Você está na página 1de 18

IBNU QUTAIBAH

Nama lengkap Ibnu Qutaibah adalah ‘Abdullah bin Muslim bin Qutaibah al-Dainuri al-Marwazi.
Kuniyahnya adalah AbuMuhammad. Ia dinisbatkan pada al-Dainuri, yaitu suatu daerah di mana ia
pernah menjadi hakim di sana. Sebagian ulama berpendapat, Ibnu Qutaibah juga dinisbatkan pada al-
Marwazi yang merupakan tempat kelahiran ayahnya.

Ibnu Qutaibah adalah seorang ahli sejarah politik. Dia juga adalah seorang cendekiawan Islam dan
pakar bahasa Arab serta pembela ahli hadits. Ibnu Qutaibah lahir pada tahun 828 M dan meninggal
pada tahun 889 M. Namun, para sejarawanberbeda pendapat mengenai tempat kelahirannya. Menurut
Ibnu Khalikan, dia lahir di Baghdad, sedangkan menurut An-Nadim dan Ibnu al-Anbar dia lahir di
Kufah pada awal Rajab tahun 313 H. Salah satu karya Ibnu Qutaibah yang terkenal adalah Kitab Al
Ma’arif (setebal empat jilid) yang merupakan ensiklopedia pertama berbahasa Arab.

Dalam beberapa literatur, ia terkadang dikenal dengan sebutan al-Qutba atau al-Qutaibah yang
merupakan bentuk tashghir (memiliki arti kecil) dari kata Qutbah dan bentuk tunggal dari kata aqtab
yang mempunyai arti jeroan binatang ternak. Tidak diketahui dengan jelas mengapa ia dinisbatkan
pada kata tersebut.

Ibnu Qutaibah dilahirkan pada tahun 213 H/ 828 M di Baghdad, dan ada yang mengatakan di Kufah.
Pada masa itu Baghdad merupakan ibu kota negara yang berada di dekat bekas ibu kota Persia,
Ctesiphon. Jadi dapat dikatakan bahwa pusat pemerintahan dinasti Abbasyiah berada di tengah-tengah
bangsa Persia. Sejak saat itu Baghdad tidak pernah sepi dari perkembangan ilmu pengetahuan dan
kemunculan ulama, sehingga kesempatan ini tidak disia-siakan oleh Ibnu Qutaibah untuk menyerap
ilmu dari beberapa ulama setempat.

Tidak puas dengan apa yang didapatkan di Bahgdad, Ibnu Qutaibah pun mulai gemar melakukan
perlawatan dari satu daerah ke daerah yang lain untuk memperoleh ilmu, sebagaimana yang dilakukan
para ulama pada waktu itu. Ia mengunjungi Bashrah, Makkah, Naisabur dan tempat-tempat lain untuk
belajar berbagai macam disiplin ilmu dari para ulama yang ada di sana. Ibnu Qutaibah belajar hadis
pada Ishaq bin Rahawaih, Abu Ishaq Ibrahim bin Sulaiman al-Ziyadi, Muhammad bin Ziyad bin
‘Ubaidillah al-Ziyadi, Ziyad bin Yahya al-Hassani, Abu Hatim al-Sijistani dan para ulama yang
semasa dengan mereka.
Selain mempelajari ilmu-ilmu agama, Ibnu Qutaibah juga haus akan pengetahuan yang berkembang
pesat pada waktu itu. Semangatnya yang tinggi dalam mencari ilmu semakin membara ketika
menyaksikan berbagai macam pemikiran yang meracuni sebagian besar umat Islam, sehingga pada
akhirnya Ibnu Qutaibah tumbuh berkembang menjadi seorang ulama yang berwawasan luas, kritis
terhadap permasalahan-permasalahan sosial dan mampu mewarnai corak pemikiran keilmuan yang
berkembang pada saat itu. Ibnu Qutaibah juga mampu memberikan solusi terhadap problem
keagamaan khususnya permasalahan yang sedang diperdebatkan oleh ulama Kalam, dengan uraian
yang ilmiah dan bisa diterima oleh berbagai kalangan, yang sebelumnya memperbincang-kan sekitar
permasalahan tersebut masih dianggap tabu oleh sebagian ulama Salaf khususnya golongan Ahl al-
Sunnah.
Selain itu, Ibnu Qutaibah juga mampu menempatkan dirinya sejajar dengan tokoh-tokoh ensiklopedik
besar, sehingga tidak heran jika Ibnu Qutaibah menjadi rujukan bagi Ibnu Atsir dalam mengupas
lafazh-lafazh hadis yang janggal dan sulit dipahami dalam karyanya al-Nihayah fi Ghorib al-Hadits
dan ulama lain dalam permasalahan yang sama.

Dalam bidang fikih, Ibnu Qutaibah senantiasa berada di barisan madzhab-madzhab ulama yang teguh
memegang sunnah yang berkembang pada waktu itu, meskipun secara pribadi dia mengikuti madzhab
Imam Ahmad dan Imam Ishaq.

Ibnu Qutaibah adalah salah seorang ulama yang gemar menulis. Hasil karyanya tidak kurang dari 300
buah. Ibnu Qutaibah banyak menerima pujian dan pengakuan dari para ulama hadits maupun ulama
lainnya. Bahkan penduduk kota Maghrib memberikan penghargaan yang tinggi kepadanya seraya
mengatakan,

Beliau adalah Seorang Pakar Nahwu (Gramatikal Bahasa Arab) Sosok Imam Ibnu Qutaibah Seorang
Imam yang sangat alim, yang mulia Abu Muhammad bin Muslim bin Qutaibah al-Dainuri. Beliau
adalah seorang pakar nahwu (gramatikal bahasa Arab), pengarang dalam tafsir, Hadist dan lainnya.
Lahir pada tahun 213 H. beliau tinggal di Baghdad, mengambil riwayat dari Ibnu Rawaihi, dan beliau
juga belajar dari ulama-ulama yang terkenal seperti ayahnya yang bernama Ibnu Qutaibah, juga dari al-
Qadhi Yahya bin Aktsam, Abu Hatim al-Sajistani, Syababah bin Siwar dan al-Jahizh. Banyak ulama
yang mengambil riwayat dari beliau seperti anaknya yang bernama Ahmad, dan yang lain seperti Ibnu
Durustuwaihi, dan lain-lainnya. Yang belajar kepada beliau sangat banyak, di antaranya ulama-ulama
terkenal, seperti Ahmad bin Marwan al-Maliki, Qasim bin Ishba’ al-Andarsi, Abu Qasim Abdullah bin
Muhammad al-Azadi dan yang lainnya.

