Você está na página 1de 11

askep anak dengan PNEUMONIA

LAPORAN PENDAHULUAN ANAK DENGAN PNEUMONIA


A. Pengertian
Menurut Engram (1998) pneumonia adalah proses inflamasi pada parenkim paru. Hal ini terjadi sebagai
akibat adanya invasi agen infeksius atau adanya kondisi yang mengganggu tahanan saluran
trakeobrokialis sehingga flora endogen yang normal berubah menjadi patogen ketika memasuki saluran
jalan nafas.
Pneumonia adalah penyakit infeksi akut paru yang disebabkan terutama oleh bakteri; merupakan penyakit
Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) yang paling sering menyebabkan kematian pada bayi dan anak
balita (Said 2007).
Sedangkan menurut Betz dan Sowden (2002) pneumonia adalah inflamasi atau infeksi pada parenkim
paru yang disebabkan oleh satu atau lebih agens berikut virus, bakteri, mikoplasma dan aspirasi substansi
asing.
Pneumonia atau radang paru-paru ialah inflamasi paru-paru yang disebabkan oleh bakteria, virus atau
fungal (kulat). Ia juga dikenali sebagai pneumonitis, bronchopneumonia dan 'community-acquired
pneumonia (Mansjoer, 2000 : 254).

B. Insidens
Said (2007) menyatakan bahwa diperkirakan 75% pneumonia pada anak balita di negara berkembang
termasuk di Indonesia disebabkan oleh pneumokokus dan Hib. Di seluruh dunia setiap tahun diperkirakan
terjadi lebih 2 juta kematian balita karena pneumonia. Di Indonesia menurut Survei Kesehatan Rumah
Tangga tahun 2001 kematian balita akibat pneumonia 5 per 1000 balita per tahun. Ini berarti bahwa
pneumonia menyebabkan kematian lebih dari 100.000 balita setiap tahun, atau hampir 300 balita setiap
hari, atau 1 balita setiap 5 menit.
Menunjuk angka-angka di atas bisa dimengerti para ahli menyebut pneumonia sebagai The Forgotten
Pandemic atau "wabah raya yang terlupakan" karena begitu banyak korban yang meninggal karena
pneumonia tetapi sangat sedikit perhatian yang diberikan kepada masalah pneumonia. Tidak heran bila
melihat kontribusinya yang besar terhadap kematian balita pneumonia dikenal juga sebagai "pembunuh
balita nomor satu".
Senada dengan Said, Betz dan Sowden (2002) menyatakan bahwa insidens dari pneumonia antara lain :
1. Pneumonia virus lebih sering dijumpai daripada pneumonia bakterial
2. Pneumonia streptokokus paling sering terdapat pada 2 tahun pertama kehidupan. Pada 30 % anak
dengan pneumonia yang berusia kurang dari 3 bulan dan pada 70 % anak dengan pneumonia yang
berusia kurang dari 1 tahun.
3. Pneumonia pneumokokus mencakup 90 % dari semua pneumonia.
4. Mikoplasma jarang menimbulkan pneumonia pada anak yang berusia 5 tahun, mereka berhubungan
dengan 20 % kasus pneumonia yang di diagnosis pada pasien antara umur 16 dan 19 tahun.
5. Pneumonia akan terjadi lebih berat dan lebih sering pada bayi dan anak-anak kecil
6. Virus sinsisium respiratori merupakan penyebab terbesar dari kasus pneumonia virus.
7. Infeksi virus saluran nafas atas adalah penyebab kematian kedua pada bayi dan anak kecil.
8. Pneumonia mikoplasma mencakup 10 sampai 20 % pneumonia yang dirawat di rumah sakit.

