Você está na página 1de 21

Makalah Kebijakan Kesehatan Studi Kasus Pada

Implementasi Kebijakan BPJS di Indonesia

Paper Ini Dibuat Untuk Memenuhi Tugas Terstruktur


Mata Kuliah Seminar Isu-isu Kebijakan Publik
Dosen Pengampu : Minto Hadi,Drs.,M.Si

Oleh :
Kelompok 2
Yeremia Christon Napitupulu (135030100111121)
Maissy Yuliana Pujiningtyas (1305030101111110)
Nova Dwi Amania (135030101111120)
Dita Afrida Tamara (135030107111084)

JURUSAN ADMINISTRASI PUBLIK


FAKULTAS ILMU ADMINISTRASI
UNIVERSITAS BRAWIJAYA
2016/2017
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Sektor kesehatan merupakan bagian penting perekonomian di berbagai


negara. Sejumlah pendapat menyatakan bahwa sektor kesehatan sama seperti
spons – menyerap banyak sumber daya nasional untuk membiayai banyak
tenaga kesehatan. Pendapat yang lain mengemukakan bahwa sektor kesehatan
seperti pembangkit perekonomian, melalui inovasi dan investasi dibidang
teknologi bio-medis atau produksi dan penjualan obat-obatan, atau dengan
menjamin adanya populasi yang sehat yang produktif secara ekonomi.
Sebagian warga masyarakat mengunjungi fasilitas kesehatan sebagai pasien
atau pelanggan, dengan memanfaatkan rumah sakit, klinik atau apotik; atau
sebagai profesi kesehatan – perawat, dokter, tenaga pendukung kesehatan,
apoteker, atau manajer. Karena pengambilan keputusan kesehatan berkaitan
dengan hal kematian dan keselamatan, kesehatan diletakkan dalam kedudukan
yang lebih istimewa dibanding dengan masalah sosial yang lainnya.
Kesehatan juga dipengaruhi oleh sejumlah keputusan yang tidak ada kaitannya
dengan layanan kesehatan: kemiskinan mempengaruhi kesehatan masyarakat,
sama halnya dengan polusi, air kotor atau sanitasi yang buruk. Kebijakan
ekonomi, seperti pajak merokok, atau alkohol dapat pula mempengaruhi
perilaku masyarakat. Penyebab mutakhir meningkatnya obesitas ditengah
masyarakat mencakup kesediaan makanan cepat saji yang murah namun tinggi
kalori, penjualan soft drinks disekolah, juga menurunnya kebiasaan berolah
raga. Memahami hubungan antara kebijakan kesehatan dan kesehatan itu
sendiri menjadi sedemikian pentingnya sehingga memungkinkan untuk
menyelesaikan masalah kesehatan utama yang terjadi saat ini – meningkatnya
obesitas, wabah HIV/AIDS, meningkatnya resistensi obat – sekaligus
memahani bagaimana perekonomian dan kebijakan lain berdampak pada
kesehatan. Kebijakan kesehatan memberi arahan dalam pemilihan teknologi
kesehatan yang akan dikembangkan dan digunakan, mengelola dan
membiayai layanan kesehatan, atau jenis obat yang dapat dibeli bebas. Untuk
memahami hal tersebut, perlu mengartikan apa yang dimaksud dengan
kebijakan kesehatan.
Salah satu tujuan pendirian Negara Kesatuan Republik Indonesia yang
tercantum dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia 1945 berupaya meningkatkan kesejahteraan rakyat. Kesejahteraan
tersebut harus dapat dinikmati secara berkelanjutan, adil, dan merata
menjangkau seluruh rakyat. Dinamika pembangunan bangsa Indonesia telah
menumbuhkan tantangan berikut tuntutan penanganan berbagai persoalan
yang belum terpecahkan. Salah satunya adalah penyelenggaraan jaminan
sosial bagi seluruh rakyat sebagaimana yang diamanatkan dalam Pasal 28H
ayat (3) mengenai hak terhadap jaminan sosial dan Pasal 34 ayat (2) Undang-
Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945, dan Keputusan Majelis
Permusyawaratan Rakyat Republik yang tertuang dalam TAP Nomor
X/MPR/2001, yang menugaskan Presiden untuk membentuk Sistem Jaminan
Sosial Nasional (SJSN) dalam rangka memberikan perlindungan sosial yang
menyeluruh dan terpadu.
Dengan begitu pemerintah meluncurkan suatu kebijakan yang
bertujuan untuk kelangsungan kesejahteraan dan kesehatan seluruh
masyarakatnya. Kebijakan tersebut berupa kartu BPJS Kesehatan oleh Badan
Penyelenggara Jaminan Sosial Kesehatan. Yang dengan berjalannya waktu
implementasi kedepannya kesehatan di Indonesia bisa merata dan lebih
mudah. Meskipun iurannya murah, pelayanan BPJS masih banyak kelemahan
dan tidak sebaik asuransi kesehatan sebelumnya.
Dalam pelaksanaannya yang kurang lebih sudah berlangsung selama
1tahun, BPJS dianggap masih sangat banyak kekurangan dan kelemahan.
Misalnya proses dan system yang dirasa masih sangat menyulitkan
masyarakat. Segian pasien juga mengaku pelayanan BPJS tidak maksimal atau
sengaja di anak tirikan dari pelayanan yang non-BPJS. Selain itu, masih
banyak masyarakat yang sengaja belum ikut jaminan kesehatan ini walaupun
menjadi anggota BPJS hukumnya wajib. Tapi masyarakat menilai masih
banyak kelemahan yang harus dievauasi dan diperbaiki oleh pemerintah
mengenai pelaksanaan BPJS agar jaminan social dan kesehatan di Indonesia
benar-benar bisa terwujud dengan baik.
Oleh karena itu kami akan membahas bagaimana implementasi BPJS
dan apa saja kelemahan-kelemahan dari BPJS agar bisa menjadi acuan untuk
memperbaiki kebijakan public yang berkaitan dengan jaminan social dan
kesehatan yang bertujuan demi kesejahteraan masyarakat Indonesia.

