Escolar Documentos
Profissional Documentos
Cultura Documentos
TINJAUAN PUSTAKA
A. DEFINISI TB
B. EPIDEMIOLOGI TB
Paru merupakan port d entree lebih dari 98 % kasus infeksi TB. Karena
ukurannya yang sangat kecil (<5 µm), kuman TB dalam droplet nuklei yang
terhirup dapat mencapai alveolus. Pada sebagian kasus, kuman TB dapat
dihancurkan seluruhnya oleh mekanisme imunologis non spesifik. Akan tetapi pada
sebagian kasus, tidak seluruhnya dapat dihancurkan. Pada individu yang tidak dapat
menghancurkan seluruh kuman, makrofag alveolus akan memfagosit kuman TB
yang sebagian besar dihancurkan. Akan tetapi, sebagian kecil kuman TB yang tidak
dapat dihancurkan akan terus berkembang biak dalam makrofag, dan akhirnya
menyebabkan lisis makrofag. Selanjutnya kuman TB membentuk lesi ditempat
tersebut, yang dinamakan fokus primer Ghon.2
Dari fokus primer Ghon, kuman TB menyebar melalui saluran limfe menuju
kelenjar limfe regional, yaitu kelenjar limfe yang mempunyai saluran limfe ke
lokasi fokus primer. Penyebaran ini menyebabkan terjadinya inflamasi disaluran
limfe (limfangitis) dan di kelenjar limfe (limfadenitis) yang terkena. Jika fokus
primer terletak di lobus bawah atau tengah, kelenjar limfe yang akan terlibat adalah
kelenjar limfe parahilus (perihiler), sedangkan jika fokus primer terletak di apeks
paru, yang akan terlibat adalah kelenjar paratrakeal. Gabungan antara fokus primer,
limfangitis, dan limfadenitis dinamakan kompleks primer.3
Waktu yang diperlukan sejak masuknya kuman TB hingga terbentuknya
kompleks primer secara lengkap disebut sebagai masa inkubasi. Masa inkubasi TB
berlangsung selama 2-12 minggu, biasanya selama 4-8 minggu.6 Pada saat
terbentuknya kompleks primer, infeksi TB primer dinyatakan telah terjadi. Setelah
terjadi kompleks primer, imunitas seluler tubuh terhadap TB terbentuk, yang dapat
diketahui dengan adanya hipersensitivitas terhadap tuberkuloprotein, yaitu uji
tuberkulin positif. Selama masa inkubasi uji tuberkulin masih negatif. Pada
sebagian besar individu dengan sistem imun yang berfungsi baik, pada saat sistem
imun seluler berkembang, proliferasi kuman TB terhenti. Akan tetapi sebagian kecil
kuman TB akan dapat tetap hidup dalam granuloma. Bila imunitas seluler telah
terbentuk, kuman TB baru yang masuk kedalam alveoli akan segera dimusnakan
oleh imunitas seluler spesifik (cellular mediated immunity, CMI ).
Setelah imunitas seluler terbentuk, fokus primer dijaringan paru mengalami
resolusi secara sempurna membentuk fibrosis atau kalsifikasi setelah mengalami
nekrosis perkijuan dan enkapsulasi, tetapi penyembuhannya biasanya tidak
sesempurna fokus primer dijaringan paru. Kuman TB dapat tetap hidup dan
menetap selama bertahun-tahun dalam kelenjar ini, tetapi tidak menimbulkan gejala
sakit TB.
Kompleks primer dapat juga mengalami komplikasi. Komplikasi yang
terjadi dapat disebabkan oleh fokus di paru atau di kelenjar limfe regional. Fokus
primer di paru dapat membesar dan menyebabkan pneumonitis atau pleuritis fokal.
Jika terjadi nekrosis perkijuan yang berat, bagian tengah lesi akan mencair dan
keluar melalui bronkus sehingga meninggalkan rongga di jaringan paru (kavitas).3
Kelenjar limfe parahilus atau paratrakeal yang mulanya berukuran normal
pada awal infeksi, akan membesar karena reaksi inflamasi yang berlanjut, sehingga
bronkus akan terganggu. Obstruksi parsial pada bronkus akibat tekanan eksternal
menimbulkan hiperinflasi di segmen distal paru melalui mekanisme ventil.
