Você está na página 1de 34

BAB I

TINJAUAN PUSTAKA

A. DEFINISI TB

Tuberkulosis (TB) adalah penyakit akibat infeksi kuman mikobakterium


tuberkulosis yang bersifat sistemik sehingga bisa mengenai hampir semua organ
tubuh dengan lokasi terbanyak di paru yang biasanya merupakan lokasi infeksi
primer.

Tuberkulosis pada anak didefinisikan sebagai tuberkulosis yang diderita


oleh anak < 15 tahun.1 Seorang anak dikatakan terpapar TB jika anak memiliki
kontak yang signifikan dengan orang dewasa atau remaja yang terinfeksi TB, pada
tahap ini test tuberkulin negatif, rontgen toraks negatif. Infeksi terjadi ketika
seseorang menghirup droplet nuclei Mycobacterium tuberculosis dan kuman
tersebut menetap secara intraseluler pada jaringan paru dan jaringan limfoid
sekitarnya, pada tahap ini rontgen toraks bisa normal atau hanya terdapat granuloma
atau kalsifikasi pada parenkim paru dan jaringan limfoidnya serta didapatkan uji
tuberkulin yang positif. Sementara itu, seseorang dikatakan sakit TB jika terdapat
gejala klinis yang mendukung serta didukung oleh gambaran kelainan rontgen
toraks, pada tahap inilah seseorang dikatakan menderita tuberkulosis.4

B. EPIDEMIOLOGI TB

Akhir tahun 1990-an, World Health Organization memperkirakan bahwa


sepertiga penduduk dunia (2 miliar orang) telah terinfeksi oleh M. tuberculosis,
dengan angka tertinggi di Afrika, Asia dan Amerika Latin. Tuberkulosis, terutama
TB paru, merupakan masalah yang timbul tidak hanya di negara berkembang tetapi
juga di negara maju. Tuberkulosis tetap merupakan salah satu penyebab tingginya
angka kesakitan dan kematian, baik di negara berkembang maupun di negara maju.3

Tuberkulosis anak merupakan faktor penting di negara-negara berkembang


karena jumlah anak berusia kurang dari 15 tahun adalah 40−50% dari jumlah
seluruh populasi.
Gambar 1. Jumlah populasi berdasarkan usia

Sekurang-kurangnya 500.000 anak menderita TB setiap tahun. 200 anak di


dunia meninggal setiap hari akibat TB, 70.000 anak meninggal setiap tahun akibat
TB. Beban kasus TB anak di dunia tidak diketahui karena kurangnya alat diagnostik
yang “child-friendly” dan tidak adekuatnya sistem pencatatan dan pelaporan kasus
TB anak. Diperkirakan banyak anak menderita TB tidak mendapatkan
penatalaksanaan yang tepat dan benar sesuai dengan ketentuan strategi DOTS.
Kondisi ini akan memberikan peningkatan dampak negatif pada morbiditas dan
mortalitas anak.
Data TB anak di Indonesia menunjukkan proporsi kasus TB Anak di antara
semua kasus TB pada tahun 2010 adalah 9,4%, kemudian menjadi 8,5% pada tahun
2011 dan 8,2% pada tahun 2012. Apabila dilihat data per provinsi, menunjukkan
variasi proporsi dari 1,8% sampai 15,9%. Hal ini menunjukan kualitas diagnosis
TB anak masih sangat bervariasi pada level provinsi. Kasus TB Anak
dikelompokkan dalam kelompok umur 0-4 tahun dan 5-14 tahun, dengan jumlah
kasus pada kelompok umur 5-14 tahun yang lebih tinggi dari kelompok umur 0-4
tahun. Kasus BTA positif pada TB anak tahun 2010 adalah 5,4% dari semua kasus
TB anak, sedangkan tahun 2011 naik menjadi 6,3% dan tahun 2012 menjadi 6%.
C. ETIOLOGI TB

Terdapat 60 lebih spesies Mycobacterium, tetapi hanya separuhnya yang


merupakan patogen terhadap manusia. Hanya terdapat 5 spesies dari
Mycobacterium yang paling umum menyebabkan infeksi, yaitu: M. Tuberculosis,
M. Bovis, M. Africanum, M. Microti dan M. Canetti. Dari kelima jenis ini M.
Tuberkulosis merupakan penyebab paling penting dari penyakit tuberkulosis pada
manusia. Ada 3 varian M. Tuberkulosis yaitu varian humanus, bovinum dan avium.
Yang paling banyak ditemukan menginfeksi manusia M. Tuberkulosis varian
humanus.5
M. Tuberkulosis berbentuk batang, tidak membentuk spora, tidak
berkapsul, nonmotil, pleomorfik, dan termasuk bakteri gram positif lemah, serta
memiliki ukuran panjang 1-10 mikrometer dan lebarnya 0,2-0,6 mikrometer. M.
Tuberkulosis tumbuh optimal pada suhu 37-410C dan merupakan bakteri aerob
obligat yang berkembang biak secara optimal pada jaringan yang mengandung
banyak udara seperti jaringan paru. Dinding sel yang kaya akan lipid menjadikan
basil ini resisten terhadap aksi bakterisid dari antibodi dan komplemen. Sebagian
besar dari dinding selnya terdiri atas lipid (80%), peptidoglikan, dan
arabinomannan. Lipid membuat kuman tahan terhadap asam sehingga disebut BTA
dan kuman ini tahan terhadap gangguan kimia dan fisika. Oleh karena
ketahanannya terhadap asam, M. Tuberkulosis dapat membentuk kompleks yang
stabil antara asam mikolat pada dinding selnya dengan berbagai zat pewarnaan
golongan aryl methan seperti carbolfuchsin, auramine dan rhodamin. Kuman ini
dapat bertahan hidup di udara yang kering atau basah karena kuman dalam keadaan
dorman. Dan dari keadaan dorman ini kuman dapat reaktivasi kembali.1
Di dalam jaringan, kuman hidup sebagai parasit intraseluler yaitu di dalam
sitoplasma makrofag karena pada sitoplasma makrofag banyak mengandung lipid.
Kuman ini bersifat aerob, sifat ini menunjukan bahwa kuman ini menyenangi
jaringan yang tinggi mengandung oksigen sehingga tempat predileksi penyakit ini
adalah bagian apikal paru karena tekanan O2 pada apikal lebih tinggi dari pada
tempat lainnya.4
M. tuberculosis dapat tumbuh pada medium klasik yang terdiri kuning telur
dan glyserin (medium Lowenstein-Jensen). Bakteri ini tumbuh secara lambat,
dengan waktu generasi 12- 24 jam. Pengisolasian dari spesimen klinis dari media
sintetik yang solid membutuhkan waktu 3-6 minggu dan untuk uji sensitivitas
terhadap obat membutuhkan tambahan waktu 4 minggu. Sementara itu,
pertumbuhan bakteri ini dapat dideteksi dalam 1- 3 minggu dengan menggunakan
medium cair yang selektif seperti BACTEC dan uji sensitivitas terhadap obat hanya
membutuhkan waktu tambahan 3-5 hari.5
D. PATOGENESIS

