Você está na página 1de 59

SMALL GRUP DISCUSSION KEPERAWATAN PERKEMIHAN

ASUHAN KEPERAWATAN PADA KLIEN DENGAN GAGAL GINJAL


KRONIK (CHRONIC KIDNEY DISEASE)

Disusun Oleh :
Kelompok 8
Kelas A-2 Angkatan 2012

1. Rizky Dwi Cahyono (131211131032)


2. Wahyu Hanung P. (131211131100)
3. Lintang Kusuma A. (131211132059)
4. Itsnaini Indah F. (131211133030)
5. Indah Agustina (131211133032)
6. Arista Sulistyowati (131211133036)
7. Mariana Puspitasari (131211133040)

Program Studi Pendidikan Ners


Fakultas Keperawatan
Universitas Airlangga
Surabaya, 2015
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa yang telah melimpahkan
rahmat, hidayah, dan inayah-Nya kepada kami, sehingga kami dapat menyelesaikan
makalah SGD (Small Group Discussion) Keperawatan Perkemihan yang
membahas tentang “Asuhan Keperawatan pada Klien dengan Gagal Ginjal Kronik
(Choronic Kidney Disease).

Kami ucapkan terimakasih kepada semua pihak yang telah membantu kami,
sehingga makalah ini dapat terselesaikan dengan tepat waktu. Ucapan terima kasih
kami ucapkan kepada :
1. Ibu Ika Yuni Widyawati, S. Kep,Ns, Sp.KMB selaku PJMA Keperawatan
Perkemihan yang telah membimbing pembuatan makalah ini;
2. Ibu Ika Yuni Widyawati, S. Kep,Ns, Sp.KMB selaku fasilitator dalam
pembuatan makalah asuhan keperawatan pada klien Gagal Ginjal Kronik
(Choronic Kidney Disease);
3. Teman-teman yang ikut membantu dalam penyelesaian makalah ini.

Harapannya makalah ini dapat memberikan ilmu bagi insan keperawatan


untuk memberikan asuhan keperawatan. Sebagai penulis kami menyadari bahwa
masih ada kekurangan dari penampilan dan penyajian makalah ini, oleh karena itu
kami menginginkan kritik dan saran yang membangun dari para pembaca. Kami
berharap makalah yang kami susun dapat bermanfaat bagi setiap pembaca.

Surabaya, 03 Mei 2015

Penyusun
DAFTAR ISI

Halaman Judul................................................................................................ i

Kata Pengantar ............................................................................................... ii

Daftar Isi......................................................................................................... iii

BAB 1 Pendahuluan
1.1 Latar Belakang........................................................................ 1
1.2 Tujuan
1.3.1 Tujuan Umum ................................................................ 1
1.3.2 Tujuan Khusus ............................................................... 2
1.4 Manfaat ................................................................................... 2

BAB 2 Tinjauan Pustaka


2.1 Anatomi dan Fisiologi Ginjal ................................................. 3
2.2 Definisi Gagal Ginjal Kronik ................................................. 5
2.3 Tahap Perkembangan Gagal Ginjal Kronik .......................... 6
2.4 Etiologi Gagal Ginjal Kronik ................................................. 6
2.5 Stadium Gagal Ginjal Kronik ................................................. 7
2.6 Patofisiologi Gagal Ginjal Kronik .......................................... 9
2.7 Manifestasi Klinis Gagal Ginjal Kronik ................................. 9
2.8 Pemeriksaan Diagnostik Gagal Ginjal Kronik ....................... 11
2.9 Penatalaksanaan Gagal Ginjal Kronik .................................... 13
2.10 Komplikasi Gagal Ginjal Kronik ........................................... 21
2.11 Prognosis Gagal Ginjal Kronik .............................................. 22
2.12 Web of Cautation .................................................................... 25

BAB 3 Asuhan Keperawatan pada Klien dengan Gagal Ginjal Kronik


3.1 Pengkajian .............................................................................. 27
3.2 Diagnosa Keperawatan .......................................................... 29
3.3 Intervensi keperawatan .......................................................... 30

BAB 4 Asuhan Keperawatan pada Klien dengan Gagal Ginjal Kronik


4.1 Pengkajian .............................................................................. 39
4.2 Analisa Data ........................................................................... 43
4.3 Diagnosa Keperawatan ........................................................... 45
4.4 Intervensi Keperawatan .......................................................... 46

BAB 5 PENUTUP
5.1 Kesimpulan ............................................................................. 53
DAFTAR PUSTAKA .................................................................................... 54
BAB 1
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Gagal ginjal kronik merupakan kerusakan ginjal atau penurunan
kemampuan filtrasi glomelurus (Glomerular Filtration Rate/GFR) kurang dari
60 mL/min/1,73 m2 selama 3 bulan atau lebih yang irreversible dan didasari
oleh banyak faktor (NKF K/DOQI 2000; Kallenbach et al. 2005). Apabila
kerusakan ini mengakibatkan laju filtrasi glomelurus/GFR berkurang hingga di
bawah 15 ml/min/1,73 m2 dan disertai kondisi uremia, maka pasien mengalami
gagal ginjal tahap akhir atau disebut dengan End Stage Renal Disease (ESRD).
Saat ini penderita gagal ginjal kronik di dunia mengalami peningkatan
sebesar 20-25% setiap tahunnya (USRDS 2008 dalam Harwood. Lori et al.
2009). Menurut data PERNEFRI (Perhimpunan Nefrologi Indonesia)mencapai
70.000, namun yang terdeteksi menjalani gagal ginjal kronis dan menjalani cuci
darah/haemodialysis hanya sekitar 4000 sampai dengan 5000 saja. Angka
mortalitas pasien gagal ginjal kronik semakin meningkat seiring meningkatnya
angka kejadian penyakit diabetes mellitus, hipertensi, dan penyakit jantung
sebagai penyebabnya dan komplikasi yang ditimbulkan oleh penyakit tersebut.
Menurut data Profil Kesehatan Indonesia tahun 2006, gagal ginjal kronik
menempati urutan ke 6 penyebab kematian yang dirawat di rumah sakit di
Indonesia. Berdasarkan hasil studi pendahuluan yang dilakukan di RSUP
Fatmawati, menurut data Instalasi Rekam Medik RSUP Fatmawati Jakarta
jumlah penderita penyakit ginjal kronik pada tahun 2011 sebanyak 1629 orang.
Penatalaksanaan untuk mengatasi masalah GGK terdapat dua pilihan
(Markum 2009) yaitu pertama, penatalaksanaan konservatif meliputi diet
protein, diet kalium, diet natrium, dan pembatasan cairan yang masuk. Kedua,
dialisis dan transplantasi ginjal merupakan terapi pengganti pada pasien. Terapi
pengganti yang sering dilakukan pada pasien GGK adalah dialisis.
Oleh karena permasalahan tersebut, makalah ini disusun agar perawat
mampu memahami dengan baik mengenai gagal ginjal kronik serta mampu
menerapkan asuhan keperawatan yang tepat bagi penderita gagal ginjal kronik.

1.2 Tujuan
1.2.1 Tujuan Umum
Makalah ini menjabarkan secara rinci tentang teori konseptual mengenai
gagal ginjal kronik dan bagaimana cara memberikan penatalaksaan yang
cepat dan tepat, serta pembaca diharapkan memahami dan menerapkan
asuhan keperawatan pada kasus gagal ginjal kronik secara komprehensif.

1.2.2 Tujuan Khusus


Mahasiswa mampu
1. Menjelaskan anatomi dan fisiologi ginjal
2. Menjelaskan definisi dari gagal ginjal kronik
3. Menjelaskan tahap perkembangan dari gagal ginjal kronik
4. Menjelaskan etiologi dari gagal ginjal kronik
5. Menjelaskan stadium dari gagal ginjal kronik
6. Menjelaskan patofisiologi dari gagal ginjal kronik
7. Menjelaskan manifestasi klinis dari gagal ginjal kronik
8. Menjelaskan pemeriksaan diagnostik dari gagal ginjal kronik
9. Menjelaskan penatalaksanaan dari gagal ginjal kronik
10. Menjelaskan komplikasi dari gagal ginjal kronik
11. Menjelaskan prognosis dari gagal ginjal kronik
12. Menjelaskan Web of Cautation dari gagal ginjal kronik
13. Menjelaskan Asuhan keperawatan dari gagal ginjal kronik

1.3 Manfaat
Mahasiswa mampu mengetahui tentang gagal ginjal kronik sehingga
perawat akan lebih peka dan teliti dalam mengumpulkan data pengkajian awal
dan menganalisa suatu respon tubuh pasien terhadap penyakit, sehingga gagal
ginjal kronik tidak semakin berat.

BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Anatomi Fisiologi


Ginjal adalah sepasang organ saluran kemih yang terletak di rongga
peritoneal bagian atas. Bentuknya menyerupai kacang dengan sisi cekungnya
menghadap ke medial. Pada sisi ini, terdapat hilus ginjal, yaitu tempat struktur-
sturuktur pembuluh darah, sistem limfatik, sistem saraf, dan ureter menuju dan
meninggalkan ginjal. Besar dan berat ginjal sangat bervariasi tergantung pada
jenis kelamin, umur, serta ada tidaknya ginjal pada sisi lain. Ukuran ginjal rata-
rata adalah 11,5 cm (panjang) x 6 cm (lebar) x 3,5 cm (tebal). Beratnya
bervariasi sekitar 120-170 gram (Aziz dkk.2008).
Ginjal dibungkus oleh jaringan fibrous tipis dan berkilau yang disebut true
capsule (kapsul fibrosa) ginjal dan di luar kapsul ini terdapat jaringan lemak
peri renal. Di sebelah kranial terdapat kelenjar anak ginjal atau glandula
adrenal/suprarenal yang berwarna kuning. Kelenjar adrenal bersama-sama
ginjal dan jaringan lemak perineal dibungkus oleh fasia gerota. Fasia ini
berfungsi sebagai barier yang menghambat meluasnya perdarahan dari
parenkim ginjal serta mencegah ekstravasasi urin pada saat terjadi trauma
ginjal. Selain itu, fasia gerota dapat pula berfungsi sebagai barier dalam
menghambat metastasis tumor ginjal ke organ sekitarnya. Di luar fasia gerota
terdapat jaringan lemak retroperitoneal atau disebut jarinagn lemak pararenal
(Aziz dkk. 2008).

Gambar 1. Anatomi Ginjal (Aziz dkk. 2008)

Di sebelah posterior, ginjal dilindungi oleh otot-otot punggung yang tebal


serta tulang rusuk ke XI dan XII, sedangkan di sebelah anterior dilindungi oleh
organ-organ intraperitoneal. Ginjal kanan dikelilingi oleh hepar, kolon, dan
duodenum, sedangkan ginjal kiri dikelilingi oleh lien, lambung, pankreas,
jejunum, dan kolon (Aziz dkk. 2008). Ginjal kanan tingginya sekitar 1 cm di
atas ginjal kiri (Faiz &Moffat 2004).
Secara anatomik ginjal terbagi dalam dua bagian, yaitu korteks dan medula
ginjal. Di dalam korteks terdapat berjuta-juta nefron, sedangkan di dalam
medula banyak terdapat duktuli ginjal. Nefron adalah unit fungsional terkecil
dari ginjal yang terdiri atas glomeruli dan tubuli ginjal. Darah yang membawa
sisa-sisa hasil metabolisme tubuh difiltrasi di dalam glomeruli kemudian di
tubuli ginjal beberapa zat yang masih diperlukan tubuh mengalami reabsorbsi
dan zat-zat hasil sisa metabolisme tubuh disekresi bersama air dalam bentuk
urin (Aziz dkk. 2008).

