Você está na página 1de 34

A.

Anatomi Hidung
Secara anatomi, hidung terbagi dua, external nose (hidung luar) dan internal nose

(hidung dalam). Hidung luar menonjol pada garis tengah diantara pipi dengan bibir

atas. Struktur hidung luar dapat dibedakan atas tiga bagian , yang paling atas disebut

kubah tulang, yang tidak dapat digerakkan. Dibawahnya terdapat kubah kartilago

yang sedikit dapat digerakkan, dan yang paling bawah adalah lobulus hidung yang

mudah digerakkan. Belahan bawah yaitu aperture piriformis hanya kerangka tulang

saja, memisahkan hidung luar dan hidung dalam. Pada bagian superior, struktur

tulang hidung luar berupa prosesus maksila yang berjalan ke atas dan kedua tulang

hidung, semuanya disokong oleh prosesus nasalis tulang frontalis dan suatu bagian

perpendikularis tulang etmoidalis. Bagian berikutnya, yaitu kubah kartilago yang

sedikit dapat digerakkan, dibentuk oleh kartilago lateralis superior yang saling

berfusi di garis tengah serta berfusi pula dengan tepi atas kartilago septum

kuadrangularis. Lobulus hidung dipertahankan bentuknya oleh kartilago lateralis

inferior. Lobulus menutup vestibulum nasi dan dibatasi di sebelah medial oleh

kolumela. Mobilitas lobulus hidung penting untuk ekspresi wajah, gerakan

mengendus dan bersin. Jaringan lunak di antara hidung luar dan dalam dibatasi di

sebelah inferior oleh krista piriformis dengan kulit penutupnya, di medial oleh

septum nasi, dan tepi bawah kartilago lateralis superior sebagai batas superior dan

lateral (Soepardi, 2007).


Hidung dalam struktur ini membentang dari os. internum di sebelah anterior hingga

koana di posterior, yang memisahkan rongga hidung dari nasofaring. Septum nasi

merupakan struktur tulang di garis tengah secara anatomi memisahkan organ

menjadi dua hidung (Mangunkususmo, 2007)


Dinding lateral hidung terdapat konka dengan rongga udara yang tidak teratur

diantaranya meatus superior, media dan inferior. Duktus nasolakrimalis bermuara

pada meatus inferior di bagian anterior. Hiatus semilunaris dari meatus media

merupakan muara sinus frontalis, etmoidalis anterior dan sinus maksilaris (Soepardi,

2007).
\
Vaskularisasi hidung
Pada bagian depan septum terdapat anastomosis dari cabang-cabang a.sfenopalatina,

a.etmoid anterior, a.labialis superior, dan a.palatina mayor yang disebut Pleksus

Kiesselbach (Little’s area). Pleksus Kiesselbach letaknya superfisial dan mudah

cidera oleh trauma, sehingga sering menjadi sumber epistaksis (pendarahan hidung)

terutama pada anak (Damayanti & Endang, 2002).


Vena-vena hidung mempunyai nama yang sama dan berjalan berdampingan dengan

arteri. Vena di vestibulum dan struktur luar hidung bermuara ke v.oftalmika yang

berhubungan dengan sinus kavernosus. Vena-vena di hidung tidak memiliki katup

sehingga merupakan faktor predisposisi untuk mudahnya penyebaran infeksi hingga

ke intracranial (Adam, 1997)


Suplai darah ke hidung bagian dalam berasal dari cabang anterior dan posterior

etmoid (menyilang etmoid plate) dari arteri ophtalmica dan arteri sphenopalatina,

kemudian berakhir di ujung terminal dari arteri maksilaris interna. Bagian septum

anterior dan superior serta dinding lateral hidung mendapat darah dari arteri

etmodalis anterior. Cabang terkecil arteri posterior memperdarahi hanya sebagian


kecil daerah posterior, termasuk olfactory area (area penciuman). Arteri maksilaris

internal, cabang lain dari arteri karotid eksternal, melewati bagian lateral

pterygoideus plate kemudian masuk ke pterygoideus fossa dan berlanjut menjadi

arteri sphenopalatina ke dalam rongga hidung, berjalan melalui foramen

sphenopalatina pada akhir posterior tengah turbinate.Di dalam hidung, arteri terbagi

menjadi cabang posterior lateral hidung dan posterior septal hidung yang beriringan

dengan divisi kedua dan ketiga dari saraf trigeminus. Terdapat anastomosis antara

arteri nasalis lateral dan arteri ethmoidalis, dengan demikian, perdarahan bisa timbul

dari keduanya. Cabang lain dari arteri sphenopalatina turun ke kanal palatina mayor,

memasuki rongga mulut dan menyebar di bawah permukaan palatum. Vena berjalan

melalui jalur serupa dengan arteri sphenopalatina kemudian mengalir ke pleksus

ophtalmica dan sinus kavernosa. Sistem vena pada hidung tidak mempunyai katup,

sehingga infeksi mudah menyebar ke sinus kavernosa (Spanner, 1994).

Bagian depan dan atas rongga hidung mendapat persarafan sensoris dari

n.etmoidalis anterior, yang merupakan cabang dari n.nasosiliaris, yang berasal dari

n.oftalmikus (N.V1). Rongga hidung lainnya, sebagian besar mendapat persarafan

sensoris dari n.maksila melalui ganglion sfenopalatinum. Ganglion sfenopalatinum


selain memberikan persarafan sensoris juga memberikan persarafan vasomotor atau

otonom untuk mukosa hidung. Ganglion ini menerima serabut-serabut sensoris dari

n.maksila (N.V2), serabut parasimpatis dari n.petrosus superfisialis mayor dan

serabut-serabut simpatis dari n.petrosus profundus. Ganglion sfenopalatinum

terletak di belakang dan sedikit di atas ujung posterior konka media Nervus

olfaktorius turun dari lamina kribrosa dari permukaan bawah bulbus olfaktorius dan

berakhir pada sel-sel reseptor penghidu pada mukosa olfaktorius di daerah sepertiga

atas hidung (Mangunkusumo, 2007).

antero-superior septum nasi memiliki persarafan sensori dari nervus ethmoidalis

anterior yang merupakan percabangan dari nervus nasosiliaris yang berasal dari

nervus oftalmikus. Sebagian kecil septum nasi pada antero-inferior mendapatkan

persarafan sensori dari nervus alveolaris cabang antero-superior. Sebagian besar

septum nasi lainnya mendapatkan persarafan sensori dari cabang maksilaris nervus

trigeminus (n.V2). Nervus nasopalatina mempersarafi septum bagian tulang,

memasuki rongga hidung melalui foramen sfenopalatina berjalan ke septum bagian


superior, selanjutnya kebagian antero-inferior dan mencapai palatum durum melalui

kanalis insisivus (Guyton & Hall, 1997).