Karya-karya Imam Ibnu Qutaibah

Ibnu Qutaibah memegang kekuasaan Dainur. Hal ini menunjukkan keluasan ilmu dan kebesaran
kemuliaannya, beliau mencurahkan waktu demi menuntut ilmu, belajar dan mengumpulkan maklumat,
kemudian beliau melakukan praktik dalam mengarang buku hingga kedudukannya yang tinggi dan
tampak kemuliaannya. Beliau salah satu pembesar ulama, di antara karangan beliau yang terkenal
adalah: Adab al-Katib, ‘Uyun al-akhbar, Ta’wil al-Hadis, Ta’wil Musykilat Al-Qur’an, Gharib Al-
Qur’an, Al-Ma’arif, Al-Syi’ir wa al-Syu’ara, Al-Ikhtilaf fi al-Lafdz wa al-Rad ‘ala al-Jahamiyah. Yang
ingin kita bahas dikarangan beliau adalah yang berhubungan dengan tafsir dan ilmu-ilmu Al-Qur’an
yang menunjukkan usaha beliau terhadap Al-Qur’an. Metode beliau dalam membahas ilmu Al-Qur’an
sangat sesuai, tidak salah serta memberikan manfaat yang sangat banyak. Contoh berikut adalah
kutipan dari perkataan beliau dalam kitabnya Ta’wil Musykilat Al-Qur’an, yaitu sebagai berikut:
“Segala puji bagi Allah subhaanahu wa ta’ala yang menunjukkan kita kepada jalan yang benar, yang
memberi hidayah dengan cahaya Al-Qur’an, sebuah kitab yang tidak ada kebengkokan di dalamnya
bahkan membimbing ke jalan yang lurus, dan menjelaskan dengan sejelas-jelasnya. Yang tidak datang
kepadanya (Al-Qur’an) kebatilan baik dari depan maupun dari belakangnya, yang diturunkan dari
Yang Maha Bijaksanan lagi Maha Terpuji.” (QS.Fushshilat:42)
Kitab Al-Qur’an yang diagungkan oleh Allah subhaanahu wa ta’ala, juga dimuliakan dan ditinggikan,
sebuah kitab yang menjadi rahmat, penyembuh, pemberi hidayah dan pemberi cahaya terang.
Penegasan ayatnya melemahkan bagi mereka yang menentang. Kitab yang jelas dengan susunan ayat
dan mengagumkan bagi seluruh generasi.

Kitab yang selalu dibaca dan tidak membosankan, yang didengar dan tidak menggangu telinga, kitab
yang selalu menakjubkan dan memberikan faedah yang tiada hentinya. Kitab yang telah menasakh
kitab-kitab terdahulu, kitab yang berisikan makna luas dengan ungkapan yang singkat, seperti yang
dimaksud oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan jawami al-Kalim, beliau shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda: “Aku telah diberikan jawami’ al-kalim (kumpulan kata-kata) –atau Al-
Qur’an.” Apabila anda ingin melihat contohnya maka bacalah ayat 19 surah Al-A’raf ini, “Jadilah
engkau pemaaf dan suruhlah orang mengerjakan yang ma’ruf, serta berpaling daripada orang-orang
yang bodoh.” (QS.Al-A’raf:19) Perhatikan bagaimana kalimat ini dikumpulkan yang menunjukkan
kemulian akhlak, karena pemaaf adalah sifat penghubung silaturahmi kepada yang memutuskannya,
penyapa kepada mereka yang menzalimi dan memberikan sesuatu kepada mereka yang kikir. Maksud
dari yang ma’ruf adalah takwa, silaturahmi, menjaga lidah dari berdusta, menahan anggota dari
berbuat yang diharamkan.

Semua sifat baik seperti ini dikatakan ma’ruf, karena diri dan jiwa teah mengenalnya dan setiap hati
pasti tenteram dengankebaikan tersebut. berpaling dari orang-orang yang bodoh itu adalah sifat sabar,
pemurah, pembersih diri dari lorong kebodohan dan menghindarkan diri dari kekerasan. Contoh lain
yang membuktikan logisnya Al-Qur’an, dengan ungkapan yang ringkas dan makna yang padat seperti
pada ayat: “Dan diantara mereka ada orang yang mendengarkanmu. Apakah kamu dapat menjadikan
orang-orang tuli itu mendengar walaupun mereka tekda mengerti (tidak berakal) –dan diantara mereka
ada orang yang melihat kepadamu, apakah kamu dapat memberikan petunjuk kepada orang-orang yang
buta, walaupun mereka tidak dapat memperhatikan.” (QS.Yunus:42-43) Perhatikanlah bagaimana
jelasnya ungkapan diatas, yaitu melebihkan pendengaran dari pada penglihatan, karena
mengungkapkan tuli dengan dua kekurangan, yaitu tuli tidak dapat mendengar dan tidak berakal, dan
mengungkapkan buta dengan hanya satu kekurangan saja, yaitu kekurangan penglihatan.

Model Penafsiran Al-Qur’an Imam Ibnu Qutaibah adalah salah seorang peneliti bahasa Arab, yang
menyikap rahasia-rahasianya dan yang menjelaskan keistimewaannya. Beliau juga berbicara tentang
kaum Arab yang diberikan Allah subhaanahu wa ta’ala keistimewaan bahasa, seperti ‘Arudh (ilmu
tentang timbangan nada dan irama syair) dan bayan. Beliau mengetahui keutamaan Al-Qur’an
disebabkan karena sering meneliti dan memahami bahasa Arab menurut mazhab yang bermacam-
macam, juga sering meneliti keistimewaan-keistimewaan bahasa Arab yang tidak dimiliki oleh bahasa
lain. Tidak ada bahasa lain yang mempunyai ilmu ‘arudh dan bayan.

Ini merupakan kelebihan yang diberkan oleh Allah subhaanahu wa ta’ala karena ingin memberikan
kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sebuah mu’jizat sebagai dalil kebenaran risalah yang
dibawanya. Maka Allah subhaanahu wa ta’ala memberikan kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam sebuah kitab dan menjadikannya ilmu pengetahuan, sebagaimana firman Allah subhaanahu wa
ta’ala menurunkan kitab kepada Rasul-Rasul yang lain, tetapi hanya sekadar masa di mana Rasul
tersebut diutus. Seandainya kita diberi contoh yang dibuat beliau maka pembicaraan kita akan makin
panjang, dan sekiranya kita cukupkan sampai disini dengan perkataan beliau: “Seandainya ada yang
berkata hadza qatilu akhi dengan beridhafah, maka kata dengan tanwin maksudnya adalah ‘pembunuh
itu saudaraku’. Dan kata dengan idhafah berarti ‘itu adalah pembunuh saudaraku.” Ibnu Qutaibah juga
membantah beberapa ayat yang susah dipahami oleh orang banyak dan mereka mengira bahwa ayat-
ayat tersebut tidak rasional atau tidak masuk akal.