Obstruksi total dapat menyebabkan ateletaksis kelenjar yang mengalami inflamsi
dan nekrosis perkijuan dapat merusak dan menimbulkan erosi dinding bronkus,
sehingga menyebabkan TB endobronkial atau membentuk fistula. Massa kiju dapat
menimbulkan obstruksi komplit pada bronkus sehingga menyebabkan gangguan
pneumonitis dan ateletaksis, yang sering disebut sebagai lesi segmental kolaps-
konsolidasi.
Selama masa inkubasi, sebelum terbentuknya imunitas seluler, dapat terjadi
penyebaran limfogen dan hematogen. Pada penyebaran limfogen, kuman menyebar
ke kelenjar limfe regional membentuk kompleks primer atau berlanjut menyebar
secara limfohematogen. Dapat juga terjadi penyebaran hematogen langsung, yaitu
kuman masuk ke dalam sirkulasi darah dan menyebar ke seluruh tubuh. Adanya
penyebaran hematogen inilah yang menyebabkan TB disebut sebagai penyakit
sistemik.
Penyebaran hematogen yang paling sering terjadi adalah dalam bentuk
penyebaran hematogenik tersamar (occult hematogenic spread). Melalui cara ini,
kuman TB menyebar secara sporadik dan sedikit demi sedikit sehingga tidak
menimbulkan gejala klinis. Kuman TB kemudian akan mencapai berbagai organ di
seluruh tubuh, bersarang di organ yang mempunyai vaskularisasi baik, paling sering
di apeks paru, limpa, dan kelenjar limfe superfisialis. Selain itu, dapat juga
bersarang di organ lain seperti otak, hati, tulang, ginjal, dan lain-lain. Pada
umumnya, kuman di sarang tersebut tetap hidup, tetapi tidak aktif (tenang),
demikian pula dengan proses patologiknya. Sarang di apeks paru disebut dengan
fokus Simon, yang di kemudian hari dapat mengalami reaktivasi dan terjadi TB
apeks paru saat dewasa.
Bentuk penyebaran hematogen yang lain adalah penyebaran hematogenik
generalisata akut (acute generalized hematogenic spread). Pada bentuk ini,
sejumlah besar kuman TB masuk dan beredar di dalam darah menuju ke seluruh
tubuh. Hal ini dapat menyebabkan timbulnya manifestasi klinis penyakit TB secara
akut, yang disebut TB diseminata. Tuberkulosis diseminata ini timbul dalam waktu
2−6 bulan setelah terjadi infeksi. Timbulnya penyakit bergantung pada jumlah dan
virulensi kuman TB yang beredar serta frekuensi berulangnya penyebaran.
Tuberkulosis diseminata terjadi karena tidak adekuatnya sistem imun pejamu (host)
dalam mengatasi infeksi TB, misalnya pada anak bawah lima tahun (balita)
terutama di bawah dua tahun.
Bentuk penyebaran yang jarang terjadi adalah protracted hematogenic
spread. Bentuk penyebaran ini terjadi bila suatu fokus perkijuan di dinding vaskuler
pecah dan menyebar ke seluruh tubuh, sehingga sejumlah besar kuman TB akan
masuk dan beredar di dalam darah. Secara klinis, sakit TB akibat penyebaran tipe
ini tidak dapat dibedakan dengan acute generalized hematogenic spread.
Pada anak, 5 tahun pertama setelah terjadi infeksi (terutama 1 tahun
pertama) biasanya sering terjadi komplikasi TB. Menurut Wallgren, ada tiga bentuk
dasar TB paru pada anak, yaitu penyebaran limfohematogen, TB endobronkial, dan
TB paru kronik. Tuberkulosis paru kronik adalah TB pascaprimer sebagai akibat
reaktivasi kuman di dalam fokus yang tidak mengalami resolusi sempurna.
Reaktivasi ini jarang terjadi pada anak tetapi sering terjadi pada remaja dan dewasa
muda.
