Escolar Documentos
Profissional Documentos
Cultura Documentos
PENDAHULUAN
1
BAB II
LAPORAN KASUS
2
Riwayat Penyakit Dahulu :
Pasien baru pertama kali mengalami keluhan seperti ini. Pasien memiliki
riwayat sering batuk, pilek, dan nyeri tenggorok . Riwayat penyakit amandel
disangkal. Pasien memiliki riwayat maag. Riwayat asma disangkal. Riwayat
operasi disangkal. Riwayat penyakit hipertensi, kencing manis, dan batuk-batuk
lama disangkal.
Riwayat Penyakit Keluarga : Tidak ada
Riwayat Alergi : Ada (Alergi Debu, Asap dan Dingin)
Riwayat Pengobatan : Pasien sedang konsumsi obat untuk program
memiliki anak
3
2.4. Diagnosis Pasien
Diagnosis utama : Rhinitis alergi
Diagnosis tambahan : Susp. Sinusitis
4
Pemeriksaan laboratorium
5
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA
6
Dari struktur di atas, dapat dilihat atap kavum nasi dibentuk oleh tulang-tulang
nasal, frontal, etmoid, sfenoid dan dasar kavum nasi dibentuk oleh maksila dan prosesus
palatina, palatina dan prosesus horizontal. Gambar 1 menunjukkan anatomi tulang-
tulang pembentuk dinding nasal bagian lateral. Tiga hingga empat konka menonjol dari
tulang etmoid, konka supreme, superior, dan media. Konka inferior dipertimbangkan
sebagai struktur independen.4 Masing-masing struktur ini melingkupi ruang di baliknya
di bagian lateral yang disebut meatus, seperti terlihat pada gambar 2.
7
Sinus paranasal dalam kondisi normal mengalirkan sekresi dari mukosa ke
daerah yang berbeda dalam kavum nasi seperti terlihat dalam gambar 4. Aliran sekresi
sinus sfenoid menuju resesus sfenoetmoid, sinus frontal menuju infundibulum meatus
media, sinus etmoid anterior \menuju meatus media, sinus etmoid media menuju bulla
etmoid dan sinus maksila menuju meatus media. Struktur lain yang mengalirkan sekresi
ke kavum nasi adalah ductus nasolakrimalis yang berada kavum nasi bagian anterior.4
8
4. Membantu resonansi suara
Akan tetapi ada yang berpendapat, posisi sinus dan ostiumnya tidak
memungkinkan sinus berfungsi sebagai resonator yang efektif. Lagipula tidak
ada korelasi antara resonansi suara dan besarnya sinus pada hewan-hewan
tingkat rendah.
5. Sebagai peredam perubahan tekanan udara
Fungsi ini berjalan bila ada perubahan tekanan yang besar dan mendadak,
misalnya pada waktu bersin atau membuang ingus.
6. Membantu produksi mucus
Mukus yang dihasilkan oleh sinus paranasal jumlahnya kecil dibandingkan
dengan mucus dari rongga hidung, namun efektif untuk membersihkan partikel
yang turut masuk dengan udara inspirasi karena mucus ini keluar dari meatus
medius, tempat yang paling strategis.
9
3.5 Patogenesis Sinusitis
Kesehatan sinus dipengaruhi oleh patensi ostium-ostium sinus dan kelancaran
klirens dari mukosiliar di dalam kompleks osteo meatal (KOM). Disamping itu mukus
juga mengandung substansi antimikrobial dan zat-zat yang berfungsi sebagai
pertahanan terhadap kuman yang masuk bersama udara pernafasan.1 Bila terinfeksi
organ yang membentuk KOM mengalami oedem, sehingga mukosa yang berhadapan
akan saling bertemu sehingga silia tidak dapat bergerak dan lendir tidak dapat dialirkan.
Maka terjadi gangguan drainase dan ventilasi didalam sinus, sehingga silia menjadi
kurang aktif dan lendir yang diproduksi mukosa sinus menjadi lebih kental dan
merupakan media yang baik untuk tumbuhnya bakteri patogen.7
Bila sumbatan berlangsung terus akan terjadi hipoksia dan retensi lendir
sehingga timbul infeksi oleh bakteri anaerob. Selanjutnya terjadi perubahan jaringan
menjadi hipertrofi, polipoid atau pembentukan kista. Polip nasi dapat menjadi
manifestasi klinik dari penyakit sinusitis. Polipoid berasal dari edema mukosa, dimana
stroma akan terisi oleh cairan interseluler sehingga mukosa yang sembab menjadi
polipoid. Bila proses terus berlanjut, dimana mukosa yang sembab makin membesar
dan kemudian turun ke dalam rongga hidung sambil membentuk tangkai, sehingga
terjadilah polip.6 Perubahan yang terjadi dalam jaringan dapat disusun seperti dibawah
ini, yang menunjukkan perubahan patologik pada umumnya secara berurutan :6
1. Jaringan submukosa di infiltrasi oleh serum, sedangkan permukaannya kering.
Leukosit juga mengisi rongga jaringan submukosa.
