Você está na página 1de 6

UAS MANAGEMENT MEDIA

Nama : Ammamilha R. S

NIM : 186120200111016

Perkembangan media cetak di Indonesia memiliki alur yang cukup panjang. Sejak
tahun 1744, media cetak di Indonesia telah dikuasai oleh Belanda yang pada saat itu menduduki
Hindia Belanda, sehingga tak heran jika bahasa yang dgunakan pada masa itu adalah bahasa
Belanda dan berita yang disajikan juga mengenai kehidupan masyarakat eropa yang berada di
Indonesia dan banyak iklan-dan berita berita ringan sehingga pemberitaan jauh dari kesan
politik. Batavia Nouvella menjadi media massa cetak yang pertama kali terbit di Batavia,
namun hanya bertahan selama dua tahun, Batavia Nouvella digantikan dengan Javasche
Courant pada tahun 1828 yang lebih memfokuskan isi berita pada informasi lelang, kutipan
berita dari Eropa, dan beberapa berita resmi yang diturunkan dari pemerintah pada saat itu.

Pada tahun 1828, perkembangan media cetak di Indonesia sudah mulai ramai di
berbagai daerah. DI Surabaya terbit Soerabajasch Adventantiland yang nantinya berubah nama
menjadi Soerabajasch Niews en Advertantiland. Di wilayah Semarang terdapat Semarangsche
Courant, di Sumatra terbit Sumatra Courant dan di Padang terbit Handeslsbland, sedangkan di
wilayah Makasar terbit Celebes Courant dan Makasae Handelsbland yang hingga pada tahun
tersebut surat kabar yang terbit masih menggunakan bahasa Belanda dan baru pada tahun 1858,
media cetak dengan menggunakan bahasa melayu mulai terbit, seperti Soerat Khabar Betawi,
Bintang Barat, Hindia Nederland, Bintang Johar, dan Slompret Melajoe yang semua itu muncul
di wilayah Batavia, sedangkan di wilayah Surabaya muncul Bintang Timur sebagai media cetak
pertama yang menggunakan bahasa Melayu. Dilihat dari isi beritanyapun pada masa itu lebih
cenderung sebagai media untuk menyebarkan paham-agama, atau ideologis tertentu dan masih
didominasi oleh orang-orang Eropa dan pada tahun 1881, media cetak mulai diterbitkan oleh
masyarakat pribumi dan Tonghoa.

Tidak sampai disitu, penjajahan Jepang membawa dampak bagi kehidupan media cetak
di Indonesia. Pemerintah Jepang lebih ketat dalam mengawasi berita yang beredar di media
cetak di Indonesia, hal ini dapat dilihat dari cara mereka yang mengambil alih media cetak yang
telah terbit pada masa penjajahan Belanda bahkan tak sedikit pula media cetak yang
dihilangkan atau digabung dengan surat kabar lain karena dianggap membahayakan
pemerintah jepang. Kantor berita Antara juga sempat diubah menjadi kantor berita Yashima
yang merupakan anak dari kantor berita Yashima yang berpusat di Dome sehingga pada masa
itu Jepang dengan leluasa menjadikan media cetak sebagai alat propaganda.

Pada masa pemerintahan Jepang, berita yang diterbitkan lebih memuat tentang nilai-
nilai yang memuji penjajah jepang, dan wartawan media cetak pribumi hanya dianggap sebagai
pegawai biasa sedangkan untuk posisi-posisi penting dan strategis ditempati oleh orang yang
didatangkan langsung dari Jepang. Tjahaja menjadi salah satu media cetak pada masa Jepang
yang sukses dan berbahasa Indonesia meski berita yang dimuat berisi tentang informasi Jepang
dan diambil dari kantor berita Jepang.

Selepas Indonesia merdeka, perkembangan media cetak di Indonesia lebih pada


pemanfaatan masyarakat Indonesia dengan menggunakan media cetak sebagai alat perlawanan
dengan menyabotase komunikasi lewat media. Mulai bermunculannya koran-koran yang pro
kemerdekaan seperti Soeara Merdeka yang terbit di Bandung, Soeara Indonesia, Demokrasi di
Padang, Kedaulatan Rakyat di Bukit Tinggi, dan Oetoesan Soematra di Padang. Di berbagai
media massa cetak tersebutlah para pejuang meneriakkan perjuangan kemerdekaan dalam
artikel-artikel yang mereka tulis.

Selanjutnya pada masa Orde lama, terdapat perubahan yang signifikan pada media
massa cetak setelah dikeluarkanya Dekrit Presiden 5 Juli 1959. Isi Dekrit itu antara lain adalah
larangan pers untuk turut berpatisipasi dalam kegiatan politik jadi media massa cetak dilarang
menjadi alat propaganda kepentingan politik manapun. Selain itu, pemerintah juga membuat
kebijakan dengan mempersulit pembuatan izin cetak dan izin terbit bagi media massa. Media
massa cetak yang berani menerbitkan tulisan-tulisan berisi opini atau nilai-nilai politik (baik
pro atau kontra pemerintah) akan segera diberi surat peringatan.