Paru merupakan port d entree lebih dari 98 % kasus infeksi TB. Karena
ukurannya yang sangat kecil (<5 µm), kuman TB dalam droplet nuklei yang
terhirup dapat mencapai alveolus. Pada sebagian kasus, kuman TB dapat
dihancurkan seluruhnya oleh mekanisme imunologis non spesifik. Akan tetapi pada
sebagian kasus, tidak seluruhnya dapat dihancurkan. Pada individu yang tidak dapat
menghancurkan seluruh kuman, makrofag alveolus akan memfagosit kuman TB
yang sebagian besar dihancurkan. Akan tetapi, sebagian kecil kuman TB yang tidak
dapat dihancurkan akan terus berkembang biak dalam makrofag, dan akhirnya
menyebabkan lisis makrofag. Selanjutnya kuman TB membentuk lesi ditempat
tersebut, yang dinamakan fokus primer Ghon.2
Dari fokus primer Ghon, kuman TB menyebar melalui saluran limfe menuju
kelenjar limfe regional, yaitu kelenjar limfe yang mempunyai saluran limfe ke
lokasi fokus primer. Penyebaran ini menyebabkan terjadinya inflamasi disaluran
limfe (limfangitis) dan di kelenjar limfe (limfadenitis) yang terkena. Jika fokus
primer terletak di lobus bawah atau tengah, kelenjar limfe yang akan terlibat adalah
kelenjar limfe parahilus (perihiler), sedangkan jika fokus primer terletak di apeks
paru, yang akan terlibat adalah kelenjar paratrakeal. Gabungan antara fokus primer,
limfangitis, dan limfadenitis dinamakan kompleks primer.3
Waktu yang diperlukan sejak masuknya kuman TB hingga terbentuknya
kompleks primer secara lengkap disebut sebagai masa inkubasi. Masa inkubasi TB
berlangsung selama 2-12 minggu, biasanya selama 4-8 minggu.6 Pada saat
terbentuknya kompleks primer, infeksi TB primer dinyatakan telah terjadi. Setelah
terjadi kompleks primer, imunitas seluler tubuh terhadap TB terbentuk, yang dapat
diketahui dengan adanya hipersensitivitas terhadap tuberkuloprotein, yaitu uji
tuberkulin positif. Selama masa inkubasi uji tuberkulin masih negatif. Pada
sebagian besar individu dengan sistem imun yang berfungsi baik, pada saat sistem
imun seluler berkembang, proliferasi kuman TB terhenti. Akan tetapi sebagian kecil
kuman TB akan dapat tetap hidup dalam granuloma. Bila imunitas seluler telah
terbentuk, kuman TB baru yang masuk kedalam alveoli akan segera dimusnakan
oleh imunitas seluler spesifik (cellular mediated immunity, CMI ).
Setelah imunitas seluler terbentuk, fokus primer dijaringan paru mengalami
resolusi secara sempurna membentuk fibrosis atau kalsifikasi setelah mengalami
nekrosis perkijuan dan enkapsulasi, tetapi penyembuhannya biasanya tidak
sesempurna fokus primer dijaringan paru. Kuman TB dapat tetap hidup dan
menetap selama bertahun-tahun dalam kelenjar ini, tetapi tidak menimbulkan gejala
sakit TB.
Kompleks primer dapat juga mengalami komplikasi. Komplikasi yang
terjadi dapat disebabkan oleh fokus di paru atau di kelenjar limfe regional. Fokus
primer di paru dapat membesar dan menyebabkan pneumonitis atau pleuritis fokal.
Jika terjadi nekrosis perkijuan yang berat, bagian tengah lesi akan mencair dan
keluar melalui bronkus sehingga meninggalkan rongga di jaringan paru (kavitas).3
Kelenjar limfe parahilus atau paratrakeal yang mulanya berukuran normal
pada awal infeksi, akan membesar karena reaksi inflamasi yang berlanjut, sehingga
bronkus akan terganggu. Obstruksi parsial pada bronkus akibat tekanan eksternal
menimbulkan hiperinflasi di segmen distal paru melalui mekanisme ventil.
Obstruksi total dapat menyebabkan ateletaksis kelenjar yang mengalami inflamsi
dan nekrosis perkijuan dapat merusak dan menimbulkan erosi dinding bronkus,
sehingga menyebabkan TB endobronkial atau membentuk fistula. Massa kiju dapat
menimbulkan obstruksi komplit pada bronkus sehingga menyebabkan gangguan
pneumonitis dan ateletaksis, yang sering disebut sebagai lesi segmental kolaps-
konsolidasi.
Selama masa inkubasi, sebelum terbentuknya imunitas seluler, dapat terjadi
penyebaran limfogen dan hematogen. Pada penyebaran limfogen, kuman menyebar
ke kelenjar limfe regional membentuk kompleks primer atau berlanjut menyebar
secara limfohematogen. Dapat juga terjadi penyebaran hematogen langsung, yaitu
kuman masuk ke dalam sirkulasi darah dan menyebar ke seluruh tubuh. Adanya
penyebaran hematogen inilah yang menyebabkan TB disebut sebagai penyakit
sistemik.
Penyebaran hematogen yang paling sering terjadi adalah dalam bentuk
penyebaran hematogenik tersamar (occult hematogenic spread). Melalui cara ini,
kuman TB menyebar secara sporadik dan sedikit demi sedikit sehingga tidak
menimbulkan gejala klinis. Kuman TB kemudian akan mencapai berbagai organ di
seluruh tubuh, bersarang di organ yang mempunyai vaskularisasi baik, paling sering
di apeks paru, limpa, dan kelenjar limfe superfisialis. Selain itu, dapat juga
bersarang di organ lain seperti otak, hati, tulang, ginjal, dan lain-lain. Pada
umumnya, kuman di sarang tersebut tetap hidup, tetapi tidak aktif (tenang),
demikian pula dengan proses patologiknya. Sarang di apeks paru disebut dengan
fokus Simon, yang di kemudian hari dapat mengalami reaktivasi dan terjadi TB
apeks paru saat dewasa.
Bentuk penyebaran hematogen yang lain adalah penyebaran hematogenik
generalisata akut (acute generalized hematogenic spread). Pada bentuk ini,
sejumlah besar kuman TB masuk dan beredar di dalam darah menuju ke seluruh
tubuh. Hal ini dapat menyebabkan timbulnya manifestasi klinis penyakit TB secara
akut, yang disebut TB diseminata. Tuberkulosis diseminata ini timbul dalam waktu
2−6 bulan setelah terjadi infeksi. Timbulnya penyakit bergantung pada jumlah dan
virulensi kuman TB yang beredar serta frekuensi berulangnya penyebaran.
Tuberkulosis diseminata terjadi karena tidak adekuatnya sistem imun pejamu (host)
dalam mengatasi infeksi TB, misalnya pada anak bawah lima tahun (balita)
terutama di bawah dua tahun.
Bentuk penyebaran yang jarang terjadi adalah protracted hematogenic
spread. Bentuk penyebaran ini terjadi bila suatu fokus perkijuan di dinding vaskuler
pecah dan menyebar ke seluruh tubuh, sehingga sejumlah besar kuman TB akan
masuk dan beredar di dalam darah. Secara klinis, sakit TB akibat penyebaran tipe
ini tidak dapat dibedakan dengan acute generalized hematogenic spread.
Pada anak, 5 tahun pertama setelah terjadi infeksi (terutama 1 tahun
pertama) biasanya sering terjadi komplikasi TB. Menurut Wallgren, ada tiga bentuk
dasar TB paru pada anak, yaitu penyebaran limfohematogen, TB endobronkial, dan
TB paru kronik. Tuberkulosis paru kronik adalah TB pascaprimer sebagai akibat
reaktivasi kuman di dalam fokus yang tidak mengalami resolusi sempurna.
Reaktivasi ini jarang terjadi pada anak tetapi sering terjadi pada remaja dan dewasa
muda.
Gambar. Patogenesis Tuberculosis Primer
Catatan:
1. Penyebaran hematogen umumnya terjadi secara sporadik (occult
hematogenic spread). Kuman TB kemudian membuat fokus koloni di
berbagai organ dengan vaskularisasi yang baik. Fokus ini berpotensi
mengalami reaktivasi di kemudian hari.
2. Kompleks primer terdiri dari fokus primer (1), limfangitis (2), dan
limfadenitis regional (3).
3. TB primer adalah kompleks primer dan komplikasinya.
4. TB pasca primer terjadi dengan mekanisme reaktivasi fokus lama TB
(endogen) atau reinfeksi (infeksi sekunder) oleh kuman TB dari luar
(eksogen), ini disebut TB tipe dewasa (adult type TB)
Perjalanan alamiah