2. Kapiler berdilatasi, mukosa sangat menebal dan merah akibat edema dan
pembengkakan struktur subepitel. Pada stadium ini biasanya tidak ada kelainan
epitel.
3. Setelah beberapa jam atau sehari dua hari, serum dan leukosit keluar melalui
epitel yang melapisi mukosa. Kemudian bercampur dengan bakteri, debris,
epitel dan mukus. Pada beberapa kasus perdarahan kapiler terjadi dan darah
bercampur dengan sekret. Sekret yang mula-mula encer dan sedikit, kemudian
menjadi kental dan banyak, karena terjadi koagulasi fibrin dan serum.
4. Pada banyak kasus, resolusi terjadi dengan absorpsi eksudat dan berhentinya
pengeluaran leukosit memakan waktu 10 – 14 hari.
5. Akan tetapi pada kasus lain, peradangan berlangsung dari tipe kongesti ke tipe
purulen, leukosit dikeluarkan dalam jumlah yang besar sekali. Resolusi masih
mungkin meskipun tidak selalu terjadi, karena perubahan jaringan belum
10
menetap, kecuali proses segera berhenti. Perubahan jaringan akan menjadi
permanen, maka terjadi perubahan kronis, tulang di bawahnya dapat
memperlihatkan tanda osteitis dan akan diganti dengan nekrosis tulang.6
Perluasan infeksi dari sinus kebagian lain dapat terjadi :
(1) Melalui suatu tromboflebitis dari vena yang perforasi;
(2) Perluasan langsung melalui bagian dinding sinus yang ulserasi atau nekrotik;
(3) Dengan terjadinya defek; dan
(4) melalui jalur vaskuler dalam bentuk bakterimia. Masih dipertanyakan
apakah infeksi dapat disebarkan dari sinus secara limfatik.6
Gejala subyektif terdiri dari gejala sistemik dan gejala lokal. Gejala sistemik ialah
demam dan rasa lesu. Gejala lokal pada hidung terdapat ingus kental yang kadang-
kadang berbau dan dirasakan mengalir ke nasofaring. Dirasakan hidung tersumbat, rasa
nyeri didaerah infraorbita dan kadang-kadang menyebar ke alveolus, sehingga terasa
nyeri di gigi. Nyeri alih dirasakan di dahi dan di depan telinga. Penciuman terganggu
dan ada perasaan penuh dipipi waktu membungkuk ke depan. Terdapat perasaan sakit
kepala waktu bangun tidur dan dapat menghilang hanya bila peningkatan sumbatan
hidung sewaktu berbaring sudah ditiadakan.1,7
Gejala obyektif, pada pemeriksaan sinusitis maksila akut akan tampak
pembengkakan di pipi dan kelopak mata bawah. Pada rinoskopi anterior tampak
11
mukosa konka hiperemis dan edema. Pada sinusitis maksila, sinusitis frontal dan
sinusitis etmoid anterior tampak mukopus atau nanah di meatus medius. Pada rinoskopi
posterior tampak mukopus di nasofaring (post nasal drip).1
Pemeriksaan fisik
Pada Inspeksi yang diperhatikan adalah ada tidaknya pembengkakan pada muka,
pipi sampai kelopak mata atas/bawah yang berwarna kemerahan. Pada palpasi dapat
sinus paranasal ditemukan nyeri tekan dan tenderness.1
Rhinoskopi anterior dengan atau tanpa dekongestan. Untuk menilai status dari
mukosa hidung dan ada tidaknya,warna cairan yang keluar. Kelainan anatomis juga
dapat dinilai dengan pemeriksaan ini. Pemeriksaan transiluminasi pada sinus maksila
dan frontal dapat menunjukkan adanya gambaran gelap total, apabila hanya sebagian
dinyatakan tidak spesifik.1
1. Sinusitis Maksilaris
Nyeri pipi menandakan sinusitis maksila. Gejala sinusitis maksilaris akut
berupa demam, malaise dan nyeri kepala yang tak jelas yang biasanya reda dengan
pemberian analgetik biasa seperti aspirin. Wajah terasa bengkak, penuh, dan gigi terasa
nyeri pada gerakan kepala mendadak, misalnya sewaktu naik atau turun tangga.