Gambar. Patogenesis Tuberculosis Primer
Catatan:
1. Penyebaran hematogen umumnya terjadi secara sporadik (occult
hematogenic spread). Kuman TB kemudian membuat fokus koloni di
berbagai organ dengan vaskularisasi yang baik. Fokus ini berpotensi
mengalami reaktivasi di kemudian hari.
2. Kompleks primer terdiri dari fokus primer (1), limfangitis (2), dan
limfadenitis regional (3).
3. TB primer adalah kompleks primer dan komplikasinya.
4. TB pasca primer terjadi dengan mekanisme reaktivasi fokus lama TB
(endogen) atau reinfeksi (infeksi sekunder) oleh kuman TB dari luar
(eksogen), ini disebut TB tipe dewasa (adult type TB)
Perjalanan alamiah
b. Risiko sakit TB
Anak yang telah terinfeksi TB tidak selalu akan mengalami sakit
TB. Berikut ini adalah faktor-faktor yang dapat menyebabkan
berkembangnya infeksi TB menjadi sakit TB. Faktor risiko yang pertama
adalah usia. Anak berusia ≤ 5 tahun mempunyai risiko lebih besar
mengalami progresi infeksi menjadi sakit TB karena imunitas selularnya
belum berkembang sempurna (immature). Akan tetapi, risiko sakit TB ini
akan berkurang secara bertahap seiring dengan pertambahan usia. Pada bayi
yang terinfeksi TB, 43%nya akan menjadi sakit TB, pada anak usia 1-5
tahun yang menjadi sakit hanya 24%, pada usia remaja 15%, dan pada
dewasa 5-10%. Anak berusia <5 tahun memiliki risiko lebih tinggi
mengalami TB diseminata (seperti TB milier dan meningitis TB), dengan
angka angka morbiditas dan mortalitas yang tinggi.
Risiko tertinggi terjadinya progresivitas dari infeksi menjadi sakit
TB adalah satu tahun pertama setelah infeksi, terutama selama 6 bulan
pertama. Pada bayi, rentang waktu antara infeksi dan timbulnya sakit TB
singkat (<1 tahun) dan biasanya timbul gejala yang akut.
Faktor risiko lain adalah infeksi baru yang ditandai dengan adanya
konversi uji tuberkulin (dari negatif menjadi positif) dalam satu tahun
terakhir malnutrisi, keadaan imunokompromais (misalnya HIV, keganasan,
transplantasi organ an pengobatan imunosupresi ), diabetes mellitus dan
gagal ginjal kronik. Faktor yang tidak kalah penting pada epidemiologi TB
adalah status sosial ekonomi yang rendah, pengahsilan yang kurang,
kepadatan hunian, pengangguran, pendidikan yang rendah, dan kurangnya
dana untuk pelayanan masyarakat. Di negara maju, migrasi penduduk
termasuk menjadi faktor risiko, sedangkan di Indonesia hal ini belum
menjadi masalah yang berarti.
Faktor lainnya yang mempunyai risiko terjadi penyakit TB adalah
virulensi dari M.tuberculosis dan dosis infeksinya. Akan tetapi, secara klinis
hal ini sulit dibuktikan.
Seperti telah disebutkan sebelumnya, keadaan immunokompromais
merupakan salah satu risiko penyakit TB. Pada infeksi HIV,terjadi
kerusakan sisitem imun sehingga kuman TB yang dorman mengalami re-
aktivitas. Pandemi infeksi HIV dan AIDS menyebabkan peningkatan
pelaporan TB secara bermakna di beberapa negara. Diperkirakan resiko
terjadiya sakit TB pada pasen HIV dengan tuberkulin positif adalah 7-10%
per tahun,dibandingkan dengan pasain non HIV yang risiko terjadinya sakit
TB adalah 5-10% selama hidupnya. Pada tahun 1990,4,6%kematian akibat
TB disebabkan oleh infeksi HIV dan diperkirakan akan meningkat menjadi
lebih dari 14%pada tahun 2000. Angka kejadian TB yang telah menurun
pada awal abad ke-20 kembali meningkat pada akhir tahun 1980. Hal
tersebut terjadi bersamaan dengan meningkatnya epidem HIV dan
resistensi multiobat (Multi Drug Resistence-MDR),bahkan sudah terjadi
resistensi obat yang eksrim ( Extreme drug Resistence- XDR).