Gambar 2. Sistem Nefron Ginjal (Aziz dkk. 2008)

Urin yang terbentuk di dalam nefron disalurkan melalui piramida ke sistem


pelvikalises ginjal untuk disalurkan ke dalam ureter. Sistem pelvikalises ginjal
terdiri atas kaliks minor, infundibulum, kaliks mayor, dan pielum/pelvis renalis.
Mukosa sistem pelvikalises terdiri atas epitel transisional dan dindingnya terdiri
otot polos yang mampu berkontraksi untuk mengalirkan urin sampai ureter
(Aziz dkk. 2008).
Ginjal bekerja untuk menyaring darah sebanyak kurang lebih 200 liter tiap
harinya dan juga membuang sisa-sisa metabolisme serta kelebihan cairan tubuh
melalui urin. Selain membuang sisa-sisa metabolisme tubuh melalui urin, ginjal
berfungsi juga dalam:
1. Melakukan kontrol terhadap sekresi hormon-hormon aldostreon dan Anti
Diuretik Hormon (ADH)
2. Mengatur metbolisme ion kalsium dan vitamin D
3. Menghasilkan hormon, antara lain: eritropoetin yang berperan dalam
pembentukan sel darah merah, renin yang berperan dalam pengaturan
tekanan darah, kalsitriol atau vitamin D3 yaitu bentuk aktif dari vitam D
yang berfungsi mengatur tekanan darah dengan cara mengatur
keseimbangan kadar kalsium, dan hormon prostaglandin (Aziz dkk. 2008).
2.2 Definisi
Gagal ginjal kronik (GGK) merupakan gangguan fungsi ginjal yang
progresif dan ireversibel, yang menyebabkan ketidakmampuan ginjal untuk
mempertahankan metabolisme dan keseimbangan cairan maupun elektrolit,
sehingga timbul gejala uremia (retensi urea dan sampah nitrogen lain dalam
darah) (Smeltzer 2008). Gagal ginjal kronik merupakan kerusakan ginjal atau
penurunan kemampuan filtrasi glomelurus (Glomerular Filtration Rate/GFR)
kurang dari 60 ml/min/1,73 m2 yang terjadi selama lebih dari 3 bulan
(Kallenbach et al. 2005). Menurut KDIGO (2013) Gagal ginjal kronik
merupakan suatu keadaan abnormalitas dari struktur atau ginjal yang terjadi
selama lebih dari 3 bulan yang mempengaruhi kesehatan, dengan kriteria
sebagai berikut:
1. Adanya kerusakan ginjal (satu atau lebih):
a. Albuminuria (AER ≥30 mg/24 jam; ACR ≥30 mg/g [≥3 mg/mmol])
b. Abnormalitas sedimen urin
c. Abnormalitas elektrolit dan lainnya akibat dari kerusakan pada tubulus
ginjal
d. Adanya abnormalitas yang diketahui dari histologi
e. Abnormalitas struktural yang diketahui dari pencitraan
f. Mempunyai riwayat transplantasi ginjal
2. Penurunan GFR
GFR 60 ml/min/1,73 m2 (Kategori GFR G3a-G5)
Kondisi ginjal yang gagal melaksanakan fungsi utamanya akan terjadi
gangguan pembuluh darah dan penyakit lebih mudah merusak pembuluh darah
tersebut. Akibatnya, darah yang diterima unit penyaring menjadi lebih sedikit,
dan tekanan darah di dalam ginjal tidak bisa dikendalikan. Bila unit penyaring
yang terganggu, maka suplai darah kurang dan gangguan tekanan darah akan
membuat ginjal tidak mampu membuang zat-zat tidak terpakai lagi. Selain itu
ginjal juga tidak bisa mempertahankan keseimbangan cairan dan zat-zat kimia
di dalam tubuh, sehingga zat buangan bisa masuk kembali ke dalam darah. Juga
mungkin terjadi, zat kimia yang dibutuhkan tubuh dan protein akan ikut keluar
bersama urin (Syamsir & Iwan 2007).
Pada gagal ginjal kronik penderita hanya dapat berusaha menghambat laju
tingkat kegagalan fungsi ginjal tersebut, agar tidak menjadi gagal ginjal
terminal (GGT), suatu kondisi dimana ginjal sudah tidak dapat berfungsi lagi.
Kondisi gagal ginjal kronik ini biasanya timbul secara perlahan dan sifatnya
menahun, dengan sedikit gejala pada awalnya, bahkan lebih sering penderita
tidak merasakan adanya gejala dan diketahui fungsi ginjal sudah menurun 25%
dari normal. Beberapa penyakit yang memicu terjadinya penyakit aggal ginjal
kronik, antara lain diabetes, hipertensi, dan batu ginjal (Syamsir & Iwan 2007).
2.3 Tahapan Perkembangan Gagal Ginjal Kronik
Tahapan perkembangan gagal ginjal kronik, yaitu (Baradero dkk. 2005):
1. Penurunan cadangan ginjal
a. Sekitar 40-75% nefron tidak berfungsi
b. Laju filtrasi glomerulus 40-50% normal
c. BUN dan kreatinin serum masih normal
d. Pasien asimtomatik
2. Gagal ginjal
a. 75-80% nefron tidak berfungsi
b. Laju filtrasi glomerulus 20-40% normal
c. BUN dan kreatinin serum mulai meningkat
d. Anemia ringan dan azotemia ringan
e. Nokturia dan poliuria
3. Gagal ginjal
a. Laju filtrasi glomerulus 10-20% normal
b. BUN dan kreatinin serum meningkat
c. Anemia, azotemia, asidosis metabolik
d. Berat jenis urin
e. Poliuria dan nokturia
f. Gejala gagal ginjal
4. End-stage renal disease (ESRD)
a. Lebih dari 85% nefron tidak berfungsi
b. Laju filtrasi glomerulus kurang dari 10% normal
c. BUN dan kreatinin tinggi
d. Anemia, azotemia, dan asidosis metabolik
e. Berat jenis urin tetap 1,010
f. Oliguria
g. Gejala gagal ginjal

2.4 Etiologi
Penyebab paling umum dari gagal ginjal kronik adalah diabetes
mellitus (tipe 1 atau tipe 2) dan hipertensi, sedangkan penyebab End-stage
Renal Failure (ERFD) di seluruh dunia adalah IgA nephropathy (penyakit
inflamasi ginjal). Komplikasi dari diabetes dan hipertensi adalah rusaknya
pembuluh darah kecil di dalam tubuh, pembuluh darah di ginjal juga mengalami
dampak terjadi kerusakan sehingga mengakibatkan gagal ginjal kronik.
Etiologi gagal ginjal kronik bervariasi antara negara yang satu dengan yang
negara lain. Di Amerika Serikat diabetes melitus menjadi penyebab paling
banyak terjadi gagal ginjal kronik yaitu sekitar 44%, kemudian diikuti oleh
hipertensi sebanyak 27% Dan glomerulonefritis sebanyak 10% (Thomas 2008).
Di Indonesia penyebab gagal ginjal kronik sering terjadi karena
glomerulonefritis, diabetes mellitus, obstruksi, dan infeksi pada ginjal,
hipertensi (Suwitra dalam Sudoyo et al. 2009).

Penyebab dari gagal ginjal kronis yang tersering dibagi menjadi 8 kelas,
antara lain (Price & Wilson 2003):
Tabel 1.
Klasifikasi Penyebab Gagal Ginjal Kronik (Price & Wilson 2003):
Klasifikasi Penyakit Penyakit
Penyakit infeksi tubulointerstitial Pielonefritis kronis/refluks nefropati
Penyakit peradangan Glomerulonefritis
Penyakit vascular hipertensif Nefrosklerosis benigna
Nefrosklerosis maligna
Stenosis arteri renalis
Gangguan jaringan ikat SLE
Poliarteritis nodosa
Sklerosis sistemik progresif
Gangguan kongenital dan herediter Penyakit ginjal polikistik
Asidosis tubulus ginjal
Penyakit metabolik DM
Gout, hiperparatiroidisme
Amilodosis
Nefropati toksik Penyalahgunaan analgesik, obat TBC
Nefropati timah
Nefropati obstruktif Traktus urinarius bagian atas: batu,
neoplasma, fibrosis retroperitoneal
Traktus urinarius bagian bawah:
hipertropi prostat, striktur uretra,
anomali kongenital leher vesika
urinaria dan uretra

2.5 Stadium
Chronic Kidney Disease (CKD) diklasifikasikan berdasarkan CGA sistem
yaitu Cause, GFR category, dan Albuminuria category. Gagal ginjal kronik
merupakan stadium 5 dari CKD atau biasa disebut dengan End-stage Renal
Disease (ESRD). Dikatakan gagal ginjal kronik apabila dari hasil tes nilai eGFR
< 15 mL/min/1.73 m2.
Klasifikasi Chronic Kidney Disease (CKD) dalam Kidney Disease:
Improving Global Outcomes (KDIGO) CKD Work Group (2013) KDIGO 2
clinical practice guideline for the evaluation and management of chronic kidney
disease:
Tabel 2. Kategori GFR (KDIGO 2013)
GFR category GFR (ml/min/1.73 m2) Terms

G1 >90 Normal or high

G2 60–89 Mildly decreased*

G3a 45–59 Mildly to moderately decreased

G3b 30–44 Moderately to severely decreased

G4 15–29 Severely decreased

G5 <15 Kidney failure

* Relatif pada level dewasa

Tabel 3. Kategori Albuminuria (KDIGO 2013)

ACR AER ACR Terms


category (mg/24hrs) (mg/mmol)
A1 < 30 <3 Normal to mildly increased

A2 30-300 3–30 Moderately increased*

A3 > 300 >30 Severely increased**

* Relatif pada level dewasa


** Termasuk sindrom nefrotik (ACR > 220 mg/mmol)

GFR = glomerular filtration rate


AER = albumin excretion rate
ACR = albumin-to-creatinine ratio

2.6 Patofisiologi
Ginjal merupakan salah satu organ ekskretori yang berfungsi untuk
mengeluarkan sisa metabolisme didalam tubuh diantaranya ureum, kreatinin,
dan asam urat sehingga terjadi keseimbangan dalam tubuh. Penyakit ini diawali
dengan kerusakan dan penurunan fungsi nefron secara progresif akibat adanya
pengurangan masa ginjal. Pengurangan masa ginjal menimbulkan mekanisme
kompensasi yang mengakibatkan terjadinya hipertrofi struktural dan fungsional
nefron yang masih tersisa. Perubahan ini mengakibatkan hiperfiltrasi yang
diikuti oleh peningkatan tekanan kapiler dan aliran darah glomerulus.
Selanjutnya penurunan fungsi ini akan disertai dengan penurunan laju filtrasi
glomerulus (GFR) dan peningkatan sisa metabolisme dalam tubuh.
Perjalanan umum ginjal kronik dapat dibagi menjadi tiga stadium. Stadium
satu dinamakan penurunan cadangan ginjal . Pada stadium ini kreatin serum
dan BUN dalam keadaan normal dan penderita asimtomatik (tanpa gejala).
Gangguan fungsi ginjal akan dapat diketahui dengan tes GFR.
Stadium dua dinamakan insufisiensi ginjal , dimana lebih dari
75% jaringan yang berfungsi telah rusak dan GFR 25% dari normal. Pada tahap
ini BUN baru mulai stadium insufisiensi ginjal gejala nokturia dan poliuria
diakibatkan kegagalan pemekatan. Nokturia (berkemih pada malam hari)
sebanyak 700 ml atau berkemih lebih dari beberapa kali. Pengeluaran urin
normal sekitar 1500 ml perhari atau sesuai dengan jumlah cairan yang diminum.
Stadium ke tiga dinamakan gagal ginjal stadium akhir uremia . sekitar
90% dari massa nefron telah hancur atau sekitar 200.000 yang masih utuh. Nilai
GFR nya hanya 10% dari keadaan normal dan bersihakan kreatin sebesar 5-10
ml/menit. Penderita biasanya oliguri (pengeluaran urien kurang dari 500
ml/hari) karena kegagalan glomelurus uremik. Fungsi ginjal menurun, produk
akhir metabolisme protein. Terjadi uremia dan mempengaruhi setiap sistem
tubuh.
Menurut Sudoyo et al. (2009) stadium paling dini dari penyakit gagal ginjal
kronis, akan menyebabkan penurunan fungsi yang progresif ditandai dengan
peningkatan kadar ureum dan kreatinin serum. Pasien dengan GFR 60% belum
merasakan keluhan, tetapi sudah ada peningkatan kadar ureum dan kreatinin,
sampai GFR 30% keluhan nokturia, badan lemas, mual, nafsu makan
berkurang, dan penurunan berat badan mulai terjadi.

