Você está na página 1de 19

UNIVERSITAS JEMBER

LAPORAN KASUS

ASUHAN KEPERAWATAN PADA Tn. P DENGAN CEREBRO VASCULAR


ACCIDENT (CVA) Subarachnoid DI RUANG 26 RUMAH SAKIT UMUM
DAERAH dr. SAIFUL ANWAR MALANG

OLEH:
Shofiyatul Aini Fuadi, S. Kep.
NIM 182311101071

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN PROFESI NERS


FAKULTAS KEPERAWATAN
UNIVERSITAS JEMBER
2018
LAPORAN PENDAHULUAN

A. Konsep Teori tentang Penyakit


1. Review Anatomi Fisiologi

Gambar
1. Struktur
Neuron
(sumber:
Buku Ajar
Asuhan Keperawatan Klien dengan Gangguan Sistem Persarafan, 2008)

Sistem persarafan terdiri dari sel saraf (neuron) dan sel penyokong
(neuroglia dan sel Schwann). Kedua jenis sel tersebut berkaitan erat
dan terintegrasi satu sama lain sehingga bersama-sama berfungsi
sebagai satu unit.
a) Neuron
Susunan saraf pusat manusia terdiri dari kurang lebih 100 miliar
neuron.Neuron adalah suatu sel saraf dan merupakan unit
anatomi dan fungsional sistem persarafan.Neuron memiliki
berbagai bentuk dan ukuran yang berbeda, salah satunya adalah
tipe neuron multipolar yang paling banyak terdapat di dalam
sistem saraf pusat.
b) Badan sel
Badan sel lebih besar dan mengelilingi nukleus yang di dalamnya
terdapat nucleolus.Di sekelilingnya terdapat perikarion yang
berisi neurofilamen yang berkelompok yang disebut neurofibril.

c) Dendrit
Dendrit adalah tonjolan yang menghantarkan informasi menuju
badan sel. Pada korteks serebri dan serebellum, dendrit
mempunyai tonjolan-tonjolan kecil bulat yang disebut tonjolan
dendrit.Neuron tertentu mempunyai akson fibrosa yang panjang
yang berasal dari daerah yang agak tebal di badan sel yaitu akson
hilok (bukit akson).
d) Akson
Akson adalah tonjolan tunggal dan panjang yang menghantarkan
informasi keluar dari badan sel. Dendrit dan akson secara kolektif
sering disebut sebagai serabut saraf.Kemampuan untuk
menerima, menyampaikan, dan meneruskan pesan-pesan neural
disebabkan sifat khusus membrane sel neuron yang mudah
dirangsang dan dapat menghantarkan pesan elektrokimia.
e) Neuroglia
Neuroglia adalah sel penyokong untuk neuron-neuron SSP,
sedangkan sel Schwann menjalankan fungsi tersebut pada SST.
Neuroglia menyusun 40% volume otak dan medulla spinalis.
Neuroglia jumlahnya lebih banyak dari sel-sel neuron dengan
perbandingan sekitar sepuluh banding satu.Ada empat sel
neuroglia yaitu mikroglia yang bertugas untuk mencerna sisa-sisa
jaringan yang rusak; ependimal yang berperan dalam
memproduksi cairan serebrospinal (CSS) dan membatasi sistem
ventrikel SSP; astroglia sebagai barier darah dan otak,
memperbaiki kerusakan jaringan neuron, dan menjaga perubahan
interstisial; oligodendroglia atau oligodendrosit yang memiliki
silinder sitoplasma yang panjang dan merupakan sel glia yang
bertanggung jawab menghasilkan myelin dalam SSP.
f) Sel Schwann
Sel Schwann membentuk myelin maupun neurolema saraf
tepi.Membrane plasma sel Schwann secara konsentris
mengelilingi tonjolan neuron SST. Myelin merupakan suatu
kompleks protein lemak berwarna putih yang mengisolasi
tonjolan saraf.Myelin menghalangi aliran ion natrium dan kalium
melintasi membran neuronal.Selubung myelin tidak kontinu di
sepanjang tonjolan saraf dan terdapat celah-celah yang tidak
memiliki myelin yang disebut nodus Ranvier.

