribusi pada 30° yaitu

sternoclavicular dan acromioclavicular joint dengan rotasi aksial.

Otot yang bekerja adalah trapezius dan serratus anterior.

Gerakannya dibatasi oleh tahanan dari otot latissimus dorsi dan

pectoralis mayor pars costosternalis

c. Fase III : 120o – 180o

Hampir identik dengan fase gerak III Abduksi berupa

keterlibatan ruas tulang belakang untuk menambah lordosis lumbal

oleh otot-otot lumbalis.

Ligament glenohumeral untuk membatasi gerakan Abduksi-adduksi

dan endorotasi-eksorotasi.

3. Patologi

1. Definisi
Frozen shoulder secara terminologi terdiri atas frozen yang berarti

kaku dan shoulder yang berarti bahu, sehingga frozen shoulder dapat diartikan

sebagai kekakuan sendi bahu.

Frozen shoulder merupakan rasa nyeri yang mengakibatkan

keterbatasan lingkup gerak sendi (LGS) pada bahu. Mungkin timbul karena

adanya trauma, mungkin juga timbul secara perlahan-lahan tanpa tanda-tanda

atau riwayat trauma. Keluhan utama yang dialami adalah nyeri dan penurunan
kekuatan otot penggerak sendi bahu dan keterbatasan LGS terjadi baik secara

aktif atau pasif.

2. Etiologi
Frozen shoulder di klasifikasikan berdasarkan penyebabnya terdiri

atas frozen shoulder primer dan frozen shoulder sekunder.

Frozen shoulder dikatakan primer apabila penyebab spesifik dari

kondisi ini belum diketahui. Kemungkinan penyebab termasuk perubahan

dalam sistem kekebalan tubuh, atau ketidakseimbangan biokimia dan

hormon. Penyakit seperti diabetes mellitus, dan beberapa gangguan

kardiovaskular dan neurologis juga dapat menjadi faktor penyebab. Bahkan,

pasien dengan diabetes memiliki risiko tiga kali lebih tinggi terkena frozen

shoulder daripada populasi umum.

Frozen shoulder dilihat dari letak penyebabnya dibedakan menjadi dua

yaitu capsulitis adhesiva dimana gangguan terjadi di dalam sendi dan peri

artrhritis shoulder ketika gangguan berada diluar sendi.

Capsulitis adhesiva adalah hilangnya mobilitas aktif dan pasif dari

sendi glenohumeral secara insidious (tidak jelas pemunculannya) dan

progresif akibat kontraktur kapsul sendi. (Vermeulen et al 2000).

Capsulitis adhesiva terjadi akibat trauma lansung, disuse atau auto

immobilisasi yang berlansung lama dimana lengan terpaku dalam keadaan

diam atau jarang digerakkan.

Menurut Cluett (2007), frozen shoulder sering terjadi tanpa didahului

cedera atau penyebab yang nyata. Ada pasien yang mengalami frozen
shoulder setelah trauma shoulder, tetapi ini bukan penyebab yang lazim.

Faktor etiologi frozen shoulder antara lain :

a. Usia dan jenis kelamin

Frozen shoulder paling sering terjadi pada orang yang berusia antara 40 –

60 tahun dan biasanya wanita lebih banyak daripada pria.

b. Gangguan endokrin

Penderita diabetes militus berisiko tinggi mengalami frozen shoulder.

Gangguan endokrin yang lain misalnya masalah Thyroid dapat juga

mencetuskan kondisi ini.

c. Trauma sendi bahu

Pasien yang mengalami cedera atau menjalani operasi pada bahu dan

disertai imobilisasi sendi bahu dalam waktu lama akan berisiko tinggi

mengalami frozen shoulder.