1.2 Rumusan Masalah


1. Bagaimana implementasi kebijakan BPJS di Indonesia?
2. Bagaimana dampak yang terjadi pasca diterapkannya kebijakan BPJS?

1.3 Tujuan
1. Untuk mengetahui bagaimana implementasi kebijakan BPJS di Indonesia.
2. Untuk mengetahui Bagaimana dampak yang terjadi pasca diterapkannya
kebijakan BPJS.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Sistem Kesehatan Nasional di Indonesia

Sistem Kesehatan adalah suatu jaringan penyedia pelayanan


kesehatan (supply side) dan orang-orang yang menggunakan pelayanan
tersebut (demand side) di setiap wilayah, serta negara dan organisasi yang
melahirkan sumber daya tersebut, dalam bentuk manusia maupun dalam
bentuk material. Dalam definisi yang lebih luas lagi, sistem kesehatan
mencakup sektor-sektor lain seperti pertanian dan lainnya.
Pengembangan sistem kesehatan di Indonesia telah dimulai sejak
tahun 1982 ketika Departemen Kesehatan menyusun dokumen sistem
kesehatan di Indonesia. Kemudian Departemen Kesehatan RI pada tahun
2004 ini telah melakukan suatu “penyesuaian” terhadap SKN 1982.
Didalam dokumen dikatakan bahwa Sistem Kesehatan Nasional (SKN )
didefinisikan sebagai suatu tatanan yang menghimpun upaya Bangsa
Indonesia secara terpadu dan saling mendukung , guna menjamin derajat
kesehatan yang setinggi-tingginya sebagai perwujudan kesejahteraan umum
seperti dimaksud dalam Pembukaan UUD 1945. (Depkes RI; 2004).
Dalam batas-batas yang telah disepakati, tujuan sistem kesehatan
adalah :
 Meningkatkan status kesehatan masyarakat. Indikatornya banyak,
antara lain Angka Kematian Ibu, Angka Kematian Bayi, Angka
kejadian penyakit dan berbagai indikator lainnya.
 Meningkatkan responsiveness terhadap harapan masyarakat. Dalam
hal ini masyarakat puas terhadap pelayanan kesehatan.
 Menjamin keadilan dalam kontribusi pembiayaan. Sistem kesehatan
diharapkan memberikan proteksi dalam bentuk jaminan pembiayaan
kesehatan bagi yang membutuhkan.
Berdasarkan pengertian bahwa System is interconnected parts or
elements in certain pattern of work, maka di sistem kesehatan ada dua hal
yang perlu diperhatikan, yakni: (1) elemen, komponen atau bagian
pembentuk sistem yang berupa aktor-aktor pelaku; dan
(2)interconnection berupa fungsi dalam sistem yang saling terkait dan
dimiliki oleh elemen-elemen sistem. Secara universal fungsi di dalam
Sistem Kesehatan berdasarkan berbagai referensi dapat dibagi menjadi:
 Regulator dan/atau stewardship
 Pelayanan Kesehatan
 Pembiayaan Kesehatan
 Pengembangan Sumber Daya
Aktor-aktor yang ada adalah:
 Pemerintah yang terdiri atas pemerintah pusat, propinsi, dan
kabupaten/kota.
Aktor pemerintah banyak berperan sebagai regulator dan steward dalam
sistem kesehatan. Pemerintah berfungsi pula di pelayanan kesehatan
dan pembiayaan kesehatan. Dalam fungsi pengembangan sumber daya
manusia, ada pelaku pemerintah berupa perguruan tinggi kedokteran
dan kesehatan.
 Swasta: Lembaga-lembaga swasta yang bergerak di sistem kesehatan
ada banyak. Untuk rumah sakit terdapat dua jenis pelayanan kesehatan
swasta, yaitu rumah sakit publik berdasar badan hukum Yayasan atau
Perkumpulan, dan rumah sakit private dengan dasar hukum PT.
Disamping itu ada BP swasta, pabrik obat swasta, distributor alat
farmasi dan rumah sakit, apotek dan sebagainya. Lembaga swasta
berperan aktif pula dalam fungsi pengembangan sumber daya manusia
dengan adanya perguruan tinggi kedokteran dan kesehatan milik
lembaga swasta
 Masyarakat: Masyarakat merupakan obyek sekaligus pelaku dalam
sistem kesehatan. Sebagai pelaku dapat berupa rumah tangga yang
membiayai sistem, tempat perilaku kesehatan dilakukan, sampai adanya
Lembaga Swadaya Masyarakat, dan perhimpunan profesi. Baru baru ini
di Melbourne diselenggarakan workshop mengenai peran perhimpunan
profesi dalam sistem kesehatan

