Você está na página 1de 28

ANALISIS KEBIJAKAN PERATURAN PEMERINTAH RI

NO 55 TAHUN 2007 TENTANG PENDIDIKAN AGAMA

DI MIM KLASEMAN GATAK SUKOHARJO

Makalah Ini

Disusun Guna Memenuhi Tugas

Mata Kuliah : Analisis Kebijakan Pendidikan Islam


Dosen Pengampu : Dr. Agus Maimun, M.Pd

Disusun Oleh:
Maghfiroh Puji Hastuti
NIM. 26.10.7.3.044

PROGRAM PASCA SARJANA


MANAJEMEN PENDIDIKAN ISLAM INSTITUT
AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN) SURAKARTA
2011

1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang

Pendidikan merupakan hak setiap manusia, termasuk hak mendapat

pendidikan agama Islam. Pengelola lembaga pendidikan wajib

memberikan pendidikan agama sesuai agama yang dianut siswa. Secara

yuridis, ketentuan ini tertuangkan dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun

2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional Republik Indonesia Bab V pasal

12 ayat 1 poin a yang menyatakan setiap peserta didik pada satuan

pendidikan berhak mendapatkan pendidikan agama sesuai dengan agama

yang dianutnya dan diajarkan oleh pendidik yang seagama”.

Idealitas pendidikan agama ini berlaku pada seluruh satuan

pendidikan di Indonesia. Siswa muslim yang berada di sekolah non

muslim memiliki hak untuk mendapatkan pendidikan agama Islam dan

diajarkan oleh guru yang beragama Islam. Begitu juga semua siswa yang

beragama selain Islam. Meski secara teoritis dan yuridis telah ditegaskan,

namun pelaksanaan Pendidikan Agama Islam (PAI) di sekolah, terutama

sekolah non muslim, masih banyak kendala dan problem serius dan

komplek, baik dari sisi pelaksanaan maupun metodologi pembelajaran.

Hasil kajian para pakar pendidikan Islam menyatakan masih banyak

kendala dalam pelaksanaan pendidikan agama Islam di sekolah, terutama

di sekolah non muslim. Kajian Arief Furchan tentang pelaksanaan

pendidikan agama Islam di sekolah menyatakan, pembelajaran PAI masih


banyak problemnya, di antaranya adalah problem metodologis. Selama ini,

metode pembelajaran PAI masih monoton dan menggunakan konsep

pembelajaran tradisional sehingga tidak kontekstual.

Berdasarkan studi awal, peneliti melihat bahwa pelaksanaan

pendidikan agama Islam di sekolah non muslim cukup beragam

bentuknya. Bahkan sebagian sekolah cenderung belum menerapkan

konsep pendidikan agama Islam sesuai landasan yuridis dalam perundang-

undangan di Indonesia.

Praktik pemberian pendidikan agama Islam di sekolah non muslim

cukup beragam bentuknya. Ada sekolah non muslim yang mendatangkan

guru agama Islam di sekolah untuk memberikan pembelajaran agama

Islam bagi siswa yang beragama Islam, ada juga sekolah non muslim yang

tidak mendatangkan guru agama Islam ke sekolah dengan berbagai

pertimbangan. Sebagian sekolah meminta siswa dan orangtuanya, pada

saat pendaftaran siswa baru, untuk mengisi form yang berisi,

pendidikanagama diserahkan kepada keluarga atau ulama serta tidak akan

menuntut untuk guru agama Islam di sekolah.

Selain itu, hasil studi awal menunjukkan model pembelajaran PAI

pada sekolah non muslim memiliki karakteristik dan keunikan tersendiri

dibandingkan dengan pelaksanaan pendidikan agama Islam di sekolah

umum atau madrasah pada umumnya. Hal ini dipengaruhi kebijakan,

kurikulum, dan atmosfer ideologi sekolah.

3
Posisi ideologi selain sebagai tata pengatahuan mendalam, juga

dapat dijadikan sebagai pola gagasan khusus yang dinamis serta berfungsi

sebagai pengarah tindakan sosial.

Oleh sebab itu, arah pengelolaan sekolah non muslim, sebagai

lembaga pendidikan berciri khas agama, cenderung mengacu pada sistem

ideologi yang telah menjadi sistem keyakinan. Kebijakan sekolah, model

interaksi antar warga sekolah, serta pembentukan lingkungan pendidikan

dilakukan sesuai ideologi yang telebur dalam visi dan misi sekolah.

Pembahasan tentang ideologi dalam praksis gerakan sosial

dijelaskan penelitian Syamsul Arifin, yang menyatakan agama dalam

gerakan sosial dapat dikonstruks sebagai ideologi.

Pembentukan ideologi berbasis agama dalam lembaga pendidikan

pun dapat terjadi dan menjadi fenomena di sekolah berciri khas agama,

termasuk sekolah non muslim. Fenomena ini memang tidak terjadi di

seluruh sekolah non muslim. Namun berdasarkan data pre-research,

peneliti menemukan data awal yang menarik untuk dikaji secara ilmiah.

