Você está na página 1de 26

PERBANDINGAN EFEKTIVITAS PENGGUNAAN

CEFTRIAXONE DENGAN CEFOTAXIME


PADA PASIEN DEMAM TIFOID ANAK
BERDASARKAN LAMA RAWAT INAP DI RSUD AL-
IHSAN KABUPATEN BANDUNG 2016-2017

ARTIKEL ILMIAH

Diajukan untuk memenuhi tugas akhir


Fakultas Kedokteran
Universitas Islam Bandung

WILDAN
10100114123

FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS ISLAM BANDUNG
2018
PERBANDINGAN EFEKTIVITAS PENGGUNAAN
CEFTRIAXONE DENGAN CEFOTAXIME
PADA PASIEN DEMAM TIFOID ANAK BERDASARKAN
LAMA RAWAT INAP DI RSUD AL-IHSAN KABUPATEN
BANDUNG 2016-2017

ARTIKEL ILMIAH

WILDAN
10100114123

Dengan ini menyatakan bahwa skripsi yang telah dibuat oleh nama yang
disebutkan di atas telah diperiksa dan direvisi secara lengkap dan memuaskan
sehingga dapat diajukan dalam siding artikel ilmiah

Bandung, 23 Juli 2018


Pembimbing I

Dr.Usep Abdullah Husin, dr., MS.,SpMK


D.14.0.607

Pembimbing II

Tjoekra Roekmantara, dr., SpRad., MH.Kes


D.09.0.512
COMPARATIVE EFFECTIVENESS OF USE OF CEFTRIAXONE
WITH CEFOTAXIME
ON PATIENTS OF CHILDREN TIFOID CHILDREN BASED ON
DURATION OF INPUT IN AL-IHSAN DISTRICT OF DISTRICT
BANDUNG 2016-2017

1 Wildan, 2 Usep Abdullah Husin, 3 Tjoekra Roekmantara


1Prodi Pendidikan Dokter, Fakultas Kedokteran, Universitas Islam Bandung,
2Bagian Mikrobiologi, Fakultas Kedokteran,
3Bagian Bedah Urologi, Fakultas Kedokteran, RS Muhamaddiyah,

Jl. Tamansari No.22 Bandung 40116

Abstract
Typhoid fever is one of the bacterium infections frequently found in many
developing countries including Indonesia. The case also occurs in RSUD
Al-Ihsan Kabupaten Bandung. The hospital mostly use ceftriaxone and
cefotaxime antibiotics for the medication of it. The research project was
aimed to recognizing the effectiveness of them based on the lenght of stay
to pediatric patient with typhoid fever.
The research was conducted using analytic observational method
on medical records of pediatrics patient who get hospitalization in RSUD
Al-Ihsan Kabupaten Bandung that had been diagnosed with typhoid
fever with used T independent test to know which antibiotics that more
effective. The research sample were divided into two grups, 23 samples
which used ceftriaxone, and the other 23 samples used cefotaxime, both of
them are used via parenteral intravenous. The evaluation of length of
stay in every samples was done by looking at the deviation of the date the
patient check out from hospital with the date of the patient check in to
hospital.
The result demostrated that the means of length of stay for patient
with used ceftriaxone is 3,78 days, where as for patient with used
cefotaxime is 5,08 days. The statistical analysis reveals that there is a
significant difference between the two antibiotics regarding the length of
stay.
The utilization of antibiotics ceftriaxone to pediatric typhoid fever
patient is more effective than cefotaxime.

Key words: Typhoid Fever, Ceftriaxone, Length of stay.

Korespondensi: Wildan. Prodi Pendidikan Sarjan Kedokteran, Fakultas Kedokteran,


Universitas Islam Bandung, Jalan Taman Sari No. 22, 40116, Kota Bandung, Provinsi Jawa
Barat, Hp: 087725652045 Email: whirl_wind888@yahoo.com
1
PERBANDINGAN EFEKTIVITAS PENGGUNAAN
CEFTRIAXONE DENGAN CEFOTAXIME
PADA PASIEN DEMAM TIFOID ANAK BERDASARKAN LAMA
RAWAT INAP DI RSUD AL-IHSAN KABUPATEN BANDUNG
2016-2017