12
Seringkali terdapat nyeri pipi khas yang tumpul dan menusuk, serta nyeri pada palpasi
dan perkusi. Sekret mukopurulen dapat keluar dari hidung dan terkadang berbau
busuk.1 Dari pemeriksaan fisik didapatkan adanya pus dalam hidung, biasanya dari
meatus media, atau pus atau sekret mukopurulen dalam nasofaring. Sinus maksilaris
terasa nyeri pada palpasi dan perkusi. Transluminasi berkurang bila sinus penuh cairan.
Pada pemeriksaan radiologik foto polos posisi waters dan PA, gambaran sinusitis
maksilaris akut mula-mula berupa penebalan mukosa, selanjutnya diikuti opasifikasi
sinus lengkap akibat mukosa yang membengkak hebat, atau akibat akumulasi cairan
yang memenuhi sinus. Akhirnya terbentuk gambaran air-fluid level yang khas akibat
akumulasi pus.
2. Sinusitis Etmoidalis
Sinusitis etmoidalis akut terisolasi lebih lazim pada anak, seringkali
bermanifestasi sebagai selulitis orbita. Dari anamnesis didapatkan nyeri yang dirasakan
di pangkal hidung dan kantus medius, kadang-kadang nyeri di bola mata atau di
belakangnya, terutama bila mata digerakkan. Nyeri alih di pelipis, post nasal drip dan
sumbatan hidung. Pemeriksaan fisik didapatkan nyeri tekan pada pangkal hidung.1
3. Sinusitis Frontalis
Nyeri berlokasi di atas alis mata, biasanya pada pagi hari dan memburuk
menjelang tengah hari, kemudian perlahan-lahan mereda hingga menjelang malam.
Pasien biasanya menyatakan bahwa dahi terasa nyeri bila disentuh dan mungkin
terdapat pembengkakan supra orbita. Pemeriksaan fisik, nyeri yang hebat pada palpasi
atau perkusi di atas daerah sinus yang terinfeksi merupakan tanda patognomonik pada
sinusitis frontalis.1
4. Sinusitis Sfenoidalis
Sinusitis sfenoidalis dicirikan oleh nyeri kepala yang mengarah ke verteks
kranium. Penyakit ini lebih lazim menjadi bagian dari pansinusitis dan oleh karena itu
gejalanya menjadi satu dengan gejala infeksi sinus lainnya.
Pemeriksaan penunjang
Pada pemeriksaan transluminasi, sinus yang sakit akan menjadi suram atau gelap.
Transluminasi bermakna bila salah satu sinus yang sakit, sehingga tampak lebih suram
dibandingkan dengan sisi yang normal.1,7
13
Pemeriksaan radiologik yang dibuat adalah posisi waters. Akan tampak
perselubungan atau penebalan mukosa atau batas cairan-udara (air fluid level) pada
sinus yang sakit. 1,7
B. Sinusitis Kronis
Anamnesis
Keluhan umum yang membawa pasien sinusitis kronis untuk berobat biasanya
adalah kongesti atau obstruksi hidung. Keluhan biasanya diikuti dengan malaise, nyeri
kepala setempat, sekret di hidung, sekret pasca nasal (post nasal drip) , gangguan
penciuman dan pengecapan.8
Pada rinoskopi anterior dapat ditemukan sekret kental purulen dari meatus
medius. Pada rinoskopi posterior tampak sekret purulen di nasofaring atau turun ke
tenggorok.1
14
Pemeriksaan penunjang
Transluminasi1
Transluminasi dapat dipakai untuk memeriksa sinus maksilaris dan sinus frontal,
bila fasilitas pemeriksaan radiologik tidak tersedia. Bila pada pemeriksaan
transluminasi tampak gelap didaerah infraorbita, mungkin berarti antrum terisi oleh pus
atau mukosa antrum menebal atau terdapat neoplasma di dalam antrum. Bila terdapat
kista yang besar didalam sinus maksila, akan tampak terang pada pemeriksaan
transluminasi.
Radiologi8
Pemeriksaan radiologik pada sinusitis kronis tidak dianjurkan, penggunaannya
dibatasi hanya untuk sinusitis maksilaris akut atau sinusitis frontalis.
