Você está na página 1de 25

BAB I

Pendahuluan
1.1 Latar Belakang
Manajemen laba bisa diartikan sebagai metode yang dipilih oleh pihak
manajemen dalam menyusun laporan keuangannya dimana usaha manajer
untuk meningkatkan atau menurunkan laba sesuai kebutuhan perusahaan,
tetapi dalam jangka panjang hal ini akan berdampak buruk bagi perusahaan.
Dalam prakteknya, perusahaan menginginkan laba yang besar sehingga
para investor akan tertarik untuk melakukan investasi pada perusahaan
tersebut. Tetapi tidak semua perusahaan melaporkan tingkat laba
sebenarnya sehingga para investor dan pemegang saham tidak
mendapatkan informasi yang sebenar-benarnya. Tindakan ini dilakukan
oleh pihak manajemen dalam memanipulasi laba perusahaan dikenal
dengan istilah manajemen laba. Copeland (1968) dalam Wiyadi et al.
(2017). mendefenisikan manajemen laba sebagai “Some Ability to Increase
or Decrease Reported Net Income At Will”, ini berarti bahwa manajemen
laba mencakup usaha manajemen untuk memaksimumkan atau
meminimumkan laba termasuk perataan laba, sesuai dengan keinginan
manajer tersebut.
Sementara itu Scott (2011) dalam Agustia (2013) menyatakan
manajemen laba merupakan keputusan dari manajer untuk memilih
kebijakan akuntansi tertentu yang dianggap bisa mencapai tujuan yang
diinginkan, baik itu untuk meningkatkan laba atau mengurangi tingkat
kerugian yang dilapor-kan. Tindakan manajemen laba yang dilakukan oleh
manajer terhadap informasi laba dapat merubah kandungan informasi atas
laba bersih suatu perusahaan melalui berbagai cara yang akan memberikan
dampak yang cukup berpengaruh terhadap tindak lanjut para pengguna
informasi yang bersangkutan. Perilaku manipulasi oleh manajer dengan
melakukan manajemen laba berawal dari konflik keagenan, karena adanya
perbedaan kepentingan. Manajer sebagai pengelola perusahaan lebih
banyak mengetahui informasi internal dan prospek perusahaan dimasa yang
akan datang dibandingkan pemilik (pemegang saham). Hal tersebut
mengakibatkan manajer melakukan perubahan dan manipulasi laporan
keuangan dimana akan menguntungkan bagi pihak manajer dan informasi
yang disampaikan kepada pemilik perusahaan adalah informasi yang telah
direkayasa.
Adanya perubahan informasi atas laba bersih suatu perusahaan melalui
berbagai cara akan memberikan dampak yang cukup berpengaruh terhadap
tindak lanjut para pengguna informasi yang bersangkutan. Hal tersebut
perlu diwaspadai oleh pengguna laporan keuangan, karena informasi yang
telah mengalami penambahan ataupun pengurangan tersebut dapat
menyesatkan keputusan yang akan diambil.
Salah satu cara yang digunakan untuk membatasi perilaku ooportunistic
manajemen dengan melakukan manajemen laba adalah corporate
governance. Corporate governance merupakan salah satu elemen kunci
dalam meningkatkan efisiensi ekonomis, yang meliputi serangkaian
hubungan antara manajemen perusahaan, dewan komisaris, para pemegang
saham, dan stakeholder lainnya.
Corporate Governance bisa dikatakan sebagai peraturan yang mengatur
hubungan yang terjadi antara pihak-pihak yang berkepentingan seperti
pemegang saham, pihak kreditur, pihak pengelola perusahaan dan para
pemegang kepentingan lainnya didalam perusahaan. Dengan adanya sistem
yang mengatur dan mengendalikan perusahaan ini maka, Corporate
Governance juga bertujuan untuk memaksimalkan keuntungan jangka
panjang pemegang saham. Corporate governance digunakan untuk
mengontrol perusahaan yang bertindak bagi kepentingan internal dan
eksternal lainnya yang berkaitan dengan hak-hak dan kewajiban mereka.
Good corporate governance diterapkan oleh perusahaan-perusahaan
yang go publick dan telah terdaftar di Bursa Efek Indonesia (BEI)
khususnya perusahaan perbankan, karena perusahaan perbankan
merupakan perusahaan yang menghimpun dana masyarakat, investasi dan
transaksi keuangan serta merupakan industri kepercayaan. Jika
kepercayaan investor berkurang karena laporan keuangan yang bias
disebabkan karena manajemen laba, maka mereka akan melakukan
penarikan dana (investasi) yang telah dilakukan. Hal ini dapat merugikan
bank karena masyarakat melakukan penarikan secara besar-besaran
sehingga bank tidak memiliki kas dan kemungkinan bank bisa mengalami
kebangkrutan. Tindakan manajemen laba pada perusahaan perbankan juga
dipicu karena adanya penilaiaan kesehatan bank yang diwajibkan dalam
GCG, sehingga hal ini memicu manajer untuk melakukan tindak
manajemen laba agar perusahaannya memenuhi kriteria dan syarat-syarat
yang telah ditentukan dalam penilaian kesehatan bank. Dengan adanya
penerapan mekanisme corporate governance pada perusahaan perbankan
dapat meminimalisir tindak manajemen laba.
Berdasarkan latar belakang yang telah dipaparkan, maka peneliti
tertarik untuk melakukan Penelitian pada perusahaan perbankan yang
terdaftar di Bursa Efek Indonesia periode 2015-2017. Sehingga peneliti
ingin meneliti tentang pengaruh mekanisme good corporate governance
yang diwakili oleh kepemilikan institusional, kepemilikan manajerial,
proporsi dewan komisaris independen dan komite audit terhadap
manajemen laba yang diukur dengan menggunakan discretionary accrual
(DA) yang dideteksi dengan menggunakan model modifikasi Jones.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang dikemukakan di atas maka beberapa
masalah yang dapat dirumuskan penulis adalah sebagai berikut:
1. Apakah terdapat pengaruh kepemilikan institusional terhadap
manajemen laba?
2. Apakah terdapat pengaruh kepemilikan manajerial terhadap
manajemen laba ?
3. Apakah terdapat pengaruh proporsi dewan komisaris independen
terhadap manajemen laba ?
4. Apakah terdapat pengaruh proporsi komite audit terhadap
manajemen aba?
1.3 Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini untuk memperoleh bukti mengenai :
1. Mengetahui apakah terdapat pengaruh kepemilikan institusional terhadap
manajemen laba.
2. Mengetahui apakah terdapat pengaruh kepemilikan institusional terhadap
manajemen laba.
3. Mengetahui apakah terdapat pengaruh proporsi dewan komisaris
independen terhadap manajemen laba.
4. Mengetahui apakah terdapat pengaruh proporsi komite audit terhadap
manajemen laba.
1.4 Manfaat Penelitian
Manfaat dari penelitian ini adalah :
1. Bagi penulis
Sebagai sarana untuk penerapan teori-teori yang diperoleh selama
kuliah khususnya tentang pengujian good corporate governance terhadap
manajemen laba
2. Bagi akademisi
Sebagai tambahan literatur mengenai pengujian good corporate
governance terhadap manajemen laba
3. Bagi peneliti lain
Sebagai refensi untuk penelitian yang sama dimasa yang akan
datang.
4. Bagi investor
Sebagai bahan pertimbangan dalam menyikapi suatu informasi
tertentu yang dipublikasikan oleh perusahaan serta sebagai pertimbangan
dalam pengambilan keputusan.
BAB II
Kajian Pustaka,Kerangka Konseptual Dan Hipotesis Penelitian
2.1 Kajian Pustaka
2.1.1 Manajemen Laba (Earnings Management)
Manajemen laba adalah suatu tindakan yang dilakukan oleh pihak
manajemen yang menaikan atau menurunkan laba yang dilaporkan dari unit
yang menjadi tanggung jawabnya dengan metode-metode yang berbeda
setiap perusahaan. Standar Akuntansi Keuagan (SAK) memberikan
kelonggaran dalam memilih metode akuntansi yang digunakan dalam
penyusunan laporan keuangan. Perusahaan yang menggunakan metode
penyusutan garis lurus akan berbeda hasil laba yang dilaporkan dengan
perusahaan yang menggunakan metode angka tahun atau saldo menurun.
Pengaruh dari metode yang dipilih dapat dirasakan ketika informasi
diinformasikan kepada publik sehingga bisa dirasakan reaksi pasar terhadap
informasi terebut.
Manajemen laba menjadi menarik untuk diteliti karena dapat
memberikan gambaran akan perilaku manajer dalam melaporkan kegiatan
usahanya pada suatu periode tertentu, yaitu adanya kemungkinan
munculnya motivasi tertentu yang mendorong mereka untuk mengatur data
keuangan yang dilaporkan. Manajemen laba tidak harus dikaitkan dengan
upaya untuk memanipulasi data atau informasi akuntansi, tetapi lebih
condong dikaitkan dengan pemilihan metode akuntansi (accounting
methods) untuk mengatur keuntungan yang bisa dilakukan karena memang
diperkenankan menurut accounting regulations.

