Você está na página 1de 14

BAB 1

PENDAHULUAN
Rumusan masalah

Yang menjadi permasalahan dan diungkapkan dalam makalah ini adalah:


a. Aliran Mu’tazilah
b. Aliran Sunni
c. Munculnya golongan Al-Sya’irah dan al maturidiyah
d. Perkembangan ilmu kalam sunni ( ilmu tauhid nadhori)
e. Aliran Syi’ah.

BAB 11
PEMBAHASAN

A. Aliran Mu’tazilah
Aliran mu’tazilah merupakan salah satu aliran teologi dalam islam
yang dapat dikelompokkan sebagai kaum rasionalis islam, disamping
maturidiyah samarkand. Aliran ini muncul sekitar abad pertama hijriyah, di
kota Basrah, yang ketika itu menjadi kota sentra ilmu pengetahuan dan
kebudayaan islam. disamping itu, aneka kebudayaan asing dan macam-macam
agama bertemu dikota ini. dengan demikian luas dan banyaknya penganut
islam, semakin banyak pula musuh-musuh yang ingin menghancurkannya,
baik dari internal umat islam secara politis maupun dari eksternal umat islam
secara dogmatis. mereka yang non islam merasa iri melihat perkembangan
islam begitu pesat sehingga berupaya untuk menghancurkannya. adapaun
hasrat untuk menghancurkan islam dikalangan pemeluk islam sendiri,
dalam sejarah, mu’tazilah timbul berkaitan dengan peristiwa Washil
bin Atha’ (80-131) dan temannya, amr bin ‘ubaid dan Hasan al-basri, sekitar
tahun 700 M. Washil termasuk orang-orang yang aktif mengikuti kuliah-kuliah
yang diberikan al-Hasan al-Basri di masjid Basrah. suatu hari, salah seorang
dari pengikut kuliah (kajian) bertanya kepada Al-Hasan tentang kedudukan
orang yang berbuat dosa besar (murtakib al-kabair). mengenai pelaku dosa
besar khawarij menyatakan kafir, sedangkan murjiah menyatakan mukmin.
ketika Al-hasan sedang berfikir, tiba-tiba Washil tidak setuju dengan kedua
pendapat itu, menurutnya pelaku dosa besar bukan mukmin dan bukan pula
kafir, tetapi berada diantara posisi keduanya (al manzilah baina al-
manzilataini). setelah itu dia berdiri dan meninggalkan al-hasan karena tidak
setuju dengan sang guru dan membentuk pengajian baru. atas peristiwa ini al-
Hasan berkata, “i’tazalna” (Washil menjauhkan dari kita). dan dari sinilah
nama mu’tazilah dikenakan kepada mereka.
untuk mengetahui corak rasional kaum mu’tazilah ini dapat dilihat dari
ajaran-ajaran pokok yang berasal darinya, yakni al-ushul al-khamsah. Ajaran
ini berisi at-tauhid, al-’adlu, al-wa’du dan al-wa’idu, al-manzilah baina al-
manzilataini dan amar ma’ruf nahi munkar.\

dalam hal attauhid (kemaha esaan Tuhan), merupakan jalan dasar


terpenting bagi kaum mu’tazilah, bagi mereka, tuhan dikatakan Maha Esa jika
ia merupakan dzat yang unik, tiada sesuatupun yang serupa dengan Dia. oleh
karena itu, mu’tazilah menolak paham Antropomorphisme/al-tajassum, yaitu
paham yang menggambarkan tuhan menyerupai makhluknya, misalnya Tuhan
Bertangan dsb. untuk menghindari paham ini, mu’tazilah melakukan interpret\

1
asi metaforis terhadap ayat-ayat al-Qur’an yang Dzonni : yadullah
(Tangan Allah), berarti kekuasaan Allah, Wajhullah (Wajah Allah), Berarti
keridhaa-Nya Dsb.
M ereka juga menolak paham beatific vision, yaitu pandangan bahwa
tuhan dapat dilihat di akhirat nanti (dengan mata kepala). satu satunya sifat
tuhan yang betul-betul tidak mungkin ada pada makhluk-Nya adalah sifat
qadim. paham ini mendorong mu’tazilah untuk meniadakan sifat-sifat Tuhan
yang mempunyai wujud sendiri diluar dzat Tuhan.
A. Sunni
Setelah wafatnya Baginda Rasulullah shollallahu ‘alaihi wasallam, di
mana Daulah Islamiyyah semakin meluas di bawah pimpinan para khalifah,
maka banyak umat manusia dari seluruh dunia memasuki agama Islam
berbondong-bondong. Masyarakat Islam pada ketika itu mempunyai latar
belakang agama dan pegangan yang berbeda-beda. Bahkan, mereka juga
mempunyai Pemahaman terhadap kehidupan yang b\erbeda dengan kehidupan
yang diajarkan oleh Islam.
Bahkan, sebagian mereka ada dari kalangan orang-orang A’jam (bukan
Arab) yang mengalami kesukaran untuk memahami ajaran yang terkandung
dalam Al-Qur’an secara langsung. Berdasarkan banyak faktor-faktor , maka
risalah aqidah Islam dan tauhid murni ini semakin menantang untuk dijelaskan
kepada masyarakat yang baru memeluk Islam.
Sebagian dari mereka sudah terbiasa dengan pegangan dan konsep
ketuhanan yang salah sehingga mencoba memahami aqidah murni Islam
dengan kerangka yang salah. Oleh sebab itulah, timbul isu aqidah yang
beragam seperti isu taqdir yang merupakan isu yang paling awal dibahas
dalam masyarakat Islam,tentunya dalam bidang aqidah. Ini adalah suatu
tantangan baru dalam masyarakat Islam, di mana dahulu, iman adalah suatu
yang dihayati dan terealisasi dalam segenap kehidupan, namun dengan
munculnya generasi baru yang mempunyai pelbagai latar belakang
pendidikan, keilmuan, pegangan, kepercayaan, bahasa dan sebagainya,
membuat “pendekatan” untuk menjelaskan tentang tauhid murni Islam perlu
dikembangkan.
Pada awal perkembangan ilmu aqidah (suatu nama yang tidak di
gunakan dalam zaman awal salaf, lalu berkembang menjadi nama khusus
untuk ilmu tauhid), para ulama’ tidak menumpukan sepenuh perhatian
terhadap isu-isunya karena mereka lebih menumpukan sudut mengembangkan
ilmu-ilmu berkaitan pemahaman terhadap hukum-hakam syariat Islam.
Namun Apabila timbul isu-isu melibatkan aqidah, maka para ulama’
hanya menghadapi individu-individu yang terlibat dengan perdebatan ilmiah
yang ringkas. Ini bisa dilihat sebagai suatu asas bagi perkembangan ilmu Jidal
(ilmu perdebatan) yang seterusnya membawa kepada pengkonsepan ilmu
Kalam Sunni, yaitu suatu perkembangan ilmu Jidal para ulama’ Sunnah
khusus dalam bidang aqidah Islam. di Antara para ulama’ Salaf yang masyhur
yang terlibat dalam perdebatan secara Kalamiyyah (ilmu Kalam atau ilmu
Jidal) ini adalah Imam Abu Hanifah r.a. (w 150 H), Imam As-Syafi’e r.a. (w:
204 H) [rujuk Manaqib As-Syafi’e oleh Al-Baihaqi: 1/457] dan sebagainya.
Pada masa seperti ini, perkembangan ilmu tauhid ajaran Islam mulai
dibahas secara teori semata-mata tanpa berkaitan dengan penghayatan
terhadap tauhid itu sendiri. Muncul individu-individu yang sibuk membahas
tentang sifat-sifat ketuhanan, perkara-perkara ghaib dan sebagainya tanpa
menghayati tauhid murni dalam hati mereka. Seolah-olah, ilmu tauhid adalah
suatu ilmu untuk dibahas tanpa mempunyai penghayatan dan rasa manisnya

