Você está na página 1de 15

Aplikasi pendekatan transculural nursing pada

masalah gizi di komunitas / masyarakat

BAB I
KONSEP MODEL KEPERAWATAN TRANSKULTURAL

1. Pengertian Teori Transkultural Nursing


Transkultural Nursing adalah suatu area/wilayah keilmuwan budaya pada proses belajar dan
praktek keperawatan yang fokus memandang perbedaan dan kesamaan diantara budaya
dengan menghargai asuhan, sehat dan sakit didasarkan pada nilai budaya manusia,
kepercayaan dan tindakan, dan ilmu ini digunakan untuk memberikan asuhan keperawatan
khususnya budaya atau keutuhan budaya kepada manusia (Leininger, 2002).
Asumsi mendasar dari teori adalah perilaku Caring.
Caring adalah esensi dari keperawatan, membedakan, mendominasi serta mempersatukan
tindakan keperawatan. Tindakan Caring dikatakan sebagai tindakan yang dilakukan dalam
memberikan dukungan kepada individu secara utuh. Perilaku Caring semestinya diberikan
kepada manusia sejak lahir, dalam perkembangan dan pertumbuhan, masa pertahanan sampai
dikala manusia itu meninggal. Human caring secara umum dikatakan sebagai segala sesuatu
yang berkaitan dengan dukungan dan bimbingan pada manusia yang utuh. Human
caring merupakan fenomena yang universal dimana ekspresi, struktur dan polanya bervariasi
diantara kultur satu tempat dengan tempat lainnya.
1. Konsep dalam Transkultural Nursing
2. Budaya adalah norma atau aturan tindakan dari anggota kelompok yang dipelajari, dan
dibagi serta memberi petunjuk dalam berfikir, bertindak dan mengambil keputusan.
3. Nilai budaya adalah keinginan individu atau tindakan yang lebih diinginkan atau sesuatu
tindakan yang dipertahankan pada suatu waktu tertentu dan melandasi tindakan dan
keputusan.
4. Perbedaan budaya dalam asuhan keperawatan merupakan bentuk yang optimal daei
pemberian asuhan keperawatan, mengacu pada kemungkinan variasi pendekatan
keperawatan yang dibutuhkan untuk memberikan asuhan budaya yang menghargai nilai
budaya individu, kepercayaan dan tindakan termasuk kepekaan terhadap lingkungan dari
individu yang datang dan individu yang mungkin kembali lagi (Leininger, 1985).
5. Etnosentris adalah persepsi yang dimiliki oleh individu yang menganggap bahwa
budayanya adalah yang terbaik diantara budaya-budaya yang dimiliki oleh orang lain.
6. Etnis berkaitan dengan manusia dari ras tertentu atau kelompok budaya yang
digolongkan menurut ciri-ciri dan kebiasaan yang lazim.
7. Ras adalah perbedaan macam-macam manusia didasarkan pada
mendiskreditkan asal muasal manusia
8. Etnografi adalah ilmu yang mempelajari budaya. Pendekatan metodologi pada penelitian
etnografi memungkinkan perawat untuk mengembangkan kesadaran yang tinggi pada
perbedaan budaya setiap individu, menjelaskan dasar observasi untuk mempelajari
lingkungan dan orang-orang, dan saling memberikan timbal balik diantara keduanya.
9. Care adalah fenomena yang berhubungan dengan bimbingan, bantuan, dukungan
perilaku pada individu, keluarga, kelompok dengan adanya kejadian untuk memenuhi
kebutuhan baik aktual maupun potensial untuk meningkatkan kondisi dan kualitas
kehidupan manusia.
10. Caring adalah tindakan langsung yang diarahkan untuk membimbing,
mendukung dan mengarahkan individu, keluarga atau kelompok pada keadaan yang
nyata atau antisipasi kebutuhan untuk meningkatkan kondisi kehidupan manusia.
11. Cultural Care berkenaan dengan kemampuan kognitif untuk mengetahui nilai,
kepercayaan dan pola ekspresi yang digunakan untuk mebimbing, mendukung atau
memberi kesempatan individu, keluarga atau kelompok untuk mempertahankan
kesehatan, sehat, berkembang dan bertahan hidup, hidup dalam keterbatasan dan
mencapai kematian dengan damai.
12. Culturtal imposition berkenaan dengan kecenderungan tenaga kesehatan untuk
memaksakan kepercayaan, praktik dan nilai diatas budaya orang lain karena percaya
bahwa ide yang dimiliki oleh perawat lebih tinggi daripada kelompok lain.
1. Paradigma Transcultural Nursing
Leininger (1985) mengartikan paradigma keperawatan transcultural sebagai cara pandang,
keyakinan, nilai-nilai, konsep-konsep dalam terlaksananya asuhankeperawatan yang sesuai
dengan latar belakang budaya terhadap empat konsepsentral keperawatan yaitu : manusia,
sehat, lingkungan dan keperawatan (Andrew and Boyle, 1995).
