Você está na página 1de 8

Akhlak ” Adab-Adab di dalam Masjid “

Al-Ustadz Abdul Mu’thi Sutarman, Lc.

Masjid memiliki kedudukan yang sangat mulia di dalam Islam dan di mata para
pemeluknya. Ia adalah tempat bersatunya jiwa-jiwa kaum mukminin dalam mendekatkan
diri kepada Allah Subhanahu wata’ala dan wadah untuk berkumpulnya jasmani mereka agar
saling mempererat tali persaudaraan serta bertukar manfaat dan informasi. Di dalam masjid
pula, dahulu Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam mendidik para sahabatnya di atas agama
ini. Dari masjid beliau muncul generasi umat Islam pertama yang menebarkan cahaya ke
seluruh penjuru bumi. Karena itu, masjid Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam di Madinah bisa
dikatakan sebagai universitas Islam pertama, dengan guru besarnya adalah
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam dan para sahabat sebagai mahasiswanya. Masjid
mempunyai sejarah panjang yang mampu menetaskan para ulama dan da’i yang handal
keilmuannya serta mampu memberikan kontribusi yang besar bagi umat.

Karena masjid adalah sarana vital untuk membentuk karakteristik umat dan syiar Islam
yang menonjol, maka sesampainya di Madinah ketika berhijrah, yang dilakukan oleh
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam pertama kali adalah membangun masjid bersama
para sahabat. Setelah berdiri tegak masjid tersebut dengan segala kesederhanaan yang ada,
masjid beliau tidak hanya berfungsi sebagai tempat pembinaan dan ritual keagamaan.
Bahkan, dari sanalah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam mengatur urusan kenegaraan,
menentukan strategi perang dan mengirim pasukan, mengobati orang yang sakit, serta
menyambut delegasi asing.

Intinya, masjid adalah syiar Islam yang besar dan mempunyai peran yang sangat strategis
demi tercapainya kemuliaan Islam dan muslimin. Umat Islam senantiasa mulia manakala
kembali memakmurkan masjid seperti halnya generasi awal umat ini. Karena sedemikian
besar kedudukan masjid, maka ada beberapa adab/sopan santun yang ditentukan oleh
agama ketika seorang berada di dalamnya. Siapa saja yang mengagungkan syiar Allah
Subhanahu wata’ala, maka itu pertanda ketakwaan, sebagaimana firman Allah Subhanahu
wata’ala,

َ‫ب‬ ْ ‫اَمنَت ْقو‬


ِ ‫ىَالقُلُو‬ ِ ‫ََّللاَِفإِنهه‬
‫ذَٰ ِلكَومنَيُع ِظ ْمَشعائِر ه‬
“Dan barang siapa mengagungkan syiar-syiar Allah, maka sesungguhnya itu timbul dari ketakwaan
hati.” (al- Hajj: 32)

Adab Seorang Muslim di Dalam Masjid


Ketika seorang muslim hendak masuk masjid, dia mendahulukan kaki kanan seraya
mengucapkan salam atau shalawat atas Nabi lalu membaca doa yang dituntunkan oleh
Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam, seperti doa,

َ‫الله ُه همَا ْفت ْحَ ِليَأبْوابَر ْحم ِتك‬


“Ya Allah, bukakan bagiku pintupintu rahmat-Mu.”

Apabila hendak keluar masjid, didahulukan kaki kiri lalu membaca salam atau shalawat
atas Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam dan doa:

ْ ‫الله ُه همَ ِإنِيَأ ْسألُكَ ِم ْنَف‬


َ‫ض ِلك‬
“Ya Allah, sesungguhnya aku memohon kepada-Mu kebaikan-Mu/ tambahan nikmat-Mu.”

Doa di atas sangat tepat. Kala seseorang hendak masuk masjid, ia memohon rahmat
Allah Subhanahu wata’ala karena akan menyibukkan diri dengan ibadah yang mendekatkan
dirinya kepada Allah Subhanahu wata’ala, pahala dan surga-Nya. Ketika akan keluar, dia
memohon kepada Allah Subhanahu wata’ala tambahan rezeki-Nya karena dia akan
menjalani aktivitas duniawi. (lihat Faidhul Qadir 1/432) Jika seseorang telah masuk masjid,
disyariatkan baginya shalat dua rakaat tahiyyatul masjid sebagaimana sabda Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wasallam,

َ‫َالم ْس ِجدَف ْلي ْرك ْعَر ْكعتي ِْنَقبْلَأ ْنَي ْج ِلس‬


ْ ‫ِإذاَدخلَأحدَُ ُك ُم‬
“Apabila salah seorang di antara kalian masuk masjid, hendaknya ia shalat dua rakaat sebelum
duduk.” (HR. al- Bukhari no. 444)