2.2 Kebijakan Kesehatan

Kebijakan sering diartikan sebagai sejumlah keputusan yang dibuat


oleh mereka yang bertanggung jawab dalam bidang kebijakan tertentu –
bidang kesehatan, lingkungan, pendidikan atau perdagangan. Orang-orang
yang menyusun kebijakan disebut dengan pembuat kebijakan. Kebijakan
dapat disusun di semua tingkatan – pemerintah pusat atau daerah, perusahan
multinasional atau daerah, sekolah atau rumah sakit. Orang-orang ini
kadang disebut pula sebagai elit kebijakan – satu kelompok khusus dari para
pmbuat kebijakan yang berkedudukan tinggi dalam suatu organisasi dan
sering memiliki hubungan istimewa dengan para petinggi dari organisasi
yang sama atau berbeda. Misal: elit kebijakan di pemerintahan dapat
beranggotakan para menteri dalam kabinet, yang semuanya dapat 3
berhubungan dan bertemu dengan para petinggi perusahaan multi nasional
atau badan internasional, seperti Organisasi Kesehatan Dunia (WHO).
Kebijakan disusun disektor swasta dan pemerintah. Di sektor swasta,
konglomerat multi nasional dapat menyusun kebijakan bagi semua anak
perusahaannya diseluruh dunia, tetapi memberi kesempatan kepada anak
perusahaan di daerah untuk memutuskan kebijakan mereka sendiri dengan
sejumlah syarat. Sebagai contoh: perusahaan seperti Anglo-American dan
Heineken mengeluarkan terapi anti-retroviral untuk para pekerjanya yang
menderita HIV positif di Afrika ditahun 2000 sebelum pemerintah yang lain
melakukan hal yang sama. Namun, perusahaan swasta harus memastikan
bahwa kebijakan mereka disusun sesuai dengan hukum yang berlaku umum,
yang disusun oleh pemerintah. Kebijakan publik mengacu kepada kebijakan
pemerintah. Sebagai contoh: Thomas Dye (2001) menyatakan bahwa
kebijakan umum adalah segala sesuatu yang dipilih oleh pemerintah untuk
dilaksanakan atau tidak. Ia berpendapat bahwa kegagalan untuk membuat
keputusan atau bertindak atas suatu permasalahan juga merupakan suatu
kebijakan. Misal: pemerintah Amerika terus menerus memutuskan untuk
tidak menetapkan layanan kesehatan universal, tetapi mengandalkan
program market-plus untuk warga sangat miskin dan lansia 65 th keatas,
guna memenuhi kebutuhan kesehatan masyarakatnya. Ketika
mempertimbangkan contoh-contoh dalam kebijakan publik, pembaca harus
mempertimbangkan pula pernyataan atau pendapat resmi yang dikeluarkan
oleh suatu pemerintah atau departemen. Pernyataan atau pendapat tersebut
dapat digunakan dalam pencapaian tujuan tertentu (melaksanakan program
pelarangan bertukar jarum guna mengurangi resiko diantara pengguna obat)
atau menyelesaikan suatu masalah memungut tarif untuk kendaraan guna
mengurangi kepadatan lalu lintas di daerah perkotaan). Kebijakan dapat
mengacu kepada kebijakan kesehatan atau ekonomi yang disusun
pemerintah dimana kebijakan tersebut digunakan sebagai batasan kegiatan
atau suatu usulan tertentu – “dimulai pada tahun yang akan datang, akan
menjadi suatu kebijakan universitas untuk memastikan bahwa seluruh
mahasiswa diwakili di dewan mahasiswa”. Kadang kebijakan disebut
sebagai suatu program: program kesehatan sekolah yang dicanangkan
pemerintah dapat memiliki sejumlah kebijakan yang berbeda: menolak
calon siswa sebelum mereka memperoleh vaksin imunisasi penyakit anak,
menyelenggarakan pemeriksaan medis, mensubsidi makanan sekolah dan
pendidikan kesehatan yang wajib disertakan dalam kurikulum. Program
kesehatan sekolah tersebut menjadi kebijakan bagi anak usia sekolah.
Dalam contoh ini, jelas bahwa kebijakan tidak hanya berpangkal pada satu
keputusan saja tetapi meliputi sejumlah keputusan yang mengarah ke suatu
arah tindakan yang luas sepanjang waktu. Keputusan atau tindakan ini dapat
disengaja atau tidak sengaja terdefinisi atau dianggap sebagai kebijakan.
Seperti yang pembaca ketahui, ada banyak cara yang mendefinisikan
kebijakan. Definisi kebijakan oleh Thomas Dye yang menyatakan bahwa
kebijakan umum adalah apa yang dilaksanakan dan tidak dilaksanakan oleh
pemerintah tampaknya berlawanan dengan asumsi yang lebih formal bahwa
segala kebijakan disusun untuk mencapai suatu maksud atau tujuan tertentu.
4 Kebijakan kesehatan dapat meliputi kebijakan publik dan swasta tentang
kesehatan. Dalam buku ini kebijakan kesehatan diasumsikan untuk
