Você está na página 1de 32

BAB I

PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang

Syariat Islam adalah peraturan hidup yang datang dari Allah ta’ala, ia adalah pedoman
hidup bagi seluruh umat manusia. Sebagai pedoman hidup ia memiliki tujuan utama yang
dapat diterima oleh seluruh umat manusia. Tujuan diturunkannya syariat Islam adalah untuk
kebaikan seluruh umat manusia. Dalam ruang lingkup ushul fiqh tujuan ini disebut
dengan maqashid as-syari’ah yaitu maksud dan tujuan diturunkannya syariat Islam.
Secara bahasa maqashid syari’ah terdiri dari dua kata
yaitumaqashid dan syari’ah. Maqashid berarti kesengajaan atau tujuan,maqashid merupakan
bentuk jama’ dari maqsud yang berasal dari suku kata Qashada yang berarti menghendaki
atau memaksudkan.Maqashid berarti hal-hal yang dikehendaki dan dimaksudkan. Sedangkan
Syari’ah secara bahasa berarti ‫ المواضع تحدر الي الماء‬artinya Jalan menuju sumber air, jalan
menuju sumber air dapat juga diartikan berjalan menuju sumber kehidupan.
Al- Syatibi tidak mendefinisikan Maqashid Syariah yaitu mashlahah atau kebaikan
dan kesejahteraan umat manusia baik di dunia maupun diakhirat. Oleh karena itu Asy-Syatibi
meletakkan posisi maslahat sebagai ‘illat hukum atau alasan pensyariatan hukum Islam,
berbeda dengan ahli ushul fiqih lainnya An-Nabhani misalnya beliau dengan hati-hati
menekankan berulang-ulang, bahwa maslahat itu bukanlah ‘illat atau motif (al-ba‘its)
penetapan syariat, melainkan hikmah, hasil (natijah), tujuan (ghayah), atau akibat (‘aqibah)
dari penerapan syariat.

1.2 Rumusan Masalah


1. Apakah yang dimaksud dengan maqashid syariah?
2. Apakah yang dimaksud dengan substans syariat islam?
3. Bagaimanakah syariat islam dan tangan modernitas ?
4. Bagaimanakah islam sebagai agama rahmatan lilalamin?
5. Bagaimanakah islam memiliki jawaban dari persoalan yang muncul dan akan muncul
hingga akhir zaman ?
6. Bagaiman karakteristik alquran dan hadist nabi menjawab persoalan modern
7. Bagaimanakah hukum pemanfaatan donor organ dan jaringan (dari manusia yang
mash hidup,meninggal dan hewan?
8. Bagaimana ketentuan donor, pendonor, resipien?

1
9. Bagaimana hukum memperjualbelikan organ dan jaringan tubuh manusia (yang masih
hidup dan meniggal dunia)?
1.3 Tujuan
1. Untuk mengetahui maqashid syariah
2. Untuk mengetahui substans syariat islam
3. Untuk mengetahui syariat islam dan tangan modernitas
4. Untuk mengetahui islam sebagai agama rahmatan lilalamin
5. Untuk mengetahui islam memiliki jawaban dari persoalan yang muncul dan akan
muncul hingga akhir zaman
6. Untuk mengetahui karakteristik alquran dan hadist nabi menjawab persoalan modern
7. Untuk mengetahui hukum pemanfaatan donor organ dan jaringan (dari manusia yang
mash hidup,meninggal dan hewan
8. Untuk mengetahui ketentuan donor, pendonor, resipien
9. Untuk mengetahui hukum memperjualbelikan organ dan jaringan tubuh manusia
(yang masih hidup dan meniggal dunia)

2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

Kata syariat Islam merupakan pengindonesiaan dari kata Arab, yakni as-syarî‘ah al-
Islâmiyyah. Secara etimologis, kata as-syarî’ah mempunyai konotasi masyra‘ah al-
mâ’ (sumber air minum).1 Orang Arab tidak menyebut sumber tersebut dengan
sebutan syarî‘ah kecuali jika sumber tersebut airnya berlimpah dan tidak pernah
kering.2 Dalam bahasa Arab, syara‘a berartinahaja (menempuh), awdhaha (menjelaskan),
dan bayyana al-masâlik(menunjukkan jalan). Syara‘a lahum-yasyra‘u-
syar‘an berarti sanna(menetapkan).3 Syariat dapat juga berarti madzhab (mazhab)
dan tharîqah mustaqîmah (jalan lurus).

Dalam istilah syariat sendiri, syarî‘ah berarti agama yang ditetapkan oleh Allah SWT
untuk hamba-hamba-Nya yang terdiri dari berbagai hukum dan ketentuan yang
beragam.5 Hukum-hukum dan ketentuan tersebut disebut syariat karena memiliki konsistensi
atau kesamaan dengan sumber air minum yang menjadi sumber kehidupan bagi makhluk
hidup. Dengan demikian, syariat dan agama mempunyai konotasi yang sama,6 yaitu berbagai
ketentuan dan hukum yang ditetapkan oleh Allah SWT bagi hamba-hamba-Nya.
Sementara itu, kata al-Islâm (Islam), secara etimologis mempunyai konotasiinqiyâd (tunduk)
dan istislâm li Allâh (berserah diri kepada Allah). Istilah tersebut selanjutnya dikhususkan
untuk menunjuk agama yang disyariatkan Allah SWT kepada Nabi Muhammad saw. Dalam
konteks inilah, Allah menyatakan kata Islam sebagaimana termaktub dalam firman-Nya:

Hari ini Aku telah menyempurnakan untuk kalian agama kalian, mencukupkan
nikmat-Ku atas kalian, dan meridhai Islam sebagai agamabagi kalian. (QS al-
Mâ’idah [5]: 3).

Karena itu, secara syar‘î, Islam adalah agama yang diturunkan oleh Allah SWT kepada
junjungan kita, Muhammad saw., untuk mengatur hubungan manusia dengan Penciptanya,
dirinya sendiri, dan sesamanya.7 Hubungan manusia dengan Penciptanya meliputi masalah
akidah dan ibadah; hubungan manusia dengan dirinya sendiri meliputi akhlak, makanan, dan
pakaian;hubungan manusia dengan sesamanya meliputi muamalat dan persanksian.8
Dengan demikian, syariat Islam merupakan ketentuan dan hukum yang ditetapkan oleh Allah
atas hamba-hamba-Nya yang diturunkan melalui Rasul-Nya, Muhammad saw., untuk

3
mengatur hubungan manusia dengan Tuhannya, dengan dirinya sendiri, dan dengan
sesamanya. Artinya, cakupan syariat Islam meliputi akidah dan syariat. Dengan kata lain,
syariat Islam bukan hanya mengatur seluruh aktivitas fisik manusia (af‘âl al-jawârih), tetapi
juga mengatur seluruh aktivitas hati manusia (af‘âl al-qalb) yang biasa disebut dengan akidah
Islam. Karena itu, syariat Islam tidak dapat direpresentasikan oleh sebagian ketentuan Islam
dalam masalah hudûd (seperti hukum rajam, hukum potong tangan, dan sebagainya); apalagi
oleh keberadaan sejumlah lembaga ekonomi yang menjamur saat ini semisal bank syariah,
asuransi syariah, reksadana syariah, dan sebagainya.