Di antara contoh terbaik yang diungkapkan Ibnu Qutaibah, yaitu tentang ayat-ayat yang terulang-ulang
dan ayat-ayat tambahan, seperti perkataan beliau: “Adapun pengulangan ayat tentang kisah para Nabi
dan yang lainnya, maka sesungguhnya Allah subhaanahu wa ta’ala menurunkan ayat secara berangsur-
angsur: potongan-potongan yang terpisah dalam waktu dua puluh tiga tahun. Berangsur-angsur
menurunkan satu kewajiban setelah kewajiban yang lain agar memudahkan umat untuk menerimanya,
bertahap dalam menyempurnakan agama, nasihat setelah nasihat yang lain agar menjdai peringatan
bagi mereka dan mengasah setiap nasihat yang baru datang, dan sebagian menjadi ayat nasakh
terhadap hukum yang di mansukh, agar umat selalu taat beribadah dengan cobaan yang Allah
subhaanahu wa ta’ala berikan kepada mereka. Allah subhaanahu wa ta’ala berfirman: berkatalah
orang-orang kafir: “Mengapa Al-Qur’an itu tidak diturunkan kepadanya sekali turun saja?”
:demikianlah supaya Kami perkuat hatimu dengannya dan Kami membacakannya secara tartil (teratur
dan benar)” (QS.Al-Furqan:3) Ayat tersebut diturunkan denganmengkhitab Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam dan yang dimaksud dengan tatsbit adalah untuk memperkuat hati Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam dan orang-orang yang beriman.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memberikan para sahahabatnya waktu kosong, tidak selalu
diisi dengan nasihat terus-menerus yang bisa menyebabkan kebosanan, dan beliau hanya
mengingatkan mereka ketika terlupa atsu terhapus dalam hati. Sekiranya Nabi mendatangkan Al-
Qur’an sekaligus kepada mereka niscaya sebab-sebab turun ayat telah terjadi sebelumnya, dan umat
islam saat itu mendapat kesusahan dengan kewajiban-kewajiban yang diturunkan sekaligus. Kesusahan
juga dirasakan bagi mereka yang ingin masuk Islam.

Seandainya demikian maka tidak ada kata peringatan dan nasakh. Karena mansukh adalah hukum yang
sudah dipakai kemudian dihapus dengan adanya ayat nasakh yang datang berikutnya. Bagaimana
mungkin Al-Qur’an turun sekaligus, dengan menyuruh untuk meninggalkan dan mengerjakan hal yang
sama. Allah subhaanahu wa ta’ala tidak mewajibkan hamba-Nya untuk menghafal keseluruhan Al-
Qur’an, juga tidak mewajibkan untuk mempelajari seluru isi kandungan Al-Qur’an. Sesungguhnya
Allah subhaanahu wa ta’ala menurunkan Al-Qur’an dengan penuh hikmah yang harus dipelajari,
diimani, harus dilaksanakan perintah-Nya, dan yang harus meninggalkan semua larangan-Nya. Juga
Allah subhaanahu wa ta’ala menurunkan Al-Qur’an untuk memudahkan hamba-Nya dalam menghafal,
yaitu kemampuan membacanya di dalam sembahyang dengan ayat-ayat yang mudah saja.

Para sahahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah lentera penerang bumi, pemimpin umat
manusia dalam ilmu pengetahuan. Diantara mereka ada yang hanya membaca tiga atau empat surah,
sebagian yang lain hanya beberapa baris saja, hanya sebagian mereka saja yang diberikan Allah
subhaanahu wa ta’ala kemampuan dalam membaca dan menghafal keseluruhan Al-Qur’an. Terkadang
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menerima tamu dari luar arab, dan beliau membacakan kepada
mereka beberapa kutipan ayat saja yang dianggap cukup bagi mereka. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam juga mengutus para shahabatnya ke negeri-negeri lain, dengan membekali kepada mereka
bagian-bagian Al-Qur’an yang berbeda, atau surah-surah yang berbeda antara satu dengan yang
lainnya.

Sekiranya ayat yang membicarakan tentang Nabi-Nabi lain hanya satu bagian saja. niscaya satu kaum
hanya mendapatkan satu kisah saja, seperti satu kaum hanya menerima kisah Nabi Musa a.s saja, kaum
yang lain menerima kisah Nabi Isa a.s kaum yang lain menerima kisah Nabi Nuh a.s dan seterusnya.
Dengan rahmat dan kasih sayang-Nya, Allah subhaanahu wa ta’ala menghendaki kemasyuran kisah
Nabi-Nabi terdahulu kepada seluruh umat di muka bumi ini, dan mereka menerimanya dengan
menganggap sebuah kisah yang terkenal atau masyhur, setiap orang mendengar dan menerima ke
dalam hatinya, serta dapat lebih memahaminya. Kisah-kisah Nabi terdahulu bukanlah merupakan
sebuah kewajiban yang dituntut oleh Allah subhaanahu wa ta’ala seperti sembahyang yang sempurna
dengan rukun dan jumlah rakaatnya, zakat dan sunnah-sunnahnya, puasa dan haji.

Akan tetapi, ini hanyalah sebuah kisah yang tidak dituntut untuk diperlakukan seperti itu dan caranya
pun tidak disebutkan dalam Al-Qur’an tersebut. kita tidak dituntut untuk melakukan seperti apa yang
dilakukan oleh Musa a.s, Isa a.s, Nuh a.s dan semua para Nabi yang disebutkan kisahnya di dalam Al-
Qur’an. Ayat tentang kisah ini pun dirurunkan pada awal islam sebelum agama ini sempurna. Ketika
agama islam sudah tersebar di segala penjuru di muka bumi, dan mereka yang lebih tahu telah
mengajrkan kepada yang lain, dan Al-Qur’an telah terkodifikasi, maka terhapuslah makna seperti ini.
Seluruh kisah tersebut dikumpulkan dan disatukan untuk setiap umat. Inilah sekilas tentang pemikiran
Ibnu Qutaibah yang berhubungan dengan Al-Qur’an.

Setiap ungkapan yang datang dari beliau merupakan ide yang cemerlang dan permikiran yang sangat
luas, sesuai denga juwa ilmiah yang menghilangkan keraguan dan kebatilan, dan juga menjelaskan sisi
yang benar terhadap lontaran yang beredar. Ibnu Qutaibah sangat berjasa dalam usahanya untuk
membanta mereka yang melontarkan keraguan terhadap nash-nash agama, terutama dari golongan
Mu’tazilah.

Beliau mengungkapkan itu semua dengan metode ilmiah. Dengan usahanya itu pantaslah beliau untuk
mendapatkan pujian dari para ulama. Ibnu Khalkan berkata: “Ibnu Qutaibah adalah seorang yang
mulia dan tsiqah (terpercaya). Beliau tinggal di Bagdad. Beliau mengambil riwayat dari Ishak bin
Rawaihi, Abu Ibrahim bin Sufyan bin Sulaiman dan Abu Hatim al-Sajistani. Semua kedudukan dan
semua karangan beliau sangat bermanfaat.” Al-Dzahabi berkata dalam al-Mughni tentang Ibnu
Qutaibah: “Beliau adalah ulama yang sangat jujur dan benar.” Al-Khatib berkata: “Ibnu Qutaibah
adalah ulama yang terpercaya (tsiqah).” Beliau meninggal dalam keadaan mendadak, yaitu ketika
memakan grees (makanan yang terbuat dari adonan tepung campur bubur daging) lalu beliau tiba-tiba
diserang demam panas kemudian beliau berteriak dengan sangat nyaring. Setelah itu diserang sejenis
penyakit hilang ingatan lalu meninggal dunia dalam keadaan mengucap dua khalimat syahadat, yaitu
tahun 276 H. semoga Allah subhaanahu wa ta’ala memberikan rahmat-Nya kepada beliau dan
menjadikan ilmu beliau bermanfaat.