2.7 Manifestasi Klinis


Gagal ginjal kronis atau penyakit ginjal kronis adalah penurunan secara
lambat dan progresif dari fungsi ginjal. Biasanya terjadi akibat komplikasi dari
kondisi medis lain yang serius. Tidak seperti gagal ginjal akut yang terjadi
dengan cepat dan tiba-tiba, gagal ginjal kronis terjadi secara bertahap. Gagal
ginjal kronis terjadi dalam hitungan minggu, berbulan-bulan, atau bahkan
bertahun-tahun sampai ginjal perlahan berhenti bekerja, mengantarkan pada
stadium akhir penyakit ginjal (ESRD). Perkembangan yang sangat lambat inilah
yang mengakibatkan gejala tidak muncul sampai adanya kerusakan besar.
Manifestasi klinis gagal ginjal kronik (Long 1996):
1. Gejala dini: lethargi, sakit kepala, kelelahan fisik dan mental, berat badan
berkurang, mudah tersinggung, depresi.
2. Gejala yang lebih lanjut: anoreksia, mual disertai muntah, nafas dangkal
atau sesak nafas baik waktu ada kegiatan atau tidak, udem yang disertai
lekukan, pruritis mungkin tidak ada tapi mungkin juga sangat parah.
Manifestasi klinis gagal ginjal kronik (Smeltzer & Bare 2001):
1. Kardiovaskuler
a. Hipertensi, gagal jantung kongestif, udema pulmoner, perikarditis
b. Pitting edema (kaki, tangan, sacrum)
c. Edema periorbital
d. Friction rub pericardial
e. Pembesaran vena leher
2. Dermatologi
a. Warna kulit abu-abu mengkilat
b. Kulit kering bersisik
c. Pruritus
d. Ekimosis
e. Kuku tipis dan rapuh
f. Rambut tipis dan kasar
3. Pulmoner
a. Krekels
b. Sputum kental dan liat
c. Nafas dangkal
d. Pernafasan kussmaul
4. Gastrointestinal
a. Anoreksia, mual, muntah, cegukan
b. Nafas berbau ammonia
c. Ulserasi dan perdarahan mulut
d. Konstipasi dan diare
e. Perdarahan saluran cerna
5. Neurologi
a. Tidak mampu konsentrasi
b. Kelemahan dan keletihan
c. Konfusi/perubahan tingkat kesadaran
d. Disorientasi
e. Kejang
f. Rasa panas pada telapak kaki
g. Perubahan perilaku
6. Muskuloskeletal
a. Kram otot
b. Kekuatan otot hilang
c. Kelemahan pada tungkai
d. Fraktur tulang
e. Foot drop
7. Reproduktif
a. Amenore
b. Atrofi testekuler

2.8 Pemeriksaan Diagnostik


Menurut Doenges (2000) pemeriksaan penunjang pada pasien GGK adalah:
1. Volume urin : Biasanya kurang dari 400 ml/ 24 jam (fase oliguria) terjadi
dalam (24 jam – 48) jam setelah ginjal rusak.
2. Warna Urin : Kotor, sedimen kecoklatan menunjukan adanya darah.
3. Berat jenis urin : Kurang dari l, 020 menunjukan penyakit ginjal contoh
glomerulonefritis, pielonefritis dengan kehilangan kemampuan
memekatkan : menetap pada l, 0l0 menunjukkan kerusakan ginjal berat.
4. pH : Lebih besar dari 7 ditemukan pada ISK, nekrosis tubular ginjal dan
rasio urin/ serum saring (1 : 1).
5. Kliren kreatinin : Peningkatan kreatinin serum menunjukan kerusakan
ginjal.
6. Natrium : Biasanya menurun tetapi dapat lebih dari 40 mEq/ ltr bila ginjal
tidak mampu mengabsorpsi natrium.
7. Bikarbonat : Meningkat bila ada asidosis metabolik.
8. Warna tambahan : Biasanya tanda penyakit ginjal atau infeksi tambahan
warna merah diduga nefritis glomerulus.

Pemeriksaan yang bisa dilakukan dalam menentukan gagal ginjal kronik,


antara lain:
1. Gambaran Klinis
Gambaran Klinis Pasien penyakit ginjal kronik meliputi:
a. Seperti dengan penyakit yang mendasari seperti diabetes melitus, infeksi
traktus, urinarius, batu traktus urinarius, hipertensi, hiperurikemi,
Lupus, Eritomatosus Sistemik (LES), dan lain sebagainya.
b. Syndrom uremia yang terdiri dari lemah, letargi, anoreksia, mual
muntah, nokturia, kelebihan volume cairan, (Volume Overload)
neuropati perifer, proritus, uremic, frost, perikarditis, kejang-kejang
sampai koma.
c. Gejala komplikasi nya antara lain hipertensi, anemia, osteodistrofi renal,
payah jantung, asidiosis metabolik, gangguan keseimbangan elektrolit
(sodium, kalium, khlorida).
2. Pemeriksaan Laboratorium
Pemeriksaan Laboratorium penyakit ginjal kronik meliputi:
a. Sesuai dengan penyakit yang mendasarinya
b. Penurunan fungsi ginjal berupa peningkatan kadar ureum dan kreatinin
serum dan penurunan LFG yang dihitung mempergunakan rumus
Kockcroft-Gault. Kadar kreatinin serum saja tidak bisa dipergunakan
untuk memperkirakan fungsi ginjal.
c. Kelainan biokimiawi darah meliputi penurunan kadar hemoglobin
peningkatan kadar asam urat, hiper atau hipokalemia, hiponatremia,
hiper atau hipokloremia, hiperfosfatemia, hipokalsemia, asidiosis
metabolik.
d. Kelainan urinalisis meliputi: proteiuria, leukosuria, cast, isostenuria.
3. Gambaran Radiologis
Pemeriksaan Radiologis Penyakit Ginjal Kronik meliputi:
a. Foto polos abdomen, bisa tampak batu radio opak.
b. Pielografi intravena jarang dikerjakan karena kontras sering tidak bisa
melewati filter glomerulus, disamping kehawatiran terjadinya pengaruh
toksik oleh kontras terhadap ginjal yang sudah mengalami kerusakan.
c. Pielografi antergrad atau retrograd dilakukan sesuai dengan indikasi
d. Ultrasonografi ginjal bisa memperlihatkan ukuran ginjal yang mengecil,
korteks yang menipis adanya hidronefrosis atau batu ginjal, kista, massa,
klasifikasi.
e. Pemeriksaan pemindaian ginjal atau renografi bila ada indikasi.
4. Biopsi dan Pemeriksaan Histopatologi Ginjal
Biopsi dan Pemeriksaan Histopatologi Ginjal dilakukan pada pasien dengan
ukuran ginjal yang masih mendekati normal, dimana diagnosis secara
noninvasif tidak bisa ditegakkan. Pemeriksaan histopatologi ini bertujuan
untuk mengetahui etiologi, menetapkan terapi, prognosis, dan mengevaluasi
hasil terapi yang telah diberikan. Biopsi ginjal indikasi kontra dilakukan
pada keadaan dimana ukuran ginjal yang sudah mengecil (contracted
kidney), ginjal polikistik, hipertensi yang tidak terkendali, infeksi
perinefrik, gangguan pembekuan darah, gagal nafas, dan obesitas.

2.9 Penatalaksanaan
Rencana penatalaksanaan penyakit ginjal kronik sesuai dengan derajatnya
menurut Suwitra (2007) antara lain:
Rencana tatalaksana penyakit ginjal kronik sesuai dengan derajatnya
LFG
Derajat Rencana Tatalaksana
(ml/mn/1,73m2)
1 ≥90 Terapi penyakit dasar, kondisi
komorbid,evaluasi perburukan (progression)
fungsi ginjal, memperkecil risiko
kardiovaskuler
2 60-80 Menghambat perburukan (progession) fungsi
ginjal
3 30-59 Evaluasi dan terapi komplikasi
4 15-29 Persiapan untuk terapi pengganti ginjal
5 ˂15 Terapi pengganti ginjal

Di bawah ini merupakan penjelasan dari penatalaksanaan penyakit ginjal


kronik berdasarkan tabel diatas adalah:
1. Terapi Spesifik Terhadap Penyakit Dasarnya
Waktu yang paling tepat untuk terapi penyakit dasarnya adalah sebelum
terjadinya penurunan LFG sehingga perburukan fungsi ginjal tidak terjadi.
Pada ukuran ginjal yang masih normal secara ultrasonografi, biopsi dan
pemeriksaan histopatologi ginjal dapat menentukan indikasi yang tepat
terhadap terapi spesifik. Sebaliknya, bila LFG sudah menurun sampai 20-
30% dari normal, terapi terhadap penyakit dasar sudah tidak banyak
bermanfaat.
2. Pencegahan dan Terapi Terhadap Kondisi Komorbid
Penting sekali untuk mengikuti dan mencatat kecepatan penurunan LFG
pada pasien Penyakit Ginjal Kronik. Hal ini untuk mengetahui kondisi
komorbid (superimposed factors) yang dapat memperburuk keadaan pasien.
Faktor-faktor komorbid antara lain, gangguan keseimbangan cairan,
hipertensi yang tidak terkontrol, infeksi traktus urinarius, obstruksi traktus
urinarius, obat-obat nefrotoksik, bahan radiokontras, atau peningkatan
aktivitas penyakit dasarnya.
3. Menghambat Perburukan Fungsi Ginjal
Faktor utama penyebab perburukan fungsi ginjal adalah terjadinya
hiperfiltrasi glomerulus dengan cara penggunaan obat-obatan nefrotoksik,
hipertensi berat, gangguan elektrolit (hipokalemia). Dua cara penting untuk
mengurangi hiperfiltrasi glomerulus adalah:
a. Pembatasan Asupan Protein
Pembatasan Asupan Protein dan Fosfat pada Penyakit Ginjal Kronik
(Suwitra 2007).

LFG ml/mnt Asupan protein g/kg/hr Fosfat g/kg/hr


˃60 Tidak dianjurkan Tidak dibatasi
25-60 0,6-0,8/kg/hr, termasuk ≥ 0,35 gr/kg/hr ≤ 10 g
nilai biologi tinggi
5-25 0,6-0,8/kg/hr, termasuk ≥ 0,35 gr/kg/hr ≤ 10 g
protein nilai biologis tinggi /tambahan
0,3 g asam amino esensial / asam keton
˂60 (SN) 0,8/kg/hr (+ 1 gr protein/ g proteinuria ≤ 9 g
atau 0,3 g / kg tambahan asam amino
esensial atau asam keton
Pembatasan asupan protein akan mengakibatkan berkurangnya sindrom
uremik. Masalah penting lain adalah asupan protein berlebih (protein
overload) akan mengakibatkan perubahan hemodinamik ginjal berupa
peningkatan aliran darah dan tekanan intraglomerulus (intraglomerulus
hyperfiltration), yang akan meningkattkan progresifitas pemburuan
fungsi ginjal. Pembatasan asupan protein juga berkaitan dengan
pembatasan asupan fosfat, karena protein dan fosfat selalu berasal dari
sumber yang sama. Pembatasan fosfat perlu untuk mencegah terjadinya
hiperfosfatemia.
b. Terapi Farmakologis
Terapi farmakologi bertujuan untuk mengurangi hipertensi,
memperkecil risiko gangguan kardiovaskuler juga memperlambat
pemburukan kerusakan nefron. Beberapa obat antihipertensi, terutama
penghambat enzim konverting angiotensin (Angiotensin Converting
Enzym/ ACE inhibitor dapat memperlambat proses perburukan fungsi
ginjal.
4. Pencegahan dan Terapi Terhadap Penyakit Kardiovaskuler
Hal-hal yang termasuk dalam pencegahan dan terapi penyaki
kardiovaskuler adalah pengendalian diabetes, pengendalian hipertensi,
pengendalian dislipidemia, pengendalian anemia, pengendalian
hiperfosfatemia dan terapi terhadap kelebihan cairan dan gangguan
keseimbangan elektrolit.
5. Pencegahan dan Terapi Terhadap Komplikasi
Penyakit ginjal kronik mengakibatkan berbagai komplikasi yang
manifestasinya sesuai dengan derajat penurunan fungsi ginjal yang terjadi.
a. Anemia
Anemia terjadi pada 80-90% pasien penyakit ginjal kronik. Anemia
pada penyakit ginjal kronik terutama disebabkan oleh defisiensi
eritopoitin. Penatalaksanaan terutama ditujukan pada penyebab
utamanya, disamping penyebab lain bila ditemukan. Pemberian
eritropoipin (EPO) merupakan hal yang dianjurkan. Dalam pemberian
EPO ini status besi harus selalu mendapat perhatian karena EPO
memerlukan besi dalam mekanisme kerjanya. Pemberian transfusi pada
penyakit ginjal kronik harus dilakukan secara hati-hati, berdasarkan
indikasi yang tepat dan pemantauan yang cermat. Transfusi darah yang
dilakukan secara tidak cermat dapat mengakibatkan kelebihan cairan
tubuh, hiperkalemia dan pemburukan fungsi ginjal sasaran hemoglobin
menurut berbagai studi klinik adalah 11-12 g/dl.
b. Osteodistrofi renal
Osteodistrofi Renal merupakan komplikasi penyakit ginjal kronik yang
sering terjadi. Penatalaksanaan Osteodistrofi Renal dilaksanakan
dengan cara mengatasi hiperfosfatemia dan pemberian hormone
Kalsitriol (1.25(OH)2D3). Penatalaksanaan hiperfosfatemia meliputi
pembatasan asupan fosfat, pemberian pengikat fosfat dengan tujuan
absorbsi fosfat disaluran cerna. Dialisis yang dilakukan pada pasien
dengan gagal ginjal juga ikut berperan dalam mengatasi
hiperfosfatemia.
1. Manajemen Hiperfosfatemia
a. Pembatasan asupan fosfat
Pemberian diet rendah fosfat sejalan dengan diet pada pasien
penyakit ginjal kronik secara umum yaitu, tinggi kalori, rendah
protein dan rendah garam, karena fosfat sebagian besar
terkandung dalam daging dan produk hewan seperti susu dan
telor. Asupan fosfat dibatasi 600-800 mg/hari. Pembatasan
asupan fosfat yang terlalu ketat tidak dianjurkan, untuk
menghindari terjadinya malnutrisi
b. Pemberian pengikat fosfat
Pengikat fosfat yang banyak dipakai adalah garam kalsium,
alumnium hidroksida, garam magnesium. Garam-garam ini
diberikan secara oral, untuk menghambat absorbsi fofat yang
berasal dari makanan. Garam kalsium yang banyak dipakai
adalah kalsium karbonat (CaCO3) dan kalsium acetate.
Memperlihatkan cara dan jenis pengikat fosfat, efikasi dan efek
sampingnya.
c. Pemberian bahan kalsium memetik (calcium mimetic agent)
Akhir-akhir ini dikembangkan sejenis obat yang dapat
menghambat reseptor Ca pada kelenjar paratiroid, dengan nama
sevelamer hidrokhlorida. Obat ini disebut juga calcium mimetic
agent, dan dilaporkan mempunyai efektivitas yang sangat baik
serta efek samping yang minimal.
2. Pemberian Kalsitriol (1.25(OH2D3))
Pemberian Kalsitriol untuk mengatasi osteodistrofi renal banyak
dilaporkan. Tetapi pemakaiannya tidak begitu luas, karena dapat
meningkatkan absorbsi fosfat dan kalsium disaluran cerna sehingga
dikhawatirkan mengakibatkan penumpukan barang calcium
carbonate dijaringan, yang disebut kalsifikasi metastatik.
Disamping itu juga dapat mengakibatkan penekanan yang
berlebihan terhadap kelenjar paratiroid. Oleh karena itu
pemakainnya dibatasi pada pasien dengan kadar fosfat darah normal
dan kadar hormone paratiroid (PTH)>2,5 kali normal.
3. Pembatasan Cairan dan Elektrolit
Pembatasan asupan air pada pasien penyakit ginjal kronik, sangat
perlu dilakukan. Hal ini bertujuan untuk mencegah terjadinya odem
dan komplikasi kardiovaskular. Air yang masuk kedalam tubuh
dibuat seimbang dengan air yang keluar baik melalui urin maupun
insensible water loss. Dengan berasumsi bahwa air yang keluar
melalui insible water antara 500-800 ml/hari (sesuai dengan luas
permukaan tubuh), maka air yang masuk dianjurkan 500-800 ml
ditambah jumlah urin. Elektrolit yang harus diawasi asupannya
adalah kalium dan natrium. Pembatasan kalium dilakukan, karena
hiperkalemia dapat mengakibatkan aritnia jantung yang fatal. Oleh
karena itu, pemberian obat-obat yang mengandung kalium dan
makanan yang tinggi kalium (seperti buah dan sayuran) harus
dibatasi kadar kalium darah dianjurkan 3,5-5,5 mEq/lt. Pembatasan
natrium dimaksudkan untuk mengendalikan hipertensi dan edema.
Jumlah garam natrium yang diberikan, disesuaikan dengan tingginya
tekanan darah derajat edema yang terjadi.
6. Terapi Pengganti Ginjal
Terapi pengganti ginjal dilakukan pada Penyakit Ginjal Kronik stadium 5,
yaitu pada LFG kurang dari 15ml/mnt. Terapi pengganti tersebut dapat
berupa hemodialisis, peritoneal dialisis atau transplantasi ginjal.
a. Hemodialisis
Hemodialisa adalah suatu prosedur yang digunakan untuk
mengeluarkan cairan dan produk limbah dari dalam tubuh ketika ginjal
tidak mampu melaksanakan proses tersebut (Raharjo, et al. 2009).
Proses dialisa menyebabkan pengeluaran cairan dan sisa metabolisme
dalam tubuh serta menjaga keseimbangan elektrolit dan produk kimiawi
dalam tubuh (Ignatavicius & Workman 2006). Tujuan hemodialisis
adalah untuk mengambil zat-zat nitrogen yang toksik dari dalam darah
yang penuh dengan toksin dan limbah nitrogen dialihkan dari tubuh
pasien ke dialiser tempat darah tersebut dibersihkan dan kemudian
dikembalikan lagi ke tubuh pasien. Aliran darah akan melewati tubulus
tersebut sementara cairan dialisat bersikulasi di sekitarnya. Pertukaran
limbah dari darah ke dalam cairan dialisat akan terjadi membran
semipermeabel tubulus (Rosdiana 2011). Proses hemodialis dilakukan
1-3 kali dalam seminggu di rumah sakit dengan memerlukan waktu
sekitar 2-45 jam setiap kali hemodialisis (Syamsir&Hadibroto
2007).Keputusan untuk inisiasi terapi dialisis berdasarkan parameter
laboratorium bila LFG antara 5 dan 8 ml/menit/l .73 m2.
Gambar 3. Proses Hemodialisis (Joyce, dkk. 2008)
Ada tiga prinsip yang mendasari kerja hemodialisis, yaitu difusi,
osmosis, dan ultrafiltrasi. Toksin dan zat limbah di dalam darah
dikeluarkan melalui proses difusi dengan cara bergerak dari darah yang
memiliki konsentrasi tinggi ke cairan dialisat dengan konsentrasi yang
lebih rendah (Rosidana 2011).