Terdapat gejala dan fenomena yang menunjukkan adanya kesenjangan

antara teori, kebijakan dan praktik (gap of practice) pelaksanaan PAI di

sekolah non muslim.

Kebijakan formal pemerintah mewajibkan seluruh satuan

pendidikan untuk memberikan pendidikan agama sesuai agama siswa dan

diajarkan oleh guru yang seagama. Tetapi dalam praktiknya, belum semua
sekolah menjalankan kebijakan pendidikan agama secara utuh, yang salah

satu faktornya adalah adanya problem ideologis di lembaga pendidikan.

Terjadi tarik menarik antara kebijakan dengan ideologi yang menjadi ciri

khas sekolah.

Menurut Kuntowijoyo, formalisasi pendidikan agama di sekolah

merupakan faktor penting terjadinya konvergensi sosial dan Islam di

Indonesia. Kewajiban mengikuti PAI di sekolah memberi ruang bagi siswa

dari berbagai latar belakang sosial untuk mempelajari agama melalui guru

agama dan sumber yang sama.

Hasil penelitian Listia, pendidikan agama berada pada lingkaran

problem politik dan sistem pendidikan nasional, yang dinilai belum

berkeadilan. Problem pembelajaran agama sangat beragam, dan sebagian

sekolah belum memberikan pendidikan agama sesuai agama siswa.

Dinamika PAI di sekolan non muslim cukup menarik untuk dikaji

secara ilmiah, karena ada masalah akademik yang perlu dikaji lebih

mendalam melalui penelitian tentang pelaksanaan PAI di sekolah non

muslim. Berdasarkan latar belakang di atas, peneliti menilai penting dan

urgen untuk melakukan kajian pendidikan agama Islam di sekolah non

muslim. Data awal serta fenomena yang telahdiamati peneliti selama ini

dibuktikan melalui kegiatan ilmiah ini.

5
B. Rumusan Masalah

Setelah dinarasikan dalam latar belakang, diidentifikasi, serta

ditentukan batasan masalah, berikut ini dipaparkan rumusan masalah

penelitian sebagai berikut:

1. Bagaimana pelaksanaan pendidikan agama Islam pada MIM Klaseman

Gatak Sukoharjo?

2. Apa saja problematika pendidikan agama Islam pada MIM Klaseman

Gatak Sukoharjo?

3. Bagaimana idealitas pendidikan agama Islam yang sesuai untuk MIM

Klaseman Gatak Sukoharjo?

C. Tujuan Bahasan

Tujuan dalam penuliasn laporan ini adalah sebagai berikut:

1. Untuk mengetahui pelaksanaan pendidikan agama Islam pada MIM

Klaseman Gatak Sukoharjo

2. Untuk mengetahui problematika pendidikan agama Islam pada MIM

Klaseman Gatak Sukoharjo

3. Untuk mengetahui idealitas pendidikan agama Islam yang sesuai untuk

MIM Klaseman Gatak Sukoharjo


D. Metode Penulisan Laporan

Pengumpulan data dilakukan dengan cara: (1) observasi

pertisipatif, (2) wawancara mendalam, (3) analisis dokumentasi. Data

dianalisis secara kualitatif. Teknik analisis data penelitian ini

menggunakan analisis komparatif konstan dengan menerapkan logika

induktif. Peneliti membandingkan kejadian-kejadian yang muncul dengan

tampilan berbeda sesuai lokus atau kasus di setiap sekolah.

Operasionalisasi teknik komparatif konstan, yaitu (1) membandingkan

kejadian yang dapat diterapkan pada tiap kategori; (2) tahap memadukan

kategori dan ciri-cirinya; (3) tahap membatasi lingkup teori; dan (4) tahap

menulis teori.

Pemeriksaan keabsahan data dalam penelitian ini menggunakan

teknik triangulasi, yang dipertajam melalui kegiatan Focus Group

Discussion (FGD).

7
BAB II
DISKRIPSI TENTANG PERATURAN PEMERINTAH NO 55

TAHUN 2007 TENTANG PENDIDIKAN AGAMA DI MIM

KLASEMAN GATAK SUKOHARJO

A. Isu Pokok Peraturan Pemerintah No 55 Tahun 2007 Tentang

Pendidikan Agama

Perkembangan sekolah-sekolah berbasis keagamaan di tanah air

akhir-akhir ini adalah fenomena yang menarik. Di berbagai kota di tanah

air bermunculan dengan pesatnya sekolah berbasis keagamaan, baik itu

Islam ataupun non-Islam. Boleh dikata 80% sekolah-sekolah swasta yang

baru dibuka adalah sekolah berbasis keagamaan, baik itu di kompleks-

kompleks perumahan mewah maupun di daerah-daerah. Sekolah-sekolah

dengan label SDIT/SMPIT (Sekolah Dasar/Menengah Islam Terpadu)

marak didirikan dimana-mana. Sekolah-sekolah berbasis agama Nasrani

juga tidak kurang gencarnya dibuka dimana-mana. TPA-TPA (Taman

Pendidikan AlQur’an) dan Sekolah-sekolah Minggu semakin marak.

