Você está na página 1de 4

Masyarakat Mulai Muak Pada Hoaks

Polisi mengatakan Pemilu dan Pilpres 2019 dibayangi oleh peredaran hoaks atau kabar sesat. Tahun politik
membuat para pengguna internet menjadi sasaran empuk para penyebar hoaks. Di sisi lain, masyarakat pun mulai
muak pada peredaran hoaks.
Hal itu tercermin dalam hasil riset Lingkaran Survei Indonesia (LSI) Denny JA yang dilansir pada Selasa
(23/10/2018).
Survei melepas pertanyaan tertutup (hanya butuh jawaban ya atau tidak atau abstain): "Apakah Ibu/Bapak khawatir
atau tidak khawatir berita hoax dapat memperkeruh suasana demokrasi di Indonesia? 75 persen responden pun
menjawab "khawatir".
Lantas dari pertanyaan lain, 74,5 persen masyarakat pun ingin media sosial dibersihkan dari peredaran hoaks.
"Mereka yang setuju bahwa media sosial harus dibersihkan dari hoaks merata di semua segmen pemilih," ujar
Denny dalam Antaranews.
Segmen pemilih itu diklasifikasi berdasarkan jenis pltaform media sosial (Twitter, WhatsApp, Facebook, dan
Instagram); pilihan capres-cawapres; pilihan partai politik; dan rentang pendapatan dari di bawah Rp1 juta hingga
di atas Rp3 juta.
Survei ini digalang pada 10 hingga 19 Oktober 2018. Jumlah responden mencapai 1.200 orang dengan teknik
wawancara tatap muka dengan menggunakan kuesioner. Sedangkan margin of error mencapai 2,8 persen.
Peredaran hoaks, terutama di media sosial, memang makin merajalela. Agustus lalu, Direktur Riset Polmark
Research Centre Eko Bambang Subiyantoro menyatakan 60,8 pemilih pengguna media sosial terpapar oleh kabar
sesat dan bohong.
Praktik ini, tutup Eko dalam Viva.co.id (29/8), sudah berlangsung sejak Pilkada DKI Jakarta 2017 lalu. Sebanyak
21,2 persen responden atau pemilih menggunakan media sosial dan sering menemukan berita fitnah.
"Hanya intensitas saja yang berbeda - beda," Eko menambahkan.
Belum lama ini pun pasangan capres-cawapres Prabowo Subianto- Sandiaga Uno dilanda isu hoaks yang dibuat
oleh mantan anggota tim pemenangannya, Ratna Sarumpaet. Belakangan Ratna mengakui bahwa kabar
penganiayaan yang diceritakan kepada Prabowo adalah bohong belaka.
Ironisnya, pemerintah seolah terlambat mengantisipasi peredaran hoaks. Menteri Komunikasi dan Informasi,
Rudiantara, menyatakan sedang menyiapkan sanksi bagi Facebook, Twitter, dan Instagram jika membiarkan
peredaran hoaks.
Rudiantara menegaskan sedang menyiapkan revisi Peraturan Pemerintah Nomor 82 tahun 2012 tentang
Penyelenggaraan Sistem dan Transaksi Elektronik. Setelah direvisi, pemerintah akan menurunkannya dalam
peraturan menteri.
Peredaran hoaks menjelang pemilu memang bukan hanya terjadi di Indonesia, tapi hampir terjadi di seluruh dunia.
Di Brasil, menurut Poynter (12/10), peredaran hoaks sudah memuakkan masyarakat dan membuat paranoid.
Sementara Presiden AS Donald Trump disebut sebagai pionir peredaran hoaks saat melakoni kampanye pemilu
pada 2016. Dari sini, praktik peredaran hoaks mulai lazim.
Namun, sejumlah negara juga sudah menyiapkan penangkal. Salah satu negara, Jerman, memiliki penangkal paling
kuat dalam bentuk undang-undang anti-ujaran kebencian bernama Net Enforcement Act (NetzDG).
Menurut NetzDG; pelanggaran hukum mencakup pencemaran nama baik, menyebar hoaks secara sadar,
menghasut, dan mengancam ketenangan publik.
Pelanggaran termasuk menyebar materi rasis dan pornografi hingga hal-hal yang merugikan keamanan eksternal
Jerman. Regulasi tersebut pun mewajibkan media sosial; terutama Facebook, Twitter, dan Youtube, untuk segera
menghapus atau memblokir berbagai unggahan yang melanggar hukum paling lama dalam sepekan.
Namun, regulasi ala NetzDG ini bukannya tanpa kritik meski telah diadopsi beberapa negara lain. UU ini dinilai
bisa membungkam kebebasan berpendapat. Alhasil politisi Jerman pun sedang mencari cara untuk bisa
memulihkan konten daring yang dihapus tanpa mempertimbangkan kebenaran.
Rudiantara kebetulan menggunakan Jerman sebagai contoh. Ia akan menekan platform media sosial untuk
bertindak jika ada hoaks.
"Mereka tidak boleh melakukan pembiaran atas penyebaran hoaks, kalau mereka melakukan pembiaran, nah akan
kita kenakan tindakan tentunya," ujar Rudiantara dikutip Liputan6.com, Minggu (21/10).
Dan sebenarnya para pengelola layanan media sosial pun sudah memiliki sikap untuk menangkal peredaran hoaks.
Twitter dan Facebook cukup aktif melakukannya meski hasilnya belum signfikan.
Menurut Free Press, para pemilik layanan media sosial belum cukup giat melakukannya. Mereka seharusnya
menyandang sikap perang terhadap kontek hoaks dan pemerintah juga harus sangat tegas terhadap pemiliki
layanan tersebut bila membiarkan peredaran hoaks atau berita palsu (fake news).
Bullying, Masalah Sederhana Yang Tak Bisa Dipandang Sebelah Mata