Gambar 4. Proses Difusi (http://www.baxter.com)


Air yang berlebihan dikeluarkan dari dalam tubuh melalui proses
osmosis. Pengeluaran air dapat dikendalikan dengan menciptakan
gradien tekanan, yaitu air bergerak dari daerah dengan tekanan yang
lebih tinggi (tubuh pasien) ke daerah dengan tekanan yang lebih rendah
(cairan dialisat). Gradien ini dapat ditingkatkan melalui penambahan
tekanan negatif yang dikenal sebagai ultrafiltrasi pada mesin dialisis
(Rosdiana 2011).
Gambar 5. Proses Ultrafiltrasi (http://www.lhsc.on.ca/)

Indikasi inisiasi terapi dialisis:


1. Indikasi absolut
a. Periecarditis
b. Ensefalopati / neuropati azotemik
c. Bendungan paru dan kelebihan cairan yang tidak responsif
dengan diuretik
d. Hipertensi refrakter
e. Muntah persisten
f. BUN > 120 mg % dan kreatinin > 10 mg %
2. Indikasi elektip
a. LFG (formula Cockcroft dan Gault) antara 5 dan 8 ml/m/1,73
m2
b. Mual, anoreksia,muntah, dan astenia berat
Persiapan untuk program dialisis regular, antara lain:
Setiap pasien yang akan menjalani program dialisis regular harus
mendapatinformasi yang harus dipahami sendiri dan keluarganya.
Beberapa persiapan (preparasi) dialisis regular:
1. Sesi dialisis 3-4 kali per minggu (12-15 jam) per minggu
2. Psikoligis yang stabil
3. Finalsial cukup untuk program terapi dialisis regular selama waktu
tidak terbatas sebelum transplantasi ginjal
4. Pemeriksaan laboratorium dan perasat lainnya sesuai dengan jadwal
yang telah ditentukan. Pemeriksaan ini sangat penting untuk
menjamin kualitas hidup optimal
5. Disiplin pribadi untuk menjalankan program terapi ajuvan :
a. Diet, perbatasan asupan cairan dan buah-buahan
b. Obat-obatan yang diperlukan yang tidak terjangkau dialisis
6. Operasi A-V fistula dianjurkan pada saat kreatinin serum 7 mg/%
terutama pasien wanita, pasien usia lanjut dan diabetes mellitus.

Komplikasi yang dapat terjadi akibat hemodialisis, antara lain:


1. Hipotensi
Dapat terjadi selama dialisis ketika cairan dikeluarkan.
2. Emboli udara
Jarang terjadi, namun bisa terjadi akibat udara yang memasuki
sistem vaskular pasien.
3. Nyeri dada
Terjadi karena pCO2 menurun bersamaan dengan terjadinya
sikulasi di luar tubuh.
4. Pruritus
Selama terapi adanya produk akhir metabolisme yang tersisa di
dalam kulit
5. Gangguan keseimbangan dialisis
Akibat perpindahan cairan cerebral dan muncul sebagai serangan
kejang, berpotensi besar jika terdapat uremia yang berat.
6. Malnutrisi
Akibat kontrol diet dan kehilangan nutrient selama hemodialisa.
7. Fatigue dan kram
Pasien dapat mengalami kecapean akibat hipoksia yang disebabkan
edema pulmoner. Hipoksia pulmoner terjadi akibat retensi cairan
dan sodium.

b. Peritoneal Dialisis
Pada dialisis ini membran dialisis menggunakan membran peritoneal
pasien sendiri. Cairan dialisis diletakkan pada rongga peritoneal
menggunakan kateter yang dimasukkan dan dibiarkan selama 4-6 jam
untuk mencapai kesetimbangan. Dialisat kemudian dibuang dan
digantikan dengan fluida dialisis yang baru. Perubahan konsentrasi
glukosa pada dialisat akan mengubah osmolaritas dan hal ini mengatur
perpindahan air secara osmosis dari darah ke dialisat. Proses ini dapat
dilakukan sendiri oleh pasien di rumah. Komplikasi yang sering terjadi
adalah peritonitis.
Gambar 6. Pasien yang mendapat dialisis peritoneal (Baradero 2005)

c. Transplantasi Ginjal
Transplantasi ginjal merupakan terapi pengganti ginjal (anatomi dan
faal). Pertimbangan program transplantasi ginjal:
1. Ginjal cangkok (kidney transplant) dapat mengambil alih seluruh
(100%) faal ginjal, sedangkan hemodialisis hanya mengambil alih
70 - 80% faal ginjal alamiah.
2. Kualitas hidup normal kembali
3. Masa hidup (survival rate) lebih lama
4. Komplikasi (biasanya dapat diantisipasi) terutama berhubungan
dengan obat imunosupresif untuk mencegah reaksi penolakan
5. Biaya lebih murah dan dapat dibatasi.
Kontraindikasi relatif terhadap transplantasi ginjal:
1. Usia lebih dari 70 th
2. HIV positif
3. Infeksi bakteri
4. Keganasan yang baru terjadi atau sedang diderita
5. Penyakit jantung berat
6. Sensitasi tinggi
7. Penyakit ginjal dengan risikp rekurensi yang tinggi
Persiapan program transplantasi ginjal, antara lain:
1. Pemeriksaan imunologi
a. Golongan darah ABO
1. Ketidak serasian golongan darah ABO antara resipien dan
donor menyebabkan reaksi penolakan hiperakut (hyperacute
immediate rejection)
2. Antigen Rhesus tidak berperan untuk reaksi penolakan.
b. Tipe jaringan HLA ( human leucocyte antigen )
Klasifikasi HLA berdasarkan (major histocompatibility gene
complex):
1. Kelas (I) antigen :
* HLA – A
* HLA – B
* HLA-C
2. Kelas (II) antigen : * HLA - D (DR)
3. Seleksi pasien (resipien) dan donor hidup keluarga

2.10 Komplikasi
Komplikasi penyakit gagal ginjal kronik menurut Smeltzer dan Bare (2002)
yaitu:
1. Hiperkalemia akibat penurunan eksresi, asidosis metabolik, katabolisme
dan masukan diet berlebihan.
2. Perikarditis, efusi pericardial dan tamponade jantung akibat retensi
produk sampah uremik dan dialisis yang tidak adekuat.
3. Hipertensi akibat retensi cairan dan natrium serta malfungsi system renin-
angiostensin-aldosteron
4. Anemia akibat penurunan eritropoetin, penurunan rentang usia sel darah
merah, perdarahan gastrointestinal akibat iritasi oleh toksin dan
kehilangan darah selama hemodialisis.
5. Penyakit tulang serta kalsifikasi metastatic akibat retensi fosfat, kadar
kalsium serum yang rendah, metabolisme vitamin D abnormal dan
peningkatan kadar alumunium.

