Você está na página 1de 23

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Penyakit Parkinson merupakan penyakit yang banyak diderita orang yang


berusia lanjut dan menyebabkan ketidakmampuan gerak yang terus memburuk
yang terjadi dalam jangka panjang.
Menurut National Parkinson Foundation, di Amerika Serikat saja 50.000 –
60.000 orang terdiagnosis parkinson setiap tahunnya. Nama penyakit ini
sebenarnya berasal dari nama seorang dokter Inggris, James Parkinson yang
mempublikasikan pertama kali penyakit kerusakan otak ini.
Hingga saat ini, penyakit ini belum bisa disembuhkan. Terapi bertujuan
untuk memperbaiki dan mengelola gejala. Reaksi seseorang terhadap terapi
parkinson juga tidak seragam sehingga belum tentu satu jenis terapi cocok
digunakan semua orang. Selain terapi dengan obat-obatan, pasien juga perlu
melakukan terapi fisik dan bebricara serta perubahan gaya hidup untuk mengelola
dan memperlambat perkembangan penyakit.

B. Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah pada makalah ini adalah sebagai berikut:
1. Obat apa saja yang digunakan dalam menangani penyakit Parkinson?
2. Obat apa saja yang dapat melemaskan otot yang bekerja secara sentral
untuk mengurangi rasa nyeri akibat spasme otot atau spastisitas yang
terjadi pada gangguan muskuloskeletal dan neuromuskular?

1
C. Tujuan Makalah
1. Mahasiswa dapat mengetahui obat apa yang digunakan dalam menangani
penyakit Parkinson.
2. Mahasiswa dapat mengetahui obat pelemas otot yang bekerja secara
sentral untuk mengurangi rasa nyeri akibat spasme otot atau spastisitas
yang terjadi pada gangguan muskuloskeletal dan neuromuskular

2
BAB II

PEMBAHASAN

A. OBAT PENYAKIT PARKINSON

Penyakit Parkinson (paralisis agitans) merupakan suatu sindrom dengan


gejala utama berupa trias gangguan neuromuscular : tremor, rigiditas, akinesia
(hipokinesia) disertai kelainan postur tubuh dan gaya berjalan. Gerakan halus
yang memerlukan koordinasi kerja otot skelet sukar dilakukan pasien, misalnya
menyuap makanan, mengancingkan baju dan menulis. Akibat gejala ini paasien
sangat bergantung pada bantuan orang lain dalam kegiatan hidupnya sehari-hari.
Disamping gejala utama tersebut, sering ditemukan gangguan sistem otonom
berupa sialorea, seborea, hiperhidrosis. Tiga puluh persen kasusu juga menderita
demensia.

Berdasarkan etiologinya dikenal 3 jenis penyakit Parkinson yaitu (1)


parkinsonisme pascaensefalitis; (2) parkinsonisme akibat obat; dan (3)
parkinsonisme idiopatik. Berdasarkan gejala klinik Lonis Herzberg
mengemukakan 5 tahap penyakit:
Tahap 1. Gejala begitu ringan sehingga pasien tidak merasa terganggu. Hanya
seorang ahli akan mendeteksi gejala dini penyakit ini.

Tahap 2. Gejala ringan dan mulai sedikit mengganggu. Biasanya berupa tremor
ringan, bersifat variabel dan hilang timbul. Pasien merasa ada yang tidak beres
seakan-akan “tangannya tidak lagi menerut perintah”, sehingga gelas dan barang
lain lepas dari tangannya.

Tahap 3. Gejala bertambah berat . pasien sangat terganggu dan gangguan


bertambah dari hari ke hari. Banyak pasien dengan bradikinetik berat tidak
mengalami tremor sedangkan lebih sedikit pasien dengan tremor tidak mengalami
bradikinesia. Volume suara melemah dan menjadi monoton, wajah bagai topeng,
disertai tremor dan rigiditas. Jalan dengan langkah kecil dan kecenderungan
terjatuh mencolok pada tahap ini.

3
Tahap 4. Tidak mampu lagi berdiri tegak, kepala, leher dan bahujatuh ke depan.
Ini merupakan postur khas penyakit Parkinson. Pada tahap ini umumnya pasien
juga mengalami efek samping levodopa yang mengganggu karena dosis yang
diperlukan cukup besar. Mental pasien saat ini juga memburuk. Harus cermat
membedakan memberatnya penyakit dan efek samping levodopa.

Tahap 5. Memburuknya gejala terjadi terutama sewaktu kadar levodopa menurun


tetai efek samping tidak memungkinkan penambhan obat. Pada tahap ini
pengendalian penyakit sangat sulit dan menimbulkan keputusan baik pada pasien
maupun keluarga. Secara patofisiologik diketahui bahwa pada penyakit Parkinson
terjadi gangguan kesimbangan neuro-humoral di ganglia basal, khususnya traktus
nigrostriatum dalam sistem ekstrapiramidal.