2
dalam diri manusia. Ini adalah hasil perkembangan perbahasan ilmu agama
tanpa nilai ketaqwaan dalam sebagian ahli ilmu dan masyarakat awam.
Tidak dapat dinafikan bahwa, para ulama’ yang terlibat dalam memberi
penjelasan terhadap aqidah Islam dalam masyarakat Islam adalah terdiri
daripada para ulama’ sufi juga, yang pada ketika itu lebih dikenali sebagai
golongan Az-Zuhhad (ahli zuhud). Tokoh-tokoh besar seperti Imam Hasan Al-
Bashri (w: 110 H) dan Imam Harith Al-Muhasibi (w: 243 H) adalah antara
tokoh-tokoh sufi awal yang terlibat membahaskan ilmu berkenaan dengan
aqidah. Namun, pembahasan tauhid mereka berbeda dengan pembahasan
tauhid nazhori (secara teori) karena mereka membahas tentang penyucian
jiwa, tarbiah kerohanian dan sebagainya sebagai usaha merealisasikan ilmu
tauhid kepada bentuk penghayatan rohani.
Ini berbeda dengan perkembangan ilmu Tauhid Nazhori yang
melibatkan perdebatan-perdebatan secara istilah dan sebagainya. Sedangkan,
ilmu aqidah atau ilmu tauhid yang dikembangkan oleh sebagian ulama’ sufi
menekankan konsep “keterpaduan” antara tauhid dengan akhlak (tauhid amali
syuhudi) yang mana itu suatu warisan tauhid generasi awal Islam yang masih
dipelihara. Ilmu Tauhid yang mereka bahas bukan sekadar berbentuk teori,
tetapi diterjemahkan dalam bentuk hubungan kehambaan dengan Allah s.w.t.
melalui konsep Suhbah dan Tarbiah yang didasari oleh kaedah Qudwah
(contoh) sebagaimana yang telah disebutkan.
Kaedah Qudwah yang mereka gunakan itu sendiri mempunyai
silsilahnya yang bersambung kepada Saidina Rasulullahshollallahu ‘alaihi
wasallam karena para ulama’ sufi mengambil qudwah daripada para ulama’
tabi’in yang mengambilnya daripada para sahabat r.a. yang mana mereka
mengambilnya daripada Rasulullah shollallahu ‘alaihi wasallam.
Ketika perkembangan ilmu tauhid amali sedang marak dalam golongan
sufi khususnya, muncul beberapa individu yang terus tenggelam dalam
pembahasan tauhid berbentuk teori (Ilmu Tauhid Nazhori/kalam), lalu timbul
perdebatan hangat tentang masalah-masalah ketuhanan dan sebagainya,
berdasarkan banyak faktor. Antaranya adalah berlebihan dalam menggunakan
akal untuk berinteraksi dengan masalah-masalah aqidah dan kelemahan dalam
menguasai ilmu bahasa Arab yang sempurna sehingga salah faham dalam
memahami nas-nas mutasyabihat yang melibatkan masalah-masalah aqidah.
Di Antara mereka yang terlibat dengan kesesatan dalam masalah
aqidah adalah seperti Washil bin ‘Atho’ (w: 130 H) yang merupakan murid
Imam Hasan Al-Bashri yang akhirnya keluar dari majlis Imam Al-Bashri lalu
membuat majlis ilmu sendiri karena mempunyai femahaman yang berbeda
daripada Imam Hasan Al-Bashri khususnya dalam beberapa masalah aqidah.
Akhirnya, faham Washil bin ‘Atho’ dikenal sebagai Mu’tazilah.
pemahaman ini juga dikembangkan oleh ‘Amr bin ‘Ubaid (80-142
H) dan kemudian dikembangkan oleh Abu Hudhail Al-‘Allaf (w: 268 H),
Ma’bad bin ‘Ubbad Al-Silmi (w: 220 H) dan seterusnya oleh Abu Ali Al-
Jubba’ie (w: 330 H).
Di samping itu juga, sebelum munculnya golongan Mu’tazilah, muncul
individu yang menimbulkan kekeliruan dalam masalah aqidah seperti Ma’bad
Al-Juhani Al-Bashri (w: 80 H) dan Ghailan Ad-Dimasyqi (w: 105 H).
Femahaman kedua individu ini dikenal sebagai Qadariyyah., masalah Taqdir
atau Qadar adalah di antara masalah baru yang paling awal diperbincangkan
oleh golongan sesat pada masa salaf.
Begitu juga dengan munculnya individu bernama Jahm bin Safwan (w:
128 H) yang terlibat dengan faham Jabbariyyah. Faham ini berbeda dengan

