Você está na página 1de 23

TEMA : KEBIJAKAN PEMERINTAHAN PERSPEKTIF ETIKA PUBLIK

DI INDONESIA

SUBTEMA : KEBIJAKAN PEMERINTAH DKI JAKARTA


DI BIDANG KESEHATAN

Dosen Pengampu : Dr. Abdul Kadir, SH, M.Si

Disusun Oleh :
Yorizal Tri Marzuki Gulo
178520079
Etika Adminstrasi Publik

PRODI ADMINISTRASI PUBLIK

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN POLITIK

UNIVERSITAS MEDAN AREA

2018
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa yang telah melimpahkan karunia-Nya sehingga
penyusunan Makalah sederhana yang berjudul “Kebijakan Pemerintah DKI Jakarta
Di Bidang Kesehatan ” ini dapat terselesaikan.

Makalah sederhana ini ditulis sebagai salah satu syarat untuk melengkapi tugas Etika
Administrasi Publik.Saya menyadari bahwa dalam penyusunan makalah ini tidak lepas dari
bimbingan dan dukungan dari dosen  dan orangtua saya serta teman-teman saya. Oleh karena itu,
saya mengucapkan terimakasih kepada;
1.Dosen Pengampu Etika Administrasi Publik atas bimbingan dan buah pikiran,
2.Orang tua yang telah memfasilitasi saya,
3.Teman-teman sejurusan,
4.Serta pihak-pihak yang telah membantu saya dalam pembuat makalah ini.

Saya menyadari bahwa dalam pembuatan Makalah ini belum sempurna, maka dari itu saya
menghargai kritik dan saran dari semua pembaca demi kelengkapan dan kesempurnaan Makalah
ini.Semoga dengan adanya Makalah ini, kita dapat menambah pengetahuan tentang “Kebijakan
Pemerintah DKI Jakarta Di Bidang Kesehatan.”

Medan, November 2018

Yorizal Tri Marzuki Gulo


DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR………………………………………………………………………….i

DAFTAR ISI…………………………………………………………………………………....ii

BAB I PENDAHULUAN……………………………………………………………………....1
A. Latar Belakang………………………………………………………………………1
B. Rumusan Masalah…………………………………………………………………...1

BAB II KAJIAN TEORI…………………………………………………………………..3


A. Pengertian Perencanaan……………………………………………………………...3
1. Empat Tahap Dasar Perencanaan………………………………………………..4
2. Perencanaan Operasional……………………………………………………...…5
3. Perencanaan Strategis……………………………………………………….…...5
4. Faktor Waktu dan Perencanaan………………………………………………….5
5. Elemen Perencanaan………………………………………………………..……8
B. Pengertian Pengendalian…………………………………………………………….10
1. Tujuan dan Fungsi Manajemen………………………………………………….12
2. Fungsi Pengendalian………………………………………………………...…..12
3. Jenis Pengendalian………………………………………………………..……..13

BAB III PEMBAHASAN……………………………………………………………...……….17


A. Perencanaan dan Pengendalian………………………………………………..…….18
B. B. Biaya Produksi………………………………………………………..………….19
C. Metode………………………………………………………………………………20
D. Hasil dan Pembahasan……………………………………………………………….22

BAB IV PENUTUP………………………………………………………………….………….28
A. Kesimpulan ……………………………………………………………….…………28
B. Saran…………………………………………………………………………..……..29

DAFTAR PUSTAKA………………………………………………………………………31
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Sistem kesehatan terdiri dari semua pencegahan medis pribadi layanan perawatan,
diagnosis, perawatan, dan rehabilitasi (layanan untuk mengembalikan fungsi dan kemandirian)-
ditambah lembaga dan personel yang menyediakan layanan ini dan pemerintah, masyarakat, dan
organisasi swasta dan instansi yang pelayanan keuangan.
Sistem perawatan kesehatan dapat dilihat sebagai kompleks terdiri dari tiga komponen
yang saling terkait: orang-orang yang membutuhkan pelayanan kesehatan, konsumen kesehatan
yang disebut perawatan; orang-orang yang memberikan layanan kesehatan-para profesional dan
praktisi disebut penyedia kesehatan; dan pengaturan sistematis untuk memberikan perawatan
kesehatan-lembaga publik dan swasta yang mengorganisasikan, merencanakan, mengatur,
keuangan, dan mengkoordinasikan layanan yang disebut lembaga atau organisasi dari sistem
perawatan kesehatan. Komponen kelembagaan termasuk rumah sakit, klinik, dan lembaga
rumah-kesehatan; perusahaan asuransi dan program yang membayar untuk layanan seperti Blue
Cross / Blue Shield, dikelola rencana perawatan seperti organisasi pemeliharaan kesehatan
(HMO), dan pilihan penyedia organisasi (PPO) dan hak program seperti Medicare dan Medicaid
(pemerintah federal dan negara bagian program bantuan publik). lembaga-lembaga lainnya
adalah sekolah-sekolah profesional yang melatih siswa untuk karir di bidang kesehatan medis,
masyarakat, gigi, dan sekutu profesi kesehatan, seperti perawatan. Juga termasuk adalah
lembaga-lembaga dan asosiasi yang penelitian dan memantau kualitas layanan perawatan
kesehatan; penyedia lisensi dan akreditasi dan lembaga; lokal, negara bagian, dan nasional
masyarakat profesional, dan perusahaan yang menghasilkan teknologi medis, peralatan, dan
obat-obatan.
Sebagian besar interaksi antara tiga komponen dari sistem perawatan kesehatan terjadi
secara langsung antara konsumen perawatan kesehatan individu dan penyedia.interaksi lainnya
adalah tidak langsung dan impersonal seperti program imunisasi atau skrining untuk mendeteksi
penyakit, dilakukan oleh badan kesehatan publik untuk seluruh populasi. Semua pemberian
perawatan kesehatan, bagaimanapun, tergantung pada interaksi antara ketiga
komponen.Kemampuan untuk mendapatkan keuntungan dari perawatan kesehatan tergantung
pada kemampuan individu atau kelompok untuk mendapatkan masuk ke sistem perawatan
kesehatan. Proses mendapatkan masuk ke sistem perawatan kesehatan ini disebut sebagai akses,
dan banyak faktor yang dapat mempengaruhi akses ke perawatan kesehatan.