Percaya atau tidak, masalah sesederhana apapun kalau tidak ditanggapi dengan serius pasti akan
menghasilkan dampak atau efek yang luar biasa. Bullyingadalah salah satunya. Siapa sangka, ada orang yang rela
mengakhiri hidupnya karena di-bully. Mengerikan bukan? Tapi jangan khawatir, semua permasalahan selalu ada
solusinya, begitupula dengan bullying, untuk mengetahuinya lebih lanjut, mari kita simak hasil wawancara
bersama Nurlita Endah Karunia SPsi MPsi selaku dosen psikologi Universitas Surabaya.
“Bullying merupakan salah satu bentuk kekerasan yang dilakukan oleh satu atau sekelompok orang
dengan sengaja melakukan tindakan-tindakan yang bersifat negatif secara berulang kali yang tujuannya adalah
menyakiti, merendahkan, atau menjatuhkan harga diri orang lain. Bullying ini terjadi karena ada kesenjangan
power/kekuatan antara pelaku dan korbannya”. tutur dosen psikologi Ubaya yang akrab disapa ‘Lita’ ini.
Bentuk bullying juga sangat beragam, mulai dari bentuk fisik seperti pukulan, verbal seperti ejekan, memaki-maki;
maupun psikologis seperti pengabaian atau mengisolasi orang lain. Ada banyak faktor yang menyebabkan
seseorang melakukan perilaku bullying, salah satunya adalah karena memiliki pengalaman masa lalu yang sama.
Korban bullying dapat berubah menjadi pelaku bullyingapabila kondisinya memungkinkan.
“Kalau kita lihat, kan sekarang masih ada beberapa kegiatan yang menggunakan kekerasan untuk kegiatan
penerimaan anggota baru. Dan biasanya hal tersebut akan menjadi siklus, junior yang dulunya pernah mengalami
bullying akan melakukan hal yang sama ke juniornya lagi, karena ketika ia melakukan itu, ia merasa percaya diri
karena mereka bisa menguasai orang lain,” tambahnya.
Selain pengalaman masa lalu, orang tua juga memegang peranan penting dalam perilaku bullying. Hal ini karena
pola asuh orang tua yang sangat otoriter dan sering menggunakan hukuman fisik akan membuat perilaku tersebut
ditiru anak dan dipraktekkan di lingkungannya dan teman-temannya. Tidak hanya itu, orang tua juga harus
mendampingi anak-anak saat menonton televisi, karena sebenarnya perilaku bullying sudah ditunjukkan melalui
kartun-kartun yang sering ditonton di televisi.
“Contohnya film Doraemon, di sana kita bisa melihat karakter Giant menunjukkan perilaku yang
membully Nobita seperti memukul, mengancam, dan tidak mau berteman dengan Nobita. Di sini anak-anak yang
menonton kartun tersebut dengan tanpa dampingan orang tua, bisa jadi akan meniru perilaku Giant, karena
mengidolakannya tanpa mengetahui bahwa tindakan bullying adalah tindakan yang tidak terpuji,” tuturnya dengan
semangat.
Dampak bullyingpun sangat beragam mulai dari dampak yang sangat ringan seperti takut datang ke
sekolah, prestasi sekolah menurun hingga sangat parah, suicide misalnya. Keberagaman itu disebabkan oleh
berbagai faktor, antara lain social support yang diterima dari orang tua maupun lingkungan, bentuk bullying yang
diterima anak, maupun karakteristik anak itu sendiri.
“Ada kasus anak dibully dengan cara diledek dan itu sangat berpengaruh dalam hidupnya karena ia tidak
mendapatkan social support yang cukup dari orang tua maupun lingkungannya. Begitupula ada kasus yang
sebaliknya, dimana korban bisa membela dirinya lantaran mempunyai social support yang besar dari keluarga. Jadi
dampak bullyingitu sangatlah beragam,” tegasnya.
Karena itu, orang tua harus mendidik anak agar berdaya dan mandiri sejak dini, agar anak punya rasa
percaya diri yang baik sehingga anak tidak mudah dimanipulasi oleh orang lain. Salah satu cara yang bisa
dilakukan para orang tua adalah dengan memasukkan anak ke berbagai aktivitas, karena dengan mengikuti
aktivitas tersebut akan menimbulkan perasaan mampu, dan percaya diri pada dirinya. Selain itu, orang tua juga
harus awarepada segala sesuatu yang terjadi pada sang buah hati, sehingga apabila ada suatu permasalahan, orang
tua bisa mendeteksinya sejak dini, dan menyelesaikannya.
“Perilaku bullying bisa dihilangkan dan pastinya penghilangan bullyingtersebut memerlukan kerjasama
berbagai pihak, terutama untuk remaja yang tidak berada dalam perlindungan /tanggung jawab institusi tertentu.
Karena itu, kita membutuhkan kolaborasi yang baik dari berbagai pihak, mulai dari orang tua, sekolah dan
masyarakat (organisasi pemuda, organisasi keagamaan, institusi pendidikan) sehingga bisa menjadi panutan yang
memberikan petunjuk sekaligus menyeleksi mana kegiatan yang positif yang harus dikembangkan, dan mana
kegiatan yang negatif dan wajib diberhentikan,” tutupnya mengakhiri wawancara.
"Bahaya Isu SARA Melebihi Bahaya Politik Uang...”