Gambar 2.
Fungsional
bagian-bagian sistem saraf pusat (sumber: Arif Muttaqin. 2008. Buku Ajar
Asuhan Keperawatan Klien dengan Gangguan
Sistem Persarafan. Jakarta: Salemba Medika.)

Otak berisi 10 miliar neuron yang menjadi kompleks secara


kesatuan fungsional. Jaringan otak sangat rentan dan kebutuhan akan
oksigen dan glukosa melalui aliran darah adalah konstan. Metabolism
otak merupakan proses tetap dan kontinu tanpa ada istirahat. Bila
aliran darah berhenti selama 10 detik maka kesadaran mungkin sudah
akan hilang, dan penghentian dalam beberapa menit dapat
menimbulkan kerusakan yang tidak ireversibel. Aktivitas otak
berkaitan dengan fungsinya sebagai pusat integrasi dan koordinasi
organ-organ sensorik dan sistem efektor perifer tubuh, di samping
berfungsi sebagai pengatur informasi yang masuk, simpanan
pengalaman, impuls yang keluar, dan tingkah laku.Otak manusia
mengandung hampir 98% jaringan saraf tubuh.
SSP juga sangat bergantung pada keadekuatan aliran darah
untuk nutrisi dan pembuangan sisa metabolisme. Suplai darah arteria
ke otak merupakan suatu jalinan pembuluh-pembuluh darah yang
bercabang, berhubungan erat satu dengan yang lain sehingga dapat
menjamin suplai darah yang adekuat untuk sel. Suplai darah ini juga
dijamin oleh dua pasang arteria, yaitu arteria vertebralis dan arteria
karotis interna, yang memiliki cabang yang beranastomosis
membentuk sirkulus arteriosus serebri Willisii.
Aliran vena otak tidak selalu parallel dengan suplai darah
arteria; pembuluh vena meninggalkan otak melalui sinus dura yang
besar dan kembali ke sirkulasi umum melalui vena jugularis interna.
Letak arteria medulla spinalis dan sistem vena parallel satu dengan
yang lain dan mempunyai hubungan percabangan yang luas untuk
mencukupi suplai darah ke jaringan-jaringan otak.
Gambar 3. Arteri-arteri dalam otak dilihat dari sisi inferior menggambarkan
distribusi arteri ke dalam otak (sumber: Arif Muttaqin. 2008. Buku Ajar
Asuhan Keperawatan Klien dengan Gangguan Sistem Persarafan.
Jakarta: Salemba Medika.

B. KONSEP TEORI
1. Definisi CVA SAH
Stroke atau cedera serebrovaskular (CVA) adalah kehilangan
fungsi otak yang diakibatkan oleh berhentinya suplai darah ke bagian otak
atau yng biasanya diakibatkan oleh trombosis, embolisme, iskemia dan
hemoragi (Smeltzer & Bare, 2002). Istilah stroke atau penyakit
serebrovaskular mengacu kepada setiap gangguan neurologik mendadak
yang terjadi akibat pembatasan atau berhentinya aliran darah melalui
sistem suplai arteri otak. Istilah stroke biasanya digunakan secara spesifik
untuk menjelaskan infark serebrum (Price, 2006). Berdasarkan
klasifikasinya stroke dibagi menjadi stroke hemorragic dan non
hemorragic. Stroke Hemoragi merupakan stroke karena pecahnya
pembuluh darah sehingga menghambat aliran darah yang normal dan
darah merembes ke dalam suatu daerah otak dan merusaknya (Pudiastuti,
2011)
Subarakhnoid Hemorragic (SAH) adalah perdarahan yang terjadi
di ruang subarakhnoid, yaitu ruang diantara lapisan dalam (Pia meter) dan
lapisan tengah (Arakhnoid meter) dari jaringan selaput otak (Meningens).
(Smeltzer & Bare, 2002)