1. Terduga pasien TB anak: setiap anak dengan gejala atau tanda mengarah ke
TB Anak
a. Pasien TB anak berdasarkan hasil konfirmasi bakteriologis:
adalah pasien TB anak yang hasil pemeriksaan sediaan biologinya
positif dengan pemeriksaan mikroskopis langsung atau biakan atau
diagnostik cepat yang direkomendasi oleh Kemenkes RI. Pasien TB
paru BTA positif masuk dalam kelompok ini.
b. Pasien TB anak berdasarkan diagnosis klinis: pasien TB anak
yang TB yang tidak memenuhi kriteria bakteriologis dan mendapat
pengobatan TB berdasarkan kelainan radiologi dan histopatologi
sesuai gambaran TB. Termasuk dalam kelompok pasien ini adalah
Pasien TB Paru BTA negatif, Pasien TB dengan BTA tidak
diperiksa dan Pasien TB Ekstra Paru.
2. Penentuan klasifikasi dan tipe kasus TB pada anak tergantung dari hal
berikut:
a. Lokasi atau organ tubuh yang terkena:
1) Tuberkulosis Paru. Tuberkulosis paru adalah tuberkulosis yang
menyerang jaringan (parenkim) paru, tidak termasuk pleura
(selaput paru) dan kelenjar pada hilus.
2) Tuberkulosis Ekstra Paru. Tuberkulosis yang menyerang organ
tubuh lain selain paru, misalnya pleura, selaput otak, selaput
jantung (pericardium), kelenjar lymfe, tulang, persendian, kulit,
usus, ginjal, saluran kencing, alat kelamin, dan lain-lain. Anak
dengan gejala hanya pembesaran kelenjar tidak selalu menderita
TB Ekstra Paru.
3) Pasien TB paru dengan atau tanpa TB ekstra paru
diklasifikasikan sebagai TB paru
b. Riwayat pengobatan sebelumnya:
1) Baru
Kasus TB anak yang belum pernah mendapat pengobatan
dengan OAT atau sudah pernah menelan OAT kurang dari satu
bulan ( 28 dosis) dengan hasil pemeriksaan bakteriologis sesuai
definisi di atas, lokasi penyakit bisa paru atau ekstra paru.
2) Pengobatan ulang
Kasus TB Anak yang pernah mendapat pengobatan dengan
OAT lebih dari 1 bulan ( 28 dosis) dengan hasil pemeriksaan
bakteriologis sesuai definisi di atas, lokasi penyakit bisa paru
atau ekstra paru. Berdasarkan hasil pengobatan sebelumnya,
anak dapat diklasifikasikan sebagai kambuh, gagal atau pasien
yang diobati kembali setelah putus berobat (lost to follow-up).
G. MANIFESTASI KLINIS
1. Manifestasi sistemik TB anak
a. Berat badan turun tanpa sebab yang jelas atau berat badan tidak
naik dengan adekuat atau tidak naik dalam 1 bulan setelah
diberikan upaya perbaikan gizi yang baik.
b. Demam lama (≥2 minggu) dan/atau berulang tanpa sebab yang
jelas (bukan demam tifoid, infeksi saluran kemih, malaria, dan
lain-lain). Demam umumnya tidak tinggi. Keringat malam saja
bukan merupakan gejala spesifik TB pada anak apabila tidak
disertai dengan gejala-gejala sistemik/umum lain.
c. Batuk lama ≥3 minggu, batuk bersifat non-remitting (tidak
pernah reda atau intensitas semakin lama semakin parah) dan
sebab lain batuk telah dapat disingkirkan
d. Nafsu makan tidak ada (anoreksia) atau berkurang, disertai gagal
tumbuh (failure to thrive).
e. Lesu atau malaise, anak kurang aktif bermain.
f. Diare persisten/menetap (>2 minggu) yang tidak sembuh dengan
pengobatan baku diare.
2. Manifestasi spesifik paru
a. TB Asimptomatis
Infeksi asimptomatis (atau laten) didefinisikan sebagai
infeksi yang diasosiasikan dengan hipersensitivitas tuberkulis
dan tes tuberkulin positif tanpa gejala klinis dan manifestasi
radiologis. Dari CT scan dapat dilihat pembesaran nodus limfe
di rongga dada, walaupun pada rontgen hasil dapat normal.