1. Manusia
Manusia adalah individu, keluarga atau kelompok yang memiliki nilai-nilai dan norma-norma
yang diyakini dan berguna untuk menetapkan pilihan dan melakukan pilihan. Menurut
Leininger (1984) manusia memiliki
kecenderungan untuk mempertahankan budayanya pada setiap saat dimanapun dia berada
(Geiger and Davidhizar, 1995).
2. Sehat
Kesehatan adalah keseluruhan aktifitas yang dimiliki klien dalam mengisi kehidupannya,
terletak pada rentang sehat sakit. Kesehatan merupakan suatu keyakinan, nilai, pola kegiatan
dalam konteks budaya yang digunakan untuk menjaga dan memelihara keadaan
seimbang/sehat yang dapat diobservasi dalam aktivitas sehari-hari. Klien dan perawat
mempunyai tujuan yang sama yaitu ingin mempertahankan keadaan sehat dalam rentang
sehat-sakityang adaptif (Andrew and Boyle, 1995).
3. Lingkungan
Lingkungan didefinisikan sebagai keseluruhan fenomena yang mempengaruhi
perkembangan, kepercayaan dan perilaku klien. Lingkungan dipandangsebagai suatu totalitas
kehidupan dimana klien dengan budayanya saling berinteraksi. Terdapat tiga bentuk
lingkungan yaitu : fisik, sosial dan simbolik.Lingkungan fisik adalah lingkungan alam atau
diciptakan oleh manusia seperti daerah katulistiwa, pegunungan, pemukiman padat dan iklim
seperti rumah di daerah Eskimo yang hampir tertutup rapat karena tidak pernah ada matahari
sepanjang tahun. Lingkungan sosial adalah keseluruhan struktur sosial yang berhubungan
dengan sosialisasi individu, keluarga atau kelompok ke dalam masyarakat yang lebih luas. Di
dalam lingkungan sosial individu harus mengikuti struktur dan aturan-aturan yang berlaku di
lingkungan tersebut. Lingkungan simbolik adalah keseluruhan bentuk dan simbol yang
menyebabkan individu atau kelompok merasa bersatu seperti musik, seni, riwayat hidup,
bahasa dan atribut yang digunakan.
4. Keperawatan
Asuhan keperawatan adalah suatu proses atau rangkaian kegiatan pada praktik keperawatan
yang diberikan kepada klien sesuai dengan latar belakang budayanya. Asuhan keperawatan
ditujukan memandirikan individu sesuai dengan budaya klien. Strategi yang digunakan dalam
melaksanakan asuhan keperawatan(Leininger, 1991) adalah :
Strategi I, Perlindungan/mempertahankan budaya.
Mempertahankan budaya dilakukan bila budaya pasien tidak bertentangan dengan kesehatan.
Perencanaan dan implementasi keperawatan diberikan sesuai dengan nilai-nilai yang relevan
yang telah dimiliki klien sehingga klien dapat meningkatkan atau mempertahankan status
kesehatannya,misalnya budaya Berolah raga setiap pagi
Strategi II, Mengakomodasi/negoasiasi budaya.
Intervensi dan implementasi keperawatan pada tahap ini dilakukan untuk membantu klien
beradaptasi terhadap budaya tertentu yang lebih menguntungkan kesehatan. Perawat
membantu klien agar dapat memilih dan menentukan budaya lain yang lebih mendukung
peningkatan kesehatan, misalnya klien sedang hamil mempunyai pantang makan yang berbau
amis, maka ikan dapat diganti dengan sumber protein hewani yang lainnya.
Strategi III, Mengubah/mengganti budaya klien
Restrukturisasi budaya klien dilakukan bila budaya yang dimiliki merugikan status kesehatan.
Perawat berupaya merestrukturisasi gaya hidup klien yang biasanya merokok menjadi tidak
merokok. Pola rencana hidup yang dipilih biasanya yang lebih menguntungkan dan sesuai
dengan keyakinan yang dianut.

Hasil Literatur Review


Literatur review Journal yang berjudul Cultural Care Theory : A Major Contribution to
Advance Transcultural Nursing Knowledge and Practices. Penelitian ini dilakukan dengan
metode penelitian ethnonursing dengan pendekatan kuantitatif untuk mengembangkan enable
factor diantaranya sunririse model enable, orang asing yang dipercaya sebagai teman,
observasi, partisipasi dan refleksi, permintaan budaya, dan akulturasi budaya. Pendekatan
kualitatif digunakan untuk mengetahui kredibilitas, konfirmabilitas, pola berulang, saturasi,
dan pengalihan.
Hasil dari penelitian tersebut menyatakan bahwa teori perawatan transcultural mempunyai
kontribusi yang sangat penting dalam membangun dan mempertahankan disiplin ilmu
keperawatan. Dalam melakukan asuhan keperawatan, perawat tidak menutup kemungkinan
akan merawat orang dengan latar belakang yang berbeda dengan perawat tersebut. Perawat
perlu memahami budaya pasien dan beradaptasi, karena perbedaan budaya akan menjadi
sangat sensitif dan membutuhkan pemahaman yang baik.