3. Tanda dan Gejala

a. Nyeri

Pasien berumur 40-60 tahun, dapat memiliki riwayat trauma,

seringkali ringan, diikuti sakit pada bahu dan lengan nyeri secara

berangsur-angsur bertambah berat dan pasien sering tidak dapat tidur pada

sisi yang terkena. Setelah beberapa lama nyeri berkurang, tetapi sementara

itu kekakuan semakin terjadi, berlanjut terus selama 6-12 bulan setelah

nyeri menghilang. Secara berangsur-angsur pasien dapat bergerak

kembali, tetapi tidak lagi normal ( Appley,1993 ).


b. Keterbatasan Lingkup gerak sendi

Capsulitis adhesive ditandai dengan adanya keterbatasan luas gerak

sendi glenohumeral yang nyata, baik gerakan aktif maupun pasif. Ini

adalah suatu gambaran klinis yang dapat menyertai tendinitis, infark

myokard, diabetes melitus, fraktur immobilisasi berkepanjangan

atau redikulitis cervicalis. Keadaan ini biasanya unilateral, terjadi pada

usia antara 45–60 tahun dan lebih sering pada wanita.

Nyeri dirasakan pada daerah otot deltoideus. Bila terjadi pada

malam hari sering sampai mengganggu tidur. Pada pemeriksaan fisik

didapatkan adanya kesukaran penderita dalam mengangkat lengannya

(abduksi), sehingga penderita akan melakukan dengan mengangkat

bahunya (srugging) (Heru P Kuntono,2004).

c. Penurunan Kekuatan otot dan Atropi otot

Pada pemeriksaan fisik didsapat adanya kesukaran penderita

dalam mengangkat lengannya (abduksi) karena penurunan kekuatan otot.

Nyeri dirasakan pada daerah otot deltoideus, bila terjadi pada malam hari

sering menggangu tidur. Pada pemeriksaan didapatkan adanya kesukaran

penderita dalam mengangkat lengannya (abduksi), sehingga penderita

akan melakukandengan mengangkat bahunya (srugging). Juga dapat

dijumpai adanya atropi bahu (dalam berbagaoi tingkatan). Sedangkan

pemeriksaan neurologik biasanya dalam batas normal (Heru P Kuntono,

2004).
4. Patolofisiologi

Patofisologi kasus Frozen Shoulder melibatkan immobilisasi yang

lama pada lengan yang diakibatkan karena adanya nyeri dan ketakutan dari

penderita untuk mengerakan bahu merupakan awal dari terjadinya Frozen

Shoulder.

Peradangan berlebih yang melibatkan sinovitis dengan diikuti fibrosis

dari kapsul sendi dan hilangnya lipatan ketiak yang normal serta

lingkup gerak sendi, sehingga menyebabkan penurunan yang

signifikan dari gerak sendi bahu. Kontraktur pada kapsuler yang

diperkirakan hasil dari perlengketan permukaan kapsul atau

fibroblastik proliferasi dalam menanggapi produksi sitokin. Dalam capsulitis

adhesiva, kapsul sendi bahu mengalami penebalan, dan

inflamasi ringan infiltrasi kronis dan kemungkinan terjadi fibrosis.

Hal ini menyebabkan kekakuan pada coracohumeral ligament,

yang membatasi gerak passive movement pada sendi bahu,

terutama pada gerakan eksternal rotasi. Ini yang di sebut dengan

Frozen Shoulder akibat Capsulitis Adhesiva (Sunam dan Zahangir,

2014).
B. Tinjauan Assessment dan Pengukuran Fisioterapi

1. Palpasi

Palpasi merupakan suatu pemeriksaan dengan cara memegang, menekan

dan meraba bagian tubuh pasien. Bertujuan untuk mengetahui adanya spasme

otot, nyeri tekan, suhu lokal, tonus, oedema dan perubahan bentuk.

2. Pemeriksaan Gerakan Dasar

a. Gerak aktif

Gerak aktif merupakan gerak yang dilakukan secara mandiri oleh

pasien untuk menetukan ada atau tidaknya nyeri dan keterbatasan gerak.

b. Gerak pasif

Gerak pasif merupakan gerak yang dibantu oleh terapis, pasien dalam

keadaan diam, dan terapis yang sepenuhnya menggerakkan tubuh pasien.

Pada pemeriksaan gerak pasif yang dilakukan, pada saat posisi pasien berdiri,

secara pasif shoulder pasien di gerakkan kearah fleksi, ekstensi, adduksi,

abduksi, endorotasi dan eksorotasi.

c. Gerak isometrik melawan tahanan

Gerak isometrik melawan tahanan merupakan gerak aktif, namun

mendapatkan tahanan dari terapis, dan dari gerakan ini tidak menimbulkan

gerakan atau perubahan lingkup gerak sendi.