Dengan definisi syariat Islam baik secara etimologis maupun terminologissyar‘î di


atas, tampak jelas bahwa ruang lingkup syariat Islam adalah seluruh ajaran Islam, baik yang
berkaitan dengan akidah maupun peraturan atau sistem kehidupan yang menjadi turunannya.
Akidah Islam adalah keimanan kepada Allah dan para malaikat-Nya; pada kitab-kitab-Nya;
kepada para rasul-Nya; serta pada Hari Akhir dan takdir, yang baik dan buruknya berasal dari
Allah SWT semata. 9 Akidah Islam juga meliputi keimanan pada adanya surga, neraka, dan
setan serta seluruh perkara yang berkaitan dengan semua itu. Demikian juga dengan hal-hal
gaib dan apa saja yang tidak bisa dijangkau oleh indera yang berkaitan dengannya.10 Akidah
Islam merupakan pemikiran yang sangat mendasar (fikr asâsi). Ia mampu memecahkan
secara sahih problem mendasar manusia di seputar: dari mana manusia berasal; untuk apa
manusia ada; dan mau ke mana manusia setelah mati.11 Artinya, akidah Islam merupakan
pemikiran yang menyeluruh (fikrah kulliyyah) yang menjadi sumber dari seluruh pemikiran
cabang. Ia adalah pemikiran mendasar yang membahas persoalan di seputar: (1) alam
semesta, manusia, dan kehidupan; (2) eksistensi Pencipta dan Hari Akhir; (3) Hubungan
alam, manusia, dan kehidupan dengan Pencipta dan Hari Akhir. Dalam konteks manusia,
hubungan yang dimaksud adalah hubungan dirinya sebagai hamba dengan Allah yang harus
tunduk pada syariat-Nya. Sebab, syariat Allah merupakan standar akuntalibitas bagi seluruh
aktivitas manusia di hadapan-Nya.12
Sementara itu, peraturan atau sistem kehidupan Islam merupakan kumpulan ketentuan yang
mengatur seluruh urusan manusia; baik yang berkaitan dengan ubudiah, akhlak, makanan,
pakaian, muamalat, maupun persanksian.13 Tentu saja, untuk bisa disebut sistem Islam, ia
harus digali dari dalil-dalil tafshîli (rinci); baik yang bersumber dari al-Quran, Hadis Nabi,
Ijma Sahabat, maupun Qiyas.

4
BAB III
PEMBAHASAN

1. Pengertian Maqashid Syariah

a. Secara Bahasa
Kata syariat berasal darai “syara’a as-syai” dengan arti; menjelaskan sesuatu. Atau ia
diambil dari “asy-syir’ah” dan “asy-syariah” dengan arti tempat sumber air yang tidak pernah
terputus dan orang yang datang kesana tidak memerlukan adanya alat.
Dalam “mufrodat Al-Qur’an.” Ar-Raghib Al-Asfahani menulis bahwa “Asy-syar
adalah jalan yang jelas. Sedangkan maqashid secara bahasa adalah jamak dari maqshad, dan
maqsad mashdar mimi dari fi’il qashada, dapat dikatakan: qashada-yaqshidu-qashdan-
wamaksadan, al qashdu dan al maqshadu artinya sama, beberapa arti alqashdu adalah:
ali’timad: berpegang teguh, al amma: condong, mendatangi sesuatu dan menuju.
b. Secara Istilah
Ibnu al-Qayyim Al Jauziyah “Menegaskan bahawa syariah itu berdasarkan kepada
hikmah-hikmah dan maslahah-maslahah untuk manusia baik di dunia maupun di akhirat.
Perubahan hukum yang berlaku berdasarkan perubahan zaman dan tempat adalah untuk
menjamin syariah dapat mendatangkan kemaslahatan kepada manusia”.[1]

Al Khadimi “Berpendapat maqashid sebagai prinsip islam yang lima yaitu menjaga
agama, jiwa, akal, keturunan dan harta”.

Dr. Wahbah Zuhaily menyebutkan Maqashid syariah adalah sejumlah makna atau
sasaran yang hendak dicapai oleh syara’ dalam semua atau sebagian besar kasus hukumnya.
Atau ia adalah tujuan dari syari’at, atau rahasia di balik pencanangan tiap-tiap hukum
oleh Syar’i (pemegang otoritas syari’at, Allah dan Rasul-Nya).[2]

Syariat adalah[3]: hukum yang ditetapkan oleh Allah bagi hamba-Nya tentang urusan
agama. Atau hukum agama yang ditetapakan dan diperintahkan oleh Allah. Maqashid
syariah” adalah tujuan yang menjadi target teks dan hukum-hukum partikular untuk
direalisasikan dalam kehidupan manusia. Baik berupa perintah,larangan, dan mubah. Untuk
individu, keluarga, jamaah, dan umat.
Maksud-maksud juga bisa disebut dengan hikmah-hikmah yang menjadi tujuan
ditetapkannya hukum.

5
Maqashid al-syari’ah dalam arti Maqashid al-Syari’, mengandung empat aspek.
Keempat aspek itu adalah :
a. Tujuan awal dari syariat yakni kemaslahatan manusia di dunia dan akhirat.
b. Syariat sebagai sesuatu yang harus dipahami.
c. Syariat sebagai suatu hukum taklif yang harus dilakukan, dan
d. Tujuan syariat adalah membawa ke bawah naungan hukum.

Kepentingan hidup manusia yang bersifat primer yang disebut dengan


istilah daruriyattersebut di atas merupakan tujuan utama yang harus dipelihara oleh hukum
islam. Kepentingan-kepentingan yang harus dipelihara itu adalah :

A. Perlindungan Terhadap Agama

Perlindungan agama ini merupakan tujuan pertama hukum Islam. Sebabnya adalah
karena agam merupakan pedoman hidup manusia, dan di dalam agama Islam selain
komponen-komponen akidah yang merupakan pegangan hidup setiap Muslin serta akhlak
yang merupakan sikap hidup seorang Muslim. Dari sebuah hadits yang diriwayatkan oleh
Al-Bukhari yang diambil dari jalur Masruq dari Abdullah, bahwasanya Rosullah bersabda:
ّ ‫ال يح ّل دم امرئ مسلم يشهد أن ال إله إالّ هللا وأنّي رسول هللا إالّ بإحدى ثال ث النّفس باالنّس والث ّيّب‬
‫الزاني‬
‫والمارق من الدّين التّارك للجماعة‬
Tidaklah halal darah seorang muslim yang bersksi bahwa tiada Tuhan selain
Allah dan bersaksi bahwa aku adalah utusan Allah, kecuali karena salah satu dari tiga hal;
jiwa dengan jiwa(membunuh dihukum mati), orang yang telah menikah berzina, dan orang
yang murtad dari agama (islam) karena meninggalkan sholat jamaah.
Berdasarkkan hadits diatas sudah sangat jelas sekali bahwasanya Allah
melindungi orang-orang yang berada dalam agamaNya. Jadi orang-orang yang berada dalam
agama islam haram baginya darahnya atau haram baginya untuk membunuhnya.
Dan dilain pihak juga islam menjaga hak dan kebebasan, dan kebebasan yang pertama
adalah kebebasan berkeyakinan dan beribadah; setiap pemeluk agama berhak atas agama dan
madzhabnya, ia tidak boleh dipaksa untuk meninggalkannya manuju agama atau madzhab
lain, juga tidak boleh ditekan untuk berpindah keyakinannya untuk masuk islam.
Dasar hak ini sesuai firman Allah
‫الرشد من الغي‬
ّ ‫ال اكراه فى الدين قد تبيّن‬
6
Tidak ada paksaan untuk (mamasuki) agama (islam), sesunguhnya telah jelas yang benar
daripada jalan yang sesat.(QS.Al-Baqarah(2): 256).
Mengenai tafsir ayat ini Ibnu katsir mengungkapkan,” Janganlah kalian memaksa
seseorang untuk memasuki agama islam. Sesungguhnya dalil dan bukti akan hal itu sangat
jelas dan gamblang, bahwa seseorang tidak boleh dipaksa untuk masuk agama islam.”
Asbabun nuzul ayat ini(sebagimana dikatakan para ulama ahli tafsir) menjelaskan
kepada kita suatu sisi mengagumkan agama ini( islam). Mereka meriwayatkan dari Ibnu
Abbas yang menceritakan ada seorang perempuan yang sedikit keturunannya, dia bersumpah
kepada dirinya, bahwa bila dikarunia seorang anak, dia akan menjadikannya seorang yahudi (
hal seperti ini dilakukan oleh wanita dari kaum ashar pada masa jahiliah), lalu ketika ,umcul
Bani Nadhir, diantara mereka terdapat keturunan dari kaum ashar. Maka bapak-bapak mereka
berkata,” kami tidak akan menbiarkan anak-anak kami; memeluk agama yahudi, lalu Allah
menurunkan ayat ini.
Atas peristiwa yang terjadi ini, Al-qur’an tetap menolak segala bentuk pemaksaan,
karena orang yang diberi petunjuk oleh Allah, maka Dia akan membukakan dan menerangi
mata hatinya, lalau orang itu akan masuk islam dengan bukti dan hujjah. Barangsiapa yang
hatinya dibutakan, pendengaran, dan penglihatannya ditutup oleh Allah, maka tidak ada
gunanya mareka masuk islam dalam keadaan dipaksa.