Abstrak
Demam tifoid termasuk salah satu jenis infeksi bakteri yang banyak
ditemukan di negara-negara berkembang termasuk Indonesia. Kasus ini
juga banyak terjadi di RSUD Al-Ihsan Kabupaten Bandung, dimana
pengobatannya banyak menggunakan antibiotik ceftriaxone dan
cefotaxime. Tujuan penelitian untuk mengetahui perbandingan efektivitas
kedua antibiotik berdasarkan length of stay atau lama hari dirawat pada
pasien demam tifoid anak.
Penelitian dilakukan secara analytic observational pada rekam
medik pasien anak rawat inap di RSUD Al-Ihsan Kabupaten Bandung,
yang telah didiagnosa menderita demam tifoid dengan menggunakan uji T
independent untuk mengetahui antibiotik yang lebih efektif. Sampel
penelitian dibagi menjadi dua kelompok yaitu 23 sampel dengan
penggunaan antibiotik ceftriaxone dan 23 sampel dengan penggunaan
antibiotik cefotaxime, keduanya diberikan secara parenteral intravena.
Penilaian length of stay pada masing-masing sampel dilakukan dengan
melihat selisih tanggal pasien keluar rumah sakit dengan tanggal pasien
masuk rumah sakit.
Hasil penelitian menunjukkan length of stay rata-rata pada pasien
yang menggunakan ceftriaxone adalah 3,78 hari, sedangkan untuk pasien
yang menggunakan cefotaxime adalah 5,08 hari. Uji statiska menunjukkan
terdapat perbedaan yang bermakna terhadap length of stay pada kedua
antibiotik tersebut.
Penggunaan antibiotik ceftriaxone pada pasien demam tifoid anak
lebih efektif di bandingkan dengan cefotaxime.

Kata Kunci: Demam Tifoid, Ceftriaxone, Cefotaxime, Length of stay.

Korespondensi: Wildan. Prodi Pendidikan Sarjan Kedokteran, Fakultas Kedokteran, Universitas


Islam Bandung, Jalan Taman Sari No. 22, 40116, Kota Bandung, Provinsi Jawa Barat, Hp:
087725652045 Email: whirl_wind888@yahoo.com
3
Pendahuluan

Demam tifoid merupakan penyakit infeksi bakteri yang banyak

terjadi pada anak di berbagai belahan dunia seperti, Benua India, Asia

Tenggara, Asia Timur, Afrika, Amerika Tengah serta Amerika Selatan.1

Penyakit ini juga, merupakan salah satu penyakit sistemik akut yang masih

menjadi endemik di beberapa negara berkembang lainnya termasuk

Indonesia.2 Dihubungkan dengan status sanitasi yang tidak adekuat

terhadap kebersihan diri dan lingkungan di negara tersebut, seperti air

dan makanan yang pada dasarnya menjadi sarana transmisi agen

penyebab demam tifoid, yaitu Salmonella enteric serovar typhi

(Salmonella typhi) 3-5

Tahun 2009, WHO (World Health Organization) memperkirakan

terdapat sekitar 17 juta kasus demam tifoid di seluruh dunia dengan

insidensi 600.000 kasus kematian tiap tahunnya. Insidensi demam tifoid

di Asia Tenggara pada tahun 2010 rata-rata 1.000 per 100.000 penduduk

per tahun. Angka insidensi demam tifoid di Indonesia sendiri masih tinggi

yaitu 358 per 100.000 penduduk pedesaan dan 810 per 100.000

penduduk perkotaan per tahun dengan rata-rata kasus per tahun 600.000

- 1.500.000 penderita. Insidensi demam tifoid di daerah Jawa Barat,

terdapat 157 kasus per 100.000 penduduk.2 Usia terbanyak pada kasus

demam tifoid terjadi pada usia 3-19 tahun dengan prevalensi 91%, dan

kejadiannya meningkat pada usia setelah 5 tahun.6-7

Berdasarkan laporan Profil Kesehatan Indonesia tahun 2005,

demam tifoid menempati urutan kedua dari 10 penyakit terbanyak pasien

4
rawat inap di rumah sakit di Indonesia dengan jumlah kasus 81.116

dengan proporsi 3,15%, setelah diare.8 Hasil data yang diperoleh untuk

kasus demam tifoid di rumah sakit besar di Indonesia, menunjukkan

angka morbiditas cenderung meningkat setiap tahunnya dengan rata-rata

500 per 100.000 penduduk. Sedangkan untuk angka mortalitasnya

didapatkan sekitar 0,6-5% sebagai akibat dari ketidaktepatan dan

keterlambatan terapi yang diberikan, disamping tingginya biaya

pengobatan.9

Pengobatan yang tidak diberikan secara tepat dan cepat, akan

mengakibatkan perdarahan saluran cerna atau perforasi usus dapat terjadi

setelah 1 minggu dari munculnya gejala, tifoid ensefalopati, meningitis

hingga syok septik yang dapat berujung pada kematian.6,10 Sasaran terapi

demam tifoid adalah membasmi bakteri penyebab infeksi yaitu Salmonella

thypi, dengan cara menggunakan antibiotik sebagai kunci utama

pengobatan.10 Sejak tahun 1948, antibiotik chloramphenicol mulai

digunakan sebagai first line therapy untuk menangani demam tifoid.