3. Apley Sratch Test

Tes ini Untuk pemeriksaan pasien diminta menggaruk-garuk daerah

disekitar angulus medialis scapula dengan tangan sisi contralateral melewati

belakang kepala pada pola gerakan tersebut otot-otot abductor dan eksternal

rotasi bahu bekerja pada tendonitis supraspinatus, bursitis akromialis dan

kapsulitis adhesive bahu apley scratch tidak dapat dilakukan oleh pasien karena

timbul nyeri disekitar persendian bahu.

4. Apprehension Test

Tes ini bertujuan untuk mendeteksi instability shoulder bagian anterior.

Prosedur test yaitu paien duduk dengan posisi awal elbow fleksi 900. Praktikkan

meletakkan satu tangan untuk menggenggam wrist pasien dan tangan satunya

untuk menstabilisasi shoulder. Praktikkan selanjutnya secara pasif menggerakkan

lengan pasien kea rah abduksi shoulder sekitar 900 dan full eksorotasi.

5. Visual Analog Scale

VAS adalah alat ukur digunakan untuk mengukur kuantitas dan kualitas

nyeri yang pasien rasakan, dengan menampilkan suatu kategorisasi nyeri mulai

“tidak nyeri, ringan, sedang, atau berat”.

Dengan menggunakan sebuah penggaris atau mistar, skor VAS ditentukan

dengan menentukan jarak di atas gari 10 cm dari titi “tidak nyeri”ke titik yang

ditandai oleh pasien, dengan range skor dari 0-100 mm. Skor yang lebih tinggi

mengindikaskan intensitas nyeri lebih besar. Sebagai alat ukur, VAS jelas bersifat
subjective, menghasilkan data interval dengan nilai-nilai rasio yang subjective

pula.

6. Manual Muscle Testing

Test kekuatan otot digunakan untuk menentukan fungsi capability dari

suatu otot atau sekelompok otot dalam menyiapkan gerakan serta kemampuannya

sebagai stabilisator aktif dan support.

Kecurigaan adanya penurunan kekuatan otot dapat ditest dan diukur

melalui pendekatan Manual Muscle Testing (MMT) sebagai langkah mudah

untuk menentukan otot atau gerakan yang dipengaruhi dan level weaknes yang

terjadi. MMT adalah sebuah metode untuk menilai fungsi dan kekuatan dari

individual otot dan sekelompok otot berdasarkan kemampuan dalam

menghasilkan suatu gerakan terkait gaya gravitasi dan tahanan manual melalui

ROM yang ada.

7. Range Of Motion

Range of Motion adalah lengkungan yang terbentuk melalui gerakan aktif

dan pasif pada sendi atau serangkaian sendi dengan menghasilkan sudut gerak.

Fisioterapis menggunakan tes dan pengukuran Joint-ROM untuk menilai

biomekanik dan arthrokinematik dari suatu persendian, termasuk fleksibilitas dan

karakteristik gerakan. Kehilngan Joint-ROM dikaitkan dengan gangguan fungsi

dalam banyak kasus. Respon dimonitoring pada saat istirahat, selama kegiatan,

dan setelah aktivitas yang dapat mengindikasikan kehadiran atau beratnya


impairment, activity limitation, dan participation restriction. Test dan pengukuran

ROM dilakukan dengan menggunakan alat yang disebut Goniometer.

C. Tinjauan Intervensi Fisioterapi

1. SWD

Short Wave Diathermy (SWD) adalah suatu alat terapi yang

menggunakan pemanasan yang pada jaringan dengan merubah energi

elektromagnet menjadi energi panas. Short Wave Diathermy biasa disebut dengan

Diathermy gelombang pendek. Berfungsi untuk memperlancar peredaran darah,

mengurangi rasa sakit, mengurangi spasme otot, membantu meningkatkan

kelenturan jaringan lunak, mempercepat penyembuhan radang.Terapi panas

penentrasi dalam dengan menggunakan gelombang elektromagnetik frekuensi

27,12 MHz, panjang gelombang 11 m.

