Você está na página 1de 25

Kamis, 25 Desember 2014

MAKALAH BUDAYA JAWA

BUDAYA JAWA

MAKALAH
Disusun Guna Memenuhi Tugas
Mata Kuliah: Islam dan Budaya Jawa
Dosen Pengampu: Maftuhah, MSI

Disusun Oleh :
Yani Setianingsih (133311042)

JURUSAN KEPENDIDIKAN ISLAM


FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI WALISONGO
SEMARANG
2014

I. PENDAHULUAN
Manusia adalah makhluk Allah yang di anugrahi akal, fikiran, dan
fisik untuk menunjang kehidupannya sebagai seorang insan yang di tunjuk
oleh Allah untuk menjadi khalifah di bumi Allah Yang Maha Kuasa ciptakan.
Oleh karena manusia adalah khalifah di bumi ini sepatutnya seorang
manusia haruslah mempunyai perilaku yang sesuai dengan yang Tuhan
inginkan untuk dipercayakan menjaga keutuhan bumi yang Allah ciptakan
dengan segala makhluk hidup di dalamnya untuk manusia jaga
kelestariannya.
Manusia yang menjadi seorang terpilih dan tinggi derajatnya di mata
Tuhan, manusia haruslah mempunyai kepercayaan, ilmu, dan menjalankan
segala apa yang di perintahkan Allah dan menjauhi yang dilarang oleh Allah
SWT. Sebagai makhluk yang mempunyai akal dan fikiran serta fisik
manusia haruslah memanfaatkan anugrah yang diberikan oleh Allah itu
dengan sebaik-baiknya dan jangan menyalahgunakannya sebagai suatu
yang Allah benci. Manusia haruslah mempunyai budaya yang baik untuk
menjadikannya seorang manusia yang memiliki derajat tinggi di mata Allah
SWT. Maka manusia harus menjadikan budaya yang baik sebagai bagian
dari dirinya tanpa mengabaikan apa yang menjadi kewajiban sebagai
makhluk yang berketuhanan.
Budaya merupakan simbol peradaban. Apabila sebuah budaya luntur
dan tidak lagi dipedulikan oleh sebuah bangsa, maka peradaban bangsa
tersebut tinggal menunggu waktu untuk punah.
Disini, saya mencoba untuk peduli dengan budaya dari mana kami
berasal yaitu Jawa. Dengan keterbatasan ilmu dan pengetahuan, saya
mencoba merangkum berbagai tulisan yang berkaitan dengan budaya Jawa
dari berbagai sumber.

II. RUMUSAN MASALAH


A. Apa Pengertian Budaya Jawa?
B. Apa Mata Pencaharian Hidup Masyarakat Jawa?
C. Bagaimana Sistem Kekerabatan Masyarakat Jawa?
D. Bagaimana Sistem Kemasyarakatan Masyarakat Jawa?
E. Apa Jenis Kesenian yang Berkembang di Masyarakat Jawa?
F. Bagaimana Sistem Religi di Masyarakat Jawa?

III. PEMBAHASAN
A. Pengertian Budaya Jawa
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, Budaya diartikan pikiran, akal
budi, adat istiadat, sesuatu mengenai kebudayaan yang sudah berkembang
(beradab, maju), sesuatu yang sudah menjadi kebiasaan yang sudah sukar
diubah. Sedangkan Kebudayaan diartikan sebagai hasil kegiatan dan
penciptaan batin (akal budi) manusia seperti kepercayaan, kesenian, dan
adat istiadat, keseluruhan pengetahuan manusia sebagai makhluk sosial
yang digunakan untuk memahami lingkungan serta pengalamannya dan
yang menjadi pedoman tingkah lakunya.1[1]

1[1] Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia edisi ketiga, Jakarta:
Balai Pustaka, 2005, hlm. 169.
Menurut Koentjaraningrat (1980), kata kebudayaan berasal dari kata
sansekerta budhayah, yaitu bentuk jamak dari budhi yang berarti budi atau
akal. Dengan demikian kebudayaan dapat diartikan dengan hal-hal yang
bersangkutan dengan akal. Sedangkan kata budaya merupakan
perkembangan majemuk dari budi daya yang berarti daya dari budi.
Sehingga dibedakan antara budaya yang berarti “daya dari budi” yang
berupa cipta, rasa, karsa, dengan kebudayaan yang berarti hasil dari cipta,
rasa dan karsa.2[2]
Selanjutnya menurut konsep-konsep B.Malinowske, kebudayaan di
dunia mempunyai tujuh unsur universal yakni:
1. Bahasa
2. Sistem Teknologi
3. Sistem mata pencaharian (ekonomi)
4. Organisasi sosial
5. Sistem pengetahuan
6. Religi
7. Kesenian3[3]
Kebudayaan Jawa adalah kebudayaan masyarakat asli Jawa yang telah
berkembang semenjak masa prasejarah. Sebagai halnya suku-suku
sederhana lainnya budaya asli Jawa ini bertumpu dari religi animisme dan
dinamisme. Dasar pikiran dalam religi animisme dan dinamisme bahwa
dunia ini juga didiami oleh roh-roh halus termasuk roh nenek moyang dan
juga kekuatan-kekuatan (daya-daya) ghaib.4[4]
Dari pengertian-pengertian di atas, dapat diambil kesimpulan bahwa
kebudayaan Jawa adalah sebuah sistem yang mencakup bahasa, sistem
2[2] Sualiman, M, Munandar, Ilmu Budaya Dasar, Bandung: Rosda Offset, 1988, hlm. 21.

3[3] Sualiman, M, Munandar, Ilmu Budaya Dasar, hlm. 22-23.