Perlindungan Terhadap Nyawa

Pemeliharaan ini merupakan tujuan kedua hukum Islam, karena itu hukum Islam
wajib memelihara hak manusia untuk hidup dan mempertahankan kehidupannya. Untuk itu
hukum islam melarang pembunuhan sebagai uoaya menghilangkan jiwa manusia dan
melindungi berbagai sarana yang dipergunakan oleh manusia dan mempertahankan
kemaslahatan hidupnya.[4]
Pada tanggal 9 Dzulhijjah tahun 10H, Nabi SAW menuju kepadang arafah, di sana
beliau berkhutbah, yang intinya bahwa islam adalah risalah langit yang terakhir, sejak empat
belas abad yang lalu telah mensyariatkan (mengatur) hak-hak asasi manusia secara
komprehensif dan mendalam. Islm mengaturnya dengan segala macam jaminan yang cukup
untuk menjaga hak-hak tersebut. Islam membentuk masyarakatnya di atas fondasi dan dasar
yag menguatkan dan memperkokoh hak-hak asasi manusia.
Hak pertama dan paling utama yang diperhatikan Islam adalah hak hidup. Maka tidak
mengherankan bila jiwa manusia dalam syariat Allah sangatlah dimuliakan, harus dipelihara,

7
dijaga, dipertahankan, tidak menghadapkannya dengan sumber-sumber kerusakan/
kehancuran. Alllah berfirman,
Dan janganlah kamu membunuh dirimu sendiri, sesungguhnya Allah adalah maha penyayang
kepadamu (QS.An-Nisa;29)

Al-Bukhori dan Muslim meriwayatkan sebuah hadits dari jalur Abu Hurairah, bahwasanya
Rasullah bersabda:
Artinya : barang siapa yang menjatuhkan diri dari gunung, lalu dia mati maka di neraka
jahannam dia akan mejatuhkan diri dia kekal dan dikekalkan di dalamnya. Dan barang siapa
yang minum racun, lalu dia mati maka dia akan menghirup racun tersebut di neraka
jahannam dia kekakl dan dikekalkan didalamnya. Dan barang siapa yang bunuh diri dengan
menggunakan potongan besi maka di neraka jahannam besi itu akan berada di tangannya
lalu dia akan memukul sendiri perutnya dengan besi tersebut dia kekal dan dikekalkan di
dalamnya selamanya.
Hal ini disebabkan karena membunuh berarti menghancurkan sifat (keadaan) dan
mencanut ruh manusia. Padahal Allah sajalah sang pemberi kehidupan, dan dia sajalah yang
mematikannya. Dialah sang pencipta kehidupan dan kematian.
Syekh Muhammad Mutawali Asy-Sya’rawi mengatakan :
Kita tidak menyaksiakan penciptaan makhluk, namun setiap hari kita menyaksikan kematian,
dan hal ini merupakan hal yang sudah kita ketahui bersama. Merusak segala sesuatu berarti
kebalikan dari menciptakannya. Maka bagaimana manusia diperkenankan merusak sesuatu
yang dibangun (diciptakan) Allah? Dalam penjelasannya firman Allah pada surat Q.S Asy-
syura 77-82 :
Artinya : karena sesunggunya apa yang kamu sembah itu adalah musuh ku kecuali
dan semesta alam ( Tuhan) yang telah mencipatkan aku, maka dialah yang menunjuk aku
dan Tuhan ku, yang dia memberi makan dan minum kepadaku dan apabila aku sakit dialah
yang menyembuhkan aku dan yang akan mematikan aku, kemudian akan menghidupkan aku
(kembali) dan yang amat aku inginkan akan mengampuni kesalahan ku pada hari kiamat
(asyura)
Ada perbedaan anatra pembunuhan dan kematian (biasa.wajar). pembunuhan tidaklah
sama dengan kematian, karena oembunuhan berarti merusak struktur tubuh yang
menyebabkan keluarnya ruh-ruh hanya akan berada dalam tubuh yang sehat dengan
spesifikasi-spesifiaksi khusus, karena itulah Allah berfirman mengenai Rasulullah dalam Al-
Qur;an terda[at pada surat Al-Imran :14

8
‫ه‬Muhahammad itu tidak lain hanyalah seorang rasul, sungguhtelah berlalu sebelumnya
bebarapa orang rasul. Apakah jika dia wafat atau dibunuh kamu berbalik ke belakang
(murtad), barang siapa yang berbalik ke belakangm maka ia tidak dapat
mendatangkanmudarat kepada Allah sedikit pun, dan Allah akan memberi balasan kepada
orang-orang yang bersyukur.
adapun kematian adalah keluarnya ruh dari tubuh, dengan struktur tubuh dalam
keadaan sehat, dan hanya Allah-lah yang mematikan. Sedang pembunuhan dapat dilakukan
manusia dengan menggunakan alat tajam atau dengan tembakau peluru.

Perlindungan terhadap Akal


Akal merupakan sumber hikmah (pengetahuan), sinar hidayah, cahay matahari, dan
media kebahagian manusia di dunia dan akhirat. Dengan akal, surat perintah dari Allah
disampaikan, dengannya pula manusia berhak pemimpin di muka bumi, dan dengannya
manusia menjadi sempurna, mulia, dan berbeda dengan makhluk lainnya. Allah swt
berfirman dalam surat al- Isra’ :70 :
‫ولقد كرمنا بني أدم وحملنهم في البر و البحر ورزقهم من الطيبت وفضلنهم علي كثير ممن خلقنا‬
‫تفضيال‬

dan sesungguhnya telah Kami muliakan anak-anak Adam, Kami angkut mereka di daratan
dan di lautan, Kami beri mereka rezeki dari yang baik-baik dan Kmai lebihkan mereka
dengan kelebihan yang sempurna atas kebanyakan makhluk yang telah Kami ciptakan.
Andai tanpa akal, manusia tidak berhak mendaptkan pemuliaan yang bisa
mengangkatnya menuju barisan para malaikat. Dengan akal, manusia naik menuju alam para
malaikat yang luhur. Karena itulah, akal poros pembenahan pada diri manusia.
Dengannya, manusia akan mendapatkan pahala dan berhak mendapat siksa. Balasan di dunia
dan di akhirat berdasarkan akal dan kekuatan pengetahuan. Nikmat dalam diri manusia ini
membukakannya cakrawala kehiduoan, dia bisa menapaki penjuru bumi dan menyelam di
bawah kedalamannya, serta menungganga udara. Sebagaiman yang telah disabdkana oleh
sabda Nabi Nabi Muhammad SAW : wahai manusia, sesungguhnya setiap sesuatu memiliki
anugerah, dan anugerah seseorag adalah akalnya. Dan orang yang paling baik petunjuk dan
pengetahuannya mengani hujjah di antara kalian adalah orang yang paling mulia amalnya.
Melalui akalnya manusia, manusia mendapatkan petunjuk menuju malrifat kepada
Tuhan dan Penciptanya. Dengan akalnya, dia menyembah dan menaati-Nya, menetapkan
kesempurnaan dan keagungan untuk-Nya, mensucikan-Nya dari segala kekurangan dan cacat,

