Você está na página 1de 8

1. Bagaimana manajemen OSA?

Obstruktif sleep apnea(OSA)merupakan gangguan napas saat tidur


(Sleep-DisorderedBreathing, SDB) yang ditandai dengan obstruksi parsial atau total
pada jalan napas bagian atas meskipun ada upaya untuk bernapas saat tidur. Lokasi
paling sering terdapat pada orofaring.

Salah satu faktor predisposisi terjadinya OSA adalah pada pasien obesitas, seperti
pada pasien tersebut diatas. Tidak hanya mengurangi patensi saluran napas atas akibat
deposisi lemak pada faring, ada pula mekanisme tidak langsung yang dapat
menyebabkan faring kolaps. Deposisi lemak pada abdomen dan posisi berbaring
mengurangi volume paru. Selama inspirasi, paru mengembang dan memicu tekanan
negatif intralumen yang akan mengaktifkan otot dilator faring. Hasilnya didapatkan
kekuatan traksi longitudinal pada saluran napas yang berfungsi melawan tekanan yang
menyebabkan saluran napas kolaps. Ketika volume paru berkurang, kekuatan traksi
longitudinal pada saluran napas juga berkurang, akibatnya saluran napas bisa kolaps.

Manajemen pada OSA :

1) Continuous Positive Airway Pressure (CPAP)

CPAPadalah terapi non invasif lini pertama untuk OSAS. CPAP terdiri dari masker
yang menutupi mulut dan hidung, pipa yang menghubungkan masker dengan mesin,
dan mesin yang berfungsi memberikan tekanan positif pada saluran napas. Indikasi
penggunaan CPAP adalah semua pasien dengan AHI > 15. Apabila AHI berkisar antara
5-15, penggunaan CPAP diindikasikan ketika ada gejala-gejala seperti rasa kantuk
berlebihan di siang hari, gangguan kognitif, gangguan mood, atau adanya komplikasi
akibat OSAS, seperti hipertensi atau penyakit kardiovaskuler. Pemberian tekanan
positif berguna untuk mencegah kolapsnya saluran napas atas sehingga dapat
mengurangi gejala-gejala pada OSAS, seperti rasa kantuk di siang hari (Excessive
Daytime Sleepiness, EDS), fragmentasi dalam tidur, dan mendengkur. CPAP dapat
menurunkan tekanan darah, marker inflamasi dalam tubuh, serta risiko terkena
penyakit kardiovaskuler akibat OSAS. Pada pasien stroke dengan OSAS, CPAP
meningkatkan keluaran klinis serta menurunkan risiko rekurensi dan kematian. CPAP
bersifat lifetime treatment apabila tidak ada terapi lain yang digunakan. Namun, tidak
semua pasien OSAS toleran terhadap CPAP. Beberapa pasien merasa tidak nyaman
menggunakan masker setiap hari selama tidur.

2) Oral Appliances (OA)

Terapi ini merupakan salah satu terapi yang digunakan untuk pasien OSAS

ringan sampai sedang dan pasien OSAS berat yang tidak toleran terhadap CPAP atau
menolak dilakukan pembedahan. OA yang paling seing digunakan adalah Mandibular
Advanced Splints (MAS), yaitu alat yang melekat baik pada arkus dental atas
maupun bawah untuk mempertahankan posisi mandibula dan mencegah agar lidah
tidak jatuh ke belakang. Sama seperti CPAP, OA juga berfungsi mencegah
kolapsnya saluran napas atas selama tidur sehingga dapat menurunkan episode apnea

atau hipopnea pada pasien OSAS. Cilil et al melakukan penelitian pada 15 pasien
OSAS ringan hingga sedang serta berat yang tidak toleran terhadap CPAP atau
menolak tindakan pembedahan. Hasilnya terdapat penurunan rasa kantuk di siang

hari yang diukur dengan ESS setelah diterapi dengan OA. Namun, terapi ini juga
memiliki beberapa efek samping yaitu produksi saliva yang berlebihan, mulut kering,
iritasi gusi, atralgia pada sendi temporomandibula, nyeri pada gigi, dan perubahan
oklusi gigi.