Manifestasi klinis TB di berbagai organ muncul dengan pola yang konstan,


sehingga dari studi Wallgren dan peneliti lain dapat disusun suatu kalender
terjadinya TB di berbagai organ.3

Gambar perjalanan penyakit TB primer

Proses infeksi TB tidak langsung memberikan gejala. Uji tuberkulin


biasanya positif dalam 4-8 minggu setelah kontak awal dengan kuman TB. Pada
awal terjadinya infeksi TB, dapat dijumpai demam yang tidak tinggi dan eritema
nodosum, tetapi kelainan kulit ini berlangsung singkat sehingga jarang terdeteksi.
Sakit TB primer dapat terjadi kapan saja pada tahap ini.2

Tuberkulosis milier dapat terjadi setiap saat, tetapi biasanya berlangsung


dalam 3-6 bulan pertama setelah infeksi TB, begitu juga dengan meningitis TB.
Tuberkulosis pleura terjadi dalam 3-6 bulan pertama setelah infeksi TB.
Tuberkulosis sistem skeletal terjadi pada tahun pertama, walaupun dapat terjadi
pada tahun kedua dan ketiga. Tuberkulosis ginjal biasanya terjadi lebih lama, yaitu
5-25 tahun setelah infeksi primer. Sebagian besar manifestasi klinis sakit TB terjadi
pada 5 tahun pertama, terutama pada 1 tahun pertama, dan 90% kematian karena
TB terjadi pada tahun pertama setelah diagnosis TB.
E. FAKTOR RESIKO

Terdapat beberapa faktor yang mempermudah terjadinya infeksi TBC pada


anak. Faktor-faktor tersebut dibagi menjadi faktor risiko infeksi dan faktor risiko
progresi infeksi menjadi penyakit (risiko penyakit).

a. Risiko infeksi TBC


Faktor risiko terjadinya infeksi TBC antara lain adalah anak yang
terpajan dengan orang dewasa yang TBC aktif (kontak TBC positif), daerah
endemis, kemiskinan, lingkungan yang tidak sehat (higieni dan sanitasi
yang tidak baik), dan tempat penampungan umum (panti asuhan, penjara,
atau panti perawatan lain), yang banyak pasien TB dewasa aktif.
Sumber infeksi TB pada anak yang terpenting aalah pajanan
terhadap orang dewasa yang infeksius, terutama dengan BTA (+). Berarti,
bayi dengan seorang ibu dengan BTA sputum (+) memiliki risiko tinggi
terinfeksi TB. Semakin erat bayi tersebut dengan ibunya, semakin besar
pula kemungkinan bayi tersebut terpajan percik renik (droplet nuclei) yang
infeksius.
Risiko timbulnya transmisi kuman dari orang dewasa keanak akan
lebih tinggi jika pasien dewasa tersebut mempunyai BTA sputum (+),
infiltrat luas atau kavitas pada lobus atas, produksi sputum banyak dan
encer, batuk produktif dan kuat, serta terdapat faktor lingkungan yang
kurang sehat terutama sirkulasi udara yang tidak baik.
Pasien TB anak jarang menularkan kuman pada anak lain atau orang
dewasa sekitarnya. Hal ini dikarenakan kuman TB sangat jarang ditemukan
didalam sekret endobronkial pasien anak. Ada beberapa hal yang dapat
menjelaskan hal tersebut. Pertama, kuman pada TB anak biasanya sedikit
(paucibacillary), tetapi karena imunitas anak masih lemah, jumlah yang
sedikit tersebut sudah mampu menyebabkan sakit. Kedua, lokasi infeksi
primer yang kemudian berkembang menjadi sakit TB primer biasanya
terjadi di daerah parenkim yang jauh dari bronkus, sehingga tidak terjadi
produksi sputum. Ketiga, tidak ada atau sedikitnya produksi sputum dan
tidak terdapatnya reseptor batuk di daerah parenkim menyebabkan
jarangnya terdapat gejala batuk pada TB anak.

b. Risiko sakit TB
Anak yang telah terinfeksi TB tidak selalu akan mengalami sakit
TB. Berikut ini adalah faktor-faktor yang dapat menyebabkan
berkembangnya infeksi TB menjadi sakit TB. Faktor risiko yang pertama
adalah usia. Anak berusia ≤ 5 tahun mempunyai risiko lebih besar
mengalami progresi infeksi menjadi sakit TB karena imunitas selularnya
belum berkembang sempurna (immature). Akan tetapi, risiko sakit TB ini
akan berkurang secara bertahap seiring dengan pertambahan usia. Pada bayi
yang terinfeksi TB, 43%nya akan menjadi sakit TB, pada anak usia 1-5
tahun yang menjadi sakit hanya 24%, pada usia remaja 15%, dan pada
dewasa 5-10%. Anak berusia <5 tahun memiliki risiko lebih tinggi
mengalami TB diseminata (seperti TB milier dan meningitis TB), dengan
angka angka morbiditas dan mortalitas yang tinggi.
Risiko tertinggi terjadinya progresivitas dari infeksi menjadi sakit
TB adalah satu tahun pertama setelah infeksi, terutama selama 6 bulan
pertama. Pada bayi, rentang waktu antara infeksi dan timbulnya sakit TB
singkat (<1 tahun) dan biasanya timbul gejala yang akut.
Faktor risiko lain adalah infeksi baru yang ditandai dengan adanya
konversi uji tuberkulin (dari negatif menjadi positif) dalam satu tahun
terakhir malnutrisi, keadaan imunokompromais (misalnya HIV, keganasan,
transplantasi organ an pengobatan imunosupresi ), diabetes mellitus dan
gagal ginjal kronik. Faktor yang tidak kalah penting pada epidemiologi TB
adalah status sosial ekonomi yang rendah, pengahsilan yang kurang,
kepadatan hunian, pengangguran, pendidikan yang rendah, dan kurangnya
dana untuk pelayanan masyarakat. Di negara maju, migrasi penduduk
termasuk menjadi faktor risiko, sedangkan di Indonesia hal ini belum
menjadi masalah yang berarti.
Faktor lainnya yang mempunyai risiko terjadi penyakit TB adalah
virulensi dari M.tuberculosis dan dosis infeksinya. Akan tetapi, secara klinis
hal ini sulit dibuktikan.
Seperti telah disebutkan sebelumnya, keadaan immunokompromais
merupakan salah satu risiko penyakit TB. Pada infeksi HIV,terjadi
kerusakan sisitem imun sehingga kuman TB yang dorman mengalami re-
aktivitas. Pandemi infeksi HIV dan AIDS menyebabkan peningkatan
pelaporan TB secara bermakna di beberapa negara. Diperkirakan resiko
terjadiya sakit TB pada pasen HIV dengan tuberkulin positif adalah 7-10%
per tahun,dibandingkan dengan pasain non HIV yang risiko terjadinya sakit
TB adalah 5-10% selama hidupnya. Pada tahun 1990,4,6%kematian akibat
TB disebabkan oleh infeksi HIV dan diperkirakan akan meningkat menjadi
lebih dari 14%pada tahun 2000. Angka kejadian TB yang telah menurun
pada awal abad ke-20 kembali meningkat pada akhir tahun 1980. Hal
tersebut terjadi bersamaan dengan meningkatnya epidem HIV dan
resistensi multiobat (Multi Drug Resistence-MDR),bahkan sudah terjadi
resistensi obat yang eksrim ( Extreme drug Resistence- XDR).

