Você está na página 1de 22

LAPORAN PENDAHULUAN FRAKTUR FEMUR

A. Definisi

Fraktur adalah patah tulang, biasanya disebabkan oleh trauma atau tenaga fisik. Kekuatan dan sudut
dari tenaga tersebut, keadaan tukang, dan jaringan lunak disekitar tulang akan menentukan apakah
fraktur yang terjaadi itu llengkap atau tidak lengkap (Prince & Wilson dalan Nanda, 2013).

Fraktur adalah terputusnya kontinuitas jaringan tulang, yang biasanya disertai dengan luka
sekitar jaringan lunak, kerusakan otot, ruptur tendon, kerusakan pembuluh darah, dan luka organ-
organ tubuh dan ditentukan sesuai jenis dan luasnya, terjadinya fraktur jika tulang dikenai stress
yang lebih besar dari yang besar dari yang dapat diabsorbsinya. (Smeltzer, 2001).
Fraktur femur adalah terputusnya kontinuitas batang femur yang bias terjadi akibat trauma
langsung (kecelakaan dll) dan biasanya lebih banyak dialami oleh laki laki dewasa. Patah pada
daerah ini menimbulkan perdarahan yang cukup banyak menyebabkan penderitaan (FKUI,1995
: 543)
Fraktur femur juga didefinisikan sebagai hilangnya kontinuitas tulang paha, kondisi fraktur femur secara
klinis bisa berupa fraktur femur terbuka yang disertai adanya kerusakan jaringan lunak (otot, kulit,
jaringan saraf dan pembuluh darah) dan fraktur femur tertutup yang dapat disebabkan oleh trauma
langsung pada paha.

B. Etiologi
Secara umum penyebab fraktur dapat dibagi manjadi dua macam:
1. Penyebab Ekstrinsik
a. Gangguan langsung: trauma yang merupakan penyebab utama terjadinya fraktur
misalnya tertabrak, jatuh dari ketinggian. Biasanya penderita terjatuh dengan
posisi miring dimana daerah trokhanter mayor langsung terbentur dengan benda
keras (jalanan).
b. Gangguan tidak langsung: bending, perputaran, kompresi.
2. Penyebab Intrinsik
a. Kontraksi dari otot yang menyebabkan avulsion fraktur.
b. Fraktur patologis: penyakit iskemik seperti neoplasia, cyste tulang, rickettsia,
osteoporosis, hiperparatiroid, osteomalacia.
c. Tekanan berulang yang dapat menyebabkan fraktur.
Sedangkan menurut Sachdeva (1996), penyebab fraktur dapat dibagi menjadi tiga
yaitu:
1. Cedera traumatik pada tulang dapat disebabkan oleh:
a. Cedera langsung yaitu pukulan langsung pada tulang yang menyebabkan tulang
patah secara spontan, biasanya dengan karakteristik fraktur melintang dan terjadi
kerusakan kulit yang melapisinya.
b. Cedera tidak langsung yaitu pukulan langsung berada jauh dari lokasi benturan,
misalnya jatuh dengan tangan menjulur dan menyebabkan fraktur klavikula.
c. Fraktur yang disebabkan kontraksi keras secara mendadak dari otot yang kuat.
2. Fraktur Patologik
Kerusakan tulang disebabkan oleh proses penyakit dimana trauma minor
dapat mengakibatkan fraktur, dapat terjadi pada berbagai keadaan berikut:
a. Tumor tulang (jinak atau ganas), pertumbuhan jaringan baru yang tidak
terkendali dan progresif.
b. Infeksi seperti osteomielitis, dapat terjadi sebagai akibat infeksi akut atau dapat
timbul sebagai salah satu proses yang progresif, lambat dan sakit nyeri.
c. Rakhitis, suatu penyakit tulang yang disebabkan oleh difisiensi vitamin D yang
mempengaruhi semua jaringan skelet lain, biasanya disebabkan oleh defisiensi
diet, tetapi kadang-kadang dapat disebabkan kegagalan absorbsi vitamin D atau
oleh karena asupan kalsium atau fosfat yang rendah.
3.Secara spontan
Fraktur tulang disebabkan oleh stress tulang yang terjadi secara terus menerus
misalnya pada penyakit polio dan orang yang bertugas di kemiliteran.

C. Klasifikasi Fraktur Femur


a. Fraktur Collum Femur
Fraktur collum femur dapat disebabkan oleh trauma langsung yaitu
misalnya penderita jatuh dengan posisi miring dimana daerah trochanter mayor
langsung terbentur dengan benda keras (jalanan) ataupun disebabkan oleh trauma
tidak langsung yaitu karena gerakan exorotasi yang mendadak dari tungkai bawah,
dibagi dalam :
1. Fraktur intrakapsuler (Fraktur collum femur)
2. Fraktur extrakapsuler (Fraktur intertrochanter femur)
b. Fraktur Subtrochanter Femur
Ialah fraktur dimana garis patahnya berada 5 cm distal dari trochanter minor, dibagi
dalam beberapa klasifikasi tetapi yang lebih sederhana dan mudah dipahami adalah
klasifikasi Fielding & Magliato, yaitu :
1. tipe 1 : garis fraktur satu level dengan trochanter minor
2. tipe 2 : garis patah berada 1 -2 inch di bawah dari batas atas trochanter minor
3. tipe 3 : garis patah berada 2 -3 inch di distal dari batas atas trochanterminor
c. Fraktur Batang Femur (Dewasa)
Fraktur batang femur biasanya terjadi karena trauma langsung akibat kecelakaan
lalulintas dikota kota besar atau jatuh dari ketinggian, patah pada daerah ini dapat
menimbulkan perdarahan yang cukup banyak, mengakibatkan penderita jatuh dalam
shock, salah satu klasifikasi fraktur batang femur dibagi berdasarkan adanya luka
yang berhubungan dengan daerah yang patah. Dibagi menjadi :
1. Tertutup
2. Terbuka, ketentuan fraktur femur terbuka bila terdapat hubungan antara tulang
patah dengan dunia luar dibagi dalam tiga derajat, yaitu ;
- Derajat I : Bila terdapat hubungan dengan dunia luar timbul luka kecil,
biasanya diakibatkan tusukan fragmen tulang dari dalam menembus keluar.
- Derajat II : Lukanya lebih besar (>1cm) luka ini disebabkan karena benturan
dariluar.
- Derajat III : Lukanya lebih luas dari derajat II, lebih kotor, jaringan lunak
banyak yang ikut rusak (otot, saraf, pembuluh darah)
d. Fraktur Supracondyler Femur
Fraktur supracondyler fragment bagian distal selalu terjadi dislokasi ke posterior,
hal ini biasanya disebabkan karena adanya tarikan dari otot – otot
gastrocnemius, biasanya fraktur supracondyler ini disebabkan oleh trauma langsung
karena kecepatan tinggi sehingga terjadi gaya axial dan stress valgus atau varus dan
disertai gaya rotasi.
e. Fraktur Intercondylair
Biasanya fraktur intercondular diikuti oleh fraktur supracondular, sehingga
umumnyaterjadi bentuk T fraktur atau Y fraktur.
f. Fraktur Condyler Femur
Mekanisme traumanya biasa kombinasi dari gaya hiperabduksi dan adduksi disertai
dengan tekanan pada sumbu femur keatas.

