Você está na página 1de 3

Asal-Usul Hari Ibu

Kini hari ibu diperingati dengan berbagai cara, mulai dari kata-kata penuh cinta buat sang
ibu, sampai program-program diskon di mal. Tapi rata-rata perayaan itu tak ada hubungan
dengan tema-tema yang disampaikan pada Kongres Perempuan, kongres yang menjadi titik
mula hari ibu.
Sabtu malam, 22 Desember 1928, bertempat di sebuah pendopo Dalem Jayadipuran milik
Raden Tumenggung Joyodipoero, ratusan orang berkumpul. Acara resepsi dimulai sejak
pukul tujuh malam, dimulai dengan nyanyian penghormatan dari anak-anak untuk para tamu.

Para tamu juga disuguhi drama tanpa suara tentang cerita Dewi Sinta membakar diri,
Srikandi, dan Perikatan Istri Indonesia. Dari pukul sembilan hingga sebelas malam, para tamu
saling berkenalan. Tiap utusan diberi kesempatan untuk mengurai problem perkumpulannya.
Begitu yang dicatat Susan Blackburn dalam Kongres Perempuan Pertama: Tinjauan Ulang
(2007).

Kongres ini dihadiri juga wakil-wakil dari perkumpulannya Boedi Oetomo, PNI, Pemuda
Indonesia, PSI, Walfadjri, Jong Java, Jong Madoera, Muhammadiyah, dan Jong Islamieten
Bond. Tokoh-tokoh populer yang datang antara lain Mr. Singgih dan Dr. Soepomo dari Boedi
Oetomo, Mr. Soejoedi (PNI), Soekiman Wirjosandjojo (Sarekat Islam), A.D. Haani
(Walfadjri).

Rangkajo Chairoel Sjamsoe Datoek Toemenggoeng alias Nyonya Toemenggoeng, istri dari
Patih Datoek Toemenggoeng yang jadi bawahan Charles Olke van der Plas, hadir juga dalam
acara itu. Setelah acara itu usai, perempuan Minang ini menulis laporan berjudul “Verslag
van het Congres Perempoean Indonesia gehouden te Jogjakarta van 22 tot 25 Desember
1928”. Sekitar 600 perempuan dari berbagai latar pendidikan dan usia hadir dalam kongres
Perempuan Indonesia Pertama ini.

Esok harinya, acara dimulai sejak pukul delapan pagi. Setelah acara dibuka dengan
pertunjukan menyanyi dari anak-anak, Siti Soekaptinah menyampai asas kongres tersebut.
Ternyata, pada pertemuan hari kedua kongres ini juga ada bahasan perkawinan anak yang
disampaikan oleh Moega Roemah.

Perwakilan Poetri Boedi Sedjati (PBS) dari Surabaya menyampaikan pidatonya tentang
derajat dan harga diri perempuan Jawa. Lalu disusul Siti Moendji'ah dengan “Derajat
Perempuan”. Nyi Hajar Dewantara—tentu saja istri dari Ki Hadjar Dewantara—
membicarakan soal adab perempuan. Ada juga pembicara yang menyampaikan topik soal
perkawinan dan perceraian.

Selain pidato soal perkawinan anak, ada pidato berjudul “Iboe” yang dibacakan Djami dari
Darmo Laksmi. Di awal pidatonya, ia menceritakan pengalamannya masa kecilnya yang
dipandang rendah karena ia anak perempuan.

Jika seorang anak hendak dilahirkan, Djami berkata, “bapak dan ibunya meminta kepada
Tuhan, laki-lakilah hendaknya anaknya.”

Di masa kolonial, anak laki-laki menjadi prioritas dalam mengakses pendidikan. Tempat
perempuan, dalam pikiran banyak orang Indonesa, akhirnya tak jauh dari kasur, sumur, dan
dapur. Pandangan usang itu mengakar kuat dan pendidikan bagi perempuan tak dianggap
penting. Perempuan tak perlu pintar, bukankah akhirnya ia akan ke dapur juga?

Tapi Djami berpendapat lain. Meski menekankan pentingnya pendidikan perempuan dalam
kerangka perannya sebagai ibu, pandangan Djami sudah maju untuk ukuran zaman itu.