merangkum segala arah tindakan (dan dilaksanakan) yang mempengaruhi
tatanan kelembagaan, organisasi, layanan dan aturan pembiayaan dalam
system kesehatan. Kebijakan ini mencakup sektor publik (pemerintah)
sekaligus sektor swasta. Tetapi karena kesehatan dipengaruhi oleh banyak
faktor penentu diluar system kesehatan, para pengkaji kebijakan kesehatan
juga menaruh perhatian pada segala tindakan dan rencana tindakan dari
organisasi diluar system kesehatan yang memiliki dampak pada kesehatan
(missal: pangan, tembakau atau industri obat). Sama halnya dengan
beragam definisi kebijakan kesehatan, ada banyak gagasan mengenai
pengkajian kebijakan kesehatan beserta penekanannya: seorang ahli
ekonomi mungkin berpendapat bahwa kebijakan kesehatan adalah segala
sesuatu tentang pengalokasian sumber daya yang langka bagi kesehatan;
seorang perencana melihatnya sebagai cara untuk mempengaruhi faktor-
faktor penentu di sektor kesehatan agar dapat meningkatkan kualitas
kesehatan masyarakat; dan bagi seorang dokter, kebijakan merupakan segala
sesuatu yang berhubungan dengan layanan kesehatan (Walt 1994). Menurut
Walt, kebijakan kesehatan serupa dengan politik dan segala penawaran
terbuka kepada orang yang berpengaruh pada penyusunan kebijakan,
bagaimana mereka mengolah pengaruh tersebut, dan dengan persyaratan
apa. Seperti yang akan pembaca lihat, buku ini mengambil pendapat terakhir
tentang kebijakan kesehatan, dan meletakkannya dalam suatu kerangka yang
mencakup politik. Politik tidak dapat dipisahkan dari kebijakan kesehatan.
Jika pembaca menerapkan epidemiologi, ilmu ekonomi, biologi atau profesi
dan pengetahuan teknis lainnya ke dalam kehidupan sehari-hari, politik akan
mempengaruhi pembaca. Tak seorang pun yang tidak dipengaruhi oleh
politik. Misal: ilmuwan mungkin harus memfokuskan penelitian mereka
pada hal-hal yang menarik minat pemberi biaya, daripada pertanyaan yang
ingin mereka eksplorasi sendiri. Dalam memberikan resep, tenaga kesehatan
mungkin harus mempertimbangkan kemungkinan tuntutan yang
mengundang perselisihan dari pihak manajemen rumah sakit, peraturan
pemerintah dan kemampuan masyarakat untuk membayar. Para profesional
ini mungkin didatangi oleh sales perusahaan obat (detailer) yang ingin
mempengaruhi mereka untuk memberikan obat dari perusahaan mereka, dan
mungkin saja para sales perusahaan ini menggunakan bentuk insentif yang
berbeda. Sebagian besar kegiatan merupakan bagian dari pasang surut dan
arus politik. Dalam pengembangan suatu kerangka yang mengintegrasikan
politik kedalam kebijakan, para pengkaji kebijakan kesehatan perlu
memikirkan lebih jauh isi kebijakan. Banyak buku dan makalah tentang
kebijakan kesehatan hanya berfokus pada satu kebijakan tertentu,
meggambarkan maksud dari kebijakan tersebut, strategi untuk mencapai
tujuan, dan apakah kebijakan tersebut berhasil mencapainya. Sebagai
contoh: pada tahun 1990-an perhatian tertuju pada pembiayaan layanan
kesehatan, dan melontarkan pertanyaan seperti berikut: • Kebijakan mana
yang lebih baik – menetapkan tarif bagi pengguna atau sistem asuransi
sosial? 5 • Layanan kesehatan umum yang mana yang seharusnya
dikontrakkan kepada sektor swasta? Layanan kebersihan di rumah sakit?
Bank darah? • Alat kebijakan apa yang diperlukan untuk menghadapi
perubahan besar sperti itu? Legislatif? Regulasi? Insentif? Pertanyaan diatas
adalah pertanyaan “apa” dalam kebijakan kesehatan. Tetapi pertanyaan-
pertanyaan tersebut tidak dapat dipisahkan dari pertanyaan “siapa” dan
“bagaimana”: siapa yang membuat keputusan? Siapa yang melaksanakan?
Peraturan apa untuk menetapkan dan melaksanakannya, atau tidak
diperdulikan saja? Dengan kata lain, isi kebijakan tidak dapat dipisahkan
dari politik penyusunan kebijakan. Sebagai contoh: di Uganda, pada saat
Presiden mengetahui bukti bahwa pemanfaatan layanan kesehatan menurun
drastis setelah ditetapkannya tarif layanan kesehatan, maka Pemda
membatalkan kebijakan yang dibuat oleh menteri kesehatannya yang
terdahulu. Untuk memahami bagaimana Presiden Uganda membuat
keputusan tersebut, pembaca perlu mengetahui sesuatu tentang konteks
politik (akan ada pemilihan umum, dan keinginan untuk memenangkan
suara); kekuatan Presiden untuk membuat suatu perubahan; dan peran bukti
dala mempengaruhi keputusan.

