Você está na página 1de 14

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Ilmu biofarmasetik dan farmakokinetik obat dan produk obat bermanfaat
untuk memahami hubungan antara sifat-sifat fisikokimia dari produk obat dan
efek farmakologik atau efek klinik. Studi biofarmasetika memerlukan
penyelidikan berbagai faktor yang mempengaruhi laju dan jumlah obat yang
mencapai sirkulasi sistemik. Hal ini berarti, biofarmasetik melibatkan faktor-
faktor yang mempengaruhi pelepasan obat dari suatu produk obat, laju pelarutan
dan akhirnya bioavailabilitas obat tersebut. Farmakokinetika mempelajari kinetika
absorpsi obat, distribusi dan eliminasi obat (Shargel, et all, 2005).
Ketersediaan hayati merupakan kecepatan dan jumlah obat yang mencapai
sistem sirkulasi sistemik dan menunjukkan kinetik perbandingan zat aktif yang
mencapai peredaran darah terhadap jumlah obat yang diberikan. Ketersediaan
hayati obat yang diformulasi menjadi sediaan farmasi merupakan salah satu tujuan
dalam merancang suatu bentuk sediaan dan keefektifan obat tersebut. Pengkajian
terhadap ketersediaan hayati ini tergantung pada absorpsi obat ke dalam sirkulasi
sistemik serta pengukuran dari obat yang terabsorpsi tersebut (Syukri, Y. 2002).
Absorpsi sistemik satu obat dari saluran cerna atau tempat ekstravaskuler
yang lain bergantung pada bentuk sediaan,anatomi dan visiologi tempat absorpsi.
factor-faktor seperti luas permukaan dinding usus kecepatan pengosongan
lambung,pergerakan saluran cerna dan aliran darah ke tempat absorpsi, semuanya
mempengaruhi laju dan jumlah absopsi obat. walaupun ada variasi, keseluruhan
laju absorpsi obat dapat digambarkan secara matematik sebagai suatu proses order
kesatu atau order nol(Shargel, et all, 2005).
Di samping faktor formulasi, cara pemberian obat turut menetukan
kecepatan dan kelengkapan resorpsi obat. Tergantung dari efek yang diinginkan,
yaitu efek sistemis(diseluruh tubuh) atau efek lokal (setempat), keadaan pasien
dan sifat-sifat fisiko kimiawi obat, dapat dipilih dari banyak cara untuk
memberikan obat(Tan,2008).

1
2.2 Tujuan Percobaan
1. Untuk melakukan uji bioavailabilitas dan uji farmakokinetika dasar dari
sediaan Sulfadiazine dalam bentuk kapsul, tablet, SR, dan sediaan injeksi
intravena dengan menggunakan data konsentrasi obat di dalam darah yang
diukur dengan menggunakan spektrofotometer
2. Untuk melakukan uji bioavailabilitas dan uji farmakokinetika dasar dari
sediaan Furosemid dalam bentuk tablet generic, lassic, dan farsix dengan
menggunakan data konsentrasi obat di dalam darah yang diukur dengan
menggunakan spektrofotometer
3. Untuk mengetahui bioekivalensi antara sediaan dagang dengan sediaan
generik

2.3 Manfaat Percobaan


Melalui percobaan ini diharapkan praktikan dapat mempelajari beberapa
rute pemberian obat seperti pemberian secara oral, intravena, maupun
intramuscular. Diharapkan pula praktikan dapat mengetahui cara pengambilan
sampel darah dari kelinci secara vena marginal. Dan praktikan dapat mengetahui
pengaruh dari rute pemberian obat terhadap bioavailabilitas obat.

2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Uraian Bahan


2.1.1 Sulfadiazine

H2N S NH

N
O

N
Sulfadiazin
GAMBAR 1. Struktur
(N-2-piridinil Bangun Sulfadiazin
sulfanilamida)