Namun, pada akhir tahun 1980 penggunaan chloramphenicol

mengakibatkan multridrug resistant kepada penggunanya, yang disebut

dengan Multridrug Resistant Salmonella typhi (MDRST). Hal inilah yang

mengakibatkan, para ahli untuk mencari alternatif obat lain yang yang

lebih efektif dalam mengobati demam tifoid, antara lain antibiotik

golongan Cephalosporin 3rd generation ceftriaxone dan cefotaxime. Sifat

yang menguntungkan dari obat ini adalah secara selektif dapat merusak

sel bakteri dan tidak mengganggu sel tubuh manusia, mempunyai


spektrum luas, penetrasi jaringan cukup baik, dan juga resistensi bakteri

masih terbatas4,5,11-15

Disamping itu, kelebihan ceftriaxone pada proses farmakokinetiknya yaitu

zat aktif obat yang di ekskresikan pada kantung empedu lebih tinggi

dibandingkan dengan cefotaxime atau pun obat cephalosporin generasi

lainnya. Sehingga hal tersebut dapat dihubungkan pada kasus demam

tifoid ini, karena organ yang di invasi oleh Salmonella typhi adalah usus,

yang merupakan tempat bermuaranya saluran empedu.16,17

Efektivitas antibiotik yang tinggi pada suatu penyakit dapat dilihat

dari cepatnya gejala menghilang, efek samping yang ringan, dan cepatnya

waktu perawatan, begitupun sebaliknya. Gejala yang tak kunjung hilang

diikuti dengan munculnya efek samping obat, akan membuat waktu yang

diperlukan untuk perawatan semakin lama. Oleh sebab itu, salah satu

tolak ukur utama untuk penilaian efektivitas suatu antibiotik terhadap

suatu penyakit dapat dinilai berdasarkan LOS (Length Of Stay) atau

lamanya pasien dirawat.18,19

Berdasarkan hal – hal yang diuraikan diatas peneliti tertarik untuk

meneliti mengenai perbandingan efektifitas penggunaan ceftriaxone

dengan cefotaxime pada pasien demam tifoid anak berdasarkan Lama

Rawat Inap di RSUD Al-Ihsan Kabupaten Bandung 2016 sampai 2017,

dikarenakan angka kejadian demam tifoid pada anak di RSUD Al-Ihsan

cukup tinggi dibandingkan rumah sakit lain.


Landasan Teori

Demam tifoid adalah suatu penyakit infeksi sistemik bersifat akut

pada usus halus yang disebabkan oleh Salmonella enterica serotype typhi

(Salmonella typhi) dengan gejala demam lebih dari satu minggu,

gangguan pada saluran pencernaan, dan gangguan kesadaran.20,21

Penyebab demam tifoid 96% adalah S. typhi, sisanya disebabkan

oleh S. paratyphi.6 Salmonella typhi sama dengan Salmonella yang lain

adalah bakteri Gram-negatif, mempunyai flagela, tidak berkapsul, tidak

membentuk spora fakultatif anaerob. Mempunyai antigen somatik (O)

yang terdiri dari oligosakarida, flagelar antigen (H) yang terdiri dari

protein dan envelope antigen (K) yang terdiri polisakarida. Mempunyai

makromolekular lipopolisakarida kompleks yang membentuk lapis luar

dari dinding sel da dinamakan endotoksin. S. typhi juga dapat

memperoleh plasmid factor-R yang berkaitan dengan resistensi terhadap

multipel antibiotik.21,22

S. typhi masuk melalui makanan atau minuman lalu tertelan,

bakteri tersebut dapat bertahan terhadap asam lambung dan mencapai

usus halus bagian ileum terminalis. Di usus, bakteri melekat pada

mikrovili, kemudian berpenetrasi melalui barier usus. Setelah itu,

Salmonella typhi menyebar ke sistem limfoid mesenterika dan masuk ke

dalam pembuluh darah melalui sistem limfatik yang disebut bakteria

primer.23 Pada tahap ini, terjadilah periode inkubasi selama 7 sampai 14

hari, dimana gejala belum muncul dan kultur darah masih negatif. 23,24

Bakteri dalam pembuluh darah ini akan menyebar ke seluruh tubuh untuk

7
berkolonisasi di dalam organ-organ sistem retikuloendotelial, seperti hati,

limpa, dan sumsum tulang. Setelah bermultiplikasi, bakteri akan masuk

kembali ke dalam sistem peredaran darah dan menyebabkan bakteremia

sekunder sekaligus menandai berakhirnya periode inkubasi dan

munculnya gejala klinis.23,25 Bakteremia dapat menetap selama beberapa

minggu bila tidak diobati dengan antibiotik.26

Gejala klinis demam tifoid sangat bervariasi khususnya pada anak.