Media massa cetak terlihat lebih bebas di masa pemerintahan Orde baru. Berbagai
media massa lokal maupun nasional dan media massa pers kampus mulai hidup kembali.
Sayangnya, kebebasan ini hanya terlihat dari luar. Pemerintah Orde baru melakukan
pengawasan dan pengekangan kepada wartawan dan redaksi media massa cetak terkait konten
media massa yang mereka terbitkan. Tak sedikit juga pemberedelan terjadi di berbagai media
cetak karena dianggap mengancam pemerintahan. Sehingga pada masa ini pers dirasa menemui
titik gelap karena kebebasan dirasa diambil dari hak pers. Segala bentuk tulisan yang dirasa
kontra atau mengkritik pemerintah akan langsung mendapatkan peringatan atau pembredelan
dan tiba-tiba akan hilang dipasaran.
Keadaan media massa cetak berubah total di era reformasi. Di masa yang serba
transparan dan terbuka ini, pers bisa memberitakan apapun, bahkan hal-hal yang dianggap
merugikan hingga menjelek-jelekan pemerintah yang sedang berkuasa. Bahkan terkadang,
kebebasan dalam menulis di masa ini kadang menjadi boomerang bagi pemerintah karena
terlalu banyak kritikan yang dilontarkan melalui tulisan dan tentu secara tidak langsung akan
mempengaruhi masyarakat lain yang membaca. Namun disisi lain, minat masyarakat dalam
membaca dirasa meningkat dan media cetak menjadi salah satu sumber informasi yang
terpecaya.

Selanjutnya, perkembangan media cetak dari masa ke masa berkembang dengan pesat
mengikuti perkembangan teknologi komunikasi dimana kemudahan dalam mengakses adalah
nyata. Perkembangan teknologi ini berawal dari penemuan mesin cetak oleh Guttenberg dan
digunakan untuk membuat Kitab Injil, Mazarin Bible yang kemudian pada tahun 1833
Bunyamin Day meluncurkan surat kabar New York Sun secara besar besaran. Semenjak itu,
masyarakat dunia mulai mengenal media cetak dan mendapatkan berbagai informasi melalui
media cetak.

Menurut Denis McQuil, media cetak digunakan sebagai sarana untuk mengembangkan
budaya, seni, simbol, pengembangan mode, norma-norma, gaya hidup, dan tata cara. Kita
mengenal media cetak yang menggunakan teknologi analog kita sebut media konvensional dan
media cetak yang menggunakan teknologi digital, kita sebut dengan Media Baru. Menurut
ramalan Philip Meyer dalam bukunya yang berjudul “The Vanishing Newspaper”, koran akan
punah pada tahun 2040 karena kalah dengan perkembangan teknologi internet.

Media cetak di Eropa perkembangannya semakin tidak bagus, oplah koran di Rumania
merosot tajam pasca krisis ekonomi dari 1 juta eksemplar menjadi 40 ribu eksemplar. Hal ini
dipengaruhi langsung oleh perkembangan teknologi digital, khususnya perkembangan internet.
Pada tahun 2011, jumlah pengguna internet lebih kurang 2,2 Miliar orang, atau sama dengan
1/3 jumlah penduduk dunia. Indonesia tercatat sebagai negara pengguna internet terbesar ke-8
dunia, lebih kurang 22,1%, dari jumlah penduduk. Kalau kita cermati pengguna internet di
Indonesia sebagian besar berada di perkotaan, namun saat ini masyarakat dipedesaan sudah
banyak yang menggunakan internet. Warung internet menjamur sampai ke seluruh pelosok
tanah air.

Perkembangan teknologi komunikasi seperti smartphone mempengaruhi cara orang


berkomunikasi satu dengan yang lainnya. Informasi dengan cepat dan mudah diakses
masyarakat. Teori Rogers, mengelompokan masyarakat sebagai pengguna awal 13,5%,
mayoritas awal 34% mayoritas akhir 34 % dan laggard 16 %. Kita berada pada kelompok
mayoritas akhir (late majority). Masyarakat kita lebih hati – hati mengenai sebuah inovasi baru.
Mereka menunggu sehingga kebanyakan orang telah mengadopsi sebelum mereka mengambil
keputusan. Kepentingan ekonomi mendorong mereka untuk mengadopsi inovasi. Kita
pengguna internet terbesar ke 8 di dunia, dihadapkan dengan jumlah penduduk 1/5 penduduk
Indonesia sudah menggunakan Internet. Indonesia terlambat mengadopsi teknologi digital jika
dibandingkan dengan negara-negara didunia, yang sudah mengadopsi terlebih dahulu.

