Você está na página 1de 4

Agama dan modernisasi sering menjadi fokus kajian para sarjana sosiologi dan

antropologi sejak awal abad ke 18. Mereka tertarik untuk membicarakan bagaimana nasib agama
ketika berhadapan dengan modernisasi yang sedang melanda semua masyarakat di dunia ini.
Hampir semua sarjana sosiologi dan antropologi menganggap bahwa ketika agama berhadapan
dengan modernisasi, ia akan tersisihkan peranannya sebagai faktor legitimasi utama dalam
masyarakat, digantikan oleh lembaga-lembaga kemasyarakatan yang dibentuk oleh masyarakat
itu sendiri yang didasarkan pada ilmu pengetahuan. Dalam hal ini modernisasi selalu berakibat
munculnya sekularisasi dalam keberagaman dan individualisasi dalam hubungan social pada
masyarakat tersebut. Cikal bakal modernisasi ini berasal dari munculnya gerakan pemikiran abad
pertengahan yang membawa implikasi perubahan mendasar hampir dalam semua kehidupan
manusia. Sejak zaman itu, dunia ilmu pengetahuan bersifat positivistic dengan meletakkan
dominasi ilmu-ilmu empiris, eksak beserta metodologinya sebagai paradigma.
Di zaman modernisasi dan globalisasi sekarang ini, manusia di Barat sudah berhasil
mengembangkan kemampuan nalarnya (kecerdesan intelektualnya) untuk mencapai kemajuan
yang begitu pesat dari waktu kewaktu di berbagai bidang kehidupan termasuk dalam bidang
sains dan teknologi yang kemajuannya tidak dapat dibendung lagi akan tetapi kemajuan tersebut
jauh dari spirit agama sehingga yang lahir adalah sains dan teknologi sekuler. Manusia saling
berpacu meraih kesuksesan dalam bidang material, soial, politik, ekonomi, pangkat, jabatan,
kedudukan, kekuasaan dan seterusnya, namun tatkala mereka sudah berada dipuncak kesuksesan
tersebut lalu jiwa mereka mengalami goncangan-goncangan mereka bingung untuk apa semua
ini. Kenapa bisa terjadi demikian, karena jiwa mereka dalam kekosongan dari nilai-nilai
spiritual, disebabkan tidak punya oreintasi yang jelas dalam menapaki kehidupan di alam dunia
ini. Sayyid Hussein Nasr Menilai bahwa keterasingan (alienasi) yang di alami oleh orang-orang
Barat karena peradaban moderen yang mereka bangun bermula dari penolakan (negation)
terhadap hakikat ruhaniyah secara gradual dalam kehidupan manusia. Akibatnya manusia lupa
terhadap eksistensi dirinya sebagai ‘abid (hamba) di hadapan Tuhan karena telah terputus dari
akar-akar spiritualitas.Hal ini merupakan fenomena betapa manusia moderen memiliki
spiritualitas yang akut. Pada gilirannya, mereka cenderung tidak mampu menjawab berbagai
persoalan hidupnya, dan kemudian terperangkap dalam kehampaan dan ketidak bermaknaan
hidup.
Keimanan atau kepercayaan pada agama (Tuhan) terutama Islam itu, secara pragmatis
merupakan kebutuhan untuk menenangkan jiwa, terlepas apakah objek kualitas iman itu benar
atau salah. Secara psikologis, ini menunjukkan bahwa Islam selalu mengajarkan dan
menyadarkan akan nasib keterasingan manusia dari Tuhannya. Manusia bagaimanapun juga
tidak akan dapat melepaskan diri dari agama, karena manusia selalu punya ketergantungan
kepada kekuatan yang lebih tinggi diluar dirinya (Tuhan) atau apapun bentuknya dan agama
diturunkan oleh Allah untuk memenuhi kebutuhan dasar manusia sebagai makhluk rasional dan
spiritul.
Pandangan dunia sekuler, yang hanya mementingkan kehidupan duniawi, telah secara
signifikan menyingkirkan manusia moderendari segala asfek spiritual. Akibatnya mereka hidup
secara terisolir dari dunia-dunia lain yang bersifat nonfisik, yang diyakini adanya oleh para Sufi.
Mereka menolak segala dunia nonfisik seperti dunia imajinal atau spiritual sehingga terputus
hubungan dengan segala realitas-realitas yang lebih tinggi daripada sekedar entitas-entitas fisik.
