Você está na página 1de 4

1

HARAPAN ULAMA
ISLAM SEBAGAI IDEOLOGI NEGARA

Disusun oleh:

Fadli
321203218

JURUSAN PERBANDINGAN AGAMA


FAKULTAS USHULUDDIN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI AR-RANIRY
DARUSSALAM-BANDA ACEH
2015
2

Provinsi Aceh, terletak di bagian paling barat Indonesia, memiliki sejarah yang
panjang, kaya dan sangat berbeda dari daerah pusat Pemerintah Indonesia dan daerah-daerah
lain di Negara kepulauan tersebut. Institusi pemerintah Indonesia saat ini lebih dipengaruhi
oleh institusi masyarakat Jawa dahulu. Yang notabene dipengaruhi oleh tradisi dan budaya
Hindu-Budha.

Islam disebarkan pada abad ke-13 kepada masyarakat Jawa yang sebelumnya memeluk
dan berbudaya Hindu-Budha tersebut. Ajaran Islam kemudian berasimilasi dengan
kebudayaan lokal, yang sebelumnya juga telah terlebih dahulu berasimilasi sangat dalam
dengan kebudayaan dan tradisi di India.

Selama lebih dari 1000 tahun lamanya, masyarakat Aceh telah memiliki budaya dan
tradisi yang sangat dipengaruhi Islam. Hal ini bisa dilihat dari kekuasaan kerajaan Islam
selama berabad-abad, jalur perekonomian yang terhubung ke kerajaan-kerajaan Islam di
Timur Tengah, dan kekuatan institusi-institusi politik di Aceh yang terbagi ke dalam tiga
kekuatan politik: Sultan, Ulama dan Ulee Balang (Aristokrat Local).

Selama masa penjajah, Belanda berhasil menguasai daerah pusat Indonesia dan
beberapa kepulauan terluar Indonesia untuk selama 300 tahun. Sedangkan Aceh hanya
mampu dikuasia 50 tahun. Itu pun, relatif sangat lemah akibat dari perlawan masyarakat
Aceh, yang dipimpin oleh para Ulama, yang sangat sengit dan tiada henti terhadap Belanda.

Pada masa revolusi Indonesia pada thun 1945, para pemimpin yang berada di pusat
pemerintahan Indonesia ingin menyatukan seluruh kepulauan yang pernah dijajah Belanda
dengan satu indentitas yang di dalam sebuah Negara sangat dipengaruhi oleh sejarah
masyarakat Jawa, khususnya kerajaan Madjapahit yang menguasai hampir seluruh bagian
Indonesia sekarang ini.

Masyarakat Aceh selama revolusi Indonesia, pada umumnya lebih mengingikan untuk
mendirikan sebuah Negara yang merdeka atau setidaknya daerah otonom, dimana hukum
Islam secara menyeluruh bisa diterabkan. Pada revolusi tersebut, daerah pusat Indonesia dan
masyarakat Aceh, yang diwakili oleh Ulama, pada dataran tertentu saling mengerti pada
aspirasi masing-masing pihak. Daerah pusat Indonesia ingin membangun sebuah Negara
yang kuat yang terdiri dari ratusan suku bangsa yang tersebar disepanjang Negara kepulauan
tersebut. Namun, pada dataran tertentu lainnya kedua belah pihak terjadi miskomunikasi,
khususnya pada permasalahan ideologi Negara yang dicita-cita tersebut.1

Masyarakat Aceh, beserta beberapa daerah yang memiliki pengaruh dan basis
keislaman yang kuat seperti Jawa Barat dan Makassar, ingin mendirikan sebuah Negara Islam
atau minimalnya menjadi daerah otonom untuk menerapkan hukum Islam. Miskomunikasi
tersebut semakin diperparah dengan munculnya beberapa kelompok-kelompok yang
berhaluan keras di kedua belah pihak.

Daerah pusat Indonesia, yang dipimpin oleh Soekarno, mengingikan ideologi sekuler
sebagai pondasi Negara yang akan dibentuk. Ulama Aceh, yang dipimpin oleh Tgk Daud
1
Arfiansyah, Syariat Islam, Politik dan Perempuan di Aceh, ArrairyPress, 2012 Banda Aceh. Hlm 1-4
3

Beureu’eh, mengingikan Islam sebagai ideologi Negara atau minimalnya untuk daerah Aceh
saja. Keinginan tersebut berdasarkan keagungan sejarah kerajaan Islam di Aceh dan
kebudayaan Islami yang mereka praktekan selama berabad-abad.

Ketidak pahaman tersebut, pada akhirnya menyeret kedua belah pihak ke medan
pertempuran sampai tahun 1974 yang kemudian dilanjutkan sampai tahun 2005 oleh Gerakan
Aceh Mardeka (GAM). Setelah lebih dari 25 tahun, pada tahun 1999 Pemerintah Indonesia
memberikan status otonomi untuk daerah Aceh dan mengizinkan daerah tersebut untuk
menerapkan hukum Islam secara menyeluruh untuk masyarakatnya. Saat ini, Aceh
merupakan satu-satunya provinsi di Indonesia yang telah menerapkan Syariat Islam secara
resmi.

Penerapan Syariat Islam tersebut merupakan salah satu solusi mengakhiri ketidak
stabilan politik yang berkepanjangan daerah tersebut. Pemberontakan pertama masyarakat
Aceh melawan pemerintah Indonesia telah dimulai sejak tahun 1955 atau 10 tahun setelah
Indonesia mendeklerasikan kemerdekaanya dari penjajahan Belanda. Dalam pandangan
masyakat Aceh, pemerintah Indonesia telah gagal memenuhi keinginan mareka untuk
menerapkan Syariat Islam di daerah Aceh.