KLASIFIKASI OBAT PENYAKIT PARKINSON

I. Obat Dopaminergik Sentral


A. Prekusor DA : levodopa
B. Agonis DA : bromokriptin, apomorfin, ropinirol, pramipreksol
II. Obat antikolinergik sentral
A. Senyawa antikolinergik sentral : triheksifenidil, biperiden,
sikrimin, prosiklidin, benztropin mesilat, dan karamifen
B. Senyawa antihistamin : difenhidramin, klorfenoksamin,
orfenadrin dan fenindamin
C. Derivat fenotiazin : etopropazin, prometazin, dan diatezin
III. Obat Dopamino-antikolinergik
A. Amantadin
B. Antidepresan trisklik : imipramin dan amitriptilin
IV. Penghambat MAO-B

4
1. OBAT DOPAMINERGIK SENTRAL

A. PREKUSOR DA
a. LEVODOPA
FARMAKOKINETIK. Levodopa cepat diabsorbsi secara aktif
tertama dari usus halus. Kecepata absorbsi sangat tergantung dsari
kecepatan pengosongan lambung. Yang mencapai sirkulasi darah relatif
sedikit karena: (1) levodopa cepat mengalami pemecahan dalam
lambung; (2) dirusak oleh flora usus dalam dinding usus bagian distal;
dan (3) lambatnya mekanisme absorbsi di bagian distal duodenum.
Absorbsi juga dihambat oleh makanan tinggi protein akibat kompetisi
asam amino dengan levodopa dalam absorbsi maupun transport ke otak.
Levodo[pa dapat mencapai sirkulasi kira-kira 22-30% dosis oral;
sedangkan 60% atau lebih mengalami biotransformasi di saluran cerna
dan hati. Hati mengandung sangat banyak enzim dopa-dekarboksilase
(dekarboksilase asam amino-I-aromatik, DC). Selain di hati, enzim
tersebar di berbagai jaringan, juga dalam didnding kapiler di otak.
Jelaslah bahwa levodopa yang mencapai jaringan otak jumlahnya
sedikit sekali diperkirakan hanya 1% dari dosis yang diberikan
mencapai SSP. Pemberian penghambat dekarboksilase mengurangi
pembentukan dopamin di perifer.

MEKANISME KERJA. Mekanisme kerja levodopa pada gejala


parkinsonisme diduga berdasarkan replesi kekurangan DA korpus
striatum. Telah dibuktikan bahwa beratnya defisiensi DA sejalan
dengan beratnya 3 gejala utama parkinsonisme dan konversi levodopa
menjadi dopamin terjadi pada manusia. Selain itu pascamati, kadar
dopamin di striatum pada pasien yang mendapat levodopa lima sampai
delapan kali lebih tinggi dibanding yang tidak diobati. Pengubahan
levodopa menjadi DA membutuhkan adanya dekarboksilase asam L-
amino aromatik. Pada sebagian pasien Parkinson, aktivitas enzim ini

5
menurun , tetapi agaknya mencukupi untuk mengubah levodopa
menjadi dopamin. Kenyataan ini tidaklah menyingkirkan kemungkinan
lain mekanisme kerja levodopa sebagai obat penyakit Parkinson.

EFEK TERAPI. Kira-kira 75% pasien parkinsonisme berkurang


gejalanya sebanyak 50% . hasil pengobatan pada orang-orang tertentu
menakjubkan terutama pada awal terapi. Boleh dikatakan semua gejala
dan tanda membaik, kecuali dimensia dan intabilitas postural. Perbaikan
terjadi pada gejala bradikinesia dan rigiditas, tremor sedikit diperbaiki
atau malah memburuk karena berkurangnya rigiditas. Manifestasi
sekunder motorik yaitu ekspresi wajah, bicara, menulis, menelan dan
pernapasan membaik secara proporsional dengan perbaikan rigiditas
dan bradikinesia. Kebanyakan pasien membaik alam perasaannya
(mood). Pada awal pengobatan pasien yang apastis berubah menjadi
bersemangat. Kewespadaan membaik dan merasa segar. Hal ini terlihat
pada perbaikan fungsi mental, meningkatnya perhatian pada diri sendiri,
keluarga dan lingkungan,

EFEK SAMPING. Efek samping levodopa terutama disebabkan


terbentuknya dopamin di berbagai organ perifer. Hal tersebut terjadi
karena diperlukan dosis levodopa yang besar untuk mendapat efek
terapi yaitu peningkatan DA di nigrostriatum. Karena tujuan pemberian
levodopa adalah peningkatan DA –striatum maka efek terhadap organ
lain menjadi efek samping obat ini. Efek samping levodopa di perifer
dapat dikurangi dengan pemberian penghambat dekarboksilase yang
akan dibahas kemudian. Sebagian besar pasien yang mendapat
levodopa mengalami efek samping : intensitas dan tipe efek samping
berbeda bergantung tahap pengobatan , besarnya dosis dan bersifat
reversibel. Khususnya pasien usia lanjut tidak tahan dosis besar.
Umumnya efek samping ini tidak membahayakan tetapi sebagian cukup

6
menganggu sehingga perlu pengurangan dosis atau penghentian
pemberian obat.
Sistem cerna. Sampai 80% pasien mengalami mual, muntah dan tidak
nafsu makan terutama bila dosis awal terlalu tinggi. Gangguan ini
agaknya berdasarkan efek sentral akibat perangsangan CTZ (
chemoreseptor tringger zone) oleh DA. Gangguan ini dapat dihindari
bila dosis awal rendah dan dinaikkan berangsur-angsur; atau dengan
sesekali mengurangi dosis harian. Timbulnya gejala ini dapat digunakan
sebagai patokan dalam menambah dosis harian. Jangan menggunakan
obat antiemetik golongan fenotiazin karena gejala penyakit dapat
memberat. Domperidon merupakan suatu antagonis dopamin dan
dikatakan bermanfaat untuk mengatasi efek sampin ini.
PENGGUNAAN KLINIK. Sebaiknya levodopa diberikan per oral
dengan makanan untuk mengurangi iritasi. Tetapi dimulai dengan dosis
kecil, dinaikkan secara berangsur-angsur, tetapi sebaiknya tidak
melebihi 8 g seghari. Bagan yang tertera dalam tabel 12-2 merupakan
salah satu pedoman penentuan dosis untuk pasien yang berobat jalan.