2. Etiologi
Penyebab CVA salah satunya yaitu terjadinya perdarahan pada
serebral. Perdarahan/hemorragic serebral yaitu pecahnya pembuluh darah
serebral dengan perdarahan kedalam jaringan otak atau ruang sekitar otak.
Hemoragi dapat terjadi diluar durameter (hemoragi ekstradural dan
epidural), dibawah durameter (hemoragi subdural), diruang subarakhnoid
(hemoragi subarakhnoid) atau didalam subtansi otak (hemoragi
intraserebral) (Smeltzer, 2002).
Beberapa faktor yang menyebabkan stroke menurut Nurarif &
Kusuma (2015), diantaranya:
a. Faktor riwayat penyakit sistemik
1) Hipertensi
2) Kolesterol tinggi
3) Obesitas
4) Diabetes Melitus
b. Faktor Pola hidup
1) Merokok
2) Peminum alkohol
3) Obat-obatan terlarang
4) Aktivitas / perilaku yang tidak sehat: Kurang olahraga,
stress emosional, makanan berkolesterol

3. Patofisiologi

Perdarahan Subarachnoid (SAH) Pecahnya pembuluh darah karena


aneurisma atau malformasi arteriovenosa (AVM). Aneurisma paling sering
didapat pada percabangan pembuluh darah besar di sirkulasi willisi. AVM
dapat dijumpai pada jaringan otak dipermukaan pia meter dan ventrikel otak,
ataupun didalam ventrikel otak dan ruang subarakhnoid. Pecahnya arteri dan
keluarnya darah keruang subarakhnoid mengakibatkan tarjadinya peningkatan
TIK yang mendadak, meregangnya struktur peka nyeri, sehinga timbul nyeri
kepala hebat. Sering pula dijumpai kaku kuduk dan tanda-tanda rangsangan
selaput otak lainnya. Peningkatam TIK yang mendadak juga mengakibatkan
perdarahan subhialoid pada retina dan penurunan kesadaran. Perdarahan
subarakhnoid dapat mengakibatkan vasospasme pembuluh darah serebral.
Vasospasme ini seringkali terjadi 3-5 hari setelah timbulnya perdarahan,
mencapai puncaknya hari ke 5-9, dan dapat menghilang setelah minggu ke 2-
5. Timbulnya vasospasme diduga karena interaksi antara bahan-bahan yang
berasal dari darah dan dilepaskan kedalam cairan serebrospinalis dengan
pembuluh arteri di ruang subarakhnoid. Vasospasme ini dapat mengakibatkan
disfungsi otak global (nyeri kepala, penurunan kesadaran) maupun fokal
(hemiparese, gangguan hemisensorik, afasia dan lain-lain).
4. Manifestasi Klinis
Manifestasi klinis stroke tergantung dari sisi atau bagian mana yang
terkena, rata-rata serangan, ukuran lesi dam adanya sirkulasi kolateral.
Tanda dan gejala stroke akut secara umum meliputi:
a. Kelumpuhan wajah atau anggota badan sebelah (hemiparasis) yang
timbuk secara tiba-tiba / mendadak
b. Gangguan sensibilitas pada satu atau lebih anggota badan
c. Penurunan kesadaran (konfusi, delirium, letargi, stupor, atau koma)
d. Afasia (kesulitan dalam bicara)
e. Disatria (bicara cadel atau pelo)
f. Gangguan penglihatan
g. Nyeri kepala hebat
h. Vertigo, mual dan muntah