CT scan8
15
3.7 Tatalaksana Sinusitis
Tujuan utama penatalaksanaan sinusitis adalah:
1. Mempercepat penyembuhan
2. Mencegah komplikasi
3. Mencegah perubahan menjadi kronik.
Sinusitis akut dapat diterapi dengan pengobatan (medikamentosa) dan
pembedahan (operasi).1
Penatalakanaan yang dapat diberikan pada pasien sinusitis akut, yaitu:
Pada sinusitis akut, diberikan amoksisilin (40 mg/kgbb/hari) yang merupakan
first line drug, namun jika tidak ada perbaikan dalan 48-72 jam, dapat diberikan
amoksisilin/klavulanat. Sebaiknya antibiotik diberikan selama 10-14 hari.1
Pada kasus sinusitis kronis, antibiotik diberikan selama 4-6 minggu sebelum
diputuskan untuk pembedahan. Dosis amoksisilin dapat ditingkatkan sampai 90
mg/kgbb/hari. Pada pasien dengan gejala berat atau dicurigai adanya komplikasi
diberikan antibiotik secara intravena. Sefotaksim atau seftriakson dengan klindamisin
dapat diberikan pada Streptococcus pneumoniae yang resisten.1
16
mengurangi edem atau inflamasi yang mengakibatkan obstruksi ostium, meningkatkan
drainase sekret dan memperbaiki ventilasi sinus. Pemberian dekongestan dibatasi
sampai 3-5 hari untuk mencegah ketergantungan dan rebound nasal decongestan.
Pemberian dekongestan sistemik, seperti penilpropanolamin, pseudoefedrin dapat
menormalkan ventilasi sinus dan mengembalikan fungsi pembersih mukosilia.
Dekongestan sistemik dapat diberikan sampai 10-14 hari. 1
17
sekret terus menerus yang tidak membaik dengan terapi konservatif.24Beberapa
tindakan pembedahan pada sinusitis antara lain adenoidektomi, irigasi dan drainase,
septoplasti, andral lavage, caldwell luc dan functional endoscopic sinus surgery
(FESS).Terdapat tiga pilihan operasi yang dapat dilakukan pada sinusitis maksilaris,
yaitu unisinektomi endoskopik dengan atau tanpa antrostomi maksilaris, prosedur
Caldwell-Luc, dan antrostomi inferior. Saat ini, antrostomi unilateral dan unisinektomi
endoskopik adalah pengobatan standar sinusitis maksilaris kronis refrakter. Prosedur
Caldwell-Luc dan antrostomi inferior antrostomy jarang dilakukan. 1
18
Algoritma tatalaksana Sinusitis Kronik
19
Algoritma Tatalaksana Sinusitis Kronik dengan polip bagi Spesialis THT
Komplikasi Orbita
Komplikasi ini dapat terjadi karena letak sinus paranasal yang berdekatan
dengan mata (orbita). Sinusitis etmoidalis merupakan penyebab komplikasi orbita yang
tersering kemudian sinusitis maksilaris dan frontalis. Terdapat lima tahapan terjadinya
komplikasi orbita ini.1
a. Peradangan atau reaksi edema yang ringan
b. Selulitis orbita. Edema bersifat difus dan bakteri telah secara aktif menginvasi isi
orbita namun pus belum terbentuk
c. Abses subperiosteal. Pus terkumpul di antara periorbita dan dinding tulang orbita
menyebabkan proptosis dan kemosis
20
d. Abses periorbita. Pada tahap ini, pus telah menembus periosteum dan bercampur
dengan isi orbita
e. Trombosis sinus kavernosus. Komplikasi ini merupakan akibat penyebaran bakteri
melalui saluran vena ke dalam sinus kavernosus di mana selanjutnya terbentuk
suatu tromboflebitis septic.
21
Kelainan Paru1
Adanya kelainan sinus paranasal disertai dengan kelaian paru ini disebut
sinobronkitis. Sinusitis dapat menyebabkan bronchitis kronis dan bronkiektasis. Selain
itu juga dapat timbul asma bronkhial.