9
membenarkan para rasul dan para nabi, dan mempercayai bahwa mereka mereka adalah
perantara yang akan memindahkan kepada manusia apa yang diperintahkan Allah kepada
mereja, membawa kabar gembira untuk mereka dengan jani, dan membawa peringatan
dengan ancaman. Maka manusia mengopersikan akal mereka, mempelajari yang hala dan
yang haram, yang berbahaya dan bermanfaat, serta yang baik dan buruk.
Setiap kali manusia mengoperasikan pikiran dan aklanya, menggunakan mata hati dan
perhatiannya, maka dia akan memperoleh rasa mana, merasakan kedamaian dan ketenagan,
dan masyarakat tempat dia hidup pun akan di dominasi oleh suasana yang penuh dengan rasa
sayang, cinta, dan ketengangan. Manusia pun merasakan aman aras harta, jiwa, kehormatan,
dan kemerdekaan mereka.
Akal dinamakan ‫( عقل‬ikatan) karena ia bisa mengikat dan mencegah pemilinya untuk
melakukan hal-hal buruk dan mengerjakan kemungkaran. Dinamakan demikian, karen akal
pun menyerupai ikatan unta; sebuah ikatan akan mencegah manusia menuruti hawa nafsu
yang sudah tidak terjendali, sebagaimana ikatan akan mencegah unta agar tidak melarikan
diri saat berlari.karena itulah Amir bin Abdul Qais berkata :
‫اذا عقلك عقلك عما ال ينيغي فأنت عاقل‬
Jika akal mengikat mengikatmu dari sesuatu yang tidak sempurnam amka anda adalah orang
yang berakal.
Diriwayatkan juga dari Nsbi SAW :
‫العقل نوؤ غي قلب يفرق به بين الحق و البطل‬
Akal adalah cahaya dalam hati yang membedakan antara perkara yang haq dan perkara
yang bathil.
Orang yang memerhatikan dengan mata hati dan cahaya iman, serta merenungkan
dunia saat ini, juga peristiwa dan perubahan yang terjadi, maka dia akan mrndapati bahwa
mayoritas umat yang maju dan berperadaban adalah mereka yang membuka medan
kehidupan di depan akal, lalu melepaskannya dari semua ikatanm membuka tutup dan
penghalangnya, menyingkarkan semua rintangan dan tembok, memcahkan dan melepaskan
tali serta batasan di depan kekuatan yang sangat besar, yakni dengan perhatian, pikran,
pembahasan, dan ilmu.

10
Perlindungan terhadap harta benda

harta merupakan salah satu kebutuhan inti dalam kehidupan, di aman manusia tidak
akan bisa terpisah darinya.
‫المال و البنون زينة الحيوة الدنيا‬
harta dan anak-anak adalah perhiasan kehidupan dunia. (QS. Al-Kahfi : 46)
manusia termotivasi untk mencari harta demi menjaga eksistensinya dan demi
menambah kenikmatan materi dan religi, dia todak boleh berdiri sebagai pengahalang antar
dirinya dengan harta. Namun, semua motivasi ini dibatasi dengan tiga syarat, yaitu harta yang
dikumpulkannya dengan cara yang halal, diprgunakan untuk hal-hal yang halal, dan dari harta
ini harus dikeluarkan hak Allah dan masyarakat tempat dia hidup.
Cara menghasilkan harta tersebut adalah dengan cara bekerja dan mewaris, maka
seseorang tidak boleh memakan harta orang lain dengan cara yang bathil, karena Allah
berfirman dalam surat An-Nisa’ : 29
‫يا أيها الذين أمنوا ال تأكلوا أمولكم بينكم با البطل اال أن تكون تجارة عن ترض منكم‬
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamu dengan jalan
bathil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama suka di antara
kamu.
Apabila seseorang meminjamkan hartanya kepada orang lain dalam bentuk utang,
maka ia bisa memilih salah satu di antara tiga kemungkinan berikut :
· Meminta kembali hartanya tanpa tambahan.
· Apabila tidak bisa mendapatkannya maka dia harus bersabar dan tidak membebaninya
dengan melakukan tagihan.
· Apabila orang yang memberikan pinjaman adalah orang kaya, dia dapat menyedahkan
pinjaman tersebut kepada peminjam yang dalam keadaan miskin atau payah, karena nikmat
harta harus menjadi motivator untuk saling mengasihi, tidak untuk bersikap antipati.
Perlindungan untuk harta yang baik ini tampak dalam dua hal berikut :
Pertama, memliki hak untuk di jaga dari para musuhnya, baik dari tindak pencurian,
perampasan, atau tindakan lain memakan harta orang lain (baik dilakukan kaum muslimin
atau nonmuslim ) dengan cara yang batil, seperti merampok, menipu, atau memonopoli.
Kedua, harta tersebut dipergunakan untuk hal-hal yang mubah, tanpa ada unsur mubazir atau
menipu untuk hal-hal yang dihalalkan Allah. Maka harta ini tidak dinafkahkan untuk
kefasikan, minuman keras, atau berjudi.

11
Dalam islam, harta adalah harta Allah yang dititipkan-Nya pada alam sebagai anugerah
ilahi, yang diawasi dan ditundukkan-Nya untuk manusia seluruhnya. Dan pada
kenyataannya, dengan harta, jalan dapat disatukan, dan kedudukan yang manusia raih, serta
pangkat yang mereka dapatkan dari harta, yakni harta dan hak Allah seperti yang telah
ditetapkan islam adalh hak masyarakat, bukan hak kelompok, golongan, atau starata tertentu.
Ia adalah harta Allah yang yang ditunjuk-Nya sebagai khalifah adalah manusia.
Melindungi dan tidak menganiaya harta serta mengambilnya dengan cara yang batil
:[5]
1. Hukum Risywah (suap) dalam islam
Risywah adalah memperdagangkan dan mengeksploitasi tugas atau sebuah pekerjaan untuk
mrnghasilkan harta secara batil. Perbuatan ini adalah haram dan dilarang oleh islam, karena
hal ini termasuk perkara yang dilarang.
2. Mencuri
Mencuri adalah mengambil harta orang lain tanpa hak dan tanpa sepengetahuan atau
persetujuan pemiliknya.
3. Riba
Riba adalah kelebihan harta tanpa imbalan atau ganti yang disyariatkan, yang terjadi dalam
sebuah transaksi (akad) dan hal tersebut hukumnya haram.

Perlindungan terhadap Keturunan

Maksud ini Islam mensyariatkan larangan perzinaan, munuduh zina, terhadap


perempuan muhsonat, dan menjatuhkan pidana bagi setiap orang yang melakukannya.[6]
Agar kemurnian darah dapat dijaga dan kelanjutan umat manusia dapat diteruskan.
Hal ini tercermin dalam hubungan darah yang menjadi syarat untuk dapat saling mewarisi,
dan larangan berzina yang terdapat dalam surat al-isra’ : 32
‫وال تقربو الزني انه كان فحسة وساء سبيال‬

Dan janganlah kamu mendekati zina, sesungguhnya zina itu adalah perbuatan yang
keji dan suatu jalan yang buruk.
Hukum kekeluargaan dan kewarisan Islam adalah hukum-hukum yang secara khusus
diciptakan Allah untuk memlihara kemurnian darah dan kemaslahatan keturunan. Dalam
hubungan ini perlu dicatat bahwa dalam hukum Islam ini di atur lebih rinci dan pasti

12
dibandingkan dengan ayat-ayat hukum lainnya. Maksudnya adalah agar pemeliharaan dan
kelanjutan dapat berlangsung dengan sebaik-baiknya.[7]
B. Maqashid Syari'ah Modern Ibnu 'Asyur (pakar Maqashid dari Tunis,Tunisia)

Kebangkitan maqashid modern ini ditandai dengan dicetaknya kitab al-


Muwâfaqât untuk pertama kali di Tunisia tahun 1884 M. serta perkenalan Muhammad Abduh
denganya ketika beliau ke Tunisia tepat pada tahun ia dicetak (1884 M.). Pada tahun 1909 M.
kembali dicetak di Kazan, salah satu kota terbesar di Rusia, kemudian di Mesir pada tahun
1922 M. dengan ta’lîq(komentar) juz 1 dan 2 oleh Syekh Khudlari Husain Ali dan juz 3 dan 4
oleh Syekh Hasanain Makhluf. Dari Mesir kitab kemudian menyebar ke penjuru Jazirah
Arabia. Kemudian, sederhananya, terjadilah dialektika intens antara ulama modern di
berbagai penjuru dunia dengan al-Syathibi melalui al-Muwâfaqt-nya. Dari rentetan dialektis
ini lahirlah fase baru, fase kebangkitan ilmu maqâshid al-syarî’ah di era moden.

