Você está na página 1de 9

LIMFOGRANULOMA VENEREUM

I. Definisi
Limfogranuloma venereum (LGV) merupakan infeksi menular seksual yang
disebabkan oleh Chlamydia trachomatis serovar L1, L2 dan L3. LGV memiliki
manifestasi akut dan kronis yang bervariasi. Penyakit ini juga dikenal dengan nama
tropical bubo, climatic bubo, strumous bubo, poradenitis inguinalis, penyakit Durand-
Nicolas-Favre, limfogranuloma inguinal, limfopatia venera dan the fourth, fifth, sixth
venereal disease. Limfogranuloma venereum mengenai pembuluh limfe dan kelenjar
limfe terutama pada daerah genital, inguinal, anus dan rektum. Penularan terjadi
melalui kontak langsung dengan sekret infeksius, umumnya melalui berbagai macam
hubungan seksual baik oral, genital atau anal.

II. Epidemiologi
Limfogranuloma venereum terjadi pada semua usia dengan puncak insiden usia antara
15-40 tahun. Limfogranuloma venereum akut lebih sering dilaporkan pada laki-laki
daripada wanita dengan rasio 5:1. Hal ini kemungkinan disebabkan karena kasus pada
wanita bersifat asimptomatis.
Limfogranuloma venereum bersifat endemik pada heteroseksual di sebagian besar
Afrika, Asia Tenggara, Amerika Latin dan Karibia. Pada tahun 2003 dilaporkan kasus
LGV tersebar sporadis di Eropa, Amerika Utara, Australia, sebagian besar Asia dan
Amerika Selatan. Kasus ini banyak ditemukan terutama di kalangan pelaut, militer dan
wisatawan yang terinfeksi selama melakukan kunjungan ke daerah endemik. Pada
tahun 2003 Gotz dkk melaporkan 13 kasus LGV proktitis pada laki-laki yang
berhubungan seksual dengan laki-laki dari klinik rawat jalan di kota Rotterdam,
Belanda.

III. Etiologi
Agen etiologi yang terlibat dalam patogenesis LGV adalah Chlamydia trachomatis.
LGV disebabkan oleh C. trachomatis serovar L1-L3. C. trachomatis merupakan
organisme dengan sifat sebagian seperti bakteri dalam hal pembelahan sel,
metabolisme, struktur maupun kepekaan terhadap antibiotika dan sebagian bersifat
seperti virus yaitu memerlukan sel hidup untuk berkembang biak. Berdasarkan hal ini
maka dikatakan bahwa C. trachomatis bersifat parasit obligat intraseluler. Organisme
ini memiliki ukuran lebih kecil dari bakteri, berdiameter 250-500 mm, namun lebih
besar dari ukuran virus pada umumnya.
Siklus hidup C.trachomatis dapat dibagi menjadi beberapa tahap:
1. Perlekatan partikel awal yang infeksius pada sel hospes
2. Masuknya partikel ke sel hospes
3. Perubahan morfologi menjadi partikel retikuler yang berada di dalam intraseluler
dan 
 mengalami replikasi di dalam vakuola, letaknya melekat pada inti sel hospes.
Bentuk ini disebut sebagai badan inklusi.
4. Vakuola yang pecah menyebabkan perubahan morfologi dari partikel retikuler
menjadi badan elementer.
5. Pelepasan partikel yang infeksius.

IV. Patogenesis dan Gejala klinis


LGV merupakan penyakit sistemik yang primer menyerang sistem limfatik, dengan
manifestasi klinik akut, subakut, atau kronik, dengan komplikasi pada stadium lanjut.
Perjalanan penyakit LGV secara umum dibagi menjadi dua stadium, yaitu stadium dini,
yang terdiri atas afek primer dan sindrom inguinal, dan bentuk lanjut yang terdiri atas
sindrom genital, anorektal, dan uretral.
Afek primer
Lesi primer LGV muncul dalam bentuk erosi, papul miliar, vesikel, pustule, dan ulkus
yang bersifat tidak khas, tidak nyeri, dan cepat menghilang. Lesi muncul setelah masa
inkubasi selama 3-20 hari. Lokasi lesi primer LGV pada laki-laki paling sering di
sulkus koronarius, frenulum, preputium, penis, glans penis, skrotum sedangkan pada
wanita di dinding vagina posterior, serviks posterior dan vulva. Lesi primer bersifat
sementara, membaik dalam waktu 1 minggu dan dapat tidak diketahui apabila terdapat
lesi di uretra, serviks atau rektum. Lesi primer pada pria dapat pula disertai limfangitis
di bagian dorsal penis dan membentuk nodul limfangial yang lunak atau abses-abses
kecil (bubonuli).