2.1.1.1 Pola Manajemen Laba


Menurut Scott (2000) dalam Sirait dan Gerianta (2015), pola
manajemen laba dapat di lakukan dengan cara sebagai berikut:
1. Taking a bath.
Taking a bath adalah pola manajemen laba yang dilakukan
dengan cara menjadikan laba perusahaan pada periode berjalan
menjadi sangat ekstrim rendah (bahkan rugi) atau sangat ekstrim
tinggi dibandingkan dengan laba pada periode sebelumnya atau
sesudahnya.
2. Income minimization.
Income minimization adalah pola manajemen laba yang
dilakukan dengan cara menjadikan laba pada laporan keuangan
periode berjalan lebih rendah daripada laba sesungguhnya. Income
minimization biasanya dilakukan pada saat profitabilitas perusahaan
sangat tinggi dengan maksud agar tidak mendapat perhatian secara
politis.
3. Income maximization.
Income maximization (maksimisasi laba) adalah pola
manajemen laba yang dilakukan dengan cara menjadikan laba pada
laporan keuangan periode berjalan lebih tinggi daripada laba
sesungguhnya.
4. Income Smoothing.
Income smoothing atau perataan laba merupakan salah satu
bentuk manajemen laba yang dilakukan dengan cara membuat laba
akuntansi
relatif konsisten (rata atau smooth) dari periode ke periode.