1.2 RUMUSAN MASALAH

1. Apa Kebijakan yang dibuat oleh Pemerintah DKI Jakarta di bidang kesehatan?
2. Bagaimana implementasi kebijakan tersebut?
3. bagaimana kebijakan tersebut jika dikaitkan perspektif etika publik
BAB II
KAJIAN TEORI
2.1 Pengertian Sistem Kesehatan Daerah
Sistem kesehatan daerah menguraikan secara spesifik unsur-unsur upaya kesehatan,
pembiayaan kesehatan, sumberdaya manusia kesehatan, sumberdaya obat dan perbekalan
kesehatan, pemberdayaan masyarakat, dan manajemen kesehatan sesuai dengan potensi dan
kondisi daerah.Sistem Kesehatan Daerah merupakan acuan bagi berbagai pihak dalam
penyelenggaran pembangunan kesehatan di daerah.
Dalam era desentralisasi yang sudah dijalankan oleh berbagai daerah termasuk DKI,
untuk segi  pelayanan kesehatan juga sudah di pusatkan ke daerah  masing-masing. Daerah
Khusus Ibukota Jakarta sebagai ibukota negara sudah mulai menerapkan sistem kesehatan
daerah,yang diatur dalam peraturan daerah no.4 tahun 2009, mengenai Sistem Kesehatan Daerah.
Kesehatan merupakan salah satu bidang pemerintahan yang wajib dilaksanakan oleh
daerah kabupaten dan daerah kota. Ini berarti bahwa dalam rangka otonomi daerah, Pemerintah
kabupaten dan Pemerintah Kota bertanggung jawab sepenuhnya dalam penyelenggaraan
pembangunan kesehatan untuk meningkatkan derajat kesehatan masyarakat di daerahnya.
 Rumah sakit sebagai salah satu sarana kesehatan yang memberikan pelayanan kesehatan
kepada masyarakat memiliki peran yang sangat strategis dalam mempercepat peningkatan derajat
kesehatan masyarakat. Dalam menjalankan fungsinya Rumah Sakit memiliki standar pelayanan .
Standar pelayanan Rumah Sakit Daerah adalah penyelenggaraan pelayanan manajemen
rumah sakit, pelayanan medik, pelayanan penunjang dan pelayanan keperawatan  baik rawat inap
maupun rawat jalan yang minimal harus di selenggarakan oleh rumah sakit. (Permenkes 
no.228/Menkes/SK/III/2002 Tentang Pedoman Penyusunan Standar Pelayanan Minimal rumah
Sakit yang wajib dilaksanakan daerah).
Sistem Kesehatan daerah sebagai upaya penyelenggaraan pembangunan kesehatan daerah
dilaksanakan berdasarkan prinsip:
1.      Secara merata, berkeadilan, berkelanjutan dan saling mendukung dengan upaya pembangunan
daerah lainnya.
2.      Menjunjung tinggi dan menghormati hak asasi manusia, martabat manusia,  kemajemukan nilai
sosial budaya dan kemajemukan nilai keagamaan.

2.2 Ruang Lingkup Sistem Kesehatan Daerah


2.2.1 Upaya Kesehatan
                        Untuk mewujudkan derajat kesehatan yang setinggi-tingginya bagi masyarakat,
diselenggarakan upaya kesehatan yang terpadu dan menyeluruh dalam bentuk upaya kesehatan
perorangan dan upaya kesehatan masyarakat.
a.  Upaya Kesehatan Masyarakat
Upaya Kesehatan Masyarakat bertujuan untuk memelihara, melindungi dan meningkatkan
kesehatan dasar yang ditujukan kepada masyarakat.(Perda No.9 DKI Jakarta).
  UKM dalam pelaksanaannya dikelompokkan menjadi :
         UKM Strata Pertama
         Merupakan UKM tingkat dasar yang mendayagunakan ilmu pengetahuan dan teknologi
kesehatan dasar yang ditujukan kepada masyarakat.
         UKM Strata Kedua
         Merupakan UKM tingkat lanjutan yaitu yang mendayagunakan ilmu pengetahuan dan
teknologi kesehatan  subspesialistik yang ditujukan kepada masyarakat.
         UKM Strata Ketiga
         Merupakan UKM tingkat unggulan yang mendayagunakan ilmu pengetahuan dan teknologi
kesehatan subspesialistik yang ditujukan kepada masyarakat.(Perda No.9 DKI Jakarta).

b. Upaya Kesehatan Perorangan


Merupakan upaya kesehatan yang dilakukan oleh swasta, masyarakat pemerintah, dan
Pemerintah Provinsi DKI Jakarta, untuk memelihara dan meningkatkan kesehatan,mencegah dan
menyembuhkan penyakit serta memulihkan kesehatan perorangan. (Perda No.9 DKI Jakarta)
Upaya Kesehatan Perorangan dikelompokkan menjadi:
·         UKP Strata Pertama
Merupakan UKP tingkat dasar yang mendayagunakan ilmu pengetahuan dan teknologi kesehatan
dasar yang ditujukan kepada perorangan dan diselenggarakan masyarakat,swasta dan pemerintah
dan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta.
·         UKP Strata Kedua
Merupakan UKP yang mendayagunakan ilmu pengetahuan dan teknologi kesehatan spesialistik
kepada perorangan terutama diselenggarakan oleh pemerintah dan swasta.
·         UKP Strata Ketiga
Merupakan UKP unggulan yang mendayagunakan ilmu pengetahuan dan teknologi kesehatan
subspesialistik kepada perorangan terutama diselenggarakan oleh masyarakat dan swasta.

2.2.2 Pembiayaan Kesehatan


Sistem pembiayaan kesehatan didefinisikan sebagai suatu sistem yang mengatur besarnya
dan alokasi dana yang harus disediakan untuk menyelenggarakan dan atau memanfaatkan 
berbagai upaya kesehatan  yang diperlukan oleh perorangan, keluarga, kelompok dan
masyarakat.
Saat ini pembiayaan kesehatan masih dipegang oleh pusat,hal ini menunjukkan tidak
adanya gejala kepemilikan pemerintah daerah terhadap program kesehatan.Perlu ada suatu
reposisi peran pemerintah pusat dalam hal pembiayaan kesehatan. Alokasi pemerintah pusat
perlu memerhatikan keadaan fiskal suatu daerah.
Mekanisme pembiayaan kesehatan:
1. Ditinjau dari peran serta masyarakat
                       a. Cuma-Cuma : Semua biaya kesehatan ditanggung oleh pemerintah
                       b. Peran serta masyarakat:
·   Menanggung sebagian (Mekanisme Subsidi)
·   Menanggung seluruhnya (Mekanisme pasar)
2.  Ditinjau dari cara pembayaran oleh masyarakat:
·   Cuma-Cuma
·   Pembayaran tunai (fee for service)
·   Pembayaran dimuka (prefaid)----Asuransi Kesehatan
Biaya kesehatan dapat ditinjau dari 2 sudut,yaitu:
1.      Penyediaan pelayanan kesehatan,merupakan besarnya dana yang harus disediakan untuk dapat
menyelenggarakan upaya kesehatan.
2.      Pemakai jasa pelayanan adalah besarnya dana yang dimanfaatkan untuk dapat memanfaatkan
jasa pelayanan.
Sumber dana biaya kesehatan berasal dari:
1.      Bersumber dari anggaran pemerintah
2.      Bersumber dari anggaran masyarakat
3.      Bantuan biaya dari dalam dan luar negeri
4.      Gabungan anggaran pemerintah dan masyarakat.
Masalah pokok yang sering ditemui dalam pembiayaan kesehatan :
1.   Kurangnya dana yang tersedia,kurangnya dana masih terkait dengan masih kurangnya kesadaran
dalam pengambilan keputusan akan pentingnya arti kesehatan.
2.  Penyebaran dana yang tidak sesuai
3.  Pemanfaatan dana yang tidak tepat
4.   Pengelolaan dana yang belum sempurna
5.  Biaya kesehatan yang makin meningkat.
Masalah Pembiayaan kesehatan :
1.    Jumlah dana yang selalu terbatas. Indonesia 2% GNP,Malaysia 3%,Thailand 5%,Inggris
6,1%,Jepang 6,5%,Jerman 8%,Amerika Serikat 12,7% (World Bank,1993)
2.   Alokasi dana tidak efektif,Persentase biaya pelayanan kuratif lebih besar dari pelayanan
promotif dan preventif.
3.  Utilisasi dana tidak efisien,banyak pemborosan dan penyalahgunaan.
4.   Biaya kesehatan cenderung selalu meningkat.