Sindrom Inguinal
Waktu terjadinya dari afek primer hingga terjadinya sindrom inguinal 3-6 minggu.
Pada 2/3 kasus timbul limfadenitis inguinal yang unilateral. Sindrom ini terjadi pada
laki-laki jika afek primernya di genitalia eksterna, sedangkan pada perempuan sindrom
ini terjadi jika afek primer ada di genitalia eksterna dan vagina 1/3 bawah, sedangkan
pada umumnya afek primer pada perempuan di tempat yang lebih dalam, yakni di
vagina 2/3 atas dan serviks, sehingga sindrom tersebut lebih sering terdapat pada laki-
laki dibanding perempuan.
Gejala sistemik seperti demam, menggigil, nausea, sakit kepala sering menyertai
sindrom ini. Sedangkan pada perempuan gejala nyeri pinggang bawah lebih sering
terjadi karena terkenanya kelenjar limfe perirektal Gerota yang diikuti dengan gejala
proktitis dan periproktitis seperti nyeri abdomen, nyeri saat defekasi dan diare.
Pada sindrom ini yang terserang adalah kelenjar getah bening inguinal medial, karena
kelenjar ini merupakan kelenjar regional bagi genitalia eksterna. Kelenjar tersebut
permukaannya akan berbenjol-benjol, kemudian akan berkonfuensi. Akan terlihat lima
tanda radang. Selain limfadenitis terjadi pula periadenitis yang menyebabkan
perlunakan dengan jaringan sekitarnya. Kemudian terjadi perlunakan yang tidak
serentak, yang mengakibatkan konsistensinya menjadi bermacam-macam, mulai dari
keras, kenyal, dan lunak (abses). Perlunakan biasa terjadi di tengah, dapat terjadi abses
dan fistel yang multipel.

Sering terlihat pula dua atau tiga kelompok kelenjar yang berdekatan dan memanjang
di bagian proksimal dan distal ligamentum Pouparti dan dipisahkan oleh lekuk (sulkus)
yang dikenal dengan sebutan stigma of groove. Pada stadium lanjut terjadi penjalaran
ke kelenjar getah bening di femoralis, inguinalis superfisial dan profundus
menyebabkan bentuk seperti tangga disebut bubo bertingkat (ettage bubo).
Sindrom Genital
Merupakan stadium lanjut komplikasi dari LGV. Sindrom ini berupa edema vulva yang
terjadi sepanjang klitoris sampai anus (elefantiasis labia) akibat peradangan kronis,
sehingga terjadi fibrosis saluran dan kelenjar limfe dan timbul edema limfe di daerah
vulva. Pada permukaan elefantiasis dapat terjadi tumor polipoid dan verukosa, dank
arena tekanan dari paha dapat berbentuk pipih (buchblatt condyloma). Elefantiasis ini
dapat terbentuk fistel-fistel dan ulkus-ulkus. Pada laki-laki, elefantiasis terdapat pada
penis dan skrotum, dan jika meluas dapat terjadi elefantiasis satu atau kedua tungkai.
Jika meluas akan terbentuk elefantiasis genito-anorektalis (sindrom Jerslid).