4[4] Simuh, Keunikan Interaksi Islam dan Budaya Jawa, hlm. 6.


teknologi, mata pencaharian, organisasi sosial, corak berpikir, sistem
keagamaan dan kesenian yang dianut dan dilestarikan secara turun-
temurun oleh masyarakat setempat.
Dalam antropologi budaya dikenal beragam suku dan budaya, salah
satunya masyarakat atau suku Jawa. Masyarakat Jawa adalah orang-orang
yang dalam hidup kesehariannya menggunakan bahasa Jawa dengan ragam
dialeknya secara turun-menurun. Suku bangsa Jawa adalah mereka yang
bertempat tinggal di daerah Jawa Tengah, Jawa Timur, serta mereka yang
berasal dari kedua daerah tersebut. Secara geografis suku bangsa Jawa
mendiami tanah Jawa yang meliputi: Banyumas, Kedu, Yogyakarta,
Surakarta, Madiun, Malang, dan Kediri. Sedangkan di luar itu, dinamakan
pesisir dan ujung timur. Surakarta dan Yogyakarta yang merupakan dua
bekas kerajaan Mataram pada sekitar abad ke-XVI adalah pusat dari
kebudayaan Jawa. Keduanya adalah tempat kerajaan terakhir dari
pemerintahan Raja-raja Jawa.5[5]
Yang dimaksud orang Jawa atau Javanese menurut Franz Magnis
Suseno adalah orang yang memakai Bahasa Jawa sebagai bahasa ibu dan
merupakan penduduk asli bagian tengah dan timur pulau Jawa (Suseno,
2003: 11). Sementara Tony Whitten, sebagaimana dikatakan oleh Roehayat
Soeriatmadja dan Suraya Afif, The Ecology Java and Bali (1996), bahwa
penduduk asli pertama Pulau Jawa adalah mirip dengan suku Aborigin di
Australia. Mereka disebut Austroloid. Namun demikian, kemudian mereka
tersingkir oleh pendatang dari Asia Tenggara. Mereka tidak dapat hidup di
Jawa, tetapi saat ini keturunan mereka dapat ditemukan di suku Anak
Dalam atau Kubu di Sumatera Tengah atau Indonesia bagian timur.6[6]

5[5] Samidi Khalim, Islam dan Spiritualitas Jawa, Semarang: Rasail Media Group, 2008, hlm.
4.

6[6]Shodiq, Potret Islam Jawa, Semarang: Pustaka Zaman, 2013, hlm. 3-4.
Suku Jawa merupakan salah satu suku terbesar yang berdiam di
negara Indonesia. Suku Jawa hidup dalam lingkup budaya yang sangat
kental, yang mereka gunakan dalam berbagai kegiatan masyarakat, bahkan
mulai dari kehamilan sampai kematian. Menurut Sujamto, 1997 budaya
Jawa memiki empat ciri-ciri utama, yaitu:
1. Religius
Sebelum agama-agama besar masuk ke Jawa, masyarakat Jawa sudah
mempercayai kepercayaan adanya tuhan yang melindungi mereka, dan
keberagaman agama itu semakin berkualitas dengan masuknya agama
besar, seperti: Hindu, Budha, Islam dan Kristen, yang menjadikan
masyarakat Jawa mempunyai toleransi keagamaan yang besar.
2. Non doktriner
Artinya budaya Jawa itu luwes (fleksibel), karena sejak zaman dahulu
masyarakat Jawa berpendapat bahwa perbedaan agama yang masuk
sebenarnya hanya berbeda caranya saja, untuk menuju pada tercapainya
satu tujuan yang sama.
3. Toleran
Masyarakat Jawa selalu mengutamakan gotong royong, selain itu juga bisa
menerima perbedaan pendapat dan menghormati pendapat orang lain.
4. Akomodatif
Kebudayaan Jawa selain penuh dengan pelajaran-pelajaran mengenai budi
pekerti luhur juga mau menerima masuknya budaya asing yang masuk
yang sesuai dan bermanfaat bagi masyarakat.7[7]
Secara kodrati budaya Jawa seperti halnya budaya lainnya akan selalu
mengalami proses perubahan atau perkembangan dalam arti yang luas.

7[7] Siti Hana, Makalah Pergeseran Nilai-Nilai Budaya Jawa Di Era Globalisasi, Semarang:
IAIN Walisongo, 2010, hlm. 2-3.
Pengembangan nilai budaya Jawa merupakan upaya secara sadar untuk secara
terus menerus meningkatkan kualitasnya.
Bahasa Jawa misalnya, perkembangannya sangat jauh sehingga
menjadi bahasa yang tak tertandingi oleh bahasa manapun, terutama
mengenai kekayaan kosa katanya.8[8]
Di dalam pergaulan-pergaulan hidup maupun perhubungan-
perhubungan sosial sehari-hari mereka berbahasa Jawa. Pada waktu
mengucapkan bahasa daerah ini, seseorang harus memperhatikan dan
membeda-bedakan keadaan orang yang diajak berbicara atau yang sedang
dibicarakan, berdasarkan usia maupun status sosialnya. Demikian pada
prinsipnya ada dua macam bahasa Jawa apabila ditinjau dari kriteria
tingkatannya. Yaitu bahasa Jawa Ngoko dan Krama.
Bahasa Jawa Ngoko itu dipakai untuk orang yang sudah dikenal akrab,
dan terhadap orang yang lebih muda usianya serta lebih rendah derajat
atau status sosialnya. Lebih khusus lagi adalah bahasa Jawa Ngoko Lugu
dan Ngoko Andap. Sebaliknya, bahasa Jawa Krama, dipergunakan untuk
bicara dengan yang belum dikenal akrab, tetapi yang sebaya dalam umur
maupun derajat, dan juga terhadap orang yang lebih tinggi umur serta
status sosialnya. Dari kedua macam derajat bahasa ini, kemudian ada
variasi berbagai dan kombinasi-kombinasi antara kata-kata dari bahasa
Jawa Ngoko dan Krama, dan yang pemakaiannya disesuaikan dengan
keadaaan perbedaan usia dan derajat sosial. Demikian ada misalnya bahasa
Jawa Madya, yang terdiri dari tiga macam bahasa yaitu Madya Ngoko,
Madyaantara dan Madya Krama; ada bahasa Krama Inggil yang terdiri dari
kira-kira 300 kata-kata yang dipakai untuk menyebut nama-nama anggota
badan, aktivitas, benda milik, sifat-sifat dan emosi-emosi dari orang-orang
yang lebih tua umur atau lebih tinggi derajat sosialnya; bahasa Kedaton