2.2.3 Jaminan Pembiayaan Kesehatan


Solusi masalah pembiayaan kesehatan mengarah pada peningkatan pendanaan kesehatan
agar melebihi 5% PDB sesuai rekomendasi WHO, dengan pendanaan pemerintah yang terarah
untuk kegiatan public health seperti pemberantasan penyakit menular dan penyehatan
lingkungan, promosi kesehatan serta pemeliharaan kesehatan penduduk miskin. Sedangkan
pendanaan masyarakat harus diefisiensikan dengan pendanaan gotong-royong untuk berbagi
risiko gangguan kesehatan, dalam bentuk jaminan kesehatan.
Pengembangan jaminan kesehatan dilakukan dengan beberapa skema sebagai berikut:
1.    Pengembangan jaminan pemeliharaan kesehatan keluarga miskin (JPK-Gakin).
2.    Pengembangan Jaminan Kesehatan (JK) sebagai bagian dari Sistem Jaminan Sosial Nasional
(SJSN)
3.  Pengembangan jaminan kesehatan berbasis sukarela
4.  Pengembangan jaminan kesehatan sektor informal:
·         Jaminan kesehatan mikro (dana sehat)
·         Dana sosial masyarakat

2.2.4 Sumber Daya Manusia Kesehatan


Pembangunan kesehatan sebagai bagian integral dari pembangunan nasional pada
hakekatnya adalah penyelenggaraan, upaya kesehatan untuk mencapai kemampuan hidup sehat
bagi setiap penduduk agar dapat mewujudkan derajat kesehatan yang optimal.Pembangunan
kesehatan diarahkan untuk meningkatkan kesejahteraan keluarga dan masyarakat dengan
menanamkan kebiasaan hidup sehat.
Untuk mewujudkan hal tersebut diselenggarakan berbagai upaya kesehatan yang
didukung antara lain oleh sumber daya tenaga kesehatan yang memadai sesuai dengan yang
dibutuhkan dalam pembangunan kesehatan. Oleh karena itu pola pengembangan sumber daya
tenaga ksehatan perlu disusun secara cermat yang meliputi perencanaan,pengadaan dan
penempatan tenaga kesehatan yang berskala nasional.
Perencanaan kebutuhan tenaga kerja kesehatan secara nasional disesuaikan dengan
masalah kesehatan, kemampuan daya serap dan kebutuhan pengembangan program
pembangunan kesehatan.Pengadaan tenaga kesehatan sesuai dengan perencanaan kebutuhn
tersebut diselenggarakan melalui pendidikan dan pelatihan baik oleh pemerintah dan/atau oleh
masyarakat trmasuk swasta sedangkan pendayagunaannya diselenggarakan secara efektif dan
merata.Penempatan terhadap segala jenis tenaga kesehatan tertentu ditetapkan kebijaksanaan
melalui pelaksanaan masa bakti terutama bagi tenaga kesehatan yang sangat potensial di dalam
kebutuhan penyelenggaraan upaya.
Dalam Undang-Undang Republik Indonesia nomor 44 tahun 2009, terdapat persyaratan
mengenai sumber daya manusia yang harus dipenuhi, yaitu rumah sakit harus memiliki tenaga
tetap yang meliputi tenaga medis dan penunjang medis, tenaga keperawatan, tenaga kefarmasian,
tenaga manajemen rumah sakit, dan tenaga non kesehatan. Dimana jumlah dan jenis sumber
daya manusia tersebut harus sesuai dengan jenis dan klasifikasi rumah sakit.Rumah sakit harus
memiliki data mengenai ketenagaan yang dimilikinya.Rumah sakit dapat memperkerjakan tenaga
tidak tetap dan konsultan serta tenaga asing sesuai dengan kebutuhan pelayanan dan
kemampuannya. Tenaga medis dan tenaga kesehatan wajib memiliki ijin sesuai dengan peraturan
perundang-undangan dan setiap tenaga kesehatan yang bekerja di rumah sakit harus bekerja
sesuai dengan standar pelayanan rumah sakit, standar prosedur operasional yang berlaku,etika
profesi, menghormati hak pasien dan mengutamakan keselamatan pasien.
Dalam peraturan pemerintah tentang tenaga kesehatan nomor 32 tahun 1996 ditetapkan
sebagai berikut:
Dalam peraturan pemerintah ini yang dimaksud dengan:
1.    Tenaga kesehatan adalah setiap orang yang mengabdikan diri dalam bidang kesehatan serta
memiliki pengetahuan dan/atau ketrampilan melalui pendidikan di bidang kesehatan yang untuk
jenis tertentu memerlukan kewenangan untuk melakukan upaya kesehatan.
2.    Sarana kesehatan adalah tempat yang digunakan untuk menyelenggarakan upaya kesehatan.
3.  Upaya kesehatan adalah setiap kegiatan untuk memelihara dan meningkatkan kesehatan yang
dilakukan oleh pemerintah dan masyarakat.
4.  Menteri adalah menteri yang bertanggungjawab di bidang kesehatan.
Jenis tenaga kesehatan:
1.      Tenaga kesehatan terdiri dari:
·         Tenaga medis
·         Tenaga keperawatan
·         Tenaga farmasi
·         Tenaga kesehatan masyarakat
·         Tenaga gizi
·         Tenaga ketrampilan fisik
·         Tenaga keteknisian medis
2. Tenaga medis meliputi dokter dan dokter gigi
3. Tenaga keperawatan meliputi perawat dan bidan
4. Tenaga kefarmasian meliputi apoteker,analis farmasi dan asisten apoteker
5. Tenaga kesehatan masyarakat meliputi epidemiolog kesehatan, entomolog kesehatan dan
sanitarian.
6. Tenaga gizi meliputi nutrisionis dan dietisien
7.   Tenaga ketrapian fisik meliputi fisioterapis, okupaterapis, dan terapi wicara.
8.   Tenaga keteknisian medis meliputi radiografer,radioterapis, teknisi gigi,teknisi elektromedis,
analis kesehatan, refraksionis optisien, otorik prosteik, teknisi transfusi dan perekam medis.
Persyaratan:
1. Tenaga kesehatan wajib memilki pengetahuan dan ketrampilan di bidang kesehatan yang
dinyatakan dengan ijazah dari lembaga pendidikan.
2. Tenaga kesehatan hanya dapat melakukan upaya kesehatan setelah tenga kesehatan memilki izin
dari menteri.
3. Dikecualikan dari pemilikan izin sebagaimana dimaksud, bagi tenaga kesehatan masyarakat.
Ketentuan lebih lanjut mengenai perizinan, diatur oleh menteri.
4. Selain izin sebagaimana dimaksud, tenaga medis dan tenaga kefarmasian lulusan dari lembaga
pendidikan di luar negeri hanya dapat melakukan upaya kesehatan setelah yang bersangkutan
melakukan adaptasi. Ketentuan lebih lanjut mengenai adaptasi, diatur oleh mentri.
BAB III
PEMBAHASAN
Indonesia merupakan Negara berkembang yang masih rendahnya pengetahuan tentang kesehatan
dengan hidup sehat, termasuk penduduknya di ibu kota Indonesia yaitu Jakarta. Sebagai peran
dan fungsi pusat pemerintah ibu kota Negara diantaranya bermacam masalah adalah salah
satunya masalah kesehatan.