Semakin muda usia anak semakin tidak khas pula gejala klinisnya.

Walaupun gejela klinis demam tifoid anak bervariasi, secara garis besar

gejala yang timbul dapat dikelompokan menjadi, demam satu minggu atau

lebih, gangguan pencernaan, dan gangguan kesadaran.23,25

Usia di atas 10 tahun gejala klinisnya hampir sama dengan orang

dewasa yaitu panas tinggi hingga kekurangan cairan dan perdarahan usus

yang dapat terjadi perforasi.27 Awalnya, demam hanya samar-samar saja,

selanjutnya suhu tubuh turun naik yakni pada pagi hari lebih rendah atau

normal, sementara sore dan malam hari lebih tinggi.23,25

Demam dapat mencapai 39-40 ºC. Intensitas demam akan makin

tinggi disertai gejala lain seperti sakit kepala, diare, nyeri otot, pegal,

insomnia, anoreksia, mual, muntah, hepatomegali, splenomegali atau

keduanya, hingga penurunan kesadaran pada anak. Pada anak khususnya

balita, demam tinggi dapat menimbulkan kejang.27 Penderita anak lebih

sering mengalami diare, sementara dewasa cenderung mengalami

konstipasi23,27 Pada sekitar 25% dari kasus, ruam makular atau

makulopapular yaitu bintik kemerahan pada kulit (rose spots) mulai


terlihat pada hari ke 7-10, terutama pada orang berkulit putih, dan terlihat

pada dada bagian bawah dan abdomen pada hari ke 10-15 serta menetap

selama 2-3 hari.23

Diagnosis awal dilihat dari munculnya demam yang naik secara

bertahap tiap harinya, mencapai suhu tertinggi pada akhir minggu

pertama, dan selanjutnya pada minggu kedua demam terus menerus akan

tinggi terutama sore hingga malam hari (step-ladder temperature

chart).6,27 Kemudian anak sering mengigau (delirium), malaise, letargi,

anoreksia, nyeri kepala, nyeri perut, diare atau konstipasi, muntah, perut

kembung, hepatomegali, dan sebagian besar anak yang mengalami demam

tifoid menunjukan lidah tifoid, yaitu pada bagian lidah tengah kotor,

bagian pinggir hiperemis dan tremor saat dijulurkan. Pada demam tifoid

yang parah, dapat pula dijumpai penurunan kesadaran, kejang dan

ikterus.6

Pemeriksaan penunjang dilakukan untuk memperoleh diagnosis

pasti dari demam tifoid, Pada permulaan penyakit, dapat dijumpai

pergeseran hitung jenis sel darah putih ke kiri, sedangkan pada stadium

lanjut terjadi pergeseran darah tepi ke kanan (limfositosis relatif),

leukopenia, trombositopenia, dan anemia.6 Gold standart diagnosis dari

demam tifoid yaitu apabila ditemukan S. typhi pada biakan darah, urin

atau feses dan atau pemeriksaan serologis didapatkan titer O Ag ≥ 1/200

atau meningkat lebih dari 4 kali dalam interval 1 minggu (titer fase akut

konvalesens).21,25,27
Tujuan terapi demam tifoid adalah untuk mencapai keadaan bebas demam

dan gejala, mencegah komplikasi, dan menghindari kematian.25 Terdapat 3

prinsip penatalaksanaan demam tifoid, yaitu istirahat dan perawatan, diet dan

terapi penunjang, serta pemberian antibiotik. Bagi pasien yang menangani demam

tifoid berat, diharuskan dirawat inap di rumah sakit dengan tahap terapi awal

dapat diberikan cairan dan kalori terutama pada pasien demam tinggi, muntah,

atau diare. Selanjutnya dapat diberikan antipiretik apabila demam > 39°. Diet bagi

pasien demam tifoid yaitu diberikan makanan tidak berserat dan mudah dicerna,

dan setelah demam reda dapat diberikan makanan yang lebih dengan kalori cukup.