Berikut perbedaan manifestasi dari stroke hemoragik

Menurut Hunt dan Hess (1968) dalam Dewanto et al, gejala CVA SAH dapat
dilihat dari derajatnya:
DERAJAT GCS GEJALA
1 15 Asimtomatik atau nyeri kepala minimal serta kaku
kuduk ringan
2 15 Nyeri kepala moderat sampai berat, kaku kuduk, defisit
neurologis tidak ada selain parase saraf otak
3 13-14 Kesadaran menurun
4 8-12 Stupor, hemiparesis moderate sampai berat, permulaan
desebrasi, gangguan kognitif
5 3-7 Koma berat, deserebrasi
Pasien dengan perdarahan sub arachnoid didapatkan gejala klinis nyeri kepala
mendadak, adanya tanda rangsang meningeal (mual, muntah,
fotofobia=intoleransi cahaya, kaku kuduk), penurunan kesadaran, serangan
epileptik, defisit neurologis lokal (disfasia, hemiparesis, hemihipestesia
(berkurangnya ketajaman sensasi pada satu sisi tubuh). Kesadaran terganggu dan
sangat bervariasi. Ada gejala/tanda rangsangan meningeneal. Edema papil dapat
terjadi bila perdarahan sub arrachnoid karena pecahnya aneurisma pada arteri
(dewanto, et al. 2009). Onset dari gejalanya biasanya tiba-tiba perjalanan penyakit
perdarahan subarochnoid yang khas dimulai dengan sakit kepala yang sangat
hebat (berbeda dengan sakit kepala biasa, onset biasanya )1-2 detik hingga ) menit
dan sakit kepalanya sedemikian rupa sehingga mengganggu aktivitas yang
dilaksanakan oleh penderita. Sakit kepala makin progresi, kemudian diikuti nyeri
dan kekakuan pada leher, mual muntah sering dijumpai perubahan kesadaran
(50%) kesadaran hilang umumnya 1-2 jam, kejang sering dijumpai pada fase akut
(sekitar 10-15%) perdarahan subarochnoid sering diakibatkan oleh arterivena
mal$ormasi. 8mumnya onset saat melakukan aktivitas 24-36 jam setelah onset
dapat timbul febris yang menetap selama beberapa hari.
5. Pemeriksanaan Penunjang
a. CT-scan:
Hasil yang di dapatkan menunjukkan bahwa darah SAH pada CT
Scan tanpa bentuk berarti pada ruang subarakhnoid disekitar otak,
kemudian membentuk sesuatu yang secara normal berwarna gelap
muncul menjadi putih.

Sedangkan lokasi darah pada umumnya terdapat di basal cisterns, fisura


sylvian, atau fisura interhemisper yang mengindikasikan ruptur saccular
aneurysma. Darah berada di atas konfeksitas atau dalam parenkim
superfisial otak sering mengindikasikan arteriovenous malformation atau
mycotic aneurysm rupture.

b. Pungsi lumbal: menunjukkan adanya tekanan normal dan biasanya


ada thrombosis, emboli serebral, dan TIA (Transient Ischaemia
Attack) atau serangan iskemia otak sepintas. Tekanan meningkat dan
cairan yang mengandung darah menunjukkan adanya hemoragik
subarakhnoid atau perdarahan intra kranial. Kadar protein total
meningkat pada kasus thrombosis sehubungan dengan adanya proses
inflamasi.
c. MRI (Magnetic Resonance Imaging): menunjukkan daerah yang
mengalami infark, hemoragik, dan malformasi arteriovena.
d. EEG (Electroencephalography): mengidentifikasi penyakit didasarkan
pada gelombang otak dan mungkin memperlihatkan daerah lesi yang
spesifik.
e. Sinar X: menggambarkan perubahan kelenjar lempeng pineal daerah
yang berlawanan dari massa yang meluas, kalsifikasi karotis interna
terdapat pada thrombosis serebral.

6. Penatalaksanaan
a. Penanganan awal fase akut
1) Kontrol tekanan darah
Rekomendasi dari American Heart Organization/ American
Strouke Association guideline 2009 merekomendasikan terapi
tekanan darah bila > 180 mmHg. Tujuan yang ingin dicapai adalah
tekanan darah sistolik ≥140 mmHg, dimaksudkan agar tidak
terjadi kekurangan perfusi bagi jaringan otak. Pendapat ini masih
kontroversial karena mempertahankan tekanan darah yang tinggi
dapat juga mencetuskan kembali perdarahan. Nilai pencapaian
CPP 60 mmHg dapat dijadikan acuan untuk mencukupi perfusi
otak yang cukup.
2) Terapi anti koagulan
Dalam 24 jam pertama diagnosa perdarahan serebral ditegakkan
dapat diberikan antikoagulan. Pemberian yang dianjurkan adalah
fres frozen plasma diikuti oleh vitamin K oral. Perhatikan waktu
pemberian antikoagulan agar jangan melebihi 24 jam.
Dimasudkan untuk menghindari tejadinya komplikasi.