3
faham Qadariyyah walaupun kedua-duanya masih berkaitan dengan masalah
qadar. Namun, kedua-golongan ini terpeleset dari tauhid murni Islam.
Golongan Mujassimah juga termasuk di antara golongan yang
menyeleweng dalam masalah aqidah. Mereka memahami nas-nas
mutasyabihat dengan femahaman bahasa yang maknanya dibatasi dengan
penggunaannya kepada makhluk. Lalu, mereka menjisimkan Allah s.w.t.
apakah secara jelas atau secara tidak langsung.
Di Antara golongan Mujassimah adalah golongan Hisyamiyyah yang
dipelopori oleh Hisyam bin Al-Hakam (w: 190 H) dan Al-Mughiriyyah yang
dipelopori oleh Al-Mughirah bin bin Sa’id (w: 119 H) dari kalangan Syiah.
Begitu juga golongan Muqotiliyyah yang dipelopori oleh Muqotil bin
Sulaiman (w: 150 H) dan dan golongan Al-Karramiyyah yang dipelopori
oleh Muhammad bin Al-Karram (atau Al-Kiram, w: 255 H) dari kalangan ahli
hadith. Adapun femahaman golongan Mujassimah ini masih mempunyai
pengaruh yang kuat hingga hari ini walaupun kebanyakan mereka berlindung
di sebalik nama-nama indah yang mengelabui para penuntut ilmu dan
masyarakat awam.
Ketika perkembangan ini muncul ,maka ilmu tauhid atau aqidah lebih
dibahas secara teori di bandingkan dengan sebelum ini,yang dikembangkan
dalam masyarakat secara praktikal dengan tarbiah kerohanian (tauhid amali
syuhudi). Namun, ini tidak menafikan peranan penting para ulama’ sufi yang
masih menjaga manhaj tarbiah ummah dan penyucian jiwa yang menjadi
aspek terpenting dalam mengembangkan tauhid amali yang diwarisi secara
murni daripada para sahabat r.a. dan tabi’in yang sudah mencapai tahap ihsan.
B. Munculnya Golongan Al-Asya’irah dan Al-Maturidiyyah
Ketika TERJADI BENTURAN antara golongan-golongan yang telah
di sebutkan tadi dengan golongan As-Sawad Al-A’zhom (majoritas ulama’
Islam) iaitu golongan Ahlus-Sunnah wal Jamaah, maka muncul dua tokoh
utama yang sangat berperan dalam men gembangkan ilmu tauhid secara teori
ini, dalam rangka untuk menghadapi dan mengcounter gelombang
femahaman-femahaman sesat dari golongan-golongan ahli bid’ah.
Tokoh pertama yang dimaksudkan ialah Imamuna Abu Al-Hasan Al-
Asy’ari (w: 324 H). Beliau besar dalam lingkungan keilmuan golongan
Mu’tazilah sehingga beliau sendiri terpengaruh dengan faham tersebut. di
Antara guru beliau adalah tokoh Mu’tazilah terkemuka yaitu Abu Ali Al-
Jubba’ie. Namun, Allah s.w.t. memberi hidayah kepada beliau sehingga beliau
akhirnya kembali kepada aqidah ahlus-sunnah wal jamaah, yaitu aqidah murni
Islam.
Beliau melihat pentingnya mempertahankan aqidah murni Islam
(aqidah ahlus-sunnah wal jamaah) dengan sebuah manhaj penghujahan yang
lengkap dan jelas, yaitu dengan menggabungkan manhaj naqli (menggunakan
nas) dan aqli (menggunakan kaedah akal).
Sebagaimana telah diisyaratkan oleh Sheikh Ibn Khaldun, Imam Abu
Al-Hasan Al-Asy’ari mengembangkan manhaj beliau dalam bidang aqidah
berdasarkan manhaj Imam Ibn Kullab (w: 240 H) dan dan Imam Al-Muhasibi
(w: 243 H).
2s Ketika itu, perkembangan ilmu
tauhid Nazhori versi sunni atau ilmu Kalam versi sunni sangat diperlukan
khususnya untuk membentuk suatu metodologi femahaman terhadap aqidah
murni Islam dan kaedah penjagaan aqidah daripada faham-faham yang sesat.
Maka, penggunaan ilmu logika sangat diperlukan khususnya dalam menyusun
kerangka femahaman yang sahih terhadap nas dan seterusnya menyusun
kaedah-kaedah asas aqidah murni Islam dan hujah-hujahnya.

4
Jika kita soroti puncak munculnya faham-faham sesat yang dibawa leh
kelompok-kelompok pinggiran (syazd) dalam masyarakat Islam, kita dapati
bahwa itu semua kembali kepada dua alasan utama iaitu:
1. Kelemahan dalam menguasai ilmu berkaitan dengan pemikiran.
2. Kelemahan dalam menguasai ilmu bahasa Arab.
Oleh sebab itu, banyak orang yang sesat dalam masalah aqidah
didapati karena terperangkap apakah karena berlebihan dalam menggunakan
akal ataupun lemah dalam memahami uslub bahasa Arab sehingga salah
faham terhadap nas-nas mutasyabihat. Bagi golongan yang terlalu berpegang
dengan akal,membuat mereka tidak mengetahui batasan-batasannya dalam
menyingkap hakikat ketuhanan sebenar, maka ia akan menolak nas-nas yang
jelas sehingga menyimpulkan pendapat-pendapat yang terpeleset lagi sesat.
Begitu juga dengan golongan yang tidak memahami uslub bahasa Arab
dan mengabaikan sama sekali peranan akal dalam memahami sebagian sifat
kesempurnaan Allah secara umum, lalu akhirnya salah faham terhadap nas-nas
mutasyabihat sehingga terlibat dengan faham Tajsim (menjisimkan Allah),
Tasybih (menyerupakan sifat-sifat Allah dengan sifat-sifat makhluk) dan
sebagainya.
Maka, Imam Abu Al-Hasan Al-Asy’ari adalah seorang tokoh yang
diberi kekuatan oleh Allah s.w.t. dalam menggabungkan penguasaan akal yang
cerdas serta penguasaan femahaman terhadap nas secara jelas, lalu menyusun
kaedah-kaedah umum atau manhaj asas dalam memahami aqidah murni Islam.
Maka, beliau dinilai sebagai tokoh paling berpengaruh dalam menggabungkan
kaedah aqli dan naqli dalam bidang aqidah Islam.
Imam Abu Manshur Al-Maturidi (w: 333 H) juga merupakan seorang
tokoh yang sangat berperanan dalam mengembangkan manhaj sahih dalam
bidang aqidah Islam atau dalam ilmu Tauhid Nazhori ini. Manhaj beliau dalam
bidang aqidah bisa didapat dalam kitab beliau berjudul Kitab At-Tauhid.
Beliau dianggap sebagai pengembang manhaj tauhid nazhori dalam rangka
membela aqidah ahlus-sunnah wal jamaah di Samarqand, sebagaimana Imam
Al-Asy’ari yang mengembangkan manhajnya di Iraq.
Imam Abu Manshur Al-Maturidi berguru dengan beberapa ulama’
antaranya Imam Abu Nasr Ahmad bin Al-Abbas Al-‘Iyadhi, Imam Ahmad bin
Ishaq Al-Juzjaji, Imam Nashir bin Yahya Al-Balkhi dan Imam Muhammad bin
Muqatil Ar-Razi.
Imam Ahmad bin Ishaq Al-Juzjaji dan Imam Nashir bin Yahya berguru
dengan Imam Abu Sulaiman Musa bin Sulaiman Al-Juzjaji. Imam Abu
Sulaiman Musa Al-Juzjaji pula berguru dengan Imam Abu Yusuf (w: 182 H)
dan Imam Muhammad bin Hasan As-Syaibani (w: 189 H) yang mana kedua-
duanya merupakan murid-murid utama Imam Abu Hanifah r.a. (w: 150 H).
Imam Muhammad bin Muqatil Ar-Razi juga berguru dengan Imam
Muhammad As-Syaibani r.a..
Imam Al-Maturidi bukan sekadar mengambil fiqh Imam Abu Hanifah
daripada para guru beliau malah mengambil usul aqidah dan manhaj aqidah
Imam Abu Hanifah daripada mereka karena Imam Abu Hanifah juga di antara
para ulama’ yang paling awal membahas tentang aqidah Islam khususnya
dalam kitab beliau Al-Fiqh Al-Akbar. Imam Al-Maturidi dianggap sebagai
pengembang manhaj aqidah Imam Abu Hanifah dengan cara yang lebih kemas
dan sistematik.
Setelah itu, manhaj kedua-dua imam ini mendapat penerimaan luas
daripada kebanyakan ulama’ Islam pada zaman tersebut dan zaman seterusnya
sehingga zaman sekarang ini. Mereka yang menisbahkan diri kepada manhaj
Imam Al-Asy’ari dalam penghujahan pada masalah aqidah dikenal sebagai