Tranfusi darah diperlukan bagi pasien yang mengalami perdarahan saluran cerna

dan perforasi usus.6

Pengobatan antibiotik merupakan pengobatan utama karena pada dasarnya

patogenesis infeksi S. typhi berhubungan dengan keadaan bakteriemia. Pemilihan

antibiotik tergantung pada pola sensitivitas S. typhi setempat, diisebabkan

munculnya S. typhi yang resisten terhadap banyak antibiotik (MDRST) dapat

mengurangi pilihan antibiotik yang akan diberikan dan juga berdasarkan

keparahan penyakit.25,28 Pada pasien demam tifoid ringan tanpa komplikasi dapat

diobati di rumah dengan tirah baring, pemenuhan kebutuhan cairan dan nutrisi

serta pemberian antibiotik.25

Chloramphenicol masih merupakan pilihan utama untuk

pengobatan demam tifoid karena efektif, murah, mudah didapat, dan

dapat diberikan secara oral.29 Dosis yang diberikan adalah 100

mg/kgBB/hari dibagi dalam 4 kali pemberian selama 10 sampai 14 hari


atau sampai 5 sampai 7 hari setelah demam turun. Umumnya perbaikan

klinis sudah tampak dalam waktu 72 jam dan suhu akan kembali normal

dalam waktu 3-6 hari. Namun, dalam lima tahun terakhir telah dilaporkan

kasus demam tifoid berat pada anak bahkan fatal yang disebabkan oleh

adanya resistensi obat ganda terhadap Salmonella typhi (MDRST).29,30

Disamping itu pemakaian chloramphenicol dapat menimbulkan efek

samping berupa supresi sumsum tulang dan yang paling ditakuti

terjadinya anemia aplastik.29 Cephalosporin 3rd generation (ceftriaxone,

cefotaxime, cefixime), fluoroquinolon (ciprofloxacin, ofloxacin,

perfloxacin) dan azythromycin saat ini sering digunakan untuk mengobati

demam tifoid MDRST.11,12

Ampicilin memberikan respon perbaikan klinis yang kurang apabila

dibandingkan dengan chloramphenicol. Amoxicilin dengan dosis 100

mg/kgBB/hari dibagi dalam 4 kali pemberian peroral memberikan hasil

yang setara dengan chloramphenicol walaupun penurunan demam lebih

lambat. Kombinasi trimethoprim sulfametoksazol (TMP-SMZ)

memberikan hasil yang kurang baik dibanding chloramphenicol.21

Sekitar 10-15% dari pasien akan mengalami komplikasi, terutama

pada pasien yang sudah terdiagnosis selama lebih dari 2 minggu.24,25

Komplikasi yang sering dijumpai adalah perdarahan usus dan perforasi.11

Perdarahan usus umumnya ditandai keluhan nyeri perut, perut membesar,

nyeri tekan, seringkali disertai dengan penurunan tekanan darah dan

shock, diikuti perdarahan saluran cerna sehingga muncul melena ataupun

mengakibatkan peritonitis. Komplikasi lainnya adalah reaktif hepatitis,


pneumonia, pankreatitis, ensefalopati tifosa, serta gangguan pada sistem

tubuh lainnya mengingat penyebaran kuman adalah secara hematogen.24

Ceftriaxone dan cefotaxime merupakan golongan cephalosporin

generasi ke III berspektrum luas, semisintetik yang diberikan secara IM

atau IV dan bersifat bakteriosidal.17 Antibiotik ini memiliki aktivitas yang

sangat kuat untuk melawan bakteri gram negatif (Hemophilus influenza,

Moraxella catarrhalis, Neisseria meningitidis, dan Enterobacteriaceae)

dan gram positif (grup a dan b Streptococci, Streptococci viridians,

Streptococcus pneumonia).33
Metode

Desain penelitian ini bersifat analitik observasional dengan menggunakan

studi case control untuk mengetahui efektivitas penggunaan antibiotik

cefriaxone dan cefotaxime pada pasien demam tifoid anak.

Subjek yang digunakan untuk penelitian ini adalah data sekunder

yang diperoleh dari data rekam medis pasien berupa penggunaan

ceftriaxone atau cefotaxime pada pasien demam tifoid anak yang

melakukan rawat inap di RSUD Al-Ihsan Kabupaten Bandung tahun 2016

sampai 2017.

Data yang didapat berasal dari data rekam medis anak dengan diagnosis

demam tifoid yang diperoleh dari RSUD Al-Ihsan Kabupaten Bandung

tahun 2016 sampai 2017.

Dilihat dari data rekam medis, subjek penelitian harus memenuhi

kriteria inklusi dan eksklusi. Data rekam medis harus tertulis lamanya

pasien dirawat dan penggunaan antibiotik ceftriaxone atau cefotaxime.

Kemudian hasil analisis tersebut bisa digunakan dalam penelitian ini.

13
Hasil Penelitian

Karakteristik Subjek Penelitian Berdasarkan Usia

Berdasarkan data rekam medis yang memenuhi kriteria inklusi berjumlah

128 dari 242 pasien BPH, didapatkan usia termuda pada 31 tahun dan

tertua pada usia 85 tahun. Frekuensi tertinggi terjadinya BPH terdapat

pada usia >65 tahun sebanyak 73 kasus (57,03%) dan frekuensi terendah

terdapat pada rentan usia 36-45 tahun sebanyak 1 kasus (0,78%).