Histologi hidung
Rongga hidung dilapisi oleh mukosa yang secara histologi dan fungsional dibagi

atas mukosa pernafasan dan mukosa penghidu. Mukosa pernafasan terdapat pada

sebagian besar rongga hidung dan permukaannya dilapisi oleh epitel torak berlapis

semu yang mempunyai silia dan diantaranya terdapat sel – sel goblet. Pada bagian

yang lebih terkena aliran udara mukosanya lebih tebal dan kadang – kadang terjadi

metaplasia menjadi sel epital skuamosa. Dalam keadaan normal mukosa berwarna

merah muda dan selalu basah karena diliputi oleh palut lendir (mucous blanket) pada

permukaannya. Palut lendir ini dihasilkan oleh kelenjar mukosa dan sel goblet

(Guyton & Hall, 1997).

Silia yang terdapat pada permukaan epitel mempunyai fungsi yang penting. Dengan

gerakan silia yang teratur, palut lendir di dalam kavum nasi akan didorong ke arah

nasofaring. Dengan demikian mukosa mempunyai daya untuk membersihkan

dirinya sendiri dan juga untuk mengeluarkan benda asing yang masuk ke dalam

rongga hidung. Gangguan pada fungsi silia akan menyebabkan banyak sekret
terkumpul dan menimbulkan keluhan hidung tersumbat. Gangguan gerakan silia

dapat disebabkan oleh pengeringan udara yang berlebihan, radang, sekret kental dan

obat – obatan (Spanner, 1994).


Fisiologi
Fungsi hidung ialah untuk jalan nafas, alat pengukur kondisi udara, penyaring udara,

sebagai indra penghidu, untuk resonansi suara, membantu proses bicara dan refleks

nasal (Guyton & Hall, 1997).


1. Sebagai jalan nafas pada inspirasi, udara masuk melalui nares anterior, lalu naik

ke atas setinggi konka media kemudian turun ke bawah ke arah nasofaring, sehingga

aliran udara ini berbentuk lengkungan atau arkus. Pada ekspirasi, udara masuk

melalui koana dan kemudian mengikuti jalan yang sama seperti udara inspirasi.

Akan tetapi di bagian depan aliran udara memecah, sebagian akan melalui nares

anterior dan sebagian lain akan kembali ke belakang membentuk pusaran dan

bergabung dengan aliran udara.


2. Fungsi hidung sebagai pengatur kondisi udara perlu untuk mempersiapkan udara

yang akan masuk ke dalam alveolus paru. Fungsi ini dilakukan dengan cara

mengatur kelembapan udara. Fungsi ini dilakukan oleh palut lendir. Mengatur suhu

fungsi ini dimungkinkan karena banyaknya pembuluh darah di bawah epitel dan

adanya permukaan konka dan septum yang luas, sehingga radiasi dapat berlangsung

secara optimal. Dengan demikian, suhu udara kurang lebih 37 derajat celcius.
3. Sebagai penyaring dan pelindung berguna untuk membersihkan udara inspirasi

dari debu dilakukan oleh rambut pada vestibulum nasi, silia, palut lendir. Debu dan

silia akan lengket pada palut lendir dan partikel besar dikeluarkan melalui refleks

bersin.
4. Hidung juga bekerja sebagai indra penghidu dengan adanya mukosa olfaktorius

pada atap rongga hidung, konka superior dan sepertiga bagian atas septum. Partikel
bau bisa mencapai daerah ini dengan cara difusi dengan palut lendir atau bila

menarik nafas dengan kuat.


5. Resonansi suara oleh hidung penting untuk kualitas suara ketika berbicara.

Sumbatan di hidung menyebabkan resonansi suara berkurang atau hilang, sehingga

terdengar suara sengau. Hidung membantu proses pembentukan katakata. Kata

dibentuk oleh lidah, bibir dan palatum mole. Mukosa hidung merupakan reseptor

refleks yang berhubungan dengan saluran cerna, kardiovaskuler dan pernapasan

Kompleks osteomeatal
Pada sepertiga tengah dinding lateral hidung, yaitu di meatus media, ada muara-

muara saluran dari sinus maksila, sinus frontal dan sinus etmoid anterior. Daerah ini

rumit dan sempit, dan dinamakan kompleks osteomeatal (KOM). KOM adalah

bagian dari sinus etmoid anterior. Pada potongan koronal sinus paranasal, gambaran

KOM terlihat jelas yaitu suatu rongga antara konka media dan lamina papirasea. Isi

dari KOM terdiri dari infundibulum etmoid yang terdapat dibelakang prosesus

unsinatus, sel agger nasi, resesus frontalis, bula etmoid, dan sel-sel etmoid anterior

dengan ostiumnya dan ostium sinus maksila (Ballenger, 1991).


Prosesus unsinatus berbentuk bumerang memanjang dari anterosuperior ke

posteroinferior sepanjang dinding lateral hidung, melekat di anterosuperior pada

pinggir tulang lakrimal dan di posteroinferior pada ujung superior konka inferior.

Prosesus unsinatus membentuk dinding medial dari infundibulum (Effendi, 1997).


Bula etmoid terletak di posterior prosesus unsinatus dan merupakan sel udara etmoid

yang terbesar dan terletak paling anterior. Bula etmoid dapat membengkak sangat

besar sehingga menekan infundibulum etmoid dan menghambat drainase sinus

maksila. Infundibulum etmoid berbentuk seperti terowongan dengan dinding

anteromedial dibatasi oleh prosesus unsinatus, dinding posterosuperior dibatasi oleh

bula etmoid, dan pada bagian posteroinferolateralnya terdapat ostium alami sinus

maksila sedangkan proyeksi dari tepi terowongan yang membuka kearah kavum nasi

membentuk hiatus semilunaris anterior (Muranjan, 1999).


Sel agger nasi merupakan sel ekstramural paling anterior dari selsel etmoid anterior.

Karena letaknya sangat dekat dengan resesus frontal, sel ini merupakan patokan

anatomi untuk operasi sinus frontal. Dengan membuka sel ini akan memberi jalan

menuju resesus frontal (Lund, 1997).