C. Klasifikasi
Pneumonia dikelompokkan berdasarkan sejumlah sistem yang berlainan. Salah satu diantaranya adalah
berdasarkan cara diperolehnya, dibagi menjadi 2 kelompok, yaitu "community-acquired" (diperoleh diluar
institusi kesehatan) dan "hospital-acquired" (diperoleh di rumah sakit atau sarana kesehatan lainnya).
Pneumonia yang didapat diluar institusi kesehatan paling sering disebabkan oleh Streptococcus
pneumoniae. Pneumonia yang didapat di rumah sakit cenderung bersifat lebih serius karena pada saat
menjalani perawatan di rumah sakit, sistem pertahanan tubuh penderita untuk melawan infeksi seringkali
terganggu. Selain itu, kemungkinannya terjadinya infeksi oleh bakteri yang resisten terhadap antibiotik
adalah lebih besar (www.sehatgroup.web.id).
Secara klinis, pneumonia dapat terjadi baik sebagai penyakit primer maupun sebagai komplikasi dari
beberapa penyakit lain. Secara morfologis pneumonia dikenal sebagai berikut:
1. Pneumonia lobaris, melibatkan seluruh atau satu bagian besar dari satu atau lebih lobus paru. Bila
kedua paru terkena, maka dikenal sebagai pneumonia bilateral atau “ganda”.
2. Bronkopneumonia, terjadi pada ujung akhir bronkiolus, yang tersumbat oleh eksudat mukopurulen
untuk membentuk bercak konsolidasi dalam lobus yang berada didekatnya, disebut juga pneumonia
loburalis.
3. Pneumonia interstisial, proses inflamasi yang terjadi di dalalm dinding alveolar (interstisium) dan
jaringan peribronkial serta interlobular.
Pneumonia lebih sering diklasifikasikan berdasarkan agen penyebabnya, virus, atipikal (mukoplasma),
bakteri, atau aspirasi substansi asing. Pneumonia jarang terjadi yang mingkin terjadi karena histomikosis,
kokidiomikosis, dan jamur lain.
1. Pneumonia virus, lebih sering terjadi dibandingkan pneumonia bakterial. Terlihat pada anak dari semua
kelompok umur, sering dikaitkan dengan ISPA virus, dan jumlah RSV untuk persentase terbesar. Dapat
akut atau berat. Gejalanya bervariasi, dari ringan seperti demam ringan, batuk sedikit, dan malaise. Berat
dapat berupa demam tinggi, batuk parah, prostasi. Batuk biasanya bersifat tidak produktif pada awal
penyakit. Sedikit mengi atau krekels terdengar auskultasi.
2. Pneumonia atipikal, agen etiologinya adalah mikoplasma, terjadi terutama di musim gugur dan musim
dingin, lebih menonjol di tempat dengan konsidi hidup yang padat penduduk. Mungkin tiba-tiba atau
berat. Gejala sistemik umum seperti demam, mengigil (pada anak yang lebih besar), sakit kepala, malaise,
anoreksia, mialgia. Yang diikuti dengan rinitis, sakit tenggorokan, batuk kering, keras. Pada awalnya batuk
bersifat tidak produktif, kemudian bersputum seromukoid, sampai mukopurulen atau bercak darah.
Krekels krepitasi halus di berbagai area paru.
3. Pneumonia bakterial, meliputi pneumokokus, stafilokokus, dan pneumonia streptokokus, manifestasi
klinis berbeda dari tipe pneumonia lain, mikro-organisme individual menghasilkan gambaran klinis yang
berbeda. Awitannya tiba-tiba, biasanya didahului dengan infeksi virus, toksik, tampilan menderita sakit
yang akut , demam, malaise, pernafasan cepat dan dangkal, batuk, nyeri dada sering diperberat dengan
nafas dalam, nyeri dapat menyebar ke abdomen, menggigil, meningismus.
Berdasarkan usaha terhadap pemberantasan pneumonia melalui usia, pneumonia dapat diklasifikasikan:
1. Usia 2 bulan – 5 tahun
a. Pneumonia berat, ditandai secara klinis oleh sesak nafas yang dilihat dengan adanya tarikan dinding
dada bagian bawah.
b. Pneumonia, ditandai secar aklinis oleh adanya nafas cepat yaitu pada usia 2 bulan – 1 tahun frekuensi
nafas 50 x/menit atau lebih, dan pada usia 1-5 tahun 40 x/menit atau lebih.
c. Bukan pneumonia, ditandai secara klinis oleh batuk pilek biasa dapat disertai dengan demam, tetapi
tanpa terikan dinding dada bagian bawah dan tanpa adanya nafas cepat.