2. Cold pack

Cold pack adalah gel beku yang digunakan fisioterapi untuk merawat

daerah yang nyeri dan peradangan. Cold pack dibalutkan pada handuk yang

basah dan diletakkan langsung pada daerah yang membutuhkan perawatan. Efek

dingin dari cold pack disalurkan ke kulit, otot dan jaringan tubuh pasien sehingga

mempunyai beberapa manfaat. Suhu yang dingin menyebabkan

vasokonstriksi/penyempitan pembuluh darah vena pada area tersebut. Dan efek

ini menurunkan peradangan pada daerah tersebut. Dan dengan menurunnya

peradangan maka nyeri dan bengkak berkurang.


3. Interferential Current

Efek penggunaan interferential adalah menstimulasi afferent nerve

fibers bermyelin tebal yang menyebabkan pengurangan nyeri dengan cara

menghambat atau memberikan efek blocking sinaps di PHC yang berasal dari

afferent nerve fibers bermyelin tipis dan tidak bermyelin sehingga persepsi

nyeri berkurang atau dihilangkan sesuai dengan “gerbang control teori”.

Melzack dan Wall menjelaskan efek stimulasi afferent nerve fibers bermyelin

tebal sebagai “gate control” theory yang intinya adala stimulasi secara selektif

afferent II dan III untuk inhibisi afferent IV (nocicencoric) di lamina V.

Pengurangan nyeri melalui stimulasi afferent nerve fibers bermyelin

tebal akan menormalisasi keseimbangan neurovegetative yang akan

mendumping symphathetic system sehingga terjadi rileksasi dan peningkatan

sirkulasi yang menghasilkan pengurangan nyeri melalui afferent II dan III.

Stimulasi nerve fibers bermyelin pada jaringan otot dan kulit menyebabkan

symphatetic reflex berkurang yang diikuti post-excitatory depression pada

aktifitas symphatetic reflex.

Bahwa secara subjektif pasien akan merasakan stimulasi yang diberikan

akan berkurang dengan bertambahnya waktu hal ini dikenal sebagai akomodasi

yang timbul karena sensor stimulasi berupa informasi mengalami penurunan.

Stimulasi tanpa perubahan stimulus akan menurunkan efek stimulasi. Untuk

mencegah akomodasi dapat dilakukan dengan peningkatan intensitas atau

variasi frekuensi dan berkaitan dengan akut dan kronis kondisi adalah intensitas
relatif rendah, AMF relatif tinggi, specrum relatif lebar dan program spectrum

relatif “mild (lembut” untuk kondisi akut, dan intensitas relatif tinggi, AMF

relatif lebih rendah, spectrum relatif sempit dan program spectrum relatif

“abrupt (kasar)” untuk kondisi kronis.

4. Manual therapy

Manual therapy berasal dari kata manus (tangan) dan therapy

(pengobatan) sehingga secara umum dapat didefinisikan sebagai terapi yang

terutama mempergunakan tangan. Manual therapy berfokus pada struktur dan

sistem dalam tubuh seperti tulang, persendian, jaringan lunak, peredaran

darah, limfe dan saraf. Tujuan utama dari manual therapy adalah untuk

memfasilitasi proses penyembuhan alami tubuh.

Efek fisiologis manual therapy antara lain memperlancar peredaran

darah, mencetuskan hormon endhorphin dan merilekskan otot. Secara

keseluruhan proses tersebut kemudian dapat :

1. Membantu mengurangi pembengkakan pada fase kronis.

2. Mengurangi persepsi nyeri melalui mekanisme penghambatan rangsang nyeri

(gate control)

3. Meningkatkan relaksasi otot sehingga mengurangi nyeri.

4. Meningkatkan jangkauan gerak, kekuatan, koordinasi, keseimbangan dan

fungsi otot.