Bahkan sekolah-sekolah negeri dan swasta umum juga mulai

menekankan pentingnya peran agama dalam kurikulum mereka.

Fenomena ini muncul sebagai perlawanan dari masyarakat atau titik balik

terhadap paham materialisme yang beberapa waktu yang lalu telah

mencapai puncaknya sehingga seluruh dunia seolah telah berada dalam


genggamannya. Paham ini membonceng pada modernisasi dan melahirkan

‘anak’ pahamnya seperti hedonisme, pornografi, konsumerisme, kultur

MTV, dan lain-lain. Yang disebut oleh Benjamin Barber, seorang ilmuwan

politik sebagai ‘The McWorld’.

Sebagaian besar masyarakat merasa cemas dengan dampak

modernisasi kemudian memilih untuk ‘mensterilkan’ anak-anak mereka

dari pengaruh tersebut dengan memasukkan anak-anak mereka di pondok-

pondok pesantren, seminari atau biara-biara tradisional dengan pola

pengajaran dan lingkungan yang jauh dari pengaruh modernisasi. Mereka

berpikir bahwa hal tersebut dapat menyelamatkan anak-anak mereka dari

pengaruh kehidupan luar yang dianggap sudah tidak bisa ditolerir tersebut.

Tak sedikit orang tua dari kalangan menengah yang melakukan hal ini

dengan harapan bahwa hal ini akan dapat menyelamatkan anak-anak

mereka dari ‘The McWorld’. Pesantren-pesantren tradisional maupun yang

berlabel modern menjadi laku keras.

Dalam rangka merespon aspirasi masyarakat tersebut dan untuk

memposisikan pendidikan agama dan keagamaan yang sangat penting itu

dalam keseluruhan rancang bangun jati diri bangsa Indonesia ini, serta

sebagai penjabaran UU No. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan

Nasional (UU SISDIKNAS) atau dalam rangka memenuhi ketentuan

beberapa pasal yang ada dalam undang-undang tersebut, maka pada tangal

5 Oktober 2007 pemerintah mengeluarkan Peraturan Pemerintah No. 55

Tahun 2007 tentang pendidikan agama dan keagamaan.

9
Kaidah-kaidah hukum di dalam Peraturan Pemerintah No. 55 Tahun 2007

tentang Pendidikan Agama dan Pendidikan Keagamaan mengatur

pengertian, fungsi, jenis dan jenjang pendidikan agama dan keagamaan,

pengelolaan dan penyelenggaraan, kurikulum dan sistem penilaian sebagai

norma-norma yang harus ditaati dalam proses pelaksanaan pendidikan

agama dan penyelenggaraan pendidikan keagamaan. Dengan demikian

terdapat sanksi administratif bagi yang menyimpang dari ketentuan-

ketentuan tersebut.

Dalam tulisan ini akan dibahas tentang pendidikan agama dan

keagamaan dalam lintasan sejarahnya, produk kebijakan yakni, Peraturan

Pemerintah No. 55 Tahun 2007 tentang pendidikan agama dan keagamaan

yang kemudian akan dianalisa dampak dari produk kebijakan itu,

khususnya dalam tahap implementasi dan respon masyarakat serta dunia

pendidikan pada umumnya.

B. Isu-Isu Strategis Peraturan Pemerintah No 55 Tahun 2007 Tentang

Pendidikan Agama

Salah satu usaha pemerintah yang sangat penting dan mendasar

dalam upaya memajukan kesejahteraan umum dan mencerdaskan

kehidupan bangsa sebagaimana diamanatkan dalam Pembukaan UUD

1945, adalah mengupayakan terlaksananya secara sungguh-sungguh satu

sistem pendidikan nasional. Pasal 31, ayat 3 menegaskan “Pemerintah


menguasahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional

yang meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta akhlak mulia dalam

rangka mencerdaskan kehidupan bangsa yang diatur dengan undang-

undang”.

Untuk melaksanakan amanat tersebut di atas, melalui proses yang

panjang akhirnya diterbitkan Undang-undang No. 2 Tahun 1989 tentang

Sistem Pendidikan Nasional (UUSPN). Undang-undang ini kemudian

disempurnakan lagi pada tahun 2003, menjadi UU Sisdiknas No. 20 Tahun

2003. Dengan undang-undang tersebut, Sistem Pendidikan Nasional

dilaksanakan secara semesta, menyeluruh, dan terpadu. Semesta dalam arti

terbuka bagi seluruh rakyat dan berlaku di seluruh wilayah negara,

menyeluruh dalam arti mencakup semua jalur, jenjang, dan jenis

pendidikan dan terpadu dalam arti adanya saling keterkaitan antara

pendidikan nasional dengan seluruh usaha pembangunan nasional.

Dengan sifatnya yang menyeluruh, seperti dikemukakan di atas,

maka semua bentuk kegiatan pendidikan di Indonesia tercakup dalam

Sistem Pendidikan Nasional, termasuk pendidikan di madrasah dan

pondok pesantren yang diselenggarakan atau dibina oleh Kementerian

Agama dan selama ini lebih dikenal sebagai lembaga pendidikan agama

dan keagamaan. Dengan masuknya madarasah dan pesantren ke dalam

kesatuan Sistem Pendidikan Nasional, mengharuskan dilakukannya

penyesuaian-penyesuaian dalam penyelenggaraan dan pembinaan

madrasah dan pondok pesantren dengan ketentuan dan pokok pikiran yang

11
terdapat dalam UU Sisdiknas.