Pengetahuan yang berbasis teori sangat diperlukan sebagai acuan utama atau perbandingan
dalam melakukan asuhan keperawatan dengan latar belakang budaya yang berbeda. Dalam
mengembangkan teori ini, Leininger menggunakan Sunrice Model untuk menggambarkan
faktor-faktor yang mempengaruhi kepercayaan budaya. faktor-faktor tersebut adalah agama,
politik, ekonomi, pandangan dunia, lingkungan, nilai-nilai budaya, sejarah, bahasa, jenis
kelamin, dll. Model ini digunakan dalam hubungannya dengan teori merupakan sarana yang
baik untuk pengetahuan baru dalam praktek keperawatan.
Perawatan yang memperhatikan budaya berkontribusi untuk mempertahankan dan
membangun teori dan praktek keperawatan. Kini teori budaya juga digunakan oleh disiplin
ilmu lain. Dengan berbagai temuan penelitian, keragaman budaya menjadi sesuatu yang
kompleks dan sensitif, sehingga membutuhkan pemahaman yang realistik.
BAB II
ANALISIS SITUASI MASALAH GIZI PADA BALITA
Peningkatan kualitas dan perikehidupan manusia dan masyarakat Indonesia perlu dilakukan
secara terus menerus sebagai perwujudan dari upaya pembangunan nasional, berlandaskan
kemampuan nasional dengan memanfaatkan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi serta
memperhatikan tantangan perkembangan global. Tujuan utamanya adalah meningkatkan
kualitas sumber daya manusia. Fokus pembangunan tidak terbatas pada pembangunan fisik
semata tetapi pembangunan nonfisik dengan konsep pembangunan manusia.
Keberhasilan pembangunan nasional suatu bangsa ditentukan oleh ketersediaan sumber daya
manusia yang berkualitas, yaitu yang memiliki fisik yang tangguh, mental yang kuat dan
kesehatan yang prima disamping penguasaan terhadap ilmu pengetahuan dan teknologi.
Sumber daya manusia yang berkualitas merupakan faktor penting dalam upaya meningkatkan
produktivitas dan daya saing bangsa pada persaingan global. Namun, ada banyak hal yang
dapat menyebabkan menurunnya kualitas sumber daya manusia dan salah satunya adalah
masalah gizi ganda..
Masalah gizi ganda adalah keadaan suatu populasi yang memiliki masalah kurang
gizi (undernutrition) dan masalah gizi lebih (overnutrition) yang terjadi pada saat yang
bersamaan. WHO (2005) mengemukakan bahwa ada 170 juta anak balita kurus di dunia, 3
juta diantaranya akan meninggal setiap tahunnya akibat kurus. Akan tetapi, WHO juga
memperkirakan setidaknya sebanyak 20 juta anak balita yang mengalami kegemukan.
Masalah gizi ganda merupakan masalah yang sedang dihadapi banyak negara, terutama
negara berkembang dan hal ini sangat mengancam kualitas sumber daya manusia suatu
bangsa
Demikian pula halnya Indonesia sebagai salah satu negara berkembang yang memiliki
masalah gizi ganda ditandai dengan adanya masalah kurang gizi dan gizi lebih yang masih
menjadi masalah kesehatan masyarakat. Berdasarkan Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas)
tahun 2007, gizi buruk (severe underweight) dan gizi kurang (moderate underweight) masih
menjadi masalah kesehatan masyarakat di banyak wilayah di Indonesia. Prevalensi nasional
gizi buruk pada anak balita adalah 5.4 persen, dan gizi kurang pada balita adalah 13.0 persen.
Setiap tahun kurang lebih 11 juta balita di seluruh dunia meninggal karena penyakit-penyakit
infeksi seperti ISPA, diare, malaria, campak, dan lain-lain. Ironisnya, sebanyak 54 persen dari
kematian tersebut berkaitan dengan kurang gizi (Hadi, dalam IPB, 2007). Hal ini
menunjukkan bahwa permasalahan gizi merupakan salah satu masalah yang mengancam bagi
masyarakat. Balita yang kurang gizi mempunyai risiko meninggal lebih tinggi dibandingkan
balita yang tidak kurang gizi. Kondisi kurang gizi akan mempengaruhi pertumbuhan fisik,
tingkat kesakitan, tingkat kematian, perkembangan kognitif, reproduksi, dan kemampuan
kerja fisik.
Sementara itu, gizi lebih mulai menjadi masalah di berbagai wilayah di Indonesia. Prevalensi
nasional gizi lebih pada anak balita adalah 4.3 persen. Masalah gizi lebih pada anak-anak
merupakan salah satu masalah yang sedang mendapat perhatian banyak negara. Setengah dari
anak yang mengalami kelebihan berat badan atau obesitas akan tumbuh menjadi orang
dewasa yang obesitas. Seperti telah diketahui, obesitas merupakan faktor risiko berbagai
masalah kesehatan kronis seperti diabetes tipe 2, penyakit jantung koroner, hipertensi, dan
berbagai jenis kanker (IPB, 2007).