Konsep Pemikiran Ibnu Qutaibah

Ibnu Qutaibah hidup semasa dengan Al-Jahith, seorang teolog terkemuka dari kalangan
Muktazilah.Kendatipun demikian, dia berseberangan dengan al-Jahith, sebab dia bukanlah seseorang
yang berpaham Muktazilah melainkan pengikut paham Ahli Sunnah sebagaimana yang dikatakan oleh
Ibnu Taimiyah.

1.Konsep tentang Qadha


Menurut Ibnu Qutaibah, qadha ialah hukum, ciptaan, kepastian, dan penjelasan. Asal maknanya adalah
memutuskan, memisahkan, menentukan sesuatu, mengukuhkannya, menjalankaannya, dan
menyelesaikannya.Qadha terbagi menjadi dua, yakni qadha mahtum (definitif)dan qadha ghairu
mahtum (tidak definitif). Qadha mahtum adalah sebuah takdir pasti yang tidak bisa dirubah, Allah
bukan tidak bisa merubahnya melainkan itu memang suatu kebijakan yang telah ditentukan-Nya.Hal
ini misalnya disebutkan dalam Surat Al Kahfi ayat 29: Allah menciptakan manusia sebagaimakhluk
yang bebas dalam bertindak dan menetukan nasibnya sendiri. Kemudian qadha ghairu mahtum adalah
sebuah ketentuan yang masih bisa berubah karena bersifat tidak pasti, tetapi hal ini tidak bisa
dilakukan secara instan karena Allah akan merubah takdir seseorang jika terpenuhinya syarat-syarat
tertentu.

2.Konsep Ibadah
Ibnu Qutaibah tidak hanya berhenti sampai di situ saja, tetapi pembahasannya juga sampai kepada
pluralitas jalan menuju Allah. Baginya, jalan menuju Allah tidak tunggal dan kebaikan bukan hanya
sebatas shalat malam, puasa terus menerus, mengetahui mana yang halal dan mana yang haram, tetapi
jalan menuju Allah adalah sangat banyak dan pintu kebaikan terbuka lebar-lebar. Kemaslahatan agama
terkait dengan kemaslahatan zaman, kemaslahatan zaman terkait dengan kemasalahatan yang disertai
bimbingan dan pengajaran yang baik.

Sehingga menurut Ibnu Qutaibah, ibadah kepada Allah bukan hanya sebatas shalat, puasa, dan zakat,
tetapi berperilaku yang baik kepada sesama juga termasuk jalan menuju Allah. Dengan kata lain, etika
yang baik adalah sesuatu yang sangat penting dalam kehidupan ini dan merupakan kebaikan yang bisa
menghantarkan kita wushul ilallah (sampai kepada Allah).

3.Konsep Al-Iktiwa
Al Iktiwa adalah memanaskan besi dengan menggunakan api dengan tujuan pengobatan. Menurutnya
iktiwa itu terbagi dalam dua macam. Pertama, iktiwa pada anggota tubuh yang sehat di mana
seseorang berharap bagian tersebut tidak mengalami sakit. Dia mengungkapkan bahwa hal semacam
ini tidak diperbolehkan karena keadaannya tidak sakit melainkan sehat. Kedua, iktiwa yang dilakukan
pada anggota tubuh yang mengalami pembusukan atau kerusakan, maupun anggota tubuh yang
terpotong.
Hal inilah yang memperbolehkan dilakukannya iktiwa.Apabila iktiwa dilaksanakan hanya sebagai
rekaan belaka, maka itu bertolak belakang terhadap hal yang utama, di mana menggunakan api untuk
pengobatan pada anggota tubuh yang belum jelas sakitnya.

4.Konsep Penafsiran AlQuran


Ibnu Qutaibah telah menjelaskan dalam kitabnya Takwil Musykilu AlQur’an tentang penafsiran
AlQuran menggunakan rasio. Ada hadits Nabi yang menerangkan bahwa penafsiran dengan
menggunakan rasio adalah perbuatan yang dilarang.Dalam sebuah riwayat juga disebutkan bahwa
sahabat dan para pembesar ulama’ tabiin sangat takut untuk menafsirkan Al-Qur’an sembarangan,
padahal mereka adalah orang-orang yang kadar keilmuwan dan ketaqwaannya sudah tinggi. Lantas
kenapa kita harus masuk kubangan masalah tersebut jika orang-orang dahulu telah meninggalkannya
dan justru takut untuk memasukinya.
IBNU ABD RABBIHI

