Você está na página 1de 13

MAKALAH

ANGINA LUDWIG

Disusun Oleh:
Fadhlan Hidayat G99181125
Dimar Yudistyaningrum G99172057
Indah Ariesta G99172090
Neoniza Eralusi Asrini G99172127

Periode: 7 Januari 2019 – 20 Januari 2019

Pembimbing:
drg. Eva Sutyowati Permatasari, Sp.BM, MARS

KEPANITERAAN KLINIK ILMU GIGI DAN MULUT


FAKULTAS KEDOKTERAN UNS / RSUD DR. MOEWARDI
SURAKARTA
2018
BAB I
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Angina Ludwig merupakan selulitis diffusa yang potensial mengancam
nyawa yang mengenai dasar mulut dan region submandibular bilateral dan
menyebabkan obstruksi progresif dari jalan nafas. Wilhelm Frederick von Ludwig,
pertama kali mendeskripsikan kondisi ini pada tahun 1836 sebagai infeksi ruang
fasial yang hampir selalu fatal1,2.
Angina Ludwig ditandai dengan demam, dispnea, disfagia akibat
pembengkakan pada lantai mulut dan leher. Pada beberapa instansi, angina ini
berkembang akibat komplikasi dari infeksi odontogenik dari gigi molar kedua dan
ketiga. Pada pemeriksaan mikrobiologi, angina Ludwig diakibatkan oleh
polimikroba, baik gram positif ataupun gram negatif, aerob ataupun anaerob.
Biasanya angina ini disebabkan oleh Streptokokus spp, Stafilokokus aureus,
Prevotella spp, dan Porfirimonas spp1.
Terapi pada angina Ludwig bertujuan untuk mengamankan jalan nafas, terapi
antimikroba spectrum luas secara agresif, dan dekompresi facial planes dengan
memusnahkan sumber infeksi1.
Mengenal tanda-tanda awal angina Ludwig sangat penting dalam manajemen
gangguan ini. Pada kasus tahap lanjut, mengamankan patensi jalan nafas dan
drainase surgical sangat penting untuk menghindari terjadinya asfiksia3.
Prognosis angina Ludwig sangat tergantung kepada seberapa cepat
tatalaksana mengamankan jalan nafas dan pemberian antibiotic dilakukan. Pada era
sebelum ditemukannya antibitik, tingkat kematian lebih tinggi dibandingkan
dengan era saat antibiotik telah ditemukan2.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Definisi
Angina Ludwig didefinisikan sebagai selulitis yang menyebar dengan cepat,
potensial menyebabkan kematian, yang mengenai ruang sublingual dan
submandibular. Umumnya, infeksi dimulai dengan selulitis, kemudian berkembang
menjadi fasciitis, dan akhirnya berkembang menjadi abses yang menyebabkan
indurasi suprahioid, pembengkakan pada dasar mulut, dan elevasi serta perubahan
letak lidah ke posterior2,4,5.
Wilhelm Fredrick von Ludwig pertama kali mendeskripsikan angina Ludwig
ini pada tahun 1836 sebagai gangrenous cellulitis yang progresif yang berasal dari
region kelenjar submandibula1,2,5,6.

Gambar 1. Anatomi dari ruang submandibular2


2.2. Epidemiologi
Kebanyakan kasus angina Ludwig terjadi pada individu yang sehat. Kondisi
yang menjadi faktor risiko yaitu diabetes mellitus, neutropenia, alkoholisme,
anemia aplastik, glomerulonefritis, dermatomiositis, dan lupus eritematosus
sistemik. Umunya, pasien berusia antara 20-60 tahun, tetapi ada yang melaporkan
kasus ini terjadi pada rentang usia 12 hari sampai 84 tahun. Laki-laki lebih sering
terkena dibandingkan dengan perempuan dengan perbandingan 3:1 atau 4:12.