Terdapat beberapa propinsi yang memiliki prevalensi kurang gizi dan gizi lebih secara
bersamaan melampaui prevalensi nasional yaitu Sumatera Utara, Jambi, Kalimantan Barat,
Kalimantan Timur, Maluku dan Papua. Menurut FAO (dalam IPB, 2007), tingginya angka
kurang gizi dan gizi lebih seringkali dianggap sebagai isu yang terpisah antara masyarakat
miskin dan kaya tapi pada kenyataannya keduanya meningkat sejalan dengan meningkatnya
kemiskinan. Fenomena ini yang kemudian berkembang menjadi masalah gizi ganda yang
umumnya terjadi di negara-negara berkembang.
Riskesdas (2007), memberikan gambaran bahwa prevalensi kurang gizi berbeda antara di
perdesaan dengan di perkotaan, demikian pula dengan prevalensi gizi lebih. Prevalensi
kurang gizi (gizi kurang dan gizi buruk) di perdesaan sebesar 20.0 persen sedangkan di
perkotaan sebesar 16.9 persen. Sementara itu prevalensi gizi lebih di perdesaan sebesar 3.9
persen dan di perkotaan 4.9 persen. Kondisi ini memberikan gambaran bahwa ada fenomena
penyebab yang berbeda antara masyarakat kota dan masyarakat pedesaan.
Banyak faktor yang dapat mempengaruhi terjadinya masalah gizi bagi balita. Budianto (2001)
menyebutkan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi status gizi pada balita adalah program
pemberian makanan tambahan, tingkat pendapatan keluarga, pemeliharaan kesehatan, pola
asuh keluarga dan kesehatan lingkungan. Sedangkan Persatuan Ahli Gizi Indonesia
(PERSAGI) telah merumuskan faktor-faktor yang menyebabkan gizi kurang yaitu penyebab
langsung dan penyebab tidak langsung. Penyebab langsung berupa asupan makanan yang
kurang dan penyakit infeksi. Penyebab tidak langsung terdiri dari: sanitasi, penyediaan air
bersih, kebiasaan cuci tangan dengan sabun, buang air besar di jamban, tidak merokok dan
memasak di dalam rumah, persediaan makanan dirumah/ketahanan pangan keluarga,
perawatan anak/pola asuh anak, dan pelayanan kesehatan.
Berdasarkan Riskesdas 2010, sebagian besar rumah tangga di !ndonesia masih menggunakan
air yang tidak bersih (45 persen) dan sarana pembuangan kotoran yang tidak aman (49
persen). Minimal satu dari setiap empat rumah tangga dalam dua kuintil termiskin masih
melakukan buang air besar di tempat terbuka. Perilaku tersebut berhubungan dengan penyakit
diare, yang selanjutnya berkontribusi terhadap gizi kurang. Pada tahun 2007, diare
merupakan penyebab dari 31 persen kematian pada anak-anak di !ndonesia antara usia 1
sampai 11 bulan, dan 25 persen kematian pada anak-anak antara usia satu sampai empat
tahun.
Berbagai penelitian juga telah membuktikan bahwa masalah gizi adalah masalah
intergenerasi, yaitu ibu hamil kurang gizi akan melahirkan bayi kurang gizi. Pada hakekatnya
masalah gizi dapat diselesaikan dalam waktu yang relative singkat. Intervensi paket kegiatan
untuk mengatasi masalah tersebut yang dilaksanakan melalui pelayanan berkelanjutan
(continuum care), yaitu sejakjanin dalam kandungan dan bayi baru lahir sampai berusia 2
tahun. Di Brazil, prevalensi pendek pada anak balita menurun lebih dari 30 persen yaitu dari
37 persen pada tahun 1974 menjadi 7 persen pada tahun 2007 dengan melakukan empat
prioritas penanganan, yaitu : 1) akses pelayanan keshatan dan gizi yang berkelanjutan bagi
ibu dan anak; 2) akses pendidikan dan informasi pada remaja putri dan perempuan; 3)
cakupan penyediaan air dan sanitasi; serta 4) peningkatan daya beli keluarga (Crookston, et
all dalam Bappenas, 2011).
Tantangan yang dialami di Indonesia saat ini adalah karena adanya disparitas kemiskinan,
pendidikan dan pengetahuan antar wilayah dan antar penduduk yang harus dihadapi dengan
strategi yang berbeda. Indonesia menerapkan program berorientasi aksi yang terstruktur dan
terintegratif dalam rencana 5 pilar aksi yaitu perbaikan gizi masyarakat, peningkatan
aksesibilitas pangan, peningkatan pengawasan mutu dan keamananpangan, peningkatan
perilaku hidup bersih dan sehat serta penguatan kelembagaan pangan dan gizi. Dengan
kerangka pikir implementasi yang jelas semua kegiatan terkait pangan dan gizi di seluruh
kabupaten dan kota akan terkoordinasi agar terjadi sinergi upaya yang berfokus pada
kelompok rawan dan kelompok rentan sehingga dapat memutus mata rantai masalah gizi
dalam daur kehidupan. Hasil yang diharapkan adalah menjembatani pencapaian MDGs yang
telah disepakati dlaam RPJMN 2010-2014 yaitu menurunnya prevalensi gizi kurang anak
balita menjadi 15,5 persen, mennurunnya prevalensi pendek pada anak balita menjadi 32
persen dan tercapainya konsumsi pangan dengan asupan kalori 2000 Kkal/orang/hari.