D. Patofisiologi
Tulang bersifat rapuh namun cukup mempunyai kekuatan dan gaya pegas untuk
menahan tekanan (Apley, A. Graham, 1993). Fraktur biasanya disebabkan oleh trauma
atau tenaga fisik. Kekuatan dan sudut dari tenaga tersebut, keadaan tulang, dan jaringan
lunak disekitar tulang akan menentukan apakah fraktur yang terjadi itu lengkap atau
tidak lengkap. Fraktur lengkap terjadi apabila seluruh tulang patah, sedangkan pada
fraktur tidak lengkap tidak melibatkan seluruh ketebalan tulang. Fraktur terjadi apabila
ada suatu trauma yang mengenai tulang, dimana trauma tersebut kekuatannya melebihi
kekuatan tulang ada 2 faktor yang mempengaruhi terjadinya frakturnya itu ekstrinsik
(meliputi kecepatan, sedangkan durasi trauma yang mengenai tulang, arah, dan
kekuatan), sedangkan intrinsik meliputi kapasitas tulang mengabsorbsi energi trauma,
kelenturan, kekuatan adanya densitas tulang-tulang yang dapat menyebabkan terjadinya
patah tulang bermacam-macam, misalnya trauma langsung dan tidak langsung, akibat
keadaan patologi secara spontan (Sylvia, et al., 2005).
Apabila tekanan eksternal yang datang lebih besar dari yang dapat diserap tulang,
maka terjadilah trauma pada tulang yang mengakibatkan rusaknya atau terputusnya
kontinuitas tulang (Carpnito, Lynda Juall, 1995). Setelah terjadi fraktur, periosteum dan
pembuluh darah serta saraf dalam korteks, marrow, dan jaringan lunak yang
membungkus tulang rusak. Perdarahan terjadi karena kerusakan tersebut dan
terbentuklah hematoma di rongga medula tulang. Jaringan tulang segera berdekatan ke
bagian tulang yang patah. Jaringan yang mengalami nekrosis ini menstimulasi terjadinya
respon inflamasi yang ditandai denagn vasodilatasi, eksudasi plasma dan leukosit, dan
infiltrasi sel darah putih. ini merupakan dasar penyembuhan tulang (Black, J.M, et al,
1993).
E. Manifestasi Klinis
Menurut Black (1993) manifestasi klinis dari fraktur femur yaitu:
1. Deformitas: daya tarik kekuatan otot menyebabkan fragmen tulang berpindah dari
tempatnya perubahan keseimbangan dan kontur terjadi seperti:
a. Rotasi pemendekan tulang
b. Penekanan tulang
2. Bengkak: edema muncul secara cepat dari lokasi dan ekstravaksasi darah dalam
jaringan yang berdekatan dengan fraktur.
3. Echimosis dari perdarahan Subculaneous.
4. Spasme otot spasme involunters dekat fraktur.
5. Tenderness/keempukan.
6. Nyeri: kemungkinan disebabkan oleh spasme otot berpindah tulang dari tempatnya
dan kerusakan struktur di daerah yang berdekatan.
7. Kehilangan sensasi (matirasa, mungkin terjadi dari rusaknya syaraf/perdarahan).
8. Pergerakan abnormal.
9. Dari hilangnya darah.
10. Krepitasi
Menurut Smeltzer & Bare (2002) manifestasi klinis fraktur adalah nyeri,
hilangnya fungsi, deformitas, pemendekan ekstremitas, krepitasi, pembengkakan lokal
dan perubahan warna.
1. Nyeri terus menerus dan bertambah berat sampai fragmen tulang diimobilisasi.
Spasme otot yang menyertai fraktur merupakan bentuk bidai alamiah yang
dirancang untuk meminimalkan gerakan antar fragmen tulang.
2. Pergeseran fragmen pada fraktur lengan atau tungkai menyebabkan deformitas
ekstremitas, yang bisa diketahui dengan membandingkan dengan ekstremitas yang
normal. Ektremitas tak dapat berfungsi dengan baik karena fungsi normal otot
bergantung pada integritas tulang tempat melekatnya otot.
3. Pemendekan tulang karena kontraksi otot yang melekat diatas dan dibawah tempat
fraktur. Bagian paha yang patah lebih pendek dan lebih besar dibanding dengan
normal serta fragmendistal dalam posisi eksorotasi dan aduksi.
4. Krepitasi (derik tulang) yang teraba akibat gesekan antara fragmen satu dengan
yang lainnya.
5. Pembengkakan dan perubahan warna lokal pada kulit terjadi sebagai akibat trauma
dan perdarahan yang mengikuti fraktur. Tanda ini bisa baru terjadi setelah beberapa
jam atau hari setelah cedera.
6. Nyeri hebat di tempat fraktur.
7. Rotasi luar dari kaki lebih pendek.