Sindrom anorektal
Merupakan manifestasi lanjut LGV terutama pada wanita, dan dapat disebabkan karena
dua cara, jika kontak seksual secara anogenital, dan jika afek primer terdapat pada
vagina 2/3 atas atau serviks, sehingga terjadi penjalaran ke kelenjar perirektal (kelenjar
Gerota). Pembesaran ini hanya dapat diketahui dengan palpasi secara bimanual. Gejala
awal adalah perdarahan anus yang diikuti duh anal yang purulent disertai febris, nyeri
waktu defekasi, nyeri perut bawah, konstipasi dan diare. Sindrom ini juga dapat terjadi
pada pria yang melakukan kontak seksual secara anogenital dengan pria.
Prosesnya hampir sama dengan sindrom inguinal, yaitu terjadi limfadenitis atau
periadenitis, lalu mengalami perlunakan hingga terbentuk abses. Kemudian abses
pecah dan keluar darah dan pus pada saat defekasi, dan terbentuk fistel. Selanjutnya,
muara fistel meluas menjadi ulkus, yang kemudian sembuh dan menjadi sikatriks,
terjadi retraksi hingga mengakibatkan striktura rekti. Keluhannya adalah obstipasi,
tinja kecil-kecil disertai perdarahan saat defekasi, dapat juga terjadi proktitis yang
menyebabkan gejala tenesmus dan keluar darah dan pus dari rectum.
Sindrom uretral
Sindrom ini terjadi jika terbentuk infiltrate di uretra posterior, yang kemudian menjadi
abses, lalu pecah dan menjadi fistel. Dapat terjadi striktur, hingga orifisium uretra
eksternum berubah menjadi seperti mulut ikan dan penis melengkung.

V. Diagnosis
Diagnosis LGV dapat ditegakkan berdasarkan:
1. Gambaran klinis
2. Pemeriksaan laboratorium
3. Tes GPR (Gate Papacosta Reaction)
4. Pengecatan Giemsa pada pus bubo
5. Tes Frei
6. Kultur jaringan
Gambaran klinis
Gambaran klinis LGV yang khas sudah cukup kuat membuat diagnosis, ditambah
adanya suspek riwayat koitus.
Pemeriksaan laboratorium
Pada gambaran darah tepi tampak leukositosis ringan dengan peningkatan monosit dan
eosinofil berkaitan dengan adanya bubo dan LGV anogenitorektal. Leukositosis PMN
yang signifikan ditemukan pada bubo yang superinfeksi dengan bakteri piogenik. Laju
endap darah (LED) juga mengalami peningkatan. Hal ini menunjukkan keaktifan dari
penyakit, namun tidak khas untuk LGV. Abnormalitas laboratorium klinis lain yang
ditemukan berupa peningkatan konsentrasi gamma globulin yang disebabkan oleh
peningkatan IgA, IgG dan IgM.
Tes GPR
Tes ini berdasarkan peningkatan globulin dalam darah. Dilakukan dengan cara
memberikan beberapa tetes formalin 40% pada 2 cc serum pasien dan dibiarkan 24
jam. Hasil positif jika terjadi penggumpalan. Tes ini tidak spesifik karena dapat positif
pada penyakit lain.
Pegecatan Giemsa pada pus bubo
Cara ini dipakai untuk menemukan badan inklusi C. trachomatis yang khas.
Tes Frei
Tes Frei merupakan tes intradermal pertama yang dikembangkan pada tahun 1925. Tes
ini bergantung pada delayed hypersensitivity reaction yang serupa dengan tes
tuberkulin. Antigen Frei berasal dari pus bubo yang tidak ruptur. Pus diencerkan
dengan salin dan disterilisasikan dengan pemanasan. Antigen berisiko terkontaminasi
bakteri dan virus serta mudah terinaktivasi karena overheating. Hasil positif
menunjukkan adanya infeksi saat ini atau infeksi lampau. Tes Frei akan tetap positif
selama beberapa tahun dan dapat seumur hidup meskipun telah diterapi.
Hasil tes Frei menjadi positif apabila muncul bubo 2-8 minggu setelah infeksi. Pada
95% pasien LGV dengan bubo dan 90% pasien LGV dengan elefantiasis genital
ulseratif menunjukkan hasil tes frei positif.
Kerugian tes ini adalah sensitivitas rendah pada stadium awal LGV dan spesifisitas
terbatas karena reaksi silang dengan C. trachomatis serovar D-K. Pembuatan antigen
Frei tidak dilanjutkan lagi secara komersial pada tahun 1974.
Kultur jaringan
Kultur C. trachomatis menunjukkan bukti langsung adanya infeksi Chlamydia, namun
metode ini jarang tersedia. Organisme ini dapat diisolasi dari jaringan yang terinfeksi
atau sekret dengan cara inokulasi pada otak tikus, yolk sac atau kultur jaringan. Pus
bubo adalah bahan klinis paling praktis untuk dilakukan inokulasi. Aspirasi bubo harus
dilakukan dengan injeksi 2-5 ml saline steril untuk mendapatkan sejumlah cairan dari
aspirasi. Media yang digunakan untuk isolasi Chlamydia adalah Hella-229 dan McCoy
tissue culture cell lines.