Resesus frontal dapat ditemukan pada bagian anterosuperior dari meatus media dan

merupakan drainase dari sinus frontal, dapat langsung ke meatus media atau melalui

infundibulum etmoid menuju kavum nasi. Sinus paranasal adalah rongga-rongga di

dalam tulang kepala yang terletak di sekitar hidung dan mempunyai hubungan

dengan rongga hidung melalui ostiumnya. Ada 3 pasang sinus yang besar yaitu sinus

maksila, sinus frontal dan sinus sfenoid kanan dan kiri, dan beberapa sel sel kecil

yang merupakan sinus etmoid anterior dan posterior. Sinus maksila, sinus frontal

dan sinus etmoid anterior termasuk kelompok sinus anterior dan bermuara di meatus
media, sedangkan sinus etmoid posterior dan sinus sfenoid merupakan kelompok

sinus posterior dan bermuara di meatus superior (Soepardi, 2007).


SINUS MAXILLARIS

Perkembangan

Sinus maxillaris (Antrum of Highmore) adalah sinus yang pertama berkembang. Struktur

ini adalah pada umumnya berisi cairan pada kelahiran. Pertumbuhan dari sinus ini adalah

biphasic dengan pertumbuhan selama 0-3 tahun dan 7-12 tahun. Sepanjang pneumatisasi

kemudian menyebar ke tempat yang rendah dimana gigi yang permanen mengambil

tempat mereka. Pneumatisasi dapat sangat luas sampai akar gigi hanya suatu lapisan yang

tipis dari jaringan halus yang mencakup mereka (Effendi, 1997).

Struktur

Sinus maxillaris orang dewasa adalah berbentuk piramida mempunyai volume kira-kira

15 ml ( 34 x 33 x 23mm ). Dasar dari piramida adalah dinding nasal dengan puncak yang

menunjuk ke arah processus zygomaticum. Dinding anterior mempunyai foramen

infraorbital berada pada bagian midsuperior dimana nervus infraorbital berjalan di atas

atap sinus dan keluar melalui foramen itu. Saraf ini dapat dehiscens (14%). Bagian yang

tertipis dari dinding anterior adalah sedikit di atas fossa canina. Atap dibentuk oleh dasar

orbital dan di transeksi oleh nervus infraorbital . Dinding posterior tidak bisa ditandai. Di

belakang dinding ini adalah fossa pterygomaxillaris dengan arteri maxillaris interna,

ganglion sphenopalatina dan saluran Vidian, nervus palatina mayor dan foramen

rotundum. Dasar dari sinus, seperti dibahas di atas, bervariasi tingkatannya. Sejak lahir

sampai umur 9 tahun dasar dari sinus adalah di atas rongga hidung. Pada umur 9 tahun

dasar sinus secara umum sama dengan dasar nasal. Dasar sinus berlanjut menjadi
peumatisasi sinus maxillaris. Oleh karena itu berhubungan erat dengan penyakit

pertumbuhan gigi yang dapat menyebabkan infeksi rahang dan pencabutan gigi dapat

mengakibatkan fistula oral-antral (Ballenger, 1991).

Cabang dari arteri maxillaris internal mendarahi sinus ini. Termasuk infraorbital ( yang

berjalan dengan nervus infraorbital ), cabang lateral dari sphenopalatine, palatina mayor,

vena axillaris dan vena jugularis sistem dural sinus. Sinus maxilla disarafi oleh cabang dari

V.2. yaitu nervus palatina mayor dan cabang dari nervus infraorbital. Ductus

nasolacrimalis mengalir ke kantung lacrimalis dan berjalan dari fossa lacrimalis di bawah

orbita sebelah posterior dari dinding penunjang rahang yang vertikal dan kosong di sebelah

depan dari meatus inferior. Saluran ini berada sangat dekat dengan ostium rmaxilla, rata-

rata berada pada 4 - 9mm di depan ostium (Guyton & Hall, 1997).

1. Ostium alami.

Ostium maxillaris terletak di bagian superior dari dinding medial sinus. Intranasal

biasanya terletak pada pertengahan posterior infundibulum ethmoidalis, atau disamping

1/3 bawah processus uncinatus. Tepi posterior dari ostium ini berlanjut dengan lamina

paprycea sekaligus ini menjadi tanda (landmark) untuk batas lateral dari diseksi

pembedahan. Ukuran ostium ini rata-rata 2,4 mm tetapi dapat bervariasi antara 1–17

mm. Ostium ini jauh lebih kecil dibanding defect pada tulang sebab mcosa mengisi area

ini dan menggambarkan tingkat dari pembukaan itu. 88% dari ostium maxilla

bersembunyi dibelakang processus uncinatus oleh karena itu tidak bisa dilihat secara

endoscopi (Yilmaz & Naclerio, 2010).

1. Fontanella anterior dan posterior ostium acessorius.

Dua tulang dehiscens dari dinding nasal / dinding medial sinus maxillaris kadang-kadang
ada satu dehiscence tulang yang besar, pada umumnya ditutup oleh mucosa. Beberapa

individu dimana fontanella anterior atau posterior mungkin tetap terbuka mengakibatkan

terdapat suatu ostium assesori. Ostium ini biasanya tidak berfungsi, mengalirkan sinus

jika ostium yang alami dihalangi dan adanya tekanan/gravitasi gerak intrasinus dari

ostium itu. Ostium asesorius pada umumnya ditemukan pada fontanella posterior (Yilmaz

& Naclerio, 2010)..

SINUS ETHMOIDALIS

Perkembangan

Sinus ethmoid merupakan struktur yang berisi cairan pada bayi yang baru dilahirkan.

Selama masih janin perkembangan pertama sel anterior diikuti oleh sel posterior. Sel

tumbuh secara berangsur-angsur sampai dewasa umur 12 tahun. Sel ini tidak dapat dilihat

dengan sinar x sampai umur 1 tahun. Septa yang secara berangsur-angsur tipis dan

pneumatisasi berkembang sesuai usia. Sel ethmoid bervariasi dan sering ditemukan di atas

orbita, sphenoid lateral, ke atap maxilla dan sebelah anterior diatas sinus frontal. Sel ini

disebut sel supraorbital dan ditemukan 15% dari pasien. Penyebaran sel ethmoid ke dasar

sinus frontal disebut frontal bulla. Penyebaran ke turbinate medial disebut concha bullosa.

Sel yang berada pada dasar sinus maxilla ( infraorbita ) disebut Haller”s sel dan dijumpai

pada 10% populasi. Sel-sel ini dapat menyumbat ostia maxilla dan membatasi

infundibulum mengakibatkan gangguan pada fungsi sinus. Sel yang meluas ke anterior

lateral sinus sphenoid disebut Onodi sel. Variasi dari sel ini penting pada saat preoperative

untuk memperjelas anatomi pasien secara individu (Muranjan, 1999)


Struktur

Gabungan sel anterior dan posterior mempunyai volume 15 ml (3,3 x 2,7 x 1,4

cm). Bentuk ethmoid seperti piramid dan dibagi menjadi multipel sel oleh sekat

yang tipis. Atap dari ethmoid dibentuk oleh berbagai struktur yang penting.