2.1.1.2 Faktor-Faktor Pendorong Manajemen Laba


Watts dan Zimmerman (1986) dalam Wahyuni (2010), menyatakan
terdapat tiga hipotesis yang melatarbelakangi terjadinya manajemen laba
dalam positif accounting theory, yaitu:
1. Bonus Plan Hypothesis
Manajemen akan memilih metode akuntansi yang
memaksimalkan utilitasnya yaitu bonus yang tinggi. Manajer
perusahaan yang memberikan bonus besar berdasarkan earnings
lebih banyak menggunakan metode akuntansi yang meningkatkan
laba yang dilaporkan.
2. Debt Covenant Hypothesis
Manajer perusahaan yang melakukan pelanggaran perjanjian kredit
cenderung memilih metode akuntansi yang memiliki dampak
meningkatkan laba. Hal ini untuk menjaga reputasi mereka dalam
pandangan pihak eksternal.
3. Political Cost Hypothesis
Semakin besar perusahaan, semakin besar pula
kemungkinan perusahaan tersebut memilih metode akuntansi yang
menurunkan laba. Hal tersebut dikarenakan dengan laba yang tinggi
pemerintah akan segera mengambil tindakan misalnya,
mengenakan peraturan antritrust, menaikan pajak pendapatan
perusahaan, dan lain-lain.
Dua hal utama manajer melakukan manajemen laba, yaitu
tujuan oportunis dan informasi kepada investor. Tujuan oportunis
mungkin dapat merugikan pemakai laporan keuangan karena
informasi yang disampaikan manajemen menjadi laporan keuangan
karena informasi yang disampaikan manajemen menjadi tidak
akurat dan juga tidak menggambarkan nilai fundamental
perusahaan. sikap oportunis ini dinilai debagai sikap curang
manajemen perusahaan yang diimplikasikan dalam laporan
keuangannya pada saat menghadapi intertemporal choice (yakni
suatu kondisi yang memaksa eksekutif tersebut menggunakan
keputusan tertentu dalam melaporkan kinerja yang
mengguntungkan dirinya sendiri dalam
menghadapi situasi tertentu).
Tujuan penginformasian dapat memberikan dampak yang
baik bagi pemakai laporan keuangan. Manajer berusaha
menginformasikan kesempatan yang dapat diraih oleh perusahaan
dimasa yang akan datang. Sebagai contoh, karena manajer sangat
erat kaitannya dengan keputusan yang berhubungan dengan
aktivitas investasi maupun operasi perusahaan, otomatis para
manajer memiliki informasi yang lebih baik mengenai prospek
perusahaan masa datang.
2.1.1.3 Teknik dan Pola Manajemen Laba
Teknik dan pola manajemen laba menurut Setiawati dan Na'im
(2000), dan Rahmawati et al.(2006) dalam Wahyuni (2010), dapat
dilakukan dengan tiga
teknik yaitu:
1. Memanfaatkan peluang untuk membuat estimasi akuntansi
Cara manajemen mempengaruhi laba melalui judgment
(perkiraan) terhadap estimasi akuntansi antara lain estimasi tingkat
piutang tak tertagih, estimasi kurun waktu depresiasi aktiva tetap
atau amortisasi aktiva tak berwujud, estimasi biaya garansi, dan
lain-lain.