Jumlah Pasien

100 73
57.03
45
35.16
50
1 0.78 9 7.03
0
36-45 46-55 56-65 >65
Usia Pasien

jumlah %

Gambar 4.1 Jumlah pasien BPH berdasarkan usia di RSUD Al-


Ihsan Bandung Tahun 2017
Karakteristik Subjek Penelitian Berdasarkan Volume Prostat

Berdasarkan data rekam medis yang memenuhi kriteria inklusi

berjumlah 128 dari 242 pasien BPH. Frekuensi tertinggi terjadinya BPH

terdapat pada kategori Volume Prostat Grade IV sebanyak 49 kasus

(38,28%) dan frekuensi terendah terdapat pada kategori Volume Prostat

Grade I sebanyak 0 kasus (0%).


Jumlah Pasien

60 49
43 38.28
36 33.59
40 28.13

20 0 0
0
Grade I Grade II Grade III Grade IV
Volume Prostat

jumlah %

Gambar 4.2 Jumlah pasien BPH berdasarkan Volume Prostat di


RSUD Al-Ihsan Bandung Tahun 2017

Pembahasan

Karakteristik Subjek Penelitian Berdasarkan Usia

Berdasarkan hasil penelitian pada karakteristik berdasarkan usia

diperoleh sebagian besar pasien BPH berusia >65 tahun yaitu sebanyak

57,03% atau 73 kasus. Hasil penelitian yang dilakukan sebelumnya oleh

Lu dan Chen, Taiwan 2015, menuliskan bahwa laki-laki usia 70-79 tahun

memiliki 4,6 kali memiliki risiko mengalamai penyakit BPH.11

15
Menurut Collins, bahwa rerata usia pasien BPH yang didapatkan dari

penelitian ini adalah pria yang berusia 40 sampai 79 tahun.12 Menurut

Lim, Singapura 2017, prevalensi BPH meningkat pada usia 40 tahun dan

8-60% pada usia 90 tahun.13 Berdasarkan data dari Krimpen and

Baltimore Longitudinal Studi of Aging, pertumbuhan prostat meningkat

2-2,5% per tahun pada laki-laki usia lanjut.13 Selain itu, pada skripsi yang

dilakukan oleh Taufik mengenai karakteristik penderita prostat di

Bandung tahun 2015 didapatkan data terbanyak pasien BPH terjadi pada

kelompok usia >65 tahun. Terdapat kesamaan dengan penelitian yang

sedang dilaksanakan oleh peneliti bahwasannya data terbanyak pasien

BPH tahun 2017 terjadi pada kelompok usia >65 tahun (57,03%). Hal ini

menunjukan bahwa peningkatan usia sangat berpengaruh terhadap

terjadinya pertumbuhan BPH, karena terdapat hubungan antara

peningkatan prostat serum antigen (PSA) dan prostat volume dengan

peningkatan usia.

Pada usia yang semakin tua, kadar testosteron menurun sedangkan

kadar estrogen relatif meningkat. Telah diketahui bahwa estrogen di

dalam prostat berperan dalam terjadinya proliferasi sel-sel kelenjar

prostat dengan cara meningkatkan sensitifitas sel-sel prostat terhadap

rangsangan hormon androgen, meningkatkan jumlah reseptor androgen,

dan menurunkan jumlah kematian sel-sel prostat (apoptosis).14 Teori ini

sesuai dengan penelitian Ngai dkk, Hongkong 2017, bahwa level androgen

yang rendah dan level estrogen yang tinggi ditemukan pada laki-laki

dengan BPH.15

16
Karakteristik Subjek Penelitian Berdasarkan Volume Prostat

Frekuensi tertinggi terjadinya BPH terdapat pada kategori Volume Prostat

Grade IV sebanyak 49 kasus (38,28%). Besarnya prostat dapat dibedakan :