Keperawatan sebagai salah bagian dalam sistem pelayanan kesehatan memiliki metode yang
dapat dikembangkan untuk melakukan pendekatan dan merumuskan strategi intervensi yang
tepat. Dengan melihat bahwa penyebab langsung masalah gizi yaitu asupan yang kurang dan
penyakit infeksi, maka hal ini tidak terlepas dari nilai-nilai yang dianut keluarga dalam
mengasuh balita. Nilai dan budaya yang dianut dalam mengasuh balita sering merupakan
kebiasaan yang bersifat turun temurun dan merupakan suatu budaya yang melekat dalam
suatu generasi keluarga. Oleh karena itu akan sangat tepat jika pendekatan dan strategi yang
digunakan untuk mengatasi masalah gizi juga dilakukan dengan menggunakan pendekatan
yang sangat memperhatikan prinsip-prinsip budaya. Salah satu model yang digunakan dan
dikembangkan adalah menggunakan pendekatan transkultural dengan menggunakan sunrise
model yang dikembangkan oleh Leininger.

BAB III
APLIKASI model keperawatan Transkultural pada
pengelolaan AGREGAT BALITA DENGAN MASALAH GIZI DI KOMUNITAS

Transkultural Nursing adalah suatu area/wilayah keilmuwan budaya pada proses belajar dan
praktek keperawatan yang fokus memandang perbedaan dan kesamaan diantara budaya
dengan menghargai asuhan, sehat dan sakit didasarkan pada nilai budaya manusia,
kepercayaan dan tindakan, dan ilmu ini digunakan untuk memberikan asuhan keperawatan
khususnya budaya atau keutuhan budaya kepada manusia (Leininger, 2002).
Caring adalah esensi dari keperawatan, membedakan, mendominasi serta mempersatukan
tindakan keperawatan. Tindakan Caring dikatakan sebagai tindakan yang dilakukan dalam
memberikan dukungan kepada individu secara utuh. Perilaku Caring semestinya diberikan
kepada manusia sejak lahir, dalam perkembangan dan pertumbuhan, masa pertahanan sampai
dikala manusia itu meninggal. Human caring secara umum dikatakan sebagai segala sesuatu
yang berkaitan dengan dukungan dan bimbingan pada manusia yang utuh. Human
caring merupakan fenomena yang universal dimana ekspresi, struktur dan polanya bervariasi
diantara kultur satu tempat dengan tempat lainnya.
Beberapa hal yang mendasari penggunaan sunrise model sebagai pendekatan dalam
mengatasi permasalahan gizi pada balita di masyarakat adalah :
1. Penyebab permasalahan gizi terkait erat dengan kebiasaan dan budaya keluarga dalam
mengasuh balita.
2. Setiap keluarga cenderung memiliki budaya yang berbeda dalam mengasuh balita
sehingga pendekatan dengan mengeksplorasi budaya yang dimiliki keluarga dirasa akan
tepat untuk menentukan jenis intervensi yang dapat dilakukan
3. Masalah gizi merupakan suatu keadaan yang sering bersifat relatif dalam masyarakat dan
sangat dipengaruhi oleh sistem nilai dan budaya yang dianut. Artinya bagi sebagian
masyarakat kondisi balita dengan masalah gizi merupakan keadaan yang harus diatasi
dan bagi sebagian lain masalah ini merupakan masalah yang nantinya akan teratasi
dengan sendirinya sesuai dengan perkembangan usia. Melalui pendekatan sunrise
model maka akan dapat digali sistem nilai dan budaya yang dianut sehingga dapat
dilakukan intervensi dengan tepat.
4. Cultural Care dalam sunrise model berkenaan dengan kemampuan kognitif untuk
mengetahui nilai, kepercayaan dan pola ekspresi yang digunakan untuk mebimbing,
mendukung atau memberi kesempatan individu, keluarga atau kelompok untuk
mempertahankan kesehatan, sehat, berkembang dan bertahan hidup, hidup dalam
keterbatasan dan mencapai kematian dengan damai. Hal ini akan memungkinkan
keluarga dapat lebih menerima setiap intervensi yang dirumuskan bersama karena
memiliki kedekatan dengan budaya yang dianut.
Selain beberapa hal yang mendasari, terdapat pula kelebihan dan kekurangan dalam
penggunaan model ini. Kelebihan yang dapat diperoleh jika model ini diterapkan dalam
penanganan masalah gizi pada balita yaitu :
1. Dapat diperolehnya kondisi terkait faktor penyebab masalah gizi secara lebih mendalam
2. Alternatif strategi yang digunakan memungkinkan adanya negosiasi solusi yang
membuat keluarga tetap bisa memegang budaya namun pada saat yang sama bisa
mengatasi permasalahan yang dihadapi.