Tabel 1. Risiko sakit Tuberkulosis pada anak yang terinfeksi Tuberkulosis

Tabel 2. Tahapan Tuberkulosis pada anak


F. KLASIFIKASI
Beberapa istilah dalam definisi kasus TB anak:

1. Terduga pasien TB anak: setiap anak dengan gejala atau tanda mengarah ke
TB Anak
a. Pasien TB anak berdasarkan hasil konfirmasi bakteriologis:
adalah pasien TB anak yang hasil pemeriksaan sediaan biologinya
positif dengan pemeriksaan mikroskopis langsung atau biakan atau
diagnostik cepat yang direkomendasi oleh Kemenkes RI. Pasien TB
paru BTA positif masuk dalam kelompok ini.
b. Pasien TB anak berdasarkan diagnosis klinis: pasien TB anak
yang TB yang tidak memenuhi kriteria bakteriologis dan mendapat
pengobatan TB berdasarkan kelainan radiologi dan histopatologi
sesuai gambaran TB. Termasuk dalam kelompok pasien ini adalah
Pasien TB Paru BTA negatif, Pasien TB dengan BTA tidak
diperiksa dan Pasien TB Ekstra Paru.
2. Penentuan klasifikasi dan tipe kasus TB pada anak tergantung dari hal
berikut:
a. Lokasi atau organ tubuh yang terkena:
1) Tuberkulosis Paru. Tuberkulosis paru adalah tuberkulosis yang
menyerang jaringan (parenkim) paru, tidak termasuk pleura
(selaput paru) dan kelenjar pada hilus.
2) Tuberkulosis Ekstra Paru. Tuberkulosis yang menyerang organ
tubuh lain selain paru, misalnya pleura, selaput otak, selaput
jantung (pericardium), kelenjar lymfe, tulang, persendian, kulit,
usus, ginjal, saluran kencing, alat kelamin, dan lain-lain. Anak
dengan gejala hanya pembesaran kelenjar tidak selalu menderita
TB Ekstra Paru.
3) Pasien TB paru dengan atau tanpa TB ekstra paru
diklasifikasikan sebagai TB paru
b. Riwayat pengobatan sebelumnya:
1) Baru
Kasus TB anak yang belum pernah mendapat pengobatan
dengan OAT atau sudah pernah menelan OAT kurang dari satu
bulan ( 28 dosis) dengan hasil pemeriksaan bakteriologis sesuai
definisi di atas, lokasi penyakit bisa paru atau ekstra paru.
2) Pengobatan ulang
Kasus TB Anak yang pernah mendapat pengobatan dengan
OAT lebih dari 1 bulan ( 28 dosis) dengan hasil pemeriksaan
bakteriologis sesuai definisi di atas, lokasi penyakit bisa paru
atau ekstra paru. Berdasarkan hasil pengobatan sebelumnya,
anak dapat diklasifikasikan sebagai kambuh, gagal atau pasien
yang diobati kembali setelah putus berobat (lost to follow-up).

c. Berat dan ringannya penyakit


1) TB ringan: tidak berisiko menimbulkan kecacatan berat atau
kematian, misalnya TB primer tanpa komplikasi, TB kulit, TB
kelenjar dllb. TB berat: TB pada anak yang berisiko
menimbulkan kecacatan berat atau kematian, misalnya TB
meningitis, TB milier, TB tulang dan sendi, TB abdomen,
termasuk TB hepar, TB usus, TB paru BTA positif, TB resisten
obat, TB HIV.
2) Status HIV
Pemeriksaan HIV direkomendasikan pada semua anak
suspek TB pada daerah endemis HIV atau risiko tinggi
terinfeksi HIV. Berdasarkan pemeriksaan HIV, TB pada anak
diklasifikasikan sebagai:
 HIV positif
 HIV negatif
 HIV tidak diketahui
 HIV expose/ curiga HIV. Anak dengan orang tua penderita
HIV diklasifikasikan sebagai HIV expose, sampai terbukti
HIV negatif. Apabila hasil pemeriksaan HIV menunjukkan
hasil negatif pada anak usia < 18 bulan, maka status HIV
perlu diperiksa ulang setelah usia > 18 bulan.
d. Resistensi Obat
Pengelompokan pasien TB berdasarkan hasil uji kepekaan M.
tuberculosis terhadap OAT terdiri dari:
1) Monoresistance adalah M. tuberculosis yang resistan terhadap
salah satu jenis OAT lini pertama.
2) Polydrug Resistance adalah M. tuberculosis yang resistan
terhadap lebih dari satu jenis OAT lini pertama selain Isoniazid
(H) dan Rifampisin (R) secara bersamaan.
3) Multi Drug Resistance (MDR) adalah M. tuberculosis yang
resistan terhadap Isoniazid (H) dan Rifampisin (R) dengan atau
tanpa OAT lini pertama lainnya.
4) Extensive Drug Resistance (XDR) adalah MDR disertai dengan
resistan terhadap salah satu OAT golongan fluorokuinolon dan
minimal salah satu dari OAT lini kedua jenis suntikan yaitu
Kanamisin, Kapreomisin dan Amikasin.
5) Rifampicin Resistance adalah M. tuberculosis yang resistan
terhadap Rifampisin dengan atau tanpa resistansi terhadap OAT
lain yang dideteksi menggunakan metode pemeriksaan yang
sesuai, pemeriksaan konvensional atau pemeriksaan cepat.
Termasuk dalam kelompok ini adalah setiap resistansi terhadap
rifampisin.

G. MANIFESTASI KLINIS
1. Manifestasi sistemik TB anak
a. Berat badan turun tanpa sebab yang jelas atau berat badan tidak
naik dengan adekuat atau tidak naik dalam 1 bulan setelah
diberikan upaya perbaikan gizi yang baik.
b. Demam lama (≥2 minggu) dan/atau berulang tanpa sebab yang
jelas (bukan demam tifoid, infeksi saluran kemih, malaria, dan
lain-lain). Demam umumnya tidak tinggi. Keringat malam saja
bukan merupakan gejala spesifik TB pada anak apabila tidak
disertai dengan gejala-gejala sistemik/umum lain.
c. Batuk lama ≥3 minggu, batuk bersifat non-remitting (tidak
pernah reda atau intensitas semakin lama semakin parah) dan
sebab lain batuk telah dapat disingkirkan
d. Nafsu makan tidak ada (anoreksia) atau berkurang, disertai gagal
tumbuh (failure to thrive).
e. Lesu atau malaise, anak kurang aktif bermain.
f. Diare persisten/menetap (>2 minggu) yang tidak sembuh dengan
pengobatan baku diare.
2. Manifestasi spesifik paru
a. TB Asimptomatis
Infeksi asimptomatis (atau laten) didefinisikan sebagai
infeksi yang diasosiasikan dengan hipersensitivitas tuberkulis
dan tes tuberkulin positif tanpa gejala klinis dan manifestasi
radiologis. Dari CT scan dapat dilihat pembesaran nodus limfe
di rongga dada, walaupun pada rontgen hasil dapat normal.
Kadang-kadang, demam subfebris ditemukan pada onset
penyakit. Sekiranya anak berkontak dengan individu dengan TB
menular yg tes tuberkulin positif, diagnosis TB asimptomatis
harus segera disingkirkan setelah rontgen foto thorak dan
pemeriksaan fisik yang teliti.4
b. TB Paru Primer
Kompleks primer mengandung 3 elemen: fokus primer,
limfangitis dan limfadenitis regional. Tanda yang khas pada
penyakit ini adalah daerah adenitis yang relatif besar berbanding
lokus pada paru. Karena aliran limfatik thorak berlangsung
secara predominan dari kiri ke kanan, nodus pada bagian kanan
atas paratrakeal sering dinilai paling terafeksi.4
Interpretasi ukuran nodus limfe intratoraks pada rontgen
sulit, tapi akan terlihat jelas apabila terdapat adenopati yang
disebabkan oleh tuberkulosis. Apabila nodus limfe membesar,
obstruksi parsial dari bronkus dapat menimbulkan hiperinflasi
dan berlanjut kepada atelektasis. Gambaran radiologis pada
penyakit ini mirip penyakit yang disebabkan oleh aspirasi benda
asing. Atelektasis segmental dan lesi hiperinflasi dapat terjadi
bersamaan.3
Balita cenderung memperlihatkan tanda dan gejala karena
perbahan diameter saluran nafas berbanding nodus limfe
parenkim. Simptom yang paling sering adalah batuk non
produktif dan dispneu. Gangguan respiratorik contohnya
obstruksi bronkus dengan tanda adanya air trapping dan gejala
wheezing jarang dikeluhkan.