8[8]Harry Aveling, The Development of Indonesian Socirty, 1979, hlm. 41.


yang khusus dipergunakan di kalangan istana; bahasa Jawa Krama Desa
atau bahasa orang-orang di desa-desa; dan akhirnya bahasa Jawa Kasar
yakni salah satu macam bahasa daerah yang diucapkan oleh orang-orang
yang sedang dalam kedaan marah atau mengumpat seseorang.9[9]
B. Mata Pencaharian Hidup Masyarakat Jawa
Tidak ada mata pencaharian yang khas yang dilakoni oleh masyarakat
suku Jawa. Pada umumnya, orang-orang disana bekerja pada segala bidang,
terutama administrasi negara dan kemiliteran yang memang didominasi
oleh orang Jawa. Selain itu, mereka bekerja pada sektor pelayanan umum,
pertukangan, perdagangan dan pertanian dan perkebunan. Sektor
pertanian dan perkebunan, mungkin salah satu yang paling menonjol
dibandingkan mata pencaharian lain, karena seperti yang kita tahu, baik
Jawa Tengah dan Jawa Timur banyak lahan-lahan pertanian yang beberapa
cukup dikenal, karena memegang peranan besar dalam memasok
kebutuhan nasional, seperti padi, tebu dan kapas. Tetapi orang Jawa juga
terkenal tidak memiliki bakat yang menonjol dalam bidang industri dan
bisnis seperti halnya keturunan etnis tionghoa. Hal ini dapat terlihat,
bahwa pemilik industri berskala besar di Indonesia, kebanyakan dimiliki
dan dikelola oleh etnis tionghoa.10[10]
Di dalam melakukan pekerjaan pertanian, masyarakat orang Jawa ada
yang menggarap tanah pertaniannya untuk dibuat kebun kering, terutama
mereka yang hidup di daerah pegunungan, sedangkan yang lain, yaitu yang
bertempat tinggal di daerah-daerah yang lebih rendah mengolah tanah-
tanah pertanian tersebut guna menjadikan sawah. Biasanya di samping

9[9]Koentjaraningrat, Manusia Dan Kebudayaan Di Indonesia, Jakarta: Djambatan, 2007,


hlm. 329-330.

10[10]http://pemulungelitd19kk.wordpress.com/2013/09/30/kebudayaan-masyarakat-
jawa/, diakses pada Jumat, 19 Desember 2014 pukul 14:09 WIB.
tanaman padi, beberapa jenis tanaman palawija juga ditumbuhkan baik
sebagai tanaman utama di tegalan maupun sebagai tanaman penyela di
sawah pada waktu-waktu musim kemarau dimana air sangat kurang untuk
pengairan sawah-sawah itu, seperti ketela pohon, ketela rambat, kedelai,
kacang tanah dan kacang tunggak.
Selain sumber penghasilan dari lapangan pekerjaan pokok bertani
tersebut, ada pula sumber pendapatan lain yang diperoleh dari usaha-
usaha kerja sambilan membuat makanan tempe kara benguk, mencetak
batu merah, mbotok atau membuat minyak goreng kelapa, membatik,
menganyam tikar dan menjadi tukang-tukang kayu, batu atau reparasi
sepeda dan lapangan-lapangan pekerjaan lain yang mungkin
dilakukan.11[11]
C. Sistem Kekerabatan Masyarakat Jawa
Suku Jawa menganut garis keturunan ayah atau disebut Patrilini/
Patriakhat. Hal ini terlihat dari pemakaian nama belakang seseorang sering
memakai nama ayah, anak laki-laki juga menjadi kebanggaan keluarga dan
mendapatkan perhatian khusus dibanding anak perempuan karena
diyakini seorang laki-laki adalah pemimpin rumah tangga, dalam hal
warispun dikenal anak lanang sa pikul anak wadon sak gendongan. Yang
mana jumlah harta waris yang diberikan kepada anak laki-laki diibaratkan
sa pikul yang lebih besar dari sa gendongan yang diberikan kepada anak
perempuan. Dikenal pula istilah lajer yaitu garis keturunan keluarga laki-
laki saja.
Silsilah keturunan jawa:
1. Anak
2. Putu
3. Buyut

11[11]Koentjaraningrat, Manusia Dan Kebudayaan Di Indonesia, hlm. 334-337.