Lintasan masa menarik seseorang untuk mengabdikannya. Lalu, lahirlah sebuah risalah atau
uku. SAlah satu sosok yang memiliki kemampuan untuk mengisahkan kembali lintasan masa itu adalah
Ahmad Ibnu Muhammad Abd Rabbihi.
Ia lebih dikenal dengan nama pendeknya, Ibnu Abd Rabbihi atau Ibnu Abd Rabbih. Ia lahir di
Kordoba, Spanyol pada 860 Masehi. Di sisi lain, ia memiliki kehalusan rasa karena akrab bergelut
dengan kata. Ia mengungkapkan segala rasa dalam bentuk puisi.
Ibnu Abd Rabbihi tidak hanya menguasai kajian sejarah, tetapi juga akrab dengan sastra dan
kajian adab. Dalam bidang sejarah, pernah menuliskan sejumalah karya yang member kontribusi bagi
perkembangan penulisan sejarah pada masa berikutnya.
Salah satu karya sejarah Ibnu Abd Rabbihi berjudul Urjuza yang memang bukan sepenuhnya
karya sejarah. Sebab, ia menuangkan pula puisi dalam karya ini. Ia menggambarkan peperangan yang
dialami pasukan Dinasti Umayyah saat di bawah kekuasaan Abd Al Rahman Al Nashir.
Ibnu Abd Rabbihi mampu dengan perinci mengisahkan sejumlah peperangan pasukan Al Nashir.
Sebab, beberapa kali ia mengikuti ekspedisi yang dilakukan oleh pasukan Al Nashir. Dengan demikian,
ia melihat secara langsung pertempuran yang terjadi.
Ada dua karya lain yang sejenis dengan apa yang ditulis oleh Ibnu Abd Rabbihi, mengenai
pperangan pasukan Al Nashir. Yaitu, Akhbar Majmua fi Fath Al Andakus atau Catatan tentang
Panuklukan Andalusia, tak diketahui siapa penulis karya ini.
Sedangkan tulisan lainnya, berjudul Tarikh Ifititah Al Andalus, karya seorang sejarawan bernama
Ibnu Al Qutiya. Laman Muslimheritage mengungkapkan, Ibnu Abd Rabbihi memang tak dikenal
sebagai sejarawan sekaliber Ibnu Khaldun misalnya.
Namun, karya sejarahnya yang dibalut dengan muatan sastra menjadi daya tarik tersendiri. Tak
heran jika namanya lebih berkilau dalam bidang sastra dan kajian adab. Melalui kemampuannya dalam
bidang sastra, ia menjalin hubungan dekat dengan kalangan istana.
Ibnu Abd Rabbihi memiliki hubungan baik dengan khalifah dan para pangeran. Mereka tertarik
dengan kemampuan Ibnu Abd Rabbihi dalam membuat puisi dan syair. Keindahan bahasa yang
digunakannya telah memikat banyak orang di istana.
Satu dari sejumlah karya yang melambungkan namanya adalah antologi puisi berjudul Al Iqd Al
Farid atau The Unique Necklace. Antologi ini terdiri atas 25 bagian. Pada bagian ke-13, ia member judul
Kalung Permat.
Beberapa bab lainnya juga diberi judul dari nama-nama perhiasan indah lainnya. Karya ini
menyerupai buku adab karangan Ibnu Qutaybah yang berjudul Uyun al Akhbar dan sebagian tulisan-
tulisan yang dibuat oleh seorang ilmuwan bernama Al Jahiz.
Meskipun Ibnu Abd Rabbihi banyak menulis karya sastra dan puisi, hingga saat ini tak banyak
kumpulan puisinya dengan bahasa indah yang masih tersisa. Paling tidak, ada dua karya puisinya yang
masih tersisa, yaitu Yatima al-Dahr dan Nafh al-Tip.
Ibnu Abd Rabbihi, yang dikenal dekat dengan kehidupan istana, pernah menulis tentang jabatan-
jabatan yang ada di istana, terutama jabatan sekretaris negara. Pada masanya, hal tentang sekretaris dan
kesekretariatan lebih banyak dikenal oleh para sastrawan.
Sebab, profesi tersebut membutuhkan kepiawaian dalam menyusun kata-kata yang indah dan
keterampilan tersendiri dalam bidang sastra. Ibnu Abd Rabbihi menuliskan daftar jenis sekretaris apa
saja yang bekerja di kantor-kantor administrasi negara.
George A Makdisi dalam Cita Humanisme Islam mengungkapkan, daftar jenis sekretaris yang
dibuat oleh Ibnu Abd Rabbihi ini ditemukan dalam sebuah tulisan anekdot yang berhubungan dengan
Amr Ibnu Mas'adah, yang meninggal dunia pada 832 Masehi.
Ibnu Abd Rabbihi menuliskan lima jenis sekretaris, yaitu, Katib Kharaj, yang merupakan sebutan
untuk sekretaris yang berhubungan dengan urusan pajak tanah. Jenis kedua adalah katib rasa'il yang
merupakan sebutan untuk sekretaris kantor administrasi dan kearsipan.
Sedangkan jenis ketiga adalah katib hakim atau sering pula disebut katib qadhi. Menurut Ibnu
Abd Rabbihi, jenis ini merupakan sekretaris kehakiman. Sekretaris tersebut membantu dalam
mempermudah pekerjaan para hakim dalam kearsipan.
Selanjutnya adalah katib jund. Menurut Ibnu Abd Rabbihi, nama jabatan ini disematkan pada
sekretaris militer. Sedangkan jenis sekretaris yang kelima adalah katib ma'unah atau katib syurthah,
yaitu sekretaris kepolisian.
Jenis sekretaris yang dikelompokkan oleh Ibnu Abd Rabbihi ini disesuaikan dengan kantor atau
departemen yang membawahi mereka, seperti departemen kehakiman dan kepolisian yang memiliki
sekretaris sendiri.
Makdisi mengungkapkan, profesi penting sekretaris ini banyak diisi oleh para pakar humaniora.
Bahkan, ia menyebutkan bahwa Ibnu Abd Rabbihi tak hanya menjelaskan tentang jenis-jenis sekretaris
yang ada di dalam kantor pemerintahan.
Menurut Makdisi, karya Ibnu Abd Rabbihi, berjudul Al Iqd Al Farid, memberikan penjelasan
yang sangat luas mengenai para sekretaris, yang sekaligus sering menjadi objek dalam penulisan
biografi.

Mereka yang Sezaman

Spanyol tak hanya memilki Ibnu Abd Rabbihi. Tidak sedikit ilmuwan yang memiliki kaitan
dengan wilayah itu. Jadi, Ibnu Abd Rabbihi, yang lahir pada 860 Masehi dan meninggal dunia pada 940
Masehi, memiliki rekan sezaman.
Ada Al Humaydi. Sejarawan yang berasal dari Majorqa (Mallorca). Ia merupakan murid Ibnu
Haitham, yang menguasai fisika, matematika, dan kimia. Ia menulis buku berjudul Jadhwatu-i-
Muktabis, yang mengisahkan tokoh-tokoh Muslim terkemuka di Spanyol.
Buku ini terbagi menjadi 10 bagian. Bagian pendahuluan digunakan untuk mengenalkan sejarah
Spanyol. Lalu, ia menuliskan serangkaian tokoh Muslim di sana yang didasarkan pada urutan abjad dan
jumlahnya mencapai seribu orang.
Ada sejarawan yang berasal dari satu kota dengan Ibnu Abd Rabbihi, yaitu Ibnu Hayyan.
Ayahnya merupakan sekretaris di kantor pemerintah. Tak mengherankan jika kemudian ia memiliki
banyak guru ternama. Para guru itu ikut membentuk fondasi keilmuan yang dimiliki Hayyan.
Karya Ibnu Hayyan banyak menjadi rujukan, terutama bagi para pemikir, di antaranya Al Dabbi,
Ibnu Bashkuwal, Ibnu al-Abbar, Ibnu Bassam, Abd al-Wahid al-Marrakushi, Ibnu Said, Ibnu Idhari,
Ibnu al-Khatib, dan al-Maqqari.
ABU TAMMAM

Nama lengkapnya adalah Abu Tammam Babib ibn Aws al-Ta'i. Dia adalah seorang penyair dan
antologis, yang hidup pada tahun 805-845 M. Abu Tammam adalah tokoh penting dari aliran badi, yakni
aliran sajak arab yang muncul selama kekuasaan Dinasti Abbasiyyah. Abu Tammam juga merupakan
salah satu tokoh pertama yang menyusun antologi sajak arab pra-Islam.

Abu Tammam lahir di Syria, dari keluarga Kristen, namun sejak masih remaja ia sudah pindah
memeluk agama Islam dan mengganti namanya untuk menunjukkan bahwa dirinya termasuk dari
keturunan salah satu garis bangsawan Arab. Dia pergi ke Kairo untuk mendalami pelajaran sastra dan
puisi Arab. Dia mengkhususkan diri mendalami panegyrics, yakni sajak-sajak yang memuji-muji tokoh
pada era itu, mulai dari khalifah al-Ma'mun dan al-Mu'tasim sampai ke para gubernur. Salah satu sajak
panegyrics Abu Tammam yang paling terkenal adalah ode "Amorium," yang memuji-muji kemenangan
al-Mu'tasim dalam Perang Ammuriya melawan Byzantium pada 838

dari medan Amuriya, kau kembalikan madu harapan kami


engkau wariskan kejayaan Islam
engkau padamkan kekuasaan kafir
juga pemuja berhala

Gaya inovatif Abu Tammam menimbulkan banyak kritik dan ulasan. Dia sering menggunakan
kosa kata Arab kuno, alegori, dan homonim dengan cara yang rapi, abstrak dan canggih. Sajak-sajaknya
dibandingkan dengan sajak-sajak penyair sebelumnya, yang berkecenderungan naturalis. Hal ini
menimbulkan perdebatan; dan perdebatan itu menjadi stimulus penting bagi bangkitnya tradisi kritik
sastra Arab dan kajian bahasa Arab.
Sebagai seorang antologis, Abu Tammam mengumpulkan beberapa diwan (koleksi sajak), dan
yang paling terkenal adalah al-Hamasa (Sajak Kepahlawanan), yang terdiri ratusan sajak Arab dari sejak
masa pra-Islam hingga ke masa hidup Abu Tammam. Kebanyakan sajak itu berasal dari penyair yang
kurang terkenal. Berbeda dengan karya puisinya, kumpulan puisi ini banyak dipuji sebagai salah satu
model bentuk sastra Arab klasik murni.
Maulana Jalaluddin Rumi

Maulana Jalaluddin Rumi (Google)


Bagi anda yang suka dengan puisi ataupun syair islami tentu sudah tidak asing lagi
dengan tokoh yang satu ini. Dialah Maulana Jalaluddin Rumi yang terkenal sebagai seorang
tokoh sufi yang terkenal di zamannya. Pada kesempatan ini Kaji Kisah akan memberikan
biografi singkat tentang Maulana Jalaluddin Rumi.

