Você está na página 1de 12

Jejak Derita dan Tawa Jamaah Haji

Muslim Uighur di Makkah


Selasa , 18 Des 2018, 11:46 WIB

Republika/Wilda Fizriyani
Sejumlah petugas berseragam nampak mengawasi jamaah haji Cina di Bandara Kingabdulaziz, Jeddah, Kamis (30/1).
Tanpa emblem kesatuan dan hanya dilengkapi badge bendera Cina, mereka mengawal para jamaah hingga ke pesawat.

Oleh: Muhammad Subarkah, Jurnalis Republika

Inilah catatan para jurnalis ketika berhaji ke Makkah. Keduanya menjadi


saksi jejak derita Muslim di Uighur, Cina. Mereka melihat langsung
ketabahan mereka dan kekompakan mereka. Dengan sosok tubuh yang
rata-rata telah menua mereka menjalani seluruh ritual haji dengan
semangat. Beban derita tak mereka tampakan. Cuma wajah dan sorot mata
mereka yang bicara.

Catatan pertama datang dari wartawan senior asal Tapanuli Selatan, Mesti
Arnanda Nasutuion. Dia menulis begini:
Pada musim haj 2018, kebetulan kami bersebelahan hotel dengan suku di
negara Cina yang tingal di wilauahah bagian barat, yakni Uigur. Publik
sekarangnya dengan sebutan Muslim Uighur. Publik di Indonesia tengah
memperhannya dengan seksama, ketika mereka mendengar Muslim yang
tinggal di daerah itu terus diperseksui. Tokoh Islam sudah bereaksi atas
perlakuan yang tidak beradab selama ini.

Kami tinggal di daerah Mahbas Jin. Jumlah mereka tidaklah sedikit, karena
ada dua hotel berlantai 15 yangg mereka huni. Lokasinya persis di kiri
kanan Hotel Masaad Al Aseel, tempat kami menginap selama 30 hari.

Jamaah haji Cina tiba di terminal haji Bandara Amir Mohammed Bin
Abdulaziz, Madinah, Arab Saudi, Selasa dini hari (8/8).

Sampai-sampai karena banyaknya jumlah muslim Uighur ini, akhirnya


membuat pengelola Masjid Kotak, masjid besar di kawasan Mahbas Jin,
membuat teribisan agar mereka bisa beribadah dengan nyaman. Mereka
meminta salah seorang seorang ustadz muslim Uighur untuk menjadi
penterjemah ceramah rutin sehabis sholat 5 waktu yang disampaikan Syekh

Arab di masjid tersebut.

Di Makkah, selama musim haji. jamaah Muslim Uighur ini sangat gampang
dikenali. Dalam kesehariannya, termasuk ketika menuju Masjidil Haram,
baik laki-laki maupun wanita selalu mengenakan rompi warna biru muda
dipadu dgn celana panjang dan sepatu cats.

Selain itu, peci putih tak pernah lepas dari kepala jamaah laki-lakinya.
Jamaah perempuan selalu mengenakan jilbab putih dan model
pemasangannya juga seragam.
Dari raut wajahnya yang mulai keriput, saya memperkirakan usia mereka
hampir semua di atas 50 tahun.

Namun untuk urusan menjalankan ibadah, muslim Uighur layaknya jamaah


usia muda. Mereka gesit, kuat dan solid dalam menerobos kerumunan
manusia. Jamaah Uighur tidak ada yang saya temukan menggunakan
tongkat atau kursi roda.

Kalau berjalan mereka selalu kompak beriringan, saat tawaf pasti


berpegangan dengan anggota rombongannya. Akibatnya, sulit memotong
jalur mereka. Muslim Uighur ini sulit untuk "dikalahkan".
Jamaah haji asal Cina.

Sayangnya, interaksi verbal sulit dilakukan dgn muslim Uighur. Mereka rata-
rata tidak bisa berbahasa Inggris. Namun "semangat dan kebahagian" yg
mereka tampakkan di Makkah, ternyata berbeda jauh dengan nasib mereka
di negaranya dalam menjalankan aqidahnya. Mereka ternyata orang-orang
tertindas!