Berdasarkan UUD 1945 sebagai landasan hukum diantaranya adalah Negara memiliki kewajiban
untuk meningkatkan kesehatan masyarakat. Untuk itu sudah menjadi kewajiban pemerintah
khususnya DKI Jakarta memberikan perlindungan kepada warganya yaitu bidang kesehatan
dengan perdana kesehatan melalui Kartu Jakarta Sehat (KJS) yang diluncurkan pertama
November 2012 oleh Bpk. Djoko Widodo sebagai Inovator.

Implementasi kebijakan KJS sebagai perdana kesehatan, berfokus pada semua penduduk DKI
Jakarta yang tidak mampu. Sudah dirasakan warga namun kesuksesan tidak seiring dengan
kesiapan fasilitas, tenaga, kurangnya infrastruktur, koordinasi antarrumah sakit, rujukan dan
system pembayaran bagi rumah sakit.

Perancaan yang belum optimal dan kurangnya koordinasi kepada para pemangku kepentingan
(stakeholder) dalam pelaksanaan KJS, sekilas bagi kalangan masyarakat bawah sebagai anugerah
untuk berobat bebas biaya. Akan tetapi, bagi tempat pelayanan kesehatan (Puskesmas dan RS)
belum siap dengan membludaknya pasien KJS, berupa kurangnya informasi dalam sosialisasi,
fasilitas-fasilitas lainnya dan rawat inap kelas 3 khususnya dan SDM.

Hal tersebut ditunjang dari hasil penelitian menurut (Yessica, 2013) : kurangnya tenaga, fasilitas
dan administrasi di Puskesmas. Pendapat (Lathifa dan Hadi, 2014) : terbatasnya petugas untuk
verifikasi, sosialisasi penunjang KJS kepada masyarakat. Sehingga tampak tidaknya hanya
fungsi koordinasi pada beberapa tahapan birokrasi di dalam proses pelaksanaan KJS. Hal ini
diperkuat pendapat menurut (Sudarjah dan Maqin, 2014) dengan euphoria yang berlebihan dalam
memanfaatkan KJS sebagai faktor pemicu konflik antara level teknis dengan masyarakat dan
Top manajer (puncak pimpinan).

Kebijakan KJS dapat dilihat dari empat faktor untuk menentukan keberhasilan/kegagalan dalam
implementasi menurut Edward III dalam buku Kebijakan public (Soetari, 2014), yaiyu:

a. komunikasi : sangat penting untuk keberhasilan public untuk disampaikan baik pada saat
formulasi dan implementasi. Sumber daya dimana implementasi kebijakan KJS tidak efektif
berupa sumber-sumber; tenaga (kualitas dan kuantitas), fasilitas, anggaran sumber dana,
informasi dan kewenangan belum optimal.
b. Disposisi adalah sikap dan komitmen dalam pelaksanaan KJS dimana sikap kesungguhan
untuk menjadi kebijakan dapat diimplementasikan lewat 3 unsur utama, yaitu : pemahaman,
arahan dan tanggapan pelasanaan, serta intensitas respons terhadap pelaksanaan KJS, tampak
adanya sikap dan komitmen pelaksanaan KJS.

c. Struktur Birokrasi, tidak efisien dalam hal ini mencakup aspek hubungan antara unit
organisasi/hubungan organisai dengan organisai luar. Dalam hal ini konflik yang ada pada level
teknik dan top manajer sesuai bidang terkait bagi stakehorlder (peraturan gubernur bertentangan
dengan peraturan daerah DKI Jakarta).

3.1 KJS sebagai Kebijakan Inovasi “Best P ractice”Permasalahan JaminanKesehatan Rakyat


Miskin Kota

Peluncuran KJS pertama kali pada tanggal 10 November 2012 di enamkelurahan di provinsi DKI
Jakarta. Kemudian gelombang kedua pada hari Selasa,tanggal 28 Mei 2013 pemerintah Provinsi
DKI Jakarta membagikan 1.733.991.kartu Jakarta Sehat (KJS) kepada warga Jakarta. jumlah itu
terdiri dari 339.333 diJakarta Pusat, 105.715 di Jakarta Utara, 435.979 di Jakarta Barat, 337.449
JakartaSelatan, 502.500 di Jakarta Timur, dan 12.165 di Kepulauan Seribu.
 Kita perlumengetahui bagaimana alur pelayanan yang diterapkan, adapun alur pelayananKJS
dapat dilihat digambar berikut:Alur Pelayanan Kesehatan warga Ber-KTP DKI JAKARTA.
Untuk memantapkan program KJS maka kerjasama dengan berbagai pihak yang bersangkutan
sangat diperlukan. Seperti kerjasama dengan PT askes, dan rumah sakit yang berada di daerah
DKI Jakarta. PT Askes merupakan lembaga yang berperan sebagai badan pengelola jaminan
sosial (BPJS). Oleh sebab itu, Kartu Jakarta Sehat (KJS) yang merupakan bagian dari
pelaksanaan jaminankesehatan daerah dikelola PT Askes. Selanjutnya untuk melancarkan
program KJS maka tentu saja kerja sama dengan pihak rumah sakit yang ada di Jakarta sangat
diperlukan.

Berjalannya waktu dalam pelaksanaan KJS sudah dirasakan oleh masyarakat  warga DKI-Jakarta
dengan pelaksanaan  akses sesuai alur yan kes warga ber-KTP DKI Jakarta. Suatu upaya dalam
factor menentukan keberhasilan kebijakan terus-menerus dalam komunikasi / sosialisasi dan
informasi ( Benner, Dysplay, Brosur, Lieflet, IT / Internet ) serta disposisi kepada masyarakat,
PPK 1,   Rumah Sakit kerja sama dengan UP DKI akan bertambah pemahaman tentang KJS.
Mencapai efektif pelaksanaan kebijakan KJS prioritas fasilitas sarana dan prasaran yang merata
serta anggaran sumberdana ( dalam bentuk penyediaan laporan secara online ). Khususnya pada
sistim inovasi mekanisme pembayaran yang dibuat efisien yang berawal berdasarkan pelayanan
yang diberikan ( pay for service ) diubah menjadi paket berdasarkan penyakit/INA SBGs
( Permenkes No 27 tahun 2014 tentang junis INA CBGs ) untuk RS se-Indonesia.
Tarif klaim KJS versi baru mempunyai standar berbentuk clinical pathway, Rumah Sakit
mengeluh adanya kesenjangan dengan tarif, contoh salah satu tarif dibayar 75 % dari besaran
tarif tersebut. Hal ini sering menjadi keluhan RS sejak diterapkan INA-CBGs. RS dituntuk
memberikan pelayanan sesuai standard an tidak mengejar profit ( bagaimana Total Revenue &
Total Cost ? ). Polemik masalah selisih pembayaran klaim dimana keberadaan untuk dapat
mencapai 100 %.