D. Pemeriksaan Diagnostik
a. Pemeriksaan Radiologi
Sebagai penunjang, pemeriksaan yang penting adalah “pencitraan”
menggunakan sinar rontgen (x-ray). Untuk mendapatkan gambaran 3 dimensi
keadaan dan kedudukan tulang yang sulit, maka diperlukan 2 proyeksi yaitu AP
atau PA dan lateral. Dalam keadaan tertentu diperlukan proyeksi tambahan (khusus)
ada indikasi untuk memperlihatkan patologi yang dicari karena adanya superposisi.
Perlu disadari bahwa permintaan x-ray harus atas dasar indikasi kegunaan
pemeriksaan penunjang dan hasilnya dibaca sesuai dengan permintaan.
1. Tomografi
Menggambarkan tidak satu struktur saja tapi struktur yang lain tertutup
yang sulit divisualisasi. Pada kasus ini ditemukan kerusakan struktur yang
kompleks dimana tidak pada satu struktur saja tapi pada struktur lain juga
mengalaminya.
2. Myelografi
Menggambarkan cabang-cabang saraf spinal dan pembuluh darah di ruang
tulang vertebrae yang mengalami kerusakan akibat trauma.
3. Arthrografi
Menggambarkan jaringan-jaringan ikat yang rusak karena ruda paksa.
4. Computed Tomografi-Scannin
Menggambarkan potongan secara transversal dari tulang dimana
didapatkan suatu struktur tulang yang rusak.
b. Pemeriksaan Laboratorium
1. Kalsium Serum dan Fosfor Serum meningkat pada tahap penyembuhan tulang.
2. Alkalin Fosfat meningkat pada kerusakan tulang dan menunjukkan kegiatan
osteoblastik dalam membentuk tulang.
3. Enzim otot seperti Kreatinin Kinase, Laktat Dehidrogenase (LDH-5), Aspartat
Amino Transferase (AST), Aldolase yang meningkat pada tahap penyembuhan
tulang.
4. Hitung darah lengkap: HT mungkin meningkat (hemokonsentrasi) atau menurun
(perdarahan bermakna pada sisi fraktur) perdarahan bermakna pada sisi fraktur atau
organ jauh pada trauma multiple.
5. Kreatinin : trauma otot meningkatkan beban kreatinin untuk klien ginjal.
6. Profil koagulasi : perubahan dapat terjadi pada kehilangan darah, transfusi multipel,
atau cidera hati. Golongan darah, dilakukan sebagai persiapan transfusi darah jika ada
kehilangan darah yang bermakna akibat cedera atau tindakan pembedahan.
7. Pemeriksaan lain-lain
a. Pemeriksaan mikroorganisme kultur dan test sensitivitas: didapatkan
mikroorganisme penyebab infeksi.
b. Biopsi tulang dan otot: pada intinya pemeriksaan ini sama dengan
pemeriksaan diatas tapi lebih dindikasikan bila terjadi infeksi.
c. Elektromyografi: terdapat kerusakan konduksi saraf yang diakibatkan fraktur.
d. Arthroscopy: didapatkan jaringan ikat yang rusak atau sobek karena trauma
yang berlebihan.
e. Indium Imaging: pada pemeriksaan ini didapatkan adanya infeksi pada
tulang.
f. MRI: menggambarkan semua kerusakan akibat fraktur.
g. Pemeriksaan rontgen : menetukan lokasi/luasnya fraktur/trauma
h. Arteriogram : dilakukan bila kerusakan vaskuler dicurigai.

E. Komplikasi
Komplikasi setelah fraktur adalah syok yang berakibat fatal dalam beberapa jam setelah cedera,
emboli lemak, yang dapat terjadi dalam 48 jam atau lebih, dan sindrom kompartemen, yang
berakibat kehilangan fungsi ekstremitas permanen jika tidak ditangani segera. Adapun beberapa
komplikasi dari fraktur femur yaitu:
F. Syok
Syok hipovolemik atau traumatik akibat pendarahan (baik kehilangan darah eksterna
maupun interna) dan kehilangan cairan ekstrasel ke jaringan yang rusak dapat terjadi pada
fraktur ekstremitas, toraks, pelvis, dan vertebra karena tulang merupakan organ yang sangat
vaskuler, maka dapat terjadi kehilangan darah dalam jumlah yang besar sebagai akibat
trauma, khususnya pada fraktur femur pelvis.
G. Emboli lemak
Setelah terjadi fraktur panjang atau pelvis, fraktur multiple atau cidera remuk dapat terjadi
emboli lemak, khususnya pada pria dewasa muda 20-30 tahun. Pada saat terjadi fraktur
globula lemak dapat termasuk ke dalam darah karna tekanan sumsum tulang lebih tinggi
dari tekanan kapiler atau karna katekolamin yang di lepaskan oleh reaksi stres pasien akan
memobilitasi asam lemak dan memudahkan terjadiya globula lemak dalam aliran darah.
Globula lemak akan bergabung dengan trombosit membentuk emboli, yang kemudian
menyumbat pembuluh darah kecil yang memasok otak, paru, ginjal dan organ lain. Awitan
dan gejalanya yang sangat cepat dapat terjadi dari beberapa jam sampai satu minggu
setelah cidera, gambaran khasnya berupa hipoksia, takipnea, takikardi dan pireksia.
H. Sindrom Kompertemen
Sindrom kompartemen adalah suatu kondisi dimana terjadi peningkatan tekanan interstisial
di dalam ruangan yang terbatas, yaitu di dalam kompartemen osteofasial yang tertutup.
Peningkatan tekanan intra kompartemen akan mengakibatkan berkurangnya perfusi
jaringan dan tekanan oksigen jaringan, sehingga terjadi gangguan sirkulasi dan fungsi
jaringan di dalam ruangan tersebut. Ruangan tersebut terisi oleh otot, saraf dan pembuluh
darah yang dibungkus oleh tulang dan fascia serta otot-otot individual yang dibungkus oleh
epimisium. Sindrom kompartemen ditandai dengan nyeri yang hebat, parestesi, paresis,
pucat, disertai denyut nadi yang hilang. Secara anatomi sebagian besar kompartemen
terletak di anggota gerak dan paling sering disebabkan oleh trauma, terutama mengenai
daerah tungkai bawah dan tungkai atas.