2.3. Etiologi
Angina Ludwig biasanya disebabkan oleh infeksi odontogenik, khususnya
dari gigi molar kedua atau ketiga bawah. Gigi ini mempunyai akar yang berada di
atas otot milohioid, dan abses di lokasi ini dapat menyebar ke ruang
submandibular2.
Infeksi biasanya disebabkan oleh bakteri streptokokus, stafilokokus, atau
bakteroides. Namun, 50% kasus disebabkan disebabkan oleh polimikroba, baik
oleh gram positif ataupun gram negatif, aerob ataupun anaerob2,7.
Penyebab lain dari angina Ludwig yaitu sialadenitis, abses peritonsil, fraktur
mandibula terbuka, kista duktus tiroglossal yang terinfeksi, epiglotitis, injeksi
intravena obat ke leher, bronkoskopi yang menyebabkan trauma, intubasi
endotrakea, laserasi oral, tindik lidah, infeksi saluran nafas bagian atas, dan trauma
pada dasar mulut2,6.

2.4. Patofisiologi
Angina Ludwig merupakan suatu selulitis dari ruang sublingual dan
submandibular akibat infeksi dari polimikroba yang berkembang dengan cepat dan
dapat menyebabkan kematian akibat dari gangguan jalan nafas. Pada pemeriksaan
bakteriologi ditemukan polimikroba dan kebanyakan merupakan flora normal pada
mulut2.
Organism yang sering diisolasi pada pasien angina Ludwig yaitu Streptokokus
viridians dan Stafilokokus aureus. Bakteri anaerob juga sering terlibat, termasuk
bakteroides, peptostreptokokus, dan peptokokus. Bakteri gram positif lainnya yang
berhasil diisolasi yaitu Fusobacterium nucleatum, Aerobacter aeruginosa,
spirochetes, and Veillonella, Candida, Eubacteria, dan Clostridium species. Bakteri
gram negative yang berhasil diisolasi termasuk Neisseria species, Escherichia coli,
Pseudomonas species, Haemophilus influenzae, dan Klebsiella sp2.

2.5. Manifestasi Klinis


Pasien dengan angina Ludwig biasanya memiliki riwayat ekstraksi gigi
sebelumnya atau hygiene oral yang buruk dan nyeri pada gigi. Gejala klinis yang
ditemukan konsisten dengan sepsis yaitu demam, takipnea, dan takikardi. Pasien
bisa gelisah, agitasi, dan konfusi. Gejala lainnya yaitu adanya pembengkakan yang
nyeri pada dasar mulut dan bagian anterior leher, demam, disfagia, odinofagia,
drooling, trismus, nyeri pada gigi, dan fetid breath. Suara serak, stridor, distress
pernafasan, penurunan air movement, sianosis, dan “sniffing” position2.
Stridor, kesulitan mengeluarkan secret, kecemasan, sianosis, dan posisi duduk
merupakan tanda akhir dari adanya obstruksi jalan nafas yang lama dan merupakan
indikasi untuk dipasang alat bantu pernafasan3.
Pasien dapat mengalami disfonia yang disebabkan oleh edema pada struktur
vokalis. Gejala klinis ini harus diwaspadai oleh klinisi akan adanya gangguan berat
pada jalan nafas2.
Gambar 2. Pembengkakan pada area submandibular 8