5
golongan Al-Asya’irah sedangkan mereka yang menggunakan manhaj Imam
Al-Maturidi dikenali sebagai golongan Al-Maturidiyyah. Pembahasan aqidah
mereka yang bersifat Nazhori (teoritikal) ini akhirnya dikenali sebagai ilmu
Kalam versi Sunni karana mempunyai unsur penggunaan akal di samping
penggunaan nas (Naqli).
Sheikh Ibn Khaldun berkata tentang perkembangan ini: “(Ilmu Kalam)
ialah ilmu yang mengandung hujah-hujah terhadap aqidah-aqidah yang
dipercayai dengan bukti-bukti secara Aqliyyah (pembuktian secara logikal)
dan menolak golongan bid’ah yang terpeleset daripada aqidah salaf dan ahlus-
sunnah”. [Muqoddimah Ibn Khaldun 225]
Maka, kedua-dua imam serta para pengikut mereka dikenal dalam
sejarah sebagai para pahlawan dalam bidang aqidah yang membela aqidah
murni Islam khususnya secara Nazhori yang sangat penting dalam bidang
keilmuan Islam.
Imam Ahmad ibn Hajar Al-Haithami berkata: “Ahli bid’ah ialah orang
yang berpegang dengan pegangan yang berbeda dengan aqidah Ahlus-Sunnah.
Adapun Ahlus-Sunnah adalah aqidah yang dipegang oleh Abu Al-Hasan Al-
Asy’ari, Abu Manshur Al-Maturidi dan mereka yang mengikut (manhaj)
kedua-duanya. [Al-Fatawa Al-Hadithiyyah m/s205]
C. Perkembangan Ilmu Kalam Sunni (Ilmu Tauhid Nazhori)
Setelah para ulama’ menerima manhaj Imam Abu Al-Hasan Al-Asy’ari
dan Imam Abu Manshur Al-Maturidi dalam bidang aqidah, maka mazhab
keduanya terus dikembangkan merentasi zaman. Kedua-madrasah mempunyai
para ulama’ agung yang mengembangkannya serta menyempurnakan
perbahasan-perbahasan serta penghujahan mereka berdua.
di Antara murid-murid kepada Imam Al-Asy’ari yang kuat
mengembangkan mazhab Imam Al-Asy’ari adalah:
1. Imam Abu Al-Hasan Al-Bahili
2. Imam Abu Al-Hasan Bundar As-Syirazi (teman Imam As-Syibli)
3. Imam Abu Abdillah bin Mujahid Al-Bashri (juga murid Imam Sahl At-
Tustari)
4. Imam Abu Sahl As-Shu’luqi (juga murid Imam Ibn Abi Hatim)
5. Imam Abu Abdillah At-Tha’ie
Kemudian, murid-murid kepada para imam tersebut mengembangkan
mazhab Imam Al-Asy’ari dalam masalah aqidah.di Antara mereka adalah:
1. Imam Saif As-Sunnah Al-Qadhi Abu Bakr bin At-Thayyib bin Al-Baqillani
Al-Maliki (murid Imam At-Tha’ie. Antara kitab beliau yang terpenting
adalah Al-Inshof Fima Yajibu I’tiqaduhu wa La Yajuzu Al-Jahl Bihi
danTamhid Al-Awa’il.)
2. Imam Abu Bakr Ibn Furak Al-Asfahani (w: 406 H). Beliau berguru dengan
Imam Abu Al-Hasan Al-Bahili bersama-sama Imam Al-Baihaqi dan Imam
Al-Qusyairi. Antara kitab beliau dalam mengembangkan mazhab Imam
Abu Al-Hasan Al-Asy’ari adalah kitab Mujarrad Maqalat Al-Asy’ari.
3. Imam Al-Ustaz Abu Ishaq Al-Isfirayini (m: 418). Beliau adalah murid
Imam Al-Bahili.
Kemudian, dikembangkan oleh para ulama’ Al-Asya’irah pada
peringkat ketiga yang merupakan di antara murid-murid kepada para imam
tersebut. mereka adalah:
1. Imam Abu Al-Qasim Al-Isfirayini (w: 452 H). Beliau berguru dengan
Imam Abu Ishaq Al-Isfirayini dan bersahabat dengan Imam Al-Baihaqi. di
Antara murid beliau adalah: Imam Al-Haramain, guru kepada Hujjatul
Islam Imam Al-Ghazali r.a. dan Imam Dhiya’uddin Al-Razi, ayahnda
kepada Imam Fakhruddin Al-Razi.

6
2. Imam Al-Ustaz Abu Bakr Al-Baihaqi (w: 384 H). Beliau berguru denga
Imam Abu Ishaq Ibrahim bin Muhammad bin Ibrahim Al-Isfirayini dan
Imam Abu Bakr bin Furak. di Antara buku-buku tulisan beliau adalah: Al-
Asma’ wa As-Sifat sebesar dua jilid (buku rujukan dalam bidang aqidah)
dan Al-I’tiqad.
Seterusnya, dikembangkan oleh para ulama’ di antara mereka yang
terkemuka adalah seperti:
1. Imam Abu Ishaq Ibrahim bin Ali bin Yusuf As-Syirazi (393-476 H). Beliau
adalah murid Imam Al-Khatib Al-Baghdadi, Imam Al-Qadhi Abu At-
Thayyib At-Tabari, Imam Abu Abdillah Muhammad bin Abdillah bin
Ahmad Al-Baidhawi, Imam Al-Faqih Az-Zujaji dan sebagainya. Antara
tulisan beliau dalam bidang aqidah adalah: Al-Isyarah ila Mazhab Ahl Al-
Haq.
2. Imamul Haramain Abu Al-Ma’ali Al-Juwaini (419-478 H). Beliau berguru
kepada ayahndanya Imam Abdullah Al-Juwaini dan Imam Abu Al-Qashim
Al-Iskafi Al-Isfarayini. Antara kitab-kitab beliau khususnya dalam bidang
aqidah adalah: Al-Irsyad ila Qawathi; Al-Adillah fi Usul Al-‘I’tiqad, Ar-
Risalah An-Nizhamiyyah (Al-Aqidah An-Nizhamiyyah), As-Syamil fi
Usul Ad-Din, Lam’atul Adillah fi Qawa’id ‘Aqa’id Ahl As-Sunnah wa Al-
Jama’ah
Begitulah seterusnya, mazhab Al-Asy’ari dalam aqidah terus
dikembangkan oleh banya ulama’ besar di antara mereka adalah seperti:
1. Hujjatul Islam Imam Al-Ghazali r.a. (w: 505 H) khususnya menerusi buku
beliau Al-Iqtishad fi Al-I’tiqad
2. Imam Abu Al-Fath Muhammad As-Syahrastani (w: 548 H) khususnya
menerusi kitab Nihayah Al-Iqdam fi Ilm Al-Kalam dan Al-Milal wa An-
Nihal.
3. Imam Fakhruddin Ibn Asakir (499-571 H) khususnya menulis kitab
Tabyyiin Kazb Al-Muftari merupakan buku yang menghimpun sebagian
nama-nama para ulama’ Al-Asya’irah yang besar.
4. Khatib Ar-Riy Imam Dhiyauddin Abu Al-Qasim Umar Al-Razi khususnya
meneruskan kitab Ghayah Al-Maram fi Ilm Al-Kalam.
5. Imam Fakhruddin Al-Razi r.a. (w: 606 H) anak kepada Imam Dhiya’uddin
Ar-Razi, khususnya dalam buku beliau Asas At-Taqdis dan Al-Masa’il Al-
Khamshun fi Usul Al-Kalam.
6. Imam Al-Amidi (e: 631 H) khususnya buku beliau Ibkar Al-Afkar dan
Ghayah Al-Maram fi Ilm Al-Kalam
7. Imam Al-Iji (680-756 H) khususnya kitab-kitab beliau: Al-Mawaqif fi Ilm
Al-Kalam, Jawahir Al-Kalamdan Al-‘Aqa’id Al-Adhiyyah
8. Imam Muhammad bin Yusuf As-Sanusi (w: 895 H) khususnya buku beliau
Umm Al-Barahin, Al-Manhaj As-Sadid dan Aqidah Ahl At-Tauhid Al-
Kubra
Setelah itu, perkembangan kitab-kitab Al-Asya’irah lebih bersifat
syarahan, ulasan dan catatan terhadap kitab-kitab terdahulu.
Perkembangan ilmu aqidah secara Nazhori atau ilmu kalam ini sangat
memainkan peranan penting dalam menyusun kerangka asas dalam
berinteraksi dengan masalah aqidah khususnya melibatkan bab ketuhanan,
berdasarkan femahaman nas yang jelas dan penggunaan kaedah akal yang
seimbang.
Maka, Tauhid yang diajarkan oleh Rasulullah shollallahu ‘alaihi
wasallam adalah suatu Tauhid Amali Syuhudi atau suatu Tauhid praktikal dan
penghayatan, yang mana aqidah adalah suatu yang disemat dalam jiwa dalam
bentuk penghayatan. Tauhid Amali ini adalah suatu tauhid yang murni yang