I. Nekrosis avaskular tulang


Cedera, baik fraktur maupun dislokasi, seringkali mengakibatkan iskemia tulang yang
berujung pada nekrosis avaskular. Nekrosis avaskuler ini sering dijumpai pada kaput femoris,
bagian proksimal dari os. Scapphoid, os. Lunatum, dan os. Talus (Suratum, 2008).
J. Atropi Otot
Atrofi adalah pengecilan dari jaringan tubuh yang telah mencapai ukuran normal.
Mengecilnya otot tersebut terjadi karena sel-sel spesifik yaitu sel-sel parenkim yang
menjalankan fungsi otot tersebut mengecil. Pada pasien fraktur, atrofi terjadi akibat otot
yang tidak digerakkan (disuse) sehingga metabolisme sel otot, aliran darah tidak adekuat ke
jaringan otot (Suratum, dkk, 2008).

F. Penatalaksanaan
Tindakan penanganan fraktur dibedakan berdasarkan bentuk dan lokasi serta usia. Berikut adalah
tindakan pertolongan awal pada penderita fraktur :

i. Kenali ciri awal patah tulang memperhatikan riwayat trauma yang terjadi karena benturan,
terjatuh atau tertimpa benda keras yang menjadi alasan kuat pasien mengalami fraktur.
ii. Jika ditemukan luka yang terbuka, bersihkan dengan antiseptik dan bersihkan perdarahan
dengan cara dibebat atau diperban.
iii. Lakukan reposisi (pengembalian tulang ke posisi semula) tetapi hal ini tidak boleh dilakukan
secara paksa dan sebaiknya dilakukan oleh para ahli dengan cara operasi oleh ahli bedah
untuk mengembalikan tulang pada posisi semula.
iv. Pertahankan daerah patah tulang dengan menggunakan bidai atau papan dari kedua posisi
tulang yang patah untuk menyangga agar posisi tetap stabil.
v. Berikan analgetik untuk mengaurangi rasa nyeri pada sekitar perlukaan.
vi. Beri perawatan pada perlukaan fraktur baik pre operasi maupun post operasi.
1. Penatalaksanaan Medis
Penatalaksanaan yang dilakukan adalah :

1. Fraktur Terbuka
Merupakan kasus emergensi karena dapat terjadi kontaminasi oleh bakteri dan disertai
perdarahan yang hebat dalam waktu 6-8 jam (golden period). Kuman belum terlalu
jauh meresap dilakukan:
a. Pembersihan luka
b. Exici
c. Hecting situasi
d. Antibiotik
Ada bebearapa prinsipnya yaitu :

a. Harus ditegakkan dan ditangani dahulu akibat trauma yang membahayakan jiwa
airway, breathing, circulation.
b. Semua patah tulang terbuka adalah kasus gawat darurat yang memerlukan
penanganan segera yang meliputi pembidaian, menghentikan perdarahan
dengan perban tekan, menghentikan perdarahan besar dengan klem.
c. Pemberian antibiotika.
d. Debridement dan irigasi sempurna.
e. Stabilisasi.
f. Penutup luka.
g. Rehabilitasi.
h. Life Saving
i. Semua penderita patah tulang terbuka harus di ingat sebagai penderita dengan
kemungkinan besar mengalami cidera ditempat lain yang serius. Hal ini perlu
ditekankan mengingat bahwa untuk terjadinya patah tulang diperlukan suatu
gaya yang cukup kuat yang sering kali tidak hanya berakibat total, tetapi
berakibat multi organ. Untuk life saving prinsip dasar yaitu : airway, breath and
circulation.
j. Semua patah tulang terbuka dalam kasus gawat darurat.
Dengan terbukanya barier jaringan lunak maka patah tulang tersebut terancam
untuk terjadinya infeksi seperti kita ketahui bahwa periode 6 jam sejak patah
tulang tebuka luka yang terjadi masih dalam stadium kontaminsi (golden
periode) dan setelah waktu tersebut luka berubah menjadi luka infeksi. Oleh
karena itu penanganan patuah tulang terbuka harus dilakukan sebelum golden
periode terlampaui agar sasaran akhir penanganan patah tulang terbuka,
tercapai walaupun ditinjau dari segi prioritas penanganannya. Tulang secara
primer menempati urutan prioritas ke 6. Sasaran akhir di maksud adalah
mencegah sepsis, penyembuhan tulang, pulihnya fungsi.
k. Pemberian antibiotika
Mikroba yang ada dalam luka patah tulang terbuka sangat bervariasi tergantung
dimana patah tulang ini terjadi. Pemberian antibiotika yang tepat sukar untuk
ditentukan hany saja sebagai pemikiran dasar. Sebaliklnya antibiotika dengan
spektrum luas untuk kuman gram positif maupun negatif.
l. Debridemen dan irigasi
Debridemen untuk membuang semua jaringan mati pada darah patah terbuka
baik berupa benda asing maupun jaringan lokal yang mati. Irigasi untuk
mengurangi kepadatan kuman dengan cara mencuci luka dengan larutan
fisiologis dalam jumlah banyak baik dengan tekanan maupun tanpa tekanan.
m. Stabilisasi.
Untuk penyembuhan luka dan tulang sangat diperlukan stabilisasi fragmen
tulang, cara stabilisasi tulang tergantung pada derajat patah tulang terbukanya
dan fasilitas yang ada. Pada derajat 1 dan 2 dapat dipertimbangkan pemasangan
fiksasi dalam secara primer. Untuk derajat 3 dianjurkan pemasangan fiksasi luar.
Stabilisasi ini harus sempurna agar dapat segera dilakukan langkah awal dari
rahabilitasi penderita. (Pedoman diagnosis dan terapi, UPF, 1994: 133)