Sebelah anterior posterior agak miring (15 derajat). 2/3 anterior tebal dan kuat

dibentuk oleh os frontal dan faveola ethmoidalis. 1/3 posterior lebih tinggi

sebelah lateral dan sebelah medial agak miring kebawah kearah cribiform plate.

Perbandingan antara tulang tebal sebelah lateral dan plate adalah sepersepulah

kuat atap sebelah lateral. Perbedaan berat antara atap medial dan lateral

bervariasi antara 15-17 mm.Sel ethmoid posterior berbatasan dengan sinus

sphenoid. Dinding lateralnya adalah lamina paprycea orbita (Spanner, 1994).

Vascularisasi

Sinus ethmoid mendapat aliran darah dari arteri carotis eksterna dan interna .

Arteri sphenopalatina dan juga arteri opthalmica mendarahi sinus. Pembuluh

vena mengikuti arterinya dan dapat menyebabkan infeksi intracranial (Guyton

& Hall, 1997).

Inervasi

Disarafi oleh nervus V.1 dan V.2, nervus V.1 mensarafi bagian superior

sedangkan sebelah inferior disarafi oleh nervus V.2. Persarafan parasimpatis

melalui nervus Vidian, sedangkan persarafan simpatis melalui ganglion

sympathetic cervical dan berjalan bersama pembuluh darah menuju mukosa

sinus (Guyton & Hall, 1997).


Struktur yang terkait

1. Lamella basal dari turbinate medial

Struktur ini dibentuk oleh pemisahan antara sel ethmoid anterior dan posterior

merupakan pemasangan dari turbinate medial dan berjalan pada tiga tempat yang

berbeda didalamnya dari anterior ke posterior. Sebagian dari bagian anterior

adalah vertikal dan menyisip di crista ethmoidalis dan dasar tengkorak. 1/3

tengah berjalan miring menyisip ke lamina papyracea. 1/3 akhir menyisip sejajar

dengan lamina papyracea. Ruangan dibawah concha medial disebut meatus

medial menuju ethmoid anterior, sinus frontal, dan aliran sinus maxilla .

Kesalahan dalam operasi dapat merusak turbinate medial anterior dan posterior

dan dibagian anteriornya dapat merusak cribriform plate (Guyton & Hall, 1997).

2. Sel ethmoid anterior dan posterior

Sel di bagian anterior menuju lamella basal. Pengalirannya ke meatus medial

melalui infundibulum ethmoid. Termasuk sel agger nasi, bulla ethmoid dan sel-

el anterior lainnya. Sel yang di posterior bermuara ke meatus superior dan

berbatasan dengan sinus sphenoid. Sel bagian posterior secara umum lebih

sedikit dalam jumlah dan lebih besar dari sel bagian anterior (Guyton & Hall,

1997).

3. Sel agger nasi

Sel ini dijumpai di os lacrimal anterior dan superior persimpamgan dari


turbinate medial dengan dinding nasal. Sel ini tersembunyi di belakang anterior

dari processus uncinatus dan mengalirkan ke dalam hiatus semilunaris. Ini

merupakan sel yang pertama pneumatisasi pada bayi yang baru lahir sampai

masa anak-anak. Terdapat satu sampai tiga sel. Dinding sel posterior

membentuk dinding anterior dari recessus frontal. Atap sel agger nasi adalah

dasar dari sinus frontal, yang merupakan tanda penting untuk operasi sinus

frontal (Guyton & Hall, 1997).

4. Bulla ethmoid

Ini penting sebagai pertanda untuk kasus operasi. Terletak diatas infundibulum

dan permukaaan lateral / inferiornya, dan tepi superior processus uncinatus

membentuk hiatus semilunaris. Ini merupakan sel ethmois anterior yang

terbesar. Arteri ethmoidalis anterior umumnya menyilang terhadap atap sel ini.

Recessus suprabullar dan retrobullar dibentuk ketika bulla ethmoid tidak

meluas ke dasar tengkorak. Recessus suprabullar adalah suatu celah antara atap

bulla ethmoid dan fovea. Ruang retrobullar dibentuk ketika ada celah antara

lamella basal dan bulla. Ruang retrobular ini dikenal sebagai hiatus semilunaris

superior (Guyton & Hall, 1997).

5. Infundibulum ethmoid

Perkembangan infundibulum mendahului sinus. Dibentuk oleh struktur yang

kompleks. Dinding anterior dibentuk oleh processus uncinatus, dinding medial

dibentuk oleh processus frontalis os maxilla dan lamina papyracea (Guyton &

Hall, 1997).

6. Arteri ethmoid anterior dan posterior


Arteri ethmoid anteior dan posterior berasal dari arteri opthalmica. Arteri

ethmoid anterior menyilang ke rektus medial dan menembus lamina papyracea.

Arteri ini kemudian menyilang ke atap sinus ethmoid pada sebuah tulang tipis

( biasanya dehisens

), mendarahi cribiform plate dan septum anterior. Arteri ini biasanya besar dan

tunggal dan di bagian inferiornya menutupi sel sinus. Letaknya yang tertutup

berhubungan dengan letak strukturyang lebih medial yaitu fovea ethmoid.

Arteri ethmoid posterior menyilang rektus medial, menembus lamina papyracea

dan melalui sel ethmoid posterior menuju septum. Mendarahi sinus ethmoid

posterior, turbinate superior dan medial dan sebagian kecil septum posterior.

Arteri ini kecil dan bercabang-cabang. Letaknya tertutup kebawah diantara sel-

sel sinus, bergabung dengan letak nervus opticus dekat vertex orbita. Sebab

perkembangan dari struktur ini mendahului sinus hubungan ke sel ethmoid

dapat bervariasi (Guyton & Hall, 1997).

SINUS FRONTALIS

Perkembangan

Sinus frontalis sepertinya dibentuk oleh pergerakan keatas dari sebagian besar

sel-sel ethmoid anterior. Os frontal masih merupakan selaput (membran) pada

saat kelahiran dan tulang mulai untuk mengeras sekitar usia 2 tahun. Secara

radiologi jarang bisa terlihat struktur selaput (membran) ini. Perkembangannya

mulai uia 5 tahun dan berlanjut sampai usia belasan tahun (Guyton & Hall,

1997; Damayanti & Endang 2002).


Struktur

Volume sinus ini sekitar 6 - 7ml (28 x 24 x 20mm). Anatomi sinus frontalis

sangat variasi tetapi secara umum ada dua sinus yang berbentuk seperti corong

dan berbentuk point menaik. Kedalaman dari sinus berhubungan dengan

pembedahan untuk menentukan batas yang berhubungan dengan pembedahan.