Nama kimia : Asam 4-kloro-N-furfuril-5-Sulfanoilantranilat


Nama IUPAC : 5-( aminosulfonyl )-4-chloro-2-[( 2-
furanylmethyl )amino] benzoic acid
Rumus kimia : C12H11N2ClO5S
BM : 330,745
Pemerian : putih, putih kekuningan atau putih agak merah
jambu; hampir tidak berbau; tidak berasa.
Kelarutan : praktis tidak larut dalam air; agak sukar larut
dalam etanol(95%)P dan dalam aseton P; mudah
larut dalam asam mineral encer dan dalam larutan
alkali hidroksida.
Khasiat dan penggunaan : antibakteri
Dosis maksimum : sekali 2 g, sehari 8g.
Sulfadiazin dapat ditentukan kadarnya dengan berbagai cara., diantaranya
dilakukan dengan metode nitrimetri dengan menggunakan natrium nitrit sebagai
pentiter dan larutan kanji sebagai indikator dimana akan terbentuk larutan
berwarna biru tua. Menurut United States of Pharmacopeia , dengan cara titrasi
nitrimetri dan indikator pasta kanji. Menurut British Pharmacopeia dilakukan
dengan cara titrasi menggunakan larutan natrium nitrit dan titik akhir ditentukakn
dengan cara elektrometrik (Ditjen POM, 1979)

3
Sulfadiazin (Sulfapirimidin)/Triacef*/Temasud* adalah derivate pirimidin
(1947), bersama sulfametosazol dan sulfafurazol merupakan kelompok sulfa yang
paling kuat. Resorpsinya dari usus agak lambat, sehingga sebagian obat mencapai
usus besar. Oleh karena itu, sulfadiazin berkhasiat terhadap disentri basiler,
bahkan lebih efektif dibandingkan kloramfenikol dan tetrasiklin. PP – nya paling
rendah, rata – rata 40%, maka kadar obat dalam cairan tubuh paling tinggi dan
sering digunakan pada meningitis. Plasma t1/2- nya 10 jam. Sulfadiazin merupakan
obat pilihan kedua untuk infeksi saluran kemih (Tan,2008).
Sulfadiazin (2-sulfanilamidopyrimidine) telah diperkenalkan sebagai zat
kemoterapi pada 1940 ke bawah, dan sejak peraturan makanan dan obat baru
melarang secara tidak memilih-milih distribusi dan kegunaan,data klinik telah
mengakumulasi lebih banyak tentang obat ini yang salah satunya telah dibahas
pada bagian sebelumnya. Hasil percobaan pertama lebih dulu memberikan hasil
yang berlawanan,menunjukkan sulfadiazin sebagai pembentuk obat yang baik
pada infeksi tertentu,dan pastinya rendah toksik. Ini ditemukan sebagai bakterisid
yang bagus seperti bakteriostatik untuk sejumlah organisme,tapi hal itu tergantung
pada medium yang digunakan (Schnitker,1942).

2.1.2 Furosemida

Gambar 2. Struktur bangun Furosemida

Nama kimia : asam 4-kloro-N-furfuril-5-sulfamoilantranilat


Nama lazim : Furosemidum/ furosemida
Rumus kimia : C12H11ClN2O5S
BM : 330,74
Khasiat dan penggunaan : Diuretik
Dosis maksimum : Sekali 1,25 -10 mg

4
Furosemida mengandung tidak kurang dari 98,0% dan tidak lebih dari
101,0% C12H11ClN2O5S dihitung terhadap zat yang telah dikeringkan.Pemerian.
Serbuk hablur, putih sampai hampir kuning; tidak berbau.Kelarutan. Praktis tidak
larut dalam air; mudah larut dalam aseton, dalam dimetilformamida, dan dalam
larutan alkali hidroksida; larut dalam metanol; agak sukar larut dalam etanol;
sukar larut dalam eter; sangat sukar larut dalam kloroform (Ditjen POM, 1995).
Furosemide (frusemide, lasix, impugan) turunan sulfonamide ini (1964)
berdaya diuretis kuat dan bertitik kerja di lengkungan henle bagian menaik.
Sangat efektif pada keaadaan udema diotak dan paru – paru yang akut. Mula
kerjanya yang pesat, oral dalam 0,5 – 1 jam dan bertahan 4 – 6 jam, intravena
dalam beberapa menit dan 2,5 jam lamanya. Resorpsinya dari usus hanya lebih
kurang 50%, PP-nya ca 97%, plasma t1/2- nya 30 – 60 menit, eksresinya melalui
saluran kemih secara utuh, pada dosis tinggi juga lewat empedu. Efek sampingnya
berupa umum, pada injeksi intravena terlalu cepat dan jarang terjadi ketulian
(reversibel) dan hipotensi. Hipokalemia reversibel dapat terjadi pula(Tan, 2008).
Dosis : pada udema : oral 40 – 80 mg pagi p.c., jika perlu atau pada
insufisiensi ginjal sampai 250-4.000 mg sehari dalam 2-3 dosis. Injeksi i.v.
(perlahan) 20-40 mg, pada keadaan kemelut hipertensi sampai 500 mg.
Penggunaan i.m. tidak dianjurkan (Tan,2008).
Furosemid adalah salah satu diuretik yang paling efektif yang tersedia. Pada
penambahan untuk pengobatan edema disebabkan oleh gagal jantung,gagal
ginjal,dan sirkosis pada hati,furosemid dapat digunakan untuk pengobatan
hipertensi,tunggal atau kombinasi dengan antihipertensi yang lain.Ini juga
digunakan dalam infus sodium klorida 0,9% untuk meningkatkan ekskresi
kalsium pada pasien dengan hiperkalsemia (Clayton,2007).