2. Seluruh Fraktur
a. Rekognisis/Pengenalan
Riwayat kejadian harus jelas untuk mentukan diagnosa dan tindakan selanjutnya.
b. Reduksi/Manipulasi/Reposisi
Upaya untuk memanipulasi fragmen tulang sehingga kembali seperti semula
secara optimun. Dapat juga diartikan Reduksi fraktur (setting tulang) adalah
mengembalikan fragmen tulang pada kesejajarannya dan rotasfanatomis (brunner,
2001).

Reduksi tertutup, traksi, atau reduksi terbuka dapat dilakukan untuk mereduksi
fraktur. Metode tertentu yang dipilih bergantung sifat fraktur, namun prinsip yang
mendasarinya tetap, sama. Biasanya dokter melakukan reduksi fraktur sesegera
mungkin untuk mencegah jaringan lunak kehilaugan elastisitasnya akibat infiltrasi
karena edema dan perdarahan. Pada kebanyakan kasus, roduksi fraktur menjadi
semakin sulit bila cedera sudah mulai mengalami penyembuhan.

Sebelum reduksi dan imobilisasi fraktur, pasien harus dipersiapkan


untuk menjalani prosedur; harus diperoleh izin untuk melakukan prosedur, dan
analgetika diberikan sesuai ketentuan. Mungkin perlu dilakukan anastesia.
Ekstremitas yang akan dimanipulasi harus ditangani dengan lembut untuk
mencegah kerusakan lebih lanjut.

Reduksi tertutup. Pada kebanyakan kasus, reduksi tertutup dilakukan


dengan mengembalikan fragmen tulang keposisinya (ujung-ujungnya saling
berhubungan) dengan manipulasi dan traksi manual.

Ekstremitas dipertahankan dalam posisi yang diinginkan, sementara gips,


biadi dan alat lain dipasang oleh dokter. Alat immobilisasi akan menjaga reduksi dan
menstabilkan ekstremitas untuk penyembuhan tulang. Sinar-x harus dilakukan
untuk mengetahui apakah fragmen tulang telah dalam kesejajaran yang benar.

Traksi. Traksi dapat digunakan untuk mendapatkan efek reduksi dan


imoblisasi. Beratnya traksi disesuaikan dengan spasme otot yang terjadi. Sinar-x
digunakan untuk memantau reduksi fraktur dan aproksimasi fragmen tulang. Ketika
tulang sembuh, akan terlihat pembentukan kalus pada sinar-x. Ketika kalus telah
kuat dapat dipasang gips atau bidai untuk melanjutkan imobilisasi.

Reduksi Terbuka. Pada fraktur tertentu memerlukan reduksi terbuka.


Dengan pendekatan bedah, fragmen tulang direduksi. Alat fiksasi interna dalam
bentuk pin, kawat, sekrup, plat paku, atau batangan logam digunakan untuk
mempertahankan fragmen tulang dalam posisnya sampai penyembuhan tulang
yang solid terjadi. Alat ini dapat diletakkan di sisi tulang atau langsung ke rongga
sumsum tulang, alat tersebut menjaga aproksimasi dan fiksasi yang kuat bagi
fragmen tulang.