Komplikasi penyakit gagal ginjal kronik menurut O’Callaghan (2009) yaitu:


1. Komplikasi Hematologis
Anemia pada penyakit ginjal kronik disebabkan oleh produksi
eritropoietin yang tidak adekuat oleh ginjal dan diobati dengan pemberian
eritropoietin subkutan atau intravena. Hal ini hanya bekerja bila kadar
besi, folat, dan vitamin B12 adekuat dan pasien dalam keadaan baik.
Sangat jarang terjadi, antibodi dapat terbentuk melawan eritropoietin
yang diberikan sehingga terjadi anemia aplastik.
2. Penyakit vascular dan hipertensi
Penyakit vascular merupakan penyebab utama kematian pada gagal ginjal
kronik. Pada pasien yang tidak menyandang diabetes, hipertensi mungkin
merupakan faktor risiko yang paling penting. Sebagaian besar hipertensi
pada penyakit ginjal kronik disebabkan hipervolemia akibat retensi
natrium dan air. Keadaan ini biasanya tidak cukup parah untuk bisa
menimbulkan edema, namun mungkin terdapat ritme jantung tripel.
Hipertensi seperti itu biasanya memberikan respons terhadap restriksi
natrium dan pengendalian volume tubuh melalui dialysis. Jika fungsi
ginjal memadai, pemberian furosemid dapat bermanfaat.
3. Dehidrasi
Hilangnya fungsi ginjal biasanya menyebabkan retensi natrium dan air
akibat hilangnya nefron. Namun beberapa pasien tetap mempertahankan
sebagian filtrasi, namun kehilangan fungsi tubulus, sehingga
mengekskresi urin yang sangat encer, yang dapat menyebabkan dehidrsi.
4. Kulit
Gatal merupakan keluhan keluhan kulit yang paling sering terjadi.
Keluhan ini sering timbul pada hiperparatiroidime sekunder atau tersier
serta dapat disebabkab oleh deposit kalsium fosfat apda jaringan. Gatal
dapat dikurangi dengan mengontrol kadar fosfat dan dengan krim yang
mencegah kulit kering. Bekuan uremik merupakan presipitat kristal
ureum pada kulit dan timbul hanya pada uremia berat. Pigmentasi kulit
dapat timbul dan anemia dapat menyebabkan pucat.
5. Gastrointestinal
Walaupun kadar gastrin meningkat, ulkus peptikum tidak lebih sering
terjadi pada pasien gagal ginjal kronik dibandingkan populasi normal.
Namun gejala mual, muntah, anoreksia, dan dada terbakar sering terjadi.
Insidensi esofagitis serta angiodisplasia lebih tinggi, keduanya dapat
menyebabkan perdarahan. Insidensi pankreatitis juga lebih tinggi.
Gangguan pengecap dapat berkaitan dengan bau napas yang menyerupai
urin.
6. Endokrin
Pada pria, gagal ginjal kronik dapat menyebabkan kehilangan libido,
impotensi, dan penurunan jumlah serta motilitas sperma. Pada wanita,
sering terjadi kehilangan libido, berkurangnya ovulasi, dan infertilitas.
Siklus hormon pertumbuhan yang abnormal dapat turut berkontribusi
dalam menyebabkan retardasi pertumbuhan pada anak dan kehilangan
massa otot pada orang dewasa.
7. Neurologis dan psikiatrik
Gagal ginjal yang tidak diobati dapat menyebabkan kelelahan, kehilangan
kesadaran, dan bahkan koma, sering kali dengan tanda iritasi neurologis
(mencakup tremor, asteriksis, agitasi, meningismus, peningkatan tonus
otot dengan mioklonus, klonus pergelangan kaki, hiperefleksia, plantar
ekstensor, dan yang paling berat kejang). Aktifitas Na+/K+ ATPase
terganggu pada uremia dan terjadi perubahan yang tergantung hormon
paratiroid (parathyroid hormone, PTH) pada transport kalsium membran
yang dapat berkontribusi dalam menyebabkan neurotransmisi yang
abnormal. Gangguan tidur seringterjadi. Kaki yang tidak biasa diam
(restless leg) atau kram otot dapat juga terjadi dan kadang merespons
terhadap pemberian kuinin sulfat. Gangguan psikiatrik seperti depresi dan
ansietas sering terjadi dan terdapat peningkatan risiko bunuh diri.
8. Imunologis
Fungsi imunologis terganggu pada gagal ginjal kronik dan infeksi sering
terjadi. Uremia menekan fungsi sebagaian besar sel imun dan dialysis
dapat mengaktivasi efektor imun, seperti komplemen, dengan tidak tepat.
9. Lipid
Hiperlipidemia sering terjadi, terutama hipertrigliseridemia akibat
penurunan katabolisme trigliserida. Kadar lipid lebih tinggi pada pasien
yang menjalani dialisis peritoneal daripada pasien yang menjalani
hemodialisis, mungkin akibat hilangnya protein plasma regulator seperti
apolipoprotein A-1 di sepanjang membran peritoneal.
10. Penyakit jantung
Perikarditis dapat terjadi dan lebih besar kemungkinan terjadinya jika
kadar ureum atau fosfat tinggi atau terdapat hiperparatiroidisme sekunder
yang berat. Kelebihan cairan dan hipertensi dapat menyebabkan hipertrofi
ventrikel kiri atau kardiomiopati dilatasi. Fistula dialysis arteriovena yang
besara dapat menggunakan proporsi curah jantung dalam jumlah besar
sehingga mengurangi curah jantung yang dapat digunakan oleh bagian
tubuh yang tersisa.

2.11 Prognosis
Prognosis GGT dengan program HD kronik tergantung dari banyak faktor
terutama seleksi pasien dan saat rujukan.
1. Umur
Umur < 40 tahun mulai program HD kronik mempunyai masa hidup lebih
panjang, mencapai 20 tahun. Sebaliknya umur lanjut > 55 tahun
kemungkinan terdapat komplikasi sistem kardiovaskuler lebih besar.
2. Saat rujukan
Rujukan terlambat memberi kesempatan timbul gambaran klinik berat
seperti koma, perikarditis, yang sulit dikendalikan dengan tindakan HD.
3. Etiologi GGT
Beberapa penyakit dasar seperti lupus, amiloid, diabetes mellitus; dapat
mempengaruhi masa hidup. Hal ini berhubungan dengan penyakit
dasarnya sudah berat maupun kemungkinan timbul komplikasi akut atau
kronik selama HD.
4. Hipertensi
Hipertensi berat dan sulit dikendalikan sering merupakan faktos risiko
vaskuler (kardiovaskuler dan serebral)
5. Penyakit sistem kardiovaskuler
Penyakit sistem kardiovaskuler (infark, iskemia, aritmia) merupakan
faktor risiko tindakan HD. Program CAPD merupakan faktor pilihan /
alternatif yang paling aman.
6. Kepribadian dan personalitas
Faktor ini penting untuk menunjang kelangsungan hidup pasien GGT
dengan program HD kronik.
7. Kepatuhan (complience)
Banyak faktor yang mempengaruhi ketidakpatuhan program HD kronik,
misalnya kepribadian, finansial dan lain-lain.
2.12 WOC

Vaskuler Kista ginjal autoimun infeksi Toksik :


obat TB
jamu
Terdapat rongga Reaksi antigen
Diabetes melitus hipertensi
dalam gijal yang anti bodi
disebabkan oleh nefrotoksik
↑ kadar gula Vasokonstriksi kista
dalam darah pembuluh darah, Terjadi
↑tekanan darah Jumlah nefron kerusakan pada
Darah menjadi dalam arteri yang sehat nefron
kental menurun
Merusak pembuluh
↑ tekanan darah nefron secara
kapiler dalam langsung
ginjal
Kerusakan
Ginjal kehilangan
pembuluh darah di
kemampuan laju
ginjal
filtrasi glomerulus

GFR menurun

Hipertrofi struktural dan fungsional

Terjadi peningkatan renin angiotensin


aldosteron intra renal
hiperfiltrasi

Peningkatan tekanan kapiler dan aliran darah glomerulus

Adaptasi fungsi

Mal adaptasi nefron

Sklerosis nefron

Penurunan fungsi nefron progresif

CKD

Stage 1(GFR > 90) Stage 2 (GFR 60 – 90) Stage 3 GFR 30-59%) Stage 4 (GFR 15-29) Stage 5 (GFR <15)

↓cadangan ginjal Proteinuria/ BUN, Kreatinin ↓Eritropoitin Retensi Na Sekresi protein ↓sintesis 1,25-
albuminuria meningkat menurun terganggu dihydroxyvitamin D atau
kalsitriol
anemia Total CES ↑
asimtomatik Sindroma uremia
Sekresi protein
terganggu kegagalan mengubah
MK: ↑Tekanan bentuk inaktif Ca
Keletihan kapiler
hipoalbuminuria Syndrome ↑Volume interstitial perpospater Gangguan Kegagalan
uremia nia keseimban mengubah
gan asam bentuk inaktif
Pembengkakan oedema
pruritus basa Ca
pergelangan Pruritus
kaki, tangan, ↑Preload ↓absorbsi Ca
MK: ↑As.
wajah, perut
MK: gangguan gangguan Lambung
Hipertrofi
integritas kulit integritas
ventrikel kiri hipokalsemia
MK: kelebihan kulit dan
volume cairan
osteodistrofi
Payah jantung kiri
Nausea, Iritasi
vomiting lambung MK:
↑Bendungan
Hambatan
atrium kiri
Mobilitas
MK: mual MK:
Fisik
Tekanan vena Ketidakse
pulmonalis imbangan
nutrisi:
Kapiler paru naik kurang
dari
kebutuha
Edema paru
n tubuh

MK : gangguan
pertukaran gas
BAB 3
ASUHAN KEPERAWATAN

3.1 Pengkajian
1. Anamnesa
Anamnesa adalah mengetahui kondisi klien dengan cara wawancara atau
interview. Mengetahui kondisi klien untuk saat ini dan masa lalu. Anamnesa
mencakup identitas klien, keluhan utama, riwayat kesehatan sekarang,
riwayat kesehatan dahulu, riwayat kesehatan keluarga, riwayat imunisasi,
riwayat kesehatan lingkungan dantempat tinggal.
a. Identitas
Meliputi identitas klien yaitu: nama lengkap, tempat tanggal lahir, jenis
kelamin, agama, pendidikan, pekerjaan, status perkawinan,
suku/bangsa, golongan darah, tangggal MRS, tanggal pengkajian,
no.RM, diagnose medis, alamat.
b. Keluhan utama
Kapan keluhan mulai berkembang, bagaimana terjadinya, apakah secara
tiba-tiba atau berangsur-angsur, apa tindakan yang dilakukan untuk
mengurangi keluhan, obat apa yang digunakan.
Keluhan utama yang didapat biasanya bervariasi, mulai dari urine output
sedikit sampai tidak ada BAK, glisah sampai penurunan kesadaran,
tidak selera makan (anoreksia), mual, muntah, mulut terasa kering, rasa
lelah, napas berbau (ureum), dan gatal pada kulit.
c. Riwayat kesehatan sekarang (PQRST)
Mengkaji keluhan kesehatan yang dirasakan klien pada saat di anamnesa
meliputi palliative, provocative, quality, quantity, region, radiation,
severity scala dan time.
Untuk kasus gagal ginjal kronis, kaji onset penurunan urine output,
penurunan kesadaran, perubahan pola nafas, kelemahan fisik, adanya
perubahan kulit, dan pemenuhan nutrisi. Kaji pula sudah kemana saja
klien meminta pertolongan untuk mengatasi masalahnya dan mendapat
pengobatan.
d. Riwayat penyakit dahulu
Kaji adanya penyakit gagal ginjal akut, infeksi saluran kemih, payah
jantung, penggunaan obat-obat nefrotoksik, Benign Prostatic
Hiperplasia, dan prostektomi. Kaji adanya riwayat penyakit batu saluran
kemih, infeksi system perkemihan yang berulang. Penyakit diabetes
mellitus, dan penyakit hipertensi pada masa sebelumnya yang menjadi
predisposisi penyebab. Penting untuk dikaji mengenai riwayat
pemakaian obat-obatan masa lalu dan adanya riwayat alergi terhadap
jenis obat kemudian dokumentasikan.
e. Riwayat kesehatan keluarga
Mengkaji ada atau tidak salah satu keluarga yang mengalami penyakit
yang sama. Baaimana pola hidup yang biasa diterapkan dalam keluarga,
ada atau tidaknya riwayat infeksi sistem perkemihan yang berulang dan
riwayat alergi, penyait hereditas dan penyakit menular pada keluarga.
f. Riwayat psikososial
Adanya perubahan fungsi struktur tubuh dan adanya tindakan dialysis
akan menyebabkan enderita mengalami gangguan pada gambaran diri.
Lamanya perawatan, banyaknya biaya perawatan dan pengobatan
menyebabkan klien mengalami kecemasan, gangguan konsep diri
(gambaran diri) dan gangguan peran pada keluarga.
g. Lingkungan dan tempat tinggal
Mengkaji lingkungan tmpat tinggal klien, mengenai kebersihan
lingkungan tempat tinggal, area lingkungan rumah.
2. Pemeriksaan fisik
a. Keadaan umum dan TTV
Keadaan umum: klien lemah dan terlihat sakit berat
Tingkat kesadaran: menurun esuai dengan tingkat uremia dimana dapat
mempengaruhi system saraf pusat
TTV: sering didapatkan adanya perubahan RR meningkat, tekanan
darah terjadi perubahan dari hipertensi ringan sampai berat.
b. Sistem pernapasan
Klien bernapas dengan bau uremia didapatkan adanya pernapasa
kusmaul. Pola napas cepat dan dalam merupakan upaya untuk
melakukan pembuangan karbon dioksida yang menumpuk di sirkulasi.
c. Sitem hematologi
Pada kondisi uremia berat tindakan auskultasi akan menemukan adanya
friction rub yang merupakan tanda khas efusi pericardial. Didapatkan
tanda dan gejala gagal jantung kongestif. TD meningkat, akral dingin,
CRT > 3 detik, palpitasi, nyeri dada dan sesak napas, gangguan irama
jantung, edem penurunan perfusi perifer sekunder dari penurunan curah
jantung akibat hiperkalemi, dan gangguan kondisi elektrikal otot
ventrikel.
Pada sistem hematologi sering didapatkan adanya anemia. Anemia
sebagai akibat dari penurunan produksi eritropoitin, lesi gastrointestinal
uremik, penurunan usia sel darah merah, dan kehilangan darah, biasanya
dari saluran GI, kecenderungan mengalami perdarahan sekunder dari
trombositopenia.
d. Sistem neuromuskuler
Didapatkan penurunan tingkat kesadaran, disfungsi serebral, seperti
perubahan proses berfikir dan disorientasi. Klien sering didapatkan
adanya kejang, adanya neuropati perifer, burning feet syndrome, retless
leg syndrome, kram otot, dan nyeri otot.
e. Sistem kardiovaskuler
Hipertensi akibat penimbunan cairan dan garam atau peningkatan
aktivitas system rennin angiostensin aldosteron. Nyeri dada dan sesak
napas akibat perikarditis, efusi pericardial, penyakit jantung koroner
akibat aterosklerosis yang timbul dini, dan gagal jantung akibat
penimbunan cairan dan hipertensi.
f. Sistem Endokrin
Gangguan seksual : libido, fertilisasi dan ereksi menurun pada laki-laki
akibat produksi testosterone dan spermatogenesis yang menurun. Sebab
lain juga dihubungkan dengan metabolic tertentu. Pada wanita timbul
gangguan menstruasi, gangguan ovulasi sampaiamenorea.
Gangguan metabolism glukosa, resistensi insulin dan gangguan sekresi
insulin. Pada gagal ginjal yang lanjut (klirens kreatinin < 15 ml/menit)
terjadi penuruna klirens metabolic insulin menyebabkan waktu paruh
hormon aktif memanjang. Keadaan ini dapat menyebabkan kebutuhan
obat penurunan glukosa darah akan berkurang. Gangguan metabolic
lemak, dan gangguan metabolism vitamin D.
g. Sistem Perkemihan
Penurunan urine output < 400 ml/ hari sampai anuri, terjadi penurunan
libido berat
h. Sistem pencernaan
Didapatkan adanya mual dan muntah, anoreksia, dan diare sekunder dari
bau mulut ammonia, peradangan mukosa mulut, dan ulkus saluran cerna
sehingga sering di dapatkan penurunan intake nutrisi dari kebutuhan.
i. Sistem Muskuloskeletal
Di dapatkan adanya nyeri panggul, sakit kepala, kram otot, nyeri kaki
(memburuk saat malam hari), kulit gatal, ada/ berulangnya infeksi,
pruritus, demam ( sepsis, dehidrasi ), petekie, area ekimosis pada kulit,
fraktur tulang, deposit fosfat kalsium pada kulit jaringan lunak dan
sendi, keterbatasan gerak sendi. Didapatkan adanya kelemahan fisik
secara umum sekunder dari anemia dan penurunan perfusi perifer dari
hipertensi.