Adapun kekurangan dari model ini adalah :
1. Model ini belum dapat berdiri sendiri secara penuh dalam penerapannya di keperawatan
komunitas, sehingga memerlukan model lain dalam perumusan intervensi khususnya
bagi masyarakat
2. Model ini belum memiliki rumusan diagnosa yang spesifik untuk penerapan di
masyarakat
3. Cenderung memerlukan waktu yang lebih lama dalam pengkajian dan pelaksanaan
intervensi
Strategi yang digunakan dalam melaksanakan asuhan keperawatan (Leininger, 1991) adalah :
Strategi I, Perlindungan/mempertahankan budaya.
Mempertahankan budaya dilakukan bila budaya para orangtua dari agregat balita tidak
bertentangan dengan kesehatan. Perencanaan dan implementasi keperawatan diberikan sesuai
dengan nilai-nilai yang relevan yang telah dimiliki para orangtua dari agregat balita sehingga
para orangtua dari agregat balita dapat meningkatkan atau mempertahankan status
kesehatannya,misalnya budaya dalam hal makan
Strategi II, Mengakomodasi/negoasiasi budaya
Intervensi dan implementasi keperawatan pada tahap ini dilakukan untuk membantu para
orangtua dari agregat balita beradaptasi terhadap budaya tertentu yang lebih menguntungkan
kesehatan. Perawat membantu para orangtua dari agregat balita agar dapat memilih dan
menentukan budaya lain yang lebih mendukung peningkatan kesehatan, misalnya para
orangtua dari agregat balita mempunyai pantang makan yang berbau amis, maka ikan dapat
diganti dengan sumber protein hewani yang lainnya.
Strategi III, Mengubah/mengganti budaya para orangtua dari agregat balita
Restrukturisasi budaya para orangtua dari agregat balita dilakukan bila budaya yang dimiliki
merugikan status kesehatan balita. Perawat berupaya merestrukturisasi gaya hidup para
orangtua dari agregat balita, misalnya terkait tabu makanan. Pola rencana hidup yang dipilih
biasanya yang lebih menguntungkan dan sesuai dengan keyakinan yang dianut.
Proses keperawatan Transcultural Nursing
Model konseptual yang dikembangkan oleh Leininger dalam menjelaskan asuhan
keperawatan dalam konteks budaya digambarkan dalam bentuk matahari terbit (Sunrise
Model). Geisser (1991) menyatakan bahwa proses keperawatan ini digunakan oleh perawat
sebagai landasan berfikir dan memberikan solusi terhadap masalah klien (Andrew and Boyle,
1995).
1. Pengkajian
Pengkajian adalah proses mengumpulkan data untuk mengidentifikasi masalah kesehatan
klien sesuai dengan latar belakang budaya klien (Giger and Davidhizar, 1995). Pengkajian
dirancang berdasarkan 7 komponen yang ada pada “Sunrise Model” yaitu :
1. Faktor teknologi (tecnological factors)
Teknologi kesehatan memungkinkan individu untuk memilih atau mendapat penawaran
menyelesaikan masalah dalam pelayanan kesehatan. Berkenaan dengan masalah gizi maka
perawat perlu mengkaji : persepsi keluarga tentang sehat sakit, kebiasaan berobat atau
mengatasi masalah kesehatan, alasan mencari bantuan kesehatan, alasan klien memanfaatkan
hasil tekhnologi dalam memenuhi kebutuhan nutrisi balita dan pemanfaatan teknologi untuk
mengatasi permasalahan kesehatan saat ini.
1. Faktor agama dan falsafah hidup (religious and philosophical factors)
Agama adalah suatu simbol yang mengakibatkan pandangan yang amat realistis bagi para
pemeluknya. Agama memberikan motivasi yang sangat kuat untuk menempatkan kebenaran
di atas segalanya, bahkan di atas kehidupannya sendiri. Faktor agama yang harus dikaji oleh
perawat adalah : agama yang dianut, status pernikahan, cara pandang klien terhadap kondisi
dan penyebab masalah gizi, cara pengobatan dan kebiasaan agama yang berdampak positif
terhadap kesehatan.
1. Faktor sosial dan keterikatan keluarga (kinship and social factors)
Perawat pada tahap ini harus mengkaji faktor-faktor : nama lengkap, nama panggilan, umur
dan tempat tanggal lahir, jenis kelamin, status, tipe keluarga, pengambilan keputusan dalam
keluarga, jumlah anggota keluarga, kebiasaan-kebiasaan khusus yang dimiliki oleh keluarga
dan hubungan klien dengan kepala keluarga.
1. Nilai-nilai budaya dan gaya hidup (cultural value and life ways)
Nilai-nilai budaya adalah sesuatu yang dirumuskan dan ditetapkan oleh penganut budaya
yang dianggap baik atau buruk. Norma-norma budaya adalah suatu kaidah yang mempunyai
sifat penerapan terbatas pada penganut budaya terkait. Yang perlu dikaji pada faktor ini
adalah : posisi dan jabatan yang dipegang oleh kepala keluarga, bahasa yang digunakan,
kebiasaan makan dalam keluarga, makanan yang dipantang dalam keluarga dan masyarakat,
kebiasaan yang dianut dalam merawat balita, kebiasaan dalam mengolah makanan hingga
kebiasaan cara penyajian makanan bagi balita. Selain itu perlu dikaji pula tentang kebiasaan
yang dilakukan oleh keluarga jika balita mengalami kesulitan dalam hal asupan makanan.