c. OREF
Penanganan intraoperatif pada fraktur terbuka derajat III yaitu dengan cara reduksi
terbuka diikuti fiksasi eksternal (open reduction and external fixation=OREF)
sehingga diperoleh stabilisasi fraktur yang baik. Keuntungan fiksasi eksternal adalah
memungkinkan stabilisasi fraktur sekaligus menilai jaringan lunak sekitar dalam
masa penyembuhan fraktur. Penanganan pascaoperatif yaitu perawatan luka dan
pemberian antibiotik untuk mengurangi risiko infeksi, pemeriksaan radiologik serial,
darah lengkap, serta rehabilitasi berupa latihan-latihan secara teratur dan bertahap
sehingga ketiga tujuan utama penanganan fraktur bisa tercapai, yakni union
(penyambungan tulang secara sempurna), sembuh secara anatomis (penampakan
fisik organ anggota gerak; baik, proporsional), dan sembuh secara fungsional (tidak
ada kekakuan dan hambatan lain dalam melakukan gerakan).
d. ORIF
ORIF adalah suatu bentuk pembedahan dengan pemasangan internal fiksasi pada
tulang yang mengalami fraktur. Fungsi ORIF untuk mempertahankan posisi fragmen
tulang agar tetap menyatu dan tidak mengalami pergeseran. Internal fiksasi ini
berupa Intra Medullary Nail biasanya digunakan untuk fraktur tulang panjang
dengan tipe fraktur tranvers.
Reduksi terbuka dengan fiksasi interna (ORIF=open reduction and internal fixation)
diindikasikan pada kegagalan reduksi tertutup, bila dibutuhkan reduksi dan fiksasi
yang lebih baik dibanding yang bisa dicapai dengan reduksi tertutup misalnya pada
fraktur intra-artikuler, pada fraktur terbuka, keadaan yang membutuhkan mobilisasi
cepat, bila diperlukan fiksasi rigid, dan sebagainya. Sedangkan reduksi terbuka
dengan fiksasi eksterna (OREF=open reduction and external fixation) dilakukan pada
fraktur terbuka dengan kerusakan jaringan lunak yang membutuhkan perbaikan
vaskuler, fasiotomi, flap jaringan lunak, atau debridemen ulang. Fiksasi eksternal
juga dilakukan pada politrauma, fraktur pada anak untuk menghindari fiksasi pin
pada daerah lempeng pertumbuhan, fraktur dengan infeksi atau pseudoarthrosis,
fraktur kominutif yang hebat, fraktur yang disertai defisit tulang, prosedur
pemanjangan ekstremitas, dan pada keadaan malunion dan nonunion setelah
fiksasi internal. Alat-alat yang digunakan berupa pin dan wire (Schanz screw,
Steinman pin, Kirschner wire) yang kemudian dihubungkan dengan batang untuk
fiksasi. Ada 3 macam fiksasi eksternal yaitu monolateral/standar uniplanar,
sirkuler/ring (Ilizarov dan Taylor Spatial Frame), dan fiksator hybrid. Keuntungan
fiksasi eksternal adalah memberi fiksasi yang rigid sehingga tindakan seperti skin
graft/flap, bone graft, dan irigasi dapat dilakukan tanpa mengganggu posisi fraktur.
Selain itu, memungkinkan pengamatan langsung mengenai kondisi luka, status
neurovaskular, dan viabilitas flap dalam masa penyembuhan fraktur. Kerugian
tindakan ini adalah mudah terjadi infeksi, dapat terjadi fraktur saat melepas
fiksator, dan kurang baik dari segi estetikPenanganan pascaoperatif meliputi
perawatan luka dan pemberian antibiotik untuk mengurangi risiko infeksi,
pemeriksaan radiologik serial, darah lengkap, serta rehabilitasi. Penderita diberi
antibiotik spektrum luas untuk mencegah infeksi dan dilakukan kultur pus dan tes
sensitivitas. Diet yang dianjurkan tinggi kalori tinggi protein untuk menunjang
proses penyembuhan.Rawat luka dilakukan setiap hari disertai nekrotomi untuk
membuang jaringan nekrotik yang dapat menjadi sumber infeksi. Pada kasus ini
selama follow-up ditemukan tanda-tanda infeksi jaringan lunak dan tampak nekrosis
pada tibia sehingga direncanakan untuk debridemen ulang dan osteotomi. Untuk
pemantauan selanjutnya dilakukan pemeriksaan radiologis foto femur dan cruris
setelah reduksi dan imobilisasi untuk menilai reposisi yang dilakukan berhasil atau
tidak. Pemeriksaan radiologis serial sebaiknya dilakukan 6 minggu, 3 bulan, 6 bulan,
dan 12 bulan sesudah operasi untuk melihat perkembangan fraktur. Selain itu
dilakukan pemeriksaan darah lengkap rutin.
e. Retensi/Immobilisasi
Upaya yang dilakukan untuk menahan fragmen tulang sehingga kembali seperti
semula secara optimun. Imobilisasi fraktur. Setelah fraktur direduksi, fragmen
tulang harus diimobilisasi, atau dipertahankan dalam posisi kesejajaran yang benar
sampai terjadi penyatuan. Imobilisasi dapat dilakukan dengan fiksasi eksterna atau
interna. Metode fiksasi eksterna meliputi pembalutan, gips, bidai, traksi kontinu, pin
dan teknik gips, atau fiksator eksterna. Implan logam dapat digunakan untuk fiksasi
interna yang berperan sebagai bidai interna untuk mengimobilisasi fraktur.
f. Rehabilitasi
Menghindari atropi dan kontraktur dengan fisioterapi. Segala upaya diarahkan
pada penyembuhan tulang dan jaringan lunak. Reduksi dan imobilisasi harus
dipertahankan sesuai kebutuhan. Status neurovaskuler (mis. pengkajian peredaran
darah, nyeri, perabaan, gerakan) dipantau, dan ahli bedah ortopedi diberitahu
segera bila ada tanda gangguan neurovaskuler.
Kegelisahan, ansietas dan ketidaknyamanan dikontrol dengan berbagai pendekatan
(mis. meyakinkan, perubahan posisi, strategi peredaan nyeri, termasuk analgetika).
Latihan isometrik dan setting otot diusahakan untuk meminimalkan atrofi disuse
dan meningkatkan peredaran darah. Partisipasi dalam aktivitas hidup sehari-hari
diusahakan untuk memperbaiki kemandirian fungsi dan harga-diri. Pengembalian
bertahap pada aktivitas semula diusahakan sesuai batasan terapeutika. Biasanya,
fiksasi interna memungkinkan mobilisasi lebih awal. Ahli bedah yang
memperkirakan stabilitas fiksasi fraktur, menentukan luasnya gerakan dan stres
pada ekstrermitas yang diperbolehkan, dan menentukan tingkat aktivitas dan beban
berat badan.
3.1 Asuhan Keperawatan Secara Umum
A. Pengkajian
1. Anamnesa
a. Identitas Klien
Meliputi nama, jenis kelamin, umur, alamat, agama, bahasa yang dipakai,
status perkawinan, pendidikan,pekerjaan, asuransi, golongan darah, no. register,
tanggal MRS, diagnosa medis.
b. Keluhan Utama
Pada umumnya keluhan utama pada kasus fraktur adalah rasa nyeri. Nyeri
tersebut bisa akut atau kronik tergantung dan lamanya serangan. Untuk
memperoleh pengkajian yang lengkap tentang rasa nyeri klien digunakan:
1. Provoking Incident: apakah ada peristiwa yang menjadi yang menjadi faktor
presipitasi nyeri.
2. Quality of Pain: seperti apa rasa nyeri yang dirasakan atau digambarkan klien.
Apakah seperti terbakar, berdenyut, atau menusuk.
3. Region : radiation, relief: apakah rasa sakit bisa reda, apakah rasa sakit
menjalar atau menyebar, dan dimana rasa sakit terjadi.
4. Severity (Scale) of Pain: seberapa jauh rasa nyeri yang dirasakan klien, bisa
berdasarkan skala nyeri atau klien menerangkan seberapa jauh rasa sakit
mempengaruhi kemampuan fungsinya.
5. Time: berapa lama nyeri berlangsung, kapan, apakahbertambah buruk pada
malam hari atau siang hari.
c. Riwayat Penyakit Sekarang
Pengumpulan data yang dilakukan untuk menentukan sebab dari fraktur,
yang nantinya membantu dalam membuat rencana tindakan terhadap klien. Ini