b. Penanganan peningkatan TIK


1) Elevasi kepala 300C
Dimaksudkan untuk melakukan drainage dari vena-vena besar di
leher seperti vena jugularis.
2) Pemantauan ketat terhadap resiko edema serebri harus dilakukan
dengan memperhatikan perburukan gejala dan tanda neurologik
pada hari pertama stroke
3) Hindari pemberian cairan glukosa atau cairan hipotonik
4) Hindari hipertermia
c. Pengendalian kejang
1) Bila kejang berikan diazepam bolus lambat IV 5-20 mg dan diikuti
pheniton loading lose 15-20 mg/kg bolus dengan kecepatan
maksimum 50 mg/ menit
2) Pada stroke perdarahan intraserebral dapat diberikan obat
antiepielpsi profilaksis, selama 1 bulan dan kemudian diturunkan
dan dihentikan bilakejang tidak ada
d. Pengobatan Pembedahan
Tujuan utama adalah memperbaiki aliran darah serebral:
1. Endosterektomi karotis membentuk kembali arteri karotis,yaitu
dengan membuka arteri karotis di leher
2. Revaskularisasi terutama merupakan tindakan pembedahan dan
manfaatnya paling dirasakan oleh pasien TIA
3. Evaluasi bekuan darah dilakukan pada stroke akut
4. Ugasi arteri karotis komunis di leher khusunya pada aneurisma
C. Konsep Asuhan Keperawatan

1. Pengkajian
a. Identitas Klien: nama, umur, jenis kelamin, agama, pendidikan, alamat,
pekerjaan, status perkawinan.
b. Keluhan utama
Didapatkan keluhan kelemahan anggota gerak sebelah kanan, bicara pelo
tidak dapat berkomunikasi,atau dengan kondisi langsung tidak sadar
c. Pengkajian Keperawatan
Penggunaan pengkajian Gordon, yang meliputi 11 aspek yaitu, persepsi
kesehatan & pemeliharaan kesehatan, pola nutrisi/metabolik, pola eliminasi,
pola aktivitas & latihan, pola tidur & istirahat, pola kognitif & perceptual,
pola persepsi diri, pola seksualitas & reproduksi, pola peran & hubungan,
pola manajemen & koping stress, sistem nilai dan keyakinan
d. Pemeriksaan fisik
1) Keadaan umum, tanda vital
2) Pengkajian Fisik (inspeksi, palpasi, perkusi, auskultasi): kepala, mata,
telinga, hidung, mulut, leher, dada, abdomen, urogenital, ekstremitas, kulit
dan kuku, dan keadaan lokal.
Menurut Muttaqin (2008), data pengkajian yang dapat ditemukan pada
klien yang mengalami cidera otak adalah sebagai berikut:
a) Breathing
Jika terjadi kompresi pada batang otak akan mengakibatkan gangguan
irama jantung, sehingga terjadi perubahan pada pola napas, kedalaman,
frekuensi maupun iramanya, bisa berupa Cheyne Stokes atau Ataxia
breathing. Napas berbunyi, stridor, ronkhi, wheezing (kemungkinan karena
aspirasi), cenderung terjadi peningkatan produksi sputum pada jalan napas
yang dapat menyebabkan suara nahfas ronkhi pada klien.
b) Blood
Efek peningkatan tekanan intrakranial terhadap tekanan darah bervariasi.
Tekanan pada pusat vasomotor akan meningkatkan transmisi rangsangan
parasimpatik ke jantung yang akan mengakibatkan denyut nadi menjadi
lambat, merupakan tanda peningkatan tekanan intrakranial. Perubahan
frekuensi jantung (bradikardia, takikardia yang diselingi dengan
bradikardia, disritmia).
c) Brain
Gangguan kesadaran merupakan salah satu bentuk manifestasi adanya
gangguan otak. Kehilangan kesadaran sementara, amnesia seputar
kejadian, vertigo, sinkope, tinitus, kehilangan pendengaran, baal pada
ekstrimitas. Bila perdarahan hebat/luas dan mengenai batang otak akan
terjadi gangguan pada nervus cranialis, maka dapat terjadi :
1. Perubahan status mental (orientasi, kewaspadaan, perhatian,
konsentrasi, pemecahan masalah, pengaruh emosi/tingkah laku dan
memori)
2. Perubahan dalam penglihatan, seperti ketajamannya, diplopia,
kehilangan sebagian lapang pandang, foto fobia
3. Perubahan pupil (respon terhadap cahaya, simetri), deviasi pada mata.
4. Terjadi penurunan daya pendengaran, keseimbangan tubuh.
5. Sering timbul hiccup/cegukan oleh karena kompresi pada nervus
vagusmenyebabkan kompresi spasmodik diafragma.
6. Gangguan nervus hipoglosus. Gangguan yang tampak lidah jatuh
kesalah satu sisi, disfagia, disatria, sehingga kesulitan menelan.
7. Pemeriksaan GCS
8. Pemeriksaan saraf kranial
d) Bladder
Pada cidera kepala sering terjadi gangguan berupa retensi, inkontinensia
urin, dan ketidakmampuan menahan miksi.
e) Bowel
Terjadi penurunan fungsi pencernaan, bising usus lemah, mual, muntah
(mungkin proyektil), kembung dan mengalami perubahan
selera. Gangguan menelan (disfagia) dan terganggunya proses eliminasi
alvi.
f) Bone
Klien cidera kepala sering datang dalam keadaan parese, paraplegi. Pada
kondisi yang lama dapat terjadi kontraktur karena imobilisasi dan dapat
pula terjadi spastisitas atau ketidakseimbangan antara otot-otot antagonis
yang terjadi karena rusak atau putusnya hubungan antara pusat saraf di
otak dengan refleks pada spinal selain itu dapat pula terjadi penurunan
tonus otot.
e. Terapi, pemeriksaan penunjang & laboratorium