2.3 Pengertian BPJS


BPJS Kesehatan, mulai beroperasi 01 Januari 2014, adalah badan
publik yang menyelenggarakan program Jaminan Kesehatan. Ini sesuai
amanat UU BPJS Kesehatan, yaitu UU 40 tahun 2004 tentang Sistem
Jaminan Sosial Nasional dan UU 24 tahun 2011 tentang Badan
Penyelenggara Jaminan Sosial. Peserta BPJS adalah setiap orang, termasuk
orang asing yang bekerja paling singkat enam bulan di Indonesia, yang telah
membayar iuran. Pada dasarnya, semua orang, entah bekerja, karyawan,
pengusaha atau bahkan pengangguran, serta keluarganya, bisa menjadi
peserta BPJS, asalkan membayar iuran.
Jaminan kesehatan ini dapat diberikan oleh perusahaan untuk
karyawannya beserta keluarga atau individual yang mengambil untuk
sendiri dan keluarganya. Untuk menjamin masyarakat tidak mampu,
pemerintah menetapkan PBI, yaitu peserta BPJS Kesehatan bagi fakir
miskin dan orang tidak mampu (sesuai UU SJSN) yang iurannya dibayari
oleh pemerintah.
BPJS memberikan manfaat sebagai berikut:
 Pelayanan Promotif, Preventif yaitu: penyuluhan, Imunisasi (BCG, DOT-
HB, Polio dan Campak), Keluarga Berencana (kontrasepsi, vasektomi dan
tubektomi) dan skrining kesehatan (selektif).
 Pelayanan Kuratif dan Rehabilitatif, termasuk obat dan bahan medis, yaitu
(1) Rawat Jalan dengan dokter spesialis dan subspesialis, dan (2) Rawat
Inap di ruang intensif dan non intensif.
 Manfaat Non Medis meliputi akomodasi dan ambulans.
Pendaftaran jaminan kesehatan nasional ini dapat dilakukan secara online.
Cara mendaftar online dan persyaratan terbaru dapat dilihat di website
BPJS. Setelah membayar iuran dan resmi diterima, peserta mendapat kartu
jaminan kesehatan. Tersedia hotline di setiap kota untuk melayani peserta.
BAB III
PEMBAHASAN