Yang diinginkan dari hadits ini adalah orang yang masuk masjid agar tidak duduk sampai
ia shalat terlebih dahulu. Jadi, apabila ia masuk masjid lalu shalat sunnah qabliyah atau
shalat wajib yang akan dia lakukan, hal itu telah mencukupinya sehingga tidak perlu shalat
tahiyyatul masjid. Demikian pula apabila ia masuk dalam kondisi iqamat telah
dikumandangkan, shalat fardhu yang ada telah mencukupinya dari shalat tahiyyatul masjid.
(lihat Fatawa al-Lajnah ad-Daimah 7/270)

Apabila telah berada di masjid, hendaknya dia menyibukkan diri dengan ibadah-ibadah
yang disyariatkan, seperti zikir, membaca al-Qur’an, mempelajari ilmu, dan yang lainnya.
Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda ketika menasihati seorang badui yang kencing di
masjid, “Sesungguhnya masjidmasjid ini tidak boleh dikencingi dan dikotori. Ia tidak lain (tempat)
untuk berzikir kepada Allah Subhanahu wata’ala, shalat, dan membaca al-Qur’an.” (Shahih Muslim
no. 285 dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu)

Orang yang duduk menanti dikumandangkan iqamat alangkah bagusnya apabila dia berdoa
karena saat itu adalah waktu yang mustajab. Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

ِ ْ ‫انَو‬
َ‫اْلقام ِة‬ ْ ‫الدُّعا ُءَلَيُردَُّبيْن‬
ِ ‫َاْلذ‬
“Doa antara azan dan iqamat tidak ditolak (oleh Allah Subhanahu wata’ala).” (Shahih Sunan at-
Tirmidzi 1/133 no. 212)

Ketika seorang telah shalat di suatu masjid atau tempat, lalu dia mendatangi masjid yang
lain dan mendapati jamaah masjid tersebut sedang melangsungkan shalat berjamaah,
hendaknya dia ikut berjamaah bersama mereka. Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda
(yang artinya), “Apabila salah seorang dari kalian shalat di rumahnya, kemudian dia masuk masjid
dan orangorang (yang di dalamnya) sedang shalat, hendaknya ia shalat bersama mereka. Shalat
tersebut baginya (hukumnya) sunnah.” (HR. ath-Thabarani dalam al-Kabir dan dinyatakan
sahih oleh asy-Syaikh al-Albani dalam Shahih al-Jami’ no. 654)

Hendaknya seseorang berusaha menempati shaf-shaf awal apabila masih ada tempat karena
keutamaannya yang besar. Hal ini seperti disabdakan oleh Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam,

َ‫َاْل هو ِل َث ُ هم َل ْمَي ِجد ُْواَ ِإ هَّل َأ ْن َي ْست ِه ُم ْوا‬


ْ ‫ف‬ ِ ‫ص‬
‫اء َوال ه‬ ُ ‫ل ْو َي ْعل ُم َالنه‬
ِ ‫اس َماَفِيَالنِد‬
‫عل ْي ِهََّل ْسته ُم ْوا‬
“Andai manusia tahu apa yang ada pada azan dan shaf awal (yakni keutamaannya), lalu mereka
tidak bisa mendapatkannya kecuali dengan undian, niscaya mereka akan berundi untuknya.”
(Muttafaqun ‘alaih)

Orang yang berusaha mengisi shafshaf terdepan menunjukkan bahwa dia bersemangat
meraih keutamaan. Akan tetapi, caranya tidak seperti yang dilakukan sebagian orang:
sengaja meletakkan sajadahnya di shaf-shaf awal, lalu keluar dari masjid dan sibuk dengan
aktivitas dunia; ketika telah datang waktu shalat ia pun datang untuk menempati shaf
tersebut. Hal ini tidak diperbolehkan, sebagaimana disebutkan oleh asy-Syaikh Ibnu
Utsaimin rahimahullah dalam Majmu’ Fatawa-nya. Sebab, tempat yang ada di masjid
tidaklah dimiliki oleh siapa pun secara khusus. Yang diinginkan adalah seseorang datang
lebih awal dan menempati shaf awal, bukan sajadahnya (wallahu a’lam).
Di antara hal yang juga perlu diperhatikan oleh orang yang berada dalam masjid ialah
apabila azan sudah dikumandangkan di masjid tersebut, janganlah ia keluar kecuali ada
keperluan yang ia akan kembali lagi ke masjid itu, seperti mengambil air wudhu, mengganti
pakaiannya yang terkena najis, dan semisalnya. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam
bersabda (yang artinya), “Barang siapa yang azan telah mendapatkannya di masjid kemudian ia
keluar, ia tidak keluar karena suatu keperluan, yang ia tidak ingin kembali (ke masjid) maka dia
munafik.” (Shahih Sunan Ibnu Majah no. 606)