Catatan yang senada berasal dari kisah wartawan Republika.Co. id yang


pada tahun 2017 berhaji di Makkah dan lama tinggal di Madinah, Anu
Nursalikhah. Ketika melijat jamaah haji Musim Uighur di tergerak untuk
menuliskan catatannya. Isinya tentang sejarah dan keliatan Muslim yang
tinggal di wilayah itu untuk bertahan dalam situasi represi yang sangat
keras. Dia menulis begini:

Perjuangan Muslim Uighur untuk merdeka bermula pada abad ke-18 di


saat Dinasti Qing menaklukkan Provinsi Xinjiang. Warga Uighur melakukan
sejumlah perlawanan terhadap dinasti yang memerintah Cina hingga awal
abad ke-20.

Bangsa Uighur adalah keturunan klan Turki yang hidup di Asia Tengah,
terutama di Xinjiang. Namun, sejarah etnis Uighur menyebut daerahnya itu
Uighuristan atau Turkestan Timur.

Negara Turkestan Timur dideklarasikan pada 1949. namun hanya seumur


jagung. Di tahun itu juga, Xinjiang resmi menjadi bagian Komunis Cina.

Menurut sejarah, bangsa Uighur merdeka telah tinggal di Uighuristan lebih


dari 2.000 tahun. Tapi Cina mengklaim daerah itu warisan sejarahnya, dan
oleh karenanya tak dapat dipisahkan dari Cina. Orang Uighur percaya, fakta
sejarah menunjukkan klaim Cina tidak berdasar dan sengaja
menginterpretasikan sejarah secara salah untuk kepentingan ekspansi
wilayahnya.

Muslim Uighur
Uighuristan merupakan tanah subur 1.500 mil dari Beijing, dengan luas 1,6
juta kilometer persegi atau hampir 1/6 wilayah Cina. Xinjiang adalah
provinsi terbesar di Cina. Di utara, tanah Uighur berbatasan dengan
Kazakhstan; Mongolia di timur laut; Kirgistan dan Tajikistan di barat laut;
dan dengan Afghanistan-Pakistan di barat daya.

Ada dua kelompok etnis Muslim besar di Cina: Hui dan Uighur. Meski
sama-sama Muslim, kedudukan kedua kelompok ini di masyarakat Cina
sangat bertolak belakang.

Muslim Uighur yang aslinya berbicara bahasa turki dengan tulisan Arab
mempunyai populasi sekitar delapan juta orang. Etnis Hui diperkirakan
berjumlah 11 juta orang. Mereka tersebar di berbagai penjuru Cina. Namun,
mereka paling banyak berada di Kawasan Otonomi Ningxia Hui.

Muslim Uighur dan Masjid Id Kah, Kashgar, Xianjiang, Cina.


Tidak seperti Hui, Uighur menghadapi sejumlah diskriminasi. Laporan
Human Rights Watch 2013 tentang Cina mengatakan atas nama upaya
kontraterorisme dan antiseparatisme, pemerintah mempertahankan sistem
diskriminasi etnis terhadap Uighur dan secara tajam mengekang ekspresi
agama dan budaya.

Muslim Hui lebih bisa berbaur dengan masyarakat Cina pada umumnya.
Salah satunya karena faktor bahasa. Uighur tidak begitu menguasai bahasa
Mandarin.. Berbeda dengan Hui yang berbicara dalam bahasa Mandarin
sehingga memiliki kesempatan untuk memperbaiki kehidupan.

Perbedaan bahasa ini juga menyebabkan pandangan miring dari


masyarakat. Mereka menganggap Muslim Uighur adalah golongan yang
tidak berpendidikan.

Belum lagi bias dari pemberitaan media pemerintah. Adanya kejahatan atau
kekerasan yang dilakukan Uighur dengan cepat diberi label aksi terorisme.
Hui tidak mengalami hal ini. Pelabelan ini menjadi stereotip bagi publik.
Pelabelan ini juga menjadi tantangan besar bagi Uighur.

Meski situasinya rumit, banyak yang mengatakan faktor ekonomi dan


budaya menjadi akar penyebab kekerasan. Aktivis mengatakan aktivitas
perdagangan dan kebudayaan Uighur maskin dikekang pemerintah
Cina. memang budaya Uighur lebih condong ke Asia Tengah ketimbang
Cina.