Sains moderen menyingkirkan pengetahuan tentang kosmologi dari wacananya. Padahal
kosmologi adalah “ilmu sakral” yang menjelaskan kaitan dunia materi dengan wahyu dan doktrin
metafisis. Manusia sebenarnya menurut fitrahnya tidak dapat melepaskan diri dari kehidupan
spiritual karena memang diri manusia terdiri dari dua unsur yaitu jasmani dan ruhani, manusia
disamping makhluk fisik juga makhluk non fisik. Dalam diri manusia tuntutan kebutuhan
jasmani dan rahani harus dipenuhi secara bersamaan dan seimbang, kebutuhan jasmani dapat
terpenuhi dengan hal-hal yang bersifat materi sedangkan kebutuhan ruhani harus dipenuhi
dengan yang bersifat spiritual seperti ibadah, dzikir, etika dan amal shaleh lainnya. Apabila
kedua hal tersbeut tidak dapat dipnuhi secara adil maka kehidupan manusia itu dapat dipastikan
akan mengalami kekeringan dan kehampaan bahkan tidak menutup kemungkinan bisa
mengalami setres. Salah satu kritik yang ditujukan kepada ilmu pengetahuan dan teknologi
moderen dari sudut pandang Islam ialah karena ilmu pengetahuan dan teknologi moderen
tersebut hanya absah secara metodologi, tetapi miskin dari segi moral dan etika. Pandangan
masyarakat moderen yang bertumpu pada prestasi sains dan teknologi, telah meminggrikan
dimensi transendental Ilahiyah. Akibatnya, kehidupan masyarakat moderen menjadi kehilangan
salah satu aspeknya yang paling fundamental, yaitu asfek spiritual.
Agama Islam datang membawa pesan universal dengan ajaran yang komprehensif
menawarkan solusi dalam berbagai permasalahan kehidupan umat manusia diantaranya berupaya
untuk mempertemukan kehidupan materialsitis Yahudi dan kehidupan spiritual Nasrani, menjadi
kehidupan yang harmonis antara keduanya. Di bawah bimbingan Nabi Muhammad Rasulullah
saw. Kaum muslimin dapat membentuk pribadinya yang utuh untuk memperoleh kebahagiaan
dunia akhirat dengan melakukan ibadah dan amal shaleh, sehingga mereka memperoleh kejayaan
di segala bidang kehidupan. Islam mengajarkan kepada umatnya akan keseimbangan untuk
meraih kebahagiaan dan kesuksesan di dunia dan akhirat secara bersamaan.
C. Peran Agama Islam dalam Modernisasi
Setiap analisis tentang kaitan antara agama dan modernitas dilihat dari sudut agama,
cenderung bersifat apologis. Sikap apologis dalam rumusan umum sering menempatkan agama
tidak ubahnya seperti suatu alat untuk membenarkan semua perilaku kemodernan di suatu pihak,
atau bahkan agama merupakan “Palu Godam” untuk mengutuk apa saja yang berbau modern di
lain pihak. Kedua sikap ini sangat merendahkan martabat agama sekaligus memantulkan kesan
ketidakberdayaan agama dalam menghadapi geombang besar transforemasi yang menyertai
peradaban modern.
Dilihat dari spesifik islam, terjadinya alienasi sebagai bagian yangtidak terpisahkan
dari modernitas tersebut merupakan sesuatu yang wajar. Karena modernitas yang kita hayati
dalam kehidupan sehari-hari saat ini adalah diimpor dari dunia barat yang memiliki system nilai
dan logika perkembangan tersendiri, yang di dalamnya mungkin terdapat unsur yang sinkorn dan
saling melengkapi yang bersifat universal. Para penulis besar seperti Sayyid Quthb, Al Maududi,
Ali Syari’ati dan sebagainya yang telah banyak mengajukan sikap apologisnya terhadap islam
ketika islam bertekuk lutut kepada barat.
Dua tugas utama umat islam yang paling mendesak untuk diaktualisasikan:
1. Upaya untuk mengaktualisasikan ajaran islam dalam jabaran yang lebih konkret dan dapat
diterapkan di dalam realitas hidup keseharian. Agama tidak cukup hanya menjadi bahan
perbincangan saja tetapi juga harus siap dihadapkan secara proposional dengan semua kenyataan
hidup.
2. Realitas hidup itu sendiri harus bisa menjadi sumber motivasi yang menantang agama untuk
makin memiliki rasa kemanusiaan. Selain itu agama juga harus menjadi pedoman dalam semua
tingkah laku kita.