1. Faktor kebijakan dan peraturan yang berlaku (political and legal factors)
Kebijakan dan peraturan rumah sakit yang berlaku adalah segala sesuatu yang mempengaruhi
kegiatan individu dalam asuhan keperawatan lintas budaya (Andrew and Boyle, 1995). Yang
perlu dikaji pada tahap ini adalah : peraturan dan kebijakan yang berkaitan dengan
penyediaan makanan bergizi, sumber daya dari pemerintah yang dapat dimanfaatkan keluarga
untuk mengatasi masalah gizi yang dialami.
1. Faktor ekonomi (economical factors)
Faktor ekonomi merupakan salah satu factor yang mungkin akan memberikan kontribusi
terhadap pola pengasuhan balita. Faktor ekonomi yang harus dikaji oleh perawat diantaranya
: pekerjaan kepala keluarga, sumber penghasilan keluarga, besarnya penghasilan keluarga,
tabungan yang dimiliki oleh keluarga, biaya dan sumber lain misalnya asuransi,.
1. Faktor pendidikan (educational factors)
Latar belakang pendidikan klien adalah pengalaman klien dalam menempuh jalur pendidikan
formal tertinggi saat ini. Semakin tinggi pendidikan klien maka keyakinan klien biasanya
didukung oleh bukti-bukti ilmiah yang rasional dan individu tersebut dapat belajar
beradaptasi terhadap budaya yang sesuai dengan kondisi kesehatannya. Hal yang perlu dikaji
pada tahap ini adalah : tingkat pendidikan klien, jenis pendidikan serta kemampuannya untuk
belajar secara aktif mandiri tentang pengalaman sakitnya sehingga tidak terulang kembali.
Prinsip-prinsip pengkajian budaya:
1. jangan menggunakan asumsi
2. jangan membuat streotip bisa terjadi konflik misal: orang padang pelit, orang jawa halus
3. menerima dan memahami metode komunikasi
4. menghargai perbedaan individual
5. mengahargai kebutuhan personal dari setiap individu
6. tidak beleh membeda-bedakan keyakinan klien
7. menyediakn privacy terkait kebutuhan pribadi
2. Diagnosa keperawatan
Diagnosa keperawatan adalah respon klien sesuai latar belakang budayanya yang dapat
dicegah, diubah atau dikurangi melalui intervensi keperawatan. (Giger and Davidhizar,
1995). Terdapat tiga diagnosakeperawatan yang sering ditegakkan dalam asuhan keperawatan
transkultural yaitu : gangguan komunikasi verbal berhubungan dengan perbedaan kultur,
gangguan interaksi sosial berhubungan disorientasi sosiokultural dan ketidakpatuhan dalam
pengobatan berhubungan dengan sistem nilai yang diyakini.
3. Perencanaan dan Pelaksanaan
Perencanaan dan pelaksanaan dalam keperawatan trnaskultural adalah suatu proses
keperawatan yang tidak dapat dipisahkan. Perencanaan adalah suatu proses memilih strategi
yang tepat dan pelaksanaan adalah melaksanakan tindakan yang sesuai denganlatar belakang
budaya klien (Giger and Davidhizar, 1995). Ada tiga pedoman yang ditawarkan dalam
keperawatan transkultural (Andrew and Boyle, 1995) yaitu : mempertahankan budaya yang
dimiliki klien bila budaya klien tidak bertentangan dengan kesehatan, mengakomodasi
budaya klien bila budaya klien kurang menguntungkan kesehatan dan merubah budaya klien
bila budaya yang dimiliki klien bertentangan dengan kesehatan.
1. Cultural care preservation/maintenance / Mempertahankan budaya.
Mempertahankan budaya dilakukan bila budaya pasien tidak bertentangan dengan kesehatan.
Perencanaan dan implementasi keperawatan diberikan sesuai dengan nilai-nilai yang relevan
yang telah dimiliki klien sehingga klien dapat meningkatkan atau mempertahankan status
kesehatannya, misalnya budaya berolahraga setiap pagi. Beberapa hal yang dapat dilakukan :
 Identifikasi perbedaan konsep antara klien dan perawat tentang proses melahirkan dan
perawatan bayi
 Bersikap tenang dan tidak terburu-buru saat berinterkasi dengan klien
 Mendiskusikan kesenjangan budaya yang dimiliki klien dan perawat
1. Cultural careaccomodation/negotiation /Negosiasi budaya
Intervensi dan implementasi keperawatan pada tahap ini dilakukan untuk membantu klien
beradaptasi terhadap budaya tertentu yang lebih menguntungkan kesehatan. Perawat
membantu klien agar dapat memilih dan menentukan budaya lain yang lebih mendukung
peningkatan kesehatan, misalnya klien sedang hamil mempunyai pantang makan yang berbau
amis, maka ikan dapat diganti dengan sumber protein hewani yang lain. Beberapa langkah
yang dapat dilakukan :
 Gunakan bahasa yang mudah dipahami oleh klien
 Libatkan keluarga dalam perencanaan perawatan
 Apabila konflik tidak terselesaikan, lakukan negosiasi dimana kesepakatan berdasarkan
pengetahuan biomedis, pandangan klien dan standar etik.