Osteomielitis1
Paling sering timbul akibat sinusitis frontal dan biasanya ditemukan pada anak-
anak. Pada osteomielitis sinus maksila dapat timbul fistula oroantral atau fistula pada
pipi
22
3.11 Definisi Rinitis Alergi
Rinitis alergi adalah penyakit inflamasi yang disebabkan oleh reaksi alergi
pada pasien atopi yang sebelumnya sudah tersensitasi dengan alergen yang sama serta
dilepaskannya mediator kimia ketika terjadi paparan ulangan dengan alergen spesifik
tersebut. Menurut WHO ARIA tahun 2001, rinitis alergi adalah kelainan pada hidung
dengan gejala bersin-bersin, rinore, rasa gatal dan tersumbat setelah mukosa hidung
terpapar alergen yang diperantarai oleh Ig E.11
23
Tabel 1 klasifikasi rinitis alergi berdasarkan berat gejala menurut WHO-ARIA16
Ringan (mild) Sedang – berat (Moderate-Severe)
1. Tidur tidak terganggu 1. Tidur terganggu
2. Aktifitas normal, tidak 2. Aktifitas sehari-hari
terganggu terganggu
3. Tidak mengganggu 3. Mengganggu kegiatan kerja
kegiatan kerja dan dan sekolah
sekolah 4. Gejala menyusahkan
4. Ada gejala, namun tidak
menyusahkan
3.14 Patofisiologi
Tahapan inflamasi yang terjadi pada rinitis alergi adalah tahap sensitisasi
yang diikuti dengan tahap provokasi atau reaksi alergi. Reaksi alergi yang
terjadi terdiri dari 2 fase: Reaksi alergi fase cepat (RAFC) atau Immediate
Phase Allergic Reaction yang berlangsung sejak kontak dengan alergen hingga
1 jam. Reaksi alergi fase lambat (RAFL) atau Late Phase Allergic Reaction,
berlangsung 2-4 jam dan dapat berlangsung hingga 24-48 jam paska kontak
dengan alergen. Fase hiperaktif atau masa puncaknya berlangsung pada 6-8 jam
setelah kontak dengan alergen.13,14
Pada tahap sensitisasi alergen berupa tungau, bulu kucing atau anjing, serbuk
bunga dan lainnya akan masuk ke saluran pernapasan atas dan melewati lapisan
mukosa hidung. Alergen yang masuk akan ditangkap oleh antigen precenting
cells (APC). Fragmen peptide yang terbentuk dari antigen akan membentuk
komplek peptide MHC kelas II setelah bergabung dengan molekul HLA kelas
II. MHC kelas II ini dihantarkan ke sel T limfosit. Sel penyaji atau APC akan
melepaskan sitokin IL1 yang akan mengaktifkan Th0 menjadi Th1 dan Th2. Sel
T limfosit 2 (Th2) yang teraktivasi akan menghasilkan sitokin IL3, IL4, IL5 dan
IL13. Sitokin IL-4 dan IL-13 yang dihasilkan ini akan berikatan dengan reseptor
di permukaan sel limfosit B sehingga sel limfosit B teraktifasi. Sel limfosit B
yang diaktifkan akan memproduksi immunoglobulin E (IgE). Immunoglobulin
E (IgE) yang berada di sirkulasi akan ditangkap oleh reseptornya di permukaan
basofil atau sel mastosit sehingga kedua sel ini akan menjadi aktif. Jika saat
24
mukosa hidung yang sudah tersensitisasi terkena alergen yang sama, maka
alergen tersebut akan diikat oleh kedua rantai IgE sehingga terjadi degranulasi
mastosit dan basofil yang mengakibatkan terlepasnya mediator kimia yang telah
terbentuk, yaitu histamin. Selain histamin, ada beberapa mediator kimia lain
yang dikeluarkan, yaitu prostaglandin D2 (PGD2), leukotrien D4 (LTD4),
leukotrien C4 (LTC4), bradikinin, platelet activating factor (PAF) dan sitokin-
sitokin lainnya. Fase inilah yang disebut dengan fase reaksi alergi cepat.13,14,15
Histamin yang dikeluarkan akibat reaksi pada fase cepat akan berikatan
dengan reseptor H1 di ujung saraf vidianus sehingga menimbulkan rasa gatal
pada hidung dan bersin-bersin. Kelenjar mukosa dan sel goblet akan terangsang
juga oleh histamin sehingga terjadi hipersekresi mukus dan permeabilitas
kapiler meningkat. Proses akibat hipersekresi mukus dan peningkatan
permeabilitas kapiler akan menyebabkan salah satu keluhan pada pasien rinitis
yaitu rinorea. Efek lain dari histamin yang berikatan dengan reseptornya di
pembuluh darah adalah vasodilatasi. Vasodilatasi sinusoid akibat histamin akan
menyebabkan terjadinya penyumbatan rongga hidung. Inter Cellular Adhesion
Molecule (ICAM 1) juga akan dikeluarkan oleh mukosa hidung akibat
rangsangan histamin.13
Pada fase cepat, kemotaktik juga akan dikeluarkan oleh sel mastosit. Keadaan
ini akan menyebabkan akumulasi sel netrofil dan eosinofil di jaringan target.
Respon ini dapat berlangsung hingga 6-8 jam setelah pemaparan. Fase lambat
atau RAFL ditandai dengan peningkatan jumlah sel-sel inflamasi seperti
eosinofil, limfosit, netrofil, basofil dan mastosit di mukosa hidung. Sitokin-
sitokin seperti IL3, IL4, IL5, Granulocyte Macrophage Colony Stimulating
Factor (GMCSF) dan ICAM1 juga akan meningkat jumlahnya di sekret hidung.