Politik berdasarkan suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA) menjadi salah satu hal yang
paling diwaspadai menjelang tahun politik.
Direktur Lingkar Madani Indonesia (Lima) Ray Rangkuti memprediksi politik SARA tak akan
berhenti pada Pilkada 2018.
Menurut Ray, bahkan bisa terus berlanjut hingga Pemilu 2019. Menurut Ray, efek politik SARA
bisa melebihi bahaya politik uang.
"Pengalaman kita di Pilkada DKI Jakarta, memperlihatkan bahayanya isu SARA bahkan melebihi
bahaya politik uang. Politik uang berbahaya tapi efeknya tidak panjang," kata Ray dalam sebuah acara
diskusi di bilangan Setia Budi, Jakarta Selatan, Selasa (26/12/2017).
Ia menambahkan, isu SARA berpotensi kembali dimanfaatkan pada beberapa daerah yang
menggelar Pilkada Serentak 2018. Daerah rawan itu seperti Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Sumatera
Utara.
Menurut Ray, politik SARA perlu diantisipasi karena seolah ada suasana yang melegalisasi
praktik politik tersebut.
"Bahwa SARA dianggap tidak bermasalah karena perspektif dianya, bukan persepektif
demokrasinya. Karena dianggap mengamalkan kepercayaan agama tertentu," tutur Ray.
Di samping itu, belum ada definisi yang ketat soal politik SARA. Hal itu membuat penyelenggara
pemilu, khususnya Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) tidak responsif dengan isu SARA, khususnya isu
agama.
Dalam Undang-Undang Pemilu, misalnya, telah jelas dilarang melakukan penghinaan terhadap
etnis, agama, dan lainnya.
"Tapi yang disebut 'penghinaan' ini apa, sehingga ada pijakan bahwa jika ada mengatakan ini,
maka SARA," kata dia.
Hal senada diungkapkan pengamat politik dari Universitas Paramadina, Arif Susanto. Menurut
Arif, pengalaman Pilkada DKI Jakarta menjadi contohnya.
"Jakarta telah menjadi semacam laboratoriun untuk mempraktikkan penyalahgunaan penggunaan
identitas yang efeknya akumulasi kekuasaan pada level elite, tapi pada masyarakat terjadi pembelahan
sosial," ujar Arif.
Arief menyebutkan setidaknya ada empat hal yang menyebabkan politik identitas mudah subur di
suatu daerah. Mulai dari adanya kesenjangan ekonomi, buruknya kelembagaan politik, adanya polarisasi
politik, dan rendahnya literasi.
Dalam hal rendahnya literasi, hal itu mencakup literasi politik dan literasi komunikasi.
"Tanpa literasi komunikasi, orang gagal membandigkan opini dan fakta. Antara pemberitaan dan
penyebarluasan kabar bohong lewat konstruksi seolah itu adalah berita," tuturnya.

Você também pode gostar