Perannya pemerintah dan Pemda DKI sangat diharapkan untuk penanganan tarif klaim KJS
terkait struktur birokrasi yang efisien baik setingkat level teknis dan top manajer untuk membuat
suatu kebijakan baru dan standarisasi dengan transparan. Terkait hal ini pada permendagri No 17
tahun 2007 tentang Pedoman teknis pengelolaan keuangan badan pelayanan umum Daerah dan
Permenkes No. 12 tahun 2013 tentang pola tarif pelayanan umum RS.

Tanggung jawab penguasa DKI-Jakarta dalam peluncuran KJS pada peraturan Daerah
bertentangan dengan peraturan Gubernur no. 14 tahun 2013 tentang pembebasan biaya pelayanan
kesehatan. dalam peraturan Daerah No.4 tahun 2009 tentang kesehatan daerah ada 3 golongan
yaitu :

1. Golongan miskin dibantu sepenuhnya oleh pemerintah

2. Golongan rentan dibantu sebagian oleh pemerintah

3. Golongan mampu tidak dibantu.

KJS sebagai pelopor utama dalam mengentaskan masalah kesehatan warga miskin di Jakarata
merupakan tempat percontohan pilot project.Hasil evaluasi masih perlu di tindaklanjuti menuju
perbaikan terutama peraturan-peraturan yang belum searah. Perbaikan sistim pembayaran Rumah
Sakit untuk mendapatkan kepuasan pelanggan ekternal sehingga mutu pelayanan akan lebih baik
disamping kompetensi dan professional. Prediksi akan menjadi suatu penerapan di beberapa
daerah.

Landasan hokum pada UUD 1945 diamanatkan bahwa : salah satu diantarnya adalah Negara
memiliki kewajiban untuk meningkatkan kesehatan masyarakat. Undang-Undang Republik
Indonesia Nomor 25 Tahun 2009 Tentang Pelayanan Publik. Landasan dalam menyusun
kebijakan kesehatan UU No. 32 tahun 2004 dan Undang-undang Republik Indonesia Nomor 36
Tahun 2009 tentang kesehatan dalam UU kesehatan, UU No.40 tahun 2004 tentang sistim
jaminan social Nasional, UU No. 33 tahun 2004 tentang perimbangan keuangan antara
pemerintah pusat dan pemerintah daerah.

UU No. 17 tahun 2007 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional ( RPJP-N)
tahun 2005-2025. Dalam bidang Keuangan untuk mengelola APBD berdasarkan Permendagri
No.61 tahu 2007 tentang pedodman teknis pengelolaan keuangan Badan Pelayanan Umum
Daerah. Hubungan dengan perumasakitan berdasarkan Permenkes No.12 tahun 2013 tentang
Pola tarif pelayanan umum Rumah Sakit di lingkungan Kemenetrian Kesehatan, Permenkes
No.27 tahun 2014 juknis sistim INA-CBGs.

Dasar pelaksanaan KJS dalam Peraturan Gubernur no. 14 tahun 2013 tentang pembebasan biaya
pelayanan kesehatan. Adanya Perda No.1 tahun 2009 tentang rencana pembangunan jangka
menengah Daerah ( jangka 5 tahun ) yaitu tahun 2007-2012 dan dilanjutkan tahun 2013- 2017.
UP. Jamkesda DKI Jakarta tahun 2013 tentang Pedoman Pelaksanaan Program Jakarta.

Pelaksanaan KJS sesuai Visi DKI-Jakarta yaitu : Jakarta baru, kota modern yang tertata rapih
dan manusiawi dengan kepemimpinan dan pemerintahan yang bersih dan melayani. Terkait
memanusiakan manusia dalam pelaksanaan KJS mempunyai program kerja unggulan bidang
kesehatan.

Penerapan program Kartu Jakarta Sehat perlu dilakukan evaluasi kembali oleh pemerintah
setempat. Program ini pada dasarnya merupakan program strategis dalam meningkatkan kualitas
pelayanan publik untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat, hanya saja dalam pelaksanaaanya
masih banyak kendala yang menghalangi keberhasilan program yang dinilai sangat mulia ini.

Program Kartu Jakarta Sehat merupakan program pemerintah DKI jakarta yang diluncurkan pada
tanggal 10 November 2012. Lewat program ini biaya pengobatan bagi warga jakarta di
Puskesmas dan rawat inap kelas III di Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) maupun rumah sakit
swasta yang menjadi rekanan pemprov DKI ditiadakan (Otto Adi Yulianto, Koordinator Biro
Penelitian dan Pengembangan ELSAM; Sudarjah & Maqin, 2013 )

Program ini ditujukan untuk 4,7 juta jiwa penduduk miskin yang berdomisili dan memiliki KTP
di Jakarta. Sayangnya program ini dijalankan tanpa persiapan yang matang dan memadai dari
pemerintah. Di satu sisi begitu banyak masyarakat yang diberikan kesempatan untuk berobat
gratis difasilitas kesehatan yang telah ditetapkan, akan tetapi disisi lain fasilitas kesehatan yang
tersedia tidak diekpansi baik dari segi ketenagaan maupun fasilitas penunjang untuk
mengakomodir kebutuhan masyarakat yang semakin membludak. Selain itu minimnya
pengawasan dalam pelaksanaan program  juga membuat kartu tersebut menjadi sering salah
sasaran, dalam artian tidak tepat  pada warga yang benar-benar membutuhkan.

Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Otonomi Daerah diartikan sebagai berpindahnya
wewenang kepala daerah otonom untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dari
pemerintah pusat dan kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan
aspirasi masyarakat sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Dalam otonomi terdapat
pelimpahan wewenang pemerintahan oleh Pemerintah kepada Gubernur sebagai wakil
pemerintah dan/atau kepada instansi vertikal di wilayah tertentu (Sudarjah & Makin, 2013).
Program kartu Jakarta sehat yang merupakan program  pasangan gubernur dan wakil gubernur
terpilih Jokowi-Basuki Thaja Purnama yang resmi diluncurkan pada tanggal 10 November 2012.
Pemberian kartu tersebut dilakukan secara bertahap hingga memenuhi alokasi jumlah yang telah
ditetapkan yaitu sekitar 4.7 juta warga miskin yang ada didaerah Jakarta.

Program tersebut  tersebut dilaksanakan dalam rangka mewujudkan pelayanan kesehatan yang
sesuai dengan amanat UUD 1945, UU No 36 Tahun 2009 Pasal 5 Tentang Kesehatan dan
Peraturan Daerah Provinsi Daerah Khusus Ibu Kota Jakarta No. 4 tahun 2009 tentang Sistem
Kesehatan Daerah. Pelaksanaan Program Jakarta Sehat (KJS) diatur dalam Peraturan Gubernur
Nomor 187 Tahun 2012 Tentang Pembebasan Biaya Pelayanan Kesehatan. Dalam Pergub No.
187 Tahun 2012 Tentang Pembebasan Biaya Pelayanan Kesehatan pada pasal 6 disebutkan
bahwa masyarakat yang dapat menerima pembebasan biaya pelayanan kesehatan adalah pen-
duduk yang memiliki Kartu Tanda Penduduk Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta.
Kemudian direvisi dalam Pergub Provinsi DKI Jakarta Nomor 14 Tahun 2013 yang mengatakan
“masyarakat yang dapat menerima pembebasan biaya pelayanan kesehatan adalah penduduk
miskin atau rentan dan masyarakat yang memperoleh penghargaan atas jasa-nya” (Lathifah,
Suryono & Hadi, 2013).