3.1 Implementasi Kebijakan BPJS di Indonesia

BPJS Kesehatan merupakan metamorfosis dari PT Askes (yang


sebelumnya menjadi lembaga asuransi kesehatan PNS dan Polri/TNI) dan PT
Jamsostek (yang antara lain menjadi lembaga asuransi kesehatan pekerja
swasta). Baik UU SJSN dan UU BPJS yang menjadi dasar berdirinya
lembaga ini merupakan produk yang digodok dengan bantuan sejumlah
konsultan asing seperti GIZ (Jerman), Ausaid (Australia), International
Labour Organisation (ILO) dan ADB yang mendanai pembuatan model
sistem jaminan sosial tersebut. Kehadiran konsultan asing tentu dimaksudkan
agar Indonesia dapat mengikuti model pengembangan asuransi kesehatan dan
ketenagakerjaan di negara-negara tersebut. Dibandingkan dengan model
sebelumnya, layanan kesehatan yang diselenggarakan oleh BPJS dipandang
mampu membantu rakyat yang tidak mampu untuk mendapatkan layanan
kesehatan dengan murah bahkan gratis. Berbagai masalah yang terjadi di
lapangan seperti antrian panjang, penolakan hingga pembuangan pasien
dianggap masalah teknis yang wajar bagi badan yang masih terbilang muda
ini.
Koordinator Advokasi BPJS Watch Timboel Siregar mengakui, bahwa
pelayanan BPJS Kesehatan, khusus untuk masyarakat miskin penerima
bantuan iuran ditanggung APBN, belum memuaskan. Buruknya pelayanan ini
bisa dilihat dari sikap rumah sakit yang masih mencari alasan untuk tidak
melayani warga miskin peserta penerima bantuan iuran tersebut. Alasan
rumah sakit tidak melayani warga miskin bermacam- macam, dan umumnya
beralasan karena kamar pasien sudah penuh. Padahal ketika dicek banyak
kamar kosong.
Pemerintahan Presiden Jokowi di tuntut untuk dapat melihat celah yang
harus di tutup dalam kartu kesehatan masyarakat tersebut, dengan
mengeluarkan kartu Kesehatan rakyat miskin yaitu Kartu Indonesia Sehat
yang akrab di sebut KIS, Program ini pun harus di jelaskan kepada
masyarakat untuk memberi jawaban baru untuk persoalan rakyatnya dalam
melaksanakan amanah UUD 1945 pasal 34 ayat 3 yaitu Negara bertanggung
jawab atas penyediaan fasilitas pelayanan kesehatan dan fasilitas pelayanan
umum yang layak. Akan tetapi Kondisi geografis yang terdiri dari 1000 Pulau
menjadi tantangan tersendiri untuk meningkatkan kesehatan bangsa dan
belum lagi jumlah tenaga kesehatan yang masih minim dan merata di setiap
daerah.
Dengan percaya diri Presiden jokowi tetap membenahi sistem kesehatan
nasional yang telah berjalan sebelum masa periodenya yaitu BPJS kesehatan
teresebut, walaupun anggaran yang di gunakan bukanlah kecil yaitu senilai
Rp 19, 93 Trilyun alokasi khusus untuk dana penyelenggaran BPJS
Kesehatan dalam anggaran APBN 2015 dan dalam Perubahan APBN atau
dalam APBN-P 2015 Komisi XI DPR menyetujui tambahan PMN kepada
BPJS Kesehatan sebesar Rp3,460 triliun untuk menjaga kelancaran pelayanan
bagi 135 juta peserta BPJS dari cadangan pembayaran untuk DJS Kesehatan
sebesar Rp1,54 triliun. Proses perubahan dana cadangan pembayaran menjadi
pembayaran akan di bahas bersama komisi XI. Dana tersebut semoga saja
membuat perbaikan dan percepatan pelayan kesehatan yang prima tanpa
menambah permasalah sosial baru di Negara kesatuan republik Indonesia
ini.