c. TB Paru Progresif
TB paru progresif merupakan komplikasi lanjutan dari TB
paru primer. Kompleks primer yang menjadi fokus awal paru
yang tidak mengalami kalsifikasi membesar dengan stabil
membentuk caseous centre yang kemudiannya meleleh ke
dalam broncus adjacent membentuk kavitas primer. Likuifikasi
ini berhubungan dengan besarnya jumlah basil TB, merupakan
faktor yang menyebabkan seorang anak dapat mentransmisikan
M. tuberkulosis kepada individu lainnya. Dapat terjadi
diseminasi lanjut basil tuberkel ke lobus lain dan ke seluruh
paru. Gambaran klinis pada penyakit ini adalah
bronkopneumonia dengan demam tinggi, batuk sedang sampai
berat, keringat malam, dullness pada perkusi, rales, dan
penurunan bunyi nafas.4
d. TB Paru Kronis/Reaktivasi
Sebelum penemuan Obat Anti Tuberkulosis (OAT), TB paru
kronis sangat jarang ditemukan pada anak. Penyakit ini lebih
sering ditemukan pada anak-anak yang mempunyai strata
sosioekonomi yang rendah, anak perempuan dan pada anak
dengan diagnosis TB yang lambat ditegakkan. Penyakit ini
sering ditemukan pada remaja berbanding anak dengan
gambaran radiologis mirip pada orang dewasa, dengan
gambaran infiltrat pada lobus atas dan kavitas. Anak dengan
penyakit ini cenderung mengalami demam, anoreksia, malaise,
penurunan berat badan, keringat malam, batuk produktif, nyeri
dada dan hemoptisis.3
e. Efusi pleura

Gambar. Tuberkulosis primer serta efusi pleura kanan


Efusi pleura yang disebabkan oleh tuberkulosis dapat dilokalisir
atau digeneralisir, unilateral atau bilateral. Efusi pleura TB
jarang ditemukan pada anak kurang dari 2 tahun dan hampir
tidak ditemukan pada anak usia dibawah 5 tahun. Onset dari
pleurisy berlangsung cepat mirip pneumonia bakteri, dengan
gambaran klinis nyeri dada, sesak nafas, perkusi dullness dan
penurunan bunyi nafas. Demam tinggi dan jika tidak dirawat
dapat berlangsung beberapa minggu.
H. DIAGNOSIS
Menurut IDAI, secara umum penegakan diagnosis TB pada anak didasarkan pada
4 hal, yaitu :
1. Konfirmasi bakteriologis TB
2. Gejala klinis yang khas TB
3. Adanya bukti infeksi TB (hasil uji tuberkulin positif atau kontak erat dengan
pasien TB)
4. Gambaran foto toraks sugestif TB.