- Grade (derajat) I : 20 gram

- Grade (derajat) II : 20 – 40 gram

- Grade (derajat) III : 40 – 60 gram

- Grade (derajat) IV : > 60 gram

Dihidrotestosterone (DHT) adalah metabolit androgen yang dibentuk

dari testosteron di dalam sel prostat oleh enzim 5 alfa-reduktase dengan

bantuan koenzim NADPH. DHT yang telah terbentuk berikatan dengan

reseptor androgen (RA) membentuk kompleks DHT-RA pada inti sel dan

selanjutnya terjadi sintesis protein growth factor yang menstimulasi

pertumbuhan sel-sel epitel prostat. Pada BPH, aktivitas enzim 5 alfa-

reduktase dan jumlah reseptor androgen lebih banyak, sehingga replikasi

sel lebih banyak terjadi dibandingkan dengan prostat normal.16

Selain itu, DHT menstimulasi sel-sel stroma untuk mensintesis suatu

growth factor yang selanjutnya mempengaruhi sel-sel stroma itu sendiri

secara intrakrin dan autokrin, serta mempengaruhi sel-sel epitel secara

parakrin. Stimulasi itu menyebabkan terjadinya proliferasi sel-sel epitel

maupun sel stroma.16

Stem cell atau sel punca akan menggantikan sel-sel yang telah

mengalami apoptosis. Sel punca ini sangat bergantung pada kadar hormon

androgen, sehingga jika kadar hormon androgen menurun seperti pada

17
kastrasi, maka dapat menyebabkan terjadinya apoptosis. Proliferasi

sel-sel pada BPH dipostulasikan sebagai ketidakseimbangan aktivitas sel

punca sehingga terjadi produksi yang berlebih dari sel stroma maupun sel

epitel.7

Teori kausatif dari BPH sebelumnya berfokus pada level dan rasio

faktor-faktor endokrin seperti androgen, estrogen, gonadotropin dan

prolaktin serta perubahan yang terjadi pada keseimbangan

autocrine/paracrine growth-stimulatory dan growth-inhibitory factors.

Faktor-faktor tersebut meliputi insulin-like growth factors (IGFs),

epidermal growth factor, nerve growth factor, fibroblast factors, IGF

binding proteins dan transforming growth factor-beta (TGF-β).17

Penuaan dan sirkulasi androgen merupakan faktor predisposisi yang

dapat mengganggu keseimbangan growth factor signaling pathways dan

stroma /epithelial interactions creating a growth-promoting and tissue

remodeling microenvironment.17 Dari teori tersebut diatas, menjelaskan

pathogenesis terjadinya pertumbuhan prostat yang abnormal, sehingga

terjadilah pembesaran prostat pada pasien BPH.

Volume prostat dapat dihitung dengan melakukan pemeriksaan DRE

dan USG. Dilakukan pemeriksaan digital rectal toucher untuk

menentukan besar volume prostat, walaupun faktor subjektifitasnya tinggi

dan dilakukan pemeriksaan juga menggunakan alat Transrectal

Ultrasound untuk melihat gambaran ukuran volume prostat dan melihat

kemungkinan terjadi abnormalitas.

18
Menurut penelitian yang dilakukan oleh Rahadjo, dkk, Jakarta 1999,

pasien BPH pada usia 65+ 8,8 tahun, mempunyai rerata volume 50+ 24,6

gram.18 Berbeda dengan penelitian Lu, Taiwan 2015, pada laki-laki usia 21-

30 tahun memiliki berat normal prostat 20  6 gram.11

Keterbatasan Penelitian

1. Pada penelitian ini, variabel yang digunakan terbatas di usia, volume

prostat, dan gambaran histopatologi, sedangkan dalam beberapa

jurnal ada variable lain yang dapat mendukung terhadap penelitian,

seperti pemeriksaan kadar PSA, BMI dan lainnya.

2. Metode penelitian yang digunakan yaitu deskriptif, banyak juga jurnal

atau sumber lain yang dapat menjelaskan hubungan dari setiap

variable terkait maupun yang lainnya.

Simpulan

Bertitik tolak dari pembahasan hasil penelitian, maka dapat disimpulkan

beberapa hal sebagai berikut:

1) Pada pasien BPH memiliki karakteristik usia terbanyak >65 tahun

dengan jumlah 73 kasus (57,03%)

2) Sebagian besar pasien BPH memiliki frekuensi tertinggi pada kategori

Volume Prostat Grade IV dengan jumlah 49 kasus (38,28%)

19
Ucapan Terimakasih

Ucapan terimakasih ditunjukan kepada UNISBA, Fakultas Kedokteran

UNISBA, Bagian Biokimia FK Unisba, dan RSUD AL-IHSAN Bandung.

Aspek Etik Penelitian

Aspek etik pada penelitian ini mengandung nilai-nilai berikut:

1) Beneficience, hasil penelitian ini dapat bermanfaat khususnya bagi

peneliti dan umumnya bagi pembaca.

2) Non-Maleficience, hasil analisis penelitian yang diambil dari data

rekam medis tidak merugikan Rumah Sakit.

3) Authority, pihak rumah sakit menerima penelitian yang telah

dilaksanakan.

4) Justice, keuntungan dan akibat dari penelitian terdistribusi secara

seimbang.

5) Autonomy, peneliti merahasiakan identitas subjek, tidak

dicantumkan pada laporan dan tidak dipublikasikan kepada publik.

20
Daftar Pustaka

1. Purnomo BB. Dasar-dasar urologi. CV Infomedika. 2000.

2. WHO. prevalensi pasien benigna prostat hiperplasi. prevalensi pasien


benigna prostat hiperplasi [Internet]. 2010; Available from:
www.repository.usu.ac.id

3. RI K. insidensi terjadinya benigna prostat hiperplasi [Internet]. 2010.


Available from: www.depked.go.id

4. Benign Prostat Hyperplasia [Internet]. 2009. Available from:


http://sanirachman.blogspot.co.id/2009/11/benigna-prostat-
hiperplasia.html

5. C long barbara. pendekatan medikal bedah. yayasan ikaan alumni


Pendidik keperawatan padjajaran. 2006;(suatu pendekatan proses
keperwatan).

