Escolar Documentos
Profissional Documentos
Cultura Documentos
Masa-masa menjelang Pilgub DKI Jakarta 2017 kali ini punya aroma yang kurang
sedap. Aroma buruk ini mulai mengarah pada politisasi isu-isu suku, agama, ras dan
antargolongan (SARA) yang kemudian menjalar pada polarisasi masyarakat. Munculnya
spanduk-spanduk provokatif serta larangan memilih calon lain atas dasar pertimbangan
agama merupakan contoh nyata bagaimana isu-isu tersebut dipolitisasi. Tentu saja hal ini
merupakan sebuah kemunduran dalam demokrasi. Mestinya kita mengedepankan isu-isu
politik yang lebih relevan ketimbang isu SARA. Yang menjadi pertanyaan saya kemudian
adalah apakah eksploitasi isu SARA ini hanya menjadi bagian dari masalah politik
ataukah ada dimensi lainnya yang sebenarnya juga bermasalah dan belum diselesaikan
secara serius? Hemat saya ada, yaitu sistem pendidikan. Ada dua kemungkinan
permasalahan yang bisa dianalisis. Pertama pendidikan masih mengabaikan masalah-
masalah SARA yang ada di dalam masyarakat sehingga tak menganggapnya relevan
untuk dijadikan bahan kajian dalam pendidikan. Kedua, boleh jadi pendidikan kita malah
sudah dirasuki oleh masalah-masalah sosial tersebut sehingga tidak ada lagi perbedaan
antara keduanya.
Pendidikan Toleransi
Sosiolog Indonesia Ignas Kleden pernah menulis satu tema yang cukup menarik
tentang tema pendidikan yaitu tentang kapasitas linking dan delinking. Istilah ini
sebenarnya merupakan istilah kebudayaan yang diadopsi untuk kemudian dipakai dalam
menjelaskan kapasitas yang harus ada dalam sistem pendidikan kita. Dalam lingkup
kebudayaan linking dan delinking merupakan kemampuan untuk mengaitkan dan
menghubungkan diri dengan (linking) serta melepaskan (delinking) diri dari sistem nilai
yang dianut (Ignas Kleden, 2004:148-149). Dalam dunia pendidikan, linking berkaitan
dengan kemampuan institusi pendidikan mengaitkan relevansi pembelajarannya pada
kehidupan masyarakat konkret. Dalam konteks ini, sekolah adalah miniatur masyarakat di
mana anak dipersiapkan untuk masuk dalam kehidupan masyarakat. Singkatnya
pendidikan mesti relevan bagi kehidupan sosial.
Namun, tak berhenti pada linking, institusi pendidikan mesti memiliki juga kapasitas
delinking. Itu artinya, kendati pun sekolah merupakan miniatur masyarakat, toh sekolah
tidak identik dengan masyarakat. Institusi pendidikan seperti sekolah mestinya juga
mampu melepaskan diri dari masyarakat. Ini penting terutama ketika kehidupan sosial
dalam masyarakat sudah dicemari dengan permasalahan sosial seperti intoleransi,
korupsi, tawuran serta berbagai masalah lainnya. Jika tidak, maka sekolah akan menjadi
“miniatur masalah sosial” sebab masalah-masalah sosial yang ada di dalam masyarakat
tumbuh subur di dalam institusi pendidikan. Sekolah mesti mengambil peran sebagai
“miniatur kehidupan ideal”.
Kembali pada kontestasi pilgub DKI 2017, kita sebenarnya berharap agar para cagub
dan cawagub melihat persoalan pendidikan secara lebih luas ketimbang berkutat pada
politik anggaran. Isu yang menarik yang bisa diangkat sebagai bagian dari kebijakan
dalam dunia pendidikan di Jakarta adalah masalah intoleransi. Seharusnya para cagub dan
cawagub lebih tertantang untuk mengatasi permasalahan ini dengan kebijakan praktis
terkait masalah pendidikan sehingga pendidikan menjadi relevan (linking) dengan situasi
sosial dan mampu menjadi institusi yang kritis pada masyarakat (delinking).
Sebagai contoh misalnya, sekolah-sekolah dianjurkan untuk merancang kegiatan
yang berkaitan dengan interaksi dengan para siswa dari pemeluk agama lain. Program
studi banding para siswa antar sekolah yang memiliki latar belakang agama yang berbeda
juga bisa menjadi salah satu alternatif atau juga pertukaran guru di antara sekolah-sekolah
yang dengan basis agama berbeda pun bisa menjadi pilihan. Tentang pendidikan
toleransi, satu contoh menarik dari Flores bisa membantu. Salah satu lembaga pendidikan
bagi para calon pemimpin umat Katolik, yaitu Sekolah Tinggi Filsafat Katolik Ledalero
telah lama menjalin kerja sama dengan salah satu pesantren di Kabupaten Ende untuk
mengirimkan tenaga pengajar yang nota bene merupakan calon pemimpin umat katolik
ke pesantren tersebut sebagai tenaga pengajar setiap tahun. Kerja sama itu sudah
berlangsung hampir sepuluh tahun.
Di pesantren tersebut mereka bertugas untuk membantu para pendamping santri
mendidik para santri menjadi pemeluk agama Islam yang baik. Mereka menjadi
pendamping para santri secara full time tanpa ada usaha kristenisasi. Para calon imam dan
para santri saling belajar menghidupi toleransi dalam interaksi sehari-hari. Di sana
mereka makan bersama, belajar bersama, serta bekerja bersama. Setiap pagi calon imam
katolik yang bertugas di pesantren tersebut membangunkan para santri mempersiapkan
diri untuk Sholat. Mereka tetap berdoa dan menghidupi imannya dengan caranya masing-
masing. Di tempat kuliah, para calon imam katolik tersebut belajar juga filsafat Islam
secara mendalam sebagai bagian dari pengenalan dan penghargaan terhadap agama lain.
Belajar dari contoh di atas, pendidikan toleransi sebenarnya berangkat pada dua
ranah yaitu pada ranah teoretis berupa pengetahuan tentang toleransi serta ranah praktis
berupa interaksi dengan yang berbeda keyakinan maupun pandangan. Penyelesaian
terhadap masalah intoleransi pun tak hanya bisa dikembalikan pada politik anggaran
semata. Kita berharap agar isu pendidikan dalam pilgub kali ini dapat diangkat pada taraf
yang lebih tinggi, melampaui politik anggaran, menuju pada model pendidikan toleransi
sebab itu yang lebih relevan. Ini penting sebab, mengutip Helen Keller, “toleransi adalah
hasil tertinggi dari pendidikan”. Dengan belajar mengakui perbedaan, kita sedang
menghargai kebersamaan.
Identitas Penulis:
Nama : Wilson Bhara Watu
Alamat : Jalan Kesatrian VIII, RT 008, RW 003, Kompleks TNI Berlan, Matraman,
Jakarta Timur (HP 085333214350)
Nomor KTP :5307042601900001
No. Rek : (BCA) 7410704841 a.n. Johanes Paulus Wilibrodus Bhara Watu
NPWP : 76.167.915.8-001.000