Silsilah Keluarga
Maulana Jalaluddin Rumi memiliki nama lengkap Maulana Jalaluddin Rumi
Muhammad bin Hasin al Khattabi al-Bakri (Jalaluddin Rumi) atau sering pula disebut dengan
nama Rumi adalah seorang penyair sufi yang lahir di Balkh (sekarang Afganistan) pada tanggal
6 Rabiul Awwal tahun 604 Hijriah, atau tanggal 30 September 1207 Masehi. Ayahnya masih
keturunan Abu Bakar, bernama Bahauddin Walad. Sedang ibunya berasal dari keluarga
kerajaan Khwarazm. Ayah Rumi seorang cendekia yang saleh, ia mampu berpandangan ke
depan, seorang guru yang terkenal di Balkh. Saat Rumi berusia 3 tahun karena
adanyaterancam oleh serbuan Mogol, keluarganya meninggalkan Balkh melalui Khurasan dan
Suriah, sampai ke Propinsi Rum di Anatolia tengah, yang merupakan bagian Turki sekarang.
Mereka menetap di Qonya, ibu kota propinsi Rum. Dalam pengembaraan dan pengungsiannya
tersbut, keluarganya sempat singgah di kota Nishapur yang merupakan tempat kelahiran
penyair dan ahli matematika Omar Khayyam. Di kota ini Rumi bertemu dengan Attar yang
meramalkan si bocah pengungsi ini kelak akan masyhur yang akan menyalakan api gairah
Ketuhanan. [1]
Tahun 1244 M, Rumi bertemu dengan syekh spiritual lain, Syamsuddin dari Tabriz,
yang mengubahnya menjadi sempurna dalam ilmu tasawuf. Setelah Syamsuddi wafat, Rumi
kemudian bertemu dengan pada Husamuddin Ghalabi, dan mengilhaminya untuk
menulisakan pengalaman spiritualnya dalam karyanya monumentalnya Matsnawi-ye
Ma’nawi. Ia mendiktekan karyanya tersebut kepada Husamuddin sampai ahir hanyatnya pada
tahun 1273 M. [1]