4. Canggah
5. Wareng
6. Udheg- udheg
7. Gantung siwur
8. Gropak senthe
9. Kandhang bubrah
10. Debog bosok
11. Galih asem
Dalam 7 turunan tersebut masih dapat disebut keluarga dekat dan
keturunan 8 dan seterusnya merupakan keluarga jauh. Selain itu juga di
kenal Pa jipat lima/ pancer sedulur papat lima pancer yang merupakan
saudara orang Jawa saat dilahirkan. Sedulur papat lima pancer ini diambil
dari Kitab Kidungan Purwajati seratane, yang dimulai dari tembang
Dhandanggula yaitu:
Ana kidung ing kadang Marmati Amung tuwuh ing kuwasanira
Nganakaken saciptane Kakang Kawah puniku Kang rumeksa ing awak
mami Anekakake sedya Ing kuwasanipun Adhi Ari-Ari ingkang Memayungi
laku kuwasanireki Angenakken pangarah Ponang Getih ing rahina wengi
Ngrerewangi ulah kang kuwasa Andadekaken karsane Puser kuwasanipun
Nguyu-uyu sabawa mami Nuruti ing panedha Kuwasanireku Jangkep
kadang ingsun papat Kalimane wus dadi pancer sawiji Tunggal sawujud
ingwang Ing tembang dhuwur iku disebutake yen ” Sedulur Papat ” iku
Marmati, Kawah, Ari-Ari, lan Getih kang kaprahe diarani Rahsa. Kabeh kuwi
mancer neng Puser (Udel) yaiku mancer ing Bayi.
Cethane mancer marang uwonge kuwi. Geneya kok disebut Marmati,
kakang Kawah, Adhi Ari-Ari lan Rahsa kuwi? Marmati iku tegese Samar
Mati! lire yen wong wadon pas nggarbini (hamil) iku sadina-dina pikirane
uwas Samar Mati. Rasa uwas kawatir pralaya anane dhisik dhewe
sadurunge metune Kawah, Ari-Ari lan Rahsa kuwi mau, mulane Rasa Samar
Mati iku banjur dianggep minangka Sadulur Tuwa. Wong nggarbini yen pas
babaran kae, kang dhisik dhewe iku metune Banyu Kawah sak durunge
laire bayi, mula Kawah banjur dianggep Sadulur Tuwa kang lumrahe
diarani Kakang Kawah. Yen Kawah wis mancal medhal, banjur disusul laire
bayi, sakwise kuwi banjur disusul Metune Ari-Ari. Sarehne Ari-Ari iku
metune sakwise bayi lair, mulane Ari-Ari iku diarani Sedulur Enom lan
kasebut Adhi Ari-Ari Lamun ana wong abaran tartamtu ngetokake Rah
(Getih) sapirang-pirang. Wetune Rah (Rahsa) iki uga ing wektu akhir, mula
Rahsa iku uga dianggep Sedulur Enom. Puser (Tali Plasenta) iku umume
PUPAK yen bayi wis umur pitung dina. Puser kang copot saka udel kuwi
uga dianggep Sedulure bayi. Iki dianggep Pancer pusate Sedulur Papat.
Mula banjur tuwuh unen-unen ”SEDULUR PAPAT LIMA PANCER”.
”Kekayon wayang purwa kang kaprahe kasebut Gunungan, ana kono
gambar Macan, Bantheng, Kethek lan Manuk Merak. Kocape kuwi
mujudake Sedulur Papat mungguhing manungsa.
Yang intinya sedulur papat tadi melambangkan 4 macam nafsu yang
dimiliki manusia, yaitu:
1. Macan melambangkan nafsu amarah
2. Banteng melambangkan nafsu supiyah (seksual)
3. Kethek (monyet) melambangkan nafsu aluamah (makan tidur)
4. Merak melambangkan nafsu mutmainah (kebaikan)
Artinya setiap manusia harus bisa mengendalikan keempat nafsu yang
dibawanya sejak lahir. Apabila seorang manusia tidak dapat
mengendalikannya maka akan hancurlah hidupnya dan bila nafsu tersebut
terkendali dengan baik maka akan tercipta keselarasan atau
harmoni.12[12]
D. Sistem Kemasyarakatan Masyarakat Jawa
Di dalam kenyataan hidup masyarakat orang Jawa, orang masih membeda-
bedakan antara orang priyayi yang terdiri dari pegawai negeri dan kaum
terpelajar dengan orang kebanyakan yang disebut wong cilik, seperti petani-
petani, tukang-tukang dan pekerja kasar lainnya, di samping keluarga kraton
dan keturunan bangsawan atau bendara-bendara. Dalam kerangka susunan
masyarakat ini, secara bertingkat yang berdasarkan atas gensi-gensi itu, kaum
priyayi dan bendara merupakan lapisan atas, sedangkan wong cilik menjadi
lapisan masyarakat bawah.
Kemudian menurut kriteria pemeluk agamanya, orang Jawa biasanya
membedakan orang santri dengan orang agama kejawen. Golongan kedua ini
sebenarnya adalah orang-orang yang percaya kepada ajaran agama Islam, akan
tetapi mereka tidak secara patuh menjalankan rukun-rukun dari agama Islam itu;
misalnya tidak salat, tidak pernah puasa, tidak bercita-cita untuk melakukan
ibadah haji dan sebagainya. Demikian secara mendatar di dalam susunan
masyarakat orang Jawa itu, ada golongan santri dan ada golongan agama
kejawen. Di berbagai daerah di Jawa baik yang bersifat kota maupun pedesaaan
orang santri menjadi mayoritas, sedangkan di lain daerah orang beragama
kejawen-lah yang dominan.
Orang tani di desa-desa, yang menurut pelapisan sosial tersebut di atas,
termasuk golongan wong cilik, di antara mereka sendiri juga pembagian secara
berlapis. Lapisan yang tertinggi dalam desa adalah wong baku. Lapisan ini
terdiri dari keturunan orang-orang yang dulu pertama-tama datang menetap di
desa. Mereka ini memiliki sawah-sawah, rumah dengan tanah pekarangannya.

12[12]http://h3rcul3z.blogspot.com/2014/04/makalah-kebudayaan-suku-jawa.html, diakses
pada Sabtu, 20 Desember 2014, pukul 10:25 WIB.
Lapisan kedua di dalam angka sistem pelapisan sosial di desa adalah lapisan
kuli gendok atau lindung. Mereka adalah orang-orang laki-laki yang telah
kawin, akan tetapi tidak mempunyai tempat tinggal sendiri, sehingga terpaksa
menetap di rumah kediaman mertuanya. Namun begitu, tidaklah berarti bahwa
mereka ini tidak mempunyai tanah-tanah pertanian yang dapat diperoleh dari
warisan atau pembelian. Adapun golongan lapisan ketiga ialah lapisan joko,
sinoman, atau bujangan. Mereka semua belum menikah dan masih tinggal
bersama-sama dengan orang tua sendiri atau ngenger di rumah orang lain.
Golongan bujangan ini bisa mendapat atau memiliki tanah-tanah pertanian,
rumah-rumah dan pekarangannya, dari pembagian warisan dan pembelian-
pembelian13[13].
Desa-desa di Jawa umumnya dibagi-bagi menjadi bagian-bagian kecil yang
disebut dengan dukuh, dan setiap dukuh dipimpin oleh kepala dukuh. Di dalam
melakukan tugasnya sehari-hari, para pemimpin desa ini dibantu oleh para
pembantu-pembantunya yang disebut dengan nama Pamong Desa. Masing-
masing pamong desa memiliki tugas dan peranannya masing-masing. Ada yang
bertugas menjaga dan memelihara keamanan dan ketertiban desa, sampai
dengan mengurus masalah perairan bagi lahan pertanian warga.14[14]
Dalam hal menjalankan usaha memelihara dan membangun masyarakat
desanya para pamong desa harus sering mengerahkan bantuan penduduk desa
dengan gugur gunung, atau kerik desa guna bekerja sama membuat,
memperbaiki, atau memelihara jalan-jalan desa, jembatan-jembatan, bangunan
sekolah desa atau balai desa, menggali saluran-saluran air, memelihara

13[13]Koentjaraningrat, Manusia Dan Kebudayaan Di Indonesia, hlm. 344-345.