3.2 Diganosa keperawatan


1. Kelebihan volume cairan berhubungan dengan mekanisme pengaturan
melemah
2. Resiko ketidakseimbangan elektrolit berhubungan dengan disfungsi renal
3. Gangguan pertukaran gas berhubungan dengan perubahan membrane
kapiler paru
4. Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan gangguan sirkulasi
5. Nyeri akut berhubungan dengan agen injury
6. Mual berhubungan dengan paparan toksin
7. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan gangguan ketidakseimbangan
suplay oksigen

3.3 Intervensi keperawatan


Diagnosa Tujuan dan Kriteria Intervensi
No.
Keperawatan Hasil
1. Kelebihan NOC: NIC:
volume cairan Fluid balance Fluid Management:
berhubungan Tujuan : 1. Pertahankan intake dan
dengan Setelah dilakukan output secara akurat
mekanisme tindakan keperawatan 2. Kolaborasi dalam
pengaturan selama 3x24 jam pemberian diuretik
melemah kelebihan volume cairan 3. Batasi intake cairan pada
teratasi dengan kriteria: hiponatremi dilusi dengan
1. Tekanan darah (4) serum Na dengan jumlah
2. Nilai nadi radial dan kurang dari 130 mEq/L
perifer (4) 4. Atur dalam pemberian
3. MAP (4) produk darah (platelets
4. CVP (4) dan fresh frozen plasma)
5. Keseimbangan intake 5. Monitor status hidrasi
dan output dalam 24 (kelembaban membrane
jam (4) mukosa, TD ortostatik,
6. Kestabilan berat dan keadekuatan dinding
badan (4) nadi)
7. Serum elektrolit (4) 6. Monitor hasil
8. Hematokrit (4) laboratorium yang
9. Asites (4) berhubungan dengan
10. Edema perifer (4) retensi cairan
(peningkatan kegawatan
spesifik, peningkatan
BUN, penurunan
hematokrit, dan
peningkatan osmolalitas
urin)
7. Monitor status
hemodinamik (CVP,
MAP, PAP, dan PCWP)
jika tersedia
8. Monitor tanda vital
Hemodialysis Therapy:
1. Timbang BB sebelum dan
sesudah prosedur
2. Observasi terhadap
dehidrasi, kram otot dan
aktivitas kejang
3. Observasi reaksi tranfusi
4. Monitor TD
5. Monitor BUN,Creat, HMT
danelektrolit
6. Monitor CT

Peritoneal Dialysis Therapy:


1. Jelaskan prosedur dan
tujuan
2. Hangatkan cairan dialisis
sebelum instilasi
3. Kaji kepatenan kateter
4. Pelihara catatan volume
inflow/outflow dan
keseimbangan cairan
5. Kosongkan bladder
sebelum insersi peritoneal
kateter
6. Hindari peningkatan stres
mekanik pada kateter
dialisis peritoneal (batuk)
7. Pastikan penanganan
aseptik pada kateter dan
penghubung peritoneal
8. Ambil sampel
laboratorium dan periksa
kimia darah (jumlah BUN,
serum kreatinin, serum
Na, K, dan PO4)
9. Cek alat dan cairan sesuai
protokol
10. Kelola perubahan dialysis
(inflow, dwell, dan
outflow) sesuai protokol
11. Ajarkan pasien untuk
memonitor tanda dan
gejala yang mebutuhkan
penatalaksanaan medis
(demam, perdarahan, stres
resipratori, nadi irreguler,
dan nyeri abdomen)
12. Ajarkan prosedur kepada
pasien untuk diterapkan
dialisis di rumah.
13. Monitor TD, nadi, RR,
suhu, dan respon klien
selama dialisis
14. Monitor tanda infeksi
(peritonitis)
2. Resiko NOC: NIC:
ketidakseimba Electrolyte Balance Electrolyte Management
ngan elektrolit Tujuan: 1. Berikan cairan sesuai
berhubungan Setelah dilakukan asuhan resep, jika diperlukan
dengan selama 3x24 jam 2. Pertahankan keakuratan
disfungsi ketidakseimbangan intake dan output
renal elektrolit teratasi dengan 3. Berikan elektrolit
kriteria hasil: tambahan sesuai resep jika
1. Peningkatan sodium diperlukan
(4) 4. Konsultasikan dengan
2. Peningkatan dokter tentang pemberian
potassium (4) obat elektrolit-sparing
3. Peningkatan klorida (misalnya spiranolakton),
(4) yang sesuai
5. Berikan diet yang tepat
untuk ketidakseimbangan
elektrolit pasien
6. Anjurkan pasien dan / atau
keluarga pada modifikasi
diet tertentu, sesuai
7. Pantau tingkat serum
potassium dari pasien
yang memakai digitalis
dan diuretik
8. Atasi aritmia jantung
9. Siapkan pasien untuk
dialisis
10. Pantau elektrolit serum
normal
11. Pantau adanya manifestasi
dari ketidakseimbangan
elektrolit
3. Gangguan NOC: NIC:
pertukaran gas Respiration status: Gas Oxygen Therapy
berhubungan Exchange 1. Pertahankan kepatenan
dengan jalan napas
perubahan Tujuan: 2. Kelola pemberian oksigen
membran Setelah dilakukan tambahan sesuai resep
kapiler paru keperawatan selama 2x24 3. Anjurkan pasien untuk
jam klien Gangguan mendapatkan resep
pertukaran gas teratasi oksigen tambahan
dengan kriteria hasil: sebelum perjalanan udara
1. Tekanan oksigen di atau perjalanan ke dataran
darah arteri (PaO2) (4) tinggi yang sesuai
2. Tekan karbondioksida 4. Konsultasi dengan tenaga
di darah arteri kesehatan lain mengenai
(PaCO2) (4) penggunaan oksigen
3. PH arterial (4) tambahan saat aktivitas
4. Saturasi oksigen (4) dan/atau tidur
5. Keseimbangan perfusi 5. Pantau efektivitas terapi
ventilasi (4) oksigen (pulse oximetry,
6. Sianosis (4) BGA)
6. Observasi tanda pada
oksigen yang disebabkan
hipoventilasi
7. Monitor aliran oksigen
liter
8. Monitor posisi dalam
oksigenasi
9. Monitor tanda-tanda
keracunan oksigen dan
atelektasis
10. Monitor peralatan oksigen
untuk memastikan bahwa
tidak mengganggu pasien
dalam bernapas

4. Kerusakan NOC: NIC:


integritas kulit Tissue Integrity : Skin and Pressure Management
berhubungan Mucous membrane
dengan Anjurkan klien untuk
gangguan Tujuan : menggunakan pakaian yang
sirkulasi Setelah dilakukan longgar.
tindakan keperawatan 1. Hindari kerutan pada
selama 3x24 jam tempat tidur
kerusakan integritas klien 2. Jaga kebersihan kulit agar
teratasi dengan criteria tetap bersih dan kering
hasil : 3. Mobilisasi klien akan
1. Elastisitas (4) adanya kemerahan
2. Hidrasi (4) 4. Oleskan lotion atau
3. Perfusi jaringan (4) minyak baby oil pada
4. Integritas kulit (4) daerah yang tertekan
5. Abnormal pigmentasi 5. Memandikan klien dengan
(4) sabun dan air hangat
6. Lesi pada kulit (4) 6. Ajarkan pada keluarga
7. Lesi membran tentang luka dan
mukosa (4) perawatan luka
7. Kolaborasi ahli gizi
pemberian diet TKTP,
vitamin
8. Cegah kontaminasi feses
dan urin
9. Berikan posisi yang
mengurangi tekanan pada
luka.
10. Observasi luka: lokasi,
dimensi, kedalaman luka,
karakteristik warna cairan,
granulasi, jaringan
nekrotik, tanda-tanda
infeksi local, formasi
traktus
11. Monitor aktivitas dan
mobilitas klien
12. Monitor status nutrisi
klien
5. Nyeri akut NOC : NIC :
berhubungan Pain Control Pain Management
dengan agen Setelah dilakukan asuhan 1. Tentukan dampak nyeri
injury selama 2x24, nyeri terhadap kualitas hidup
teratasi dengan kriteria klien (misalnya tidur,
hasil: nafsu makan, aktivitas,
1. Kenali awitan nyeri kognitif, suasana hati,
(2) hubungan, kinerja kerja,
2. Jelaskan faktor dan tanggung jawab
penyebab nyeri (2) peran).
3. Gunakan obat 2. Kontrol faktor lingkungan
analgesik dan non yang mungkin
analgesik (2) menyebabkan respon
4. Laporkan nyeri yang ketidaknyamanan klien
terkontrol (misalnya temperature
ruangan, pencahayaan,
suara).
3. Pilih dan terapkan
berbagai cara
(farmakologi,
nonfarmakologi,
interpersonal) untuk
meringankan nyeri.
4. Observasi tanda-tanda non
verbal dari
ketidaknyamanan,
terutama pada klien yang
mengalami kesulitan
berkomunikasi.
6. Mual NOC: NIC:
berhubungan Nausea and Vomitting Nausea Management
dengan Control 1. Dorong pasien untuk
paparan toksin Tujuan: memantau mual secara
Setelah dilakukan sendiri
tindakan keperawatan 2. Dorong pasien untuk
selama 2x24 jam mual mempelajari strategi
teratasi dengan kriteria untuk mengelola mual
hasil: sendiri
1. Mengenali awitan 3. Lakukan penilaian
mual (4) lengkap mual, termasuk
2. Menjelaskan faktor frekuensi, durasi, tingkat
penyebab (4) keparahan, dengan
3. Penggunaan anti menggunakan alat-alat
emetik (4) seperti jurnal perawatan,
skala analog visual, skala
deskriptif duke dan indeks
rhodes mual dan muntah
(INV) bentuk 2.
4. Identifikasi pengobatan
awal yang pernah
dilakukan
5. Evaluasi dampak mual
pada kualitas hidup.
6. Pastikan bahwa obat
antiemetik yang efektif
diberikan untuk mencegah
mual bila memungkinkan.
7. Identifikasi strategi yang
telah berhasil
menghilangkan mual
8. Dorong pasien untuk tidak
mentolerir mual tapi
bersikap tegas dengan
penyedia layanan
kesehatan dalam
memperoleh bantuan
farmakologis dan
nonfarmakologi
9. Promosikan istirahat yang
cukup dan tidur untuk
memfasilitasi bantuan
mual
10. Dorong makan sejumlah
kecil makanan yang
menarik bagi orang mual
11. Bantu untuk mencari dan
memberikan suport
emosional
7. Intoleransi NOC: NIC:
aktivitas Activity Tolerance Activity Therapy
berhubungan Tujuan 1. Kolaborasikan dengan
dengan Setelah dilakukan Tenaga Rehabilitasi
gangguan keperawatan selama 3x24 Medik dalam
ketidakseimba jam pasien bertoleransi merencanakan program
ngan suplay terhadap aktivitas terapi yang tepat.
oksigen Kriteria hasil: 2. Bantu klien untuk
1. Saturasi Oksigen saat mengidentifikasi aktivitas
aktivitas (4) yang mampu dilakukan
2. Nadi saat aktivitas (4) 3. Bantu untuk memilih
3. RR saat aktivitas (4) aktivitas konsisten yang
4. Tekanan darah sistol sesuai dengan kemampuan
dan diastol saat fisik, psikologi dan social
istirahat (4) 4. Bantu untuk
5. Mampu melakukan mengidentifikasi dan
aktivitas sehari-hari mendapatkan sumber yang
(ADLs) secara diperlukan untuk aktivitas
mandiri (4) yang diinginkan
5. Bantu untuk mendapatkan
alat bantuan aktivitas
seperti kursi roda, krek.
6. Bantu klien untuk
membuat jadwal latihan
diwaktu luang
7. Bantu pasien/keluarga
untuk mengidentifikasi
kekurangan dalam
beraktivitas
8. Sediakan penguatan
positif bagi yang aktif
beraktivitas
9. Bantu pasien untuk
mengembangkan motivasi
diri dan penguatan
10. Observasi adanya
pembatasan klien dalam
melakukan aktivitas.
11. Monitor nutrisi dan
sumber energi yang
adekuat
12. Monitor pasien akan
adanya kelelahan fisik dan
emosi secara berlebihan
13. Monitor respon
kardiovaskular terhadap
aktivitas (takikardia,
disritmia, sesak nafas,
diaphoresis, pucat,
perubahan hemodinamik)
14. Monitor pola tidur dan
lamanya tidur/istirahat
pasien
15. Monitor responfisik,
emosi, social dan spiritual.