Sebenarnya saat itu, penerapan Syariat Islam merupakan satu-satunya persyaratan yang
diminta oleh Ulama Aceh untuk mau bergabung dalam melawan penjajahan Belanda.
Tuntutan untuk penerapan Syariat didasari oleh pengindentitasan diri mareka sendiri
berdasarkan sejarah kerajaan Islam klasik di Aceh yang berkuasa semenjak abad ke-9 sampai
abad ke-19. Selama periode tersebut, budaya dan tradisi Islam telah menjadi bagian yang
sangat mengakar pada kebudayaan lokal dan masih sangat kuat hingga saat ini.

Pemberontakan pertama masyarakat Aceh terhadap melawan pemerintah Indonesia


tersebut dipimpin oleh organisasi Ulama, Perasatuan Ulama Seluruh Aceh (PUSA), yang
dipimpin oleh seorang Ulama karismatik Tgk Daud Beureu’eh (1899-1987). Gerakan
pemberontakan yang dia pimpin hanya bertujuan untuk memperjuangkan sebuah daerah
otonom dimana hukum Islam bisa ditegakkan dengan sempurna.

Setelah 7 tahun melakukan perjuangan gerilya (1955-1962), Daud Beureu’eh akhirnya


berhasil mewujudkan tuntutan masyarakat Aceh setelah melalui beberapa negosiasi dengan
pemerintah Indonesia. Yang sangat penting dari hasil kesepakatan kedua belah pihak adalah
pembentukan Pengadilan Syariah dan penetapan dasar-dasar aturan untuk penerapan syariat
islam didaerah bergojolak tersebut. Akan tetapi, bukan hanya sampai disitu, seiring
pergantian pemegang tampuk kekuasaan negara dari presiden pertama Indonesia, Soekarno
sampai ke Soeharto.2

Pada tahun 1967 kebijakan-kebijakn terhadap Aceh juga mulai berubah. Atas nama
kesatuan dan persatuan Indonesia, pemerintah baru mulai gencar memperkenalkan ideologi
sekuler sebagai satu-satunya ideologi yang dianut oleh seluruh warga Indonesia, tidak kecuali

2
Ibid. Hlm 7-8
4

Aceh. Untuk itu, Soeharto menyampingkan semua status khusus untuk daerah Aceh, yang
secara tak langsung berusaha menghancurkan identitas kebanggaan masyarakat Aceh.

Untuk meningkatkan perekonomian dan stabilitas nasional, Soeharto menepatkan


militer untuk melindungi dan mempertahankan perusahan vital nasional, seperti perusahaan
Minyak dan Gas PT. Arun yang terletak di Aceh Utara. Namun, karena Indonesia mengambil
keuntungan yang lebih besar dari pada perusahan-perusahan yang berada di Aceh
dibandingkan dengan Aceh sendiri. Maka terjadi pemberontakan kedua dari Aceh, Yang
dilakukan oleh GAM muncul pada tahun 1976.

Tuntutan kelompok baru ini lebih extrem dibandingkan dengan kelompok tuntutan
pertama, pemberontakan yang berorietasi agama sebelumnya. Pemberontakan kedua pada
dasarnya merupakan kelompok berideologi sekuler dan berasas pada konsep etnis
nasionalisme. Sebagai respon, pemerintah Indonesia mengirim ribuan tentara ke Aceh pada
tahun 1989 dan menetapkan daerah sebagai Daerah Operasi Militer (DOM) selama 10 tahun
berikutnya.

Operasi militer selama satu dekade tersebut mengakibatkan kematian ribuan


masyarakat sipil. Sebagai konsekuensinya, kekuatan militer dan pengaruh politik GAM
semakin kuat karena banyaknya masyarakat Aceh yang berpaling dan mendukung
pemberontakan, terutama yang berasal dari korban DOM. Perubahan ini mengangkat citra
GAM di mata masyarakat Aceh dari yang sebelumnya hanya sebuah kelompok marginal
menjadi perwakilan dan simbol perlawanan masyarakat Aceh melawan pemerintah Indonesia.

Pada akhir tahun 2004, provisi Aceh yang sebelumnya kurang dikenal, mengejutkan
dunia internasional bertepatan pada tanggal 26 Desember 2004 ketika bencana dasyat gempa
dan gelombang Tsunami menghantam pulau Sumatra di bagian timur bibir pantai Samudra
India di Barat. Lebih dari 160,000 jiwa meninggal dunia, atau lebih dari 4% dari jumlah total
populasi Aceh, yang mayoritasnya adalah perempuan. Jutaan dollar AS pada sektor
infrastruktur publik dan privat hancur hanya dalam hitungan menit. Tidak lama setelahnya,
damai menjadi sebuah pilihannya yang sangat mungkin karena pemerintah Indonesia, yang
sedang melakukan operasi militer menumpas pemberontakan lebih dari 25 tahun, kembali ke
meja perundingan dengan pemberontak sensionis yang dikenal dengan Gerakan Aceh
Merdeka.

Semenjak perundingan tersebut, kondisi politik, ekonomi, dan sosial budaya di Aceh
dratis berubah. Aceh sangat bangga dengan sebutan Serambi Mekkah. Sebutan yang
mengambarkan bahwa Islam merupakan pusat ajaran, pikiran dan kehidupan masyarakat
Aceh, apalagi dengan ditetapkan syariat islam dengan legal walau masih ada sedikit pro-
kontra terhadap penyusunan qanun-qanut tersebut.3

3
Ibid. Hlm 25-26

Você também pode gostar