2.2 Penentuan Rute Pemberian


Pemilihan rute pemberian yang tepat merupakan pertimbangan yang
penting dalam terapi dengan obat. Laju absorpsi dan lama kerja obat dipengaruhi
oleh rute pemberian obat. Lebih lanjut sering ada pertimbangan fisiologik yang
menghindari penggunaan rute tertentu pemberian obat. Obat-obat yang tidak stabil
dalam saluran cerna atau obat-obat yang mengalami “first-pass effect” yang besar
tidak sesuai untuk pemberian oral(Shargel, et all, 2005).

5
Lebih lanjut, obat-obat tertentu tidak sesuai untuk pemberian secara
intramuscular, disebabkan oleh pelepasan obat yang tidak menentu, rasa sakit,
atau iritasi lokal. Walaupun obat diinjeksikan ke dalam massa otot,obat harus
mencapai system sirkulasi atau cairan tubuh yang lain untuk dapat berada dalam
sistemik(Shargel, et all, 2005).

2.3 Cara Pemberian


 Oral
Pemberiaan obat melalui mulut(per oral) adalah cara yang paling lazim,
karena sangat praktis, mudah dan aman. Namun, tidak semua obat dapat diberikan
peroral,misalnya obat yang bersifat merangsang(emetin,aminofilin) atau yang di
uraikan oleh getah lambung, seperti benzyl penisilin, insulin, oksitosin, dan
hormone steroida(Tan,2008).

 Intramuskuler(i.m)
Dengan injeksi di dalam otot, obat yang terlarut bekerja dalam
waktu 10-30 menit. Guna memperlambat resorpsi dengan maksud
memperpanjang kerja obat, sering kali digunakan larutan atau suspense
dalam minyak, misalnya suspensi penisilin dan hormone kelamin. Tempat
injeksi umumnya dipilih pada otot bokong yang tidak memiliki banyak
pembuluh dan saraf(Tan,2008).

 Intravena (i.v)
Injeksi ke dalam pembuluh darah menghasilkan efek tercepat
dalam waktu 18 detik,yaitu waktu satu peredaran darah, obat sudah tersebar
ke seluruh jaringan. Tetapi, lama kerja obat biasanya hanya singkat. Cara ini
di gunakan untuk mencapai pentakaran yang tepat dan dapat dipercaya, atau
efek yang sangat cepat dan kuat(Tan,2008).

2.4 First - Pass Effects


Untuk beberapa obat rute pemakaian mempengaruhi kecepatan
metabolismenya. Sebagai contoh,obat yang diberikan parenteral,transdermal,atau
inhalasi akan mempunyai kemungkinan untuk terdistribusi dalam tubuh sebelum
dimetabolisme oleh hati. Sebaliknya obat-obat yang diberikan secara oral
diabsorpsi secara normal dalam duodenal dari usus halus dan ditranspor melalui
melalui pembuluh mesenterika menuju vena porta hepatik dan kemudian ke hati