14[14]http://pemulungelitd19kk.wordpress.com/2013/09/30/kebudayaan-masyarakat-
jawa/, diakses pada Jumat, 19 Desember 2014 pukul 14:09 WIB.
bendungan-bendungan atau pintu-pintu airnya, merawat makam desa, masjid
atau surau-surau, dan mengadakan upacara bersih desa.15[15]
E. Jenis Kesenian yang Berkembang di Masyarakat Jawa
Kesenian yang terdapat dalam kebudayaan Jawa sangat beraneka
ragam, mulai dari tari-tarian, lagu daerah, wayang orang, dan juga wayang
kulit, serta masih ada berbagai macam kesenian lainnya.
Yang pertama adalah tari-tarian. Dalam bahasa Jawa, tari disebut
dengan kata beksa yang berasal dari kata “ambeg” dan “esa” kata tersebut
mempunyai maksud dan pengertian bahwa orang yang akan menari
haruslah benar-benar menuju satu tujuan, yaitu menyerahkan seluruh
jiwanya pada tarian. Seni tari di Jawa sendiri mengalami kejayaan pada
masa Kerajaan Kediri, Singasari, dan Majapahit. Pada masa sekarang ini,
kota Surakarta dianggap sebagai pusat seni tari, terutama di Keraton
Surakarta dan Pura Mangkunegaran.
Seni tari dapat dibedakan menjadi tiga jenis yaitu: Tari Klasik, Tari
Tradisional dan Tari Garapan Baru. Beberapa contoh tarian sebagai bagian
dari kebudayaan suku Jawa antara lain:
1. Tari Bedhaya
Tari Bedhaya Ketawang ini dipercaya diciptakan oleh Sultan Agung,
raja pertama dari kerajaan Mataram, dan disempurnakan oleh Sunan
Kalijaga. Tari Bedhaya Ketawang ini, tidak hanya ditampilkan pada saat
penobatan raja yang baru, tetapi juga tiap tahunnya, yang bertepatan
dengan hari penobatan raja atau ratu. Pada pementasan tari Bedhaya
Ketawang, digunakan kostum Dodot Ageng dengan motif Banguntulak alas-
alasan. Dari segi alat musik pengiring pun sangat spesial, karena digunakan
yaitu gamelan Kyai Kaduk Manis dan Kyai Manis Renggo. Pada zaman Sri
Susuhunan PakuBuwono XII, pertunjukan tari Bedhaya Ketawang, selalu

15[15] Koentjaraningrat, Manusia Dan Kebudayaan Di Indonesia, hlm. 346.