“Tak seorang akan termasyhur kepandaian dan pengetahuannya yang ibunya atau
perempuannya bukan seorang perempuan yang tinggi juga pengetahuan dan budinya,”
katanya.

Jika perempuan sudah bodoh, pendidikan terhadap anak yang dikandung dan dibesarkannya
sebetulnya terancam. Djami melanjutkan: “selama anak ada terkandung oleh ibunya, itulah
waktu yang seberat-beratnya, karena itulah pendidikan Ibu yang mula-mula sekali kepada
anaknya.”

Itulah kenapa pembangunan sekolah-sekolah untuk memajukan perempuan seperti yang


dilakukan Rohana Koedoes, Kartini juga Dewi Sartika begitu penting perannya. Ibu yang
pandai akan punya modal besar untuk menjadikan anaknya pandai. Anak-anak yang pandai di
masa depan akan membuat kehidupan sebuah masyarakat akan lebih baik. Pergerakan
Nasional Indonesia, tentu perlu anak-anak pandai dari ibu-ibu yang pandai juga.

Dalam Kongres yang berlangsung hingga 25 Desember 1928 ini, Siti Soendari yang
belakangan menjadi istri dari Muhammad Yamin juga hadir. Siti yang seorang guru juga
memberikan pidatonya. Dia memakai bahasa Indonesia, meski Nyonya Toemenggoeng
berpendapat bahasa Indonesianya tidak pas dan agak berlebihan.

Ketika itu bahasa Indonesia, yang sebetulnya bahasa Melayu pasar, baru saja disepakati
sebagai bahasa persatuan Indonesia dua bulan sebelumnya pada 28 Oktober 1928.

Dalam pertemuan tersebut, organisasi-organisasi perempuan berfusi menjadi Perserikatan


Perempuan Indonesia. Setahun kemudian, pada 1929, mereka berganti nama menjadi
Perserikatan Perhimpunan Istri Indonesia.

Menurut Slamet Muljana, dalam Kesadaran Nasional: Dari Kolonialisme sampai


Kemerdekaan (2008), dua tahun setelah kongres, perempuan-perempuan itu menyatakan
bahwa gerakan perempuan adalah bagian dari pergerakan nasional. Bagi mereka, perempuan
wajib ikut serta memperjuangkan martabat nusa dan bangsa.

Seperti kongres Pemuda II, Kongres Perempuan ini juga menekankan pentingnya persatuan.
Mereka tak ingin dipecah belah dengan apapun, termasuk oleh masalah agama. Nyonya
Toemenggoeng mencatat: Roekoen Wanidijo mengusulkan masalah agama sebisa mungkin
mereka hindari untuk dibicarakan agar tidak terjadi perpecahan. Bahkan, tokoh yang menjadi
anggota organisasi keagamaan tidak dapat dipilih menjadi ketua.

Menurut Slamet Muljana, penyelenggara kongres ini berasal dari bermacam etnis dan agama
di Indonesia. Organisasi-organisasi yang terlibat dalam penyelenggaraan itu antara lain:
Wanita Utomo, Putri Indonesia, Wanita Katolik, Aisyah, Wanita Mulyo, perempuan-
perempuan Sarekat Islam, perempuan-perempuan Jong Java, Jong Islamten Bond, dan
Wanita Taman Siswa.
Gedung tempat acara itu diselenggarakan akan dipergunakan sebagai kantor Balai Pelestarian
Sejarah dan Nilai Tradisional di Jalan Brigjen Katamso, Yogyakarta.

Acara ini, menurut Susan Blackburn, membuat kesal kaum feminis Eropa di Indonesia, sebab
acara ini hanya diperuntukkan bagi perempuan-perempuan atau ibu-ibu pribumi Indonesia.
Kala itu, banyak perkumpulan Eropa juga membatasi diri hanya untuk orang Eropa.

Setelah kemerdekaan, kongres ini dianggap penting. Sukarno mengenang semangat


perempuan juga ibu-ibu dalam pergerakan nasional demi perbaikan kehidupan perempuan era
kolonial itu.

Maka, pada 22 Desember 1959, dalam peringatan kongres ke-25, melalui Dekrit Presiden RI
No.316 Tahun 1959, Presiden Sukarno menetapkan setiap tanggal 22 Desember diperingati
sebagai: Hari Ibu.

Você também pode gostar