PEDOMAN DOSIS LEVODOPA UNTUK PASIEN BEROBAT JALAN


Masa Pengobatan Dosis Frekuensi pemberian
Minggu ke 1 125 mg 2 x sehari
Minggu ke 2 125 mg 4 x sehari
Minggu ke 3 250 mg 4 x sehari
Minggu ke 4 500 mg 3 x sehari
Minggu ke 5 500 mg 4 x sehari
Minggu ke 6 500 mg 5 x sehari
Minggu ke 7 1g 3 x sehari
Minggu ke 8 1g 3 x sehari + 500 mg di
malam hari
Selanjutnya bila diperlukan dosis harian dapat ditambah 500 mg setiap
minggu.

7
Dengan menggunakan pedoman di atas, terapi penyakit parkinson dapat
dilaksanakan pada pasien yang berobat jalan dengan hasil yang memuaskan.
Penyusuain dosis yang lebih cepat dapat dilakukan di rumah sakit. Dalam hal ini
dosis permulaan ialah 3-4 kali 250 mg sehari; bila pasien bersifat toleran , tiap
pemberian dapat dijadikan 500 mg; dan dosis selanjutnya ditingkatkan dengan
125-250 mg setiap 2-3 hari. Tiap pemberian tidak melebihi 1,5-2 g dan diberikan
setelah makan. Dosis dinaikkan sampai mendapat efek terapi yang dikehendaki
atau sampai terjadi efek samping yang membatasi peningkatan dosis lebih lanjut.
Dosis optimal kira-kira 3-4 g yang tercapai pada minggu ke 6, tetapi variasis dosis
efektif ialah 2-10 g sehari.
Levodopa pada pemberian oral tidak segera memberikan efek terapi.
Kadang-kadang efek terapi baru terlihat setelah 6 minggu. Malahan untuk mrnilai
efektif tidaknya levodopa pada seorang pasien diperlukan waktu sedikitnya 6
bulan. Setelah efek terapi dicapai, dosis selalu perlu disesuaikan dengan
kebutuhan.

B. AGONIS DOPAMIN

Beberapa zat kimia memiliki sifat dopaminergik, dengan mekanisme kerja


merangsang reseptor dopaminergik sentral. Obat yang termasuk golongan ini
adalah : apormorfin, piribedil, bromokriptin dan pergolin.
a. BROMOKRIPTIN
Bromokriptin merupakan prototip kelompok ergolin yaitu alkaloid ergot yang
bersifat dopaminergik, yang dikelompokkan sebagai ergolin. Dalam
kelompok ini termasuk lesurid dan pergolid. Walaupun obat-obat ini berbeda
sifat farmakokinetiknya maupun afinitasnya terhadap berbagai subtipe
reseptor dopaminergik, efektivitas kliniknya sangat mirip.
MEKANISME KERJA. Bromokriptin merangsang reseptor dopaminergik.
Obat ini lebih besar afinitasnya terhadap reseptor D2 dan merupakan
antagonis reseptor D1. Organ yang dipengaruhi ialah yang memiliki reseptor

8
dopamine yaitu SSP, kardiovaskular, poros hipotalamus-hipofisis dan saluran
cerna. Efektivitas bromokriptin pada penyakit Parkinson cukup nyata dan
lebih nyata lagi pada pasien dengan derajat penyakit lebih berat. Kenyataan
ini didukung oleh fakta : (1) efek terapi bromokriptin tidak tergantung dari
enzim dekarboksilase, pada penyakit Parkinson terdapat defisiensi enzim
tersebut di ganglia basal dan respons terapi levodopa biasanya kurang
memuaskan dalam keadaan penyakit yang berat. (2) bertambah beratnya
penyakit akan lebih meningkatkan sensitivitas reseptor dopaminergik.
Bromokriptin menyebabkan kadar HVA dalam CSS menurun, yang
memberikan kesan bahwa obat ini menghambat pembebasan DA dari ujung
saraf di otak. Terapi kombinasi levodopa dan bromokriptin pada penyakit
Parkinson dapat mengurangi dosis levedopa sambil tetap mempertahankan
atau bahkan dapat meningkatkan efek terapinya.
FARMAKOKINETIK. Hanya 30% bromokriptin yang diberikan per oral
diabsorpsi. Obat ini mengalami metabolisme lintas awal secara ekstensif
sehingga sedikit sekali fraksi dosis yang sampai di tempat kerja. Kadar
puncak plasma tercapai dalam 1,5-3 jam, mengalami metabolisme menjadi
zat tidak aktif dan sebagian besar diekskresi ke dalam empedu.
INDIKASI DAN DOSIS. Indikasi utama bromokriptin adalah sebagai
tambahan levedopa pada pasien yang tidak memberikan respons memuaskan
terhadap levedopa dan untuk mengatasi fluktuasi respons levodopa dengan
atau tanpa karbidopa. Bromokriptin diindikasikan sebagai pengganti levedopa
bila levedopa dikontraindikasikan.
Terapi dengan bromokriptin dimulai dengan dosis 1,25 mg, dua kali sehari.
Kemudian dosis dinaikkan sampai efek terapi tercapai atau timbul efek
samping. Obat sebaiknya diberikan dengan makanan. Peningkatan dosis
dilakukan setiap 2-4 minggu sebanyak 2,5mg/hari. Dengan pemberian
bromokriptin umumnya dosis levodopa dapat dikurangi dengan 125-250 mg
unyuk setiap penambahan 2,5 mg bromokriptin. Dosis maksimum
bromokriptin yang dapat diterima bervariasi untuk masing-masing pasien, 75
mg sehari dapat diterima bila pasien tidak mendapat levodopa dosis tinggi.