bisa berupa kronologi terjadinya penyakit tersebut sehingga nantinya bisa
ditentukan kekuatan yang terjadi dan bagian tubuh mana yang terkena. Selain itu,
dengan mengetahui mekanisme terjadinya kecelakaan bisa diketahui luka
kecelakaan yang lain .
d. Riwayat Penyakit Dahulu
Pada pengkajian ini ditemukan kemungkinan penyebab fraktur dan
memberi petunjuk berapa lama tulang tersebut akan menyambung. Penyakit-
penyakit tertentu seperti kanker tulang dan penyakit paget’s yang menyebabkan
raktur patologis yang sering sulit untuk menyambung. Selain itu, penyakit
diabetes dengan luka di kaki sanagt beresiko terjadinya osteomyelitis akut
maupun kronik dan juga diabetes menghambat proses penyembuhan tulang.
e. Riwayat Penyakit Keluarga
Penyakit keluarga yang berhubungan dengan penyakit tulang merupakan
salah satu faktor predisposisi terjadinya fraktur, seperti diabetes, osteoporosis
yang sering terjadi pada beberapa keturunan, dan kanker tulang yang cenderung
diturunkan secara genetik.
f. Riwayat Psikososial
Merupakan respons emosi klien terhadap penyakit yang dideritanya dan
peran klien dalam keluarga dan masyarakat serta respon atau pengaruhnya dalam
kehidupan sehari-harinya baik dalam keluarga ataupun dalam masyarakat .
2. Pemeriksaan Fisik
a. Gambaran Umum
1. Keadaan umum: baik atau buruknya yang dicatat adalah tanda-tanda, seperti:
a. Kesadaran penderita: apatis, sopor, koma, gelisah, komposmentis
tergantung pada keadaan klien.
b. Kesakitan, keadaan penyakit: akut, kronik, ringan, sedang, berat dan
pada kasus fraktur biasanya akut.
c. Tanda-tanda vital tidak normal karena ada gangguan baik fungsi maupun
bentuk.
2. Secara sistemik dari kepala sampai kelamin
a. Sistem Integumen: Terdapat erytema, suhu sekitar daerah trauma
meningkat, bengkak, oedema, nyeri tekan.
b. Kepala: Tidak ada gangguan yaitu, normo cephalik, simetris, tidak ada
penonjolan, tidak ada nyeri kepala.
c. Leher: Tidak ada gangguan yaitu simetris, tidak ada penonjolan, reflek
menelan ada.
d. Muka: Wajah terlihat menahan sakit, lain-lain tidak ada perubahan
fungsi maupun bentuk. Tak ada lesi, simetris, tak oedema.
e. Mata: Tidak ada gangguan seperti konjungtiva tidak anemis (karena
tidak terjadi perdarahan)
f. Telinga: Tes bisik atau weber masih dalam keadaan normal. Tidak ada
lesi atau nyeri tekan.
g. Hidung: Tidak ada deformitas, tak ada pernafasan cuping hidung.
h. Mulut dan Faring: Tak ada pembesaran tonsil, gusi tidak terjadi
perdarahan, mukosa mulut tidak pucat.
i. Thoraks: Tak ada pergerakan otot intercostae, gerakan dada simetris.
j. Paru
1. Inspeksi: Pernafasan meningkat, reguler atau tidaknya tergantung
pada riwayat penyakit klien yang berhubungan dengan paru.
2. Palpasi: Pergerakan sama atau simetris, fermitus raba sama.
3. Perkusi: Suara ketok sonor, tak ada erdup atau suara tambahan
lainnya.
4. Auskultasi: Suara nafas normal, tak ada wheezing, atau suara
tambahan lainnya seperti stridor dan ronchi.
k. Jantung
1. Inspeksi: Tidak tampak iktus jantung.
2. Palpasi: Nadi meningkat, iktus tidak teraba.
3. Auskultasi: Suara S1 dan S2 tunggal, tak ada mur-mur.
l. Abdomen
1. Inspeksi: Bentuk datar, simetris, tidak ada hernia.
2. Palpasi: Tugor baik, tidak ada defands muskuler, hepar tidak
teraba.
3. Perkusi: Suara thympani, ada pantulan gelombang cairan.
4. Auskultasi: Peristaltik usus normal ± 20 kali/menit.
m. Inguinal-Genetalia-Anus: Tak ada hernia, tak ada pembesaran lymphe,
tak ada kesulitan BAB.
b. Keadaan Lokal
Harus diperhitungkan keadaan proksimal serta bagian distal terutama
mengenai status neurovaskuler (untuk status neurovaskuler _ 5 P yaitu Pain,
Palor, Parestesia, Pulse, Pergerakan). Pemeriksaan pada sistem muskuloskeletal
adalah:
1. Look (inspeksi); Perhatikan apa yang dapat dilihat antara lain:
a. Cicatriks (jaringan parut baik yang alami maupun buatan seperti bekas
operasi).
b. Cape au lait spot (birth mark).
c. Fistulae.
d. Warna kemerahan atau kebiruan (livide) atau hyperpigmentasi.
e. Benjolan, pembengkakan, atau cekungan dengan hal-hal yang tidak
biasa (abnormal).
f. Posisi dan bentuk dari ekstrimitas (deformitas)
g. Posisi jalan (gait, waktu masuk ke kamar periksa)
2. Feel (palpasi)
Pada waktu akan palpasi, terlebih dahulu posisi penderita diperbaiki
mulai dari posisi netral (posisi anatomi). Pada dasarnya ini merupakan
pemeriksaan yang memberikan informasi dua arah, baik pemeriksa maupun
klien.Yang perlu dicatat adalah:
a. Perubahan suhu disekitar trauma (hangat) dan kelembaban kulit.
Capillary refill time Normal 3– 5 “
b. Apabila ada pembengkakan, apakah terdapat fluktuasi atau oedema
terutama disekitar persendian.
c. Nyeri tekan (tenderness), krepitasi, catat letak kelainan (1/3 proksimal,
tengah, atau distal). Otot: tonus pada waktu relaksasi atau konttraksi,
benjolan yang terdapat di permukaan atau melekat pada tulang. Selain
itu juga diperiksa status neurovaskuler. Apabila ada benjolan, maka
sifat benjolan perlu dideskripsikan permukaannya, konsistensinya,
pergerakan terhadap dasar atau permukaannya, nyeri atau tidak, dan
ukurannya.
d. Move (pergerakan terutama lingkup gerak. Setelah melakukan
pemeriksaan feel, kemudian diteruskan dengan menggerakan
ekstrimitas dan dicatat apakah terdapat keluhan nyeri pada pergerakan.
Pencatatan lingkup gerak ini perlu, agar dapat mengevaluasi keadaan
sebelum dan sesudahnya. Gerakan sendi dicatat dengan ukuran derajat,
dari tiap arah pergerakan mulai dari titik 0 (posisi netral) atau dalam
ukuran metrik. Pemeriksaan ini menentukan apakah ada gangguan
gerak (mobilitas) atau tidak. Pergerakan yang dilihat adalah gerakan
aktif dan pasif.
B. Diagnosa Keperawatan
Adapun diagnosa keperawatan yang lazim dijumpai pada klien fraktur adalah sebagai
berikut.
1. Nyeri akut b/d spasme otot, gerakan fragmen tulang, edema, cedera jaringan
lunak, pemasangan traksi, stress/ansietas.
2. Gangguan pertukaran gas b/d perubahan aliran darah, emboli, perubahan
membran alveolar/kapiler (interstisial, edema paru, kongesti)
3. Gangguan mobilitas fisik b/d kerusakan rangka neuromuskuler, nyeri, terapi
restriktif (imobilisasi)
4. Gangguan integritas kulit b/d fraktur terbuka, pemasangan traksi (pen, kawat,
sekrup)
5. Risiko infeksi b/d ketidakadekuatan pertahanan primer (kerusakan kulit, taruma
jaringan lunak, prosedur invasif/traksi tulang).
6. Risiko Syok b.d hipovolemik
Arif, Muttaqin. 2008. Asuhan Keperawatan Klien Gangguan Sistem Muskuloskeletal.
Jakarta : Penerbit Buku kedokteran EGC
Doenges, dkk, (2005). Rencana asuhan keperawatan pedoman untuk perencanaan dan
pendokumentasian perawatan pasien. Jakarta : Penerbit Buku kedokteran EGC
Price & Wilson, (2006). Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses Penyaki. Volume 2.
Edisi 6. Jakarta : Penerbit Buku kedokteran EGC
Sylvia A. Price, Lorraine M. Wilson. 2005. Patofisiologi Konsep Klinis Proses - proses
penyakit Volume 2. Edisi 6. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC.
Smeltzer, S. 2001. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Brunner Suddarth. Volume 2 Edisi 8.
Jakarta : Penerbit Buku kedokteran EGC