Di Tunisia sendiri, tempat al-Muâfaqât pertama kali dicetak, sebagaimana menurut


Ahmad Raisuni (tokoh maqashid kontemporer asal Maroko) pengaruh kitab ini cenderung
lebih besar dan cepat hingga mampu menciptalah iklim yang penuh dengan perbincangan
maqashid. Iklim yang sangat terpengaruhi oleh al-Muwâfaqât dan penuh perbincangan
maqashid ini yang kemudian melahirkan tokoh maqashid modern Tunisia, Muhammad
Thahir bin Asyur (w. 1973 M.) dengan masterpiece-nya maqashid al-syariah al-islamiyah.

Awal perhatian Ibnu Asyur terhadap maqashid muncul melalui kitab kecilnya yang
cantik:Alaisa al-Shubh bi Qarîb. Dimana dalam kitab ini, dengan pemikiran maqashid, ia
mengkritik sistem pendidikan dalam Dunia Islam yang tetap mempertahankan gaya
tradisionalnya yang cenderung mengajarkan hukum Islam (fikih) secara tekstualis-literalistik,
tanpa menjelaskan alasan-alasan dan tujuan-tujuan Tuhan (maqashid) dibaliknya. Kurang-
lebih kitab ini dikarang pada tahun 20-an abad ke-20 M.

Berikiutnya ia kembali mengarang kitab kecil lain dengan perhatian terhadap


maqashid lebih kuat daripada kitab yang pertama. Dianatara fasal dalam kitab tersebut
adalah: Maqâshi al-Syarî’ah fî Tashrîf al-Anwâl dan Hal al-Waqfu Mashlahah aw
Mafsadah. Kitab ini lahir sebagai respon sekaligus defensi dari serangan-serangan pihak
kolonial di berbagai belahan Dunia Islam terhadap sistem ekonomi Islam, khususnya sistem

13
wakaf. Dalam kitab ini muncul untuk pertama kali pemikiran maqashid khâshah (khusus)
yang merupakan salah satu bentuk inovasi beliau. Maqashid khusus ini—perspektifnya--
tingkatanya diatas maqashid juz’iyyah (parsial) dan lebih luas dimensinnya, namun dibawah
maqashid kulliyah (universal) dan lebih sempit dimensinya.

Kematangan pemikiran maqashid beliau adalah dalam masterpiece-nya


yakni Maqashid al-Syarî’ah al-Islâmiyyah yang dikarang di akhir tahun 30-an dan muncul
kepermukaan (red: dicetak) pada awal tahun 40-an. Dalam kitab inilah banyak ditemukan
pembaharuan maqashid Ibnu Asyur semisal seperti maqashid ‘âmah (umum), dsb.

Sebagaimana dikatakan sdr. Andre bahwa kitab ini lebih sebagai basis teoritisnya
sedang aplikasinya lebih banyak beliau tuangkan dalam semisal tafsir al-Tahrîr wa al-
Tanwîr-nya. Diantara faktor kematangan pemikiran maqashid beliau adalah faktor
kemesraannya dengan al-Muwâfaqât yakni karena kitab Maqashid al-Syarî’ah al-
Islâmiyyah ini dikarang disela-sela beliau sedang mengajarkan al-Muwåfaqât di Universitas
Az-Zaituna Tunisia—ia merupakan ulama pertama yang mengajarkan al-Muwafaqât dan
yang pertama mengajar maqashid jenjang Universitas. Dari proses mengajar inilah beliau
banyak memberikan tambahan (red: pembaharuan) pemikiran maqashid.

C. Definisi maqashid syariah menurut Ibnu Asyur

Sebelum masuk lebih jauh ke dalam makalah rekan Andre memaparkan seputar
pendefinisian maqashid. Menurutnya, mayoritas ssarjana maqashid modern sepakat bahwa
pendefinisiannya secara jelas dan komprehensif-protektif (jâmi’-mâni’) baru dilakukan di
tangan sarjana maqashid modern, dan Ibnu Asyur adalah yang pertama mendefinisikannya.
Ibnu Asyur membagi maqshid syari’ah menjadi dua: ‘âmah (umum) dan khâshah (khusus).
Dan masing-masing memiliki definisinya.

Maqashid syariah amah:


‫المعا ني والحكم الملحوظة للشارع في الجميع احوال التشريع او معظمها بحيث ال تختص مالحظتها بالكون‬
‫في نوع خاص من احكام الشريعة‬
“Makna-makna dan hikmah-hikmah yang diperhatikan Tuhan dalam semua ketentuan
syariat, atau sebagian besarnya sekira tak terkhusus dalam satu macam hukum syariat.”
Maqashid al-syariah al-khasah

14
‫ او لحفظ مصالحهم العامة في تصرفاتهم الخاصة‬,‫الكيفيات المقصودة للشارع لتحقيق مقاصد الناس النافعة‬
“Hal-hal yang dikehendaki Tuhan untuk merealisasikan tujuan-tujuan manusia yang
bermanfaat, atau untuk memelihara kemaslahatan umum mereka dalam tindakan-tindakan
mereka yang khusus”

D. Sekilas pemikiran Maqashid Ibnu Asyur

Menurut pemakalah, dengan porsi peninjauan lebih banyak terhadap kitabMaqâshid


al-Syari’ah al-Islâmiyyah Ibnu Asyur, bahwa metode penulisan Ibnu Asyur dalam
kitab Maqâshid al-Syarî‘ah al-Islâmiyah adalah dengan mssssembagi pembahasan dalam tiga
kerangka besar.

Pertama, pembahasan mengenai penetapan tujuan syariat (itsbât al-maqâshid al-syarî’ah),


kebutuhan seorang faqîh (pakar hukum fikih) untuk mengetahui maqashid, metode-metode
penetapannya dan tingkatan-tingkatannya (thurûqu itsbâtihâ wa marâtibihâ);Kedua,
membahas maqashid syari’ah ‘âmah (umum); ketiga, membahas maqashid
syari’ah khâshah (khusus) dengan segala macam kontekstualisasinya dalam ranah
fiqihmuamalat (yurisprudensi transaksi ).