Kemoderenan selalu identik dengan kehidupan keserbadaan. Sedangkan modernisasi
merupakan salah satu ciri dari peradaban maju. Modernisasi selalu diartikan sebagai suatu proses
yang melaluinya manusia menjadi mampu menguasai alam dengan memanfaatkan teknologi
modern. Masih banyak lagi pengertian modernisasi, namun intinya menurut Lerner, modernisai
itu mencangkup :
1. Pertumbuhan ekonomi secara mandiri dan berkelanjutan.
2. Partisipasi politik.
3. Penyebaran norma-norma.
4. Tingginya tingkat mobilitas social dan geografis.
Transformasi kepribadian.modernitas tersebut menurut Hardgrave gejalanya dapat
dilihat dalam tiga dimensi: teknologis, organisasional dan sikap. Aspek teknologinya bisa
dilacak pada dominasi industrialisasi sehingga masyarakat dapat dibedakan menjadi praindustri
dan industry. Di pihak lain pihak segi sikap dalam kemeoderenan mencangkup rasionalitas dan
sekularisasi dan pertentangan cara pandang ilmiah lawan magis religius. Dari pandangan terakhir
diatas jelas betapa marginal kedudukan agama dalam madyarakat industri modern. Ada dua
corak agama yang memiliki cara yang berbeda dalam merespon tuntutan perkembangan
masyarakat, yaitu agama-agama wahyu yang relative bisa bertahan menghadapi arus gelombang
modernisasi seperti Islam, Yahudi dan Kristen juga agama-agama wahyu lain, yang begitu rentan
terhadap amukan modernisasi sehingga tidak mampu bertahan.Semua agama mempunyai klaim
yang sama, untuk dapat berlaku dalam semua situasi, dalam segala satuan social dan dalam
rentangan waktu yang tidak terbatas.
Setiap agama memiliki empat isi pokok, yaitu: doktrin, organisasi, ritual dan pemimpin.
Kecanggihan unsur-unsur tersebut sangat tergantung pada tingkat kemajuan yang dialami oleh
masyarakat pendukungnya. Karena itu agama yang mempunyai tingkat kecanggihan abstraksi
yang rendah biasanya sangat mudah terpengaruh oleh perubahan yang dialami pemeluknya.
Salah satu penyebab utama merosotnya peran agama dalam peradaban industri modern adalah
karena agama dianggap tidak memiliki kontribusi langsung bagi upaya mengejar kehidupan
fisik-material. Pada sisi lain, krisis peradaban modern, meminjam istilah J.A Camilleri, juga
menimbulkan keberantakan yang gejalanya dapat dilihat dalam ketidak seimbangan psiko-sosial,
structural, sistematis dan ekologis. Dari dampak yang telah dikemukakan diatas, terlihat jelas
peran agama menjadi sangat marginal, karena agama dianggap tidak dapat memberi kontribusi
apapun dalam menghadapi tuntutan hidup yang begitu keras dan penuh persaingan. Gejala
kemerosotan agama tampak dalam melemahnya doktrin-doktrin yang ada, organisasi agama
tidak mampu mengikuti irama dan ritme perubahan social, ritual agama makin sedikit
peminatnya, dan pemimpin agama juga menampakkan diri seperti kurang semangat karena tidak
berdaya berpacu dengan arus tuntutan hidup budaya materialistic-individualistik, bahkan sangat
hedonistik, hal tersebut nampaknya juga merupakan suatu gejala sosial pemimpin agama dewasa
ini, dimana sebagian diantara mereka memahami agama secara dangkal, hingga akhirnya
“membodohkan umat”.
Agama di lain pihak, dipandang tidak mampu melerai konflik-konflik maupun dis-
organisasi sosial bahkan dituding sebagai bermasa bodoh “cuek” terhadap malapetaka
kemanusiaan universal. Namun sebaliknya harus dipahami pula bahwa satu sisi, agamalah yang
diharapkan bisa memainkan peranan positif aktifnya dalam mengerem perilaku serakah, brutal,
dan mengancam kelangsungan hidup serta mengabaikan sama sekali spiritualitas dan
transendentalisme untuk diarahkan kepada kehidupan yang bertatanan ketuhanan, kemanusiaan
dan transcendental dalam menuju dunia yang damai dan berperadaban. Disinilah letak peran
penting pemimpin agama, untuk dapat menginterpretasi agama, dari berbagai sudut pandang,
rasional, universal dan mengejawantah “membumi” sesuai dengan kebutuhan umat dan zaman,
hingga agama tidaklah dipandang sebagai momok penghalang dari era modern ini.
Menurut beberapa ulama’ agama yang paling benar adalah agama islam sehingga kita
sebagai umat muslim hendaknya menjaga agar diri kita agar tidak terpengaruh oleh arus
medernisasi yang ada pada zaman sekarang. Sebagaimana yang difirmankan oleh Allah dalam
surat Al Imran ayat 19 yang artinya:
“Sesungguhnnya agama di sisi Allah ialah islam. Tidaklah berselisih orang-orang yang
telah diberi kitab kecuali setelah mereka memperoleh ilmu, karena kedengkian diantara mereka.
Barang siapa yang ingkar terhadap ayat-ayat Allah, maka sungguh Allah sangat cepat
perhitunganNya .

http://hanimtsuroy.blogspot.com/2012/05/v-behaviorurldefaultvmlo.html

Você também pode gostar