Gejala hiperaktif yang terjadi akibat peranan eosinofil dengan mediator
inflamasi dari granulnya seperti Eosinophilic Cationic Protein (ECP),
Eosinophilic Derived Protein (EDP), Major Basic Protein (MBP) dan
Eosinophilic Peroxidase (EPO). Selain karena faktor antigen atau alergen, iritasi
mukosa hidung dapat diperberat oleh faktor lingkungan, yaitu asap rokok, bau
yang merangsang, perubahan cuaca dan kelembaban udara.12,13
25
3.15 Gejala klinik
Gejala klinik rinitis alergi yang khas ialah terdapatnya serangan bersin yang
berulang. Histamin merupakan mediator utama terjadinya bersin. Bersin
umumnya merupakan gejala RAFC, berlangsung selama 1-2 menit pasca
terkena pacuan alergen d ihubungkan dengan degranulasi mastosit (terlepasnya
histamin), dan hanya kadang-kadang terjadi pada RAFL. Bersin disebabkan
stimulasi reseptor H1 pada ujung saraf vidianus (C fiber nerve ending). Peptida
endotelin-1 yang dioleskan pada mukosa hidung menyebabkan bersin. Bersin
merupakan gejala normal, yang merupakan mekanisme fisiologik yaitu
pembersihan diri (self cleaning process). Bersin dianggap patologik, bila
terjadinya lebih dari lima kali setiap serangan, terutama merupakan gejala pada
reaksi alergi fase cepat dan kadang-kadang pada reaksi alergi fase lambat
sebagai pelepasan histamin.14,15
Gejala lain adalah keluar ingus (rinore) yang encer dan banyak, rinore
didefinisikan sebagai pengeluaran sekresi kelenjar membran mukosa hidung
yang berlebihan, dimulai dalam tiga menit pasca acuan alergen dan berakhir
pada sekitar 20-30 menit kemudian. Rinore merupakan gejala dan dominan
sepanjang RAFC tetapi juga dapat sepanjang RAFL. Sekresi kelenjar ini
merupakan akibat terangsangnya saraf parasimpatis dan mengalirnya cairan
plasma dan molekul-molekul protein besar melewati dinding kapiler pembuluh
darah hidung. Histamin yang dilepas mastosit penyebab utama beringus, yang
diduga karena histamin meningkatkan permeabilitas vaskuler melalui reaksi
langsung pada reseptor H1. Dalam respon terhadap pacuan alergen, rinore dapat
terjadi pada hidung kontralateral. Hal ini disebabkan terjadinya refleks
nasonasal dan sepertinya diperantarai asetilkolin karena dapat dihambat oleh
atropin pre-treatment. 14,15
26
Hidung tersumbat merupakan kemacetan aliran udara yang tidak menetap,
tetapi terjadi secara temporer akibat kongesti sementara yang bersifat
vasodilatasi vaskuler. Mekanisme vasodilatasi ini diperantarai reseptor-H1
yang berakibat pelebaran cavernous venous sinusoid dalam mukosa konka,
sehingga terjadi peningkatan tahanan udara dalam hidung. Peningkatan
aktivitas parasimpatis juga menyebabkan vasodilatasi dengan akibat buntu
hidung, namun pengaruhnya kecil saja. Vasodilatasi vaskuler hidung lebih
dipengaruhi oleh sejumlah mediator antara lain histamin, bradikinin, PGD2,
LTC4, LTD4, PAF. Hidung tersumbat akibat histamin sepanjang RAFC
berlangsung singkat sajat, tidak lebih dari 30 menit setelah bersin-bersin.