Sebelum masuk pembahasan inti Ibnu Asyur menjelaskan bahwa seorang mujtahid sebelum
merumuskan maqasid harus menguasai beberapa hal diantaranya: dapat memahami teks
dengan baik menggunakan perangkat linguistik; meneliti dan melacak dalil-dalil lain yang
sekiranya berpotensi terjadi pertentangan (ta‘arudl); mampu melakukan qiyas; sanggup
berijtihad untuk menentukan hukum permasalahan khusus yang sama sekali belum ditemui
sebelumnya (kontemporer), baik dikarenakan ketiadaan dalil maupun karena sulitnya
melakukan qiyas; terakhir, barulah diperkenankan menerima teks apa adanya bilamana segala
upaya untuk mengetahui ratio-legis dari permasalahan tersebut dirasa mentok, maupun oleh
sebab sulitnya menyingkap maqashid (tujuan) dibalik pensyariatannya. Inilah yang disebut
dengan “amrun ta‘abbudi”.Dr. Ismail Hasani dalam buku Nadhariyyah al-Maqâshid ‘inda
al-Imâm al-Tahâhir bin ‘Âsyur mengemukakan konsep-konsep dasar yang menjadi basis atau
titik tolak teori maqashid Ibnu Asyur. Ada tiga konsep yang membasisi teori
maqashidnya: Pertama, al-fithrah yang beliau sebut sebagai al-khilqah, yakni “sistem yang
diciptakan oleh Allah dalam setiap makhluk”, yang dengannya ia mampu melaksanakan titah
syariat. Relasi al-fithrah nantinya dengan al-samahah (toleransi), al-musâwah (egaliter)

15
dll. Kedua, al-Mashlahah (kemaslahatan), tercermin dalam jalbu al-mashâlih wa dar’u al-
mafâsid. Ketiga, al-ta’lîl atau konsep tentang ‘illah atau alasan suatu hukum, yang darinya
bisa tersingkap tujuan syari’at. Pemikiran maqashid Ibnu Asyru terbangun diatas prinsip ini,
bahwa merupakan keharusan menerima konsep ta’lil. Sederhananya, teori maqashid Ibnu
Asyur “bertolak-pijak” dari ketiga konsep dasar tersebut.

Masih berdasar penelitian Dr. Ismail Hasani bahwa ada tiga perangkat prosedural yang
menjadi basis konstruk pemikiran maqashid Ibnu Asyur kaitannya dengan penetapan
maqashid, baik yang ‘âmah maupun yang khâshah.Tiga perangkat prosedural ini yang
berikutnya menjadi tumpuan teorinnya yang diantaranya: maqashid adakalanya
bersifatqath’i (definitif), dlanniy (asumtif) dan dlanniy tapi mendekati qath’iy;
maqashid ‘âmahdan khâshah, dll. Ketiga perangkat tersebut adalah: al-maqâm, al-
istiqrâ’ dan membedakan antara wasilah dan tujuan dalam aplikasi hukum fikih.

Yang dimaksud maqam sendiri adalah makna konteks. Ketika teks dipahami secara tekstual
maka makna yang dipahami tersebut adalah makna teks, sedang makna konteks adalah
makna yang dipahami dari makna teks tersebut dengan berbagai pertimbangan seperti
lingustik, sosio-kultur, dll. Maqâm terbagi menjadi dua: maqâm al-maqâl (konteks bahasa)
dan maqâm al-hâl (konteks sosio-kultur). Dalam upaya memahami maqashid syari’ah
seseorang tak boleh terlepas dari kedua konteks tersebut. Artinya, penetapan maqashid yang
terkandung dalam teks harus melalui pertimbangan sosial politik dan budaya dimana teks itu
muncul dan kekinian serta mempertimbangkan konteks bahasanya dengan melibatkan ilmu
ushul fiqih, balaghah (sastra), dan lingustik.

Kedua adalah istiqrâ’ al-ushliy atau penelitian ikduftif perpektif ulama ushul fikih,
bukan perpektif mantik Aristo. Yakni penelitian terhadap sebagian untuk digeneralisir
hukumnya secara umum. Maksudnya, penetapan maqashid harus melalu peneletian induktif
tersebut terhadap teks-teks syari’at. Tidak harus keseluruhan namun cukup meneliti sebagian.
Dari sinilah pemikiran Ibnu Asyur tentang maqashid “definitif”, “asumtif” dan “mendekati
definitif” itu lahir. Yakni, “definitif”, “asumtif”, “mendekati defitif” dan tidaknya tergantung
komprehensif/kuat dan tidaknya penelitian tersebut. Semakin komprehensif penelitiannya
maka semakin definitif pula maqashid yang dihasilkan. Begitu pun sebaliknya.

Berdasar istirâ’ inilah kemudian Ibnu Asyur mampu menelurkan maqashi umum al-Qur’an

16
yang ada delapan dan maqashid khusus (kedelapan maqashid umum al-Qur’an dan
maqashid khusus ini telah dihimpun oleh Dr. Ismail Hasani dalam kitabnya di atas).
E. Maqashid syariah menurut Jamaludin Athiyyah
1. Menjaga jiwa
Dalam menjaga jiwa disini Islam melarang untuk membunuh jiwa manusia dan melenyapkan
nyawa mereka serta merusak mereka, merusak dan menghancurkannya.
Dari perkara tersebut terdapat konsekuensi yang harus ditanggung karena tindakan melukai
seseorang. Diantaranya yang kita ketahui pembunuhan diketegorikn dalam tiga hal:
a. Pembunuhan tersalah atau Khoto’
Hal ini adalah penganiayayan dengan sebuah tindakan tanpa ada kesengajaan atau niat.
b. Pembunuhan semi sengaja(syibhul amdi)
Pembunuhan semi sengaja dalam fikih islam sama dengan pemukulan yang menyebabkan
kematian dalam fikih barat.
c. Pembunuhan secara sengaja
Tindakan menganiayaya yang dilakukan orang lain sehingga nyawanya hilang.

2. SUBSTANSI SYARIAT ISLAM

Hukum Islam mengatur seluruh aspek kehidupan manusia agar selamat di dunia dan
di akhirat. Hukum Islam mengontrol, mengatur dan meregulasi (pengaturan) semua perilaku
privat maupun publik seseorang.

Tingkah laku manusia diatur dan dibagi dalam dua klasifikai besar yang terpisah tapi saling
mempengaruhi. Pertama adalah hubungan Allah dengan manusia yang diatur melaluihukum
kewajiban ibadah. Ibadah merupakan refleksi atas ketundukan manusia kepada Allah, seperti.
Kedua adalah hubungan antara sesama manusia, yaitu aturan hukum yang mengatur segala
aktivitas dalam kehidupan manusia sehari-hari.
Hukum Islam memberi aturan yang spesifik tentang shalat, puasa, zakat, dan haji serta
bantuan-bantuan sosial seperti infak dan shadaqah, tetapi juga berisi aturan tentang barbagai
hal seperti makanan halal, diet, perkawinan, hubungan seksual, pemeliharaan anak dan
masalah-masalah domestik lainnya. Hukum Islam juga mengatur tatanan tentang bagaimana
sesorang harus harus bertingkah laku dalam kehidupan bermasyarakat dan berinteraksi
dengan kelompok lain, aturan tentang transaksi bisnis, penyelesaian konflik bahkan aturan
perang (Sohail H.Hashmi, Saving and Taking Life in War Three Modern Muslim Views 89,
1999).