2. Usia 0 – 2 bulan
a. Pneumonia berat, bila ada tarikan kuat dinding dada bagian bawah atau nafas cepat yaitu frekuensi
nafas 60 x/menit atau lebih.
b. Bukan pneumonia, bila tidak ada tarikan kuat dinding dada bagian bawah dan tidak ada nafas cepat.
Menurut Depkes RI (2002) klasifikasi pneumonia menurut program P2 ISPA antara lain :
1. Pneumonia sangat berat
Ditandai dengan sianosis sentral dan tidak dapat minum.
2. Pneumonia berat
Ditandai dengan penarikan dinding dada, tanpa sianosis dan dapat minum.
3. Pneumonia sedang
Ditandai dengan tidak ada penarikan dinding dada dan pernafasan cepat.
Klasifikasi pneumonia atas dasar anatomis dan etiologis, antara lain :
1. Pembagian anatomis
a. Pneumonia lobaris
b. Pneumonia lobularis (bronchopneumonia)
c. Pneumonia interstitialis (brochitis)
2. Pembagian etiologis
a. Bakteria : diplococcus pneumoniae, pneumococcus, streptococcus nerus, dll
b. Virus : respiratory syncytial virus, virus influensa, adenovirus, dll
c. Mycoplasma pneumonia
d. Jamur : aspergillus species, candida albicans, dll
e. Aspirasi : karosen, makanan, cairan amnion, benda asing
f. Pneumonia hipostatik
g. Sindrom loeffler

D. Etiologi
Penyebab pneumonia antara lain :
1. Bakteri (paling sering menyebabkan pneumonia pada dewasa) yakni Streptococcus pneumoniae,
Staphylococcus aureus, Legionella, dan Hemophilus influenzae.
2. Virus : virus influenza, chicken-pox (cacar air)
3. Organisme mirip bakteri : Mycoplasma pneumoniae (terutama pada anak-anak dan dewasa muda)
4. Jamur tertentu.
Pneumonia juga bisa terjadi setelah pembedahan (terutama pembedahan perut) atau cedera (terutama
cedera dada), sebagai akibat dari dangkalnya pernafasan, gangguan terhadap kemampuan batuk dan
lendir yang tertahan. Yang sering menjadi penyebabnya adalah Staphylococcus aureus, pneumokokus,
Hemophilus influenzae atau kombinasi ketiganya.
Pneumonia pada orang dewasa paling sering disebabkan oleh bakteri, yang tersering yaitu bakteri
Streptococcus pneumoniae pneumococcus. Pneumonia pada anak-anak paling sering disebabkan oleh
virus pernafasan, dan puncaknya terjadi pada umur 2-3 tahun. Pada usia sekolah, pneumonia paling
sering disebabkan oleh bakteri Mycoplasma pneumoniae (www.sehatgroup.we.id).

E. Manifestasi Klinis
Gejala-gejala yang biasa ditemukan adalah:
1. Batuk berdahak (dahaknya seperti lendir, kehijauan atau seperti nanah)
2. Nyeri dada (bisa tajam atau tumpul dan bertambah hebat jika penderita menarik nafas dalam atau
terbatuk)
3. Menggigil
4. Demam
5. Mudah merasa lelah
6. Sesak nafas
7. Sakit kepala
8. Nafsu makan berkurang
9. Mual dan muntah
10. Merasa tidak enak badan
11. Kekakuan sendi
12. Kekakuan otot.
Gejala lainnya yang mungkin ditemukan antara lain kulit lembab, batuk darah, pernafasan yang cepat,
cemas, stress, tegang dan nyeri perut (www.sehatgroup.we.id).

F. Patofisiologi
Proses pneumonia mempengaruhi ventilasi. Setelah agen penyebab mencapai alveoli, reaksi inflamasi
akan terjadi dan mengakibatkan ektravasasi cairan serosa ke dalam alveoli. Adanya eksudat tersebut
memberikan media bagi pertumbuhan bakteri. Membran kapiler alveoli menjadi tersumbat sehingga
menghambat aliran oksigen ke dalam perialveolar kapiler di bagian paru yang terkena dan akhirnya
terjadi hipoksemia (Engram 1998).

G. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang menurut Betz dan Sowden (2002) dapat dilakukan antara lain :
1. Kajian foto thorak– diagnostic, digunakan untuk melihat adanya infeksi di paru dan status pulmoner
(untuk mengkaji perubahan pada paru)
2. Nilai analisa gas darah, untuk mengevaluasi status kardiopulmoner sehubungan dengan oksigenasi
3. Hitung darah lengkap dengan hitung jenis untuk menetapkan adanya anemia, infeksi dan proses
inflamasi
4. Pewarnaan gram (darah) untuk seleksi awal antimikroba
5. Tes kulit untuk tuberkulin– mengesampingkan kemungkinan TB jika anak tidak berespons terhadap
pengobatan
6. Jumlah leukosit– leukositosis pada pneumonia bakterial
7. Tes fungsi paru, digunakan untuk mengevaluasi fungsi paru, menetapkan luas dan beratnya penyakit
dan membantu mendiagnosis keadaan
8. Spirometri statik, digunakan untuk mengkaji jumlah udara yang diinspirasi
9. Kultur darah – spesimen darah untuk menetapkan agens penyebabnya seperti virus dan bakteri
10. Kultur cairan pleura– spesimen cairan dari rongga pleura untuk menetapkan agens penyebab seperti
bakteri dan virus
11. Bronkoskopi, digunakan untuk melihat dan memanipulasi cabang-cabang utama dari pohon
trakeobronkhial; jaringan yang diambil untuk diuji diagnostik, secara terapeutik digunakan untuk
menetapkan dan mengangkat benda asing.
12. Biopsi paru– selama torakotomi, jaringan paru dieksisi untuk melakukan kajian diagnostik.
Sedangkan menurut Engram (1998) pemeriksaan penunjang meliputi
1. Pemeriksaan laboratorium
a. Leukosit, umumnya pneumonia bakteri didapatkan leukositosis dengan predominan polimorfonuklear.
Leukopenia menunjukkan prognosis yang buruk.
b. Cairan pleura, eksudat dengan sel polimorfonuklear 300-100.000/mm. Protein di atas 2,5 g/dl dan
glukosa relatif lebih rendah dari glukosa darah.
c. Titer antistreptolisin serum, pada infeksi streptokokus meningkat dan dapat menyokong diagnosa.
d. Kadang ditemukan anemia ringan atau berat.
2. Pemeriksaan mikrobiologik
a. Spesimen: usap tenggorok, sekresi nasofaring, bilasan bronkus atau sputum darah, aspirasi trachea
fungsi pleura, aspirasi paru.
b. Diagnosa definitif jika kuman ditemukan dari darah, cairan pleura atau aspirasi paru.
3. Pemeriksaan imunologis
a. Sebagai upaya untuk mendiagnosis dengan cepat
b. Mendeteksi baik antigen maupun antigen spesifik terhadap kuman penyebab.
c. Spesimen: darah atau urin.
d. Tekniknya antara lain: Conunter Immunoe Lectrophorosis, ELISA, latex agglutination, atau latex
coagulation.
4. Pemeriksaan radiologis, gambaran radiologis berbeda-beda untuk tiap mikroorganisme penyebab
pneumonia.
a. Pneumonia pneumokokus: gambaran radiologiknya bervariasi dari infiltrasi ringan sampai bercak-
bercak konsolidasi merata (bronkopneumonia) kedua lapangan paru atau konsolidasi pada satu lobus
(pneumonia lobaris). Bayi dan anak-anak gambaran konsolidasi lobus jarang ditemukan.
b. Pneumonia streptokokus, gambagan radiologik menunjukkan bronkopneumonia difus atau infiltrate
interstisialis. Sering disertai efudi pleura yang berat, kadang terdapat adenopati hilus.
c. Pneumonia stapilokokus, gambaran radiologiknya tidak khas pada permulaan penyakit. Infiltrat
mula=mula berupa bercak-bercak, kemudian memadat dan mengenai keseluruhan lobus atau
hemithoraks. Perpadatan hemithoraks umumhya penekanan (65%), < 20% mengenai kedua paru.