6
sebelum ke sirkulasi sistemik. Obat-obat yang dimetabolisme dalam jumlah besar
oleh hati atau oleh sel-sel mukosa usus halus menunjukkan avaibilitas sistemik
yang jelek jka diberikan secara oral. Metabolisme secara cepat dari obat-obat yang
diberikan secara oral sebelum mencapai sirkulasi umum disebut”first pass effect”
atau eliminasi presistemik(Shargel, et all, 2005).
Terjadinya “first pass effect” dapat diduga apabila terdapat berkurangnya
jumlah senyawa induk atau obat utuh dalam sirkulasi sistemik sesudah pemberian
oral. Dalam hal demikian AUC untuk obat-obat yang diberikan secara oral lebih
kecil dari AUC obat yang sama yang diberikan secara IV. Dari percobaan pada
binatang, “first-pass effect” dianggap terjadi jika obat utuh didapat dalam kanul
vena porta hepatic tetapi tidak didapat dalam sirkulasi umum(Shargel, et all,
2005).
Dengan menganggap obat stabil secara kimia dalam saluran cerna, dan
obat diberikan secara oral dalam bentuk larutan untuk memastikan absorpsi
campuran maka area dibawah kurva konsentrasi obat dalam plasma(AUC) harus
sama dengan AUC bila obat dengan dosis yang sama diberikan secara intravena.
Oleh karena dengan pengujian bioavaibilitas absolut, F, dapat menunjukkan
hilangnya obat oleh hati karena terjadinya “first-pass effect” (Shargel, et all,
2005).

F = [AUC]0∞ Oral
[AUC]0∞IV
Untuk obat-obat yang mengalami “first pass effect”, [AUC]0∞ Oral lebih
kecil dibandingkan [AUC]0∞IV dan F kurang dari 1. Obat seperti ini isoproterenol
atau nitrogloserin akan mempunyai nilai F kurang dari , oleh karena obat-obat ini
mengalami “first pass effect” yang bermakna(Shargel, et all, 2005).
BAB III
METODE PERCOBAAN

3.1 Alat dan Bahan


3.1.1 Alat – Alat

7
Alat-alat yang digunakan dalam percobaan adalah animal box, beaker
glass, labu tentukur, label nama, penyangga mulut kelinci, pisau cukur, pipet tetes,
sentrifuse, spektrofotometer UV(Shimadzu Mini 1240), spuit 3 ml, tabung
sentrifuse, vial, dan vortex .

3.1.2 Bahan – Bahan

Bahan-bahan yang digunakan dalam percobaan adalah alkohol 70%, Asam


tri Kloro Asetat (TCA) 10%, furosemid(generik,paten), heparin, dan sulfadiazin
(tablet,SR) .

3.2 Hewan Percobaan


Hewan yang digunakan dalam percobaan adalah kelinci jantan dengan
berat badan 1,8 Kg.

3.3 Prosedur Percobaan


3.3.1 Pemberian secara oral (Tablet, Kapsul, atau Sediaan Lepas Lambat)
Kelinci di puasakan minimal 8 jam, cukur bulu telinga hingga bersih
dengan menggunakan pisau cukur. Ambil sebanyak 1 ml darah dari vena marginal
dengan pipa kapiler yang telah dimasukkan heparin. Masukkan ke dalam tabung
sentrifuge yang berisi 2 ml larutan TCA 10 %, homogenkan dengan vortex,
sentrifuge pada 2000 rpm selama 1 menit. Ambil supernatan dan masukkan ke
dalam polytube (untuk selanjutnya disebut sebagai blanko). Berikan sediaan
melalui oral dengan bantuan alat oral sonde. Ambil 1 ml cuplikan darah dari vena
marginal pada menit ke 5, 10, 20, 30, 45, 60, dan 75 menit.

3.3.2 Pemberian Secara Intravena


Kelinci di puasakan minimal 8 jam, cukur bulu telunga hingga bersih
dengan menggunakan pisau cukur. Ambil sebanyak 1 ml darah dari vena marginal
dengan pipa kapiler yang telah dimasukkan heparin. Masukkan ke dalam tabung
sentrifuge yang berisi 2 ml larutan TCA 10 %, homogenkan dengan vortex,

8
sentrifuge pada 2000 rpm selama 1 menit. Ambil supernatan dan masukkan ke
dalam polytube (untuk selanjutnya disebut sebagai blanko). Berikan sediaan
secara intravena pada vena marginal. Ambil 1 ml cuplikan darah dari vena
marginal pada menit ke 5, 10, 20, 30, 45, 60, dan 75 menit.

3.3.3 Pemberian Secara Intramuskular


Kelinci di puasakan minimal 8 jam,,timbang kelinci, cukur bulu telunga
hingga bersih dengan menggunakan pisau cukur. Ambil sebanyak 1 ml darah dari
vena marginal dengan pipa kapiler yang telah dimasukkan heparin. Masukkan ke
dalam tabung sentrifuge yang berisi 2 ml larutan TCA 10 %, homogenkan dengan
vortex, sentrifuge pada 2000 rpm selama 1 menit. Ambil supernatan dan
masukkan ke dalam polytube (untuk selanjutnya disebut sebagai blanko). Berikan
sediaan secara impada bagian paha kaki belakang kelinci dengan menggunakan
spuit. Ambil 1 ml cuplikan darah dari vena margianal pada menit ke 5, 10, 20, 30,
45, 60, dan 75 menit.