9
Dosis optimum kira-kira 45 mg sehari (20-75 mg) yang dapat dicapai dalam
kira-kira 6 minggu (2-15 minggu).
EFEK SAMPING. Efek samping bromokriptin memperlihatkan variasi
individu yang nyata. titrasi dosis yang teliti perlu untuk menentukan dosis
yang tepat. mual, muntah, dan hipotensi ortostatik merupakan efek samping
awal. Fenomena dosis awal berupa kolaps kardiovaskular dapat terjadi.
perhatian khusus harus diberikan pada mereka yang minum anti hipertensi.
pemberian obat bersama antasid atau makanan, dan memberikan dosis secara
bertahap mengurangi mual yang berat. Gangguan psikis berupa halusinasi
penglihatan dan pendengaran lebih sering ditemukan dibandingkan dengan
pada pemberian levodopa.

b. PERANGSANG SSP

Pada terapi penyakit parkinson, perangsang ssp bekerja memperlancar


transmisi da. definisi da tidak diperbaiki. Efek anti parkinson hanya lemah
dan umumnya perlu dikombinasikan dengan antikolinergik. Untuk tujuan ini
dekstroamfetamin diberikan 2 kali 5 mg sehari, metamfetamin dua kali 2,5
mg sehari, atau metilfenidat dua kali 5 mg sehari.

2. OBAT ANTIKOLINERGIK SENTRAL

Antikolinergik merupakan obat alternatif levodopa dalam pengobatan


parkinsonisme. prototip kelompok ini ialah triheksifenidil. termasuk dalam
kelompok ini ialah : bepiriden, prosiklidin, benztropin, dan antihistamin
dengan efek antikolinergik difenhidramin dan etopropazin.Mekanisme kerja.
dasar kerja obat ini ialah mengurangi aktivitas kolinergik yang berlebihan di
ganglian basai. Efek antikolinergik perifernya relatif lemah dibandingkan
dengan atropin. atropin dan alkaloid beladon lainnya merupakan obat pertama
yang dimanfaatkan pada penyakit parkinson, tetapi bukan pilihan karena efek
perifernya terlalu mengganggu.

10
A. SENYAWA ANTIKOLINERGIK SENTRAL
TRIHEKSIFENIDIL, SENYAWA KONGENERIKNYA DAN
BENZTROPIN
FARMAKODINAMIK.
Obat-obat ini terutama berefek sentral. Dibandingkan dengan potensi atropin,
triheksifenidil memperlihatkan potensi antispasmodik setengahnya, efek
midriatik sepertiganya, efek terhadap kelenjar ludah dan vagus
sepersepuluhnya. Seperti atropin, triheksifenidil dosis besar menyebabkan
perangsangan otak. Ketiga senyawa kongenerik triheksifenidil yaitu
biperiden, sikrimin dan prosiklidin, pada umumnya serupa triheksifenidil
dalam efek antiparkinson maupun efek sampingnya. Bila terjadi toleransi
terhadap triheksifenidil, obat-obat tersebut dapat digunakan sebagai
pengganti.
Benztropin tersedia sebagai benztropin mesilat, yaitu suatu metansulfonat
dari eter tropinbenzohidril. Eter ini terdiri atas gugus basa tropin dan gugus
antihistamin (difenhidramin). Masing-masing bagian tetap mempertahankan
sifat-sifatnya, termasuk efek antiparkinson. Efek sedasi gugus difenhidramin
bermanfaat bagi mereka yang justru mengalami perangsangan akibat
penggunaan obat lain; khususnya pada pasien yang berusia lanjut. Sebaliknya
bagian basa tropinnya menimbulkan perangsangan.

FARMAKOKINETIK.
Tidak banyak data farmakokinetik yang diketahui mengenai obat-obat ini.
Hal ini dapat dimengerti sebab saat obat ditemukan, farmakokinetika belum
berkembang. Sekarang obat ini kurang diperhatikan setelah ada levodopa dan
bromokriptin. Kadar puncak triheksifenidil, prosiklidin dan biperinden
tercapai setelah 1-2 jam. Masa paruh eliminasi terminal antara 10 dan 12 jam.
Jasi sebenarnya pemberian 2 kali sehari mencukupi, tidak 3 kali sehari
sebagaimana dilakukan saat ini.

11
EFEK SAMPING.
Antiparkinson kelompok antikolinergik menimbulkan efek samping sentral
dan perifer. Efek samping sentral dapat berupa gangguan neurologik yaitu :
ataksia, disartria, hipertermia; gangguan mental : pikiran kacau, amnesia,
delusi, halusinasi, somnolen dan koma. Efek samping perifel serupa atropin.
Triheksifenidil juga dapat menyebabkan kebutaan akibat komplikasi
glaukoma sudut tertutup; terutama terjadi bila dosis harian 15-30 mg sehari.
Pada pasien glaukoma sudut terbuka yang mendapat miotik, antikolinergik
cukup aman untuk digunakan.