Sepanjang RAFL, peran histamin terhadap vasodilatasi vaskuler juga kecil saja,
namun peran leukotrien (LTC4,LTD4) pada vasodilatasi adalah sepuluh kali
lebih kuat dibanding histamin. Provokasi hidung dengan LTD4 menyebabkan
peningkatan tahanan udara hidung, tanpa rasa gatal, tanpa bersin-bersin dan
tanpa beringus. PGD2 dan bradikinin juga jauh lebih kuat dalam menimbulkan
hidung tersumbat. Hidung dan mata gatal, yang kadang-kadang disertai dengan
banyak air mata keluar (lakrimasi). Sering kali gejala yang timbul tidak lengkap,
terutama pada anak. Kadang-kadang keluhan hidung tersumbat merupakan
keluhan utama atau satu-satunya gejala yang diutarakan oleh pasien. Gejala
spesifik lain pada anak ialah terdapatnya bayangan gelap di daerah bawah mata
yang terjadi karena stasis vena sekunder akibat obstruksi hidung. Gejala ini
disebut allergic shiner. Selain dari itu sering juga tampak anak menggosok-
gosok hidung karena gatal dengan punggung hidung, Keadaan ini disebut
allergic salute. Keadaan menggosok hidung ini lama kelamaan akan
mengakibatkan timbulnya garis melintang di dorsum nasi bagian sepertiga
bawah yang disebut allergic crease.`14,15
27
Mungkin Tidak Bukan
Ya
alergi Alergi
Anamnesis
Hampir 50% diagnosis rinitis alergi dapat ditegakkan dengan anamnesis. Bersin yang
berulang merupakan gejala khas dari rinitis alergi, namun kadang-kadang keluhan
hidung tersumbat merupakan keluhan utama atau gejala satu-satunya yang diutarakan
oleh pasien.13
Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik THT, yaitu rinoskopi anterior dapat menunjukkan edema mukosa,
pucat atau livid, basah dan disertai sekret yang encer. Mukosa inferior dapat tampak
hipertrofi bila pada keadaan yang persisten. Gejala spesifik lain yang dapat dilihat pada
saat melakukan pemeriksaan fisik ialah pada bagian bawah mata terdapat bayangan
gelap atau allergic shiner serta tanda-tanda lain yang dapat terlihat adalah allergic salute,
allergic crease, facies adenoid, cablestone appearance dan geographic tongue
khususnya pada anak.13,14
Pemeriksaan Penunjang
3.17 Penatalaksanaan
28
alergi dan eliminasi. Untuk terapi farmakologi pun ada banyak jenis pilihan yang dapat
digunakan dalam menatalaksana pasien dengan rinitis alergi.13,16
Antihistamin H1
Glukokortikoid
Dekongestan oral
Dekongestan merupakan preparat yang sering digunakan untuk meredakan gejala pilek
yaitu hidung tersumbat, seperti gejala yang ditimbulkan oleh rinitis alergi. Dekongestan
bekerja sebagai vasokontriktor sehingga edema yang terjadi di konka dapat teratasi dan
gejala hidung tersumbat pun hilang. Preparat yang tersedia antara lain efedrin,
pseudoefedrin, fenileprin dan propanolamin. 13,16
3.18 Komplikasi
Rinitis alergi adalah penyakit alergi yang sering dijumpai di seluruh dunia.
Rinitis alergi bukan hanya menyebabkan keadaan yang menyusahkan, tetapi juga
memberi kontribusi variasi komplikasi seperti sinusitis, otitis media dan asma. Telah
diketahui, bahwa alergi memberikan kontribusi terhadap otitis media. Tetapi bukti yang
ada bertentangan. Beberapa studi tidak menerangkan prevalensi yang lebih besar pada
29
penderita atopi dan alergi pada otitis media dibandingkan dengan subjek kontrol yang
normal sehingga hal tersebut mungkin bisa terjadi bahwa perubahan patologis yang
berhubungan dengan rinitis dapat mengakibatkan obstruksi di tuba Eustachius dengan
disfungi dan efusi telinga tengah. Hal ini terlihat bahwa otitis media serosa bukan suatu
penyakit alergi tetapi sering merupakan komplikasi dari alergi hidung, khususnya pada
anak-anak. Hubungan antara alergi dan sinusutis ada dua. Yang pertama, alergi
mungkin memberikan konstribusi terhadap obstruksi pada ostium sinus, dalam hal ini
mewakili faktor predisposisi. Yang kedua, rinitis alergi perenial memiliki beberapa
bentuk sinusitis kronis, khususnya sekret hidung dan obstruksi. Rinitis alergi dan asma
bronkial sering terjadi bersamaan, sebagai contoh, pasien yang menderita RA musiman
berat biasanya akan menimbulkan gejala mengi musiman yang memuncak dan rasa
terikat di dada. Hal ini penting untuk terapinya yang berhubungan dengan asma. Lebih
dari itu, pengobatan rinitis dengan perbaikan jalan nafas pada hidung juga dapat
memperbaiki gejala asma Beberapa komplikasi atau penyulit rinitis alergi dapat berupa
otitis media efusi, rinosinusitis, penyakit alergi lain (asma dan eksim) serta dapat
mengganggu kualitas hidup penderita yang dapat mempengaruhi kehidupan bersosial
dan bermasyarakat.12,13,14,15,16
30
BAB IV
KESIMPULAN
Sinus paranasal terdiri dari empat pasang, yaitu sinus frontal, sinus etmoid, sinus
maksila, dan sinus sfenoid. Sinus paranasal dalam kondisi normal mengalirkan sekresi
dari mukosa ke daerah yang berbeda dalam kavum nasi.
Sinusitis adalah suatu peradangan pada sinus yang terjadi karena alergi atau
infeksi virus, bakteri maupun jamur. Sinusitis bisa terjadi pada salah satu dari keempat
sinus yang ada (maksilaris, etmoidalis, frontalis atau sfenoidalis). Sinusitis bisa bersifat
akut (berlangsung selama 3 minggu atau kurang) maupun kronis (berlangsung selama
3-8 minggu tetapi dapat berlanjut sampai berbulan-bulan bahkan bertahun-tahun).