H. Komplikasi
Menurut Engram (1998) dan Betz dan Sowden (2002) komplikasi yang sering terjadi menyertai pneumonia
adalah abses paru, efusi pleural, empiema, gagal nafas, perikarditis, meningitis, pneumonia interstitial
menahun, atelektasis segmental atau lobar kronik, atelektasis persiten, rusaknya jalan nafas, kalsifikasi
paru, fibrosis paru, bronkitis obliteratif dan bronkiolitis.
Pada pasien usia lanjut usia risiko terjadinya komplikasi tinggi sebab struktur sistem pulmonal telah
berubah karena proses penuaan (komplain jaringan paru menurun, kemampuan batuk efektif menurun
dan kemampuan ekspansi paru menurun sebagai akibat dari kalsifikasi kartilago vertebra.

I. Penatalaksanaan Medis
Kepada penderita yang penyakitnya tidak terlalu berat, bisa diberikan antibiotik per-oral (lewat mulut) dan
tetap tinggal di rumah. Penderita yang lebih tua dan penderita dengan sesak nafas atau dengan penyakit
jantung atau paru-paru lainnya, harus dirawat dan antibiotik diberikan melalui infus. Mungkin perlu
diberikan oksigen tambahan, cairan intravena dan alat bantu nafas mekanik. Kebanyakan penderita akan
memberikan respon terhadap pengobatan dan keadaannya membaik dalam waktu 2 minggu
(www.sehatgroup.we.id).
Engram (1998) menyatakan bahwa penatalaksanaan medis umum terdiri dari
1. Farmakoterapi : antibiotik (diberikan secara intravena), ekspektoran, antipiretik dan analgetik.
2. Terapi oksigen dan nebulisasi aerosol
3. Fisioterapi dada dengan drainage postural.
Dalam melakukan terapi pada penderita pneumonia, yang perlu diperhatikan antara lain :
1. Perhatikan hidrasi.
2. Berikan cairan i.v sekaligus antibiotika bila oral tidak memungkinkan.
3. Perhatikan volume cairan agar tidak ada kelebihan cairan karena seleksi ADH juga akan berlebihan.
4. Setelah hidrasi cukup, turunkan ccairan i.v 50-60% sesuai kebutuhan.
5. Disstres respirasi diatasi dengan oksidasi, konsentrasi tergantung dengan keadaan klinis pengukuran
pulse oksimetri.
6. Pengobatan antibiotik:
a. Penisillin dan derivatnya. Biasanya penisilin S IV 50.000 unit/kg/hari atau penisilil prokain i.m 600.000
V/kali/hari atau amphisilin 1000 mg/kgBB/hari . Lama terapi 7 – 10 hari untuk kasus yang tidak terjadi
komplikasi.
b. Amoksisillin atau amoksisillin plus ampisillin. Untuk yang resisten terhadap ampisillin.
c. Kombinasi flukosasillin dan gentamisin atau sefalospirin generasi ketiga, misal sefatoksim.
d. Kloramfenikol atau sefalosporin. H. Influensa, Klebsiella, P. Aeruginosa umumnya resisten terhadap
ampisillin dan derivatnya. Dapat diberi kloramfenikol 100 mg/kgBB/hari aatu sefalosporin.
e. Golongan makrolit seperti eritromisin atau roksittromisin. Untuk pneumonia karena M. Pneumoniae.
Roksitromisin mempenetrasi jaringan lebih baik dengan rasio konsentrasi antibiotik di jaringan dibanding
plasma lebih tinggi. Dosis 2 kali sehari meningkatkan compliance dan efficacy.
f. Klaritromisin. Punya aktivitas 10 kali erirtomisin terhadap C. pneumonie in vitro dan mempenetrasi
jaringan lebih baik.