Gejala insomnia dan gelisah olah antikolinergik sentral dapat diatasi dengan
dosis kecil hipnotik sedatif, atau dengan difenhidramin. Gangguan daya ingat
sering terjadi akibat pemberian antikolinergik pada pasien yang berumur lebih
dari 70 tahun dan pada pasien dengan demensia. Efek samping ini sangat
membatasi penggunaan antikolinergik sentral. Pada kelompok pasien ini lebih
aman diberikan anthistamin.

Efek samping benztropin umumnya ringan, jarang memerlukan penghentian


terapi; sesekali dosis perlu diturunkan umpamanya, bila timbul kelemahan
otot tertentu.

EFEK TERAPI.
Obat antikolinergik khususnya bermanfaat terhadap parkinsonisme akibat
obat. Misalnya oleh neuroleptik, termasuk juga antiemetik turunan fenotiazin,
yang menimbulkan gangguan ekstrapiramidal akibat blokade reseptor DA di
otak. Pengalaman di klinik menunjukkan bahwa pemberian antikolinergik
lebih efektif daripada levodopa untuk mengatasi gejala ini. Penambahan
antikolinergik golongan ini secara rutin pada pemberian neuroleptik tidak
dibenarkan, antara lain disebabkan kemungkinan timbulnya akinesia
tardiv.Belum jelas perbedaan efek terapi antar obat antikolinergik tetapi jelas
ada perbedaan keterterimaan obat antar individu.

12
Triheksifenidil juga memperbaiki gejala beser ludah (sialorroha) dan suasana
perasaan (mood). Selain pada penyakit Parkinson, triheksifenidil dapat pula
digunakan pada sindrom atetokoriatik, tortikolis spastik dan spasme fasialis;
demikian juga turunannya. Obat-obat ini digunakan sebagai pengganti
triheksifenidil bila terjadi toleransi. Berbeda dengan yang lain, prosiklidin
masih boleh digunakan pada pasien glaukoma dan hipertropi prostat dengan
pengawasan ketat. Triheksifenidil terutama berpengaruh baik terhadap
tremor, tetapi bradikinesia/akinesia dan rigiditas juga membaik. Secara
keseluruhan triheksifenidil tidak seefektif levodopa pada penyakit Parkinson
bukan karena obat. Efektivitas benztropin bertahan lebih lama dari
antikolinergik lain.

B. SENYAWA ANTIHISTAMIN
Beberapa antihistamin dapat dimanfaatkan efek antikolinergiknya untuk
terapi penyakit Parkinson, yaitu difenhidramin, fenindamin, orfenadrin, dan
klorfenoksamin. Keempat senyawa ini memiliki sifat farmakologik yang
mirip satu dengan lainnya. Difenhidramin 50 mg, 3-4 kali sehari diberikan
bersama levodopa, untuk mengatasi efek ansietas dan insomnia akibat
levodopa. Walaupun menimbulkan perasaan kantuk, obat kelompok ini dapat
memperbaiki suasana perasaan karena efek psikotropiknya menghasilkan
euforia. Efek antikolinergik perifer lemah, sehingga besar ludah hanya sedikit
dipengaruhi.

C. TURUNAN FENOTIAZIN
Turunan fenotiazin merupakan kelompok obat yang paling sering
menyebabkan gangguan ekstrapiramidal. Tetapi beberapa di antaranya justru
berefek antiparkinsonyaitu etopropazin, prometazin dan dietazin. Perbedaan
antara kedua sifat yang berlawanan ini mungkin dapat dijelaskan dengan
SAR. Rumus kimia ketiga senyawa tersebut di atas memiliki atom N pada
cincin inti fenotiazin oleh dua atom C; sedangkan pada senyawa dengan sifat

13
berlawanan pemisahan terjadi pada tiga atom C. Di samping ini ketiga
senyawa tersebut memiliki gugus dietil pada atom N rantal alifatik.
Rigiditas dan tremor dikurangi oleh obat ini, sedangkan terhadap gejala lain
efektivitasnya lebih kecil. Efek samping kantuk, pusing dan gejala
antikolinergik dapat terjadi. Dietazin dapat menyebabkan depresi sumsum
tulang dengan manifestasi granulositopenia atau agranulositosis yang
mungkin berbahaya. Untuk obat antiparkinson pemberian etopropazin
dimulai dengan 10 mg, 4 kali sehari. Dosis ditambah berangsur-angsur,
biasanya tidak melebihi 200 mg.

3. OBAT DOPAMINO-ANTIKOLINERGIK
A. AMANTADIN
Amantadin adalah antivirus yang digunakan terhadap influenza Asia. Secara
kebetulan penggunaan amantadin pada seorang pasien influenza yang juga
menderita penyakit Parkinson memperlihatkan perbaikan gejala neurologic.
Kenyataan ini merupakan titik tolak penggunan amantadin pada pengobatan
penyakit Parkinson. Amantadin diduga meningkatkan aktivitas
dopaminergik serta menghambat aktivitas kolinergik di korpus striatum.
Sebagai penjelasan telah dikemukakan bahwa amantadin membebaskan DA
dari ujung saraf dan menghambat ambilan prasinaptik DA, sehingga
memperpanjang waktu paruh DA di sinaps. Berbeda dengan levodopa,
amantadin tidak meningkatkan kadar HVA dalam CSS. Mekanisme kerjanya
belum diketahui dengan pasti. Efektivitasnya sebagai antiparkinson lebih
rendah dari pada levodopa tetapi respons lebih cepat (2-5 hari) dan efek
samping lebih rendah. Efektivitas amantadin tidak dipengaruhi umur, jenis
kelamin, lamanya penyakit, jenis penyakit dan pengobatan terdahulu.
Efektivitasnya paling nyata pada pasien yang kurang baik responsnya
terhadap levodopa. Pemberian amantadin dan levodopa bersama-sama
bersifat sinergis. Pada terapi dengan amantadin tungga, efektivitasnya tidak
bertahan dan hasila pengobatan menurun setelah 3-6 bulan.