Indonesia telah menyusun sistem skoring untuk membantu menegakan diagnosis


TB pada anak. (Buku pedoman teknis manajemen dan tatalaksana TB Anak)
Pemeriksaan Penunjang
a. Uji tuberkulin
Tuberkulin adalah komponen protein kuman TB yang mempunyai
sifat antigenik yang kuat. Jika disuntikkan secara intrakutan kepada
seseorang yang telah terinfeksi TB, maka akan terjadi reaksi berupa
indurasi di lokasi suntikan. Uji tuberkulin cara mantoux dilakukan
dengan menyuntikkan 0,1 ml PPD RT-23 2TU secara intrakutan di
bagian volar lengan bawah. Pembacaan dilakukan 48-72 jam setelah
penyuntikan. Pengukuran dilakukan terhadap indurasi yang timbul. Jika
tidak timbul indurasi sama sekali hasilnya dilaporkan sebagai negatif.2,5
Secara umum hasil uji tuberkulin dengan diameter indurasi ≥ 10 mm
dinyatakan positif tanpa menghiraukan penyebabnya. Hasil positif ini
sebagian besar disebabkan oleh infeksi TB alamiah, tetapi masih
mungkin disebabkan oleh imunisasi BCG atau infeksi M. atipik. Pada
anak balita yang telah mendapat BCG, diameter indurasi 10-14 cm
dinyatakan uji tuberkulin positif, kemungkinan besar karena infeksi TB
alamiah, tetapi masih mungkin disebabkan oleh BCG-nya, tapi bila
ukuran indurasinya ≥ 15 mm sangat mungkin karena infeksi alamiah.
Apabila diameter indurasi 0-4 mm dinyatakan uji tuberkulin negatif.
Diameter 5-9 cm dinyatakan positif meragukan. Pada keadaan
imunokompromais atau pada pemeriksaan foto thorak terdapat kelainan
radiologis hasil positif yang digunakan ≥ 5mm.2,5
Hasil uji tuberculin positif didapatkan pada :
1) Infeksi TB alamiah
a) Infeksi TB tanpa sakit TB (infeksi TB laten)
b) Infeksi TB dan sakit TB
c) TB yang telah sembuh
2) Imunisasi BCG (infeksi TB buatan)
3) Infeksi Mikrobakterium atipik
Uji tuberculin negatif dapat didapatkan pada :
1) Tidak ada infeksi TB
2) Dalam masa inkubasi infeksi TB
3) Anergi
Anergi adalah keadaan penekanan sistem imun oleh berbagai
keadaan, sehingga tubuh tidak memberikan reaksi terhadap tuberculin
walaupun sebenarnya sudah terinfeksi TB. Beberapa keadaan dapat
menimbulkan anergi, misalnya gizi buruk, keganasan, penggunaan
steroid jangka panjang, sitostatika, penyakit morbili pertusis arisela,
influenza, TB yang berat, serta pemberian vaksinasi dengan vaksin
virus hidup yang dimaksud dengan influenza adalah infeksi oleh virus
influenza, bukan batuk pilek panas biasa, yang umumnya disebabkan
oleh rhinovirus dan disebut selesma common cold).
b. Uji interferon
Prinsip yang digunakan adalah merangsang limfosit T dengan
antigen tertentu, diantaranya antigen dari kuman TB. Bila sebelumya
limfosit T tersebut telah tersensitisasi dengan antigen TB maka limfosit
T akan menghasilkan interferon gamma yang kemudian di kalkulasi.
Akan tetapi, pemeriksaan ini hingga saat ini belum dapat membedakan
antara infeksi TB dan sakit TB.5
c. Radiologi
Gambaran foto Rontgen toraks pada TB tidak khas, kelainan-
kelainan radiologis pada TB dapat juga dijumpai pada penyakit lain.
Secara umum, gambaran radiologis yang sugestif TB adalah:
1) Pembesaran kelenjar hilus atau paratrakeal dengan/tanpa infiltrat
2) Konsolidasi segmental/lobar
3) Milier
4) Kalsifikasi dengan infiltrat
5) Atelektasis
6) Kavitas
7) Efusi pleura
8) Tuberkuloma
d. Serologi
Beberapa pemeriksaan serologis yang ada di antaranya adalah PAP
TB, mycodot, Immuno Chromatographic Test (ICT), dan lain-lain.
Akan tetapi, hingga saat ini belum ada satupun pemeriksaan serologis
yang dapat membedakan antara infeksi TB dan sakit TB.5
e. Mikrobiologi
Pemeriksaan mikrobiologi yang dilakukan terdiri dari pemeriksaan
mikroskopik apusan langsung untuk menemukan BTA, pemeriksaan
biakan kuman M. Tuberkulosis dan pemeriksaan PCR.
Pada anak pemeriksaan mikroskopik langsung sulit dilakukan
karena sulit mendapatkan sputum sehingga harus dilakukan bilas
lambung. Dari hasil bilas lambung didapatkan hanya 10 % anak yang
memberikan hasil positif. Pada kultur hasil dinyatakan positif jika
terdapat minimal 10 basil per milliliter spesimen. Saat ini PCR masih
digunakan untuk keperluan penelitian dan belum digunakan untuk
pemeriksaan klinis rutin.2,5
f. Patologi Anatomik
Pemeriksaan PA dapat menunjukkan gambaran granuloma yang
ukurannya kecil, terbentuk dari agregasi sel epiteloid yang dikelilingi
oleh limfosit. Granuloma tresebut mempunyai karakteristik perkijuan
atau area nekrosis kaseosa di tengah granuloma. Gambaran khas
lainnya ditemukannya sel datia langhans.2
g. Rapid Test TB
Rapid Test TB (Xpert MTB-RIF) adalah sebuah tes molekular
diagnostik baru yang saat ini sedang gencar di rekomendasikan oleh
WHO. Pemeriksaan Xpert MTB-RIF awalnya ditujukan oleh WHO
untuk pasien yang datang dengan multi drug resistance tuberculosis
(MTDR-TB) dan pasien HIV-TB.
Pemeriksaan baru ini sedang gencar direkomendaikan oleh WHO
karena dapat mendeteksi tuberculosis dengan cepat (dalam 2 jam) dan
resistensi pasien terhadap rifampisin. Pemeriksaan ini dapat dilakukan
di;uar ruangan laboratorium. Meski memiliki banyak manfaat namun
karena biaya penggunaannya yang masih tinggi, pemeriksaan ini jarang
dilakukan di Indonesia.
I. DIAGNOSIS BANDING
1. Pneumoniae
Pneumonia adalah infeksi akut perenkim paru yang meliputi
alveolus dan jaringan interstitiil, yang ditandai oleh demam, batuk, sesak
(peningkatan frekuensi pernafasan), nafas cuping hidung, retraksi dinding
dada dan kadang-kadang sianosis.
Gejala klinis yang muncul tergantung dari umur pasien, dan
pathogen penyebabnya, sedangkan pada anak-anak bisa tidak muncul
gejala. Pada neonatus sering dijumpai takipneu, retraksi dinding dada,
grunting, dan sianosis. Pada bayi-bayi yang lebih tua jarang ditemukan
grunting. Gejala yang sering terlihat adalah takipneu, retraksi, sianosis,
batuk,panas, dan iritabel.
Pada anak pra sekolah, gejala yang sering terjadi adalah demam,
batuk ( non produktif / produktif ), takipneu, dan dispneu yang ditandai
dengan retraksi dinding dada. Pada kelompok anak sekolah dan remaja,
dapat dijumpai panas, batuk (non produktif / produktif ), nyeri dada, nyeri
kepala, dehidrasi dan letargi. Pada semua kelompok umur, akan dijumpai
adanya nafas cuping hidung. 3
2. Bronkitis
Bronkitis adalah suatu peradangan pada saluran bronkial atau
bronki. Peradangan tersebut disebabkan oleh virus, bakteri, merokok, atau
polusi udara. Definisi bronkitis kronis adalah batuk disertai sputum setiap
hari selama setidaknya 3 bulan dalam setahun selama paling sedikit 2
tahun berturut-turut.
Gejala klinisnya biasa dimulai dengan batuk.
a. Batuk biasanya merupakan tanda dimulainya bronkitis. Pada awalnya
pasien mengalami batuk produktif di pagi hari dan tidak berdahak,
tetapi 1-2 hari kemudian akan mengeluarkan dahak berwarna putih
atau mukoid, jika ada infeksi menjadi purulen atau mukopurulen.
b. Sesak nafas. Bila timbul infeksi, sesak napas semakin lama semakin
hebat. Terutama pada musim dimana udara dingin dan berkabut.
c. Sering menderita infeksi pernafasan (misalnya flu).
d. Wheezing (mengi). Saluran napas menyempit dan selama bertahun-
tahun terjadi sesak progresif lambat disertai mengi yang semakin
hebat pada episode infeksi akut.
e. Pembengkakan pergelangan kaki dan tungkai kiri dan kanan.
f. Wajah, telapak tangan atau selaput lendir yang berwarna kemerahan.
g. Bronkitis infeksiosa seringkali dimulai dengan gejala seperti pilek,
yaitu hidung meler, lelah, menggigil, sakit punggung, sakit otot,
demam ringan dan nyeri tenggorokan. Pada bronkitis berat, setelah
sebagian besar gejala lainnya membaik, kadang terjadi demam tinggi
selama 3-5 hari dan batuk bias menetap selama beberapa minggu.3
3. Bronkitis asmatis
Asma merupakan penyakit gangguan inflamasi kronis saluran
pernapasan yang dihubungkan dengan hiper-responsif, keterbatasan aliran
udara yang reversible dan gejala pernapasan. Pemicu yang berbeda-beda
dapat menyebabkan eksaserbasi asma oleh karena inflamasi saluran napas
atau bronkospasme akut atau keduanya. Faktor yang dapat memicu yaitu
allergen, polusi udara, infeksi saluran napas, obat dan ekspresi emosi
berlebihan.

J. TATALAKSANA TB
Tatalaksana medikamentosa TB Anak terdiri dari terapi (pengobatan) dan
profilaksis (pencegahan). Terapi TB diberikan pada anak yang sakit TB, sedangkan
profilaksis TB diberikan pada anak yang kontak TB (profilaksis primer) atau anak
yang terinfeksi TB tanpa sakit TB (profilaksis sekunder).

Beberapa hal penting dalam tatalaksana TB Anak adalah:

1. Obat TB diberikan dalam paduan obat tidak boleh diberikan sebagai


monoterapi.
2. Pemberian gizi yang adekuat.
3. Mencari penyakit penyerta, jika ada ditatalaksana secara bersamaan.
Prinsip pengobatan TB anak:

1. OAT diberikan dalam bentuk kombinasi minimal 3 macam obat untuk


mencegah terjadinya resistensi obat dan untuk membunuh kuman
intraseluler dan ekstraseluler.
2. Waktu pengobatan TB pada anak 6-12 bulan. pemberian obat jangka
panjang selain untuk membunuh kuman juga untuk mengurangi
kemungkinan terjadinya kekambuhan.
3. Pengobatan TB pada anak dibagi dalam 2 tahap:
a. Tahap intensif, selama 2 bulan pertama. Pada tahap intensif,
diberikan minimal 3 macam obat (H,R,Z), tergantung hasil
pemeriksaan bakteriologis dan berat ringannya penyakit.
b. Tahap Lanjutan, diberikan 2 macam obat (R,H) selama 4-10 bulan
selanjutnya, tergantung hasil pemeriksaan bakteriologis dan berat
ringannya penyakit. Selama tahap intensif dan lanjutan, OAT pada
anak diberikan setiap hari untuk mengurangi ketidakteraturan
minum obat yang lebih sering terjadi jika obat tidak diminum setiap
hari.
c. Etambutol ditambahkan pada kasus berat seperti TB milier,
meningitis TB, TB tulang dan TB ekstra paru berat lainnya.
4. Pada TB anak dengan gejala klinis yang berat, baik pulmonal maupun
ekstrapulmonal seperti TB milier, meningitis TB, TB tulang, dan lain -
lain dirujuk ke fasilitas pelayanan kesehatan rujukan.
5. Pada kasus TB tertentu yaitu TB milier, efusi pleura TB, perikarditis
TB, TB endobronkial, meningitis TB, dan peritonitis TB, diberikan
kortikosteroid (prednison) dengan dosis 1-2 mg/kg BB/hari, dibagi
dalam 3 dosis. Dosis maksimal prednisone adalah 60mg/hari. Lama
pemberian kortikosteroid adalah 2-4 minggu dengan dosis penuh
dilanjutkan tappering off dalam jangka waktu yang sama. Tujuan
pemberian steroid ini untuk mengurangi proses inflamasi dan mencegah
terjadi perlekatan jaringan.
6. Paduan OAT untuk anak yang digunakan oleh Program Nasional
Pengendalian Tuberkulosis di Indonesia adalah:
a. Kategori Anak dengan 3 macam obat: 2HRZ/4HR
b. Kategori Anak dengan 4 macam obat: 2HRZE(S)/4-10HR
7. Paduan OAT Kategori Anak diberikan dalam bentuk paket berupa obat
Kombinasi Dosis Tetap (OAT-KDT). Tablet OAT KDT ini terdiri dari
kombinasi 2 atau 3 jenis obat dalam satu tablet. Dosisnya disesuaikan
dengan berat badan pasien. Paduan ini dikemas dalam satu paket untuk
satu pasien.
8. OAT untuk anak juga harus disediakan dalam bentuk OAT kombipak
untuk digunakan dalam pengobatan pasien yang mengalami efek
samping OAT KDT.

Gambar. Tatalaksana Tuberkulosis Anak


Skema Pemberian OAT pada Anak
Keterangan :
R: Rifampisin; H: Isoniasid; Z: Pirazinamid
1. Bayi di bawah 5 kg pemberian OAT secara terpisah, tidak dalam bentuk
kombinasi dosis tetap, dan sebaiknya dirujuk ke RS rujukan
2. Apabila ada kenaikan BB maka dosis/jumlah tablet yang diberikan,
menyesuaikan berat badan saat itu
3. Untuk anak obesitas, dosis KDT menggunakan Berat Badan ideal (sesuai
umur).
4. OAT KDT harus diberikan secara utuh (tidak boleh dibelah, dan tidak boleh
digerus)
5. Obat dapat diberikan dengan cara ditelan utuh, dikunyah/dikulum
(chewable), atau dimasukkan air dalam sendok (dispersable).
6. Obat diberikan pada saat perut kosong, atau paling cepat 1 jam setelah
makan
7. Apabila OAT lepas diberikan dalam bentuk puyer, maka semua obat tidak
boleh digerus bersama dan dicampur dalam satu puyer

Pemantauan Pengobatan
Pemantauan pengobatan pasien TB Anak Pada fase intensif pasien TB
anak kontrol tiap minggu, untuk melihat kepatuhan, toleransi dan kemungkinan
adanya efek samping obat. Pada fase lanjutan pasien kontrol tiap bulan. Setelah
diberi OAT selama 2 bulan, respon pengobatan pasien harus dievaluasi.
Respon pengobatan dikatakan baik apabila gejala klinis berkurang, nafsu
makan meningkat, berat badan meningkat, demam menghilang, dan batuk
berkurang.
Apabila respon pengobatan baik maka pemberian OAT dilanjutkan sampai
dengan 6 bulan. Sedangkan apabila respon pengobatan kurang atau tidak baik
maka pengobatan TB tetap dilanjutkan tetapi pasien harus dirujuk ke sarana
yang lebih lengkap. Sistem skoring hanya digunakan untuk diagnosis, bukan
untuk menilai hasil pengobatan.
Setelah pemberian obat selama 6 bulan, OAT dapat dihentikan dengan
melakukan evaluasi klinis. Pemeriksaan tuberkulin tidak dapat digunakan
sebagai pemeriksaan untuk pemantauan pengobatan, karena uji tuberkulin
yang positif masih akan memberikan hasil yang positif. Meskipun gambaran
radiologis tidak menunjukkan perubahan yang berarti, tetapi apabila dijumpai
perbaikan klinis yang nyata, maka pengobatan dapat dihentikan dan pasien
dinyatakan selesai.
Pada pasien TB anak yang pada awal pengobatan hasil pemeriksaan
dahaknya BTA positif, pemantauan pengobatan dilakukan dengan melakukan
pemeriksaan dahak ulang sesuai dengan alur pemantauan pengobatan pasien
TB BTA pos.

Efek Samping Pengobatan TB

Efek Samping pengobatan TB Anak Pasien dengan keluhan neuritis perifer


(misalnya: kesemutan) dan asupan piridoksin (vitamin B6) dari bahan makanan
tidak tercukupi, maka dapat diberikan vitamin B6 10 mg tiap 100 mg INH.

Untuk pencegahan neuritis perifer, apabila tersedia piridoksin 10 mg/ hari


direkomendasikan diberikan pada :
1. bayi yang mendapat ASI eksklusif
2. pasien gizi buruk,
3. anak dengan HIV positif.

Tatalaksana pasien yang berobat tidak teratur


Ketidakpatuhan minum OAT pada pasien TB merupakan penyebab
kegagalan terapi.
1. Jika anak tidak minum obat >2 minggu di fase intensif atau > 2 bulan di
fase lanjutan DAN menunjukkan gejala TB, beri pengobatan kembali
mulai dari awal.
2. Jika anak tidak minum obat <2 minggu di fase intensif atau <2 bulan di
fase lanjutan dan menunjukan gejala TB, lanjutkan sisa pengobatan
sampai selesai.

Pengobatan Ulang TB anak


Anak yang pernah mendapatkan pengobatan TB, apabila datang kembali
dengan keluhan gejala TB, perlu dievaluasi apakah anak tersebut benar –
benar menderita TB. Evaluasi dapat dilakukan dengan sistem skoring atau
pemeriksaan dahak. Apabila hasil evaluasi menunjukan hasil positif, anak
diklasifikasikan sebagai kasus kambuh. Pada pasien tb anak yang pernah
mendapat pengobatan tb, tidak dianjurkan dilakukan uji tuberkulin ulang.

Tatalaksana Non Medikamentosa


1. Pendekatan DOTS (Directly Observed Treatment Shortcourse)
Keteraturan pasien untuk menelan obat dikatakan baik apabila
pasien menelan obat sesuai dengan dosis yang ditentukan dalam
panduan pengobatan. Keteraturan dalam menelan obat ini menjamin
keberhasilan pengobatan serta mencegah relaps dan terjadinya
resistensi. Salah satu upaya untuk meningkatkan keteraturan adalah
dengan melakukan pengawasan langsung terhadap pengobatan
(directly observed treatment). Directly observed treatment shortcours
(DOTS) adalah strategi yang telah direkomendasikan oleh WHO dalam
pelaksanaan program penanggulangan TB, dan telah dilaksanakan di
Indonesia sejak tahun 1955. Penanggulangan TB dengan strategi DOTS
dapat memberikan angka kesembuhan yang tinggi.2
Sesuai rekomendasi WHO, strategi DOTS terdiri atas lima
komponen yaitu sebagai berikut : 2,12
 Komitmen politis dari para pengambil keputusan, temasuk
dukungan dana.
 Diagnosis TB dengan pemeriksaan sputum secara mikroskopis.
 Pengobatan dengan panduan OAT jangka pendek dengan
pengawasan langsung oleh pengawas minum obat (PMO).
 Kesinambungan persediaan OAT jangka pendek dengan mutu
terjamin.
 Pencatatan dan pelaporan secara baku untuk memudahkan
pemantauan dan evaluasi program penanggulangan TB.