Di antara ketentuan tersebut adalah pasal 11 UU Sisdiknas yang

menetapkan bahwa Ayat 1 Pemerintah dan Pemerintah Daerah wajib

memberikan layanan dan kemudahan, serta menjamin terselenggaranya

pendidikan yang bermutu bagi setia warga negara tanpa diskriminasi. Ayat

2 Pemerintah dan Pemerintah Daerah wajib menjamin tersedianya dana

guna terselenggaranya pendidikan bagi warga negara yang berusia tujuh

sampai dengan lima belas tahun.

PP No. 55 tahun 2007 tentang Pendidikan Agama dan Pendidikan

Keagamaan. PP ini mengatur Pendidikan Agama di sekolah umum dan

Pendidikan Keagamaan yaitu Islam, Protestan, Katholik, Hindu, Budha,

dan Konghucu. Adapun MI, MTs, dan MA bukan lagi kategori Pendidikan

Keagamaan, tetapi pendidikan umum dibawah Mentri Agama. Dalam PP

tersebut disebutkan bahwasanya Pendidikan Agama adalah pendidikan

yang memberikan pengetahuan dan membentuk sikap, kepribadian, dan

ketrampilan peserta didik dalam mengamalkan ajaran agamanya yang

dilaksanakan sekurang-kurangnya melalui mata pelajaran atau kuliah pada

semua jalur, jenis, dan jenjang pendidikan. Sedangkan Pendidikan

Keagamaan ialah pendidikan yang mempersiapkan peserta didik

untuk dapat menjalankan peranan yang menuntut penguasaan pengetahuan

agama dan atau menjadi ahli ilmu agama dan mengamalkan ajaran

agamanya. Adapun fungsi dan tujuan dari Pendidikan Agama dan


keagamaan sebagaimana dipaparkan dalam PP tersebut adalah sebagai

berikut: fungsi Pendidikan Agama adalah membentuk manusia Indonesia

yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa serta berakhlak

mulia dan mampu menjaga kedamaian dan kerukunan hubungan inter dan

antar umat beragama, berkembangnya peserta didik dalam memahami,

menghayati dan mengamlakan nilai-nilai agama yang menyerasikan

penguasaanya dalam iptek, sedangkan tujuan pendidikan agama adalah

agar berkembangnya kemampuan peserta didik dalam memahami,

menghayati dan mengamalkan nilai-nilai agama yang menyerasikan

penguasaannya dalam ilmu pengetahuan, tekhnologi dan seni.

Adapun Pendidikan Keagamaan mempunyai fungsi

mempersiapkan peserta didik menjadi anggota masyarakat yang

memahami dan mengamalkan nilai-nilai ajaran agamanya dan menjadi

ahli ilmu agama, dan bertujuan agar terbentuknya peserta didik yang

memahami dan mengamalkan nilai-nilai ajaran agamamnya dan menjadi

ahli ilmu agama yang berwawasan luas, kritis, kreatif, inovatif, dan

dinamis.

C. Analisis Peraturan Pemerintah No 55 Tahun 2007 Tentang

Pendidikan Agama

Diterbitkannya PP 55 2007, tidak lepas dari perjalanan panjang

pasang surut keberpihakan kebijakan pemerintah dari masa ke masa.

Melihat jauh ke belakang secara runut, undang-undang sistem pendidikan

13
nasional (UU Sisdiknas) nomor 2 tahun 1989, memposisikan pendidikan

keagamaan sebagai pendidikan luar sekolah (PLS) sama dengan

pendidikan umum, pendidikan jabatan kerja, pendidikan kedinasan dan

pendidikan kejuruan. Lebih rinci penjabaran tentang pendidikan luar

sekolah diatas tertuang dalam peraturan pemerintah (PP) nomor 73 tahun

1991. Konsekwensi logis dari kebijakan itu, jelas menjadikan lembaga

keagamaan tidak dapat perlakuan sejajar dari pemerintah, terutama dalam

hal hak untuk mendapatkan anggaran.

Kondisi itu berubah seiring disahkannya undang-undang sistem

pendidikan nasional (UU Sisdiknas) nomor 20 tahun 2003. Amanat

mendasar yang menjadi inti perubahan adalah isi pasal 15 UU Sisdiknas

yang menyebutkan bahwa jenis pendidikan mencakup pendidikan umum,

kejuruan, akademik, profesi, vokasi, keagamaan dan khusus. Lebih lanjut

isi Pasal 12 ayat (4), Pasal 30 ayat (5), dan Pasal 37 ayat (3), UU Sisdiknas

20 2003, mengamanatkan perlunya menetapkan Peraturan Pemerintah

tentang Pendidikan Agama dan Pendidikan Keagamaan. Karena

mengingat pentingnya penjabaran lebih rinci, untuk mempermudah

pelaksanaan secara tekhnis sebagai panduan di lapangan, maka tepatnya

pada tanggal 5 Oktober 2007, Produk Hukum yang berupa Peraturan

Pemerintah (PP) Nomor 55 Tahun 2007, ditetapkan oleh pemerintah yang

dalam pengelolaannya sesuai dengan PP 55 2007, Pasal 9 ayat 3,

dilakukan oleh Menteri Agama.