Permasalahan terjadi pada saat kebijakan ini dijalankan. Kurangnya ketersediaan tenaga
kesehatan dan fasilitas  menjadi salah satu masalah dalam pelaksanaannya. Penelitian oleh
Sudarjah & Maqin (2013) keterbatasan fasilitas kelas 3 (ekonomi) yang ada rumah sakit rujukan
menjadi salah satu faktor utama dalam kasus rawat inap, kemudian kasus berikutnya adalah
keterbatasan dokter dalam memeriksa pasien, kemudian permasalah obat yang tersedia di rumah
sakit rujukan menjadi alasan-alasan utama yang sering disampaikan oleh pihak rumah sakit
rujukan. Penelitian oleh (Lathifa, Suryono & Hadi, 2014) implementasi program pelayanan
kesehatan masyarakat dengan menggunakan Kartu Jakarta Sehat (KJS) di RSAB Harapan Kita
sebagai rumah sakit pemerintah dan RS Zahirah sebagai rumah sakit swasta sudah berjalan
secara baik dan sesuai dengan peraturan yang dibuat oleh Pemprov DKI Jakarta serta sesuai
dengan Kemenpan Nomor 63 Tahun 2003 tentang pedoman umum penyelenggaraan pelayanan
publik, namun faktor penghambat dalam imple-mentasi Program Jakarta Sehat (KJS) berupa
terbatasnya dana, kurangnya sumber daya ma-nusia di bagian Satgas Gakin RSAB Harapan Kita
dan kurangnya komunikasi RS Zahirah de-ngan PPKI (Puskesmas).

Pendapat berbeda diungkapkan Ketua Komisi IX DPR, Ribka Tjiptaning. Menurutnya, program
yang diusung Jokowi tersebut positif. Hanya saja perlu sedikit perbaikan agar bisa terlaksana
secara baik.  Ribka menilai, permasalahan dalam pelaksaan KJS banyak disebabkan
ketidakpahaman rumah sakit dalam melayani pasien. Ia melihat, masih banyak rumah sakit yang
nakal dan tidak bertanggung jawab, tega menolak pasien pengguna KJS (dikutip dari harian
merdeka.com).

Masalah lain yang muncul adalah kurangnya pengawasan dari pemerintah terkait dengan
pelaksanaan kebijakan tersebut. Hasil penelitian oleh Lembaga Survey Independen Nusantara
(LSIN) yang dikutip dari liputan6.com menyatakan 9.2% responden menyatahan tidak setuju
dengan pelaksanaan program KJS. Dengan alasan pelaksanaan KJS tidak adil, tidak tepat
sasaran, pemborosan anggaran, berpotensi melahirkan korupsi, dan KJS juga dinilai bukan
merupakan hal baru dan tidak berbeda dengan program jaminan kesehatan sebelumnya yang
sudah berjalan.
Lemahnya pengawasan membuat pengguna KJS kerap salah sasaran. KJS membuka celah
digunakan oleh masyarakat mampu. Akibat lemahnya pengawasan tersebut KJS bisa berpindah
tangan dengan mudah yang akhirnya menjadi tidak tepat sasaran. KJS sebenarnya diperuntukan
bagi warga yang tidak mampu membayar  biaya rumah sakit yang tidak murah. Namun
kemudahan prosedur penanganan KJS yang mudah dimanfaatkan oleh semua pihak yang tidak
bertanggung jawab. Seperti yang terjadi dikawasan RT Jakarta timur, warga yang tergolong kelas
menengah keatas berbondong-bondong mendaftarkan diri untuk bisa mendapatkan fasilitas KJS.
Sama halnya seperti kasus di RSUD Cengkareng . pihak rumah sakit tidak mempunyai
wewenang untuk menolak mereka (orang mampu) untuk menggunakan KJS ini dikarenakan
syarat penggunaan KJS hanya menyertakan KTP dan KK.   

Model Edward III dalam Widodo (2012, h. 96-107) mengajukan empat faktor atau variabel yang
berpengaruh terhadap keberhasilan atau kegagalan implementasi kebijakan. Empat variabel atau
faktor salah satunya adalah resources atau sumber daya. Sumber daya dalam implementasi
kebijakan memegang peranan penting, karena implementasi kebijakan tidak akan efektif
bilamana sumber-sumber pendukungnya tidak tersedia. Sumber daya yang dimaksud adalah
sumber daya manusia, sumber daya anggaran, sumber daya peralatan, dan sumber daya
informasi dan kewenangan. Oleh karena itu pemerintah DKI Jakarta dapat meminimalisir
permasalahan terkait fasilitas dan tenaga kesehatan dengan mengalokasikan bantuan peralatan
medis dirumah sakit-rumah sakit yang menfasilitasi program KJS dengan
melakukan reqruitment atau alokasi tenaga kesehatan, bantuan peralatan dan bahan-bahan medis
berupa obat-obatan agar dapat mengakomodir kebutuhan pasien.

Keputusan Menteri Negara Pemberdayaan Aparatur Negara Nomor 63/KEP/MPAN/7/2003


tentang Pedoman Umum Penyelenggaraan Pelayanan Publik, terdapat  prinsip-prinsip
penyelenggaraan pelayanan publik, salah satu prinsip tersebut adalah  Akurasi: produk pelayanan
publik diterima dengan benar, tepat dan sah. Agar pelaksanaan program KJS tepat sasaran
pemerintah perlu membentuk sebuah badan pengawas khusus yang bertugas untuk memonitor
dan mengevaluasi pelaksanaan program tersebut. Dengan menerapkan sanksi atas pelanggaran-
pelanggaran yang terjadi terkait dengan program tersebut dapat diberikan kepada oknum-oknum
yang menyalahgunakannya agar memberikan efek jera.

Permasalahan tersebut bukan hanya menjadi tanggungjawab pemerintah tapi


seluruh stakeholder yang terlibat dalam kebijakan tersebut.

3.2 Etika Dalam Kajian Kebijakan Publik


Dalam beberapa tahun belakangan ini, dimana persoalan-persoalan yang dihadapi
pemerintah sedemikian kompleks akibat krisis multidimensional, maka bagaimanapun keadaan
ini tentu membutuhkan perhatian yang besar dan penanganan pemerintah yang cepat namun juga
akurat agar masalah-masalah yang begitu kompleks dan berat yang dihadapi oleh pemerintah
segera dapat diatasi. Kondisi ini pada akhirnya menempatkan pemerintah dan lembaga tinggi
negara lainnya berada pada pilihan-pilihan kebijakan yang sulit. Kebijakan yang diambil tersebut
terkadang membantu pemerintah dan rakyat keluar dari krisis, tetapi dapat juga terjadi
sebaliknya, yakni malahan mendelegitimasikan pemerintah itu sendiri. Dengan demikian, dalam
kehidupan moderen seperti sekarang ini, kita tidak dapat lepas dari apa yang disebut sebagai
kebijakan publik. Kebijakan-kebijakan tersebut kita temukan dalam bidang kesejahteraan sosial,
di bidang kesehatan, perumahan rakyat, pertanian, pembangunan ekonomi, hubungan luar negeri,
pendidikan nasional dan lain sebagainya. Kebijakan-kebijakan tersebut ada yang berhasil namun
banyak juga yang gagal.