Kedua bentuk sinus frontal mempunyai ostia yang bergantung dari rongga itu

(posteromedial). Sinus ini dibentuk dari tulang diploe. Bagaimanapun, dinding

posterior (memisahkan sinus frontal dari fosa kranium anterior) lebih tipis.

Dasar sinus ini juga berfungsi sebagai bagian dari atap rongga mata (Guyton &

Hall, 1997; Damayanti & Endang 2002).

Vascularisasi

Sinus frontalis mendapat perdarahan dari arteri opthalmica melalui arteri

supraorbita dan supratrochlear. Aliran pembuluh vena melalui vena opthalmica

superior menuju sinus cavernosus dan melalui vena-vena kecil didalam dinding

posterior yang mengalir ke sinus dural (Guyton & Hall, 1997; Damayanti &

Endang 2002)..

Inervasi

Sinus frontalis dipersarafi oleh cabang nervus V.1. Secara khusus, nervus-nervus

ini meliputi cabang supraorbita dan supratrochlear (Guyton & Hall, 1997;

Damayanti & Endang 2002).

Struktur terkait (Guyton & Hall, 1997; Damayanti & Endang 2002):

Recessus frontal
Recessus frontal adalah ruang diantara sinus frontalis dan hiatus semilunaris

yang menuju ke aliran sinus. Bagian anterior dibatasi oleh sel agger nasi,

superior oleh sinus frontalis, medial oleh turbinate medial dan bagian lateral

oleh lamina papyracea. Rongga yang menyerupai suatu dambel seperti sinus

frontalis merupakan ostium atau saluran yang kemudian membuka lagi kedalam

recesus. Berdasarkan luasnya pneumatisasi ethmoid, recessus ini dapat kembali

menjadi bentuk pipa yang menghasilkan dambel yang lebih panjang. Struktur

yang anomali, seperti sinus lateralis (bagian posterior ke recessus frontal di

dasar tengkorak) dan bula frontalis (bagian anterior ke receesus di dasar sinus

frontalis) menyebabkan salah interpretasi seperti sinus frontalis ketika operasi

sinus.

SINUS SPHENOIDALIS

Perkembangan

Sinus sphenoidalis adalah unik oleh karena tidak dibentuk dari kantong rongga

hidung. Sinus ini dibentuk didalam kapsul rongga hidung dari hidung janin.

Tidak berkembang hingga usia 3 tahun. Usia 7 tahun pneumatisasi telah

mencapai sella turcica. Usia 18 tahun, sinus sudah mencapai ukuran penuh

(Spanner, 1994; Guyton & Hall, 1997; Damayanti & Endang 2002).

Struktur
Usia belasan tahun sinus ini sudah mencapai ukuran penuh dengan volume

7,5ml (23 x 20 x 17mm). Pneumatisasai sinus ini, seperti sinus frontalis, sangat

bervariasi. Secara umum merupakan struktur bilateral yang terletak

posterosuperior dari rongga hidung. Pneumatisasi dapat meluas sejauh clivus,

ala parva dan ala magna os sphenoid sampai ke foramen magnum. Dinding

sinus sphenoidalis bervariasi ketebalannya, dinding anterosuperior dan dasar

sinus paling tipis (1 – 1,5mm). dinding yang lain lebih tebal, Bagian paling tipis

dari dinding anterior adalah 1 cm dari fovea ethmoidalis. Letak dari sinus oleh

karena hubungan anatominya tergantung dengan tingkat pneumatisasi. Sinus

bisa terletak jauh di anterior, di anterior atau dengan seketika di bawah sella

turcica (conchal, presellar, sellar atau postsellar). Kebanyakan posisi posterior

dapat menempatkan sinus bersebelahan ke struktur yang penting seperti arteri

carotid, nervus opticus, nervus maxillaris cabang dari nervus trigeminal, nervus

vidian, pons, sella turcica dan sinus cavernosus. Struktur ini sering dikenali

seperti lekukan di atap dan dinding sinus. Dalam presentase kecil akan

mempunyai dehisens tulang di atas struktur yang penting seperti nervus opticus

dan arteri carotid. Hati-hati ketika memperbaiki septa

sinus ini mungkin di dalam kesinambungan dengan carotid dan canalis opticus

yang dapat mengakibatkan kematian dan kebutaan. Ostium sinus sphenoidalis

bermuara ke recessus sphenoethmoidalis. Ukurannya sangat kecil ( 0.5 - 4mm )

dan letaknya sekitar 10 mm di atas dasar sinus. 30 derajat kebawah dari dasar

hidung anterior mendekati letak ostium diatas dinding posteriosuperior hidung,

merupakan garis tengah persambungan antara 1/3 atas dan 2/3 bawah dari
dinding anterior sinus. Biasanya sebelah medial ke turbinate superior dan hanya

beberapa milimeter dari cribiform plate. Ostium ini, seperti sinus maxillaris,

mempunyai tulang dehisens yang lebih besar yang dibatasi oleh sebuah septum

membrane (Spanner, 1994; Guyton & Hall, 1997; Damayanti & Endang 2002).

Vascularisasi

Arteri ethmoid posterior mendarahi atap sinus sphenoidalis. Bagian lain dari

sinus mendapat aliran darah dari arteri sphenopalatina. Aliran vena melalui

vena maxillaris ke vena jugularis dan pleksus pterigoid (Guyton & Hall, 1997).

Inervasi

Sinus sphenoidalis disarafi oleh cabang nervus V.1 dan V.2. Nervus nasociliaris

(cabang nervus V.1) berjalan menuju nervus ethmoid posterior dan mensarafi

atap sinus. Cabang- cabang nervus sphenopalatina (V.2) mensarafi dasar sinus

(Guyton & Hall, 1997).

Struktur terkait (Spanner, 1994; Guyton & Hall, 1997; Damayanti & Endang

2002):

1. Recessus sphenoethmoidalis

Recessus sphenoethmoidalis adalah rongga disampinga dan diatas turbinate

superior. Batasan-batasan dari rongga ini dibentuk oleh struktur yang kompleks.

Dinding anterior dsinus sphenoidalis membentuk batas posterior. Septum nasi

dan cribiform plate membentuk batas medial dan superior. Perluasan


anteriolateral ditentukan oleh turbinate superior. Rongga ini keluar ke rongga

hidung secara lebih rendah. Sel ethmoid posterior, seperti halnya sinus

sphenoidalis mengalir ke daerah ini.

2. Rostrum sphenoid

Struktur ini hanya proyeksi garis tengah dari dinding sinus sphenoid

anterior, menyambung lamina perpendicular dan os vomer.