UU 1945 menjamin setiap penduduk mendapatkan pendidikan.


Negara berkewajiban memberikan pelayanan pendidikan, termasuk

pendidikan keagamaan. Pendidikan keagamaan sebagaimana diatur dalam

UU No 20 tahun 2003 merupakan salah satu jenis pendidikan. Sebagai

jenis pendidikan, pendidikan keagamaan diatur lebih lanjut dalam

Peraturan Pemerintah No 55 tahun 2007 tentang Pendidikan Agama dan

Pendidikan Keagamaan. Dalam PP tersebut pasal (1) menyebutkan:

pendidikan keagamaan adalah pendidikan yang mempersiapkan peserta

didik untuk dapat menjalankan peranan yang menuntut penguasaan

pengetahuan tentang ajaran agama dan/atau menjadi ahli ilmu agama dan

mengamalkan ajaran agamanya.

Pada penghujung 2007, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono

menetapkan Peraturan Pemerintah No 55 tahun 2007 tentang Pendidikan

Agama dan Pendidikan Keagamaan. Beleid itu mengukuhkan kebijakan

pendidikan dalam Undang-Undang 20 tahun 2003 tentang Sistem

Pendidikan Nasional. Bahwa pendidikan keagamaan adalah bagian

integral sistem pendidikan nasional. Undang-undang ini menjadi tonggak

penting politik pendidikan yang menghapus diskriminasi antara sekolah

negeri dan swasta serta antara sekolah umum dan sekolah keagamaan.

Alokasi anggaran pun, menurut Pasal 12 PP 55 tahun 2007, harus adil

antara sekolah negeri dan swasta.

Lahirnya PP 55 2007 ini, menurut pemakalah pribadi adalah bagian

dari produk politik. Karena kebijakan apapun yang keluar dari pemerintah

tidak bisa dilepaskan dari agenda dan kepentingan penguasa. Biasanya

15
hubungan antara pendidikan dan politik bukan sekadar hubungan saling

mempengaruhi, tetapi juga hubungan fungsional. Lembaga-lembaga dan

proses pendidikan menjalankan sejumlah fungsi politik yang signifikan.

Pendidikan keagamaan dalam hal ini pesantren mempunyai potensi besar

untuk menjadi rebutan penguasa dan atau kelompok elit yang ingin

berkuasa. Selain simbol Islam yang melekat pada diri pesantren, juga

karena kuantitas pesantren yang begitu banyak bertebaran di nusantara ini

dengan basis masanya yang mudah diarahkan hanya dengan kekuatan

pengaruh dan kharisma kiyainya.

Kepentingan pengerahan massa ini, sesuai dengan konteks akan

dilaksanakannya pemilihan saat itu, yaitu pemilihan langsung di setiap

moment pemilihan apapun terutama pemilihan presiden. Mungkin saja

bentuk pengayoman pemerintah melalui kebijakannya, berharap bisa dapat

timbal balik jasa agar dapat dukungan dari kalangan penyelenggara

pendidikan keagamaan terutama pesantren dan kiyainya. Dengan lahirnya

PP 55 tahun 2007 ini minimal memunculkan opini di tengah-tengah

masyarakat bahwa pemerintah saat ini peduli terhadap pendidikan

keagamaan untuk mengambil hati warga pesantren. Dengan kata lain

dikeluarkannya PP 55 tahun 2007 ini adalah upaya pemerintah untuk

melakukan pendekatan dan menjalin hubungan yang harmonis dengan

warga pesantren, bisa jadi dioreintasikan untuk mencari dukungan massa

dalam rangka memperkuat dan memperpanjang masa kepemiampinan

penguasa. Dan hal ini terbukti ampuh dengan terpilihnya kembali Susilo
Bambang Yudoyono sebagai presiden negara kesatuan republik indonesi

untuk kedua kalinya.

Motivasi terselubung lainnya, adalah karena ketulusan pemerintah

untuk memperlakukan sama antara berbagai model pendidikan yang ada.

Terlebih penerimaan hak dan kewajiban yang perlu didapat dari

pemerintah, baik yang bersifat material dan non material. Karena fakta

selama ini menunjukkan bahwa pendidikan keagamaan berada dalam

posisi yang tidak menguntungkan. Diakui atau tidak, secara filosofis

sebenarnya pendidikan keagamaan yaitu diniyah dan pesantren sama saja

dengan pendidikan umum lain, dalam perannya untuk mencerdaskan anak

bangsa. Pesantren mengajarkan dan mendidik generasi anak bangsa

menjadi insan paripurna atau menjadi warga Negara yang baik, sama

seperti lembaga pendidikan umum lainnya. Sikap ini boleh jadi merupakan

langkah pemerintah untuk menebus dosa atas marginalisasi yang dilakukan

terhadap pendidikan keagamaan selama ini yang sudah lama menyimpan

memori panjang diskriminasi anggaran.