1. Cultual care repartening/reconstruction /Restrukturisasi budaya
Restrukturisasi budaya klien dilakukan bila budaya yang dimiliki merugikan status kesehatan.
Perawat berupaya merestrukturisasi gaya hidup klien yang biasanya merokok menjadi tidak
merokok. Pola rencana hidup yang dipilih biasanya yang lebih menguntungkan dan sesuai
dengan keyakinan yang dianut. Beberapa langkah yang dapat dilakukan :
 Beri kesempatan pada klien untuk memahami informasi yang diberikan dan
melaksanakannya
 Tentukan tingkat perbedaan pasien melihat dirinya dari budaya kelompok
 Gunakan pihak ketiga bila perlu
 Terjemahkan terminologi gejala pasien ke dalam bahasa kesehatan yang dapat dipahami
oleh klien dan orang tua
 Berikan informasi pada klien tentang sistem pelayanan kesehatan
Perawat dan klien harus mencoba untuk memahami budaya masing-masing melalui proses
akulturasi, yaitu proses mengidentifikasi persamaan dan perbedaan budaya yang akhirnya
akan memperkaya budaya budaya mereka. Bila perawat tidak memahami budaya klien maka
akan timbul rasa tidak percaya sehingga hubungan terapeutik antara perawat dengan klien
akan terganggu. Pemahaman budaya klien amat mendasari efektifitas keberhasilan
menciptakan hubungan perawat dan klien yang bersifat terapeutik.
4. Evaluasi
Evaluasi asuhan keperawatan transkultural dilakukan terhadap keberhasilan klien tentang
mempertahankan budaya yang sesuai dengan kesehatan, mengurangi budaya klien yang tidak
sesuai dengan kesehatan atau beradaptasi dengan budaya barn yang mungkin sangat
bertentangan dengan budaya yang dimiliki klien. Melalui evaluasi dapat diketahui asuhan
keperawatan yang sesuai dengan latar belakang budaya klien.
DAFTAR PUSTAKA

Andrew . M & Boyle. J.S, (1995), Transcultural Concepts in Nursing Care, 2nd
Ed,Philadelphia, JB Lippincot Company
Cultural Diversity in Nursing, (1997), Transcultural Nursing ; Basic Concepts andCase
Studies, Ditelusuri tanggal 20 Maret 2011 dari
http://www.google.com/rnc.org/transculturalnursing
Fitzpatrick. J.J & Whall. A.L, (1989), Conceptual Models of Nursing : Analysis
and Application, USA, Appleton & Lange
Giger. J.J & Davidhizar. R.E, (1995), Transcultural Nursing : Assessment and Intervention,
2nd Ed, Missouri , Mosby Year Book Inc
Gunawijaya, J ( 2010), Kuliah umum tentang budaya dan perspektif transkultural dalam
keperawatan Mata ajar KDK II 2010, semester genap FIK-UI
Institut Pertanian Bogor (2007), Makalah Determinan Masalah Gizi Di Indonesia, IPB,
Bogor
Iskandar, R ( 2010), Aplikasi teori trancultural nursing dalam proses keperawatan , dimbil
dari
Iyer. P.W, Taptich. B.J, & Bernochi-Losey. D, (1996), Nursing Process and
NursingDiagnosis, W.B Saunders Company, Philadelphia
Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (2011), Rencana Aksi Nasional Pangan dan Gizi
2011 – 2015, Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional, Jakarta
Kementerian Kesehatan RI (2007), Riset Kesehatan Dasar 2007, Jakarta
Kementerian Kesehatan RI (2010), Riset Kesehatan Dasar 2010, Jakarta
Koentjaraningrat (1990), Pengantar ilmu antropologi, Jakarta: Rineka cipta
Leininger. M & McFarland. M.R, (2002), Transcultural Nursing : Concepts,
Theories, Research and Practice, 3rd Ed, USA, Mc-Graw Hill
Companies
Leininger, M. Cultural Care Theory : A Major Contribution to Advance Transcultural
Nursing Knowledge and Practices . Juli 2012. http://tcn.sagepub.com/content/13/3/189
Royal College of Nursing (2006), Transcultural Nursing Care of Adult ; Section
OneUnderstanding The Theoretical Basis of Transcultural Nursing Care Ditelusuri tanggal
20 Maret 2011 dari http://www.google.com/rnc.org/transcultural nursing

__________________________, Transcultural Nursing Care of Adult ; Section


TwoTranscultural NursingModels ; Theory and Practice, Ditelusuri tanggal 20 Maret 2011
dari http://www.google.com/rnc.org/transcultural nursing

Você também pode gostar