3) Penurunan Berat Badan

60-90% penderita OSAS diperkirakan memiliki Indeks Massa Tubuh (IMT) ≥ 28 kg/m2
sehingga penurunan berat badan harus menjadi salah satu tujuan terapi OSAS.

Pada pasien obesitas berat (IMT > 40) dapat dipertimbangkan operasi bariatrik untuk
penurunan berat badan yang lebih signifikan. Beberapa penelitian menunjukkan adanya
penurunan AHI, perbaikan gejala OSAS, seperti rasa kantuk di siang hari, serta
peningkatan saturasi oksigen setelah pasien OSAS menjalani program penurunan berat
badan
4) Terapi Posisi

Posisi tidur telentang atau supine berhubungan dengan peningkatan episode apnea atau
hipopnea dan keparahan desaturasi oksigen karena pengaruh gravitasi serta perubahan
ukuran dan posisi saluran napas atas pada posisi tersebut. Pasien OSAS dapat
dikategorikan menjadi postural dan non postural.

Diagnosis OSAS postural ditegakkan apabila episode obstruksi selama tidur terjadi
terutama saat posisi telentang (AHI pada posisi telentang minimal dua kali lebih besar
dibanding dengan posisi non telentang). Sebagian besar OSAS ringan hingga sedang
adalah OSAS postural (antara 65-87%), sehingga terapi posisi dapat menjadi solusi
yang sederhana, murah, dan efektif untuk mengurangi periode obstruksi saat tidur.
Berbagai strategi digunakan untuk mencegah punggung pasien menyentuh alas tidur,
contohnya memasang alarm yang berbunyi saat pasien tidur dalam posisi telentang.
Selain itu, punggung pasien OSAS dapat dipasang bantal atau bola agar merasa tidak
nyaman saat tidur dalam posisi telentang.Terapi posisi dikatakan berhasil apabila
terdapat penurunan AHI hingga kurang dari 10 pasca terapi.

(sumber artikel jurnal : Spicuzza, Lucia, et al. 2015. Obstructive Sleep Apnoea
Syndrome and Its Management)

2. Bagaimana Protokol Transfusi pada pasien anemia?

Guideline Transfsusi Darah menurut CBO :


1) Mempertimbangka transfuse darah ketika Hb < 6,4 g/dl
a. Perdarahan akut pada pasien ASA 1 dengan usia < 60 tahun
b. Individu sehat dengan anemis kronis asimptomatik
2) Mempertimbangkan transfuse darah ketika Hb < 8 g/dl
a. Perdarahan akut pada individu sehat (ASA 1) dengan usia > 60 tahun
b. Perdarahan akut pada keadaan multitrauma
c. Prediksi perdarahan perioperative > 500 cc
d. Pasien dengan demam
e. Pasien ASA 2 dan ASA 3 dengan operasi tanpa resiko komplikasi
3) Mempertimbangkan transfusi darah ketika Hb < 10 g>dl
a. Pasien ASA 4
b. Pasien dengan penyakit gagal #antung, penyakit katup #antung
c. Pasien sepsis
d. Pasien dengan penyakit paru parah
e. Pasien dengan simptomatik cerebrovaskuler disease
Macam komponen darah

a. Whole Blood :

Volume 350 ml WB mengandung:

– 350 ml darah donor

– 63 ml larutan pengawet antikoagulan

–Hb±12 g/dl; Hct 35-45%

–Tidakterdapatfaktorkoagulasilabil(f. V danVIII)

Indikasi:

–Perdarahan akut dengan hipovolemia

– Transfusi Tukar (Exchange transfusion)

–Pengganti darah merah endap (packed red cell) saat memerlukan transfusi sel darah
merah.
Kontraindikasi:

–Resiko overload cairan misalnya pada anemia kronik& gagal jantung

b. Packed Red Cell (PRC)

Deskripsi:

–Volume 150-250 ml eritrosit dengan jumlah plasma yang minimal

–Hb ± 20 g/100 dl ( ≥ 45 g/unit)

– Hct 55-75%

Indikasi:

–Pengganti sel darah merah pada anemia


–Anemia karena perdarahan akut(setelah resusitasi cairan kristaloid atau koloid)

c. Fresh Frozen Plasma (FFP)

Deskripsi :

–Plasma dipisahkan dari satu kantongWB (maksimal 6 jam) dibekukan pada-25°C atau
lebih

– Terdiri dari faktor pembekuan stabil, albumin dan imunoglobulin; F VIII minimal
70% dari kadarplasma segar normal

– Volume 60-180 ml

Indikasi:

– Defisiensi faktor koagulasi(penyakit hati, overdosis antikoagulan-arfarin, kehilangan


faktor koagulasi pada penerima transfusi dalam jumlah besar)

– DIC

– TTP

Dosis: awal10 -15 ml/kgBB

d. Trombosit Consentrat (TC)

Deskripsi:

–Setiap50-60 ml plasma yang dipisahkandari WB mengandung:

• Trombosit minimal 55 x 109

• Eritrosit < 1,2 x 109

• Leukosit < 0,12 x 109


Indikasi :

– Perdarahan akibat trombositopenia atau gangguan fungsi trombosit

– Pencegahan perdarahan karena trombositopenia (gangguan sumsum tulang) kurang


dari 10.000 /micro liter

– Profilaksis perdarahan pada pre operatif dengan trombosit kurang atau sama dengan
50.000 /microliter, kecuali operasi trepanasi dan cardiovaskuler kurang atau sama
dengan 100.000 micro liter

Kontraindikasi :

- ITP tanpa perdarahan

- TTP tanpa perdarahan

- DIC yang tidak diterapi

- Trombositopenia terkaitsepsis, hinggaterapidefinitifdimulaiataupada hipersplenisme

(Sumber : http://www.ichrc.org/106-transfusi-darah

http://ppds.fk.ub.ac.id/wp-content/uploads/2015/10/TRANSFUSI-DARAH.pdf)

3. Bagaimana HTIG bekerja dalam mencegah morbiditas dan mortalitas pada


tetanus?
Antitoksin dapat digunakan Human Tetanus Immunoglobulin ( TIG) dengan dosis
3000-6000 U pada dewasa dan 500-3000 IU pada anak, single dose, secara IM tidak
boleh diberikan secara intravena karena TIG mengandung "anti complementary
aggregates of globulin ", yang mana ini dapat mencetuskan reaksi allergi yang serius.

Kegunaan:
- Untuk mencegah eksotoksin clostridium tetani berikatan dengan susunan saraf pusat
(hanya berguna terhadap tetanospasmin yang belum memasuki sistem saraf).
- Profilaksis pada individu ddengan cedera yang baru saja terjadi dan individu dengan
riwayat vaksinasi tidak komplit atau tidak diketahui.
- Terapi untuk tetanus yang sudah bermanifestasi secara klinis.

Farmakokinetik:
- Proteksi setelah pemberian 4 minggu
- C max teragntung umur dan keadaan fisik
- T max : 2-3 hari
T1/2 : 3 –4 minggu

Farmakodinamik: HTIG merupakan antibodi terhadap toksin tetanus. HTIG berasal


dari donor plasma manusia yang mengandung antibodi spesifik terhadap clostridium
tetani . Dalam 0,01 IU dari antitoksin tetanus per ml serum dianggap sebagai tingkat
minimum di mana tetanus tidak akan terjadi walaupun toksin tetanus diproduksi di
tubuh.

Efek samping: rasa sakit di tempat injeksi (suntikan), meningkatnya suhu badan dan
menggigil, reaksi kulit. Jarang mual, muntah, reaksi sirkulasi (takikardi, bradikaedi,
hipotensi, berkeringat, vertigo) dan reaksi alergi (sensasi panas kemerahan pada wajah,
urtikaria, dispnea) Kontraindikasi: riwayat hipersensitivitas terhadap immunoglobulin
atau komponen immunoglobulin sebelumnya, trombositopenia berat atau keadaan
koagulasi lain yang dapat merupakan kontraindikasi pemberian IM.

Você também pode gostar