diselenggarakan pada hari kedua bulan Reuwah atau bulan Syaban dalam
kalender Jawa.
2. Tari Srimpi
Tarian ini tidak diketahui dengan pasti sejak kapan muncul di
lingkungan keraton. Tetapi diperkirakan mulai ada saat Prabu Amiluhur
masuk ke keraton. Tarian ini dipentaskan oleh empat orang putri yang
melambangkan empat unsur, dan empat penjuru mata angin. Dari
beberapa jenis tari Srimpi, ada satu yang dianggap sakral atau suci, yaitu
Tari Srimpi Anghlir Mendhung.
3. Tari Pethilan
Tari Pethilan adalah suatu tarian yang gerakannya terinspirasi atau
mengambil salah satu bagian dari cerita pewayangan. Dalam
pementasannya, tarian ini boleh memiliki gerakan yang sama atau tidak
antar penarinya, boleh menggunakan ontowacono atau dialog dalam
tariannya, pakaian yang digunakan tidak sama setiap penarinya, kecuali
yang memerankan lakon kembar. Dalam kisah yang termuat dalam tarian
pun, ada peran yang mati dan yang tetap bertahan hidup.
4. Tari Golek
Tari ini berasal dari Yogyakarta, dan pertama kali dipentaskan pada
perayaan pernikahan KGPH Kusumoyudho dan Gusti Ratu Angger di tahun
1910. Tarian ini menggambarkan cara-cara berhias diri seorang gadis yang
baru memasuki masa dewasanya, agar terlihat lebih cantik dan menarik.
5. Tari Bondan
Tari Bondan memiliki tiga jenis, yaitu Bondan Cindogo, Bondan
Marsidiwi, dan Bondan Pegunungan atau Tani. Tari Bondan Cindogo dan
Marsidiwi, merupakan tarian gembira, dibuat untuk mengungkapkan
kegembiraan atas kelahiran anak.
6. Tari Topeng
Tarian ini sebenarnya secara tidak langsung diilhami oleh wayang
wong, atau wayang orang. Tarian ini sempat mengalami kejayaan pada
masa kerajaan Majapahit. Lalu pada masa masuknya islam, sunan kalijaga
menggunakannya sebagai media penyebaran islam. Beliau jugalah yang
menciptakan 9 jenis tari topeng diantaranya: Topeng Panji Ksatrian,
Condrokirono, Gunung sari, Handoko, Raton, Klono, Denowo, Benco, dan
Turas. Tari topeng sendiri dianggap sebagai perlambang sifat manusia,
karena banyaknya model topeng yang menggambarkan emosi manusia
yaitu marah, sedih, dan kecewa. Biasanya cerita yang diangkat dalam tari
topeng adalah bagian dari hikayat atau cerita rakyat, terutama cerita-cerita
panji.
7. Tari Dolalak
Tarian ini dipentaskan oleh beberapa penari yang mengenakan
kostum ala prajurit Belanda atau Prancis tempo dulu, dan diiringi oleh alat
musik seperti kentrung, rebana, kendang, kencer, dan lain-lain. Menurut
legenda, tarian ini terinspirasi dari semangat perjuangan perang rakyat
Aceh yang kemudian meluas ke daerah lain di nusantara.
Kedua, adalah berbagai macam kesenian rakyat yang dikenal di
masyarakat Jawa, baik Jawa Tengah maupun Jawa Timur. Patolan atau
prisenan yang dikenal di daerah Rembang, Jawa Tengah. Kesenian ini
adalah semacam olahraga gulat rakyat, dan dipimpin oleh dua orang wasit
dari masing-masing pihak. Olahraga yang juga hiburan ini biasanya
dimainkan di tempat berpasir seperti di pinggir pantai.
Daerah Blora dikenal memiliki kesenian barongan, kuda kepang, dan
wayang krucil (sejenis wayang kulit, namun terbuat dari kayu).
Di daerah Pekalongan, dikenal kesenian kuntulan dan sintren.
Kuntulan adalah kesenian bela diri yang dilukiskan dengan tarian dengan
iringan bunyi-bunyian seperti bedug, dan lain-lain. Sedangkan sintren, yang
juga dikenal luas di Cirebon, adalah sebuah tarian yang dipenuhi dengan
unsur mistis. Dimana sang penari melakukan gerakan tarian dalam
keadaan tidak sadar. Pertunjukan sintren biasanya dipentaskan pada saat
bulan purnama setelah panen.
Lengger calung, adalah kesenian tradisional yang berasal dari daerah
Banyumas. Tarian ini terdiri dari lengger (penari) dan calung (alat musik
bambu). Gerakan tariannya sangat dinamis dan lincah mengikuti irama dari
calung. Beberapa gerakan khas dari tarian lengger adalah geyol, gedhag,
dan lempar sampur. Dahulu penari lengger adalah para pria yang
berdandan seperti wanita, namun sekarang para pria tersebut hanyalah
sebagai pelengkap tarian saja.
Selain kesenian yang berbentuk tarian, suku Jawa pun memiliki
kesenian dalam bentuk lain, misalnya saja dalam seni musik. Baik
berbentuk alat musik khas daerah, maupun berbentuk lagu-lagu daerah.
Alat musik yang khas, dan tentu saja paling terkenal dari Jawa adalah
gamelan Jawa. Gamelan Jawa ini memiliki bentuk gamelan yang berbeda
dengan Gamelan Bali ataupun Gamelan Sunda. Gamelan Jawa memiliki
nada yang lebih lembut dan slow, berbeda dengan Gamelan Bali yang
rancak dan Gamelan Sunda yang sangat mendayu-dayu dan didominasi
suara seruling. Perbedaan itu wajar, karena Jawa memiliki pandangan
hidup tersendiri yang diungkapkan dalam irama musik gamelannya. Satu
set gamelan biasanya terdiri dari Kendang, Saron, Bonang, Slentem,
Gambang, Gong, Kempul, Kenong, Ketug, Clempung, Keprak, dan Bedug.
Gamelan Jawa sendiri memiliki dua jenis yaitu Gamelan Salendro dan
Gamelan Pelog. Gamelan salendro biasa digunakan untuk mengiringi
pertunjukan wayang, tari, kliningan, jaipongan dan lain-lain. Sedangkan
Gamelan pelog fungsinya hampir sama dengan gamelan salendro, hanya
kurang begitu berkembang dan kurang akrab di masyarakat dan jarang
dimiliki oleh grup-grup kesenian di masyarakat.
Alat musik khas daerah berikutnya adalah Jula-Juli. Jula-Juli adalah
salah satu gendhing khas dari Jawa Timur, dan sangat lazim digunakan
untuk mengiringi Ludruk dan Tari Remo. Sedangkan bentuk kesenian seni
musik yang berupa lagu-lagu daerah dari Jawa antara lain: Bapak Pucung,
Cublak-Cublak Suweng, Gambang Suling, Gai Bintang, Gek Kepriye, Gundul-
Gundul Pacul, Lir-ilir, Jamuran, Kembang Malathe, Karapan Sape.16[16]
F. Sistem Religi di Masyarakat Jawa
Ciri masyarakat Jawa yang lain adalah berketuhanan, bahkan sejak
masa prasejarah. Kepercayaan yang dianutnya adalah kepercayaan
animisme, yaitu suatu kepercayaan tentang adanya roh atau jiwa pada
benda-benda, tumbuhan-tumbuhan, dan juga pada manusia sendiri.
Kepercayaan seperti itu adalah agama mereka yang pertama. Semua benda
yang bergerak diangap hidup dan memiliki roh, baik itu roh berwatak baik
atau jahat.17[17]
Suku-suku bangsa Indonesia dan khususnya suku Jawa sebelum
kedatangan pengaruh Hinduisme telah hidup teratur dengan religi
animisme-dinamisme sebagai akar spiritualitasnya, dan hukum adat
sebagai pranata kehidupan sosial mereka. Adanya warisan hukum adat
menunjukkan bahwa nenek moyang suku bangsa Indonesia asli telah hidup
dalam persekutuan-persekutuan desa yang teratur dan mungkin di bawah
pemerintahan atau kepala adat desa, walaupun masih dalam bentuk yang
cukup sederhana. Religi animisme-dinamisme yang merupakan akar
budaya asli Indonesia dan khususnya dalam masyarakat Jawa cukup

16[16]http://pemulungelitd19kk.wordpress.com/2013/09/30/kebudayaan-masyarakat-
jawa/, diakses pada Sabtu, 20 Desember 2014 pukul 11:47 WIB.