5. Mengurangi atau menghilangkan ketegangan saraf dan mengurangi rasa

sakit.
5. Kinesio Tapping

Kinesio Tapping adalah salah satu metode taping yang diperkenalkan

oleh Dr. Kenzo Kase di Jepang sekitar 25 tahun yang lalu. Taping ini digunakan

untuk membantu kinerja otot, sendi dan jaringan ikat. Kinesio taping juga

membantu membatasi gerak sendi (ROM), mengurangi waktu pemulihan

cedera, serta mengurangi rasa nyeri dan peradangan. Elastisitas dari taping ini

bisa dari 30% hingga 40% dengan efek yang berbeda. Taping ini bisa digunakan

3-5 hari dan tahan air.

Kinesio taping (KT) merupakan salah satu perekat yang digunakan oleh

fisioterapis, dokter, sport medicine, & personal trainer untuk membantu

pemulihan dan menopang otot yang sedang mengalami cedera (Abdurrasyid,

2013: 24). Kinesio taping ini berbeda dengan taping/perekat yang sering

digunakan untuk menyokong atau menahan sendi, melainkan perekat yang

dibuat hampir menyerupai dengan kulit dan ketebalannya seperti epidermis

kulit tubuh manusia, serta dapat diregangkan hingga 140% dari panjang normal

sebelum di aplikasikan ke kulit, sehingga memberikan ketegangan yang kuat

saat diaplikasikan pada kulit.

6. Home Care Program

Home care adalah pelayanan kesehatan yang berkesinambungan dan

komprehensif yang diberikan kepada individu dan keluarga di tempat tinggal

mereka yang bertujuan untuk meningkatkan, mempertahankan atau

memulihkan kesehatan atau memaksimalkan tingkat kemandirian dan

meminimalkan akibat dari penyakit ( Depkes, 2002 ).