17
Perkembangan substantif hukum Islam senantiasa menyambut positif nilai-nilai dari luar
yang dipandang masih masuk dalam batas ajaran Islam. Aspek-aspek substantif hukum yang
dibawa oleh Nabi Muhammad SAW sudah mengalamai percampuran antara ide hukum yang
suci (sakral) dengan tradisi setempat, yaitu hukum adat masyarakat Arab.
Dalam hukum keluarga misalnya, Islam tetap mempertahankan perkawinan sebagai lembaga
sakral. Perkawinan dalam Islam bertujuan untuk menjaga kemurnian dan kebersihan
hubungan genealogis ras manusia. Nabi telah melakukan penghapusan beberapa praktik adat
Arab yang bertentangan dengan hukum Islam, seperti poliandri, hubungan seksual di luar
nikah, adopsi, perceraian berulang-ulang, dan lain sebagainya. Nabi juga terus melakukan
modifikasi dalam masalah poligami dan mahar.
Perkawinan dalam Islam mengandung tiga unsur penting; legal, sosial, dan agama. Secara
legal, perkawinan merupakan sebuah kontrak, ia dilakukan atas persetujuan kedua belah
pihak dan tanpa persetujuan untuk memutus hubungan tersebut. Secara sosial, perkawinan
telah memberi penghormatan kepada wanita karena ia memperoleh status lebih tinggi
dibanding sebelum nikah terlebih pada masyarakat Arab pada masa pra-Islam yang
dipandang sebagai makhluk tanpa hak. Secara agama, perkawinan harus dilakukan menurut
tata cara yang dibenarkan oleh agama, seperti telah memenuhi syarat rukunnya, wali, saksi,
ijab, qabul, dan mahar. Hukum perkawinan Islam telah memadukan antar aspek ibadah dan
aspek muamalah.
Perkawinan Islam masih mempertahankan praktik poligami yang secara umum ditemukan
dalam masyarakat Arab, kemudian oleh Islam dibatasi hanya empat isteri dengan syarat
suami dapat membuktikan kemampuannya berlaku adil terhadap isteri-isterinya. Mahar
dalam adat Arab merupakan pembayaran yang diberikan kepada ayah si pengantin
perempuan atau keluarganya, maka Nabi memperbaiki masalah mahar ini dengan cara mahar
tersebut adalah hadiah perkawinan yang diberikan oleh si suami kepada isterinya untuk
dimiliki sebagai hak milik pribadi si isteri tersebut.
Hukum waris dalam Islam menganut prinsip-prinsip: (1) suami dan isteri saling mewarisi; (2)
keturunan dari jalur laki-laki/ayah dan saudara sama-sama dapat mewarisi; (3) orang tua dan
kakek-nenek dapat mewarisi meskipun ada keturunan laki-laki; (4) seorang perempuan
mendapat bagian setengah dibanding seorang laki-laki.
Hukum waris Islam dapat dikategorikan sebagai sistem warisan nir wasiat (intestate
disposition) dalam arti harta warisan tidak dapat dibagikan sesuai dengan kemauan
pewarisnya, melankan si pewaris harus tunduk mengikuti aturan-aturan Allah dalam al-

18
Qur’an. Dalam hukum waris tradisi Arab, si pewaris bebas memberikan dan menentukan
kepada siapa dan berapa banyak harta yang akan diwariskan (testamentary disposition).

Hukum pidana Islam membedakan tiga kategori kriminal.


Kategori pertama terdiri dari beberapa tindak kriminal yang disebut hudud yang
hukumannya telah ditentukan dalam al-Qur’an dan Sunnah. Yang termasuk dalam kelompok
ini adalah murtad, pencurian, hubungan seksual di luar nikah, menuduh orang bebuat zina.
Kelompok
Kategori kedua adalah qisas, yaitu kejahatan yang hukumannya lebih didasarkan balas
dendam. Perbuatan kriminal yang masuk dalam kategori ini adalah semua jenis tindakan
kriminal yang bertentangan dengan prinsip kehidupan manusia, seperti pembunuhan,
penyerangan, dan semua kejahatan yang mengaharuskan hukuman retalisasi atau retribusi
oleh si pelaku kepada korban atau keluarganya. Bentuk hukumannya bisa berupa pembayaran
diyat. Qisas pada dasarnya memberikan hak penentuan hukuman kepada keluarga korban,
apakah mereka menginginkan agar si pelaku dihukum seberat-beratnya atau memberikan
ampunan sepenuhnya kepada pelaku kajehatan.
Kategori ketiga adalah ta’zir, yaitu semua jenis tindakan kriminal yang secar umum
dipandang ofensif atau merusak sistem masyarakat (kriminal ringan/ minor felonies),
sehingga bentuk humannya pun tidak ditentukan secara pasti. Hakim diberi hak untuk
menentukan jenis hukuman sesuai dengan besar kecilnya kejahatan yang dilakukan, sesuai
dengan prinsip-prinsip keadilan. Dengan ta’zir ini hukuman tidak semata-mata dibatasi pada
asumsi pencegahan (deterrence) atau balasan (retribution) sebagaimana diatur dalam hadd
dan qisas, tetapi mengikuti perkembangan pemikiran filsafat hukum modern.
Bisnis adalah salah satu alat yang diperlukan untuk melangsungkan kehidupan manusia di
dunia ini, yang merupakan persiapan untuk kehidupan di akhiratn nanti. Prinsip utama bisnis
Islam adalah melarang semua bentuk manipulasi pasar, eksploitasi dan penipuan. Islam juga
mencegah terjadinya berbagai bentuk transaksi yang mengandung unsur ketidakpastian
(gharar) karena dapat menimbulkan penipuan dan perselisihan. Islam melarang praktik riba
(bunga) sebagai respon atas praktik ketidakadilan sosial ekonomi yang tertjadi pada masa
pra-Islam.
Prinsip keuangan Islam harus memenuhi empat kriteria, yaitu: (1) pelarangan praktik riba, (2)
bagi hasil dan kerugian, (3) pelarangan tindakan spekulasi, dan (4) kesakralan kontrak
perjanjian (Zamir Iqbal, Islamic Banking Gains Momentum, Expands Market and Competes
with Conventional Banking in Arab States, 1998).

19
Hukum Islam di Indonesia
Islam datang ke Indonesia jauh sebelum pengaruh Barat datang, ada yang mengatakan abad
ke-11 ada pula yang berpendapat abad ke-13. Tetapi masyarakat nusantara pada saat itu telah
memiliki warisan dari agama Budha dan Hindu yang sangat kuat. Dengan demikian Islam
datang ke Indonesia dengan kondisi masyarakat yang sangat beragam (plural) dalam hal
tradisi dan nilai-nilai keagamaan.
Karena masyarakat Indonesia yang sangat beragam, maka pendekatan sufisme menjadi
pilihan yang tepat bagi para pendakwah Islam di masa-masa awal melalui para wali. Para
walisongo lah yang menjadi pelaku utama gerakan dakwah dan memperoleh banyak
pengikut. Dalam berdakwah para wali itu tidak menolak nilai-nilai agama yang sudah dianut
oleh masyarakat pada waktu itu, bahkan sering menyatukan praktik keagamaan masyarakat
pribumi dengan ajaran Islam (lihat: Idrus H.A., Kitab Asrar Walisongo, CV.Bahagia,
Pekalongan, 1999).
Dalam proses Islamisasi pada saat itu Ppara wali menerapkan konsep mewarnai, bukan
menentang masyarakat dalam berdakwah. Pola seperti itu mendapat respon positif dari
masyarakat. Dengan memanfaatkan Sinkretisme (penyesuaian/keseimbangan) antara dua
aliran, Islam dan budaya lokal, maka terciptalah berbagai elemen dari bebagai tradisi menjadi
sebuah bentuk baru. (Lihat Clifford Geertz, The Religion of Java, New Haven: Yale
University Press, 1968).
Masyarakat pribumi mengenal agama Islam di awal sejarah melalui tradisi heterodoksi
(menyimpang dari kepercayaan resmi). Islam disebarkan secara damai ke berbagai daerah
dan kepulauan yang praktik agama Budha/Hindu dan tradisi animisme maupun dinamisme
masih menjadi kepercayaan yang dominan. Kemampuan para wali dalam mengadopsi dan
menyesuaikan dengan adat dan praktik lokal yang bukan Islam, serta praktik ibadah dan cara
pandang mereka sangat cocok dengan gerakan massa rakyat.
Sufi telah menjadi bagian integral (tak terpisahkan) dari praktik keagamaan masyarakat serta
spiritualitas Islam. Berkat perjuangan merekalah gerakan penyebaran Islam di Nusantara
memperoleh hasil yang sangat mengagumkan bagi perkembangan karakter Islam di
Indonesia.
Hukum Islam Indonesia terbentuk dari hasil usaha untuk memasukkan ajaran hukum Islam ke
dalam situasi yang berbeda dari situasi dan kondisi tempat asal hukum Islam lahir. Umat
Islam Indoensia berusaha melakukan domestikasi (penjinakan) tradisi hukum yang berasal
dari ajaran Islam dan mempraktikannya dengan cara mengintergasikan hukum itu dalam