2. Mengubah metode akuntansi


Perubahan metode akuntansi yang digunakan untuk
mencatat transaksi, contoh: merubah metode depresiasi aktiva
tetap, dari metode depresiasi angka tahun ke metode depresiasi
garis lurns.
3. Menggeser periode biaya atau pendapatan
Contoh rekayasa periode biaya atau pendapatan antara lain:
mempercepat/menunda pengeluaran untuk penelitian dan
pengembangan sampai pada periode akuntansi berikutnya,
mempercepat/menunda pengeluaran promosi sampai periode
berikutnya, mempercepat/menunda pengiriman produk ke
pelanggan, mengatur saat penjualan aktiva tetap yang sudah tak
dipakai. Selain itu, adanya asimetri informasi antara manajemen
dengan pengguna laporan keuangan lainnya juga merupakan
peluang bagi manajer untuk melakukan manajemen laba.
Kesuperioran manajer dalam memiliki informasi dan
memperoleh informasi dengan lebih cepat dapat mendorong
timbulnya aktivitas manajemen laba yang dapat mempengaruhi
kredibilitas laporan keuangan serta menyesatkan pengguna lainnya.
2.1.2 Corporate Governance
Istilah corporate governance pertama kali diperkenalkan oleh
cadburry committe pada tahun 1992 yang menggunakan istilah tersebut
pada laporan mereka (cadburry report). Pengertian corporate governance
menurut cadburry committee (1992) yaitu sistem yang mengarahkan dan
mengendalikan perusahaan dengan tujuan tercapainya keseimbangan antara
kekuatan kewenangan yang diperlukan oleh perusahaan untuk menjamin
kelangsungan eksistensinya dan pertanggungjawaban kepada stakeholders.
Corporate governance menurut Komite Nasional Kebijakan
Governance (2006) adalah suatu proses dan struktur yang digunakan oleh
organ perusahaan guna memberikan nilai tambah pada perusahaan secara
berkesinambungan dalam jangka panjang bagi pemegang saham dengan
tetap memperhatikan kepentingan stakeholders berlandaskan peraturan
perundang-undangandan norma yang
berlaku.
Corporate governance sangatlah penting dalam perusahaan
sehingga corporate governance terus berkembang demi kepentingan
perusahaan, pemegang saham dan bagi pemegang kepentingan lainnya.
Pada 3 Desember 2015 OECD bersama OJK meluncurkan The New
G20/OECD Principles Of Corporate Governance (CG) sebagai
pengembangan dari versi terdahulu yang memberikan rekomendasi bagi
para pembuat kebijakan nasional tentang hak-hak pemegang saham,
remunerasi eksekutif, pengungkapan informasi keuangan, perilaku investor
institusi dan bagaimana mekanisme pasar saham harus berfungsi. Tata
kelola perusahaan merupakan elemen penting untuk investasi serta
pembiayaan melalui modal pasar dan merupakan kunci untuk
meningkatkan pertumbuhan ekonomi jangka panjang.
Peraturan Otoritas Jasa Keuangan nomor 55/POJK.03/2016
menjelaskan bahwa industri khususnya industri perbankan wajib
melaksanakan kegiatan usahanya dengan berpedoman pada prinsip-prinsip
tata kelola (corporate governance) yang baik, dimana terdapat 5 (lima)
prinsip dasar tata kelola yaitu :
1. Transparansi (transparency)
Transparansi merupakan keterbukaan dala
mengemukakan informasi yang material dan relevan serta keterbukaan dalam
melaksanakan proses pengambilan keputusan.
2. Akuntabilitas (accountability)
Akuntabilitas merupakan kejelasan fungsi dan
pelaksanaan pertanggungjawaban organ bank sehingga
pengelolaannya
berjalan secara efektif.
3. Pertanggungjawaban (responsibility)
Pertanggungjawaban yaitu kesesuaian pengelolaan
bank dengan peraturan perundang-undangan dan prinsip-
prinsip pengelolaan bank yang sehat.
4. Independensi (independency)
Independensi yaitu pengelolaan bank secara
profesional tanpa pengaruh atau tekanan dari pihak
manapun.
5. Kewajaran (fairness)
Kewajaran yaitu keadilan dan kesetaraan dalam memenuhi
hakhak para pemangku kepentingan yang timbul
berdasarkan perjanjian dan peraturan perundang-
undangan.
Prinsip-prinsip dasar tersebut menjelaskan bahwa good corporate
governance merupakan suatu pola yang saling terkait yang digunakan
dalam perusahaan untuk meningkatkan keberhasilan usaha dan
akuntabilitas perusahaan, agar tercipta tata kelola perusahaan yang efisien,
transparan dan konsisten melalui pengelolaan berdasarkan prinsi-prinsip
good corporate governance.
Corporate governance juga memberikan manfaat kepada
perusahaan dimana corporate governance mampu meningkatkan kinerja
perusahaan melalui proses pengambilan keputusan yang lebih baik.
Corporate governance juga mampu mengembalikan kepercayaan investor
untuk menanamkan modalnya di perusahaan yang bersangkutan. Dengan
corporate governance tentunya perusahaan diharapkan mampu
memberikan kepuasan serta peningkatan pelayan kepada pemegang saham
dengan kinerja perusahaan yang meningkat dan menjadi
lebih baik lagi.
2.1.3 Struktur Kepemilikan
Struktur kepemilikan perusahaan memiliki pengaruh terhadap perusahaan.
Tujuan perusahaan sangat ditentukan oleh struktur kepemilikan, motivasi
pemilik dan kreditur corporate governance dalam proses yang yang
membentuk motivasi manajer. Struktur kepemilikan mampu
mempengaruhi jalannya perusahaan yang akan berdampak pada kinerja
perusahaan dalam mencapai tujuan perusahaan.
Dalam hal ini struktur kepemilikan dapat dibedakan menjadi dua yaitu :
1. Kepemilikan Manajerial
Para pemegang saham yang mempunyai kedudukan di manajemen
perusahaan baik sebagai kreditur maupun sebagai dewan komisaris
disebut sebagai kepemilikan manajerial(managerial ownership).
Dengan adanya kepemilikan saham oleh pihak manajerial
akan menimbulkan suatu pengawasan terhadap kebijakan-kebijakan
yang diambil oleh manajemen perusahaan. Kepemilikan manajerial
juga bisa diartikan sebagai persentase saham yang dimiliki manajer dan
direktur perusahaan pada akhir tahun untuk masing-masing periode
pengamatan. Kepentingan pemilik atau pemegang saham akan dapat
disejajarkan dengan kepentingan manajer dengan peningkatan
kepemilikan saham perusahaan oleh pihak manajemen (managerial
ownership).
Namun, tingkat kepemilikan manajerial yang tinggi akan
berdampak buruk terhadap perusahaan karena manajer
mempunyai hak voting yang tinggi sehingga manajer mempunyai
posisi yang kuat untuk mengendalikan perusahaan, sehingga dapat
menimbulkan kesulitan bagi pihak pemegang saham eksternal
untuk mengendalikan tindakan manajer.
2. Kepemilikan Institusional
Kepemilikan institusional merupakan kepemilikan saham oleh
pihak institusi lain yaitu kepemilikan oleh perusahaan atau lembaga
lain. Kepemilikan saham oleh pihak-pihak yang berbentuk institusi
seperti perusahaan asuransi, bank, perusahaan investasi, dana pensiun,
dan kepemilikan institusi lain. Kepemilikan institusional merupakan
satu alat yang dapat digunakan untuk mengurangi agency conflict.
Kepemilikan institusional memiliki kemampuan untuk mengendalikan
pihak manajemen melalui proses monitoring secara efektif. Dengan
tingkat kepemilikan institusional yang tinggi maka akan menimbulkan
usaha pengawasan yang lebih besar oleh pihak investor institusional
sehingga dapat menghalangi perilaku opurtunistik yang dilakukan oleh
pihak manajer serta dapat meminimalisir tingkat penyelewengan-
penyelewengan yang dilakukan oleh pihak manajemen yang akan
menurunkan nilai perusahaan.
2.1.4 Governance Structure
Governance structure merupakan struktur dari pejabat-pejabat dalam