BAB III
PROSES FISIOTERAPI

A. Identitas Umum Pasien

Nama : Ny. R

Tempat Tanggal Lahir : Soppeng, 25 September 1968

Umur : 50 tahun

Jenis Kelamin : Perempuan

Agama : Islam

Alamat : Auri

Pekerjaan : Wiraswasta

B. Anamnesis Khusus

Keluhan Utama : Nyeri pada bahu

Lokasi Keluhan : Bahu kiri

Sifat Keluhan : Terlokalisir

Lama keluhan : 3 bulan yang lalu

Aktifitas yang memperberat : Pada saat memasang tali bra

Aktifitas yang memperingan : Istirahat

Riwayat Trauma : Tidak ada

Riwayat penyakit penyerta : Tidak ada

Riwayat penyakit sekarang : 3 bulan yang lalu pasien mengeluhkan nyeri di bahu

bagian sebelah kiri yang tidak diketahui penyebabnya


C. Pemeriksaan Fisik

1. Tekanan Darah : 110/70 mmHg

2. Denyut Nadi :70 kali/menit

3. Frekuensi Pernapasan : 18 kali/menit

4. Tinggi Badan :151 cm

5. Berat Badan :59 kg

6. IMT : 25,8 BB Lebih

D. Inspeksi/Observasi

1. Statis

a. Kedua bahu pasien simetris

b. Wajah pasien tidak nampak menahan rasa sakit

2. Dinamis

a. Terdapat nyeri saat pasien melakukan gerakan eksorotasi shoulder

b. Terdapat nyeri pada saat melakukan gerakan elevasi shoulder, dan ada

keterbatasan gerak pada lengan kiri

E. Tes Orientasi

Abduksi- Elevasi Shoulder : Reserve Scapulohumeral Rhytm

F. Pemeriksaan Fungsi Dasar

1. Tes Gerak Aktif

Gerakan Hasil Keterbasan

S Fleksi Shoulder Nyeri Ada keterbatasan

Ekstensi Shoulder Nyeri Ada keterbatasan


F Abduksi Shoulder Tidak nyeri Tidak ada keterbatasan

Adduksi Shoulder Tidak nyeri Tidak ada keterbatasan

T Endorotasi Shoulder Tidak nyeri Tidak ada keterbatasan

Eksorotasi Shoulder Nyeri Ada keterbatasan

2. Tes Gerak Pasif

Gerakan Hasil Endfeel Keterbasan

S Fleksi Shoulder Nyeri Firm Endfeel Ada keterbatasan

Ekstensi Shoulder Nyeri Firm Endfeel Ada keterbatasan

F Abduksi Shoulder Tidak nyeri Hard Endfeel Tidak ada

keterbatasan

Adduksi Shoulder Tidak nyeri Hard Endfeel Tidak ada

keterbatasan

T Endoorotasi Shoulder Tidak nyeri Hard Endfeel Tidak ada

eterbatasan

Eksorotasi Shoulder Nyeri Firm Endfeel Keterbatasan

3. Tes Isometrik Melawan Tahanan

Gerakan Hasil

S Fleksi Shoulder Sedikit nyeri, tahanan minimal

Ekstensi Shoulder Sedikit nyeri, tahanan minimal

Abduksi Shoulder Tidak nyeri, tahanan maksimal


F Adduksi Shoulder Tidak nyeri, tahanan maksimal

Endorotasi Shoulder Tidak nyeri, tahanan maksimal


T
Eksorotasi Shoulder Nyeri, tahanan minimal

G. Pemeriksaan Spesifik dan Pengukuran Fisioterapi

1. Palpasi : tidak ada nyeri tekan tendon supraspinatus, inraspinatus, teres minor dan

subscapularis

2. Apley scratch test : pasien tidak dapat melakukan karena ada nyeri

3. Apprehension test (+)

4. Nilai VAS : 7.3

5. MMT

MMT Nilai

Group otot flexsor shoulder 4

Group otot extensor shoulder 3

Group otot internal rotasi 4

Group otot external rotasi 3

6. Pengukuran ROM
Aktif Pasif

S : 35O-00-1000 S : 38O-00-1100

F : 910-00-400 F : 930-00-440

T : 100-00-520 T : 140-00-580

H. Diagnosa dan Problematik Fisioterapi

1. Diagnosa Fisioterapi : “ Hipomobile Capsular Pattern Shoulder et causa Frozen

Shoulder ”

2. Problematik Fisioterapi

a. Impairment

1) Nyeri pada bahu kiri

2) Keterbatasan ROM shoulder joint

3) Penurunan kekuatan otot shoulder

b. Activity Limitation

1) Kesulitan dalam memakai bra

2) Kesulitan dalam menggosok punggung saat mandi

3) Kesulitan dalam memakai baju

c. Participation Restriction

1) Gangguan aktivitas baik dilingkungan kelurga ataupun masyarakat

2) Keterbatasan dalam melakukan pekerjaan

I. Tujuan Intervensi Fisioterapi

1. Tujuan Jangka Pendek


a. Mengurangi nyeri

b. Meningkatkan ROM shoulder joint

c. Meningkatkan kekuatan otot shoulder

2. Tujuan Jangka Panjang : Mengembalikan kapasitas fisik dan kemampuan

fungsional bahu kiri pasien

J. Program Intervensi Fisioterapi

1. SWD

a. Posisi pasien : pasien duduk diatas bed

b. Persiapan alat

1) Pastikan alat terhubung dengan arus listrik

2) Kemudian tekan tombol ON

c. Teknik pelaksanaan

1) Pastikan daerah yang akan diterapi bebas dari pakaian

2) Letakkan elektroda pada bahu pasien bagian anterior dan posterior

dengan jarak sekitar 10-15 cm

3) Kemudian tekan tombol diagnosa dan pilih frozen (capsule adhesive)

4) Kemudian tekan tombol start dan naikkan tombol power sampai 50 W

5) Tunggu selama 10 menit sampai alat berbunyi yang menandakan terapi

selesai

6) Kemudian bereskan alat

2. Interferential Current

a. Posisi pasien : pasien tidur terlentang di bed

b. Persiapan alat
1) Pastikan alat interferential terhubung dengan arus listrik

2) Pastikan ped dalam keadaan basah agar dapat menghantar arus dengan

baik

c. Teknik pelaksanaan

1) Pastikan daerah yang akan diterapi terbebas dari pakaian

2) Letekkan ped pada daerah yang akan diterapi (shoulder bagian anterior

dan posterior)

3) Letakkan sandback di atas ped yang berfungsi sebagai pemberat agar ped

tidak terlepas dari tubuh pasien

4) Atur dosis interferensi dengan lama terapi 10 menit.