2.6. Diagnosis
Diagnosis angina ludwig dapat ditegakkan melalui anamnesa,
pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang.
Pada anamnesis ditemukan gejala awal berupa nyeri pada area gigi
yang terinfeksi. Dagu terasa tegang dan nyeri saat menggerakkan lidah.
Penderita mungkin akan mengalami kesulitan membuka mulut, berbicara,
dan menelan, yang mengakibatkan keluarnya air liur terus-menerus serta
kesulitan bernapas. Penderita juga dilaporkan mengalami kesulitan makan
dan minum, serta didapatkan demam dan rasa menggigil.9
Pada pemeriksaan fisik didapatkan dasar mulut terlihat merah dan
membengkak. Saat infeksi menyebar ke belakang mulut, peradangan pada
dasar mulut akan menyebabkan lidah terdorong ke atas-belakang sehingga
menyumbat jalan napas. Jika laring ikut membengkak, saat bernapas akan
terdengar suara tinggi (stridor). Biasanya penderita akan mengalami
dehidrasi akibat kurangnya cairan yang diminum maupun makanan yang
dimakan. Demam tinggi mungkin ditemui, yang menindikasikan adanya
infeksi sistemik.9
Beberapa metode pemeriksaan penunjang seperti laboratorium
maupun pencitraan dapat berguna untuk menegakkan diagnosis.7
Pada pemeriksaan laboratorium darah akan tampak leukositosis
yang mengindikasikan adanya infeksi akut. Pemeriksaan waktu bekuan
darah juga penting untuk dilakukan tindakan insisi drainase.7 Kemudian
dapat juga dilakukan pemeriksaan kultur dan sensitivitas untuk menentukan
bakteri yang menginfeksi (aerob dan/atau anaerob) serta menentukan
pemilihan antibiotik dalam terapi.7
Pemeriksaan lanjutan lainnya dapat dilakukan pemeriksaan
pencitraan berupa:
 Rontgent: walaupun radiografi foto polos dari leher kurang berperan
dalam mendiagnosis atau menilai dalamnya abses leher, foto polos
ini dapat menunjukkan luasnya pembengkakkan jaringan lunak.
Radiografi dada dapat menunjukkan perluasan proses infeksi ke
mediastinum dan paru-paru. Foto panoramik rahang dapat
membantu menentukan letak fokal infeksi atau abses, serta struktur
tulang rahang yang terinfeksi.7
 USG: USG dapat menunjukkan lokasi dan ukuran pus, serta
metastasis dari abses. USG dapat membantu diagnosis pada anak
karena bersifat non-invasif dan non-radiasi. USG juga membantu
pengarahan aspirasi jarum untuk menentukan letak abses.7
 CT-scan: CT-scan merupakan metode pencitraan terpilih karena
dapat memberikan evaluasi radiologik terbaik pada abses leher
dalam. CT-scan dapat mendeteksi akumulasi cairan, penyebaran
infeksi serta derajat obstruksi jalan napas sehingga dapat sangat
membantu dalam memutuskan kapan dibutuhkannya pernapasan
buatan.7
 MRI: MRI menyediakan resolusi lebih baik untuk jaringan lunak
dibandingkan dengan CT-scan. Namun, MRI memiliki kekurangan
dalam lebih panjangnya waktu yang diperlukan untuk pencitraan
sehingga sangat berbahaya bagi pasien yang mengalami kesulitan
bernapas.7
2.7. Diagnosis Banding
Diagnosis banding dari angina Ludwig yaitu edema angioneurotik,
karsinoma lingual, hematoma sublingual, abses kelenjar saliva,
limfadenitis, selulitis, dan abses peritonsil2.
2.8. Penatalaksanaan
Setelah diagnosis angina Ludwig ditegakkan, maka selanjutnya perlu
dilakukan tatalaksana yang berfokus pada tiga hal utama. Pertama yaitu
menjaga patensi jalan napas yang stabil melalui trakeostomi. Trakeostomi
awalnya dilakukan pada kebanyakan pasien, namun dengan adanya teknik
intubasi serta penempatan fiber-optic Endotracheal Tube yang lebih baik,
maka kebutuhan akan trakeostomi berkurang. Intubasi dilakukan melalui
hidung dengan menggunakan teleskop yang fleksibel saat pasien masih
sadar dan dalam posisi tegak. Jika tidak memungkinkan, dapat dilakukan
krikotiroidotomi atau trakheotomi dengan anestesi lokal.7
Penatalaksanaan kedua berupa terapi antibiotik secara progesif,
dibutuhkan untuk mengobati dan membatasi penyebaran infeksi. Pemberian
dexamethasone IV selama 48 jam, di samping terapi antibiotik dan operasi
dekompresi, dilaporkan dapat membantu proses intubasi dalam kondisi
yang lebih terkontrol, menghindari kebutuhan akan
trakheotomi/krikotiroidotomi, serta mengurangi waktu pemulihan di rumah
sakit. Diawali dengan dosis 10mg, lalu diikuti dengan pemberian dosis 4 mg
tiap 6 jam selama 48 jam.7
Setelah patensi jalan napas telah teratasi maka antibiotik IV segera
diberikan. Awalnya pemberian Penicillin G dosis tinggi (2-4 juta unit IV
terbagi setiap 4 jam) merupakan lini pertama pengobatan angina Ludwig.
Namun, dengan meningkatnya prevalensi produksi beta-laktamase terutama
pada Bacteroides sp, penambahan metronidazole, clindamycin, cefoxitin,
piperacilin-tazobactam, amoxicillin-clavulanate harus dipertimbangkan.
Kultur darah dapat membantu mengoptimalkan regimen terapi.7