organisasi seperti bank dan institusi lainnya dalam penerapan GCG.
Struktur ini dapat dijelaskan sebagai berikut :
1. Komisaris Independen
Menurut peraturan Otoritas Jasa Keuangan nomor
73/POJK.05/2016 menyatakan bahwa komisaris independen
adalah anggota dewan komisaris yang tidak terafiliasi dengan
pemegang saham atau yang setara anggota direksi, anggota dewan
komisaris lainnya dan/atau anggota dewan pengawas syariah, yaitu
tidak memiliki hubungan keuangan, kepengurusan, kepemilikan
saham, dan/atau hubungan keluarga dengan pemegang saham atau
yang setara, anggota direksi, anggota dewan komisaris lainnya
dan/atau anggota dewan pengawas syariah atau hubungan lain yang
dapat mempengaruhi kemampuannya untuk bertindak independen.
Menurut Surat Edaran Otoritas Jasa Keuangan nomor 13/
SEOJK.03/2017, menyatakan bahwa jumlah anggota dewan
komisaris paling sedikit 3 (tiga) orang dan tidak melampaui
anggota direksi, paling sedikit 1 (satu) anggota dewan komisaris
berdomisili di Indonesia, dan paling sedikit 50% (lima puluh
persen) dari jumlah anggota dewan komisaris adalah komisaris
independen. Jadi paling sedikit setengah dari dewan komisaris
adalah dewan komisaris independen. Keberadaan komisaris
independen diharapkan dapat bersikap netral terhadap segala
kebijakan yang dibuat oleh direksi.
2. Komite audit
Komite audit adalah organ tambahan yang diperlukan dalam
pelaksanaan good corporate governance. Komite audit dibentuk
oleh dewan komisaris untuk melakukan pemeriksaan atau
penelitian yang dianggap perlu terhadap pelaksanaan fungsi direksi
dalam melaksanakan pengelolaan perusahaan serta melaksanakan
tugas penting berkaitan dengan sistem pelaporan keuangan.
Menurut Surya dan Yustiavandana (2008) dalam Wahyuni (2010),
Komite audit dituntut untuk dapat bertindak secara independen. Hal
ini perlu disadari karena komite audit merupakan pihak yang
menjembatani antara fungsi pengawasan dewan komisaris dengan
internal auditor.
Komite audit berangotakan satu atau lebih anggota dewan
komisaris. Anggota komite audit dapat berasal dari kalangan luar
dengan berbagai keahlian, pengalaman dan kualitas lainnya yang
dibutuhkan guna mencapai tujuan komite audit. Komite audit harus
bebas dari pengaruh direksi, eksternal auditor dan hanya
bertanggung jawab kepada dewan komisaris.
2.1.5 Teori Keagenan
Dalam prakteknya perusahaan dikelola oleh manajer dan pemegang
saham sebagai pemilik modal. Manajer selaku pengelola perusahaan
memiliki informasi yang detail mengenai perusahaan dimana hal tersebut
dapat memicu timbulnya tindak kecurangan pihak manajemen untuk
kepentingan diri pribadi. Hal ini menimbulkan kesenjangan antara pemilik
dan pengelola perusahaan sehingga timbul masalah keagenan.
Jensen dan Meckling (1976) dalam Agustia (2013), mendefinisikan
suatu hubungan agensi sebagai suatu kontrak antar satu atau lebih prinsipal
yang meminta orang lain (agen) untuk melakukan beberapa pelayanan
untuk kepentingannya yang memasukkan pendelegasian beberapa
kewenangan pembuatan keputusan untuk agen. Dalam kontrak antara
manajer dengan para pemegang saham maka manager dilihat sebagai agen
dan para pemegang saham
dilihat sebagai prinsipal.
Teori keagenan dilandasi oleh beberapa asumsi. Asumsi-asumsi tersebut
dibedakan menjadi tiga jenis, yaitu asumsi tentang sifat dasar manusia,
asumsi keorganisasian, dan asumsi informasi. Asumsi sifat dasar manusia,
yaitu : (1) manusia pada umumnya mementingkan diri sendiri (self interest),
(2) manusia memiliki daya pikir terbatas mengenai persepsi masa
mendatang ( bounded nationality), dan (3) manusia selalu menghindari
resiko (risk averse). Asumsi keorganisasian adalah adanya konflik antar
anggota organisasi, efisiensi sebagai kriteria, efektifitas, dan adanya
asimetri informasi antar principal dan agent. Asumsi informasi adalah
bahwa informasi sebagai barang komoditi yang bisa diperjualbelikan,
Eisanhardt (1989) dalam Agustia (2013).
Agency conflict sendiri terbagi menjadi dua bentuk, yaitu : (1) agency
conflict antara pemegang saham dan manajer. Penyebab konflik antara
manajer dengan pemegang saham diantaranya adalah pembuatan keputusan
yang berkaitan dengan aktivitas pencarian dana dan pembuatan keputusan
yang berkaitan dengan bagaimana dana yang diperoleh tersebut
diinvestasikan. (2) agency conflict antar pemegang saham dan kreditor
(Rahadi, 2014).
2.1.6 Asimetri Informasi
Menurut Watts dan Zimmerman (1986) dalam Rahadi (2014)
menyatakan bahwa asimetri informasi adalah suatu masalah yang muncul
karena satu pihak pada transaksi potensial memiliki lebih banyak informasi
dibandingkan dengan pihak lain, sehingga beberapa konsekuensi tertentu
hanya akan diketahui oleh pihak tertentu tanpa pihak lain yang juga
memerlukan informasi tersebut.
Kesenjangan informasi tersebut terjadi karena adanya pemisahan
fungsi kepemilikan dengan pengelolaan pada perusahaan dimana hal
tersebut juga dapat menciptakan permasalahan seperti asimetri informasi
antara pihak internal dan eksternal perusahaan. Asimetri informasi juga bisa
dikatakan suatu keadaan manajer memiliki akses informasi atas prospek
perusahaan yang tidak dimiliki oleh pihak luar. Hal ini bisa terjadi karena
pihak luar tidak mengetahui semua kebenaran informasi dan semua
kegiatan yg dilakukan manajer. Hal ini bisa dilakukan manajer diluar
pengetahuan pemegang saham dan dapat melanggar kontrak yang telah
disepakati.
2.2 Kerangka Konseptual
Berdasarkan landasan teori, maka kerangka pikir dalam penelitian
ini adalah sebagai berikut:
1. Hubungan kepemilikan Institusional dengan Manajemen Laba
Semakin tinggi kepemilikan institusional maka semakin
kuat kontrol eksternal terhadap perusahaan. Adanya kepemilikan
oleh investor institusional akan mendorong peningkatan
pengawasan yang lebih optimal terhadap kinerja manajemen
perusahaan, sehingga dapat mengurangi tindakan manajemen laba.
2. Hubungan kepemilikan Manajerial dengan Manajemen Laba
Manajemen laba sangat ditentukan oleh motivasi manajer
perusahaan. Motivasi yang berbeda akan menghasilkan tingkat
manajemen laba yang berbeda, seperti antara manajer yang tidak
sebagai pemegang saham, dengan manajer yang sekaligus sebagai
pemegang saham. Hal tersebut akan memperngaruhi manajemen
laba sebab kepemilikan seorang manajer akan terlibat dalam
pengambilan keputusan perusahaan.
3. Hubungan Proporsi Dewan Komisaris Independen dengan
Manajemen Laba
Dewan komisaris independen dapat mempengaruhi
kecendrungan terjadinya kecurangan laporan keuangan melalui
praktek manajemen laba. Dewan komisaris yang independen
didalam perusahaan akan memberikan kontribusi yang efektif
terhadap hasil dari proses penyusunan laporan keuangan yang
berkualitas atau dapat terhindar dari tindak kecurangan laporan
keuangan.
4. Hubungan Keberadaan Komite Audit dengan Manajemen Laba
Menurut Surat Edaran Otoritas Jasa Keuangan nomor 13/
SEOJK.03/2017, menyatakan bahwa anggota komite audit paling
sedikit terdiri dari seorang komisaris independen, seorang pihak
independen yang ahli dibidang keuangan atau akuntansi, dan
seorang pihak independen yang ahli dibidang hukum atau
perbankan diharapkan kinerja komite audit dapat meminimalisir
tindak manajemen laba.
Gambar 2.1