Istilah kebijakan publik sebenarnya telah sering kita dengar dalam kehidupan sehari-hari
dan dalam kegiatan-kegiatan akademis, seperti dalam kuliah-kuliah ilmu politik. Salah satu
definisi mengenai kebijakan publik diberikan oleh Robert Eyestone. Ia mengatakan bahwa
“secara luas” kebijakan publik dapat didefinisikan sebagai “hubungan suatu unit pemerintah
dengan lingkungannya”. Batasan lain tentang kebijakan publik diberikan oleh Thomas R.
Dye yang mengatakan bahwa “kebijakan publik adalah apapun yang dipilih pemerintah untuk
dilakukan dan tidak dilakukan”. Namun point penting yang harus diingat dalam mendefinisikan
kebijakan publik adalah bahwa pendefinisian kebijakan tetap harus mempunyai pengertian
mengenai apa yang sebenarnya dilakukan, ketimbang apa yang diusulkan dalam tindakan
mengenai suatu persoalan tertentu. Berdasarkan pertimbangan tersebut, maka definisi kebijakan
publik yang ditawarkan oleh James Anderson lebih relevan. Menurut Anderson kebijakan
merupakan arah tindakan yang mempunyai maksud yang ditetapkan oleh seorang aktor atau
sejumlah aktor dalam mengatasi suatu masalah atau suatu persoalan.
Dari definisi di atas, output dari sebuah kebijakan publik adalah sebuah keputusan yang
benar-benar dilakukan. Sebagai keputusan yang mengikat publik maka kebijakan publik haruslah
dibuat oleh otoritas politik, yakni mereka yang menerima mandat dari publik atau orang banyak,
umumnya melalui suatu proses pemilihan untuk bertindak atas nama rakyat banyak. Selanjutnya,
kebijakan publik akan dilaksanakan oleh administrasi negara yang di jalankan
oleh birokrasipemerintah. Fokus utama kebijakan publik dalam negara modern adalah pelayanan
publik. Sedangkan tujuan dari pelayanan publik adalah menyediakan barang dan jasa yang
terbaik bagi masyarakat. Barang dan jasa yang terbaik adalah memenuhi apa yang dijanjikan atau
apa yang dibutuhkan masyarakat. Dengan demikian pelayanan publik yang terbaik adalah yang
memberikan kepuasan terhadap publik, kalau perlu melebihi harapan publik.

3.3 Definisi Etika


Dalam Ensiklopedi Indonesia, etika disebut sebagai “Ilmu tentang kesusilaan yang
menentukan bagaimana patutnya manusia hidup dalam masyarakat, apa yang baik dan apa yang
buruk”. Sedangkan secara etimologis, etika berasal dari kata ethos (bahasa Yunani) yang berarti
kebiasaan atau watak. Dari definisi tersebut dapat disimpulkan bahwa masalah Etika selalu
berhubungan dengan kebiasaan atau watak manusia (sebagai individu atau dalam kedudukan
tertentu), baik kebiasaan atau watak yang baik maupun kebiasaan atau watak buruk. Watak baik
yang termanifestasikan dalam kelakuan baik, sering dikatakan sebagai sesuatu yang patut atau
sepatutnya. Sedangkan watak buruk yang termanifestasikan dalam kelakuan buruk, sering
dikatakan sebagai sesuatu yang tidak patut patut atau tidak sepatutnya.
Secara umum etika diartikan sebagai suatu susunan prinsip-prinsip moral dan nilai.
Prinsip-prinsip tersebut kemudian diakui dan diterima oleh individu dan suatu kelompok
sosialsebagai sesuatu yang mengatur dan mengendalikan tingkah laku individu serta menentukan
hal yang baik dan hal yang buruk dilakukan. Secara konkrit, prinsip-prinsip moral dan nilai
tersebut biasanya diwujudkan dalam bentuk kode etik, yaitu suatu aturan, sistem atu standar yang
memuat prinsip-prinsip mengelola moralitas dan tingkah laku yang diterima dalam suatu
lingkungan masyarakat. (LAN, 2005)
Dalam kehidupan bermasyarakat, istilah Etika sering dipersamakan atau dipergunakan
secara bergantian dengan istilah Moral, Norma dan Etiket. Beberapa pakar / kalangan tidak
membedakannya secara prinsip, sedangkan sebagian lain memberikan pembedaan-pembedaan
sebagai berikut :
1.    Prof. Judistira K. Garna, (Materi Kuliah Etika Kebijakan Publik, LANUNPAD, 1997)
dan Wahyudi Kumorotomo (Etika Administrasi Negara, Rajawali, 1994 : 9)
Moral menyatakan tindakan/ perbuatan lahiriah seseorang, atau daya dorong internal untuk
mengarah kepada perbuatan baik dan menghindari perbuatan buruk. Sedangkan Etika tidak
hanya menyangkut tindakan lahiriah, tetapi juga nilai mengapa dia bertindak demikian. Etika
tumbuh dari pengetahuan seseorang yang diberi makna kesepakatan sosial, dan
dijadikan acuan / tolok ukur moralitas masyarakat.
2.    Robert C. Solomon (Etika : Suatu Pengantar, Erlangga : 1987 : 2-18)
Moral menekankan kepada karakter dan sifat-sifat individu yang khusus (misalnya rasa kasih,
kemurahan hati, kebesaran jiwa), diluar ketaatan pada peraturan. Sedangkan Etika berkenaan
dengan dua hal : 1) disiplin ilmu yang mempelajari tentang nilai-nilai yang dianut manusia
beserta pembenarannya, dan 2) hukum yang mengatur tingkah laku manusia.
3.    William K. Frankena dalam Kumorotomo (1994 : 7)
Etika mencakup filsafat moral atau pembenaran-pembenaran filosofis. Moralitas merupakan
instrumen kemasyarakatan yang berfungsi sebagai penuntun tindakan (action guide) untuk segala
pola tingkah laku yang disebut bermoral. Dengan demikian, moralitas akan serupa dengan
hukum disatu pihak dan dengan etiket dipihak lain. Bedanya dengan etiket, moralitas memiliki
pertimbangan yang jauh lebih tinggi tentang ‘kebenaran’ dan ‘keharusan’. Disamping itu,
moralitas juga dapat dibedakan dengan hukum, sebab ia tidak dapat diubah melalui tindakan
legislatif, eksekutif maupun yudikatif. Demikian pula sanksi dalam moralitas tidak melinatkan
paksaan fisik atau ancaman, melainkan lebih bersifat internal misalnya berwujud rasa bersalah,
malu, dan sejenisnya.