6. Briganti A, Capitanio U, Suardi N, Gallina A, Salonia A, Bianchi M, et


al. Benign Prostatic Hyperplasia and Its Aetiologies. Eur Urol Suppl.
2009;8(13):865–71.

7. Purnomo BB. DASAR-DASAR UROLOGI. Malang: Sagung Seto; 2011.


123-142 p.

8. Parsons JK, Carter HB, Partin AW et al. Metabolic factors associated


with benign prostatic hyperplasia. J Clin Endocrinol Metab.
2006;91:2562–8.

9. Dr. Stanley Robbins DRC. pathologic basic of disease. 9th ed. 2010.

10. Hardjowijoto S dkk. Panduan Penatalaksanaan (Guidelines) Benign


Prostatic Hiperplasia (BPH) di Indonesia. Surabaya: Ikatan Ahli
Urologi Indonesia; 2003.

11. Lu S, Chen C. ScienceDirect Natural history and epidemiology of


benign prostatic hyperplasia. Formos J Surg [Internet].
2015;47(6):207–10.

12. Collins GN, Lee RJ, McKelvie GB, Rogers AC, Hehir M. Relationship
between prostate specific antigen, prostate volume and age in the
benign prostate. Br J Urol. 1993 Apr;71(4):445–50.

13. Lim K Bin. ScienceDirect Epidemiology of clinical benign prostatic


hyperplasia. Asian J Urol [Internet]. 2017;4(3):148–51. Available
from: http://dx.doi.org/10.1016/j.ajur.2017.06.004

21
14. Mescher AL. Junqueiras’s Basic Histology Text and Atlas. Junqueiras’s
Basic Histology Text and Atlas. 2013. 343-363 p.

15. Ngai H, Yuen KS, Ng C, Cheng C, Chu SP. ScienceDirect Metabolic


syndrome and benign prostatic hyperplasia  : An update. Asian J Urol
[Internet]. 2017;4(3):164–73. Available from:
http://dx.doi.org/10.1016/j.ajur.2017.05.001

16. Guyton A HJ. Textbook Of Medical Physiology. 2006.

17. Lucia MS LJ. Growth factors in benign prostatic hyperplasia: basic


science implications. Curr Urol Rep. 2008;272–8.

18. Rahardjo D, Birowo P, Pakasi LS. Correlation between prostate volume


, prostate specifïc antigen level , prostate specific antigen density and
age in the benign prostate hyperplasia patients Benign prostatic. :260–
3.

22
Lampiran 1

SURAT PERMOHONAN PEMBUATAN ARTIKEL

Yang bertanda tangan di bawah ini :

Nama : Rotala Alfarisyi

NPM/ Program Studi : 10100114083/ Program Pendidikan Sarjana

Fakultas Kedokteran Universitas Islam

Bandung

Alamat Koresponden : Jalan Padabeunghar No. 1 Rt 01 Rw 01 Desa

Padabeunghar Kec Jampang Tengah Kab

Sukabumi

Email : rotalaalfarisyi@gmail.com

Judul Naskah Artikel : Karakteristik Penderita Benign Prostatic


Hyperplasia Berdasarkan Usia dan Volume
Prostat di Rumah Sakit Umum Daerah Al-
Ihsan Bandung Tahun 2017

Mengajukan permohonan pembuatan artikel ilmiah dengan judul

seperti diatas dan bersedia memenuhi ketentuan-ketentuan yang telah

ditetapkan oleh dewan editor Publikasi Berkala Penelitian Program

Pendidikan Sarjana Kedokteran Universitas Islam Bandung.

Bandung, 23 Juli 2018


Pemohon

Rotala Alfarisyi

23
Lampiran 2

SURAT PERSETUJUAN KOMISI PEMBIMBING

Yang bertanda tangan di bawah ini :

Nama Pembimbing : Tanda Tangan

1. Amry Junus, dr., Sp.B., FinaCS

2. Tomy Muhamad Seno Utomo, dr., Sp.U.

Judul Naskah Artikel Ilmiah : Karakteristik Penderita Benign Prostatic

Hyperplasia Berdasarkan Usia dan Volume Prostat di Rumah Sakit

Umum Daerah Al-Ihsan Bandung Tahun 2017.

Menyatakan bahwa naskah artikel ilmiah dengan judul seperti di atas telah

diperiksa, dikoreksi dan disetujui oleh komisi pembimbing untuk dimuat

dalam jurnal.

24

Você também pode gostar