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1. Hasil

Terlampir

9
4.2. Perhitungan

Terlampir

4.3. Grafik

Terlampir

4.4. Pembahasan

Pada umumnya obat-obat yang diinjeksikan secara intravena langsung


masuk ke dalam darah dan dalam beberapa menit beredar ke seluruh bagian tubuh.
sedangkan suatu obat yang diinjeksikan secara intramuskular dapat mengalami
penundaan proses absorpsi, karena obat berjalan dari tempat injeksi ke aliran
darah. Pemasukan obat ke dalam plasma dari pemberian oral dan intramuskular
melibatkan suatu fase absorpsi yaitu konsentrasi obat naik secara lambat mencapai
puncak dan kemudian menurun sesuai waktu eliminasi obat. Absorpsi obat terjadi
bila obat berdifusi dari otot ke cairan yang mengelilingi jaringan dan kemudian ke
darah. Injeksi intramuskular dapat diformulasi untuk melepaskan obat secara
cepat atau lambat dengan mengubah pembawa sediaan injeksi. Pada sediaan oral
dapat menghasilkan area di bawah kurva yang lebih rendah, karena proses
absorpsi dan metabolismenya (Shargel, 2005).
Dari studi biofarmasetik memberi fakta yang kuat bahwa metode fabrikasi dan
formulasi dengan nyata mempengaruhi bioavailabilitas obat tersebut. Untuk
memudahkan mengambil keputusan tersebut, suatu pedoman telah dikembangkan
oleh US Food and Drug Administration (FDA) (Shargel, 2005).
Kesalahan prosedur kerja, keadaan kelinci percobaan dan volume
pengambilan darah kelinci tidak dapat dikesampingkan dalam perolehan data yang
benar. Kondisi kelinci yang tidak memenuhi persyaratan hewan percobaan
seharusnya tidak dapat dipakai dalam percobaan. Kesalahan teknik pengambilan
darah kelinci juga dapat menghasilkan data yang tidak akurat.

10
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 KESIMPULAN

11
DAFTAR PUSTAKA

Clayton, D.B. (2007). Basic Pharmacology For Nurses. Philadelphia : Mosby,


Inc. Page. 470.
Ditjen POM. (1979). Farmakope Indonesia. Edisi III. Jakarta: Departemen
Kesehatan R.I. Halaman : 579
Ditjen POM. (1995). Farmakope Indonesia. Edisi IV. Jakarta: Departemen
KesehatanR.I. Halaman : 400

12
Schnitker, A.M. (1942). The Sulfonamide Compunds In The Treatment Of
Injections. New York : Oxford University Press. Page. 149
Shargel, L. (1988). Biofarmasetika dan Farmakokinetika Terapan. Penerjemah:
Fasich dan Sjamsiah. Edisi Kedua. Surabaya: Universitas Airlangga.
Halaman 31,116,137,231,232,375
Tan,H.T. (2008). Obat-Obat Penting.Jakarta : PT Elex Media Komputindo
Kelompok Kompas. Halaman 18,19,144,523

LAMPIRAN
7.1 Flowsheet

7.1.1 Pemberian secara oral

Kelinci

← Ditimbang
← Diberikan obat ( sulfadiazin dan furosemida )
dalam bentuk kapsul, tablet, sediaan lepas lambat
secara oral
← Diambil darah + 1 ml melalui vena marginal
telinga pada waktu 0 , 20, 45, 60, 90, 120, dan 180
menit setelah pemberian obat (sulfadiazin dan

13
furosemida)
← Diukur dengan metode Bratton Marshall

Hasil

7.1.2 Pemberian intra vena (i.v.)

Kelinci

← Ditimbang
← Diinjeksikan sulfadiazin dosis 40 mg melalui
vena marginal telinga kiri
← Diambil darah + 1 ml melalui vena marginal
telinga kanan pada waktu 0, 20, 45, 60, 90, 120,
dan 180 menit setelah pemberian sulfadiazin
← Diukur dengan metode Bratton Marshall

Hasil

14

Você também pode gostar