Abdurrahman bin Harmalah rahimahullah berkata, “Seorang lelaki datang kepada Sa’id bin
al-Musayyib t untuk mengucapkan salam perpisahan ketika mau haji atau umrah. Sa’id
berkata kepadanya, ‘Engkau jangan pergi dahulu sebelum shalat, karena
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, ‘Tidaklah keluar dari masjid setelah azan
dikumandangkan selain orang munafik, kecuali seseorang yang keluar karena suatu
keperluan dan ia ingin kembali lagi ke masjid.’ Lelaki tersebut berkata, ‘Sesungguhnya
rekanrekan saya ada di Harrah (tempat yang tanahnya berbatu hitam di Madinah).’ Orang
itu (tetap) pergi.” Abdurrahman bin Harmalah rahimahullah berkata, “Sa’id pun bertanya
dan mencari berita orang tersebut, sampai dia diberi tahu bahwa orang tersebut terjatuh dari
kendaraannya hingga retak pahanya.” (Sunan ad-Darimi 1/125 no. 452)

Tidak Mengganggu Orang yang Shalat atau yang Sedang Menjalankan Ketaatan Lainnya

Orang yang sedang menjalankan ibadah di dalam masjid membutuhkan ketenangan


sehingga dilarang mengganggu kekhusyukan mereka, baik dengan ucapan maupun
perbuatan. Di antara bentuknya adalah:

1. Melangkahi pundak-pundak mereka untuk mendapatkan shaf depan, padahal shaf telah rapat.

Bentuk lainnya, dia menggeser-geser tempat duduk saudaranya yang telah sempit sehingga
ia merampas sebagian tempat duduk saudaranya. Sahabat Jabir radhiyallahu ‘anhu
menuturkan bahwa dahulu ada seorang lelaki masuk ke masjid pada hari Jum’at dan Nabi n
sedang menyampaikan khutbahnya. Orang tersebut melangkahi para manusia.
Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam lalu berkata kepadanya, “Duduklah kamu! Kamu telah
menyakiti dan telah terlambat datang.” (Shahih Sunan Ibni Majah no. 923)

2. Menyuruh seorang yang duduk untuk berdiri lalu dia menempati tempat tersebut.

Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda (yang artinya), “Janganlah salah seorang dari kalian
menyuruh orang lain untuk berdiri dari tempat duduknya lalu ia duduk padanya. Namun, berilah
kelapangan!” (Muttafaqun ‘alaih)

Seorang muslim hendaknya menjaga perasaan orang lain dan tidak menyakitinya. Dalam
hadits di atas juga ada perintah untuk melapangkan tempat duduk bagi saudaranya yang
baru datang sehingga bisa mendapatkan tempat duduk. Tidak pantas seorang muslim rakus
dengan tempat duduk dengan mengambil tempat yang melebihi kebutuhannya sehingga
menghalangi orang lain mendapatkannya.
3. Berteriak-teriak dan membuat gaduh di dalam masjid

Sebab, masjid dibangun bukan untuk ini. Demikian pula mengganggu dengan obrolan yang
keras. Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda (yang artinya), “Ketahuilah bahwa setiap
kalian sedang bermunajat (berbisikbisik) dengan Rabbnya. Maka dari itu, janganlah sebagian kalian
menyakiti yang lain dan janganlah mengeraskan bacaan atas yang lain.” (HR. Ahmad, Abu
Dawud, dan al-Hakim, asy-Syaikh al-Albani menyatakannya sahih dalam Shahih al-Jami’)

Apabila mengeraskan bacaan al-Qur’an saja dilarang jika memang mengganggu orang lain
yang sedang melakukan ibadah, lantas bagaimana kiranya jika mengganggu dengan
suarasuara gaduh yang tidak bermanfaat?! Sungguh, di antara fenomena yang
menyedihkan, sebagian orang—terutama anak-anak muda—tidak merasa salah membuat
kegaduhan di masjid saat shalat berjamaah sedang berlangsung. Mereka asyik dengan
obrolan yang tiada manfaatnya. Terkadang mereka sengaja menunggu imam rukuk, lalu lari
tergopoh-gopoh dengan suara gaduh untuk mendapatkan rukuk bersama imam. Untuk yang
seperti ini kita masih meragukan sahnya rakaat shalat tersebut karena mereka tidak
membaca al-Fatihah dalam keadaan sebenarnya mereka mampu.