7
lahir daripada suatu proses penyucian jiwa (Tazkiyyah An-Nufus) dan tarbiah
kerohanian. Oleh sebab itulah, Rasulullah shollallahu ‘alaihi wasallam
merupakan seorang murobbi agung kepada para sahabat r.a. yang menerapkan
tauhid Amali ini dalam jiwa mereka melalui tarbiah kerohanian.
Namun, setelah munculnya golongan yang sesat dalam masalah aqidah
khususnya ketika salah faham terhadap nas-nas Islam, maka para ulama’
terpaksa menghimpun ilmu aqidah dalam bentuk teori untuk memelihara
aqidah umat Islam daripada salah faham dalam masalah aqidah dan menyusun
manhaj sahih dalam berinteraksi dengan nas-nas (termasuklah nas-nas
mutasyabihat) yang melibatkan masalah aqidah.
Walau bagaimanapun, kesibukan dan fokus terhadap ilmu Tauhid
Nazhori (berbentuk teori) ini tidak menyebabkan ilmu Tauhid Amali Syuhudi
ini terhenti perkembangannya dalam masyarakat Islam. malah dikembangkan
oleh para ulama’ sufi dalam bentuk Tarbiah Ruhiyyah Amaliyyah (tarbiah
kerohanian praktikal) dan dikembangkan juga melalui penulisan-penulisan
mereka dalam ilmu Tasawwuf.
Bahkan, ketika ilmu Tauhid Nazhori sedang dikembangkan dalam
bentuk ilmu Kalam oleh golongan Al-Asya’irah dan Al-Maturidiyyah,
sebagian para ulama’ sufi turut terlibat membahas ilmu Tauhid Nazhori ini
juga bahkan kebanyakan mereka menjadikan asas-asas manhaj aqidah Al-
Asya’irah atau Al-Maturidiyyah sebagai pendahuluan bagi perjalanan menuju
Allah s.w.t. (perjalanan kerohanian) karana tanpa asas aqidah yang jelas dan
sahih, maka perjalanan kerohanian menuju Allah s.w.t. tidak membawa kepada
natijah yang sahih kerana aqidah adalah asas bagi ibadah dan pengabdian.
Bahkan, sebahagian para ulama’ Mutakallimin yang terlibat dalam
membahas ilmu Tauhid Nazhori (ilmu Kalam) ikut menggalakkan pelajaran
ilmu Tasawwuf dan tarbiah kerohanian sebagai penyempurnaan dan
perealisasian terhadap ilmu Aqidah yang telah dipelajari.
Maka, kita dapat simpulkan dua bentuk hubungan antara ilmu Aqidah
(Nazhori) dengan ilmu Tasawwuf iaitu:
Ulama’ Sufi berpegang dengan ilmu Kalam sebagai pendahuluan
pembahasan ilmu Tasawwuf.
Ilmu Aqidah Nazhori dijadikan sebagai subjek pendahuluan terhadap
ilmu Tasawwuf oleh kebanyakan ulama’ sufi karena kepentingan aqidah yang
sahih dalam perjalanan menuju Allah s.w.t.. Maka, manhaj Al-Asya’irah dan
Al-Maturidiyyah yang menjadi manhaj utama membela aqidah Ahlus-Sunnah
wal Jamaah turut diterapkan dalam perbincangan ilmu Tasawwuf khususnya di
awal pembahasan mereka.
Ulama’ Mutakallimin (ahli ilmu Kalam) berpegang dengan ilmu
Tasawwuf sebagai Manhaj Penyempurnaan.
Para ulama’ Mutakallimin menyeru untuk mempelajari ilmu Tasawwuf
setelah membahas ilmu Kalam secara teori karana ilmu Tasawwuf adalah
penyempurnaan dan manhaj yang menterjemahkan ilmu Aqidah yang
dipelajari secara teori dalam bentuk penghayatan.
D. Syi’ah
Syiah berasal dari kata Arab Syi’ah yang secara etimologis berarti
pengikut, kelompok, golongan dan pendukung. Sedangkan secara
terminologis, Syiah berarti orang atau kelompok yang mengangkat
kepemimpinan Ali dan Keluarganya. Mereka itu antara lain adalah : Jabir ibnu
Abdillah, Huzaifah ibnul Yaman, Abu Dzar al Ghiffari dan lainnya.
Dukungan kepada Ali yang berlebihan untuk menjadi khalifah tidak
hanya terjadi saat setelah meninggalnya Nabi Muhammad yaitu pada saat
perebutan kekuasaan antara golongan Muhajirin dan Anshar di Balai