17
BAB III
PAPARAN DATA PEMERINTAH NO 55 TAHUN 2007
TENTANG PENDIDIKAN AGAMA

A. Bagaimana pelaksanaan pendidikan agama Islam pada MIM

Klaseman Gatak Sukoharjo

Kebijakan pimpinan sekolah non muslim untuk memberikan

pendidikan agama Islam bagi siswa muslim melewati proses panjang

serta diiringi persoalan yang berbeda antara sekolah satu dengan

sekolah lain. Tarik menarik antar kelompok berkepentingan pun terjadi

selama proses pengambilan keputusan dan pelaksanaan kebijakan.

Temuan penelitian menunjukkan, terjadi tarik menarik pada dua ranah,

yaitu antara misi ideologi dengan misi sosiologi lembaga pendidikan

non muslim. Secara historis, salah satu latar belakang pendirian

sekolah berciri khas agama adalah untuk media dakwah. Keberadaan

sekolah menjadi salah satu media untuk mempertahankan eksistensi

ideologi kelompok kepentingan melalui tindakan sosial, dalam hal ini

pe Persoalan ideologi dalam pelaksanaan PAI di sekolah non muslim

menjadi temuan menarik dalam penelitian ini. Ada sekolah non

muslim yang tetap mempertahankan eksistensi ideologi dalam

pengelolaan pendidikan, ada juga sekolah non muslim yang


memposisikan ideologi di tengah kebijakan pemerintah dan tuntutan

pasar sekolah.

Jenis sekolah pada kategori pertama cenderung menganut

konsep ideologi tertutup, dengan tidak menerima masuknya ideologi

baru dari luar kepentingannya. Pengelolaan sekolah didasarkan pada

tatanan ideologi yang telah diyakini kebenarannya dan dijadikan

rujukan dalam setiap tindakan. Sekolah tipe ini secara praktis, tidak

memberikan pendidikan agama Islam secara terbuka dalam bentuk

mata pelajaran serta tidak memberi ruang dan waktu yang proporsional

bagi siswa muslim untuk menjalankan ajaran agama di lingkungan

sekolah, sesuai perundang-undangan yang berlaku. Bahkan pada

sekolah yang menganut ideologi khusus -sebagaimana pendapat

Mannhein yang membagi ideologi menjadi dua, yaitu khusus dan total-

masih siswa muslim untuk mengikuti pendidikan agama non muslim.

pendidikan.

Sementara itu, sekolah tipe kedua memposisikan ideologi sekolah

berada di tengahkepentingan bersama. Dalam istilah Mannhein sekolah

ini menerapkan ideologi total, yang menempatkan seluruh perangkat

konseptual orang lain dalam sistem ideologi yangdianut. Dalam tataran

praktis, sekolah tipe ini telah melaksanakan pendidikan agama Islam

sesuai kebijakan pemerintah yang tertuang dalam Undang-Undang Nomor

20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional dan Peraturan

Pemerintah Nomor 55Tahun 2007 tentang

19
Pendidikan Agama dan Keagaman. Pendidikan agama Islam juga telah

dijadikan sebagai mata pelajaran yang diajarkan oleh guru yang

beragama Islam. Siswa muslim tidak diwajibkan mengikuti pendidikan

agama lain, yang menjadi ciri khas keagaman sekolah.

Operasionalisasi teori ideologi menjadi bagian penting dalam

proses kajian ilmiah tentang pendidikan agama Islam di sekolah non

muslim. Kebijakan pendidikan agama Islam, ternyata, direspon secara

variatif oleh pengelola sekolah berciri khas agama,bahkan tidak

dilaksanakan karena problem ideologi yang terjadi di lembaga

pendidikan.

B. Apa saja problematika pendidikan agama Islam pada MIM

Klaseman Gatak Sukoharjo

Pelaksanaan pendidikan agama Islam di sekolah non muslim

tidak terlepas dari dua faktor, yaitu faktor makro dan faktor mikro.

Faktor makro pendidikan agama Islam di sekolah non muslim

meliputi; (1) faktor ideologi; (2) faktor sosiologi; dan (3) faktor kultur.

Ketiga faktor ini menjadi problem tersendiri dalam pendidikan agama

Islam di sekolah non muslim.Secara historis, pendirian sekolah berciri

khas agama memiliki misi ideologi yang dikembangkan melalui

lembaga pendidikan. Pelaksanaan pendidikan, sistem manajemen,

bahkan budaya sekolah dibentuk berdasarkan nilai-nilai agama yang

dianut pengelola sekolah.


Namun, ketika misi sekolah ini dihadapkan pada kebijakan

pemerintah memunculkan respon berbeda, sehingga ideologi di

sekolah non muslim diposisikan secara berbeda-beda. Ada sekolah non

muslim yang memposisikan ideologi sekolah sebagai misi utama

dalam mengelola lembaga pendidikan, ada juga yang memposisikan

ideologi sekolah berada ditengah kebijakan. Ideologi sekolah tetap

dijalankan, kebijakan pemerintah juga dilaksanakan.

