Você está na página 1de 3

Merangkai Pendidikan Toleransi

Wilson Bhara Watu,


Mahasiswa Magister Teknologi Pendidikan Universitas Pelita Harapan Jakarta

Masa-masa menjelang Pilgub DKI Jakarta 2017 kali ini punya aroma yang kurang
sedap. Aroma buruk ini mulai mengarah pada politisasi isu-isu suku, agama, ras dan
antargolongan (SARA) yang kemudian menjalar pada polarisasi masyarakat. Munculnya
spanduk-spanduk provokatif serta larangan memilih calon lain atas dasar pertimbangan
agama merupakan contoh nyata bagaimana isu-isu tersebut dipolitisasi. Tentu saja hal ini
merupakan sebuah kemunduran dalam demokrasi. Mestinya kita mengedepankan isu-isu
politik yang lebih relevan ketimbang isu SARA. Yang menjadi pertanyaan saya kemudian
adalah apakah eksploitasi isu SARA ini hanya menjadi bagian dari masalah politik
ataukah ada dimensi lainnya yang sebenarnya juga bermasalah dan belum diselesaikan
secara serius? Hemat saya ada, yaitu sistem pendidikan. Ada dua kemungkinan
permasalahan yang bisa dianalisis. Pertama pendidikan masih mengabaikan masalah-
masalah SARA yang ada di dalam masyarakat sehingga tak menganggapnya relevan
untuk dijadikan bahan kajian dalam pendidikan. Kedua, boleh jadi pendidikan kita malah
sudah dirasuki oleh masalah-masalah sosial tersebut sehingga tidak ada lagi perbedaan
antara keduanya.

Penjara Politik Anggaran


Isu pendidikan dalam Pilgub DKI 2017 kali ini terkonsentrasi pada efektivitas Kartu
Jakarta Pintar (KJP). Para cagub/cawagub lebih banyak melihat masalah pendidikan pada
masalah anggaran, sarana/prasarana sekolah, serta akomodasi tunjangan tenaga pengajar
atau tenaga guru. Tidak ada yang salah dengan aspek-aspek itu sebab hal-hal tersebut
memang merupakan bagian yang sangat penting dalam pendidikan. Mustahil kita
berbicara tentang isu pendidikan tanpa memasukan politik anggaran sebagai bagian dari
pembahasan. Namun, apakah pendidikan hanya berkutat pada politik anggaran? Di
situlah letak permasalahannya.
Perdebatan dalam pilgub kali ini melupakan aspek penting lain dalam pendidikan
yang sebenarnya punya relevansi untuk diperdebatkan yaitu soal model pendidikan.
Pertarungan politik pilgub kali ini memenjarakan pendidikan sebagai isu anggaran
semata, tak lebih tak kurang. Saya melihat bahwa justru di situ letak permasalahannya.
Isu pendidikan merupakan isu yang kompleks yang tidak dapat dipersempit pada alokasi
anggaran semata. Sebab itu, jika para calon ingin menyelesaikan masalah pendidikan,
maka mereka harus keluar dari penjara politik anggaran menuju pada isu pendidikan
lainnya yang juga relevan untuk dibahas.