Model Penelitian

Kepemilikan Manajerial

Kepemilikan Institusional
Manajemen Laba
Dewan Komisaris

Proporsi Komite Audit

2.3 Hipotesis Penelitian


Hipotesis penelitian :
H1 : Semakin tinggi kepemilikan institusional maka tindakan manajemen
laba semakin kecil
H2 : Semakin tinggi kepemilikan kepemilikan Manajerial maka tindakan
manajemen laba semakin kecil
H3 : Semakin independen Dewan komisaris makan manajemen laba
semakin kecil
BAB III
METODE PENELITIAN
3.1 Desain Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian kausal karena tujuan dari
penelitian ini adalah meneliti hubungan sebab akibat antara dua vaiabel
yaitu variabel independen terhadap variabel dependen. Konsep indikator
mekanisme corporate governance dalam hal ini merupakan variabel
independen, peneliti membatasi pada indikator kepemilikan institusional,
kepemilikan manajerial, proporsi dewan komisaris independen dan
proporsi komite audit. Penelitian ini dibatasi dengan menganalisa laporan
tahunan perusahaan padan tahun 2015-2017. Adapun data penelitian ini
diperoleh melalui IDX (Indonesian Stock Exchange) atau BEI ( Bursa
Efek Indonesia).
3.2 Lokasi Penelitian
Penelitian ini dilakukan pada perusahaan perbankan yang terdaftar
di BEI selama tahun pada tahun 2015-2017.
3.3 Objek Penelitian
Objek pada penelitian ini yakni perusahaan perbankan yang
terdaftar di BEI selama tahun pada tahun 2015-2017.
3.4 Variabel Penelitian
Variabel adalah sesuatu yang dapat membedakan atau mengubah
nilai. Nilai dapat berbeda sesuai waktu dan objek. Nilai bisa saja berbeda
pada waktu yang bersamaan jika objekya berbeda. Waktu juga menjadi
indikator penting karena nilai objek yang sama dapat berbeda dalam waktu
yang berbeda.
3.4.1 Identifikasi Variabel
1. Variabel Dependen
Penelitan ini menggunakan manajemen laba sebagai variabel
dependennya
2.Variabel Independen
Penelitian ini memnggunakan variabel independen yaitu GCG
dimana dalam penelitian ini GCG dipecah menjadi Kepemilikan Manajerial,
Komite Audit,Dewan Komisaris, kepemilikan Institusional.
3.4.2 Definisi Opeasional Variabel
Operasional adalah cara tertentu yang digunakan oleh peneliti dalam
mengoperasikan construct (gagasan), sehingga memungkinkan bagi peneliti
yang lain untuk dapat melakukan replikasi pengukuran dengan cara yang
sama atau mengembangkan cara pengukuran construct yang lebih baik,
Indriantoro dan Supomo (2011) dalam Sirait dan Gerianta (2015). Variabel
independen dalam penelitian ini adalah kepemilikan institusional,
kepemilikan manajerial, komite audit, dan proporsi dewan komisaris
independen. Sedangkan variabel dependen adalah manajemen laba.
3.4.2.1 Manajemen Laba
Ukuran manajemen laba pada penelitian ini adalah nilai absolut
discretionary accrual (DA) yang dideteksi dengan menggunakan model
modifikasi Jones.
Untuk mengukur total kebijaksanaan akrual, maka terlebih dahulu
dihitung total akrual dengan rumus berikut:

Keterangan :
= Total accrual
= Net Income
= Cash Flow Operation

3.4.2.2 Kepemilikan Institusional


Kepemilikan institusional diukur dengan menggunakan
indikator persentase jumlah saham yang dimiliki institusi dari seluruh saham
yang beredar.
3.4.2.3 Kepemilikan Manajerial
Indikator yang digunakan untuk mengukur kepemilikan manajerial
adalah persentase jumlah saham yang dimiliki pihak manajemen dari
seluruh saham perusahaan yang beredar.
3.4.2.4 Proporsi Dewan Komisaris Independen
Proporsi dewan komisaris independen diukur menggunakan
indikator persentase anggota dewan komisaris yang berasal dari luar
perusahaan dari seluruh ukuran anggotan dewan komisaris perusahaan.
3.4.2.5 Proporsi Komite Audit
Komite audit dapat diukur dengan mencatat jumlah anggota komite
audit yang ada di perusahaan tersebut pada tahun yang diteliti.
3.5 Populasi, Sampel dan Metode Penentuan Sampel
Populasi dalam penelitian ini adalah perusahan perbankan yang
terdaftar di Bursa Efek Indonesia (BEI) tahun 2015-2017. Penelitian ini
menggunakan laporan keuangan per 31 Desember 2012 sampai dengan 31
Desember 2015. Tahun 2015-2017 dipilih karena menggambarkan kondisi
yang relatif baru di pasar modal Indonesia. Dengan kondisi ini diharapkan
hasil penelitian akan lebih relevan untuk memahami kondisi yang aktual di
Indonesia.
Metode sampel yang digunakan adalah purposive sampling. Alasan
pengunaan metode ini didasari pertimbangan agar sampel data yang dipilih
memenuhi kriteria untuk diuji. Perusahaan sampel diseleksi dengan kriteria
sebagai berikut :
1. Perusahaan perbankan yang sudah go public atau terdaftar di Bursa
Efek Indonesia untuk periode 2015-2017.
2. Menerbitkan laporan tahunan dan laporan keuangan periode 31
Desember 2015 - 31 Desember 2017.
3. Data yang tersedia lengkap ( data secara keseluruhan tersedia pada
publikasi periode 31 Desember 2015 sampai dengan 31 Desember
2017), mengenai indikator mekanisme corporate governance
perusahaan yang digunakan dalam penelitian ini.
3.6 Metode Pengumpulan Data
Metode pengumpulan data dalam penelitian ini diperoleh melalui situs BEI
dan Secara rinci, data laporan keuangan yang dipergunakan dalam penelitian
ini dapat dijabarkan sebagai berikut :
1. Persentase kepemilikan saham institusional dari seluruh saham
yang beredar.
2. Persentase kepemilikan saham manajerial dari seluruh saham yang
beredar.
3. Persentase anggota dewan komisaris independen dari seluruh
ukuran anggota dewan komisris perusahaan.
4. Keberadaan komite audit diukur dari jumlah anggota komite audit.

3.7 Jenis Data dan Sumber Data


3.7.1 Jenis Data
Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder.
Data sekunder diperoleh dari Bursa Efek Indonesia (BEI), dan Jurnal-jurnal
yang berhubungan dengan tujuan penelitian.
3.7.2 Sumber Data
Pengumpulan data menggunakan teknik dokumentasi. Sumber data
diperoleh dengan mendownload di situs Bursa Efek Indonesia
(www.idx.c.id).