Gambar 3. Algoritma diagnosis dan manajemen Angina Ludwig2

Penatalaksanaan ketiga berupa dekompresi ruang submandibular,


sublingual, dan submental. Eksplorasi dilakukan dengan tujuan dekompresi
(mengurangi ketegangan) dan evaluasi pus, di mana pada umumnya angina
Ludwig jarang terdapat pus atau jaringan nekrosis. Eksplorasi lebih dalam
dapat dilakukan memakai cunam tumpul. Jika terbentuk nanah, dilakukan
insisi dan drainase. Insisi dilakukan di garis tengah secara horisontal
setinggi os hyoid (3-4 jari di bawah mandibula). Insisi dilakukan di bawah
dan paralel dengan corpus mandibula melalui fascia dalam sampai
kedalaman kelenjar submaksila. Insisi vertikal tambahan dapat dibuat di
atas os hyoid sampai batas bawah dagu. Jika gigi yang terinfeksi merupakan
fokal infeksi dari penyakit ini, maka gigi tersebut harus diekstraksi untuk
mencegah kekambuhan. Pasien di rawat inap sampai infeksi reda.4

Gambar 4. Kondisi pasien post-trakeostomi namun masih membutuhkan


drainase abses. Tampak depan dan samping menunjukkan pembengkakkan
submandibular dan sublingual.

2.9. Komplikasi
Angina Ludwig merupakan selulitis bilateral dari ruang
submandibular yang terdiri dari dua ruang yaitu ruang sublingual dan ruang
submaksilar. Secara klinis, kedua ruang ini berfungsi sebagai satu kesatuan
karena adanya hubungan bebas serta kesamaan dalam tanda dan gejala
klinis. Celah buccopharingeal, yang dibentuk oleh m. styloglossus melalui
m. constrictor media dan superior, merupakan penghubung antara ruang
submandibular dengan ruang pharingeal lateral. Infeksi angina Ludwig
dapat menyebar secara langsung melalui celah buccopharingeal ini ke ruang
pharingeal lateral, di mana selulitis akan dengan cepat menjadi berbahaya
serta menimbulkan obstruksi jalan napas yang berat.7
Akibat barrier anatomik yang tidak dibatasi, infeksi dapat menyebar
secara mudah ke jaringan leher, ruang fascia retropharingeal, bahkan hingga
mediastinum dan ruang subphrenik. Selain gejala obstruksi jalan napas yang
dapat terjadi tiba-tiba, komplikasi dari angina Ludwig dapat berupa
trombosis sinus kavernosus, aspirasi dari sekret yang terinfeksi, dan
pembentukan abses subphrenik. Komplikasi lebih lanjut yang telah
dilaporkan meliputi sepsis, mediastinitis, efusi perikardial/pleura, empiema,
infeksi dari carotid sheath yang mengakibatkan ruptur a. carotis, dan
thrombophlebitis supuratif dari v. jugularis interna.7
2.10. Pencegahan
Pencegahan dapat dilakukan dengan pemeriksaan gigi ke dokter
secara rutin dan teratur. Penanganan infeksi gigi dan mulut yang tepat dapat
mencegah kondisi yang akan meningkatkan terjadinya angina Ludwig.4
2.11. Prognosis
Prognosis angina Ludwig tergantung pada kecepatan proteksi jalan
napas untuk mencegah asfiksia, eradikasi infeksi dengan antibiotik, serta
pengurangan radang. Sekitar 45% – 65% penderita memerlukan insisi dan
drainase pada area yang terinfeksi, disertai dengan pemberian antibiotik
untuk memperoleh hasil pengobatan yang lengkap. Selain itu, 35% dari
individu yang terinfeksi memerlukan intubasi dan trakeostomi.9,10
Angina Ludwig dapat berakibat fatal karena membahayakan jiwa.4
Kematian pada era preantibiotik adalah sekitar 50%. Namun dengan
diagnosis dini, perlindungan jalan nafas yang segera ditangani, pemberian
antibiotik intravena yang adekuat serta penanganan dalam ICU, penyakit ini
dapat sembuh tanpa mengakibatkan komplikasi. Begitu pula angka
mortalitas dapat menurun hingga kurang dari 5%.4,10
BAB III
KESIMPULAN