Dari data dan temuan penelitian, ada pergeseran posisi ideologi

di sekolah non muslim, terutama sekolah moderat. Ideologi sekolah di

posisikan di tengah-tengah kepentingan, antara misi lembaga dan

kebijakan pemerintah.

Problem kedua pelaksanaan pendidikan agama Islam adalah

problem sosiologi. Aspek sosiologis ini meliputi keberadaan sekolah

non muslim, latar pendiri, latar belakang guru, serta latar belakang

siswa di sekolah. Secara sosiologis, sekolah non muslim dikelola

berbasis agama tertentu yang telah diyakini kebenarannya. Setting

sosial keberadaan sekolah telah diketahui masyarakat sebagai lembaga

pendidikan non muslim, baik Kristen maupun Katholik.

Masyarakat luar akan membaca secara sosiologis, bahwa

sekolah Kristen akan mengajarkan agama Kristen bagi seluruh siswa.

Begitu juga dengan sekolah Katholik, yang memiliki setting sosiologi

tersendiri. Sementara itu, siswa muslim di sekolah non muslim

21
dihadapkan pada tuntutan untuk melaksanakan agama Islam setelah

mempelajari pendidikan agama. Tetapi, kondisi sosiologi sekolah tidak

memungkinkan bagi siswa muslim untuk melakukan praktek agama

secara komprehensif , karena faktor sosiologi tersebut.

Temuan penelitian menunjukkan, sekolah tidak menyediakan

tempat s}alat bagi siswa muslim, padahal jam pulang sekolah


melawati waktu dhuhur. Siswa muslim banyak yang s}alat di luar

sekolah, tetapi ada juga yang terpaksa melaksanakan s}alat di dalam

kelas. Kondisi ini menunjukkan adanya problem

sosiologi dalam pendidikan agama Islam di sekolah.

Faktor budaya juga menjadi problem tersendiri dalam

pendidikan agama Islam di sekolah non muslim. Budaya sekolah

terbangun berdasarkan nilai-nilai agama para pendiri dan pengelola

lembaga pendidikan. Siswa muslim pun terhalang budaya sekolah

ketika akan menerapkan budaya Islami di sekolah non muslim.

C. Bagaimana idealitas pendidikan agama Islam yang sesuai untuk

MIM Klaseman Gatak Sukoharjo

Bentuk pendidikan agama Islam di sekolah non muslim

menampilkan eksistensi Islam inklusif dan multikultural. Hal ini dapat

dilihat dari keragaman agama siswa di sekolah. Interaksi antar

pemeluk agama membuka dialog antar agama yang memiliki basis

ideologi berbeda.
Pengakuan terhadap keragaman agama dan bentuk interaksi

yang dilakukan menjadi bagian dari konsep multikultural. Pada tataran

praktis, pendidikan agama Islam dilaksanakan dengan pendekatan

inklusif dan multikultural. Di antara indikator terjadinya

multikulturalisme di sekolah non muslim dan dikonfirmasi mellui

temuan penelitian yang menunjukkan bahwa ada fenomena

kebersamaan dan interaksi antar pemeluk agama dalam setiap

kegiatan, baik kegiatan sekolah maupun kegiatan keagamaan. Selain

interaksi keseharian, siswa-siswi di sekolah non muslim juga terlibat

dalam kebersamaan pada kegiatan keagamaan.

Petikan data dari tiga sekolah yang menjadi kancah penelitian

menunjukkan, setiap kegiatan sekolah, termasuk bidang keagamaan,

dilaksanakan secara bersama. Ada natal bersama, ada juga pengajian

Islam dan buka bersama di sekolah non muslim. Fenomena interaksi

lintas agama ini kiranya cukup menjadi alasan untuk menyatakan

pendidikan agama Islam berbasis multikultural. itu, kasus dan konflik

yang bersumber dari interes agama tidak pernah terjadi di seluruh

kancah penelitian. Bahkan, sikap saling menghargai dan menghormati

antar pemeluk agama makin berkembang subur di sekolah non muslim

. Fenomena yang terbangun melalui praktek ini adalah tidak

terjadinya dominasi ideologi yang menjadi sumber konflik. Pendidikan

agama menjadi bagian sentral dalam membentuk sikap multikultural

dan inklusif pada diri siswa. Pendekatan convessionalism dalam

23
pengelolaan budaya yang ditawarkan

Zainuddin Maliki, nampaknya memiliki kesamaan dengan

situasi kancah penelitian. Dalam pendangan convessionalism,

keanekaragaman identitas budaya diakui oleh. Pendekatan ini

mempersilahkan entitas budaya untuk membawa simbol-simbol dan

lambang mereka ke ranah publik. Keragaman budaya inilah yang

dikenal dengan unity in diversity dalam konsep pluralisme.