Tetapi, mereka meninggalkannya dan justru mengganggu saudara-saudaranya yang sedang


shalat. Hal ini berbeda dengan kondisi sahabat Abu Bakrah radhiyallahu ‘anhu yang ketika
datang untuk shalat bersama Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam didapatkannya
beliau Shallallahu ‘alaihi wasallam sedang rukuk lalu ia ikut rukuk bersamanya dan itu
dianggap rakaat shalat yang sah.

4. Apabila Anda masuk masjid membawa senjata, pastikan bahwa Anda telah menutup bagian
yang tajam, runcing, atau yang berbahaya, sehingga aman dan tidak melukai orang lain

Sahabat Jabir bin Abdullah radhiyallahu ‘anhu berkata, “Ada seorang lelaki masuk masjid
dengan membawa anak panah. Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam lalu memerintahkan orang
tersebut untuk memegang bagian yang runcing dari anak panah itu.” (lihat Shahih al- Bukhari no.
451)

Membersihkan Masjid dari Kotoran

Masjid sebagai tempat yang paling dicintai oleh Allah Subhanahu wata’ala di muka bumi ini
harus kita jaga kebersihannya. Oleh karena itu, dilarang meludah dan mengeluarkan dahak
dan membuangnya di dalam masjid, kecuali meludah di sapu tangan atau pakaiannya.
Adapun di lantai masjid atau temboknya, hal ini dilarang. Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam
bersabda,

ْ ِ‫اقَف‬
‫يَالم ْس ِج ِدَخ ِطيْئةٌَوكفهارتُهاَد ْفنُها‬ ُ ‫بُز‬ ْ
َ‫ال‬

“Meludah di masjid adalah suatu dosa, dan kafarat (untuk diampuninya) adalah dengan menimbun
ludah tersebut.” (Shahih al-Bukhari no. 40)
Yang dimaksud menimbun ludah di sini adalah apabila lantai masjid itu dari tanah, pasir,
atau semisalnya. Adapun jika lantai masjid itu berupa semen atau kapur, maka ia meludah
di kainnya, tangannya, atau yang lain. (lihat ucapan al-Imam an-Nawawi t seputar masalah
ini dalam kitabnya Riyadhush Shalihin bab “an-Nahyu ‘anil Bushaq fil Masjid”)

Apabila seseorang melihat di dalam masjid atau pada dindingnya ada dahak atau
semisalnya, hendaknya dia membersihkannya. Sebab, dahulu Nabi Shallallahu ‘alaihi
wasallam pernah melihat dahak yang melekat pada dinding masjid lalu beliau Shallallahu
‘alaihi wasallam mengambil batu kerikil untuk mengeriknya. (lihat Shahih al-Bukhari no. 408
dan 409)

Hadits tersebut mengandung sejumlah faedah, di antaranya adalah menghilangkan sesuatu


yang kotor dari masjid, dan seorang imam/penguasa hendaknya memerhatikan kondisi
masjidmasjid yang ada, serta sikap rendah hati Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam yang
mau turun langsung membersihkan kotoran. Dengan dibersihkannya masjid dari kotoran,
maka orang yang melaksanakan ibadah padanya akan merasa nyaman, di samping
pelakunya akan mendapat pahala. Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallambersabda (yang artinya),

“Diperlihatkan (kepadaku) amalanamalan umatku yang baiknya dan yang buruknya. Aku melihat
pada amalan kebaikannya (adalah) menyingkirkan gangguan dari jalan, dan aku melihat pada
amalan jeleknya (adalah) dahak yang ada di masjid yang dia tidak menimbunnya. ” (HR.
Ahmad, Muslim, dan Ibnu Majah dari Abu Dzar )

Oleh karena itu, orang yang akan shalat dengan memakai sandalnya di masjid1 hendaknya
sebelum masuk masjid ia membalikkan sandalnya untuk melihat apakah ada kotoran atau
tidak sehingga dia bisa membuangnya terlebih dahulu.