Pengaruh Tabriz
Fariduddin Attar, yang juga seorang tokoh sufi, ketika berjumpa dengan Jalaluddin
Rumi yang baru berusia 5 tahun pernah meramalkan bahwa si kecil itu kelak bakal menjadi
tokoh spiritual besar. Sejarah kemudian mencatat, ramalan Fariduddin itu tidak meleset. Lahir
di Balkh, Afghanistan pada 604 H atau 30 September 1207 Jalaluddin Rumi menyandang
nama lengkap Jalaluddin Muhammad bin Muhammad al-Balkhi al-Qunuwi. Adapun
panggilan Jalaluddin Rumi karena sebagian besar hidupnya dihabiskan di Konya (kini Turki),
yang dahulu dikenal sebagai daerah Rum (Roma).
Ayahnya, Bahauddin Walad Muhammad bin Husein, adalah seorang ulama besar
bermadzhab Hanafi. Dan karena kharisma dan tingginya penguasaan ilmu agamanya, ia
digelari Sulthanul Ulama (raja ulama). Namun rupanya gelar itu menimbulkan rasa iri pada
sebagian ulama lain. Dan merekapun melancarkan fitnah dan mengadukan Bahauddin ke
penguasa. Celakanya sang penguasa terpengaruh hingga Bahauddin harus meninggalkan
Balkh, termasuk keluarganya. Ketika itu Jalaluddin Rumi baru beruisa lima tahun. [2]
Sejak itu Bahauddin bersama keluarganya hidup berpindah- pindah dari suatu negara
ke negara lain. Mereka pernah tinggal di Sinabur (Iran timur laut). Dari Sinabur pindah ke
Baghdad, Makkah, Malattya (Turki), Laranda (Iran tenggara) dan terakhir menetap di Konya,
Turki. Raja Konya Alauddin Kaiqubad, mengangkat ayah Jalaluddin Rumi sebagai
penasihatnya, dan juga mengangkatnya sebagai pimpinan sebuah perguruan agama yang
didirikan di ibukota tersebut. Di kota ini pula ayah Jalaluddin Rumi wafat ketika Jalaluddin
Rumi berusia 24 tahun.
Di samping kepada ayahnya, Jalaluddin Rumi juga berguru kepada Burhanuddin
Muhaqqiq at-Turmudzi, sahabat dan pengganti ayahnya memimpin perguruan. Jalaluddin
Rumi juga menimba ilmu di Syam (Suriah) atas saran gurunya itu. Ia baru kembali ke Konya
pada 634 H, dan ikut mengajar pada perguruan tersebut.
Setelah Burhanuddin wafat, Jalaluddin Rumi menggantikannya sebagai guru di
Konya. Dengan pengetahuan agamanya yang luas, di samping sebagai guru, ia juga menjadi
da’i dan ahli hukum Islam. Ketika itu di Konya banyak tokoh ulama berkumpul. Tak heran jika
Konya kemudian menjadi pusat ilmu dan tempat berkumpul para ulama dari berbagai penjuru
dunia.
Kesufian dan kepenyairan Jalaluddin Rumi dimulai ketika ia sudah berumur cukup
tua, 48 tahun. Sebelumnya, Jalaluddin Rumi adalah seorang ulama yang memimpin sebuah
madrasah yang punya murid banyak, 4.000 orang. Sebagaimana seorang ulama, ia juga
memberi fatwa dan tumpuan ummatnya untuk bertanya dan mengadu. Kehidupannya itu
berubah seratus delapan puluh derajat ketika ia berjumpa dengan seorang sufi pengelana,
Syamsuddin alias Syamsi Tabriz.
Suatu saat, seperti biasanya Jalaluddin Rumi mengajar di hadapan khalayak dan
banyak yang menanyakan sesuatu kepadanya. Tiba- tiba seorang lelaki asing –yakni Syamsi
Tabriz– ikut bertanya, “Apa yang dimaksud dengan riyadhah dan ilmu?” Mendengar
pertanyaan seperti itu Jalaluddin Rumi terkesima. Kiranya pertanyaan itu jitu dan tepat pada
sasarannya. Ia tidak mampu menjawab. Berikutnya, Jalaluddin Rumi berkenalan dengan
Tabriz. Setelah bergaul beberapa saat, ia mulai kagum kepada Tabriz yang ternyata seorang
sufi. Ia berbincang-bincang dan berdebat tentang berbagai hal dengan Tabriz. Mereka betah
tinggal di dalam kamar hingga berhari-hari.
Sultan Salad, putera Jalaluddin Rumi, mengomentari perilaku ayahnya itu,
“Sesungguhnya, seorang guru besar tiba-tiba menjadi seorang murid kecil. Setiap hari sang
guru besar harus menimba ilmu darinya, meski sebenarnya beliau cukup alim dan zuhud.
Tetapi itulah kenyataannya. Dalam diri Tabriz, guru besar itu melihat kandungan ilmu yang
tiada taranya.”
Jalaluddin Rumi benar-benar tunduk kepada guru barunya itu. Di matanya, Tabriz
benar-benar sempurna. Cuma celakanya, Jalaluddin Rumi kemudian lalai dengan tugas
mengajarnya. Akibatnya banyak muridnya yang protes. Mereka menuduh orang asing itulah
biang keladinya. Karena takut terjadi fitnah dan takut atas keselamatan dirinya, Tabriz lantas
secara diam-diam meninggalkan Konya. [2]
Ibarat seorang remaja ditinggalkan kekasihnya, saking cintanya kepada gurunya itu,
kepergian Tabriz itu menjadikan Jalaluddin Rumi dirundung duka. Jalaluddin Rumi benar-
benar berduka. Ia hanya mengurung diri di dalam rumah dan juga tidak bersedia mengajar.
Tabriz yang mendengar kabar ini, lantas berkirim surat dan menegur Jalaluddin Rumi. Karena
merasakan menemukan gurunya kembali, gairah Jalaluddin Rumi bangkit kembali. Dan ia
mulai mengajar lagi.
Beberapa saat kemudian ia mengutus putranya, Sultan Salad, untuk mencari Tabriz di
Damaskus. Lewat putranya tadi, Jalaluddin Rumi ingin menyampaikan penyesalan dan
permintaan maaf atas tindakan murid-muridnya itu dan menjamin keselamatan gurunya bila
berkenan kembali ke Konya.
Demi mengabulkan permintaan Jalaluddin Rumi itu, Tabriz kembali ke Konya. Dan
mulailah Jalaluddin Rumi berasyik-asyik kembali dengan Tabriz. Lambat-laun rupanya para
muridnya merasakan diabaikan kembali, dan mereka mulai menampakkan perasaan tidak
senang kepada Tabriz. Lagi-lagi sufi pengelana itu, secara diam-diam meninggalkan Jalaluddin
Rumi, lantaran takut terjadi fitnah. Kendati Jalaluddin Rumi ikut mencari hingga ke
Damaskus, Tabriz tidak kembali lagi.
Jalaluddin Rumi telah menjadi sufi, berkat pergaulannya dengan Tabriz.
Kesedihannya berpisah dan kerinduannya untuk berjumpa lagi dengan gurunya itu telah ikut
berperan mengembangkan emosinya, sehingga ia menjadi penyair yang sulit ditandingi. Guna
mengenang dan menyanjung gurunya itu, ia tulis syair- syair, yang himpunannya kemudian
dikenal dengan nama Divan-i Syams-i Tabriz. Ia bukukan pula wejangan-wejangan gurunya,
dan buku itu dikenal dengan nama Maqalat-i Syams Tabriz.
Jalaluddin Rumi kemudian mendapat sahabat dan sumber inspirasi baru, Syekh
Hisamuddin Hasan bin Muhammad. Atas dorongan sahabatnya itu, ia berhasil selama 15
tahun terakhir masa hidupnya menghasilkan himpunan syair yang besar dan mengagumkan
yang diberi nama Masnavi-i. Buku ini terdiri dari enam jilid dan berisi 20.700 bait syair. Dalam
karyanya ini, terlihat ajaran-ajaran tasawuf yang mendalam, yang disampaikan dalam bentuk
apologi, fabel, legenda, anekdot, dan lain-lain. Karya tulisnya yang lain adalah Ruba’iyyat
(sajak empat baris dalam jumlah 1600 bait), Fiihi Maa fiihi (dalam bentuk prosa; merupakan
himpunan ceramahnya tentang tasawuf), dan Maktubat (himpunan surat-suratnya kepada
sahabat atau pengikutnya).
Bersama Syekh Hisamuddin pula, Jalaluddin Rumi mengembangkan tarekat
Maulawiyah atau Jalaliyah. Tarekat ini di Barat dikenal dengan nama The Whirling Dervishes
(Para Darwisy yang Berputar-putar). Nama itu muncul karena para penganut tarekat ini
melakukan tarian berputar-putar, yang diiringi oleh gendang dan suling, dalam dzikir mereka
untuk mencapai ekstase. [2]

WAFAT
Semua manusia tentu akan kembali kepada-Nya. Demikianlah yang terjadi pada
Jalaluddin Rumi. Penduduk Konya tiba-tiba dilanda kecemasan, gara-gara mendengar kabar
bahwa tokoh panutan mereka, Jalaluddin Rumi, sakit keras. Meski menderita sakit keras,
pikiran Jalaluddin Rumi masih menampakkan kejernihannya.
Seorang sahabatnya datang menjenguk dan mendo’akan, “Semoga Allah berkenan
memberi ketenangan kepadamu dengan kesembuhan.” Jalaluddin Rumi sempat menyahut,
“Jika engkau beriman dan bersikap manis, kematian itu akan bermakna baik. Tapi kematian
ada juga kafir dan pahit.”
Pada 5 Jumadil Akhir 672 H dalam usia 68 tahun Jalaluddin Rumi dipanggil ke
rahmatullah. Tatkala jenazahnya hendak diberangkatkan, penduduk setempat berdesak-desak
ingin menyaksikan. Begitulah kepergian seseorang yang dihormati ummatnya. [2]

Karya
Kumpulan puisi Rumi yang terkenal bernama al-Matsnawi al-Maknawi konon adalah
sebuah revolusi terhadap Ilmu Kalam yang kehilangan semangat dan kekuatannya. Isinya juga
mengeritik langkah dan arahan filsafat yang cenderung melampaui batas, mengebiri perasaan
dan mengkultuskan rasio.
Diakui, bahwa puisi Rumi memiliki ciri khas tersendiri dibandingkan para sufi penyair
lainnya. Melalui puisi-puisinya Rumi menyampaikan bahwa pemahaman atas dunia hanya
mungkin didapat lewat cinta, bukan semata-mata lewat kerja fisik. Dalam puisinya Rumi juga
menyampaikan bahwa Tuhan, sebagai satu-satunya tujuan, tidak ada yang menyamai.
Ciri khas lain yang membedakan puisi Rumi dengan karya sufi penyair lain adalah
seringnya ia memulai puisinya dengan menggunakan kisah-kisah. Tapi hal ini bukan dimaksud
ia ingin menulis puisi naratif. Kisah-kisah ini digunakan sebagai alat pernyataan pikiran dan
ide.
Banyak dijumpai berbagai kisah dalam satu puisi Rumi yang tampaknya berlainan
namun nyatanya memiliki kesejajaran makna simbolik. Beberapa tokoh sejarah yang ia
tampilkan bukan dalam maksud kesejarahan, namun ia menampilkannya sebagai imaji-imaji
simbolik. Tokoh-tokoh semisal Yusuf, Musa, Yakub, Isa dan lain-lain ia tampilkan sebagai
lambang dari keindahan jiwa yang mencapai ma'rifat. Dan memang tokoh-tokoh tersebut
terkenal sebagai pribadi yang diliputi oleh cinta Ilahi.
Salah satu karyanya yang paling terkenal adalah :
jangan tanya apa agamaku. aku bukan yahudi. bukan zoroaster. bukan pula islam.
karena aku tahu, begitu suatu nama kusebut, kau akan memberikan arti yang lain daripada
makna yang hidup di hatiku.
Al Khawarizmi