BAB IV
PENUTUP
A. Kesimpulan

Pelaksanaan Pendidikan Agama Islam (PAI) di sekolah non muslim

berbeda-beda bentuknya. Sebagian sekolah telah memberikan PAI bagi

siswa muslim dan diajarkan oleh guru seagama dalam bentuk mata

pelajaran, tetapi sebagian sekolah yang lain memberikan pendidikan

agama Islam berupa kegiatan ke-Islam-an. Selain itu, sebagian sekolah

juga memberikan kegiatan tambahan untuk memperkuat pemahaman

siswa tentang agama Islam, baik intra maupun ekstra. Sekolah non muslim

ada yang telah melaksanakan pendidikan agama Islam sebelum munculnya

Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan

Nasional, tetapi ada juga yang menjalankan sesudah UU Sisdiknas

diundangkan. Kebijakan sekolah dalam memberikan pendidikan agama

Islam bagi siswa muslim tidak sepenuhnya dilandasi misi ideologi dan

ketaatan terhadap perundang-undangan, tetapi lebih didasari pertimbangan

misi sosial, terutama marketing sekolah. Kebijakan tentang pemberian

pendidikan agama Islam bagi siswa muslim diputuskan pihak sekolah.

Problematika Pendidikan Agama Islam di sekolah non muslim cukup

beragam. Pertama terjadinya tarik-menarik antara misi ideologi dan misi

sosiologi dalam pelaksanaan PAI, karena sebagian warga sekolah tidak

setuju jika siswa muslim diberi pendidikan agama Islam. Di sisi lain ada

tuntutan sosial yang mengharuskan kebijakan ini dilaksanakan. Problem

budaya sekolah juga menjadimasalah tersendiri dalam pendidikan agama

25
Islam, dominasi budaya yang berbasis ideologi tertentu menjadikan siswa

muslim tidak bisa membentuk budaya Islami di sekolah. Siswa muslim

belum diberi ruang dan kesempatan untuk mempratikkan ajaran Islam

secara terbuka. Adapun faktor mikro yang menghambat PAI di sekolah

non muslim adalah;(1) sarana ke-Islam-an masih minim, (2) metode

pembelajaran kurang sesuai konteks, (3) materi pembelajaran tidak sesuai

kemampuan awal siswa, (4) pembinaan kemenag belum intensif, serta (5)

input siswa rendah. Problematikapendidikan agama Islam di sekolah non

muslim juga dipengaruhi faktor lingkungan yang tidak memungkinkan

siswa untuk mempraktikkan ajaran agamaIslam secara sempurna, karena

lingkungan tidak memungkinkan. Siswa hanya memahami ajaran agama

Islam, tetapi tidak bisa melaksanakan ajaran Islam secara ka>ffah di

sekolah.

Idealitas pendidikan agama Islam di sekolah non muslim dilaksanakan

berbasis multikultural, yaitu pendidikan yang tidak doktrinal-tekstualis,

tetapi memberikan pemahaman kepada diri peserta didik tentang

perbedaan agama dan sistem nilai. Pendidikan agama Islam menggunakan

pendekatan doktrinal-kontekstual dengan memperhatikan sistem nilai dan

ajaran agama lain. Materi agama Islam disandingkan dengan agama lain

yang ada di sekolah, agar siswa tetap bisa belajar agama Islam, tetapi juga

menerima dan berinteraksi dalam perbedaan


B. Saran-Saran

Berdasarkan kesimpulan dan implikasi yang telah dikemukakan,

maka penelti mengajukan beberapa saran mengenai implementasi

kebijakan pendidikan gratis sebagai berikut :

1. Bagi Pihak Sekolah

Pihak sekolah hendaknya selalu memberikan sosialisasi kepada

wali murid dan seluruh siwa mengenai pelaksanaan dan mengajarkan

pendidikan agama dengan baik

2. Bagi Pihak Guru

Bagi guru hendaknya selalu memberikan motivasi kepada

siswa bahwa dengan adanya pendidikan agama maka mereka harus

lebih semangat untuk belajar

C. Rekomendasi

Pemerintah dan atau lembaga yang membawahi sekolah-sekolah

perlu memiliki konsultan atau tenaga ahli bidang pendidikan (termasuk

pem biayaan pendidikan).

27
DAFTAR PUSTAKA

Ara Hidayat dan Imam Machali, Pengelolaan Pendidikan; Konsep Prinsip Dan
Aplikasi Dalam Mengelola Sekolah Dan Madrsah, Bandung: Pustaka
Educa, 2010
http://mazhida.wordpress.com/2008/08/25/pp-no-552007-politik-akomodasi-atau-
taktik-hegemoni/
http://revitalisasipendidikanpesantren.blogspot.com/2009/07/bab-iv-pp-55-2007-
dan-upaya. html
http://srirahayu09.blogspot.com/2009/04/pendidikan-keagamaan-politik
pendidikan. html
http://yuswan62.wordpress.com/2010/09/18/pp-no-17-tahun-2010-tt-pengelolaan-
pendidikan/
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia no 55 tahun 2007 tentang pendidikan
agama dan keagamaan.
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia nomor 17 tahun 2010 tentang
pengelolaan dan penyelenggaraan pendidikan.

Você também pode gostar