8
Pertemuan Saqifah Bani Sa’idah dimana suara Bani Hasyim dan sekelompok
kecil Muhajirin menuntut kekhalifahan bagi Ali, tetapi lebih memuncak pada
saat kepemimp`inan Utsman yang tidak adil dan hanya mementingkan kaum
Umayyah sehingga mengakibatkan terbunuhnya Ustman bin Affan dan
pengangkatan Ali sebagai khalifah ke empat.
Saat setelah pengangkatan sebagai khalifah, Ali mendapat tantangan
dari pemuka-pemuka masyarakat yang ingin menjadi khalifah,terutama adalah
Thalhah dan Zubair dari Mekkah yang mendapat dukungan dari isteri Nabi
Muhammad yaitu Aisyah. Dalam peperangan yang dikenal dengan nama
Harbul Jamal, Thalhah dan Zubair terbunuh sedangkan Aisyah dikirim
kembali ke Mekkah.
Tantangan kedua datang dari Muawiyah bin Abi Sufyan, gubernur
Damaskus sekaligus anggota terdekat dari Utsman bin Affan. Kontraversi ini
mengharuskan perang dengan Muawiyyah tak terhindarkan, Ali hampir
menang secara militer, namun dengan cepat Muawiyyah mohon penyelesaian
secara diplomatik dan akhirnya mereka memenangkan diplomasi.
Setelah kekalahan diplomatik dengan Muawiyyah, soliditas kubu Ali
terpecah menjadi dua yaitu golongan yang tetap setia kepada Ali dan golongan
pemberontak yang kelak lebih dikenal dengan golongan Khawarij.Golongan
yang kedua ini ingin mengembalikan masalah kekhaifahan kepada rakyat
banyak melalui pemilihan, tapi terhalang oleh Ali dan Muawiyyah, sehingga ia
merencanakan untuk membunuh keduanya namun hanya Ali yang terbunuh
sedangkan Muawiyyah malah berhasil mengkonsolidasikan diri dengan
ummat Islam, hal ini berkat kecakapan politik dan ketegaran
kepemimpinannya.
Karena trauma dengan pertumpahan darah, kaum Muslimin secara
pragmatis mendukung kekuasaan Muawiyyah sehingga saat itu yaitu tahun ke
4 hijriah secara khusus disebut tahun persatuan. Dalam bidang keagamaan,
sikap traumatis menimbulkan netralitas warga Madinah yang dipelopori
Abdullah bin Umar dalam mendalami agama berdasarkan Al Qur’an dengan
memperhatikan serta mempertahankan tradisi warga Madinah, yang
dipandang sebagai kelanjutan tradisi yang tumbuh pada zaman Nabi dan
merupakan cerminan Sunnah Nabi itu sendiri.
Kaum netralis ini selalu dipercaya oleh penguasa umayyah, meski
sering melakukan oposisi moral dengan rezim Damaskus namun unifikasi
dilakukan antara Golongan netralis (sunnah) dengan golongan jamaah
(pendukung Muawiyyah) yang kemudian melahirkan golongan Sunnah dan
Jamaah ( Ahl al Sunnah wa al Jamaah ). Sementara golongan yang setia
kepada Ali tetap berjuang untuk merebut kekhalifahan,terlebih pada saat
Husein putera Ali yang lahir dari puteri Nabi Muhammad Fatimah hendak
mencoba menuntut kekhalifahan atas kematian ayahnya dan bahkan
mengadakan perlawanan terhadap Yazid anak Muawiyyah, orang yang
menjadi lawan Ali dan mendirikan kekhalifahan umayyah yang ber ibukota di
Damaskus. Suatu hari, Husein diundang untuk datang ke Irak oleh warga kota
Kuffah ( 680 M ) yang berjanji untuk mendukungnya, tapi dalam perjalanan
dari Madainah menuju Irak sebelum sampai ke kuffah, Husein dan
keluarganya dihadang oleh tentara Yazid di Karbala dan mengakibatkan
pembunuhan besar-besaran terhadap Husein dan keluarga kecuali Zain al
Abidin yang sedang sakit. Tubuh Husein kemudian dikuburkan di Karbala dan
kepalanya di bawa ke Damaskus ke tempat Yazid. Dibalik tragedi tersebut
justru menjadi cambuk bagi pertumbuhan kaum Syiah.
Propaganda dalam rangka pertumbuhan dan perkembangan kaum
Syiah dipacu oleh kepercayaan mereka terhadap wasiat Nabi yang menunjuk

9
Ali sebagai Imam pertama di sebuah tempat yang terdapat genangan air yang
dinamakan Ghadir Khumm, yaitu ketika Nabi kembali ke Madinah pulang
dari perjalanan haji. Wasiat tersebut dapat dipandang penting, karena dapat
memunculkan dan bahkan menjadi pangkal utama perselisihan antara kaum
Syiah dan Sunni.
Bagi kaum Syiah,wasiat tersebut adalah absah, sehingga menolak
kekhalifahan Ustman, Umar dan bahkan Abu Bakar. Mereka disebut kaum
Rafidlah (mereka yang menolak).Sementara bagi kaum Ahl al Sunnah Wa al
Jamaah, wasiat ghadir Khum adalah palsu yang dibuat-buat oleh kaum
Rafidlah. Kekhalifahan yang sah bagi kaum syiah adalah Ali, kaum Khawarij
hanya Abu Bakar dan Umar sedangkan kaum umayyah adalah Abu Bakar,
Umar dan Ustman.
Penetrasi atas pengakuan yang demikian itu adalah tampilnya khalifah
umar bin Abdul Aziz dari kalangan Umayyah yang diketahui sebagai penguasa
pertama yang memerintahkan pembukuan Hadist dan cukup bijaksana
mengurangi sumber-sumber fitnah di kalangan ummat. Umar bin Abdul Aziz
melakukan gerakan untuk merehabilitasi nama Ali dan mengakuinya sebagai
khalifah yang sah serta mendudukkan Ali sederetan dengan pendahulunya,
sehingga khalifah klasik yang berpetunjuk dan bijaksana ( al Khulafa al
rasyidun ) itu adalah Abu Bakar, Umar, Ustman dan Ali.
Terlepas dari otentik atau tidaknya wasiat Ghadir Khum itu, secara
empiris golongan Syiah saat ini menduduki golongan terbesar kedua dalam
dunia Islam yang menyebar di Negara Lebanon, Iran, Irak, Azerbaijan sebagai
penduduk mayoritas dan sementara di India, Pakistan, Afganistan, Suriah,
Arab Saudi, Negara-negara teluk Persia dan Afrika Timur menjadi minoritas.
Revolusi Abbasyiah yang menghabisi kaum Umayyah berhasil
gemilang karena dukungan kaum syiah, meski akhirnya kaum Abbasyiah lebih
memperhatikan kepada kaum Sunni, namun kehadiran kaum Syiah sangat
terasa dan berperan dalam dinasti Abbasyiah, begitun juga kemenangan
revolusi mereka di Iran yang merupakan titik balik perkembangan Islam di
dunia dan menghapus keseluruhan sejarah mereka tentang kegagalan demi
kegagalan.
Dalam wawasan Teologi / Kalam, karena kedekatannya dengan kaum
Khawarij yang menjelma dalam system Kalam kaum Mu’tazilah, kaum Syiah
adalah lebih dibanding dengan kaum Sunni dalam hal mewarisi dan
mengembangkan tradisi intelektual, bahkan pada abad ke tujuh belas masih
mampu melahirkan seorang pemikir besar, Mulia Sadra, yang bisa
dibandingkan dengan para pemikir sezamannya di Barat. Selain dari pada itu
kaum Syiah pernah berkuasa secara gemilang pada dua Dinasti yaitu Dinasti
Fatimiyah di Mesir yang mendirikankota Kairo, Masjid dan Universitas Al
Azhar.
Kedua pada saat Dinasti Shafawiyah di Iran yang merubah masyarakat
dari pengikut Sunni menjadi Syi’i. Lebih penting dari semua yang tersebut
diatas, mendiskusikan Syiah akan lebih menukik manakala dijelaskan aliran-
aliran dan pemikiran dalam Syiah Pemikiran Syiah : Kaum Syiah mempunyai
5 (lima ) prinsip utama dalam pemikirannya yaitu : Al Tauhid (ke Esaan
Tuhan), Al ‘adl (keadilan), Nubuwwah (Kenabian), Imamah (Kepemimpinan)
dan Ma’ad (Kiamat).
a. Al Tauhid :
Kaum Syiah, khususnya aliran Istna Asyariyyah yang dipelopori
Hisyam bin al Hakam memandang bahwa eksistensi Allah dapat dijelaskan
melalui keberadaan manusia beserta sifat yang ada dalam diri manusia itu,
pandangan ini dikenal dengan paham al Tajsim dan Tasybih ( meng