14
Pemberian amantadin dimulai dengan 100 mg sehari. Jika pasien cukup
toleran setelah 1 minggu dosis dapat ditambahkan menjadi 2 kali 100 mg
sehari dan kemudian menjadi 3 kali 100 mg sehari. Tetapi menurut scgwab
dkk dosis lebih dari 200 mg sehari tidak memperlihatkan kenaikn manfaat
terapi yang berarti.
EFEK SAMPING. amantadin menyerupai segala intoksikais atropine. Gejala
yang dapat timbul adalah : disorientasi, depresi, gelisah, insomnia, pusing,
gangguan saluran cerna, mulut kering dan dermatitis. Lima persen pasien
menderita gangguan proses berpikir, bingung, lightheadedness, halusinasi dan
ansietas. Gejala ini terjadi pada awal terapi. Bersofat ringan dan bersifat
reversible dan kadang-kadang menghilang walaupun pengobatan diteruskan.
Aktivitas yang membutuhkan kewaspadaan mental sebaiknya dihindarkan
sampai kelompok gejalanya sudah jelas tidak ada. Livedo retikularis umum
tyerjadi 1 bulan setelah pengobatan dengan amantadin, tetapi tiudak
memerlukan penghentian terapi. Terjadinya livedo retikulartis diduga
merupakan respons fisiologik, akibat deplesi katekolamin dari depot ujung
saraf perifer. Pada beberapa pasien, livedo retikularis disertai dengan adema
pergelangan kaki.
Amantadin harus digunakan dengan hati-hati pada pasien epilepsy, ulkus
peptic, atau pengobatan dengan perangsang SSP, misalnya amfetamin.
Kombinasi amantadin dengan levodopa hanya dianjurkan bagi mereka yang
tidak dapat mentoleransi levodopa dalam dosis optimal.

B. ANTIDEPRESI TRISIKLIK

Imipramin atau amitriptilin yang digunakan tersendiri efek antiparkinsonnya


kecil sekali, tetapi bila dikombinasi dengan antikolinergik dapat sangat
bermanfaat. Dengan kombinasi ini, selainmeningkatkan perbaikan rigiditas
dan akinesia, gejala depresi juga diperbaiki. Untuk terapi penyakit
Parkinson, impramin atau amitriptilin dapat diberikan 10 sampai 25 mg,

15
empat kali sehari; pemberian ini dapat diteruskan dengan untuk waktu yang
lama.

4. PENGHAMBAT ENZIM PEMECAH DOPAMIN

A. PENGHAMBAT MONOAMIN OKSIDASE-B

SELEGILIN
Selegilin merupakan penghambat monoamine oksidase-B (MAO-B) yang
relatif spesifik. Saat ini dikenal dua bentuk penghambat MAO, tipe A yang
terutama berhubungan dengan deaminasi oksidatif norepinefrin dan
serotonin; tipe B yang memperlihatkan aktivitas terutama pada dopamine.
Penghambat MAO-A menyebabkan hipertensi bila terdapat tiramin yang
masuk dari makanan, demikian juga bila dikombinasi dengan levodopa.
Selegilin dapat diberikan secara aman dalam kombinasi dengan levodopa.
Selektivitas ini hanya berlaku untuk dosis sampai 10 mg/hari.

MEKANISME KERJA.
Selegilin menghambat deaminasi dopamine sehingga kadar dopamine di
ujung saraf dopaminergik lebih tinggi. Selain itu, ada hipotesis yang
mengemukakan bahwa selegilin mungkin mencegah pembentukan
neurotoksin endogen yang membutuhkan aktivasi oleh MAO-B. Secara
eksperimental pada hewan, selegilin mencegah parkinsonisme akibat MPTP.
Mekanisme lain diduga berdasarkan pengaruh metabolitnya yaitu N-des-
metil selegilin, L-metamfetamin dan L-amfetamin. Isomer ini 3-10 kali
kurang poten dari bentuk D. Metamfetamin dan amfetamin menghambat
ambilan dopamine dan meningkatkan penglepasan dopamine.

EFEK TERAPI.
Pada pasien penyakit Parkinson lanjut penambahan selegilin pada levodopa
meringankan fenomena wearing off. Fenomena pasang surut dan
pembekuan gerakan tidak jelas dipengaruhi. Penambahan selegilin
memungkinkan pengurangan dosis levodopa 10-30%. Dengan demikian,

16
efek samping levodopa berkurang. Pemberian selegilin tunggal pada awal
penyakit agaknya menghambat progresivitas penyakit Parkinson sehingga
menunda keperluan pengobatan dengan levodopa.

EFEK SAMPING.
Penggunaan selegilin belum begitu luas, tetapi data sampai saat ini
menyimpulkan bahwa selegilin dengan dosis sampai 10 mg/hari diterima
dengan baik. Efek samping berat tidak dilaporkan terjadi, efek samping
kardiovaskular jelas kurang dari penghambat MAO-A. Hipertensi, mual,
kebingungan, dan psikosis pernah dilaporkan.