Nama : Muḥammad bin Mūsā al-Khawārizmī


Dikenal : Al Khawarizmi
Lahir : Khwarezmia , Uzbekiztan, 780 M
Wafat : Bagdad, Irak, 850 M
Asal : Persia, Iran
Sumbangsih : Aljabar, Angka Nol, Geometri

Biografi Al Khawarizmi

Nama Asli dari Al-Khawarizmi ialah Muhammad Ibn Musa al-khawarizmi. Selain itu beliau dikenali
sebagai Abu Abdullah Muhammad bin Ahmad bin Yusoff.

Al-Khawarizmi dikenal di Barat sebagai al-Khawarizmi, al-Cowarizmi, al-Ahawizmi, al-Karismi, al-


Goritmi, al-Gorismi dan beberapa cara ejaan lagi. Ia dikenal sebagai penemu dari Aljabar dan juga
angka nol. Tak heran orang barat menjulukinya sebagai father of algebra atau bapak aljabar

Al Khawarizmi dilahirkan di Bukhara.Tahun 780-850M adalah zaman kegemilangan al-Khawarizmi.


al-Khawarizmi telah wafat antara tahun 220 dan 230M. Ada yang mengatakan al-Khawarizmi hidup
sekitar awal pertengahan abad ke-9M.

Sumber lain menegaskan beliau hidup di Khawarism, Usbekistan pada tahun 194H/780M dan
meninggal tahun 266H/850M di Baghdad.

Dalam pendidikan telah dibuktikan bahawa al-Khawarizmi adalah seorang tokoh Islam yang
berpengetahuan luas. Pengetahuan dan keahliannya bukan hanya dalam bidang syariat tapi di dalam
bidang falsafah, logika, aritmatika, geometri, musik, ilmu hitung, sejarah Islam dan kimia.

Al Khawarizmi telah menciptakan pemakaian Secans dan Tangen dalam penyelidikan trigonometri
dan astronomi. Dalam usia muda beliau bekerja di bawah pemerintahan Khalifah al-Ma’mun, bekerja
di Bayt al-Hikmah di Baghdad.

Beliau bekerja dalam sebuah observatory yaitu tempat belajar matematika dan astronomi. Al-
Khawarizmi juga dipercaya untuk memimpin perpustakaan khalifah. Beliau pernah memperkenalkan
angka-angka India dan cara-cara perhitungan India pada dunia Islam.
Menemukan Aljabar

Al Khawarizmi juga merupakan seorang penulis Ensiklopedia dalam berbagai disiplin. Al-Khawarizmi
adalah seorang tokoh yang pertama kali memperkenalkan aljabar dan hisab. Banyak lagi ilmu
pengetahuan yang beliau pelajari dalam bidang matematika dan menghasilkan konsep-konsep
matematika yang begitu populer yang masih digunakan sampai sekarang.

Banyak lagi konsep dalam matematika yang telah diperkenalkan al-khawarizmi . Bidang astronomi
juga membuat al-Khawarizmi terkenal. Astronomi dapat diartikan sebagai ilmu falaq [pengetahuan
tentang bintang-bintang yang melibatkan kajian tentang kedudukan, pergerakan, dan pemikiran serta
tafsiran yang berkaitan dengan bintang.

Kepribadian al-Khawarizmi telah diakui oleh orang Islam maupun dunia Barat. Ini dapat dibuktikan
bahawa G.Sarton mengatakan bahwa“pencapaian-pencapaian yang tertinggi telah diperoleh oleh
orang-orang Timur….” Dalam hal ini Al-Khawarizmi.

Tokoh lain, Wiedmann berkata….” al-Khawarizmi mempunyai kepribadian yang teguh dan seorang
yang mengabdikan hidupnya untuk dunia sains”.

Peranan Al Khawarizmi Dalam Matematika

Beberapa cabang ilmu dalam Matematika yang diperkenalkan oleh al-Khawarizmi seperti: geometri,
aljabar, aritmatika dan lain-lain. Geometri merupakan cabang kedua dalam matematika.

Isi kandungan yang diperbincangkan dalam cabang kedua ini ialah asal-usul geometri dan rujukan
utamanya ialah Kitab al-Ustugusat [The Elements] hasil karya Euklid : geometri dari segi bahasa
berasal daripada perkataan yunani iaitu ‘geo’ yang berarti bumi dan ‘metri’ berarti pengukuran.

Dari segi ilmu, geometri adalah ilmu yang mengkaji hal yang berhubungan dengan magnitud dan sifat-
sifat ruang. Geometri ini dipelajari sejak zaman firaun.

Kemudian Thales Miletus memperkenalkan geometri Mesir kepada Yunani sebagai satu sains dalam
kurun abad ke 6 SM. Seterusnya sarjana Islam telah menyempurnakan kaidah pendidikan sains ini
terutama pada abad ke9M.

Algebra/aljabar merupakan nadi matematika. Karya Al-Khawarizmi telah diterjemahkan oleh Gerhard
of Gremano dan Robert of Chaster ke dalam bahasa Eropa pada abad ke-12.

Sebelum ini tak ada istilah aljabar, sebelum munculnya karya yang berjudul ‘Hisab al-Jibra wa al
Muqabalah yang ditulis oleh al-Khawarizmi pada tahun 820M. Al-Khawarizmi diketahui wafat di
daerah Baghdad, Irak pada tahun 850 M.
Karya Al Khawarizmi

 Al-Jabr wa’l Muqabalah : beliau telah mencipta pemakaian secans dan tangens dalam
penyelidikan trigonometri dan astronomi.
 Hisab al-Jabr wa al-Muqabalah : Beliau telah mengajukan contoh-contoh persoalan matematika
dan mengemukakan 800 buah masalah yang sebagian besar merupakan persoalan yang
dikemukakan oleh Neo. Babylian dalam bentuk dugaan yang telah dibuktikan kebenarannya
oleh al-Khawarizmi.
 Sistem Nomor : Beliau telah memperkenalkan konsep sifat dan ia penting dalam sistem Nomor
pada zaman sekarang. Karyanya yang satu ini memuat Cos, Sin dan Tan dalam penyelesaian
persamaan trigonometri , teorema segitiga sama kaki dan perhitungan luas segitiga, segi empat
dan lingkaran dalam geometri.

Você também pode gostar