VI. Diagnosa Banding


Skrofuloderma
Antara LGV dan skrofuloderma sama-sama terdapat limfadenitis pada beberapa
kelenjar, periadenitis, perlunakan tidak serentak dengan akibatnya konsistensi kelenjar
bermacam-macam, serta pembentukan abses dan fistel yang multipel. Perbedaannya,
pada LGV terdapat tanda radang akut, sedangkan pada skrofuloderma tidak ada,
kecuali tumor. Lokasi juga berlainan, LGV di inguinal medial, sedangkan
skrofuloderma pada inguinal lateral dan femoral.
Limfadenitis piogenik
Pada penyakit ini lesi primer masih tampak, misal dermatitis atau scabies pada genitalia
eksterna yang mengalami infeksi oleh piokokus, sedangkan pada LGV umumnya lesi
primer tidak ditemukan, karena cepat hilang. 5 tanda radang ditemukan pada keduanya,
tetapi perlunakannya serentak sehingga tidak membentuk abses dan fistel yang multipel
seperti LGV.
Limfadenitis karena ulkus mole
Umumnya lesi primer akan tampak. 5 tanda radang juga terdapat, tapi perlunakannya
serentak.
Limfoma malignum
Penyakit ini tanpa disertai 5 tanda radang jika masih dini, kecuali tumor, dan biasanya
tidak melunak. Terdapat gambaran khas pada gambaran histopatologik.

VII. Penatalaksanaan
Doksisiklin merupakan obat pilihan yang direkomendasikan oleh WHO saat ini. Dosis
2 x 100 mg/hari selama 14-21 hari. Obat pilihan lain tetrasiklin HCl atau eritromisin
stearate 4 x 500 mg/hari sampai 14 hari. Dapat juga diberikan azitromisin 1x500
mg/hari selama 3 minggu, kotrimoksazol (kombinasi 400 mg trimethoprim dan 80 mg
sulfametoksazol dengan dosis 2 x 2 tablet selama 14 hari. Obat lain yang dapat
diberikan adalah kloramfenikol, minosiklin, dan rifampisin.
Insisi dan aspirasi diindikasikan pada bubo dengan fluktuasi yang jelas. Tindakan
bedah untuk stadium lanjut antara lain pada elephantiasis labia dilakukan vulvektomi
lokal atau labiektomi, pada sindrom anorektal perlu tindakan dilatasi dengna bougie
terhadap striktur rekti dan jika telah terjadi obstruksi total perlu dilakukan kolostomi.
Pada sindrom inguinal dianjurkan untuk bed rest. Pengobatan topikal berupa kompres
terbuka jika abses telah pecah, dengan larutan permangans kalikus 1/5.000, dan mitra
seksual juga harus diobati.

VIII. Prognosis
Pada sindrom inguinal prognosis baik, sedangkan pada bentuk lanjut prognosisnya
buruk.

Daftar pustaka:
1. Djuanda, A. and Nilasari, H. (2016). Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin :
Limfogranuloma Venereum. 7th ed. Jakarta: FKUI, pp.484 - 487.
2. Kario Sentono, H. (2014). Infeksi Menular Seksual : Limfogranuloma Venereum.
4th ed. Jakarta: FK UI, pp.109 - 115.
3. S. Ishak, R. and H. Ghosn, S. (2012). Fitzpatrick's Dermatology in General
Medicine : Lymphogranuloma Venereum. 8th ed. New York: McGraw-Hill,
pp.2510-2514.

Você também pode gostar