B. PENGHAMBAT KATEKOLOKSIMETIL TRANSFERASE (COMT-


INHBITOR)

Entakapon dan tolkapon merupakan inhibitor COMT yang bersifat


reversible. Penambahan obat-obat ini pada karbidopa. Obat ini terutama
berguna bila masa kerja karbidopa semakin memendek setelah pengobatan
jangka panjang. Karena obat ini meningkatkan kadar levodopa di otak pada
awal pengobatan, dosis karbidopa sebaiknya diturunkan kira-kira
sepertiganya. Efek samping levodopa dapat meningkat setelah pemberian
obat golongan ini. Tolkapon dilaporkan lebih sering menimbulkan diare
daripada entakapon. Tes fungsi hati perlu dilaporkan setiap 2 minggu dalam
1 tahun setelah pemberian tolkapon; tidak pada pemberian entakapon.
Dosis tolkapon,100 mg tiga kali sehari. Dosis entakapon 200 mg diberikan
bersama levodopa/ karbidopa sampai maksimum 5 kali sehari.

17
B. OBAT PELEMAS OTOT YANG BEKERJA SECARA

SENTRAL

Obat-obat golongan ini bekerja selektif di SSP(Sistem Saraf Pusat) dan


terutama digunakan untuk mengurangi rasa nyeri akibat spasme otot atau
spastisitas yang terjadi pada gangguan muskuloskeletal dan neuromuskular.
Mekanisme kerjanya mungkin akibat aktivitas depresi SSP.
Spasme otot adalah kontraksi otot involunter yang nyeri, yang dapat
menyebabkan gerakan involunter, mengganggu fungsi dan menyebabkan
distorsi. Obat-obat golongan ini digunakan untuk mengobati spasme otot
seperti splinting yang terjadi sebagai respons terhadap trauma lokal atau
gangguan sendi dan muskuloskeletal. Splinting merupakan refleks spasme otot
yang menghasilkan kekakuan otot dan berlaku sebagai mekanisme protektif
untuk mencegah gerakan dan kerusakan lebih lanjut. Pengobatan terutama
ditujukan pada penyebabnya, dan obat pelemas otot diberikan hanya untuk
jangka pendek.
Obat yang ada sekarang ini hanya dapat mengurangi nyeri akibat spasme
otot, tetapi kurang efektif untuk memperbaiki fungsi otot yang terganggu. Obat
dalam kelompok ini dikenal baklofen, tizanidin, siklobenzaprin, mefenesin,
metokarbamol, stiramat, klorzoksazon, karisoprodol, metaksalon,
mefenoksalon, dan obat generasi baru yang masih diteliti manfaatnya yaitu
gabapentin, progabid, glisin, idrosilamid, dan riluzol.

1. BAKLOFEN
MEKANISME KERJA. Baklofen ialah suatu agonis GABAb yang
menyebabkan relaksasi otot dengan cara meningkatkan konduksi K+
sehingga terjadi hiperpolarisasi (di medula spinalis dan dalam otak), yang
menyebabkan inhibisi prasinaptik dengan akibat mengurangi infulks
kalsium. Selain itu, baklofen mengurangi nyeri pada spastisitas dengan
menghambat penglepasan neurotransmiter eksitasi, yakni substansi P, di
medula spinalis.

18
FARMAKOKINETIK. Absorpsi oral baik, kadar puncak tercapai dalam 3
jam. Ikatan protein 30%. Rasio kadar plasma dan otot adalah 10:1. Waktu
paruhnya 3-4 jam. Eliminasi dari otak lambat. Eksresi lewat urin 70-85%
dalam satu hari, baru lengkap 3 hari.
INDIKASI. Baklofen digunakan untuk mengurangi nyeri pada spasme otot
kronik. Spasme otot yang berat biasanya memerlukan baklofen yang
diberikan secara intratekal. Efektivitas baklofen pada spasme mirip dengan
diazepam tetapi efek sedasinya lebih ringan. Selain itu, baklofen tidak hanya
mengurangi kekuatan otot seperti halnya dantrolen.
EFEK SAMPING. Baklofen dapat diterima baik, reaksi berbahaya jarang
terjadi. Yang paling umum dilaporkan ialah mengantuk, lelah, dan pusing
terutama bila dosis tidak diberikan secara bertahap. Mual, gangguan saluran
cerna ringan, diare, insomnia, sakit kepala, bingung, hipotensi simtomatik dan
sering kencing terjadi dengan insidens 1-10&. Pada keracunan obat ditandai
dengan kejang, koma, depresi napas, hipotonia otot, dan hilangnya refleks
tunggal. Bradikardia dan hipotensi juga dilaporkan terjadi.
POSOLOGI. Dosis harus dimulai rendah dan ditambah secara bertahap.
Dosis dewasa, 3 kali sehari 5 mg. Tiga hari pertama ditingkatkan bila perlu 5
mg/kali dengan interval 3 hari sampai efek terapi tercapai, maksimum 100
mg/hari. Obat harus dihentikan secara bertahap agar tidak terjadi aksaserbasi.
Dosis anak, 1-1,5 mg/kg per hari, mulai dengan 5 mg/hari.