J. Pencegahan
Untuk orang-orang yang rentan terhadap pneumonia, latihan bernafas dalam dan terapi untuk
membuang dahak, bisa membantu mencegah terjadinya pneumonia (www.sehatgroup.we.id). Vaksinasi
bisa membantu mencegah beberapa jenis pneumonia pada anak-anak dan orang dewasa yang beresiko
tinggi yakni :
1. Vaksin pneumokokus (untuk mencegah pneumonia karena Streptococcus pneumoniae)
2. Vaksin flu
3. Vaksin Hib (untuk mencegah pneumonia karena Haemophilus influenzae type b).
Upaya pencegahan merupakan komponen strategis dalam pemberantasan pneumonia pada anak; terdiri
dari pencegahan melalui imunisasi dan upaya pencegahan non-imunisasi. Program Pengembangan
Imunisasi (PPI) yang meliputi imunisasi DPT dan campak yang telah dilaksanakan pemerintah selama ini
dapat menurunkan proporsi kematian balita akibat pneumonia. Hal ini dapat dimengerti karena campak,
pertusis dan juga difteri bisa juga menyebabkan pneumonia atau merupakan penyakit penyerta pada
pneumonia balita.
Di samping itu, sekarang telah tersedia vaksin Hib dan vaksin pneumokokus konjugat untuk pencegahan
terhadap infeksi bakteri penyebab pneumonia dan penyakit berat lain seperti meningitis. Namun vaksin
ini belum masuk dalam Program Pengembangan Imunisasi (PPI) Pemerintah.
Yang tidak kalah penting sebenarnya adalah upaya pencegahan non-imunisasi yang meliputi pemberian
ASI eksklusif, pemberian nutrisi yang baik, penghindaran pajanan asap rokok, asap dapur dIl; perbaikan
lingkungan hidup dan sikap hidup sehat; yang kesemuanya itu dapat menghindarkan terhadap risiko
terinfeksi penyakit menular termasuk penghindaran terhadap pneumonia (Said 2007).

K. Asuhan Keperawatan
1. Pengkajian keperawatan
Menurut Betz dan Sowden (2002) pengkajian keperawatan pada pneumonia meliputi :
a. Kaji kepatenan jalan nafas
b. Kaji tanda-tanda gawat pernafasan dan respons terhadap terapi oksigen
c. Kaji respons anak terhadap pengobatan
d. Kaji kemampuan keluarga untuk penatalaksanakan program pengobatan di rumah
Pengkajian keperawatan :
a. Riwayat pasien : panas, batuk, perubahan pola makan, kelemahan, penyakit respirasi sebelumnya,
perawatan di rumah, penyakit lain yang diderita anggota keluarga di rumah.
b. Pemeriksaan fisik : demam, dispneu, takipneu, sianosis, penggunaan otot pernafasan tambahan, suara
nafas tambahan, rales, ronki, kenaikan sel darah putih (bakteri pneumonia), arterial blood gas, x-ray dada.
c. Psikososial dan faktor perkembangan : usia, tingkat perkembangan, kemampuan memahami
rasionalisasi intervensi, pengalaman berpisah dengan orang tua, mekanisme koping yang dipakai
sebelumnya, kebiasaan (pengalaman yang tidak menyenangkan, waktu tidur/rutinitas pemberian pola
makan, obyek favorit).
d. Pengetahuan pasien dan keluarga : pengalaman dengan penyakit pernafasan, pemahaman akan
kebutuhan intervensi pada distress pernafasan, tingkat pengetahuan, kesia dan keinginan untuk belajar.
Pathway

Sumber : NANDA 2005

2. Diagnosa keperawatan yang mungkin muncul berdasarkan pathway :


a. Kerusakan pertukaran gas berhubungan dengan ketidakseimbangan perfusi kapiler alveolar
b. Pola nafas tidak efektif berhubungan dengan lelelahan otot pernafasan.
c. Bersihan jalan nafas tidak efektif berhubungan dengan obstruksi jalan nafas
d. Risiko infeksi berhubungan dengan factor resiko prosedur invasif
e. Resiko aspirasi berhubungan dengan factor resiko situasi yang menghambat