BAB 4
ASUHAN KEPERAWATAN KASUS
Tn. U berumur 55 tahun, datang ke RSUA dengan keluhan nyeri, lemas,
sesak tanpa aktifitas, disertai batuk. Lalu klien juga mengeluh mual dan badannya
terasa sangat lemah, dan merasa sering gelisah. Dari pemeriksaan perawat
ditemukan adanya edema pada ekstremitas bawah (kedalamannya 6 mm, waktu
kembali 7 detik). Tanda tanda vital ketika masuk rumah sakit yaitu tekanan darah :
170/100, Nadi : 88x/menit, RR: 28 x/menit, S: 36,7 °C. klien pernah masuk ke
rumah sakit dengan keluhan hipertensi. Dari diagnosa medis yaitu Gagal Ginjal
stadium IV.
Pada pemeriksaan BGA ditemukan: PH: 7.15, pCO2 40, HCO3 18, SaO2 90%
BB pre edema : 65kg
BB post edema : 69kg
TB: 175 cm

4.1 Pengkajian
1. Anamnesis
a. Identitas
Nama : Tn. U
Umur : 55 tahun
Jenis kelamin : Laki-Laki
Alamat : Mulyorejo
Status perkawinan : Kawin
Agama : Islam
Suku : Jawa
Pendidikan : SMA
Pekerjaan : PNS
Sumber informasi : Klien dan keluarga
Tgl pengkajian : 22 Maret 2015
b. Keluhan utama
Klien mengeluhkan nyeri

c. Riwayat penyakit sekarang


Klien masuk rumah sakit melalui IGD pada tanggal 22 maret 2015
dengan keluhan sesak tanpa aktifitas, mual, badan terasa lemah,
terdapat pitting edema pada ekstremitas bawah. Tanda-tanda vital
ketika masuk rumah sakit yaitu tekanan darah : 170/100, Nadi : 88x/i,
RR : 28 x/i, S : 36,7 °C.
d. Riwayat penyakit dahulu
Keluarga klien mengatakan klien pernah masuk rumah sakit
sebelumnya dengan keluhan sakit hipertensi. Klien mengkonsumsi
nifedipin 20mg 3x1, tapi sudah berhenti 2 minggu sebelum MRS
e. Diagnosa medis
Gagal ginjal stadium IV
f. Persepsi dan pemeliharan kesehatan
Menurut penuturan keluarga, Pasien memandang kesehatan sangat
penting untuk dijaga. Jika klien merasakan sakit, demam, atau sekedar
flu biasanya klien memeriksakan diri ke Puskesmas atau ke pelayanan
kesehatan terdekat
g. Pola nutrisi
Intake makanan: klien makan 3x sehari.
Intake Cairan: Klien minum 4 gelas/hari, air putih dan teh.
h. Pola eliminasi:
Sebelum sakit keluarga klien mengatakan bahwa klien biasa BAB
1x/hari pagi hari. Pengeluaran urin 300 cc per 24 jam.
i. Pola aktivitas dan latihan

Keterangan:
0 : mandiri, 1: alat bantu, 2: dibantu orang lain 3: tergantung total
j. Pola tidur dan istirahat
Sebelum sakit keluarga klien mengatakan bahwa klien mulai tidur
malam sekitar jam 21.00 kemudian subuh jam 04.30 bangun untuk
melaksanakan solat subuh. Saat ini klien hanya terbaring ditempat
tidur, klien mengatakan badannya lemah.
k. Pola perceptual
Klien mengatakan nyeri tanpa beraktifitas, nafasnya sesak, batuk tetapi
tidak berdahak, badan terasa lemah, klien mengatakan sesak nafas jika
O2 dilepas, klien hanya mampu berbaring ditempat tidur, semua
kegiatan dilakukan di tempat tidur, termasuk toileting. penglihatan
tidak ada masalah, lapang pandang normal, pupil reaktif terhadap
cahaya. Pendengaran tidak ada masalah, klien masih bisa merasakan
rasa asin, manis, pahit, asam. Pengecapan klien masih normal
l. Pola persepsi diri
Klien mengatakan dirinya sangat ingin cepat sembuh, kembali
kerumah dengan keadaan sehat, dan ingin kembali melakukan aktifitas
seperti biasa seperti sebelum masuk rumah sakit. Klien berorientasi
dan berhubungan baik dengan keluarga, petugas kesehatan dan
pengunjung. Klien tidak menunjukkan adanya menarik diri atau
minder.
m. Pola seksulitas dan reproduksi
Klien sudah menikah dan mempunyai 3 anak dan saat ini istri klien
sudah menopouse.
n. Pola peran dan hubungan
Saat ini klien tinggal bersama istri, klien mengatakan selama ini tidak
ada masalah dalam keluarga baik kepada istri maupun mertuanya.
Klien juga mengatakan selama ini berhubungan baik dengan semua
anggota keluarga dan tetangga. Saat klien dirawatpun keluarga
terutama istri dan anaknya senantiasa mendampingi beliau.
o. Pola managemen koping stress
Dari penuturan keluarga pasien dalam memanagement stress keluarga
membiasakan berekreasi bersama atau hanya sekedar menonton TV.
p. Sistem nilai dan keyakinan
Klien dan keluarga beragama islam. Klien melakukan berbagai ikhtiar
untuk keadaan nya sekarang.

2. Pemeriksaan Fisik
a. Keluhan yang dirasakan saat ini:
Kesadarannya compos mentis, GCS 14. Klien merasakan badannya
lemas
TD : 170/100mmHg
RR : 28x/menit
HR : 88x/menit
S :36,7°C
BB pre edema : 65kg
BB post edema : 69kg
TB: 175 cm
b. B1 (Breathing)
RR : 28x/ menit, klien mengeluh sesak tanpa melakukan aktifitas
c. B2 (blood)
Wajah pucat, tekanan darah tinggi : 170/100mmhg, nadi :88x/menit
d. B3 (Brain)
Kesadaran compos mentis
e. B4 (Baldder)
Nyeri tekan vesika urinaria (-). Urin per 24 jam 300 cc, warna kuning
pekat.
f. B5 (Bowel)
Klien mengeluh mual, nyeri tekan ulu hati (+). Pola BAB 1 kali per
hari, bising usus (+)
g. B6 (Bone and Integumen)
Terdapat pitting oedema pada ekstremitas grade 3, kekuatan otot
5 5
5 5

3. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan darah
Parameter Nilai normal
Hb 8,5 mg/dl 12-16 Rendah
Urea 197 mg/dl 10-50 Tinggi
Kreatinin 12 mg/dl 0,5-1,2 Tinggi
BUN 132 mg/dl 5-25 Tinggi
K 6.2 mmol/dl 3,4-5,4 Tinggi
Na 176 mmol/dl 135-155 Tinggi
Cl 120 mmol/dl 95-108 Tinggi
Uric Acid 7,8 mg/dl 3,4-7 Tinggi
HCT 29,3% 35-50 % Rendah
Pada pemeriksaan BGA ditemukan: PH: 7.15, pCO2 40, HCO3 18,
SaO2 90% (Asidosis Metabolis)

4.2 Analisa Data


Data Etiologi Masalah keperawatan

DS: - CKD Kelebihan volume


DO: ↓ cairan
 Pasien tampak cemas Retensi Na
dan gelisah ↓
 Perubahan Tekanan Payah jantung kiri
Darah (170/100 ↓
mmHg) COP turun
 Penurunan Hb (8,5 ↓
mg/dl) dan Ht Aliran darah ginjal turun
(29,3%) ↓
 Edema pada tungkai Gangguan RAA
(derajat 3) ↓
 Sesak tanpa aktifitas Retensi H2O dan Na naik
 Ketidakseimbangan ↓
elektrolit Kelebihan volume
cairan
Hipernatremia (176
mmol/dl)
Hiperkalemia (6,2
mmol/dl)
Hiperkloremia (120
mmol/dl)
 Penambahan berat
badan secara drastis
BB pre edema :
65kg
BB post edema :
69kg
 Oliguria (300 cc/24
jam)
DS : - CKD Resiko
DO: ↓ ketidakseimbangan
 Ketidakseimbangan Gangguan aldosteron eletrolit
elektrolit ↓
Hipernatremia (176 Sekresi kalium dan
mmol/dl) absorpsi natrium
Hiperkalemia (6,2 terganggu
mmol/dl) ↓
Hiperkloremia (120 Reabsorpsi air
mmol/dl) ↓
Kembali ke dalam darah

Resiko
ketidakseimbangan
elektrolit
DS : CKD Gangguan Pertukaran
Klien mengatakan ↓ Gas
dadanya sesak saat Retensi Na
beraktifitas ↓
DO: Payah jantung kiri
- BGA pasien: ↓
PH: 7.15 Bendungan atrium kiri
pCO2 40 naik
HCO3 18 ↓
SaO2 90% Tekanan vena
(Asidosis Metabolis) pulmonalis
- Takipnea (RR: ↓
28x/menit) Kapiler paru naik
- Takikardi (TD: ↓
170/100mmHg) Edema paru
- Hb rendah (8,5 ↓
mg/dl) Gangguan pertukaran
- Ht rendah (29,3%) gas
DS: CKD Mual
Klien mengeluh mual ↓
DO: Gg.sekresi protein
 Klien tidak nafsu ↓
terhadap makanan Sindroma uremia
 Klien mual ↓
Gg.asam basa

As.lambung naik

Mual
DS : CKD Nyeri akut
Klien mengatakan nyeri ↓
di punggung kanan Retensi Na
DO: ↓
 Perubahan tonus otot Payah jantung kiri
(badan terasa lemah) ↓
 Perubahan Tekanan COP turun
Darah 170/100 ↓
mmHg Suplai O2 jaringan turun
 Ekspresi klien gelisah ↓
Metabolisme anaerob

Timbunan as.laktat naik

Fatigue,nyeri sendi

Nyeri akut
DS: CKD Intoleransi aktivitas
 Klien mengeluh ↓
sesak tanpa Retensi Na
melakukan aktifitas ↓
 Klien mengatakan Payah jantung kiri
tubuhnya merasa ↓
lemah COP turun
DO: ↓
Suplai O2 jaringan turun
 Peningkatan Tekanan ↓
darah 170/100 mmHg Metabolisme anaerob
 Sesak tanpa ↓
melakukan aktifitas Timbunan as.laktat naik

Fatigue,nyeri sendi

Intoleransi aktivitas

4.3 Diagnosa Keperawatan


1. Kelebihan volume cairan berhubungan dengan mekanisme pengaturan
melemah
2. Resiko ketidakseimbangan elektrolit berhubungan dengan disfungsi renal
3. Gangguan Pertukaran gas nerhubungan dengan perubahan membran kapiler
paru.
4. Nyeri akut berhubungan dengan agen injury
5. Mual berhubungan dengan paparan toksin
6. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan gangguan ketidakseimbangan
suplay oksigen