3. Onodi sel

Telah dijelaskan diatas, sel ini adalah sel-sel ethmoid yang terletak anteolateral

menuju sinus sphenoidalis. Struktur penting seperti areteri carotis dan nervus

opticus bisa melalui sel ini. Struktur ini sering dehisens. Perlu tindakan

pembedahan yang hati-hati di area ini dan pemeriksaan radiograpi yang baik

untuk menghindari hasil yang tidak diinginkan.

MIKROSKOPIK ANATOMI SINUS PARANASAL


Sinus-sinus ini dilaisi oleh epitel pseudostratified ciliated columnar

yang berkesinambungan dengan mukosa di rongga hidung. Epitel sinus ini


lebih tipis dari epitel hidung. Ada 4 tipe sel dasar, yaitu epitel ciliated

columnar, non ciliated columnar, sel basal dan sel goblet. Sel-sel ciliated

memiliki 50 – 200 silia per sel dengan struktur dari 9+2 mikrotubulus

dengan dynein lengan. Data penelitian menunjukkan sel ini berdetak 700-

800 kali per menit, pergerakan mucosa pada suatu tingkat 9 mm per menit.

Sel yang nonciliated ditandai oleh microvilli yang menutupi daerah apikal

sel dan bertugas untuk meningkatkan area permukaan ( mungkin

memudahkan pembasahan dan kehangatan dari udara inspirasi ). Ini

penting untuk meningkatkan konsentrasi (sampai 50%) dari ostium sinus.

Fungsi sel basal belum diketahui, sangat bervariasi baik dalam bentuk dan

jumlah. Beberapa teori menjelaskan bahwa sel basal dapat bertindak

sebagai suatu stem cell yang dapat membedakan jika dibutuhkan . Sel

goblet memproduksi glikoprotein yang berfungsi untuk viskositas dan

elastisitas mukosa. Sel goblet ini disarafi oleh saraf simpati dan

parasimpatis (Damayanti & Endang, 2002).


Rangsangan saraf parasimpatis menghasilkan mucous yang lebih

kental dan dengan rangsangan saraf simpatis pengeluaran mucous lebih

encer. Lapisan epitel disokong oleh suatu basement membran yang tipis,

lamina propia, dan periosteum. Keduanya baik kelenjar serous dan

mucinous mengalir ke dalam lamina propia. Studi anatomi menunjukkan

tentang sel goblet dan kelenjar submucosal di sinus dibandingkan di

mukosa hidung. Pada studi tersebut, sinus maxillaris mempunyai sel

goblet yang paling tinggi. Ostia dari rahang, sphenoid dan sinus ethmoid
anterior meningkat dalam jumlah submucosal yang mengandung kelenjar

serous dan mucinous (Adam, 1997).


Fungsi sinus paranasal
Fisiologi dan fungsi dari sinus banyak menjadi penelitian. Berbagai teori

dari fungsi ada. Ini meliputi fungsi dari kelembaban udara inspirasi,

membantu pengaturan tekanan intranasal dan tekanan serum gas,

mendukung pertahanan imun, meningkatkan area permukaan mucosa,

meringankan volume tengkorak, memberi resonansi suara, menyerap

goncangan dan mendukung pertumbuhan masase muka. Hidung adalah

suatu alat pelembab udara yang mengagumkan dan lebih hangat dari

udara. Bahkan saat kecepatan aliran udara 7liter / menit, hidung belum

mencapai kemampuan maksimalnya untuk melaksanakan fungsi ini.

Kelembaban hidung telah ditunjukkan untuk menyokong pO2 serum

sebanyak 6,9 mmHg. Walaupun mucosa hidung beradaptasi melaksanakan

fungsi ini, sinus berperan pada area permukaan mucosa dan

kemampuannya untuk menghangatkan. Beberapa peneliti memperlihatkan

bahwa bernafas dengan mulut menurunkan volume akhir CO2 yang

dapat meningkatkan kadar CO2 serum dan berperan untuk slep apnea.
Oleh karena produksi mukosa sinus yang berlimpah mereka berperan pada

pertahanan imun / penyaringan udara yang dilakukan oleh hidung. Hidung

dan mukosa sinus terdiri dari sel cilia yang berfungsi untuk menggerakkan

mukosa ke choana. Lapisan superfisial yang dikentalkan dari mukosa

hidung berperan untuk menjerat bakteri dan partikel yang mengandung

unsur yang kaya dengan sel imun, antibodi dan protein antibakteri.

Perbatasan lapisan sol yang lebih tipis dan berperan untuk menyediakan
suatu substrat di mana cilia bisa bergerak dan mendorong. Kecuali jika

yang dihalangi oleh penyakit atau perbedaan anatomis, sinus pindah;

gerakan lendir melalui rongga dan ke luar dari ostia ke arah choane

(Spanner, 1994; Guyton & Hall, 1997; Damayanti & Endang 2002)..
Penelitian yang paling terbaru pada fungsi sinus berfokus pada molekul

Nitrous Oxide (NO). Studi menunjukkan bahwa produksi Nitrous Oxide

intranasal adalah secara primer pada sinus. Telah kita ketahui bahwasanya

Nitrous Oxide beracun ke bakteri, jamur dan virus pada tingkatan sama

rendah 100 ppb. Konsentrasi dari unsur ini dapat menjangkau 30.000 ppb

dimana beberapa peneliti sudah berteori tentang mekanisme dari sterilisasi

sinus. Nitrous Oxide juga meningkatkan pergerakan cilia. Fisiologi dan

fungsi sinus paranasal sangat kompleks. Penelitian yang

berkesinambungan mungkin bisa mengungkapkan bahwa semua dari

fungsi ini menjadi bagian dari suatu gambaran yang lebih luas (Yilmaz &

Naclerio, 2002).
Sistem Mukosiliar Hidung
Secara histologis, mukosa hidung terdiri dari palut lendir (mucous

blanket), epitel kolumnar berlapis semu bersilia, membrana basalis, lamina

propria yang terdiri dari lapisan subepitelial, lapisan media dan lapisan

kelenjar profunda (Lund, 1997; Muranjan, 1999)


Epitel organ pernapasan yang biasanya berupa epitel kolumnar bersilia,

pseudostratified, berbeda-beda pada berbagai bagian hidung, tergantung

pada tekanan dan kecepatan aliran udara, demikian pula suhu, dan derajat

kelembaban udara. Jadi, mukosa pada ujung anterior konka dan septum

sedikit melampaui os internum masih dilapisi oleh epitel squamous

berlapis tanpa silia-lanjutan epitel kulit vestibulum nasi. Sepanjang jalur

utama arus inspirasi epitel menjadi kolumnar, silia pendek dan agak

iregular. Sel-sel meatus media dan inferior yang terutama menangani arus

ekspirasi memiliki silia yang panjang yang tersusun rapi. Sinus

mengandung epitel kuboidal dan silia yang sama panjang dan jaraknya

antaranya. Kekuatan aliran udara yang melewati berbagai berbagai lokasi

juga mempengaruhi ketebalan lamina propria dan jumlah kelenjar mukosa.