3.2 Dampak yang Terjadi Pasca Diterapkannya Kebijakan BPJS


Meskipun iuran murah dan cakupan luas, namun manfaat dan
pelayanan BPJS kesehatan berbeda dari asuransi kesehatan swasta dan
ASKES (dulu asuransinya pegawai negeri), terutama pada hal – hal berikut
ini:
Pertama, BPJS menerapkan alur pelayanan dengan rujukan berjenjang.
Sebelum ke rumah sakit atau dokter spesialis, peserta wajib terlebih dahulu ke
fasilitas kesehatan (faskes) tingkat I yang telah ditunjuk, yaitu puskesmas,
dokter keluarga atau klinik, untuk mendapatkan surat rujukan. Kecuali gawat
darurat, peserta tidak bisa langsung ke rumah sakit atau dokter spesialis.
Selama masalah kesehatan peserta bisa ditangani oleh faskes I, maka peserta
tidak perlu dirujuk ke rumah sakit atau dokter spesialis. Keputusan merujuk
ke rumah sakit adalah kewenangan faskes I. Kondisi yang sangat berbeda
dengan proses di asuransi kesehatan. Dengan asuransi, peserta tidak butuh
rujukan dan bisa langsung ke rumah sakit atau dokter spesialis sesuai
pilihannya.
Kedua, puskesmas, yang notabene menjadi titik awal semua proses berobat
di BPJS, jam kerjanya terbatas. Di akhir pekan, sabtu dan minggu,
puskesmas tutup. Sementara, buat banyak karyawan, terutama di kota besar,
karena alasan kesibukan, pemeriksaan kesehatan baru bisa dilakukan di akhir
pekan saat libur. Memang, peserta bisa ke faskes I lainnya, yaitu klinik atau
dokter keluarga. Tapi, mereka ini jumlahnya masih terbatas. Selain itu, karena
puskesmas tutup di akhir pekan, beban faskes I lainnya menjadi tinggi,
imbasnya peserta harus antri panjang di sabtu dan minggu.
Ketiga, BPJS menetapkan bahwa peserta hanya boleh memilih satu faskes I
untuk memperoleh rujukan. Peserta tidak bisa ke sembarang faskes I
meskipun itu faskes yang sudah kerjasama dengan BPJS. Kondisi ini,
misalnya, menyulitkan buat peserta yang lokasi pilihan faskes I jauh dari
tempat bekerja atau dari rumah. Selain itu, jika sedang di luar kota dan akan
berobat, peserta harus lebih dahulu menghubungi kantor BPJS terdekat , yang
kemudian akan menujukkan Faskes I mana yang bisa melayani. Peserta BPJS
juga hanya bisa pergi ke rumah sakit yang disebutkan dalam surat rujukan
dari Faskes I. Misalnya, dari puskesmas harus ke RSUD yang sudah ditunjuk.
Peserta tidak bisa sembarang pergi ke rumah sakit lain meskipun rumah sakit
tersebut kerjasama dengan BPJS.
Menurut teman pegawai negeri, dahulu PT ASKES juga menerapkan rujukan
tapi permintaan rujukan bisa dilakukan di semua puskesmas. Tidak ada
ketentuan harus di puskemas tertentu. Di era PT ASKES, peserta bisa
memilih rumah sakit sesuai keinginan mereka selama rumah sakit tersebut
kerjasama dengan PT ASKES.
Keempat, peserta BPJS hanya bisa berobat di rumah sakit yang sudah
kerjasama dengan BPJS. Di rumah sakit yang belum kerjasama, peserta tidak
bisa menggunakan jaminan kesehatan BPJS. Masalahnya tidak semua rumah
sakit swasta sudah kerjasama dengan BPJS. Sementara, dengan asuransi
kesehatan, peserta bisa berobat di semua rumah sakit. Di rumah sakit yang
sudah kerjasama dengan asuransi kesehatan, pembayaran cukup dilakukan
dengan menunjukkan kartu (cashless). Di rumah sakit yang belum kerjasama,
pembayaran dengan sistem reimbursement.
Kelima, fasilitas kamar BPJS hanya sampai kelas 1. Tidak ada fasilitas kelas
VIP keatas. Meskipun perawatan dan kualitas dokter tidak dibedakan antar
kelas, namun kenyamanan kamar tentunya berbeda antar kelas.
Dalam asuransi kesehatan, kelas kamar yang ditawarkan lebih tinggi. Peserta
bisa menikmati kelas VIP dan diatasnya.
Keenam, tantangan yang kerap dihadapi peserta BPJS dalam pelayanan
kesehatan adalah: (1) antri panjang di rumah sakit; (2) kesulitan
mendapatkan kamar rawat inap karena kamar untuk peserta BPJS sering
penuh; (3) ada obat -obatan yang tidak dijamin oleh BPJS sehingga peserta
harus menanggung sendiri (4) meskipun seharusnya gratis – selama sesuai
kelas – peserta kadang masih harus membayar kelebihan plafond, yang jika
tidak dibayar, rumah sakit enggan melayani. Ini keluhan yang kerap muncul
di media.
Kondisi ini terkait lonjakan peserta BPJS, yang telah mencapai 132
juta orang dan masih akan terus bertambah. Kenaikkan permintaan dipicu
oleh kewajiban perusahaan untuk ikut serta (ada sanksi) dan murahnya iuran.
Sementara itu, di sisi lain, ketersediaan kamar dan tenaga medis di rumah
sakit tidak bisa dengan cepat ditingkatkan, khususnya untuk peserta BPJS.
Kenapa saya tekankan peserta BPJS. Karena setiap berobat, rumah sakit
biasanya menanyakan peserta BPJS atau bukan. Ini ada hubungannya dengan
cara BPJS membayar klaim ke rumah sakit. Metode BPJS adalah membayar
tagihan rumah sakit sesuai standar biaya perawatan, yang sudah diputuskan
oleh pemerintah (nama skemanya INA-CBG), yang mungkin jumlahnya
lebih rendah dari biaya aktual rumah sakit. Metode ini disinyalir ikut
mempengaruhi kemauan rumah sakit menyediakan jumlah kamar untuk
peserta BPJS. Sementara itu, asuransi kesehatan membayar sesuai biaya
aktual yang ditagih oleh rumah sakit. Jarang sekali kita mendengar bahwa
jumlah kamar kurang dalam pelayanan asuransi kesehatan.