Menjauhkan Masjid dari Bau yang Tidak Sedap

Apabila seseorang memakan makanan yang menimbulkan bau tidak sedap dan bisa
mengganggu orang yang sedang beribadah di masjid maka ia dilarang masuk ke masjid.
Contohnya, seseorang memakan bawang merah atau bawang putih yang masih mentah.
Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

َ‫ َفَل َي ْقربنها َ ِفي‬،ِ‫َالب ْقل ِة َالث ُّ ْو ِم َو ْالبص ِل َو ْال ُك هراث‬


ْ ‫َم ْن َه ِذ ِه‬ِ ‫م ْن َأكل‬
ِ ‫ىَم هماَيتأذه‬
َ‫ىَم ْنهَُبنُ ْوَآدم‬ ِ ‫َالمَلئِكةَتتأذه‬ ْ ‫اجدِناَفإ ِ هن‬
ِ ‫مس‬
“Barang siapa memakan sayuran ini: bawang putih, bawang merah, dan seledri, janganlah
mendekati kami di masjid-masjid kami. Sebab, para malaikat terganggu dengan sesuatu yang
mengganggu manusia.” (HR. Muslim)
Apabila seseorang dilarang masuk masjid karena mengonsumsi sesuatu yang baunya tidak
sedap seperti bawang mentah, padahal bawang itu halal, lantas bagaimana halnya dengan
orang yang mengisap rokok di masjid?

Menjaga dari Ucapan yang Jorok dan Tidak Layak di Masjid

Tempat yang suci tentu tidak pantas kecuali untuk ucapan-ucapan yang suci dan terpuji
pula. Oleh karena itu, tidak boleh bertengkar, berteriak-teriak, melantunkan syair yang tidak
baik di masjid, dan yang semisalnya. Demikian pula dilarang berjual beli di dalam masjid
dan mengumumkan barang yang hilang. Nabi bersabda (yang artinya), “Apabila kamu
melihat orang menjual atau membeli di masjid maka katakanlah, ‘Semoga Allah tidak memberi
keberuntungan dalam jual belimu!’ Dan apabila kamu melihat ada orang yang mengeraskan suara di
dalam masjid untuk mencari barang yang hilang, katakanlah, ‘Semoga Allah Subhanahuwata’ala
tidak mengembalikannya kepadamu’.” (Shahih Sunan at-Tirmidzi, 2/63—64 no. 1321)

Beberapa Adab Lain di Dalam Masjid

1. Dilarang bermain-main di masjid selain permainan yang mengandung bentuk melatih


ketangkasan.

Hal ini sebagaimana dahulu orang-orang Habasyah bermain perang-perangan di masjid


dan tidak dilarang oleh Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam. (lihat Shahih al-Bukhari no. 454)

2. Dibolehkan tidur di masjid.

Sebab, dahulu di zaman Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam, sebagian sahabat tidur di
masjid, misalnya Ali bin Abi Thalib, Ibnu Umar, dan yang lainnya .

3. Dibolehkan makan di masjid dengan memerhatikan adab-adabnya dan tidak mengotori masjid.

4. Diharamkan lewat di depan orang yang shalat, yakni antara orang yang shalat dan sutrah
(pembatas) yang di hadapannya. (lihat Shahih al-Bukhari no. 510)

5. Apabila Anda shalat menghadap sutrah lalu ada orang ingin melewatinya, hendaknya ia dicegah.
Apabila dia tetap memaksa untuk melewatinya, boleh didorong. (lihat Shahih al-Bukhari no.509)

6. Tidak shalat di antara dua tiang saat shalat berjamaah karena tiang-tiang itu memutus shaf
(barisan) shalat, sedangkan merapikan shaf adalah perkara yang diperintahkan.

7. Dilarang Membicarakan/membahas masalah politik keduniaan di Masjid

8. Dilarang Memnggibah bahkan memfitnah di Masjid

9. Dilarang Membawa bahkan menghisap rokok di Masjid


Adapun apabila shalat sunnah sendirian, boleh baginya shalat di antara dua tiang
sebagaimana dahulu Nabi n shalat sunnah di dalam Ka’bah berdiri di antara dua tiang.
(lihat Shahih al- Bukhari no. 505)

Demikianlah sebagian adab yang semestinya diperhatikan oleh seorang muslim ketika
berada dalam masjid. Kami mengajak para pembaca untuk menelaah kitab-kitab hadits
yang berkaitan dengan adab-adab dalam masjid. Ada sebuah kitab bagus yang ditulis oleh
al-Imam az-Zarkasyi asy-Syafi’i yang berkaitan dengan hukum-hukum masjid dengan judul
I’lamus Sajid bi Ahkamil Masajid. Demikianlah, semoga ulasan singkat ini bermanfaat.

Wallahu ta’ala a’lam bish shawab.

َ‫وصلهى َهللاُ َوسلهم َعلى َن ِب ِينا َ ُمح هم ٍد َوعلى َآ ِل ِه َوص ْح ِب ِه‬


َ‫أ ْجم ِعين‬

Você também pode gostar