10
antromorfis kan Allah ), namun pada generasi berikutnya paham tersebut
ditinggalkan dan menganut paham al Tanzih wa al Tajrid yaitu me Maha suci-
kan dan me Maha abstrakkan Allah, paham dari generasi ini dipelopori al
Syeikh al Mufid. Paham yang pertama yaitu al Tajsim wa Tasybih digunakan
kaum Syiah untuk menentang kaum Mu’tazilah yang menentang dan menolak
teori imamah versi Syiah, namun akhirnya atas prakarsa Bani Buwaihi, kedua
kaum ini dipersatukan dengan menganut paham kedua yaitu al Tanzih dan al
Tajrid.
Adapun teolog Syiah dari aliran ini selain al Syeikh al Mufid adalah
Nashir al Din al Tusi, al Syeikh al Amali yang mana keduanya dikenal sebagai
pengulang pemikiran Mu’tazilah yakni dengan pendapatnya bahwa sifat
(Allah) adalah ‘ain al Zat (Zat Allah itu sendiri) dan bahwa Al-Quran adalah
makhluk. Sebaliknya mereka menolak teori al Kalam al Nafsi (sifat berbicara
yang merupakan bagian dari Zat).
Berbeda dengan aliran Istna Asyariyyah, aliran Ismailiyyah, filsafat
ketuhanannya berlandaskan pada prinsip bahwa akal manusia tidak mampu
mempersepsi zat ilahi, zat ini mempunyai sifat-sifat dan sifat-sifat itu hanya
dituangkan pada akal pertama yang diciptakan Allah. Artinya kita hanya
mengetahui al aql al-mubtada’ (akal yang dicipta) tetapi tidak bisa mengetahui
al Bari al Mubdi (pencipta yaitu Allah). Dalam teori emanasi (al Faid wa al
Sudur), kaum ini menjelaskan bahwa bermula dari akal beremanasi al Nafs al
kulliyyah (jiwa universal), dari jiwa itu beremanasilah materi ini. Dari
persatuan akal, jiwa materi, waktu dan ruang beremanasilah gerakan segala
falak dan alam. Begitu pun dengan wahyu, bahwa ia tidak terputus karena
wahyu merupakan pancaran dari al Natiq kepada al Was-yu dan para imam.
Mengenai masalah yang berhubungan dengan ketuhanan, kaum
Zaidiyah pada awalnya lebih dekat kepada kaum salaf, walaupun imam
mereka berguru pada washil bin Atha’. Mereka berpandangan bahwa Allah
SWT adalah sesuatu yang tidak seperti sesuatu yang lain, tidak serupa dengan
segala sesuatu yang ada. Ia Maha mengetahui, Maha kuasa, karena sifat Maha
mengetahui dan Maha Kuasa bukanlah ia juga bukan selain ia.
b. Al Adl
Al Adl maksudnya adalah bahwa Allah tidak berbuat dzalim kepada
seseorang dan tidak melakukan sesuatu yang buruk menurut akal sehat. Akal
yang mengatakan bahwa buruk bagi Allah itu mustahil maka kaum Syiah
menetapkan sifat Al adl hanya pantas dipunyai atau bagi Allah sedangkan
Syara’ hanya memperkuat dan memberi tanda-tandanya saja, bahkan akal
tanpa bantuan syara’ tidak dapat menentukan baik buruk.
c. Nubuwwah
Kaum Syiah meyakini bahwa semua Nabi yang disebutkan dalam Al
Qur’an adalah utusan Allah dan hamba-hambaNya yang mulia. Mereka
ditugaskan untuk mengajak manusia kepada yang Al Haq atau Allah. Nabi
Muhammad SAW adalah Nabi terakhir dan pemimpin para rasul. Hal
terpenting dalam keyakinan mereka tentang kenabian adalah permasalahan
‘Ishamah (ma’shum). Mereka meyakini tentang kesempurnaan sifat-sifat Nabi.
Kitab-kitab Allah yang diturunkan kepada Nabi adalah mukjizat, begitupun
juga dengan hal-hal yang berkaitan dengan kenabian dan al Qur’an adalah
mukjizat Nabi Muhammad dan kitab suci umat Islam.
d. Imamah
Mengenai masalah ini, kaum Syiah berpandangan bahwa imamah
bukanlah masalah kemaslahatan umum, melainkan merupakan suatu rukun
agama dan pokok agama Islam yang tidak boleh dilalaikan oleh Nabi atau
diserahkan oleh rakyat, artinya rakyat tidak mempunyai hak untuk