Permasalahan Sistem Pelayanan Kesehatan

Sesuai amanah UUD 1945 Pasal 34 Ayat 3 yaitu Negara


bertanggung jawab atas penyediaan fasilitas pelayanan kesehatan dan
fasilitas pelayanan umum yang layak menjadi pedoman bagi pelaksana
pemerintahan yaitu di bidang kesehatan khususnya kementrian kesehatan
memperhatikan sistem pelayan kesehatan.
Permasalahan pelayanan kesehatan di Negara ini tidak lepas
dengan kondisi geografis dan pemerataan serta jumlah tenaga medis yang
sangat minim, pembangunan infrastruktur baik fasilitas kesehatan yang
masih kurang merata menjadi faktor yang mengakibatkan pelayanan
kesehatan kurang merata dan prima.
Melihat dari data Badan Pengembangan dan Pemberdayaan SDM
Kesehatan jumlah tenaga medis di Indonesia masih jauh dari cukup, sesuai
data base SDM Kesehatan jumlah tenaga medis sebanyak 891.897 Tenaga
Medis, dan presentase dari berbagai wilayah masih kurang merata seperti
wilayah Sumatra sebanyak 234.587 (26,3% ) tenaga medis, Wilayah Jawa
Bali 435.877 (48,87 %) Tenaga Medis, Wilayah Kep Nusa Tenggara 35.729
( 4,01 % ) Tenaga Medis, wilayah Kalimantan 66.864 ( 7,5%) tenaga medis,
wilayah Sulawesi 84.555 ( 9,48%) tenaga medis, wilayah Kepulauan
Maluku 15.947 ( 1,74%) Tenaga medis, dan Wilayah Papua 18.372 (
2.06%)
Dalam data tersebut dapat kita amati bahwa minimnya jumlah tenaga medis
di Indonesia dan jika kita perbandingkan jumlah penduduk Indonesia yang
berjumlah 237.641.326 penduduk akan di tangani hanya dengan 891.897
tenaga medis dan data dari Badan Pusat Statistik fasilitas kesehatan seperti
rumah sakit dan Puskesmas masih minim yaitu 2.083 Rumah Sakit dan
9.510 Puskesmas yang tersebar di seluruh Indonesia.
BAB IV
KESIMPULAN

BPJS Kesehatan merupakan metamorfosis dari PT Askes (yang


sebelumnya menjadi lembaga asuransi kesehatan PNS dan Polri/TNI) dan PT
Jamsostek (yang antara lain menjadi lembaga asuransi kesehatan pekerja swasta).
BPJS Kesehatan, mulai beroperasi 01 Januari 2014, adalah badan publik yang
menyelenggarakan program Jaminan Kesehatan. Ini sesuai amanat UU BPJS
Kesehatan, yaitu UU 40 tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional dan
UU 24 tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial. Dibandingkan
dengan model sebelumnya, layanan kesehatan yang diselenggarakan oleh BPJS
dipandang mampu membantu rakyat yang tidak mampu untuk mendapatkan
layanan kesehatan dengan murah bahkan gratis. Akan tetapi, dalam
pelaksanaannya yang kurang lebih sudah berlangsung selama 1tahun, BPJS
dianggap masih sangat banyak kekurangan dan kelemahan. Berbagai masalah
yang terjadi di lapangan seperti antrian panjang, penolakan hingga pembuangan
pasien dianggap masalah teknis yang wajar bagi badan yang masih terbilang muda
ini.
DAFTAR PUSTAKA

Ady. 2014. Perlu Upaya Bersama Sempurnakan Pelaksanaan BPJS


(Online),(http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt52f0d7ecde374/perlu-
upaya-bersama-sempurnakan-pelaksanaan-bpjs), diakses 27 Februari 2016.
Bintang, Muh Aris. 2015. Mengkaji Kebijakan Kesehatan Nasional 2015
(Online),(http://jogjakartanews.com/baca/2015/02/22/2658/mengkaji-
kebijakan-kesehatan-nasional-2015), diakses 29 Februari 2016.
Kebijakan Kesehatan Indonesia. 2015. Kerangka Kebijakan Kesehatan Konteks,
Proses dan Pelaku
(Online),(http://kebijakankesehatanindonesia.net/sites/default/files/file/Umu
m/Chapter%201_Kerangka%20Kebijakan%20Kesehatan%20Konteks%20P
roses%20dan%20Pelaku.pdf), diakses 28 Februari 2016.
Kebijakan Kesehatan Indonesia. 2015. Memahami Sistem Kesehatan
(Online),(http://kebijakankesehatanindonesia.net/20-sistem-kesehatan/79-
Memahami-Sistem-Kesehatan), diakses 29 Februari 2016.
Leichter H (1979). A Comparative Approach to Policy Analysis: Health Care
Policy in Four Nation. Cambridge: Cambridge University Press
Levine P (2003). Prostitution, Race and Politics: Policing Veneral Disease in the
British Empire. New York: Routlege Lindblom CE (1959). The science of
muddling through. Public Administrative Review 19: 79-88 McKee M,
Fulop
Rio. 2015. Apa Langkah Antisipasi Buruknya Pelayanan BPJS
(online),(http://www.duwitmu.com/asuransi/antisipasi-buruknya-pelayanan-
bpjs-kesehatan/), diakses 29 Februari 2016.
Tijan, Antia. 2014. Analisa Kebijakan Undang-undang Implementasi BPJS 1
Januari 2014 (Online),( http://www.kompasiana.com/antiatijan/analisa-
kebijakan-undang-undang-implementasi-bpjs-1-januari-
2014_54f738cba3331161108b459d), diakses 29 Februari 2016.
Walt G dan Gilson L (1994). Reforming the health sector in developing countries:
The central role of policy analysis. Health Policy and Planning 9: 353-70
Watl G (1994). Health Policy: An Introduction to Process and Power. London:
Zed Books
Wikipedia.2015. BPJS Kesehatan
(Online),(https://id.wikipedia.org/wiki/BPJS_Kesehatan), diakses 26
Februari 20116.

Você também pode gostar