Kadang-kadang, demam subfebris ditemukan pada onset
penyakit. Sekiranya anak berkontak dengan individu dengan TB
menular yg tes tuberkulin positif, diagnosis TB asimptomatis
harus segera disingkirkan setelah rontgen foto thorak dan
pemeriksaan fisik yang teliti.4
b. TB Paru Primer
Kompleks primer mengandung 3 elemen: fokus primer,
limfangitis dan limfadenitis regional. Tanda yang khas pada
penyakit ini adalah daerah adenitis yang relatif besar berbanding
lokus pada paru. Karena aliran limfatik thorak berlangsung
secara predominan dari kiri ke kanan, nodus pada bagian kanan
atas paratrakeal sering dinilai paling terafeksi.4
Interpretasi ukuran nodus limfe intratoraks pada rontgen
sulit, tapi akan terlihat jelas apabila terdapat adenopati yang
disebabkan oleh tuberkulosis. Apabila nodus limfe membesar,
obstruksi parsial dari bronkus dapat menimbulkan hiperinflasi
dan berlanjut kepada atelektasis. Gambaran radiologis pada
penyakit ini mirip penyakit yang disebabkan oleh aspirasi benda
asing. Atelektasis segmental dan lesi hiperinflasi dapat terjadi
bersamaan.3
Balita cenderung memperlihatkan tanda dan gejala karena
perbahan diameter saluran nafas berbanding nodus limfe
parenkim. Simptom yang paling sering adalah batuk non
produktif dan dispneu. Gangguan respiratorik contohnya
obstruksi bronkus dengan tanda adanya air trapping dan gejala
wheezing jarang dikeluhkan.
c. TB Paru Progresif
TB paru progresif merupakan komplikasi lanjutan dari TB
paru primer. Kompleks primer yang menjadi fokus awal paru
yang tidak mengalami kalsifikasi membesar dengan stabil
membentuk caseous centre yang kemudiannya meleleh ke
dalam broncus adjacent membentuk kavitas primer. Likuifikasi
ini berhubungan dengan besarnya jumlah basil TB, merupakan
faktor yang menyebabkan seorang anak dapat mentransmisikan
M. tuberkulosis kepada individu lainnya. Dapat terjadi
diseminasi lanjut basil tuberkel ke lobus lain dan ke seluruh
paru. Gambaran klinis pada penyakit ini adalah
bronkopneumonia dengan demam tinggi, batuk sedang sampai
berat, keringat malam, dullness pada perkusi, rales, dan
penurunan bunyi nafas.4
d. TB Paru Kronis/Reaktivasi
Sebelum penemuan Obat Anti Tuberkulosis (OAT), TB paru
kronis sangat jarang ditemukan pada anak. Penyakit ini lebih
sering ditemukan pada anak-anak yang mempunyai strata
sosioekonomi yang rendah, anak perempuan dan pada anak
dengan diagnosis TB yang lambat ditegakkan. Penyakit ini
sering ditemukan pada remaja berbanding anak dengan
gambaran radiologis mirip pada orang dewasa, dengan
gambaran infiltrat pada lobus atas dan kavitas. Anak dengan
penyakit ini cenderung mengalami demam, anoreksia, malaise,
penurunan berat badan, keringat malam, batuk produktif, nyeri
dada dan hemoptisis.3
e. Efusi pleura
J. TATALAKSANA TB
Tatalaksana medikamentosa TB Anak terdiri dari terapi (pengobatan) dan
profilaksis (pencegahan). Terapi TB diberikan pada anak yang sakit TB, sedangkan
profilaksis TB diberikan pada anak yang kontak TB (profilaksis primer) atau anak
yang terinfeksi TB tanpa sakit TB (profilaksis sekunder).
Pemantauan Pengobatan
Pemantauan pengobatan pasien TB Anak Pada fase intensif pasien TB
anak kontrol tiap minggu, untuk melihat kepatuhan, toleransi dan kemungkinan
adanya efek samping obat. Pada fase lanjutan pasien kontrol tiap bulan. Setelah
diberi OAT selama 2 bulan, respon pengobatan pasien harus dievaluasi.