3. Rencana asuhan keperawatan


No. Diagnosa Tujuan (NOC) Intervensi (NIC)
1 Kerusakan pertukaran gas berhubungan dengan ketidakseimbanagn perfusi kapiler alveolar 1.
Respiratory status : gas excage
2. Respiratory status : ventilation
3. Vital sign status Airway management
1. Buka jalan nafas, gunakan tekhnik chin lift atau jaw thust bila perlu
2. Posisikan pasien untuk memaksimalkan ventilasi
3. Identifikasi pasien perlunya pemasangan alat jalan nafas buatan
4. Pasang mayo bila perlu
5. Lakukan fisioterapi dada jika perlu
6. Keluarkan secret dengan batuk atau suction
7. Auskultasi suara nafas, catat adanya suara tambahan
8. Lakukan suction pada mayo
9. Berikan bronkodilator bila perlu
10. Berikan pelembab udara kasa basah NaCl lembab
11. Atur intake untuk cairan mengoptimalkan keseimbangan
12. Monitor respirasi dan status O2
Respiratory monitoring
1. Monitor rata-rata, kedalaman, irama dan usaha respirasi
2. Catat pergerakan dada, amati kesimetrisan, penggunaan otot tambahan, retraksi otot supravasikular
dan intercostalis
3. Monitor suara nafas seperti dengkur
4. Monitor pola nafas, bradipnea, takipnea, kussmaul, hyperventilasi, cheyne stokes, biot
5. Catat lokasi trakea
6. Monitor kelelahan otot diafragma (gerakan paradoksis)
7. Auskultasi suara nafas, catat area penurunan / tidak adanya ventilasi dan suara tambahan
8. Tentukan kebutuhan suction dengan mengauskultasi crakles danronkhi pada jalan nafas utama
9. Auskultasi suara paru setelah tindakan untuk mengetahui hasilnya
2 Pola nafas tidak efektif berhubungan dengan lelelahan otot pernafasan 1. Respiratory status : ventilation
2. Respiratory status : airway potency
3. Aspiration control Airway management
1. Buka jalan nafas, gunakan tekhnik chin lift atau jaw thust bila perlu
2. Posisikan pasien untuk memaksimalkan ventilasi
3. Identifikasi pasien perlunya pemasangan alat jalan nafas buatan
4. Pasang mayo bila perlu
5. Lakukan fisioterapi dada jika perlu
6. Keluarkan secret dengan batuk atau suction
7. Auskultasi suara nafas, catat adanya suara tambahan
8. Lakukan suction pada mayo
9. Berikan bronkodilator bila perlu
10. Berikan pelembab udara kasa basah NaCl lembab
11. Atur intake untuk cairan mengoptimalkan keseimbangan
12. Monitor respirasi dan status O2
Oxygen therapi
1. Bersihkan mulut, hidung dan secret trakea
2. Pertahankan jalan nafas yang paten
3. Atur peralatan oksigenasi
4. Monitor aliran oksigen
5. Pertahankan posisi pasien
6. Observasi adanya tanda-tanda hipoventilasi
7. Monitor adanya kecemasan pasien terhadap oksigenasi
Vital sign monitoring
1. Monitor TD, nadi, suhu dan RR
2. Catat adanya fluktuasi tekanan darah
3. Monitor VS saat pasien berbaring, duduk atau berdiri
4. Auskultasi TD pada kedua lengan dan bandingkan
5. Monitor TD, nadi, RR, sebelum, selama dan setelah beraktifitas
6. Monitor kualitas dari nadi
7. Monitor frekuensi dan irama pernafasan
8. Monitor suara paru
9. Monitor pola pernafasan abnormal
10. Monitor suhu, warna dan kelembaban kulit
11. Monitor sianosis perifer
12. Monitor adanya chusing triad (TD yang melebar, bradikardi, peningkatan sistolik)
13. Identifikasi penyebab dari perubahan vital sign
3. Bersihan jalan nafas tidak efektif berhubungan dengan obstruksi jalan nafas 1. Respiratory status :
ventilation
2. Respiratiory status : airway potency
3. Aspiration control Airway suction
1. Pastikan kebutuhan oral / trakhel suctioning
2. Auskultasi suara nafas sebelum dan sesudah suctioning
3. Informasikan pada pasien dan keluarga tentang suctioning
4. Minta pasien nafas dalam sebelum suction dilakukan
5. Berikan O2 dengan menggunakan nasal untuk memfasilitasi suction nasotrakeal
6. Gunakan alat yang steril setiap melakukan tindakan