Pada Juli 2014, sejumlah departemen pemerintah Xinjiang melarang


pegawai negeri Muslim berpuasa selama Ramadhan. Pengawasan terhadap
masjid dan sekolah Islam juga sangat ketat. Anak-anak Muslim yang
bersekolah diminta menandatangani kontrak yang isinya mereka berjanji
tidak shalat, berpuasa, dan pergi ke masjid.

Yang terbaru adalah adanya sebuah kamp penahanan dimana satu juta
Muslim Uighur dipaksa menjalani indoktrinasi. Badan HAM PBB
mengatakan etnis minoritas itu disekap dalam fasilitas rahasia. Laporan
tersebut mengatakan sekitar dua juta etnis Uighur dan minoritas Muslim
ditahan di sebuah kamp politik guna menjalani proses cuci otak.

Sejumlah kesaksian dari warga Uighur menyebut mereka hidup ketakutan


di Cina. Mereka merasa diperlakukan layaknya musuh negara.

Sejarah bangsa Uighur sedemikian panjang jika diturut. Perjuangan mereka


untuk hidup dan menjalankan keyakinannya ke depan pun masih panjang
dan nampak tak berujung.

Kegigihan mereka mengingatkan saya pada sepotong ayat kitabullah, Al-


Baqarah ayat 153. "Hai orang-orang yang beriman, jadikanlah sabar dan
shalat sebagai penolongmu, sesungguhnya Allah bersama orang-orang
yang sabar."

https://www.republika.co.id/berita/jurnal-haji/pengalaman-haji/18/12/18/pjx19p385-jejak-derita-
dan-tawa-jamaah-haji-muslim-uighur-di-makkah

Jejak Derita dan Tawa Jamaah Haji Muslim


Uighur di Makkah
Selasa , 18 Dec 2018, 11:46 WIB
Jamaah haji asal Uighur bercanda dengan petugas keamanan Bandara Jeddah untuk melepaskan ketenganan pada saat
kepulangannya pada musim haji tahun 2018.

Sementara jurnalis Republika, Fitriyan Zamzami, yang tahun ini bertugas meliput haji
selama tiga bulan, menuis catatan yang tak kalah menarik. Dia menulis mengenai
parodi yang terjadi pada jamaah haji China. Di Bandara Jeddah sewaktu jamaah haji
Uighur akan pulang mereka dijaga ketat. Bahkan, terindikasi petugas keamanan asal
Cina menggiring merea sampai tangga pesawat.

Uniknya ketika para petugas datang, para jamaah haji Uighur memang terlihat
tegang. Namun mereka terlihat paham bagaimana mencairkan suasana tegas itu. Di
antara para jamaah kemudian ada yang berinisiatif membuat suasana menjadi rileks
dengan mengajak para jamaa bernyanyi dan beranda. Namun, bagi orang yang
melihat langsung suasana itu memang terasa ada perasaan yang mencekam dan
tegang.

Fitriyan yang kala itu berada langsung di Bandara Jeddah, Arab Saui, menuliskan
kisahnya seperti ini:
Namanya juga selepas berhaji, wajah-wajah jamaah dari Cina di Bandara King
Abdulaziz, Jeddah pada Kamis (30/8) pagi itu nampak ceria. Mereka saling
mengobrol. Sembari menunggu keberangkatan di Plaza D Bandara Jeddah, saling
bertukar panganan, bukan hanya dengan rekan senegara tapi juga dengan jamaah
negara-negara lain.

Meski sebagian nampak tak muda, tak ada raut kelelahan dan kebanyakan nampak
bugar. Hampir semua jamaah pria mengenakan peci putih khas dan yang perempuan
berjilbab serta mengenakan setelan celana dan baju serta rompi longgar. Beberapa
lainnya mengenakan abaya hitam khas Saudi.

Suasana tiba-tiba berubah menjelang tengah hari. Ketika itu, datang sejumlah pria
berseragam dan berambut cepak di antara jamaah. Mereka bersepatu bot, celana
kargo, kemeja penuh saku, dan berperawakan tegap.

Petugas keamanan asal Cina turun langsung mengawasi kepulangan jamaah haji
Uighir di Bandara Jeddah. Lihat seragam yang dipakai mereka. (fitriyan zamzami).