3.4 Kebijakan Publik dalam Pertimbangan Etika


Pengambilan keputusan di dalam organisasi-organisasi publik melibatkan banyak pihak.
Oleh sebab itu wajar apabila rumusan kebijakan merupakan hasil kesepakatan antara warga
pemilih (constituency), para pemimpin politik, teknokrat, birokrat,  atau administrator, serta para
pelaksana di lapangan. Tolok ukur keberhasilan pranata publik yang harus diperhatikan, setelah
bangsa kita mengalami peningkatan kemakmuran ekonomis yang cukup besar, ialah terwujudnya
keadilan sosial.  Nilai keadilan sosial yang ingin dicapai dengan tujuan tersusunnya suatu
masyarakat yang seimbang dan teratur sehingga seluruh warga negara memperoleh kesempatan
guna membangun kehidupan yang layak dan mereka yang lemah kedudukannya akan
mendapatkan bantuan seperlunya. Para pengambil keputusan hendaknya menyadari bahwa
ditengah bergeloranya pembangunan yang dilancarkan ternyata masih terdapat kelompok-
kelompok yang sangat tertinggal dalam mengembangkan dirinya, dan lebih celaka lagi mereka
tidak  punya kemampuan meneriakkan derita dan penindasan yang mereka alami. Mereka adalah
para penghuni permukiman kumuh, buruh tani, buruh nelayan, dan para pemulung di kota-kota
yang semakin sesak.
Dalam proses pembangunan di segala sektor, aparat negara acapkali mengambil
kebijakan-kebijakan yang terwujud dalam berbagai keputusan yang mengikat masyarakat umum
degan tujuan demi tercapainya tingkat kesejahteraan yang lebih tinggi. Keputusan-keputusan-
keputusan semacam itu tidak jarang dapat membuka kemungkinan dilanggarnya hak-hak asasi
warga negara akibat adanya pendirian sementara pejabat yang tidak rasional atau  program-
program yang tidak  mempertimbangkan pendapat rakyat kecil. Bukan rahasia lagi bahwa di
negara kita ini pertimbangan-pertimbangan ekonomis, stabilitas, dan security sering
mengalahkan pertimbangan-pertimbangan aspirasi masyarakat dan hak asasi mereka sebagai
warga negara. Pembangunan politis dalam banyak hal telah disubordinasi oleh pembangunan
ekonomis maupun kebijakan-kebijakan pragmatis pejabat tertentu. Sesungguhnya sudah saatnya
bagi kita untuk lebih memperhatikan kehendak rakyat yang sebenarnya sekaligus untuk
mendidik mereka agar terlibat dalam gerak pembangunan dengan sepenuh hati.
Proses perumusan (formulation) dan penerapan (implementation) kebijakan publik
hendaknya juga harus dilakukan sebaik mungkin, sebab suatu kebijakan pemerintah tidak hanya
mengandung konsekuensi yuridis semata, tetapi juga konsekuensi etis atau moral. Sebagai suatu
produk hukum, kebijakan publik berisi perintah (keharusan) atau larangan. Barangsiapa yang
melanggar perintah atau melaksanakan perbuatan tertentu yang dilarang, maka ia akan dikenakan
sanksi tertentu pula. Inilah implikasi yuridis dari suatu kebijakan publik. Dengan kata lain,
pendekatan yuridis terhadap kebijakan publik kurang memperhatikan aspek dampak dan/ atau
kemanfaatan dari kebijakan tersebut. Itulah sebabnya, sering kita saksikan bahwa kebijakan
pemerintah sering ditolak oleh masyarakat (public veto) karena kurang mempertimbangkan
dimensi etis dan moral dalam masyarakat. Beberapa contoh konkrit kebijakan yang tidak populer
dimata masyarakat adalah pembangunan waduk, pengurangan/ penghapusan subsidi BBM/ TDL,
peningkatan tunjangan struktural pejabat tinggi, pembentukan lembaga-lembaga ekstra struktural
yang membebani anggaran, dan sebagainya.
Dikaitkan dengan definisi etika sebagaimana disebutkan diatas, maka suatu kebijakan
publik hendaknya tidak hanya menonjolkan nilai-nilai benar – salah, tetapi harus lebih
dikembangkan kepada sosialisasi nilai-nilai baik – buruk. Sebab, suatu tindakan yang benar
menurut hukum, belum tentu baik secara moral dan etis. Mengingat kelemahan dalam
pendekatan yuridis yang selama ini diterapkan, maka perlu dikembangkan pendekatan baru
dalam perumusan kebijakan publik, yakni pendekatan etika / moral. Konsekuensi dari
pendekatan baru ini adalah bahwa suatu kebijakan publik harus mempertimbangkan hal-hal
sebagai berikut :
1.    Keterikatannya untuk menjamin terselenggaranya kepentingan/ kesejahteraan rakyat banyak.
2.    Keterikatannya dengan upaya untuk memajukan daerah/ tanah air dimana kebijakan tersebut
dirumuskan.

Gambaran diatas mengindikasikan bahwa sempurnanya suatu tugas atau fungsi aparatur
pemerintah (baik individu maupun organisasi) ditentukan oleh tingkat profesionalisme dan
kualifikasi manusia pendukungnya. Namun, kemampuan teknis (skill) dan keluasan wawasan
(knowledge) saja belum cukup memadai untuk menumbuhkan kepercayaan dan rasa kepuasan
dihati masyarakat. Mau tidak mau, birokrasi mestilah memiliki pula moral, etika maupun sikap
dan perilaku yang terpuji dan patut di contoh (attitude).
           

BAB IV
PENUTUP
4.1 Kesimpulan
Kesehatan merupakan salah satu bidang pemerintahan yang wajib dilaksanakan oleh
daerah kabupaten dan daerah kota.Ini berarti bahwa dalam rangka otonomi daerah,Pemerintah
kabupaten dan Pemerintah Kota bertanggung jawab sepenuhnya dalam penyelenggaraan
pembangunan kesehatan untuk meningkatkan derajat kesehatan masyarakat di daerahnya.
Sistem kesehatan daerah menguraikan secara spesifik unsur-unsur upaya kesehatan,
pembiayaan kesehatan, sumberdaya manusia kesehatan, sumberdaya obat dan perbekalan
kesehatan, pemberdayaan masyarakat, dan manajemen kesehatan sesuai dengan potensi dan
kondisi daerah. Sistem Kesehatan Daerah merupakan acuan bagi berbagai pihak dalam
penyelenggaran pembangunan kesehatan di daerah.

4.2 SARAN
1. Hendaknya ketersediaan tenaga kesehatan dan fasilitas  kesehatan perlu diperhatikan oleh
pemerintah DKI Jakarta
2.Meningkatkan pengawasan terhadap pengguna KJS
3. Penerapan program Kartu Jakarta Sehat perlu dilakukan evaluasi kembali oleh pemerintah
setempat. Program ini pada dasarnya merupakan program strategis dalam meningkatkan kualitas
pelayanan publik untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat, hanya saja dalam pelaksanaaanya
masih banyak kendala yang menghalangi keberhasilan program yang dinilai sangat mulia ini.

 
DAFTAR PUSTAKA
Deddy Mulyadi. 2016, Studi Kebijakan Publik dan Pelayanan Publik, Bandung, Penerbit
Alfabeta
Zaenal Mukarom dan Muhibudin Wijaya Laksana. 2016, Membangun Kinerja Pelayanan Publik,
Jawa Barat, CV PUSTAKA SETIA
Wahyudi Kumorotomo. 2015, Etika Administrasi Negara, Jakarta, PT Grafindo Persada
Putra Hidayat.2011. Etika Dalam Kajian Kebijakan Publik dan Pelayanan Publik di
http://putratrihidayat.blogspot.com (diakses 24 Mei).
Tititek Muhaeriwati. 2015. Pelaksanaan Kartu Jakarta Sehat Sebagai Perdana Kesehatan di DKI
Jakarta di https://www.kompasiana.com (diakses 10 Juni).

Você também pode gostar