4.4 Intervensi

Diagnosa Intervensi
No. Tujuan dan Kriteria Hasil
Keperawatan
1. Kelebihan volume NOC: NIC:
cairan berhubungan Fluid balance Fluid Management:
Tujuan : 1. Pertahankan intake dan output
dengan mekanisme
Setelah dilakukan tindakan secara akurat
pengaturan melemah keperawatan selama 3x24 2. Kolaborasi dalam pemberian
jam kelebihan volume cairan diuretik
teratasi dengan kriteria: 3. Batasi intake cairan pada
1. Tekanan darah (4) hiponatremi dilusi dengan serum
2. Nilai nadi radial dan Na dengan jumlah kurang dari
perifer (4) 130 mEq/L
3. MAP (4) 4. Atur dalam pemberian produk
4. CVP (4) darah (platelets dan fresh frozen
plasma)
5. Keseimbangan intake 5. Monitor status hidrasi
dan output dalam 24 jam (kelembaban membrane mukosa,
(4) TD ortostatik, dan keadekuatan
6. Kestabilan berat badan dinding nadi)
(4) 6. Monitor hasil laboratorium yang
7. Serum elektrolit (4) berhubungan dengan retensi
8. Hematokrit (4) cairan (peningkatan kegawatan
9. Asites (4) spesifik, peningkatan BUN,
10. Edema perifer (4) penurunan hematokrit, dan
peningkatan osmolalitas urin)
7. Monitor status hemodinamik
(CVP, MAP, PAP, dan PCWP)
jika tersedia
8. Monitor tanda vital

Hemodialysis Therapy:
1. Timbang BB sebelum dan sesudah
prosedur
2. Observasi terhadap dehidrasi,
kram otot dan aktivitas kejang
3. Observasi reaksi tranfusi
4. Monitor TD
5. Monitor BUN,Creat, HMT
danelektrolit
6. Monitor CT

Peritoneal Dialysis Therapy:


1. Jelaskan prosedur dan tujuan
2. Hangatkan cairan dialisis sebelum
instilasi
3. Kaji kepatenan kateter
4. Pelihara catatan volume
inflow/outflow dan keseimbangan
cairan
5. Kosongkan bladder sebelum
insersi peritoneal kateter
6. Hindari peningkatan stres
mekanik pada kateter dialisis
peritoneal (batuk)
7. Pastikan penanganan aseptik pada
kateter dan penghubung peritoneal
8. Ambil sampel laboratorium dan
periksa kimia darah (jumlah BUN,
serum kreatinin, serum Na, K, dan
PO4)
9. Cek alat dan cairan sesuai
protokol
10. Kelola perubahan dialysis (inflow,
dwell, dan outflow) sesuai
protokol
11. Ajarkan pasien untuk memonitor
tanda dan gejala yang mebutuhkan
penatalaksanaan medis (demam,
perdarahan, stres resipratori, nadi
irreguler, dan nyeri abdomen)
12. Ajarkan prosedur kepada pasien
untuk diterapkan dialisis di rumah.
13. Monitor TD, nadi, RR, suhu, dan
respon klien selama dialisis
14. Monitor tanda infeksi (peritonitis)
2. Resiko NOC: NIC:
ketidakseimbangan Electrolyte Balance Electrolyte Management
elektrolit berhubungan Tujuan: 1. Berikan cairan sesuai resep, jika
dengan disfungsi renal Setelah dilakukan asuhan diperlukan
selama 3x24 jam 2. Pertahankan keakuratan intake
ketidakseimbangan elektrolit dan output
teratasi dengan kriteria hasil: 3. Berikan elektrolit tambahan
1. Peningkatan sodium (4) sesuai resep jika diperlukan
2. Peningkatan potassium 4. Konsultasikan dengan dokter
(4) tentang pemberian obat elektrolit-
3. Peningkatan klorida (4) sparing (misalnya spiranolakton),
yang sesuai
5. Berikan diet yang tepat untuk
ketidakseimbangan elektrolit
pasien
6. Anjurkan pasien dan / atau
keluarga pada modifikasi diet
tertentu, sesuai
7. Pantau tingkat serum potassium
dari pasien yang memakai
digitalis dan diuretik
8. Atasi aritmia jantung
9. Siapkan pasien untuk dialisis
10. Pantau elektrolit serum normal
11. Pantau adanya manifestasi dari
ketidakseimbangan elektrolit
3. Gangguan pertukaran NOC: NIC:
gas berhubungan Respiration status: Gas Oxygen Therapy
dengan perubahan Exchange 1. Pertahankan kepatenan jalan
membrane kapiler napas
paru Tujuan: 2. Kelola pemberian oksigen
Setelah dilakukan tambahan sesuai resep
keperawatan selama 2x24 3. Anjurkan pasien untuk
jam klien Gangguan mendapatkan resep oksigen
pertukaran gas teratasi tambahan sebelum perjalanan
dengan kriteria hasil: udara atau perjalanan ke dataran
1. Tekanan oksigen di tinggi yang sesuai
darah arteri (PaO2) (4) 4. Konsultasi dengan tenaga
2. Tekan karbondioksida di kesehatan lain mengenai
darah arteri (PaCO2) (4) penggunaan oksigen tambahan
3. PH arterial (4) saat aktivitas dan/atau tidur
4. Saturasi oksigen (4) 5. Pantau efektivitas terapi oksigen
5. Keseimbangan perfusi (pulse oximetry, BGA)
ventilasi (4) 6. Observasi tanda pada oksigen
6. Sianosis (4) yang disebabkan hipoventilasi
7. Monitor aliran oksigen liter
8. Monitor posisi dalam oksigenasi
9. Monitor tanda-tanda keracunan
oksigen dan atelektasis
10. Monitor peralatan oksigen untuk
memastikan bahwa tidak
mengganggu pasien dalam
bernapas
4. Nyeri akut NOC : NIC :
berhubungan dengan Pain Control Pain Management
agen injury Setelah dilakukan asuhan 1. Tentukan dampak nyeri terhadap
selama 2x24, nyeri teratasi kualitas hidup klien (misalnya
dengan kriteria hasil: tidur, nafsu makan, aktivitas,
1. Kenali awitan nyeri (2) kognitif, suasana hati, hubungan,
2. Jelaskan faktor penyebab kinerja kerja, dan tanggung jawab
nyeri (2) peran).
3. Gunakan obat analgesik 2. Kontrol faktor lingkungan yang
dan non analgesik (2) mungkin menyebabkan respon
4. Laporkan nyeri yang ketidaknyamanan klien (misalnya
terkontrol
temperature ruangan,
pencahayaan, suara).
3. Pilih dan terapkan berbagai cara
(farmakologi, nonfarmakologi,
interpersonal) untuk meringankan
nyeri.
4. Observasi tanda-tanda non verbal
dari ketidaknyamanan, terutama
pada klien yang mengalami
kesulitan berkomunikasi.

5. Mual berhubungan NOC: NIC:


dengan paparan toksin Nausea and Vomitting Nausea Management
Control 1. Dorong pasien untuk memantau
Tujuan: mual secara sendiri
Setelah dilakukan tindakan 2. Dorong pasien untuk mempelajari
keperawatan selama 2x24 strategi untuk mengelola mual
jam mual teratasi dengan sendiri
kriteria hasil: 3. Lakukan penilaian lengkap mual,
1. Mengenali awitan mual termasuk frekuensi, durasi,
(4) tingkat keparahan, dengan
2. Menjelaskan faktor menggunakan alat-alat seperti
penyebab (4) jurnal perawatan, skala analog
3. Penggunaan anti emetik visual, skala deskriptif duke dan
(4) indeks rhodes mual dan muntah
(INV) bentuk 2.
4. Identifikasi pengobatan awal yang
pernah dilakukan
5. Evaluasi dampak mual pada
kualitas hidup.
6. Pastikan bahwa obat antiemetik
yang efektif diberikan untuk
mencegah mual bila
memungkinkan.
7. Identifikasi strategi yang telah
berhasil menghilangkan mual
8. Dorong pasien untuk tidak
mentolerir mual tapi bersikap
tegas dengan penyedia layanan
kesehatan dalam memperoleh
bantuan farmakologis dan
nonfarmakologi
9. Promosikan istirahat yang cukup
dan tidur untuk memfasilitasi
bantuan mual
10. Dorong makan sejumlah kecil
makanan yang menarik bagi orang
mual
11. Bantu untuk mencari dan
memberikan suport emosional
6. Intoleransi aktivitas NOC: NIC:
berhubungan dengan Activity Tolerance Activity Therapy
gangguan Tujuan 1. Kolaborasikan dengan Tenaga
ketidakseimbangan Setelah dilakukan Rehabilitasi Medik dalam
suplay oksigen keperawatan selama 3x24 merencanakan program terapi
jam pasien bertoleransi yang tepat.
terhadap aktivitas 2. Bantu klien untuk
Kriteria hasil: mengidentifikasi aktivitas yang
1. Saturasi Oksigen saat mampu dilakukan
aktivitas (4) 3. Bantu untuk memilih aktivitas
2. Nadi saat aktivitas (4) konsisten yang sesuai dengan
3. RR saat aktivitas (4) kemampuan fisik, psikologi dan
4. Tekanan darah sistol dan social
diastol saat istirahat (4) 4. Bantu untuk mengidentifikasi dan
5. Mampu melakukan mendapatkan sumber yang
aktivitas sehari-hari diperlukan untuk aktivitas yang
(ADLs) secara mandiri diinginkan
(4) 5. Bantu untuk mendapatkan alat
bantuan aktivitas seperti kursi
roda, krek.
6. Bantu klien untuk membuat
jadwal latihan diwaktu luang
7. Bantu pasien/keluarga untuk
mengidentifikasi kekurangan
dalam beraktivitas
8. Sediakan penguatan positif bagi
yang aktif beraktivitas
9. Bantu pasien untuk
mengembangkan motivasi diri dan
penguatan
10. Observasi adanya pembatasan
klien dalam melakukan aktivitas.
11. Monitor nutrisi dan sumber energi
yang adekuat
12. Monitor pasien akan adanya
kelelahan fisik dan emosi secara
berlebihan
13. Monitor respon kardiovaskular
terhadap aktivitas (takikardia,
disritmia, sesak nafas,
diaphoresis, pucat, perubahan
hemodinamik)
14. Monitor pola tidur dan lamanya
tidur/istirahat pasien
15. Monitor responfisik, emosi, social
dan spiritual.
BAB 5
PENUTUP

5.1 Kesimpulan
Gagal ginjal kronik merupakan kerusakan ginjal atau penurunan
kemampuan filtrasi glomelurus (Glomerular Filtration Rate/GFR) kurang dari
60 mL/min/1,73 m2 selama 3 bulan atau lebih yang irreversible dan didasari
oleh banyak faktor (NKF K/DOQI 2000; Kallenbach, Gutch, Stoner dan Corca
2005). Etiologi gagal ginjal kronik bercvariasi antara negara yang satu dengan
yang negara lain. Di Amerika Serikat diabetes melitus menjadi penyebaba
paling abnyak terjadi gagal ginjal kronik yaitu sekitar 44%, kemudian diikuti
oleh hipertensi sebanyak 27% Dan glomerulonefritis sebanyak 10% (Thomas
2008). Di Indonesia penyebab gagal ginjal kronik sering terjadi karena
glomerulonefritis, diabetes mellitus, obstruksi, dan infeksi pada ginjal,
hipertensi (Suwitra dalam Sudoyo et al., 2009). Terapi pengganti ginjal
dilakukan pada penyakit ginjal kronik stadium 5, yaitu pada LFG kurang dari
15ml/mnt. Terapi pengganti tersebut dapat berupa hemodialisis, peritoneal
dialisis atau transplantasi ginjal.
DAFTAR PUSTAKA

Alam, Syamsir dan Hadibroto, Iwan. 2007. Gagal Ginjal. Jakarta: Penerbit PT

Gramedia Pustaka Utama

Aziz, M. Farid, dkk. 2008. Panduan Pelayanan Medik: Model Interdisiplin

Penatalaksanaan kanker Serviks dengan Gangguan Ginjal.

Baradero, Mary, dkk. 2005. Klien Gangguan Ginjal: Seri Asuhan Keperawatan.

Jakarta: EGC

Doenges, Marilynn E, Mary Frances Moorhouse dan Alice C. Geisser.

2000. Rencana Asuhan Keperawatan; Pedoman Untuk Perencanaan dan

Pendokumentasian Perawatan Pasien. Jakarta: EGC

Faiz, Omar dan Moffat, David. 2004. Anatomy at a Glance. Jakarta: Penerbit

Erlangga

Ignatavicius, DD,. & Workman. L,. (2006). Medical surgical nursing, critical

thinking for collaborative care. Elsevier Saunders.

James, Joyce, dkk. 2008. Prinsip-prinsip Sains untuk Keperawatan. Jakarta:

Penerbit Erlangga

O’Callaghan, Chris. 2009. At A Glance Sistem Ginjal Edisi Kedua. Jakarta:

Erlangga.

Smeltzer, S.S.B. 2008. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah. Jakarta: EGC

Sudoyo, A.W., Setiyohadi, B,.Alwi, I., Simadibrata, M., & Setiati, S. (Ed). (2009).

Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. (Edisi 4). Jilid II. Jakarta: Pusat

Penerbitan Penyakit Dalam FKUI

Suwitra, Ketut. 2007. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta: Pusat Penerbitan

IPD FKUI.

Você também pode gostar