Você está na página 1de 1

Anggaran merupakan pernyataan mengenai estimasi kinerja yang akan dicapai oleh suatu organisasi dalam

periode tertentu yang dinyatakan dalam ukuran moneter. Anggaran berfungsi sebagai alat perencanaan, alat
pengendalian, alat pengkordinasian, pengkomunikasian dan mengevaluasi prestasi. Proses penyusunan
anggaran meliputi tahap persiapan anggaran, tahap ratifikasi anggaran dan tahap pelaksanaan anggaran.
Dalam organisasi sektor publik, anggaran merupakan instrumen akuntabilitas serta pengelolaan dana publik
dan pelaksanaan program-program yang dibiayai oleh uang publik. Penganggaran dalam organisasi sektor
publik merupakan aktivitas yang penting karena berkaitan dengan proses penentuan alokasi dana untuk
setiap program maupun aktivitas. 
Kebijakan otonomi daerah di Indonesia telah membawa perubahan yang mendasar terhadap hubungan
Pemerintah Daerah (eksekutif) dengan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) atau legislatif. Perubahan
ini juga berimplikasi pada pembuatan kebijakan publik, termasuk penganggaran daerah. Legislatif diberi
kesempatan untuk berperan aktif dalam penyusunan dan penetapan anggaran. Penerapan autonomi daerah
di Indonesia tak terlepas dari perubahan paradigma dalam pengelolaan dan penganggaran daerah.
Penganggaran kinerja (performance budgeting) merupakan konsep dalam penganggaran yang menjelaskan
keterkaitan antara pengalokasian sumberdaya dengan pencapaian hasil yang dapat diukur. Penganggaran
berbasis kinerja mulai diterapkan di Indonesia berdasarkan PP 105/2000 dan Kepmendagri 29/2002 pada
tahun anggaran 2003 atau 2004. Anggaran kinerja mendorong partisipasi dari stakeholders sehingga tujuan
pencapaian hasil sesuai dengan kebutuhan publik. Legislatif diberi kesempatan untuk berperan aktif dalam
penyusunan dan penetapan anggaran sebagai produk hukum.
Indonesia termasuk dalam negara dengan peringkat korupsi tertinggi di dunia (Transparency International,
2005). Di Indonesia, kecurangan akuntansi dibuktikan dengan adanya likuidasi beberapa bank, diajukannya
manajemen BUMN dan swasta ke pengadilan, kasus kejahatan perbankan, manipulasi pajak, korupsi di
komisi-komisi penyelenggara pemilu dan DPRD (www.sinarharapan-online.com).
Teori keagenan (Jensen dan Meckling, 1976) dalam Wilopo (2006) sering digunakan untuk menjelaskan
kecurangan akuntansi. Teori keagenan bermaksud memecahkan problem yang terjadi dalam hubungan
keagenan. Bila agen dan principal berusaha untuk memaksimalkan utilitasnya masing-masing, serta memiliki
keinginan dan motivasi yang berbeda, maka agen (eksekutif) akan cenderung tidak selalu bertindak sesuai
dengan keinginan principal (legislatif) atau sebaliknya. Posisi legislatif yang lebih kuat menyebabkan tekanan
yang semakin besar kepada eksekutif. Dalam Syukriy Abdullah dan John Andra Asmara (2006) dinyatakan
bahwa posisi eksekutif yang “lebih rendah” dari legislatif membuat eksekutif sulit menolak “rekomendasi”
legislatif dalam pengalokasian sumberdaya yang memberikan keuntungan kepada legislatif, sehingga
meyebabkan outcome anggaran dalam bentuk pelayanan publik mengalami distorsi dan merugikan publik.
Alokasi sumberdaya dalam anggaran mengalami distorsi ketika politisi berprilaku korup. Perilaku korup ini
terkait dengan peluang untuk mendapatkan keuntungan pribadi pada proyek-proyek yang akan dibiayai
dengan anggaran, yakni pengalokasian akan lebih banyak untuk proyek-proyek yang mudah dikorupsi (Mauro,
1998a; 1998b) dan memberikan keuntungan politis bagi politisi (Keefer & Khemani, 2003).
Menurut Gramfalvi (1997) dalam Syukriy Abdullah dan John Andra Asmara (2006), korupsi dapat terjadi pada
semua level dalam penganggaran, sejak perencanaan sampai pada pembayaran dana-dana publik. Korupsi
secara politis (political corruption) terjadi pada fase penyusunan anggaran, dimana keputusan politik sangat
dominan, dengan cara mengalihkan alokasi sumberdaya publik. Sedangkan korupsi dalam pelaksanaan
anggaran disebut korupsi administratif (administrative corruption) karena keputusan administrasi lebih
dominan. Pada akhirnya, korupsi politik akan menyebabkan korupsi administratif. Meski secara faktual telah
banyak anggota legislatif di Indonesia yang divonis bersalah karena menyalahgunakan APBD, namun
fenomena ini masih jarang dikaji secara teoritis dan empiris.

Sumber :

Abdullah, Syukriy, Andra Asmara, John. 2006. Perilaku Opportunistik Legislatif dalam Penganggaran
Daerah.Simposium Nasional Akuntansi Padang.

Mardiasmo. 2002. Otonomi dan Manajemen Keuangan Daerah. Yogyakarta: 


Penerbit Andi.

Mahsun, Moh. 2006. Akuntansi Sektor Publik. BPFE. Yogyakarta.

www.sinarharapan-online.com
Reply

Você também pode gostar