Brunner & Suddarth, 2002, Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah, edisi 8 volume 2, EGC,
Jakarta.

Budiyanto, Aris. 2009. Penatalaksanaan Terapi Latihan Pasca Operasi Pemasangan Orif Pada
Fraktur. Skripsi. Universitas Muhammadiyah Surakarta. Retrived from
:http://www.scribd.com/doc/20058202/fraktur. Diakses pada 06 Februari 2012.

Johnson, M. Maas, M and Moorhead, S. 2007. Nursing Outcomes Classifications (NOC).Second


Edition. IOWA Outcomes Project. Mosby-Year Book, Inc. St.Louis, Missouri.

North American Nursing Diagnosis Association. 2012. Nursing Diagnosis : Definition and
Classification 2012-2014. NANDA International. Philadelphia.

McCloskey, J.C and Bulechek, G.M. 2007. Nursing Intervention Classifications (NIC). Second
Edition. IOWA Interventions Project. Mosby-Year Book, Inc. St.Louis, Missouri.

Ahern, N. R & Wilkinson, J. M. (2011). Buku Saku Diagnosis Keperawatan Edisi 9 Edisi Revisi.
Jakarta: EGC.
Smeltzer, S. C. (2001). Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah. Jakarta: EGC.

M a n s j o e r , A . ( 2 0 0 0 ) . Kapita Selekta Kedokteran Edisi Ketiga Jilid 2. Jakarta: Media Aesculapius


Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.

Nurarif, A. H & Kusuma, H. (2015). Aplikasi Asuhan Keperawatan Berdasarkan Diagnosa Medis dan
Nanda NIC-NOC Edisi Revisi Jilid 2. Yogyakarta: Penerbit Mediaction.

Sjamsuhidajat, Wim de Jong. 2005. Buku Ajar Ilmu Bedah Edisi II. Jakarta: EGC.

Você também pode gostar