Angina Ludwig didefinisikan sebagai selulitis yang menyebar dengan cepat,


potensial menyebabkan kematian, yang mengenai ruang sublingual dan
submandibular. Karakter spesifik yang membedakan angina Ludwig dari infeksi
oral lainnya ialah infeksi ini harus melibatkan dasar mulut serta kedua ruang
submandibularis (sublingualis dan submaksilaris) pada kedua sisi (bilateral).2,4,9
Kebanyakan kasus angina Ludwig terjadi pada individu yang sehat. Kondisi
yang menjadi faktor risiko yaitu diabetes mellitus, neutropenia, alkoholisme,
anemia aplastik, glomerulonefritis, dermatomiositis, dan lupus eritematosus
sistemik. Umunya, pasien berusia antara 20-60 tahun, tetapi ada yang melaporkan
kasus ini terjadi pada rentang usia 12 hari sampai 84 tahun.2 Organisme yang paling
banyak ditemukan pada penderita melalui isolasi adalah Streptococcus viridians
dan Staphylococcus aureus. 11
Diagnosis angina ludwig ditegakkan melalui anamnesis, pemeriksaan fisik,
dan pemeriksaan penunjang. Manifestasi klinis dari angina Ludwig meliputi
pembengkakan, nyeri dan terdorongnya lidah ke atas; pembengkakan leher dan
jaringan ruang submandibular yang keras seperti papan; malaise; demam; disfagia.
Tanda-tanda penting seperti pasien tidak mampu menelan air liurnya sendiri dan
adanya stridor inspirasi mengindikasikan adanya obstruksi jalan napas.5
Penatalaksaan angina Ludwig memerlukan tiga fokus utama, yaitu:
pertama, menjaga patensi jalan napas dengan intubasi nasal,trakeostomi,
krikotiroidotomi atau trakheotomi; kedua, terapi antibiotik IV secara progesif,
dibutuhkan untuk mengobati dan membatasi penyebaran infeksi; ketiga,
dekompresi ruang submandibular, sublingual, dan submental dengan cara insisi
atau drainase abses.7 Prognosis angina Ludwig tergantung pada kecepatan proteksi
jalan napas untuk mencegah asfiksia, eradikasi infeksi dengan antibiotik, serta
pengurangan radang. 9
DAFTAR PUSTAKA

1. Ugboko V, Ndukwe K, Oginni F. 2005. Ludwig’s Angina: An Analysis of


Sixteen Cases in a Suburban Nigerian Tertiary Facility. African Journal of oral
Health. Volume 2 Numbers 1 & 2 2005: 16-23
2. Lemonick DM. 2002. Ludwig’s Angina: Diagnosis and Treatment. Hospital
Physician. p. 31-37
3. Kulkarni AH, Pai SD, Bhattarai B, Rao ST, Ambareesha M. 2008. Ludwig’s
Angina and Airway Considerations: A Case Report. Cases Journal 2008, 1:19
4. Grupta AK, Dhulkhed VK, Rudagi BM, Gupta A. 2009. Drainage of Ludwig’
Angina under Superficial Cervical Plexus Block in Pediatric Patient. Anestesia
Pediatrica e Neonatale, Vol. 7, N. 3
5. Cossio PI, Hinojosa EF, Cruz MAM, Perez LMG. 2010. Ludwig´s angina and
ketoacidosis as a first manifestation of diabetes mellitus. Med Oral Patol Oral
Cir Bucal. 2010 Jul 1;15 (4):e624-7
6. Srirompotong S. 2003. Ludwig’s angina: a clinical review. Eur Arch
Otorhinolaryngol (2003) 260 : 401–403
7. Moorhead K, Guiahi M. 2010. Case Report: Pregnancy Complicated by
Ludwig’s Angina Requiring Delivery. Infectious Diseases in Obstetrics and
Gynecology Volume 2010, Article ID 158264, 3 pages
8. Arfani A. Dentist: Phlegmon. available at:
http://asnuldentist.blogspot.com/2010/08/phlegmon.
9. Anonymous. Ludwig's Angina. available at:
http://www.mdguidelines.com/ludwigs-angina.
10. Bailey B. Odontogenic Infection. Head and Neck Surgery. 4th ed.
Pennsylvanya: Elsener Mosby; 2005.
11. Topazian R. Oral and Maxillofacial Infection. 4th ed. St. Louis: W.B. Saunders;
2002.

Você também pode gostar