2. Diagnosa Keperawatan
Diagnosa keperawatan yang mungkin muncul adalah:
1. Resiko Ketidakefektifan perfusi jaringan otak
berhubungan dengan perdarahan cerebri, ketidakseimbangan suplai oksigen
dan darah ke otak
2. Ketidakefektifan bersihan jalan nafas
berhubungan dengan penumpukan secret, penurunan kesadaran
3. Hambatan mobilitas fisik berhubungan dengan
kelemahan neuromuscular
4. Defisit perawatan diri berhubungan dengan
penurunan kesadaran dan kelemahan neuromuscular
5. Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari
kebutuhan tubuh berhubungan dengan peningkatan tekanan intra kranial
6. Risiko kerusakan integritas kulit dengan faktor
risiko imobilisasi
7. Risiko cidera dengan faktor risiko penurunan
status kesadaran
No Diagnosa Tujuan dan Kriteria Hasil Rencana Keperawatan
Keperawatan

1. Risiko Setelah dilakukan tindakan NIC: Bleeding reduction wound


ketidakefektifan keperawatan....x24 jam pasien 1. Monitor tanda-tanda vital (nadi,
perfusi jaringan menunjukkan perfusi jaringan RR, dan tekanan darah)
otak berhubungan 2. Berikan posisi elevasi pada area
otak yang baik dengan kriteria
dengan perdarahan yang mengalami perdarahan
cerebri, hasil: 3. Monitor jumlah input dan
ketidakseimbangan output cairan
1. Menunjukkan status
suplai oksigen dan
sirkulasi yang baik ditandai
darah ke otak
dengan: tekanan systole NIC: peripheral sensation
(110-130mmHg), tekanan management
diastole (<85mmHg), tidak 4. Monitor adanya daerah tertentu
ada hipotensiortostatik, yang peka terhadap rangsang
tidak ada peningkatan 5. Monitor adanya paratese
tekanan intracranial (<15
mmHg) 6. Batasi gerakan pada kepala
2. Menunjukkan kemampuan leher, dan punggung
kognitif yang baik ditandai
dengan dapat
berkomunikasi dengan jelas
sesuai kemampuan,
menuunjukkan kemampuan
perhatian, konsentrasi, dan
oreientasi
3. Menunjukkan fungsi
sensori motori cranial yang
baik ditandai dengan
tingkat kesedaran
membaik, tidak ada
gerakan involunter
NOC: circulation status, tissue
perfusion: cerebral