11
memberikan pertimbangan dan menunjuk seorang imam melainkan hanya
Nabi yang berkewajiban menunjuk imam yang akan memimpin rakyat
sepeninggal beliau. Dan setiap imam wajib pula menunjuk imam yang akan
menggantikannya. Kaum Syiah berpandangan bahwa dalam agama Islam tidak
ada sesuatu yang lebih penting dari pada masalah penunjukan imam, apabila
imam tersebut telah menunjuk penggantinya maka ia akan dapat meninggal
dunia dengan perasaan lega dan tidak merasa kuatir atas kepentingan rakyat.
Oleh karena Nabi mempunyai kewajiban untuk menunjuk imam yang
akan mengurus kepentingan kaum muslimin sesudah beliau wafat, maka
beliau telah melaksanakan kewajiban itu yaitu telah menunjuk Ali, dan
penunjukannya dilakukan dengan nash yang jelas bukan secara sindiran.
Peristiwa ini terjadi di suatu tempat yang disebut ghadir kham. Sabda Nabi
yang dimaksud berbunyi : “ Ali adalah teman bagi orang yang saya menjadi
temannya. Ya Allah tolonglah siapa yang menolongnya, dan musuhilah siapa
yang memusuhi, menangkanlah siapa yang memenangkannya, dan
kalahkanlah siapa yang mngalahkannya. Jadikanlah kebenaran itu besertanya
selama-lamanya semoga aku telah menyampaikan apa yang wajib
kusampaikan” Dan penunjukan itu terjadi setelah turunnya firman Allah Yang
Artinya:
"Hai Rasul sampaikanlah apa yang telah diturunkan kepada mu dari
Tuhanmu, dan jika engkau belum melakukannya berarti engkau tidak
menyampaikan pesanNya, dan Allah akan melindungimu dari kejahatan
manusia”(Q.S.Al Maidah 67).
Yang disuruh menyampaikannya dalam ayat itu, menurut tafsiran
kaum Syiah adalah penunjukan Ali sebagai imam. Oleh sebab itu setelah
penunjukan itu selesai turunlah firman Allah :
"Pada hari ini telah Ku sempurnakan agamamu dan telah Ku
lengkapkan nikmat Ku untukmu, dan aku telah rela agama Islam menjadi
agamamu” (Q.S Al Maidah 3)
Bahwa imamah itu adalah khusus untuk Ali dan anak cucunya dari
isterinya yaitu Fatimah. Mereka adalah ahlulbait, dan pohon rindang yang
beroleh berkah, yang karenanya Allah senang kepada seluruh manusia. Orang
selain mereka tidak berhak untuk menduduki jabatan imamah itu sampai Allah
mewarisi bumi ini dan semua orang yang berada diatasnya. Dan selain itu,
mereka itu adalah ma’shum yakni terhindar dari perbuatan dosa dan tidak
pernah salah ataupun lupa.
e. Ma’ad
Dalam pandangan kaum Syiah, Ma’ad yang dimaksud setara dengan
doktrin Raj’ah yaitu keyakinan akan dihidupkannya kembali sejumlah hamba
Allah yang paling saleh dan sejumlah hamba Allah yang paling durhakauntuk
membuktikan kebesaran dan kekuasaan Allah SWT di muka bumi bersamaan
dengan munculnya Imam Mahdi.Keyakinan itu didasarkan pada al Qur’an
surat al Mukmin ayat 11: Yang Artinya:“ Mereka menjawab, Ya Tuhan kami,
Engkau telah mematikan kami dua kali dan telah menghidupkan kami dua kali
pula, lalu kami mengakui dosa-dosa kami. Maka adalah suatu jalan bagi kami
untuk keluar “
Yang mana menurut mereka dalam ayat tersebut tercantum makna ar
raj’ah yang berarti pulang atau kembali, artinya bahwa dalam hiudup ini
terdapat kehidupan setelah mati sebelum menuju kepada kehidupan akhirat.

BAB III
PENUTUP

12
A. Kesimpulan.
Mu’tazilah merupakan salah satu aliran teologi islam yang dapat
dikelompokkan sebagai kaum Rasionalis Islam, disamping maturidiyah
samarkand. Dalam sejarah, mu’tazilah timbul berkaitan dengan peristiwa washil
bin atha’(80-131) dan temannya amr bin ubaiddan hasan al basr, sekitar tahun 700
m. Untuk mengetahui corak rasional kaum mu’tazilah ini dapat dilihat dari ajaran-
ajaran pokok yang berasal darinya, yakni al ushul al khamsah.
Aliran sunni, setelah wafatnya baginda Rasullulloh SAW, dimana daulah
Islamiyah meluas dibawah pimpinan para khalifah, maka banyak ummat manusia
dari seluruh dunia memasuki Agama Islam.
Munculnya golongan Al-asya’irah dan Al-Maturidiyah, ketika terjadi
benturan antara golongan-golongan diatas dengan golongan As-sawad Al-
a’zhom(mayoritas ulama’ Islam) yaitu: golongan Ahlussunnah waljamaah, maka
muncul dua tokoh utama yang sangat berperan dan mengembangkan ilmu tauhid
secara teori, tokoh yang pertama dimaksud:
a. Imamuna Abu Al-hasan Al-asy’ari (w: 324 H).
Beliau dibesarkan dalam lingkungan keilmuan golongan
mu’tazilah, sehingga beliau sendiri terpengaruhdalam faham
tersebut.
b. Abu Ali Al-jubba’i namun Allah SWT memberi hidayah kepada
beliau sehingga kembali kepada aqidah ahlussunnah waljama’ah,
yaitu aqidah murni islam.

Perkembangan ilmu kalam sunni (Ilmu tauhid nadhori ), setelah para


ulama’ menerima manhaj imam abu al-hasan al-asy’ari dan imam abu
mansyur al-maturidi dalam bidang aqidah, maka madhhab keduanya terus
dikembangkan merentasi zaman.
Syi’ah, berasal dari kata arab syi’ah yang secara etimologis berarti
pengikut, kelompok, golongan, pendukung. Sedangkan secara etimologis
Syi’ah berarti orang atau kelompok yang mengangkat kepemimpinan Ali
dan keluarganya. Kaum Syi’ah mempunyai 5 (lima) prinsip utama dalam
pemikiran yaitu:
1. Al-Tauhid (KeEsaan Tuhan)
2. Al- ‘Adl (Keadilan)
3. Nubuwwah (Kenabian)
4. Imamah (Kepemimpinan)
5. Ma’ad (Kiamat).

B. Saran
Betapa pentingnya kita mempelajari Ilmu kalam, untuk semakin
memantapkan Aqidah yang kita anut dan kita jalani. Kami menyadari sepenuhnya,
bahwa dalam penyusunan makalah ini masih banyak kekurangan dan jauh dari
kata sempurna, oleh karena itu kritik dan saran yang bersifat konstruktif sangat
kami harapkan demi kesempurnaan makalah ini serta pembelajaran yang sangat
berharga dalam kami menyusun makalah yang lebih baik, dan tak lupa semoga
makalh ini bisa bermanfaat untuk kita semua, amin.

Daftar Pustaka

13
Abdullah, Taufik (et al), Ensiklopedi Tematis Dunia Islam,jilid 3. Jakarta:
Ikhtiar Baru Van Hoepe, 2002.
Ghuraby, Ali Mustafa, Tarikh al-Firaq al-Islam. Mesir: Maktabah wa
Mathba’ah Muhammad Ali Shabih, 1958.
Husaini HMH.Al Hamid, Baitun Nubuwwah. Jakarta :Pustaka Hidayah,1994.
Khaldun, Ibnu, Muqaddimah dalam A. Syalabi, Sejarah dan Kebudayaan
Islam. Jakarta: Al Husna 1995.
Madkour, Ibrahim, Aliran Dan Teori Filsafat Islam,terj.Yudian Wahyudi
Asmin Fi al Falsafah al Islamiyyah. Jakarta: Bumi Aksara, 2004.
Musawi, Ayatullah Sayyid Muhammad, Madzab Syiah. Bandung: Mutahhari
Pers, 2005.
Nasution, Harun, Teologi Islam, Aliran-Aliran Analisa Perbandingan. Jakarta:
UI Perss, tth.
Syiraji, Nasyir Makarim, Inilah Aqidah Syiah. Jakarta: Al Huda, 1423 H.

14

Você também pode gostar