Respon pengobatan dikatakan baik apabila gejala klinis berkurang, nafsu
makan meningkat, berat badan meningkat, demam menghilang, dan batuk
berkurang.
Apabila respon pengobatan baik maka pemberian OAT dilanjutkan sampai
dengan 6 bulan. Sedangkan apabila respon pengobatan kurang atau tidak baik
maka pengobatan TB tetap dilanjutkan tetapi pasien harus dirujuk ke sarana
yang lebih lengkap. Sistem skoring hanya digunakan untuk diagnosis, bukan
untuk menilai hasil pengobatan.
Setelah pemberian obat selama 6 bulan, OAT dapat dihentikan dengan
melakukan evaluasi klinis. Pemeriksaan tuberkulin tidak dapat digunakan
sebagai pemeriksaan untuk pemantauan pengobatan, karena uji tuberkulin
yang positif masih akan memberikan hasil yang positif. Meskipun gambaran
radiologis tidak menunjukkan perubahan yang berarti, tetapi apabila dijumpai
perbaikan klinis yang nyata, maka pengobatan dapat dihentikan dan pasien
dinyatakan selesai.
Pada pasien TB anak yang pada awal pengobatan hasil pemeriksaan
dahaknya BTA positif, pemantauan pengobatan dilakukan dengan melakukan
pemeriksaan dahak ulang sesuai dengan alur pemantauan pengobatan pasien
TB BTA pos.
K. PENCEGAHAN
1. Imunisasi BCG
Manfaat BCG telah dilaporkan oleh beberapa peneliti, yaitu antara 0-80%.
Imunisasi BCG efektif terutama untuk mencegah TB milier, meningitis TB dan
spondilitis TB pada anak. Imunisasi ini memberikan perlindungan terhadap
terjadinya TB milier, meningitis TB, TB sistem skletal, dan kavitas. Fakta di
klinik sekitar 70% TB berat dengan biakan positif telah mempunyai parut BCG.
Imunisasi BCG ulangan dianjurkan di beberapa negara, tetapi umumnya tidak
dianjurkan di banyak negara lain, temasuk Indonesia.
Imunisasi BCG relatif aman, jarang timbul efek samping yang serius. Efek
samping yang sering ditemukan adalah ulserasi lokal dan limfadenitis (adenitis
supuratif) dengan insidens 0,1-1%. Kontraindikasi imunisasi BCG adalah
kondisi imunokompromais, misalnya defisiensi imun, infeksi berat, gizi buruk,
dan gagal tumbuh. Pada bayi prematur, BCG ditunda hingga bayi mencapai
berat badan optimal.5
2. Kemoprofilaksis
L. KOMPLIKASI
Limfadenitis, meningitis, osteomielitis, arthtritis, enteritis, peritonitis,
penyebaran ke ginjal, mata, telinga tengah dan kulit dapat terjadi. Bayi yang
dilahirkan dari orang tua yang menderita tuberkulosis mempunyai risiko yang
besar untuk menderita tuberkulosis.
Kemungkinan terjadinya gangguan jalan nafas yang mengancam jiwa harus
dipikirkan pada pasien dengan pelebaran mediastinum atau adanya lesi pada
daerah hilus.
M. PROGNOSIS
Pada pasien dengan sistem imun yang prima, terapi menggunakan OAT
terkini memberikan hasil yang potensial untuk mencapai kesembuhan. Jika
kuman sensitif dan pengobatan lengkap, kebanyakan anak sembuh dengan
gejala sisa yang minimal. Terapi ulangan lebih sulit dan kurang memuaskan
hasilnya. Perhatian lebih harus diberikan pada pasien dengan imunodefisiensi,
yang resisten terhadap berbagai rejimen obat, yang berespon buruk terhadap
terapi atau dengan komplikasi lanjut. Pasien dengan resistensi multiple
terhadap OAT jumlahnya meningkat dari waktu ke waktu. Hal ini terjadi
karena para dokter meresepkan rejimen terapi yang tidak adekuat ataupun
ketidakpatuhan pasien dalam menjalanin pengobatan.