17[17]Kuncoroningrat, Sejarah Kebudayaan Indonesia, Yogyakarta: Jambatan, 1954, hlm. 103.


mengakar dalam sehingga punya kemampuan yang kenyal (elastis).
Dengan demikian, dapat bertahan walaupun mendapat pengaruh dan
berhadapan dengan kebudayaan-kebudayaan yang telah berkembang
maju.18[18]
Dengan kepercayaan tersebut mereka beranggapan bahwa disamping
semua roh yang ada, terdapat roh yang paling berkuasa dan lebih kuat dari
manusia. Dan, agar terhindar dari roh tersebut mereka menyembahnya
dengan jalan mengadakan upacara disertai dengan sesaji.
Pelaksanaan upacara dilakukan oleh masyarakat Jawa adalah agar
keluarga mereka terlindung dari roh yang jahat. Cara yang ditempuh untuk
menghadirkan arwah nenek moyang adalah dengan mengundang orang
yang sakti dan ahli dalam bidang tersebut yang disebut prewangan untuk
memimpin acara. Sebagai kelengkapan upacara tersebut mereka
menyiapkan sesaji dan membakar kemenyan atau bau-bauan lainnya yang
digemari oleh nenek moyang. Selain itu mereka juga menyempurnakan
upacara dengan bunyi-bunyian dan tari-tarian.
Seperti upacara kematian secara berurutan diadakan sebagai berikut:
1. Selametan surtanah atau geblak yang diadakan pada saat meninggalnya
seseorang.
2. Selametan nelung dina, yaitu upacara selamatan kematian yang diadakan
pada hari ketiga sesudah kematian seseorang.
3. Selametan mitung dina, yaitu upacara selamatan kematian yang diadakan
pada hari ketujuh.
4. Selametan matang puluh dina, yaitu upacara selamatan kematian yang
diadakan pada hari keempat puluh.

18[18]Ridin Sofwan, Merumuskan Kembali Interelasi Islam-Jawa, Yogyakarta: Gama Media,


2004, hlm. 17-18.
5. Selametan nyatus, yaitu upacara selamatan kematian yang diadakan pada hari
keseratus.
6. Selametan mendak sepisan dan mendak pindo, yaitu upacara selamatan
kematian yang diadakan pada tahun pertama dan kedua kematian seseorang.
7. Selametan nyewu, yaitu upacara selamatan kematian yang diadakan pada hari
keseribu.
8. Selametan nguwis-nguwisi, yaitu upacara selamatan kematian yang diadakan
terakhir kali.
Masyarakat Jawa mempercayai bahwa apa yang telah mereka bangun
adalah hasil adaptasi pergaulan dengan alam. Keberhasilan pertanian
tergantung dari kekuatan alam, matahari, hujan, angin dan hama. Tetapi mereka
masih mempercayai kekuatan adikodrati dibalik semua kekuatan alam itu.
Dalam kepercayaan Jawa terdapat usaha untuk menambah kekuatan batin.
Usaha ini dilakukan dengan menggunakan benda-benda bertuah atau
berkekuatan gaib yang sering disebut dengan jimat.19[19]
Selain itu, masyarakat jawa juga mempunyai tradisi upacara adat
dalam setiap kegiatan-kegiatan besar, seperti :
1. Kematian (Mendhak)
2. Upacara nyewu dina (memohon pengampunan kepada Tuhan)
3. Upacara Brobosan (penghormatan dari sanak keluarga kepada orang tua
dan leluhur mereka yang telah meninggal dunia)
4. Upacara-upacara sebelum pernikahan (Siraman, Upacara Ngerik,
Upacara Midodareni, Upacara diluar kamar pelaminan, Srah-srahan atau
Peningsetan, Nyantri, Upacara Panggih atau Temu, Balangan suruh
Penganten, dan lain-lain)
5. Upacara untuk kelahiran bayi, seperti:
a) Wahyu Tumurun

19[19]Amin Daroji, Islam dan Kebudayaan Jawa, Semarang: Gama Media, 2000, hlm. 10.
Maknanya agar bayi yang akan lahir menjadi orang yang senantiasa
mendekatkan diri kepada Tuhan Yang Maha Esa.
b) Sido Asih
Maknanya agar bayi yang akan lahir menjadi orang yang selalu dicintai dan
dikasihi oleh sesama serta mempunyai sifat belas kasih.
c) Sidomukti
Maknanya agar bayi yang akan lahir menjadi orang yang mukti wibawa,
yaitu berbahagia dan disegani karena kewibawaannya.
d) Truntum
Maknanya agar keluhuran budi orang tuanya menurun (tumaruntum) pada
sang bayi.
e) Sidoluhur
Maknanya agar anak menjadi orang yang sopan dan berbudi pekerti luhur.
f) Parangkusumo
Maknanya agar anak memiliki kecerdasan bagai tajamnya parang dan
memiliki ketangkasan bagai parang yang sedang dimainkan pesilat
tangguh.
g) Semen romo
Maknanya agar anak memiliki rasa cinta kasih kepada sesama layaknya
cinta kasih Rama dan Sinta pada rakyatnya.
h) Udan riris
Maknanya agar anak dapat membuat situasi yang menyegarkan, enak
dipandang, dan menyenangkan siapa saja yang bergaul dengannya.
i) Cakar ayam
Maknanya agar anak pandai mencari rezeki bagai ayam yang mencari
makan dengan cakarnya karena rasa tanggung jawab atas kehidupan anak-
anaknya, sehingga kebutuhan hidupnya tercukupi, syukur bisa kaya dan
berlebihan.
j) Grompol
Maknanya semoga keluarga tetap bersatu, tidak bercerai-berai akibat
ketidakharmonisan keuarga (nggrompol: berkumpul).
k) Lasem
Bermotif garis vertikal, bermakna semoga anak senantiasa bertakwa pada
Tuhan Yang Maha Esa.
l) Dringin
Bermotif garis horisontal, bermakna semoga anak dapat bergaul,
bermasyarakat, dan berguna antar sesama.20[20]