Melihat fenomena diatas, banyak media cetak yang mengganti strateginya menjadi
media online agar tidak kehilangan pembacanya. Bagaimanapun, media cetak juga merupakan
bisnis yang menuntut adanya laba dari setiap penjualannya. Tapi dengan berkurangnya minat
masyarakat Indonesia dalam membaca dengan menggunakan media cetak menjadikan para
pelaku media cetak mengalihkan tulisannya di portal online. Namun tak sedikit pula bagi
mereka yang idealis tetap mempertahankan media cetak dan enggan merambah di media
online, namun harga kertas yang semakin mahal dan perawatan mesin cetak yang tidak murah
ditambah dengan menurunnya hasil penjualan mereka dan semakin sedikitnya orang beriklan
di media cetak yang pada akhirnya memutuskan mereka untuk gulung tikar.

Bahkan media cetak sekelas Kompas yang dinilai oleh beberapa pihak adalah media
cetak terbesar di Indonesia ditambah dengan kualitas isi yang disajikan dinilai menjadi salah
satu media cetak terpecaya di Indonesia mengalami kemrosotan dagang. Namun dengan sigap,
Kompas mengganti strategi bisnisnya tidak lagi fokus dalam penjualan media cetak, tapi
mereka akhirnya membuat suatu platform yang menggunakan internet dan dengan konten-
konten yang lebih menarik tapi mudah untuk dibaca. Ditambah lagi, masyarakat menganggao
bahwa mendapatkan informasi dari portal berita online adalah suatu hal yang gratis
dibandingkan harus mengeluarkan uang untuk membeli media cetak bahkan jika informasi
yang didapat sama atau bahkan lebih banyak jika mengaksesnya melalui media nnline.

Disisi lain, meski banyak anggapan bahwa media cetak akan mati tergantikan dengan
media online dan tekhnologi namun apa hal tersebut akan mutlak juga terjadi di Indonesia
meski indikasi tersebut sudah mulai terlihat di bidang media cetak Indonesia. Perkembangan
teknologi di Indonesia tidaklah secepat yang terjadi di luar. Masih banyak wilayah-wilayah di
Indonesia yang belum terjangkau internet terutama di daerah pelosok atau perdesaan sehingga
masyarakat dalam wilayah ini masih menggunakan media cetak sebagai sarana mendapatkan
informasi. Bahkan ketika media cetak tersebut seperti Kompas atau Jawa Pos sudah mulai
membuka platform berbasis internet dan dengan kapasistas informasi yang diberikan sama
dengan media cetak mereka, tidak akan serta merta merubah mindset konsumennya untuk
langsung beralih ke online. Masih banyak orang yang membutuhkan media cetak bahkan secara
tidak langsung, terjadi klasifikasi kelas pembaca dimana orang yang masih membutuhkan
media cetak Kompas misalnya adalah para eksekutif dan orang-orang kantor yang melek
terhadap berita politik dan bisnis. Sedangkan bagi mereka yang masih berlangganan Jawa Pos
lebih didominasi dengan mereka yang lebih tertarik dengan koran yang dapat menuliskan
bahasanya secara santai dan mudah dimengerti.

Disamping itu, kredibilitas media cetak juga menjadi hal yang penting ditengah
gempuran media online. Perubahan strategi harus dilakukan agar media cetak dapat bertahan.
Mereka tidak boleh hanya menjadi sekedar kertas tapi juga menjadi kertas yang memilki
kekuatan dan nilai. Selain itu, integrasi antara konten yang ada dalam media cetak dan platform
online harus terintegrasi secara bagus agar orang dapat menikmati keduanya tanpa adanya
paksaan.

Daftar Pustaka:

Andoko, Andrey. (2010), ‘Teknologi Digital: Akankah Media Cetak Berakhir?” Jurnal
Ultimatics. Universitas Media Nusantara. Vol. 2, No 1, 1 Juni 2010.

Fodor, Monika, et.al. (2013). “Print Media Versus Digital Media and The Expected Results
Based on the Results of a Comprehensive Trend Research”, Budapest Business
School, International Management and Business, Obuda University, Keleti of
Business and Managemenr. DOI: 10.7763/IPEDR.2013. V59. 42

Margianto dan Syaefullah. (2014), Media Online: Pembaca, Laba, dan Etika Problematika
Praktik Jurnalisme Online di Indonesia. Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indoensia.
Jakarta Pusat.

Meyer, Philip. (2009), “The Vanishing Newspaper: Saving Journalism in the Information
Age”, Missouri, University Missouri Press.

Noor, Achmad Rouzni. (2015). “Internet Indonesia di Posisi 101 Dunia”, http://inet.detik.com,
14 Maret 2015, diakses pada 17 Desember 2018,
http://inet.detik.com/read/2015/04/14/063912/2886327/328/akses-internet-
belummerata-bagaimana-solusinya
Slaatta, Tore. (2015), “print Versus Digital in Norwegian Newspapers”, University of Oslo
Norway. Media, Culture & Society 2015, Vol. 37(1) 124-133

Sugiya A. (2012), “Strategi Transformasi Konvergensi Media Studi Kasus Grand Strategy
Harian Kompas”. [tesis]. Universitas Indonesia.

Você também pode gostar