7. Anjurkan pasien untuk istirahat dan nafas dalam setelah kateter dikeluarkan dari nasotrakeal
8. Monitor status oksigen pasien
9. Ajarkan bagaimana cara melakukan suction
10. Hentikan suction dan berikan oksigen apabila pasien menunjukkan badikardi, peningkatan saturasi O2
dll
Airway management
1. Buka jalan nafas, gunakan trkhnik chinleft atau jaw trush bila perlu
2. Posisikan pasien untuk memaksimalkan ventilasi
3. Identifikasi pasien perlunya pemasangan alat jalan nafas buatan
4. Pasang mayo bila perlu
5. Lakukan fisioterapi dada jika perlu
6. Keluarkan secret dengan batuk atau suction
7. Auskultasi suara nafas, catat adanya suara tambahan
8. Lakukan suction pada mayo
9. Berikan bronkodilator bila perlu
10. Berikan pelembab udara kasa basah NaCl lembab
11. Atur intake untuk cairan mengoptimalkan keseimbangan
12. Monitor respirasi dan status O2
4. Resiko infeksi berhubungan dengan factor resiko prosedur invasif.
1. Immune status
2. Knowledge : infection control
3. Risk control Kontrol Infeksi:
1. Bersikan lingkungan secara tepat setelah digunakan oleh klien
2. Ganti peralatan klien setiap selesai tindakan
3. Batasi jumlah pengunjung
4. Ajarkan cuci tangan untuk menjaga kesehatan individu
5. Anjurkan klien untuk cuci tangan dengan tepat
6. Gunakan sabun antimikrobial untuk cuci tangan
7. Anjurkan pengunjung untuk mencuci tangan sebelum dan setelah meninggalkan ruangan klien
8. Cuci tangan sebelum dan sesudah kontak dengan klien
9. Lakukan universal precautions
10. Gunakan sarung tangan steril
11. Lakukan perawatan aseptic pada semua jalur IV dan insersi cateter
12. Tingkatkan asupan nutrisi
13. Anjurkan asupan cairan
14. Anjurkan istirahat
15. Berikan terapi antibiotik (kolaborasi)
16. Ajarkan klien dan keluarga tentang tanda-tanda dan gejala dari infeksi. Ajarkan klien dan anggota
keluarga bagaimana mencegah infeksi
Proteksi Terhadap Infeksi :
1. Monitor tanda dan gejala infeksi sistemik dan lokal
2. Monitor hitung granulosit WBC
3. Monitor kerentanan terhadap infeksi
4. Batasi pengunjung
5. Saring pengunjung terhadap penyakit menular
6. Pertahankan tekhnik aseptik pada pasien yang beresiko
7. Pertahankan tekhnik isolasi k/p
8. Berikan perawatan kulit pada are epidema
9. Inspeksi kulit dan membran mukosa terhadap kemerahan, panas dan drainase
10. Inspeksi kondisi luka / insisi bedah
11. Dorong masukan nutrisi yang cukup
12. Dorong masukan cairan
13. Dorong istirahat cukup
14. Ajarkan keluarga tanda dan gejala infeksi
15. Laporkan kecurigaan infeksi
16. Laporkan kultur positif
5 Resiko aspirasi berhubungan dengan factor resiko situasi yang menghambat
1. Respiratory status : ventilation
2. Aspiration control
3. Swallowing status Aspiration precaution
1. Monitor tingkat kesadaran, refleks batuk dan kemampuan menelan
2. Monitor status paru
3. Pelihara jalan nafas
4. Lakukan suction jika diperlukan
5. Cek nasogastrik sebelum makan
6. Hindari amkan jika residu masih banyak
7. Potong makanan kecil-kecil
8. Haluskan obat sebelum pemberian
9. Naikkan kepala 30 – 40 derajat setelah makan
DAFTAR PUSTAKA

Betz, C. L., & Sowden, L. A 2002, Buku saku keperawatan pediatri, RGC, Jakarta.

Depkes RI 2002, Pedoman penanggulangan P2 ISPA, Depkes RI, Jakarta.

Doenges, Marilynn, E., 2002, Rencana Asuhan Keperawatan : Pedoman Untuk Perencanaan dan
Pendokumentasian Perawatan Pasien, EGC, Jakarta.

Engram, B 1998, Rencana asuhan keperawatan medikal bedah, Volume 1, EGC, Jakarta.

Hidayat, A. A., 2005, Pengantar Ilmu Keperawatan Anak, Salemba Medika, Jakarta.

Iqbal, 2007, Sistem Pernafasan dan Penyakitnya, Artikel diakses dari www.sehatgroup.com

Mansjoer, Arif, dkk, 2000, Kapita Selekta Kedokteran, Media Aesculapius FK-UI, Jakarta.

Você também pode gostar