IV. ANALISIS
Globalisasi berjalan seiring kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, di
samping membawa kemajuan di dalam pribadi pemuda dan setiap elemen
masyarakat, globalisasi juga memberikan dampak buruk pada budaya.
Eksistensi budaya menjadi terancam, karena masyarakat yang merasakan
kemajuan jaman selalu beranggapan bahwa budaya daerah tidaklah penting
karena yang ada dalam otak mereka adalah bagaimana caranya dapat terus
mengikuti kemajuan iptek yang terjadi.
Ironinya bukan hanya sekedar memberi dampak buruk terhadap sikap
masyarakat, namun juga merasuk ke dalam jiwa mereka kemudian tertanam
kukuh dan kemudian menguasai mereka. Sehingga mengalahkan kesadaran
mereka dalam berbudaya.
Salah satu penyebab utama yang lainnya adalah karena pemerintah tidak
lagi memasukkan pendidikan bahasa Jawa ke dalam kurikulum pendidikan
1975. Barulah sepuluh tahun kemudian terasa mengapa pemuda tidak dapat
menguasai budaya Jawa dan tata krama Jawa. Namun, di sisi lain tidak sedikit

20[20]http://h3rcul3z.blogspot.com/2014/04/makalah-kebudayaan-suku-jawa.html, diakses
pada Sabtu, 20 Desember 2014, pukul 09:43 WIB.
warga negara asing yang kagum akan budaya Jawa dan sangat antusias serta
berlomba-lomba untuk bisa dan belajar budaya Jawa.
Memang sebuah kenyataan pahit yang harus diterima. Namun hal tersebut
tidak boleh dibiarkan begitu saja. Rasa bangga tidak cukup hanya diucapakan di
bibir saja, namun harus dibuktikan dengan tindakan nyata, yaitu kita wajib
menjaga dan melestarikan budaya kita.
Budaya adalah sebuah identitas yang akan membuat kita bertahan.
Bertahan bukan dengan melawan tetapi dengan menerima. Menerima beragam
perbedaan yang akan selalu hadir dalam perputaran jaman. Dan masih ada
harapan, karena masih banyak anak-anak yang belajar tentang budaya mereka.
Dan mereka akan belajar banyak melalui kisah-kisah heroic yang akan
mempengaruhi keputusan mereka kelak.
V. KESIMPULAN
A. Kebudayaan Jawa adalah sebuah sistem yang mencakup bahasa, sistem
teknologi, mata pencaharian, organisasi sosial, corak berpikir, sistem
kegamaan dan kesenian yang dianut dan dilestarikan secara turun-
temurun oleh masyarakat setempat. Budaya Jawa memiliki empat ciri
utama, yaitu religius, non doktriner, toleran dan akomodatif. Di lihat dari
kriteria tingkatannya, ada dua macam bahasa Jawa yaitu bahasa Jawa
Ngoko dan Krama.
B. Pada umumnya, orang-orang Jawa bekerja pada segala bidang, terutama
administrasi negara dan kemiliteran. Selain itu, mereka bekerja pada
sektor pelayanan umum, pertukangan, perdagangan dan pertanian dan
perkebunan.
C. Silsilah keturunan jawa: anak, putu, buyut, canggah, wareng, udheg-
udheg, gantung siwur, gropak senthe, kandhang bubrah, debog bosok, galih
asem.
D. Dalam sistem kemasyarakatan Jawa, dikenal 4 tingkatan yaitu Priyayi,
Ningrat atau
Bendara, Santri dan Wong Cilik.
E. Kesenian yang terdapat dalam kebudayaan Jawa sangat beraneka ragam,
mulai dari tari-tarian, lagu daerah, wayang orang, dan juga wayang kulit,
serta masih ada berbagai macam kesenian lainnya.
F. Kepercayaan masyarakat jawa adalah kepercayaan animisme, yaitu suatu
kepercayaan tentang adanya roh atau jiwa pada benda-benda, tumbuhan-
tumbuhan, dan juga pada manusia sendiri.

VI. PENUTUP
Demikianlah makalah yang dapat kami uraikan. Kami menyadari bahwa
dalam penyusunan makalah ini masih banyak kekurangan. Karena
sesungguhnya kesempurnaan itu milik Allah dan kekurangan adalah bagian dari
kita. Oleh karena itu, saya mengharapkan kritik dan saran yang konstruktif
untuk memperbaiki makalah berikutnya. Semoga makalah ini bermanfaat dan
menambah referensi pengetahuan kita. Terima kasih.

DAFTAR PUSTAKA

Aveling, Harry, The Development of Indonesian Socirty, 1979.


Daroji, Amin, Islam dan Kebudayaan Jawa, Semarang: Gama Media, 2000.
Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia edisi ketiga,
Jakarta: Balai Pustaka, 2005.
Hana, Siti, Makalah Pergeseran Nilai-Nilai Budaya Jawa Di Era Globalisasi,
Semarang: IAIN Walisongo, 2010.
Khalim, Samidi, Islam dan Spiritualitas Jawa, Semarang: Rasail Media Group,
2008.
Koentjaraningrat, Manusia Dan Kebudayaan Di Indonesia, Jakarta: Djambatan,
2007.
Kuncoroningrat, Sejarah Kebudayaan Indonesia, Yogyakarta: Jambatan, 1954.
M, Munandar, Sualiman, Ilmu Budaya Dasar, Bandung: Rosda Offset, 1988.
Shodiq, Potret Islam Jawa, Semarang: Pustaka Zaman, 2013.
Simuh, Keunikan Interaksi Islam dan Budaya Jawa.
Sofwan, Ridin, Merumuskan Kembali Interelasi Islam-Jawa, Yogyakarta: Gama
Media, 2004.
http://pemulungelitd19kk.wordpress.com/2013/09/30/kebudayaan-
masyarakat-jawa/
http://h3rcul3z.blogspot.com/2014/04/makalah-kebudayaan-suku-
jawa.html

Você também pode gostar