2. Sumber penularan dan case finding


Apabila kita menemukan seorang anak dengan TB, maka harus
dicari sumber penularan yang menyebabkan anak tersebut tertular TB.
Sumber penularan adalah orang dewasa yang menderita TB aktif dan
kontak erat dengan anak tersebut. Pelacakan sumber infeksi dilakukan
dengan cara pemeriksaan radiologis dan BTA sputum (pelacakan
sentripetal). Bila telah ditemukan sumbernya, perlu pula dilakukan
pelacakan sentrifugal, yaitu mencari anak lain di sekitasnya yang
mungkin juga tertular, dengan cara uji tuberkulin.2
Sebaliknya, jika ditemukan pasien TB dewasa aktif, maka anak
disekitarnya atau yang kontak erat harus ditelusuri ada atau tidaknya
infeksi TB (pelacakan sentrifugal). Pelacakan tersebut dilakukan
dengan cara anamnesis, pemeriksaan fisis, dan pemeriksaan penunjang
yaitu uji tuberkulin.3,5
3. Aspek edukasi dan sosial ekonomi
Pengobatan TB tidak lepas dari masalah sosial ekonomi. Karena
pengobatan TB memerlukan kesinambungan pengobatan dalam jangka
waktu yang cukup lama, maka biaya yang diperlukan cukup besar.
Selain itu, diperlukan juga penanganan gizi yang baik, meliputi
kecukupan asupan makanan, vitamin, dan mikronutrien. Tanpa
penanganan gizi yang baik, pengobatan dengan medikamentosa saja
tidak akan tercapai hasil yang optimal. Edukasi ditujukan kepada pasien
dan keluarganya agar mengetahui mengenai TB. Pasien TB anak tidak
perlu diisolasi karena sebagian besar TB padak anak tidak menular
kepada orang disekitarnya. Aktivitas fisik pasien TB anak tidak perlu
dibatasi, kecuali pada TB berat.

K. PENCEGAHAN

1. Imunisasi BCG

Imunisasi BCG (Bacille Calmette-Guérin) diberikan pada usia sebelum 2


bulan. Dosis untuk bayi sebesar 0,05 ml dan untuk anak 0,10 ml, diberikan
secara intrakutan di daerah insersi otot deltoid kanan (penyuntikan lebih mudah
dan lemak subkutis lebuh tebal, ulkus tidak menggangu struktur otot dan
sebagai tanda baku). Bila BCG diberikan pada usia lebih dari 3 bulan, sebaiknya
dilakukan uji tuberkulin terlebih dahulu. Insidens TB anak yang mendapat BCG
berhubungan dengan kualitas vaksin yang digunakan, pemberian vaksin, jarak
pemberian vaksin dan intensitas pemaparan infeksi.3,5

Manfaat BCG telah dilaporkan oleh beberapa peneliti, yaitu antara 0-80%.
Imunisasi BCG efektif terutama untuk mencegah TB milier, meningitis TB dan
spondilitis TB pada anak. Imunisasi ini memberikan perlindungan terhadap
terjadinya TB milier, meningitis TB, TB sistem skletal, dan kavitas. Fakta di
klinik sekitar 70% TB berat dengan biakan positif telah mempunyai parut BCG.
Imunisasi BCG ulangan dianjurkan di beberapa negara, tetapi umumnya tidak
dianjurkan di banyak negara lain, temasuk Indonesia.

Imunisasi BCG relatif aman, jarang timbul efek samping yang serius. Efek
samping yang sering ditemukan adalah ulserasi lokal dan limfadenitis (adenitis
supuratif) dengan insidens 0,1-1%. Kontraindikasi imunisasi BCG adalah
kondisi imunokompromais, misalnya defisiensi imun, infeksi berat, gizi buruk,
dan gagal tumbuh. Pada bayi prematur, BCG ditunda hingga bayi mencapai
berat badan optimal.5
2. Kemoprofilaksis

Terdapat dua jenis kemoprofilaksis, yaitu kemoprofilaksis primer dan


kemoprofilaksis sekunder. Kemoprofilaksis primer bertujuan untuk mencegah
terjadinya infeksi TB, sedangkan kemoprofilaksis sekunder mencegah
berkembangnya infeksi menjadi sakit TB. Pada kemoprofilaksis primer
diberikan isoniazid dengan dosis 5-10 mg/kgBB/hari dengan dosis tunggal.
Kemoprofilaksis ini diberikan pada anak yang kontak dengan TB menular,
terutama dengan BTA sputum positif, tetapi belum terinfeksi (uji tuberkulin
negatif). Pada akhir bulan ketiga pemberian profilaksis dilakukan uji tuberkulin
ulang. Jika tetap negatif dan sumber penularan telah sembuh dan tidak menular
lagi (BTA sputum negatif), maka INH profilaksis dihentikan. Jika terjadi
konversi tuberkulin positif, evaluasi status TB pasien. Jika didapatkan uji
tuberkulin negatif dan INH profilaksis telah dihentikan, sebaiknya dilakukan uji
tuberkulin ulang 3 bulan kemudian untuk evaluasi lebih lanjut.
Kemoprofilaksis sekunder diberikan pada anak yang telah terinfeksi, tetapi
belum sakit, ditandai dengan uji tuberkulin positif, sedangkan klinis dan
radiologis normal. Tidak semua anak diberi kemoprofilaksis sekunder, tetapi
hanya anak yang termasuk dalam kelompok resiko tinggi untuk berkembang
menjadi sakit TB, yaitu anak-anak pada keadaan imunokompromais. Contoh
anak-anak dengan imunokompromais adalah usia balita, menderita morbili,
varisela, atau pertusis, mendapat obat imunosupresif yang lama (sitostatik dan
kortikosteroid), usia remaja, dan infeksi TB baru (konvensi uji tuberkulin dalam
kurun waktu kurang dari 12 bulan). Lama pemberian untuk kemoprofilaksis
sekunder adalah 6-12 bulan. Baik profilaksis primer, profilaksis sekunder dan
terapi TB, tetap dievaluasi tiap bulan untuk menilai respon dan efek samping
obat.3,5

L. KOMPLIKASI
Limfadenitis, meningitis, osteomielitis, arthtritis, enteritis, peritonitis,
penyebaran ke ginjal, mata, telinga tengah dan kulit dapat terjadi. Bayi yang
dilahirkan dari orang tua yang menderita tuberkulosis mempunyai risiko yang
besar untuk menderita tuberkulosis.
Kemungkinan terjadinya gangguan jalan nafas yang mengancam jiwa harus
dipikirkan pada pasien dengan pelebaran mediastinum atau adanya lesi pada
daerah hilus.

M. PROGNOSIS

Pada pasien dengan sistem imun yang prima, terapi menggunakan OAT
terkini memberikan hasil yang potensial untuk mencapai kesembuhan. Jika
kuman sensitif dan pengobatan lengkap, kebanyakan anak sembuh dengan
gejala sisa yang minimal. Terapi ulangan lebih sulit dan kurang memuaskan
hasilnya. Perhatian lebih harus diberikan pada pasien dengan imunodefisiensi,
yang resisten terhadap berbagai rejimen obat, yang berespon buruk terhadap
terapi atau dengan komplikasi lanjut. Pasien dengan resistensi multiple
terhadap OAT jumlahnya meningkat dari waktu ke waktu. Hal ini terjadi
karena para dokter meresepkan rejimen terapi yang tidak adekuat ataupun
ketidakpatuhan pasien dalam menjalanin pengobatan.

Você também pode gostar