3.8 Teknik Analisis Data


Pengujian data dalam penelitian ini dilakukan dengan bantuan
software pengolahan data statistik SPSS . Sedangkan untuk tahapan analisis
data terlebih dahulu harus dilakukan uji persyaratan data, yakni dengan
melakukan uji asumsi klasik normalitas dan homogenitas data. Setelah data
terbukti bersifat normal dan homogen barulah dapat dilakukan analisis data
dengan menggunakan model analisis regresi berganda.
3.8.1 Metode Analisis Data
a. Analisis Deskriptif
Penggunaan metode statistik deskriptif memiliki tujuan
untuk memberikan gambaran atau deskripsi suatu data yang
diantaranya dilihat dari rata-rata, standar deviasi (Ghozali,2006).
Analisa ini mendeskripsikan data sampel yang telah terkumpul
tanpa membuat kesimpulan yang berlaku untuk umum.
b. Pengujian Asumsi Klasik
1. Uji Normalitas
Uji normalitas bertujuan untuk menguji apakah dalam
model regresi, variabel dependen dan variabel independen
mempunyai distribusi data normal atau tidak menggunakan Normal
P-P Plot dan One Sample Kolmogorov Smirnov (K-S) untuk
melihat apakah data erdistribusi secara normal. Kriteria pengujian
untuk uji ini adalah:
- Signifikansi > 0.05 maka data berdistribusi normal
- Signifikansi < 0.05 maka data tidak terdistribusi secara
normal
Model regresi yang baik adalah mempunyai distribusi normal atau
mendekati normal. Jika data menyebar disekitar garis diagonal dan
mengikuti arah garis diagonal menunjukan pola distribusi normal,
sehingga model regresi memenuhi asumsi normalitas (Ghozali,
2006).
2. Uji Multikolinearitas
Metode yang digunakan untuk mendeteksi adanya
multikolinearitas dalam penelitian ini menggunakan Tolerance and
Variance Inflation Factor atau VIF. Jika VIF < 10 dan nilai
tolerance tidak kurang dari 0,1 maka variabel tersebut tidak
mempunyai persoalan multikolinearitas dengan variabel bebas yang
lainnya (Ghozali,2006).
3. Uji Autokorelasi
Uji autokorelasi ini ditujukan untuk mengidentifikasi
adanya korelasi antara kesalahan pengganggu yang terjadi antar
periode yang diujikan dalam model regresi. Adapun kriteria untuk
uji DurbinWatson (Ghozali,2006) adalah:
DW < -2 = ada autokorelasi positif
-2 < DW < 2 = tidak ada autokorelasi
DW > 2 = ada autokorelasi negatif
4. Uji Heteroskedastisitas
Uji heteroskedastisitas bertujuan untuk menguji apakah
dalam model regresi terjadi ketidaksamaan varians dari residual
atau pengamatan ke pengamatan yang lain dengan menggunakan
grafik Scatterplot. Model regresi yang baik adalah tidak terjadi
heteroskedostisitas (Ghozali,2006). Dasar pengambilan
keputusannya, jika ada pola tertentu, seperti titik-titik yang ada
membentuk pola tertentu yang teratur
(bergelombang,melebar,kemudian menyempit), maka
mengidentifikasikan bahwa telah terjadi heteroskedostisitas. Jika
tidak ada pola yang jelas,serta titik-titik menyebar diatas dan
dibawah angka 0 pada sumbu Y, maka tidak terjadi
heteroskedastisitas (Ghozali,2006).
Daftar Rujukan
Terhadap Praktik Manajemen Laba Di Bursa Efek Indonesia. Jurnal Ilmu
dan Riset Akuntansi . Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi Indonesia Surabaya
Vol.3 No.10.
Wahyono, R.Erdianto Setyo. 2012. Pengaruh Corporate Governance
Terhadap Manajemen Laba Di Industri Perbankan Indonesia. Jurnal Ilmu
dan Riset Akuntansi Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi Indonesia Surabaya
Vol.1 No.12.
Agustia, Dian. 2013. Pengaruh Faktor Good Corporate Governance, Free
Cash Flow, Dan Leverage Terhadap Manajemen Laba. Jurnal Akuntansi
Dan Keuangan Fakultas Ekonomi Bisnis Universitas Airlangga Surabaya
Vol.15 No.1.
Kusumawati, Eny. 2015. Pengaruh Corporate Governance Terhadap
Manajemen Laba Riil (Studi Empiris Pada Perusahaan Yang Terdaftar
Di Bursa Efek Indonesia). Skripsi Universitas Muhammadiyah Surakarta.
Annisa, Nuralifmida Ayu & Lulus Kurniasih. 2012. Pengaruh Corporate
Governance Terhadap Tax Avoidance. Jurnal Akuntansi Dan Auditing
Universitas Sebelas Maret Vol.8 No.2.
Aji, Bimo Bayu. 2012. Pengaruh Corporate Governance Terhadap
Manajemen Laba Pada Perusahaan Manufaktur Di Bursa Efek Indonesia.
Skripsi Universitas Diponegoro Semarang.
Jao, Robert & Gagaring Pagalung. 2011. Corporate Governance, Ukuran
Perusahaan, Dan Leverage Terhadap Manajemen Laba Perusahaan
Manufaktur Indonesia. Jurnal Akuntansi & Auditing Universitas
Hasanuddin Vol.8 No.1.
Bahaudin, Ahmad Arif & Provita Wijayanti. 2011. Mekanisme Corporate
Governance Terhadap Konservatisme Akuntansi Di Indonesia. Dinamika
Sosial Ekonomi Universitas Islam Sultan Agung Semarang Vol.7 No1.
Muhardi, Werner R. 2009. Good Corporate Governance and Earning
Management Practice: An Indonesian Cases. Fakultas Ekonomi
Universitas Surabaya Indonesia.
Sirait, Christine Priskayani H & Gerianta Wirawan Yasa. 2015. Pengaruh
Corporate Governance Terhadap Manajemen Laba Oleh CEO Baru. E-
Journal Akuntansi Universitas Udayana, Bali.
2014. Pengaruh Mekanisme Corporate Governance dan Ukuran
Perusahaan Terhadap Manajemen Laba Pada Perusahaan Manufaktur
yang Terdaftar di BEI. E-Journal S1 Ak Universitas Pendidikan Ganhesa
Jurusan Akuntansi Program S1(Volume: 2 No.1. 2014).
Wiyadi, Amalia, Trisnawati, dan Sasongko.2017. Perspektif Positif Praktik
Manajemen Laba: Kajian Empiris Pada Perusahaan Manufaktur Go
Public di Bursa Efek Indonesia. Riset Akuntansi dan Keuangan Indonesia.
2 (1), 2017.
Wahyuni, Dinda Dwi. 2010. Analisis Pengaruh Mekanisme Corporate
Governance Terhadap Manajemen Laba. Skripsi Universitas Islam Negeri
Syarif Hidayatullah Jakarta.
Pradipta, Arya. 2011. Analisis Pengaruh Dari Mekanisme Corporate
Governance Terhadap Manajemen Laba. Jurnal Bisnis dan Akuntansi,
Vol.13, No.2, Agustus 2011, hal. 93 106.
Sari, Mita Intan. 2016. Efektivitas Penerapan Mekanisme Corporate
Governance
Terhadap Manajemen Laba Pada Perusahaan Manufaktur yang terdaftar
di Bursa Efek Indonesia Tahun 2013-2014. Fakultas Ekonomi dan Bisnis
Universitas Kanjuruhan, Malang. Journal Riset Mahasiswa Akuntansi.

Você também pode gostar