Lamina propria tipis pada daerah di mana aliran udara lambat atau lemah,

namun tebal di daerah aliran udara yang kuat. Jumlah kelenjar penghasil

sekret dan sel goblet, yaitu sumber dari lapisan mukus, sebanding dengan

ketebalan lamina propria. Lapisan mukus yag sangat kental dan lengket

menangkap debu, benda asing, dan bakteri yang terhirup, dan melalui

kerja silia benda-benda ini di angkut ke faring, selanjutnya ditelan dan

dihancurkan dalam lambung. Lisozim dan imunoglobulin A (IgA)


ditemukan pula dalam lapisan mukus, dan melindungi lebih lanjut

terhadap patogen. Lapisan mukus hidung diperbarui tiga sampai empat

kali dalam satu jam. Silia, yaitu struktur kecil mirip rambut bergerak

serempak secara cepat ke arah aliran lapisan, kemudian membengkok dan

kembali tegak dengan lebih lambat. Kecepatan pukulan silia kira-kira 700-

1.000 siklus per menit (Lund, 1997; Muranjan, 1999).

Silia Respiratorik
Silia merupakan struktur yang menonjol dari permukaan sel. Bentuknya

panjang, dibungkus oleh membran sel dan bersifat mobile. Jumlah silia

dapat mencapai 200 buah pada tiap sel. Panjangnya antara 2-6 μm dengan

diameter 0,3 μm. Struktur silia terbentuk dari dua mikrotubulus sentral

tunggal yang dikelilingi sembilan pasang mikrotubulus luar. Masing-

masing mikrotubulus dihubungkan satu sama lain oleh bahan elastis yang

disebut neksin dan jari-jari radial. Tiap silia tertanam pada badan basal

yang letaknya tepat dibawah permukaan sel. Pada gambar 2.3 tampak di

dalam silia ada sehelai filamen yang disebut aksonema (Ballenger, 1991)
Silia yang panjangnya sekitar 5-7 mikron terletak pada lamina akhir sel-sel

permukaan epitelium, dan jumlahnya sekitar 100 per mikron persegi, atau

sekitar 250 per sel pada saluran pernapasan atas. Silia tampaknya bekerja

hampir otomatis. Misalnya, sel dapat saja terbelah menjadi pecahan-

pecahan kecil tanpa menghentikan gerakan silia. Suatu silia tunggal akan

terus bergerak selama bagian kecil sitoplasma yang menyelubungi korpus

basalis silia tetap melekat padanya. Masing-masing silia bergerak secara

metakronis dengan silia disekitarnya. Bila gerakan silia diamati, maka silia
akan membengkok bersamaan dan berurutan. Gerakan tersebut tidak hanya

terkoordinasi menurut waktu, tetapi juga menurut arahnya pada jutaan

epitel dalam sinus, yang merupakan faktor penting dalam mengangkut

mukus ke nasofaring. (Lund, 1997)


Pola gerakan silia yaitu gerakan cepat dan tiba-tiba ke salah satu arah

(active stroke) dengan ujungnya menyentuh lapisan mukoid sehingga

menggerakan lapisan ini. Kemudian silia bergerak kembali lebih lambat

dengan ujung tidak mencapai lapisan tadi (recovery stroke). Perbandingan

durasi geraknya kira-kira 1 : 3. Dengan demikian gerakan silia seolah-olah

menyerupai ayunan tangan seorang perenang. Silia ini tidak bergerak

secara serentak, tetapi berurutan seperti efek domino (metachronical

waves) pada satu area arahnya sama. Pada gambar 2.3 menyebabkan pola

gerak silia dengan frekwensi denyut (ciliary beat frequency) sebesar 1000

getaran per menit (Ballenger, 1991).


Pola Gerak Silia
Gerak silia terjadi karena mikrotubulus saling meluncur satu sama lainnya.

Sumber energinya ATP yang berasal dari mitokondria. ATP berasal dari

pemecahan ADP oleh ATPase. ATP berada di lengan dinein yang

menghubungkan mikrotubulus dalam pasangannya. Sedangkan antara

pasangan yang satu dengan yang lain dihubungkan dengan bahan elastis

yang diduga neksin (Ballenger, 1991; Lund, 1997)


Mikrovilia merupakan penonjolan dengan panjang maksimal 2 μm dan

diameternya 0,1 μm atau 1/3 diameter silia. Mikrovilia tidak bergerak

seperti silia dan bukan merupakan bakal silia. Mikrovilia merupakan

perluasan membran sel, yang menambah luas permukaan sel. Semua epitel
kolumnar bersilia atau tidak bersilia memiliki mikrovilia pada

permukaannya. Jumlahnya mencapai 300-400 buah tiap sel dan tiap sel

panjangnya sama. Mikrovilia ini akan membantu pertukaran cairan dan

elektrolit dari dan ke dalam sel epitel. Dengan demikian mencegah

kekeringan permukaaan sel, sehingga menjaga kelembaban yang lebih

baik dibanding dengan sel epitel gepeng (Muranjan, 1999)

Palut Lendir (mucous blanket)


Lapisan ganda palut lendir dihasilkan oleh kelenjar serosa dan kelenjar

goblet, yang memiliki ketebalan 12-15 µm. Palut lendir berfungsi sebagai

lubrikan dan menjerat partikulat-partikulat kecil. Jumlahnya sekitar 1-2 L

per hari. Pada kondisi sehat, pH palut lendir sedikit asam. Palut lendir

disusun oleh glikoprotein (2.5-3%), garam (1-2%), dan air (9%). Mukus

dijumpai di semua bagian hidung kecuali vestibulum nasi dan sinus

paranasal. Pergerakan silia mendorong mukus beserta partikel yang terjerat

menuju ke faring dan esofagus. (Soepardi, 2007).

Cairan perisiliar mengandung glikoprotein mukus, protein serum, protein

sekresi dengan berat molekul rendah. Lapisan ini sangat berperanan

penting pada gerakan silia, karena sebagian besar batang silia berada

dalam lapisan ini, sedangkan denyutan silia terjadi di dalam cairan ini.

Lapisan superfisial yang lebih tebal utamanya mengandung mukus.