2. Ketidakefektifan Setelah dilakukan tindakan NIC: Airway management


bersihan jalan nafas keperawatan ....x24 jam pasien 1. Auskultasi suara nafas, catat
berhubungan memiliki jalan nafas yange adanya suara tambahan
dengan 2. Identifikasi pasien perlunya
yang paten dengan kriteria
penumpukan pemasangan alat jalan nafas
secret, penurunan hasil: buatan
kesadaran 3. Buka jalan nafas, gunakan
1. Pasien dapat menunjukkan
metode head tilt chin lift atau
suara nafas yang bersih,
jaw thrust jika perlu
tidak ada syanosis dan 4. Posisikan pasien untuk
dyspneu (sputum dapat memaksimalkan ventilasi
keluar, mampu bernafas 5. Keluarkan secret dengan batuk
dengan mudah) atau suction
2. Pasien menunjukkan jalan 6. Ajarkan teknik batuk efektif jika
nafas yang paten (klien pasien mampu
tidak merasa tercekik, 7. Berkolaborasi pemberian
bronkodilator jika perlu
irama nafas, frekuensi
nafas 16-20 kali per menit,
tidak ada suara nafas
ronkhi dan wheezing)
3. Hambatan Setelah dilakukan tindakan NIC: Exercise therapy: ambulation
mobilitas fisik keperawatan ...x 24 jam pasien 1. Kaji kemampuan pasien dalam
berhubungan dapat mobilisasi secara mobilisasi
dengan kelemahan 2. Monitor tanda vital sebelum dan
bertahapa dengan kriteria hasil:
neuromuskuler sesudah latihan
1. Kemampuan klien dalam 3. Ajarkan pasien tentang teknik
beraktifitas meningkat ambulasi
2. Mengungkapkan perasaan 4. Ajarkan pasien bagaimana
terkait penigkatan merubah posisi dan berikan
kemampuan berpindah bantuan jika diperlukan
3. Memperagakan penggunaan 5. Konsultasikan dengan terapi
alat bantu untuk mobilisasi fisik tentang rencana ambulasi
sesuai kebutuhan
4. Defisit perawatan Setelahh dilakukan tindakan NIC: Self Care Assistance hygiene
diri berhubungan keperawatan…x24 jam pasien 1. Menentukan jumlah dan jenis
dengan penurunan dapat menunjukkan bantuan yang dibutuhkan pasien
kesadaran dan kemampuan perawatan diri 2. Memfasilitasi pasien untuk
kelemahan dengan kriteria hasil: hygiene oral
neuromuscular 3. Fasilitasi pasien mandi
1. Pasien dapat memenuhi 4. Memanatau integritas kulit
kebutuhan ADL amndiri pasien
atau dengan alat bantu 5. Mengajarkan pasien dan
2. Pasein mampu keluarga tentang menjaga
memeprtahankan kebersihan kebersihan diri
dan penampilan yang rapi
secara mandiri atau dnegan
alat bantu.
DAFTAR PUSTAKA

Nurarif, A. H, Hardhi Kusuma.2015. Aplikasi Asuhan Keperawatan Berdasarkan


Diagnosa Medis & NANDA NIC-NOC. Jogjakarta: Mediactoin Publishing

Moorhead, Sue., et al. Tanpa tahun. Nursing Outcomes Classification (NOC).


Mosby Elsevier.
Muttaqin, A. 2008. Buku Ajar Asuhan Keperawatan Klien dengan Gangguan
Sistem Persarafan. Jakarta: Salemba Medika.
NANDA. 2015. Nursing Diagnosis Definitions and Classification. Wiley-
Blackwell.
Price, Sylvia A & Wilson, Lorrain M. 2011. Patofisiologi Konsep Klinis dan Proses-
Proses Penyakit. Jakarta: EGC

Smeltzer, Suzanne C., dan Bare Brenda G. 2002. Keperawatan Medikal-Bedah


Brunner & Suddarth. Edisi 8. Jakarta: EGC.

Você também pode gostar