Belajar dari Purwakarta


Tahun lalu bupati Purwakarta, Dedi Mulyadi membuat sebuah gebrakan dalam
bidang pendidikan di kabupaten Purwakarta. Gebrakan itu berkaitan dengan larangan
kepada pihak sekolah untuk memberikan tugas rumah akademis bagi para siswanya. Ada
dua hal yang menjadi pertimbangan utamanya. Pertama, kegiatan akademis semestinya
selesai di sekolah. Membawa tugas akademis ke rumah hanya akan menambah kejenuhan
anak didik dalam belajar. Kedua, sekolah mestinya berkaitan langsung dengan situasi
kehidupan para siswanya. Jika sekolah ingin memberikan tugas maka sebaiknya sekolah
memberikan tugas yang berhubungan langsung dengan kehidupan sekitar tempat para
murid tinggal (Media Indonesia, 8/9/2016).
Selain kebijakan tentang larangan pekerjaan rumah akademis para siswa, beliau juga
membuat kebijakan lainnya berkaiatan dengan pendidikan. Kebijakan yang terakhir ini
mendapat apresiasi dari Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Muhadjir Effendy yaitu
berkaitan dengan penetapan libur pada hari tertentu bagi para siswa yang harus digunakan
untuk ikut secara langsung merasakan pekerjaan yang dilakukan oleh orang tua mereka.
Mulyadi berpendapat bahwa anak-anak mesti mendapatkan gambaran yang lebih nyata
tentang apa yang dilakukan oleh tua mereka dalam mencari nafkah. Ini penting agar
mereka bisa belajar dari orang tua mereka. Selain itu menurutnya kebijakan tersebut
diambil sebagai bagian dari pendidikan karakter bagi para siswa. Kebijakan ini mendapat
respon positif dari Kemendikbud yang hendak mewacanakan Purwakarta sebagai rujukan
model pendidikan karakter nasional (Kompas.com, 23/2/2017).
Kebijakan yang diambil oleh bupati Purwakarta ini merupakan contoh bagaimana isu
pendidikan tidak hanya diperbincangkan sebagai isu politik anggaran tetapi juga sebagai
kebijakan praktis yang memiliki relevansi sosial. Bahkan kebijakan-kebijakan tersebut
tidak membebankan penambahan anggaran baik kepada sekolah maupun pemerintah.
Walapun kebijakan ini masih bisa diperdebatkan dan dipertimbangkan, namun arah dari
kebijakan ini perlu diparesiasi sebab Dedi Mulyadi sudah mulai membangun cara
pandang dan cara perlakuan yang lebih luas terhadap aspek pendidikan. Apakah pola
pikir seperti ini bisa juga diadaptasi untuk situasi dan kondisi di tempat yang berbeda?
Tentu saja bisa. Yang jelas bahwa pola pikir seperti ini menuntut sikap kritis dari para
pengambil kebijakan untuk mendisusikan isu pendidikan pada ranah yang lebih luas
ketimbang hanya ‘memakunya’ sebagai salah item pada papan anggaran belanja daerah.