C. PELEMAS OTOT YANG BEKERJA SENTRAL LAINNYA

1. Tizanidin.
Tizanidin adalah derivate klonidin dengan efek agonis adrenoreseptor α2.
Penelitian neurofisiologi pada hewan dan manusia menunjukkan bahwa
tizanidin meningkatkan efek inhibisi prasinaps dan pancasinaps di medulla
spinalis. Selain itu tizanidin juga menghambat transmisi nosiseptif di bagian
dorsal medulla spinalis. Tizanidin digunakan untuk mengurangi spastisitas
pada sclerosis multiple atau pada trauma medulla spinalis. Tizanidin dapat

19
mengurangi spastisitas pada dosis yang kurang mempengaruhi system
kardiovaskular dari pada klonidin. Efektivitas spasmolitiknya sebanding
dengan diazepam, baclofen, dan dantrolen, tetapi efek sampingnya berbeda.
Selain mengantuk, tizanidin juga menyebabkan hipotensi, mulut kering, dan
astenia. Banyaknya dosis yang diperlukan sangat bervariasi untuk setiap
pasien, sehingga dibutuhkan titrasi dosis individual agar mendapatkan efek
yang optimal. Tizanidin diberikan per oral dengan dosis awal 2 mg sekali
sehari, dinaikkan 2 mg setiap 3-4 hari, sampai 24 mg/hari yang diberikan 3-4
kali sehari.

2. Siklobenzaprin.
Siiklobenzaprin adalah derivat antidepresan trisiklik. Obat ini merupakan
prototipe pelemas otot yang dipakai untuk mengobati spasme otot local yang
disebabkan oleh trauma atau regangan otot. Pelemas otot lainnya dalam
kelompok ini meliputi klorzoksazon, karisoprodol, metaksalon, klorfenesin,
metokarbamol, danorfenadrin. Siklobenzaprin tidak efektif mengobati spasme
otot yang disebabkan oleh cerebral palsy atau trauma medulla spinalis. Dosis
5 mg tiga kali sehari per oral dinaikkan bila perlu sampai 10 mg, 3 kali sehari,
selama 2-3 minggu.

3. Karisoprodol.
Karisoprodol adalah derivatmeprobamat. Kerjanya sebagai pelemas otot
mungkin berhubungan dengan efek sedasinya. Efek samping yang paling
sering dijumpai adalah kantuk, efek samping lainnya tidak banyak berbeda
dengan pelemas otot yang bekerja sentral lainnya.
Dosis dewasa 400 mg, empat kali sehari per oral, selama tidak lebih dari 8
minggu. Dosis anak 25 mg/kgBB per hari dibagi dalam empat dosis.

4. Metaksalon.
Kerja relaksasi otot diduga bertalian dengan efek sedasinya. Obat ini berguna
menghilangkan spasme otot local, dapat menyebabkan mual, mengantuk, dan
pusing. Metaksalon sebaiknya tidak digunakan pada pasien penyakit hati

20
karena dapat menyebabkan gangguan faal hati. Dosis dewasa 800 mg, tiga
kali sehari.

5. Diazepam.
Benzodiazepine meningkatkan kerja GABA di SSP. Diazepam bekerja di
semua sinaps GABA, tetapi kerjanya dalam mengurangi spastisitas sebagian
dimediasi di medulla spinalis. Karena itu diazepam dapat digunakan pada
spasme otot yang asalnya dari mana saja, termasuk trauma otot local. Tetapi,
obat ini menyebabkan sedasi pada dosis yang diperlukan untuk mengurangi
tonus otot. Dosis dimulai dengan 4 mg/hari yang dapat ditingkatkan bertahap
hingga maksimum 60 mg/hari. Benzodiazepine lain yang sering juga dipakai
sebagai pelemas otot adalah midazolam.

21
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Stimulan Sistem Saraf Pusat (SSP) adalah obat yang merangsang cerebrum
medula dan sumsum tulang belakang. Obat penyakit parkinson adalah salah
satu golongan obat yang bekerja pada susunan sistem saraf pusat. Penyakit
parkinson ditandai dengan gejala tremor, kaku otot atau kekakuan anggota
gerak gangguan gaya berjalan, gangguan persepsi dan daya ingat yang terjadi
akibat degenerasi yang progresif dari sel-sel otak yang menyebabkan terjadinya
defisiensi neurotransmiter yaitu dopamine. Dan adapun obat pelemas otot yang
bekerja secara sentral merupakan obat yang bekerja secara selektif di
SSP(Sistem Saraf Pusat) untuk mengurangi rasa nyeri akibat spasme otot atau
spastisitas yang terjadi pada gangguan muskuloskeletal dan neuromuskular.

B. Saran
Untuk dapat memahami obat penyakit parkinson dan pelemas otot yang
bekerja secara sentral, selain membaca dan memahami materi-materi dari
sumber keilmuan seperti buku, internet, dan lain-lain, kita harus dapat
mengkaitkan materi-materi tersebut dengan kehidupan kita sehari-hari, agar
lebih mudah untuk dipahami.

22
DAFTAR PUSTAKA

Aminoff MJ. Pharmacologic management of Parkinsonisme and other movement


disorder. In: Katzung BG, ed. Basic & Clinical Pharmacology. 10th ed. Singapore:
McGraw-Hill; 2007. p.442-56

Parkinson Study Group. Entacapone improves motor fluctuations in levodopa-


treated Parkinson’s diseases. Ann Neurol 1997;42;747-55.

Rascol O, Brooks DJ, Korczyn AD, et al. A five-year study of incidence of


dyskinesia in patients with early Parkinson’s disease who were treated with
ropinirole or levodopa. N Engl J Med 2000;343;1484-91.

Standaert DG, Young AB, Treatment of central nervous system degenerative


disorder. In: Bruton LL, Lazo JS, Parker KL, eds. Goodman & Gilman’s the
Pharmacological Basis of Therapeutics. 11th ed. New York: McGraw-Hill; 2006.
p.533-8.

23

Você também pode gostar