Keluhan utama sinusitis akut adalah hidung tersumbat disertai nyeri atau tekanan
pada wajah dan sekret purulen, yang seringkali turun ke tenggorokan (post nasal drip).
Prognosis untuk penderita sinusitis akut yaitu sekitar 40 % akan sembuh secara
spontan tanpa pemberian antibiotik. Terkadang juga penderita bisa mengalami relaps
setelah pengobatan namun jumlahnya sedikit yaitu kurang dari 5 %. Komplikasi dari
penyakit ini bisa terjadi akibat tidak ada pengobatan yang adekuat yang nantinya akan
dapat menyebabkan komplikasi orbita atau intrakranial.
31
DAFTAR PUSTAKA
1. Soepardi EA, Iskandar HN. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung dan
Tenggorok Kepala Leher.Edisi 6, Balai Penerbit FKUI, Jakarta : 2007.
2. Data Poli Rawat Jalan Sub Bagian Rinologi, Bagian THT FKUI – RSUPN Dr.
Cipto Mangunkusumo, Jakarta 2000-2005.
3. Quinn FB. Paranasal Sinus Anatomy and Function. 29 Januari 2019.Diunduh
dari http://www.utmb.edu/otoref/Grnds/Paranasal-Sinus-2002-01/Paranasal-
sinus-2002-01.htm.
4. Norman W. Nasal Cavity, Paranasal Sinuses, Maxillary Division of
Trigeminal Nerve. 1999. Diunduh dari
http://home.comcast.net/~wnor/lesson9.htm.
5. Fokkens W, Lund V, Mullol J. European Position Paper on Nasal Polyps.
2007
6. Ballenger. J. J., Infeksi Sinus Paranasal. Penyakit Telinga, Hidung dan
Tenggorok Kepala dan Leher. Ed 13 (1). Jakarta : Binaputra Aksara. 1994; hal
: 232 – 41
7. Sobol E. Sinusitis, Acute, Medical Treatment. Available from:
http://www.emedicine.com/ent/topic337.htm
8. Razek A. Sinusitis, Chronic, Medical Treatment. Available from:
http://www.emidicine.com/ent/topic338.htm
9. Waguespack R, 1995, Mucociliary Clearance Patterns Following Endoscopic
Sinus Surgery, Laryngoscope(Supplement):p 1-40
10. Hilger PD. Disease of Parasanal Sinuses. Adam GL Boies LRJK Hilger
Fundametal of Oyolaryngology,6th ed. Philadelphia ; Sounders Company,
1990.p49 – 270
11. Soetjipto D, Mangunkusumo e. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung
Tenggorok Kepala Leher. 5th ed. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia; 2006. 88-94
12. Kholid Yahya. Skripsi: Prevalensi dan Faktor Risiko Kejadian Rinitis Alergi
pada Usia 13-14 tahun di Ciputat Timur dengan Menggunakan Kuesioner
Internasional Study of Asthma and Allergy in Chindhood (ISAAC) Tahun
2013. Diunduh dari
http://repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/26431/1/YAHYA%
20KHOLID-FKIK.pdf pada Februari 2019.
13. Irawati N, Kasakeyan E, Rusmono N. Rinitis Alergi. Dalam: Buku Ajar Ilmu
Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala dan Leher. Ed 6. Jakarta: Balai
Penerbit FKUI; 2007. Hal 128-134
14. Pawankar R, Mori S, Ozu C, Kimura S. Overview on Pathomechanisms of
Allergic Rhinitis. Asia Pac Allergy. 2011 Sept; 1 (3): p 157-167
15. Ghanie Abla, Temu Ilmiah Akbar Lustrum IX (Dies Natalies ke 45) FK
UNSRI: Penatalaksanaan Rhinitis Alergi Terkini 2007. Diunduh dari
https://www.google.com/url?sa=t&rct=j&q=&esrc=s&source=web&cd=2&ca
d=rja&uact=8&ved=0ahUKEwiAmJTAm9TXAhWLpY8KHZ9pADoQFggt
32
MAE&url=http%3A%2F%2Feprints.unsri.ac.id%2F876%2F1%2FPenatalaksa
naan_Rhinitis_Alergi_Terkini.pdf&usg=AOvVaw36T_PzOMkzJlwWVLjHu5
p- pada 2 Februari 2019.
16. World Health Organization, GA2LEN, Allergen. ARIA (Allergic Rhinitis and
its Impact to Asthma) 2008 update. Diunduh dari
http://onlinelibrary.wiley.com/doi/10.1111/j.1398-9995.2007.01620.x/epdf 3
Februari 2019
33