3. Cold pack

a. Posisi pasien : pasien tidur terlentang di bed

b. Teknik pelaksanaan

1) Letakkan cold pack pada shoulder pasien dilapisi dengan handuk

2) Tunggu selama 10 menit

4. Manual therapy

a. Posisi pasien : pasien tidur terlentang

b. Posisi FT dan peletakan tangan : kedua tangan fisioterapis berada pada lengan

kiri pasien. Tepatnya tangan fisioterapis mengapit lengan pasien di daerah

dekat axilla (ketiak).

c. Tehnik pelaksanaan

1) Fisioterapis menarik tangan kiri pasien ke arah caudal kemudian

memberikan oscillasi.
2) Dilakukan sebanyak 5x repitisi

5. Tapping

a. Posisi pasien : duduk diatas bed

b. Tehnik pelaksanaan

1) Gunting tapping dengan ukuran kurang lebih 15-20 cm, sebanyak 2

potong

2) Kemudian tapping pertama di bentuk menjadi strip Y dan I

3) Pasangkan tapping Y pada area otot deltoid pasien

4) Kemudian tapping I dipasang pada shoulder pasien secara vertical

6. Home care program

Dalam hal home care program pasien diminta untuk selalu menggerakkan

bahu kirinya seperti menggergaji dan memegang handuk atau kain yang ditarik

dari arah belakang ( kedua lenngan pasien dalam posisi eksorotasi shoulder).

K. Evaluasi Fisioterapi
BAB IV

PENUTUP

A. Kesimpulan

Frozen shoulder merupakan rasa nyeri yang mengakibatkan keterbatasan

lingkup gerak sendi (LGS) pada bahu. Mungkin timbul karena adanya trauma,

mungkin juga timbul secara perlahan-lahan tanpa tanda-tanda atau riwayat

trauma. Keluhan utama yang dialami adalah nyeri dan penurunan kekuatan otot

penggerak sendi bahu dan keterbatasan LGS terjadi baik secara aktif atau pasif.

Untuk menyelesaikan problem yang timbul akibat frozen shoulder maka

fisioterapis dalam hal ini memberikan intervensi yaitu short wave diathermy,

interferential current, exercise therapy, cold pack, tapping dan home care

program.

B. Saran

Mahasiswa diharapkan dapat memahami anatomi, fisiologi, patologi

tentang frozen shoulder. Selain itu mahasiswa dapat melakukan tehnik assessment

dan pemeriksaan yang sesuai untuk menegakkan diagnosis yang tepat.

Kemampuan keterampilan dan skill dalam melakukan proses intervensi

fisioterapi perlu dicapai dalam pembelajaran melalui pembimbing lahan dan

berbagai referensi yang diperoleh agar yang dilakukan dapat memberikan

manfaat bagi pasien.


DAFTAR PUSTAKA

https://www.scribd.com/doc/315739184/Anatomi-Fungsional-Sendi-Bahu 9.27

https://silviaphysio.wordpress.com/2012/10/21/frozen-shoulder/ 9.30

http://eprints.ums.ac.id/25496/18/NASKAH_PUBLIKASI_.pdf 9.31

http://aiyutaka.blogspot.com/2013/02/makalah-frozen-shoulder.html 10.50

http://eprints.ums.ac.id/32658/4/4.BAB%20III%20KTI.pdf diakses pada tanggal 3


November, pukul 08.28 WITA

http://eprints.ums.ac.id/20563/17/NASKAH_PUBLIKASI.pdf 08.35

https://nursingisbeautiful.wordpress.com/2011/05/08/home-care/ 6 November 8.47

http://akrafpeduli.blogspot.com/2012/03/pemeriksaan-spesifik-pada-regio.html

https://dokumen.tips/documents/terapi-manualdoc.html

http://dicopydululaludipasteke.blogspot.com/2016/11/pengertian-dan-manfaat-kinesio-
taping.html

http://ueu201266030.weblog.esaunggul.ac.id/2013/09/09/19/

Você também pode gostar