Pendidikan Toleransi
Sosiolog Indonesia Ignas Kleden pernah menulis satu tema yang cukup menarik
tentang tema pendidikan yaitu tentang kapasitas linking dan delinking. Istilah ini
sebenarnya merupakan istilah kebudayaan yang diadopsi untuk kemudian dipakai dalam
menjelaskan kapasitas yang harus ada dalam sistem pendidikan kita. Dalam lingkup
kebudayaan linking dan delinking merupakan kemampuan untuk mengaitkan dan
menghubungkan diri dengan (linking) serta melepaskan (delinking) diri dari sistem nilai
yang dianut (Ignas Kleden, 2004:148-149). Dalam dunia pendidikan, linking berkaitan
dengan kemampuan institusi pendidikan mengaitkan relevansi pembelajarannya pada
kehidupan masyarakat konkret. Dalam konteks ini, sekolah adalah miniatur masyarakat di
mana anak dipersiapkan untuk masuk dalam kehidupan masyarakat. Singkatnya
pendidikan mesti relevan bagi kehidupan sosial.
Namun, tak berhenti pada linking, institusi pendidikan mesti memiliki juga kapasitas
delinking. Itu artinya, kendati pun sekolah merupakan miniatur masyarakat, toh sekolah
tidak identik dengan masyarakat. Institusi pendidikan seperti sekolah mestinya juga
mampu melepaskan diri dari masyarakat. Ini penting terutama ketika kehidupan sosial
dalam masyarakat sudah dicemari dengan permasalahan sosial seperti intoleransi,
korupsi, tawuran serta berbagai masalah lainnya. Jika tidak, maka sekolah akan menjadi
“miniatur masalah sosial” sebab masalah-masalah sosial yang ada di dalam masyarakat
tumbuh subur di dalam institusi pendidikan. Sekolah mesti mengambil peran sebagai
“miniatur kehidupan ideal”.
Kembali pada kontestasi pilgub DKI 2017, kita sebenarnya berharap agar para cagub
dan cawagub melihat persoalan pendidikan secara lebih luas ketimbang berkutat pada
politik anggaran. Isu yang menarik yang bisa diangkat sebagai bagian dari kebijakan
dalam dunia pendidikan di Jakarta adalah masalah intoleransi. Seharusnya para cagub dan
cawagub lebih tertantang untuk mengatasi permasalahan ini dengan kebijakan praktis
terkait masalah pendidikan sehingga pendidikan menjadi relevan (linking) dengan situasi
sosial dan mampu menjadi institusi yang kritis pada masyarakat (delinking).
Sebagai contoh misalnya, sekolah-sekolah dianjurkan untuk merancang kegiatan
yang berkaitan dengan interaksi dengan para siswa dari pemeluk agama lain. Program
studi banding para siswa antar sekolah yang memiliki latar belakang agama yang berbeda
juga bisa menjadi salah satu alternatif atau juga pertukaran guru di antara sekolah-sekolah
yang dengan basis agama berbeda pun bisa menjadi pilihan. Tentang pendidikan
toleransi, satu contoh menarik dari Flores bisa membantu. Salah satu lembaga pendidikan
bagi para calon pemimpin umat Katolik, yaitu Sekolah Tinggi Filsafat Katolik Ledalero
telah lama menjalin kerja sama dengan salah satu pesantren di Kabupaten Ende untuk
mengirimkan tenaga pengajar yang nota bene merupakan calon pemimpin umat katolik
ke pesantren tersebut sebagai tenaga pengajar setiap tahun. Kerja sama itu sudah
berlangsung hampir sepuluh tahun.
Di pesantren tersebut mereka bertugas untuk membantu para pendamping santri
mendidik para santri menjadi pemeluk agama Islam yang baik. Mereka menjadi
pendamping para santri secara full time tanpa ada usaha kristenisasi. Para calon imam dan
para santri saling belajar menghidupi toleransi dalam interaksi sehari-hari. Di sana
mereka makan bersama, belajar bersama, serta bekerja bersama. Setiap pagi calon imam
katolik yang bertugas di pesantren tersebut membangunkan para santri mempersiapkan
diri untuk Sholat. Mereka tetap berdoa dan menghidupi imannya dengan caranya masing-
masing. Di tempat kuliah, para calon imam katolik tersebut belajar juga filsafat Islam
secara mendalam sebagai bagian dari pengenalan dan penghargaan terhadap agama lain.
Belajar dari contoh di atas, pendidikan toleransi sebenarnya berangkat pada dua
ranah yaitu pada ranah teoretis berupa pengetahuan tentang toleransi serta ranah praktis
berupa interaksi dengan yang berbeda keyakinan maupun pandangan. Penyelesaian
terhadap masalah intoleransi pun tak hanya bisa dikembalikan pada politik anggaran
semata. Kita berharap agar isu pendidikan dalam pilgub kali ini dapat diangkat pada taraf
yang lebih tinggi, melampaui politik anggaran, menuju pada model pendidikan toleransi
sebab itu yang lebih relevan. Ini penting sebab, mengutip Helen Keller, “toleransi adalah
hasil tertinggi dari pendidikan”. Dengan belajar mengakui perbedaan, kita sedang
menghargai kebersamaan.

Identitas Penulis:
Nama : Wilson Bhara Watu
Alamat : Jalan Kesatrian VIII, RT 008, RW 003, Kompleks TNI Berlan, Matraman,
Jakarta Timur (HP 085333214350)
Nomor KTP :5307042601900001
No. Rek : (BCA) 7410704841 a.n. Johanes Paulus Wilibrodus Bhara Watu
NPWP : 76.167.915.8-001.000

Você também pode gostar