Diduga mukoglikoprotein ini yang menangkap partikel terinhalasi dan

dikeluarkan oleh gerakan mukosiliar, menelan dan bersin. Lapisan ini juga

berfungsi sebagai pelindung pada temperatur dingin, kelembaban rendah,


gas atau aerosol yang terinhalasi serta menginaktifkan virus yang

terperangkap (Ballenger, 1991)

Transpor Mukosiliar
Transportasi mukosiliar hidung adalah suatu mekanisme mukosa hidung

untuk membersihkan dirinya dengan mengangkut partikel-partikel asing

yang terperangkap pada palut lendir ke arah nasofaring. Merupakan fungsi

pertahanan lokal pada mukosa hidung. Transport mukosiliar disebut juga

clearance mukosiliar (Spanner, 1994).


Transpor mukosiliar atau sistem pembersihan adalah dua sistem yang

bekerja sama satu dengan yang lainnya yang tergantung pada gerakan aktif

silia mencapai serpihan mukus pada permukaan luminal dan mendorong

serpihan-serpihan tersebut ke esofagus. Lapisan tipis dari mukus melapisi

epitel hidung. Lapisan tersebut terdiri dari 2 lapisan: lapisan viskositas

rendah yang menyelubungi silia (sol phase) dan lapisan yang lebih kental

(gel phase). Mukus berasal dari sel goblet, seros-mucus dan kelenjar

serous, eksudasi dari pembuluh darah dan air mata. Albumin dan

immunoglobulin, lisozim, lactoferin, sitokin, dan mediator-mediator lain

sama seperti ion-ion yang terdapat pada lapisan mukosa. Gerakan silia

menyebabkan mukus terdorong menuju nasofaring, kecuali pada bagian

anterior dari konka inferior dimana transpor mukosa hidung berada di

depan. Partikel dan zat yang terperangkap atau terlarut di dalam mukus

akan ditelan dan dihancurkan oleh enzim-enzim yang terdapat di saluran

cerna. Peningkatan atau penurunan dari lapisan mukosa menghasilkan

gangguan pada transportasi. Pembersihan mukosiliar juga dapat terganggu


akibat disfungsi silia seperti pada fibrosis kistik atau diskinesia silia

primer. ((Lund, 1997; Muranjan, 1999).


Karena pergerakan silia lebih aktif pada meatus media dan inferior maka

gerakan mukus dalam hidung umumnya ke belakang, silia cenderung akan

menarik lapisan mukus dari meatus komunis ke dalam celah-celah ini.

Sedangkan arah gerakan silia pada sinus seperti spiral, dimulai dari tempat

yang jauh dari ostium. Kecepatan gerakan silia bertambah secara progresif

saat mencapai ostium, dan pada daerah ostium silia tersebut berputar

dengan kecepatan 15 hingga 20 mm/menit. Kecepatan gerakan mukus oleh

kerja silia berbeda di berbagai bagian hidung. Pada segmen hidung

anterior kecepatan gerakan silianya mungkin hanya 1/6 segmen posterior,

sekitar 1 hingga 20 mm/menit (Spanner, 1994)


Lapisan mukosa akan dibawa ke nasofaring setiap 10-15 menit oleh

gerakan silia dan digantikan dengan mukus baru yang disekresikan oleh

kavum nasi dan mukosa sinus. Aktifitas silia dapat terganggu akibat

penurunan kelembaban, penurunan temperatur, atau kohesi dari

permukaan mukosa yang berlawanan. (Mangunkusumo, 2007)


Lapisan mukosa bergerak dengan kecepatan 2-25mm/menit. Secara

terperinci, yang mengontrol frekuensi gerakan silia belum diketahui.

Namun, frekuensi gerakan silia akan meningkat jika sel-sel tersebut

terpapar oleh NO atau sebuah mekanis, calsium-mediated stimulus,

sedangkan IL-3 akan menurunkan frekuensinya. Selain itu, aktivitas fisik

yang intensif juga dapat menurunkan fungsi transpor mukosiliar.

Penggunaan NaCl memicu peningkatan frekuensi gerakan silia dan

memperbaiki fungsi transpor mukosiliar (Soepardi, 2007).


Faktor yang Mempengaruhi Transpor Mukosiliar
Disfungsi mukosiliar hidung dibagi menjadi kelainan primer dan sekunder.

Kelainan primer berupa diskinesia silia primer dan fibrosis kistik.

Kelainan sekunder berupa influenza, sinusitis kronis, rinitis atrofi, rinitis

vasomotor, deviasi septum, sindroma Sjogren, dan penyakit adenoid

(Yilmaz & Naclerio, 2010).


Keadaan yang mempengaruhi transpor mukosiliar adalah faktor fisiologis

atau fisik, polusi udara dan rokok, kelainan kongenital, rinitis alergi,

infeksi virus atau bakteri, obat-obat topikal, obat-obat sistemik, bahan

pengawet, dan tindakan operasi (Soepardi, 2007).

DAFTAR PUSTAKA

Mangunkusumo, E. S. D. 2007. Sinusitis. Dalam buku ajar ilmu kesehatan


telinga hidung tenggorok kepala dan leher. FKUI. Jakarta

Damayanti dan Endang. 2002. Buku Ajar Ilmu Kedokteran THT Kepala
dan Leher, ed. 5, Balai Penerbit FK UI, Jakarta 2002, 115 – 119.

Adam, B. H. B. 1997. Buku Ajar Penyakit THT edisi 6, EGC, Jakarta,

Guyton, A.C. & Hall, J.E. 1997. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Jakarta:
EGC

Spanner, S. 1994. Atlas Anatomi Manusia, Bagian ke II, edisi 16,


Hipokrates, Jakarta.

Ballenger, J.J. 1991. The technical anatomy and physiology of the nose
and accessory sinuses. In Diseases of the Nose, Throat, Ear, Head,
& Neck. Fourteenth edition Ed. Ballenger JJ. Lea & Febiger.
Philadelphia, London
Soepardi E. A., et al. 2007. Buku ajar ilmu kesehatan : telinga hidung
tenggorok kepala& leher. 6th ed. Jakarta: Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia.

Effendi, H. 1997. Buku Ajar Penyakit THT. 6th ed. Jakarta: EGCp.135-
142.

Lund, V.J. 1997. Anatomy of the nose and paranasal sinuses. In : Gleeson
(Ed). Scott-Browns’s Otolaryngology. 6th ed. London : Butterworth
p.1/5/1-30.

Yilmaz, A.S. & Naclerio, R.M. 2010. Anatomy and Physiology of the
Upper Airway. Available
at:http://pats.atsjournals.org/content/8/1/31.full.pdf+html.

Muranjan, S. 1999. Anatomy of the nose and paranasal sinuses.


Available at:
http://www.bhj.org/journal/1999_4104_oct99/sp_617.html.

Você também pode gostar