Berbagai lencana dan tanda pangkat dilucuti dari seragam tersebut kecuali sepetak
bendera Cina di lengan. Begitupun, pin di topi salah satu dari mereka menunjukkan
lambang kepolisian Republik Rakyat Cina.
Mereka mulanya berbaris dan memindai jamaah satu persatu. Beberapa merangsek
dalam gerombolan dan memeriksa barang bawaan jamaah.Maka, keriangan jamaah
perlahan meredup. Obrolan kemudian jadi bisik-bisik. Sebagian jamaah hanya
memandang para pria perseragam itu dari sudut mata mereka.

Pria-pria berseragam itu tak nampak pada kedatangan jamaah Cina di Bandara Amir
Muhammad bin Abdulaziz, Madinah atau Bandara Jeddah. Jamaah Cina biasanya
disambut petugas yang berpakaian kasual, beberapa bahkan hanya bercelana
training dan kaus oblong saja. Di antara jamaah dari seluruh dunia yang tiba di
bandara Saudi, hanya jamaah Cina yang ditemani petugas berseragam paramiliter
tersebut.

“Kami juga tidak tahu mengapa mereka di sini. Peraturan di negara kami memang
sekarang lebih keras,” kata Ismail seorang jamaah paruh baya, satu dari sedikit di
antara jamaah yang bisa berbahasa Arab.

Ismail bersama ratusan jamaah yang menyertainya hari itu berasal dari Lanzhou, ibu
kota Provinsi Gansu, yang terletak di jantung wilayah Cina. Bersama Linxia, Lanzhou
adalah wilayah di Gansu yang sejak lama jadi pusat konsentrasi etnis Hui yang
hampir semuanya beragama Islam.

Menjelang keberangkatan, ketegangan kian meningkat saat jamaah dibariskan


menuju pesawat. Pemimpin rombongan kemudian diminta mengganti bendera
kelompok berwarna hijau dengan bendera merah berbintang lima.

Salah satu pria berseragam hitam kemudian mendampingi rombongan pertama


berjalan menuju gerbang keberangkatan. “Nanti mereka dikawal sampai pesawat,”
kata salah seorang petugas maskapai dalam bahasa Inggris kepada Republika.co.id.
Ia mengiyakan, para pria berseragam adalah aparat keamanan Cina.

Di tengah ketegangan tersebut, hadirlah Ahmad Abu Yazan, seorang petugas


bandara asli Arab Saudi. Sejak awal mula kedatangan jamaah Cina, pria paruh baya
itu sudah mencoba akrab. Ishaka, salah seorang jamaah dari Lanzhou, ia paksa
menerima pemberian roti berisi semacam yoghurt khas Saudi.

Sementara menjelang keberangkatan, di tengah-tengah jamaah yang mulai tak sabar


menanti keberangkatan, polahnya kian konyol. Satu persatu jamaah ia tantang
dengan pose kungfu. “Bruce Lee... Bruce Lee…,” kata dia tak sadar sedang melakukan
sejenis stereotip kepada jamaah Cina.

Mulanya tak ada yang meladeni, hingga akhirnya dua pemuda beranjak dari duduk
mereka. Berhadapan dengan Abu Yazan, mereka kasih lihat gerakan-gerakan Baji
Quan, jenis bela diri khas etnis Hui. Abu Yazan meladeni sebisanya dan mereka
kemudian terlibat pura-pura bakupukul dan berpelukan setelahnya.

Semua orang tertawa, bahkan para aparat berseragam. Untuk sejenak ketegangan
mereda. Ada senyum lagi di wajah-wajah jamaah Cina sebelum berangkat menjelang
apapun yang menanti di tanah air mereka.

Abu Yazan nampak puas dengan aksinya. Sembari bertolak pinggang ia pandangi
rombongan jamaah Cina berangkat dengan kawalan pria-pria berseragam. “Ikhwan,
ikhwan…,” kata dia sembari menunjuk saudara-saudara seimannya.

https://www.republika.co.id/berita/jurnal-haji/pengalaman-haji/18/12/18/pjx19p385-jejak-derita-
dan-tawa-jamaah-haji-muslim-uighur-di-makkah-part1

Você também pode gostar