20
korpus (lingkungan kumpulan) hukum Indonesia yang lebih luas (Kelompok realis-
kontekstual).
Di lain pihak muncul kelompok konservatif-literal yang mengritik praktik keagamaan yang
selama ini berlangsung. Kelompok konservatif-literal ini cenderung melihat hukum Islam
sebagai hukum ideal yang tidak boleh diubah, meskipun telah terjadi perubahan masa dan
keadaan. Menurut mereka kinerja hukum suci harus baku dan abadi, dan orang wajib
menerima kebakuan hukum tersebut.
Untuk mencapai terwujudnya hukum Islam versi Indonesia perlu dilakukan dengan
memfokuskan usaha untuk mereformulasikan teori hukum Islam (ushul al-fiqh) sesuai
dengan kebutuhan hukum masyarakat Indonesia melalui penalaran hukum secara mandiri
(ijtihad) dengan berbagai metodologi dan pendekatan baru yang bisa berfungsi sesuai dengan
pemahaman hukum masyarakat Indonesia (Lihat Ahmad Hasan, Al-Boerhan, Persis,
Bandung, 1928).
Substansif hukum Islam Indonesia cenderung mengakomodasi aturan-aturan non-Islam yang
masuk ke dalam sistem hukum agama melalui rekayasa hukum. Hukum perkawinan
misalnya, semua agama yang ada di Nusantara selalu melibatkan pemimpin/tokoh komunitas
(ulama, tetua adat, sesepuh) dalam upacara pernikahan. Pernikahan bukan lagi menjadi
sebuah kontrak individu antara suami dan isteri tetapi lebih banyak melibatkan pihak-pihak
yang terkait yang sifatnya komunal. Di era modern, inisiasi maupun pemutusan hubungan
pernikahan adalah objek regulasi kantor pemerintah (KUA-Catatn Sipil) dan Pengadilan
(Agama-Negeri).
Dalam hukum perceraian, konsep Islam tentang ta’liq talaq diubah. Institusi ini awalnya
bernama djanji dalem (janji mulia) yang dikenal dalam kebudayaan Jawa abad ke-17 ketika
Raja Mataram membuat ketentuan diputus bila kedapatan melakukan tindakan yang selah
terhadap isteri (Jan Prins, Adat Law and Muslim Religious Law in Modern Indonesia, 1951).
Tujuan utama institusi ini adalah fokus untuk menjaga hak-hak tradisional isteri dalam
pernikahan, sehingg setiap pelanggaran hukum yang dilakukan oleh suami otomatis akan
memutus hubungan pernikahan.
Dua pendekatan
Kedua hukum di atas (yuridis formal dan normatif) telah menjadi hukum yang hidup (living
law) dalam masyarakat Indonesia. Secara sosiologis dan kultural, hukum Islam di Indonesia
telah mengalir dan berurat-akar di masyarakat. Hal ini menandakan bahwa hukum Islam
memang fleksibel dan elastis dapat menyesuaikan dengan budaya dan lingkungan setempat.

21
Fonemena hukum Islam sebagai hukum yang hidup di masyarakat telah melahirkan satu teori
credo atau syahadah di kalangan pemerhati hukum Islam seperti H.A.R. Gibb yang
mengatakan bahwa orang yang telah menerima Islam sebagai agamanya berarti ia telah
menerima otoritas hukum Islam atas dirinya.
Prof. Rifyal Ka’bah menengarai terdapat perbedaan dari segi pendekatan tentang penegakan
syari’at Islam di Indonesia. Ada yang cenderung menggunakan pendekatan struktural dan ada
pula yang cenderung menggunakan pendekatan kultural.
Pendekatan struktural menginginkan penegakkan syari’at tersutruktur dalam sistem hukum
Nasioanl dengan hukum subtansial da hukum acara yang jelas dan penegakan yang jelas
melalui lembaga penegakkan hukum. Bila penegakan syari’at tidak terstruktur, dikhawatirkan
tidak efektif dalam mewujudkan tujuan syari’at, yaitu menjega kepentingan umum dengan
sebaik-baiknya.
Kecenderungan ini mendapat dukungan dalam bidang politik melalui sejarah Piagam Jakarta,
Departemen Agama, MPR, DPR, pendirian Pengadilan Agama/Mahkamah Syar’iyah,
pendirian bank-bank syari’ah, Badan Arbitrasi Syari’ah, Dewan Syari’ah Nasional, dan lain-
lain.
Undang-undang yang bernafaskan hukum Islam semakin banyak dilahirkan oleh parlemen.
Seperti Undang-undang No. 38 Tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat, Undang-undang
Nomor 17 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Haji, Undang-undang Nomor 20 Tahun
2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, Undang-undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang
Perubahan atas UU Nomor 7 Tahun 1989, Undang-undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang
Perbankan Syari’ah, Undang-undang Nomor 44 Tahun 2008 tentang Pornografi.
Sementara pendekatan kultural menginginkan penegakan syari’at tumbuh dari pembiasaan
masyarakat melalui usaha persuasif seperti, pendidikan, percontohan yang baik, dan lain-lain
sesuai dengan penegertian agama (ad-din).

3. ISLAM DAN MODERNITAS

Sudah menjadi pengatahuan umum bahwa Eropa Barat pada abad-abad pertengahan
belum memiliki peradaban yang dapat dibanggakan dalam sejarah.Islam sudah mengenal apa
itu mandi dan apa itu kebersihan seperti yang diajarkan nabi Muhammad saw sementara
orang-orang Eropa pada waktu itu belum mengenalnya, sehingga badan mereka begitu bau.
Orang Eropa mulai mengenal bersuci ketika terjadi kontak dalam Perang Salib. Ketika

22
Yerusalem direbut maka banyak orang-orang Frank (sebutan untuk tentara Salib) datang ke
tempat-tempat pemandian, mereka sangat senang. Namun mereka belum memiliki adab,
mereka masuk kepemandian dengan telanjang sementara orang muslim masuk ke pemandian
dengan ditutupi oleh handuk.

Islam sangat memberikan ruang berpikir untuk menjadi modern. Pada masa Abasiyah
muncul para pemikir seperti matematikawan, sejarawan, ahli geografi, filsuf dan sosiolog
seperti Ibnu Khaldun. Bahkan buku yang ditulis oleh Ibnu Sina tentang ilmu kedokteran
masih menjadi bahan rujukan utama dalam ilmu ini. Al Khawarizmi adalah ahli matematika
yang menemukan angka nol dan angka nol ini akan membuka pengetahuan-pengetahuan lain
seperti penemuan termometer dan lain-lain.

Islam pun berkembang pesat di Kordova (Spanyol) dimana banyak raja-raja di Eropa
yang mengirimkan anak-anaknya untuk belajar di Universitas Kordova, mereka belajar
bahasa Arab dan mata uang dirham berkembang dengan pesat. Pada waktu itu bahasa Arab
dapat dikatakan sebagai bahasa ilmu pengetahuan dimana jika kita ingin dapat membaca
buku-buku ilmiah maka kita harus mampu membacanya dalam bahasa Arab, keadaannya
sama dengan posisi bahasa Inggris pada masa sekarang.

Islam telah membuktikan bahwa Islam bukanlah agama yang menolak modernisasi,
justru Islam dapat dikatakan sebagai pelopor modernisasi. Islam mampu menafsirkan dan
mengimplementasikan pemikiran dari para filsuf Yunani di Eropa sehingga mampu membuat
islam maju, sedangkan Barat tidak mampu mengimplementasikan ilmu dari para filsuf
tersebut karena terkekang oleh kekuasaan gereja di abad ke-5 sampai abadke-15. Bahkan
Gereja menghukum mati Copernicus yang menyadari bahwa ternyata bumi lah yang
mengelilingi matahari bukan sebaliknya. Namun pikiran tersebut dianggap menentang dogma
gereja sehingga ia dihukum mati.

Petaka bagi Islam mulai muncul ketika Baghdad diserang oleh pasukan Mongol dan
mereka membakar buku-buku Islam sehingga umat Islam kehilangan ilmu-ilmunya yang
menjadikan islam mundur hingga sekarang. Petaka itu pun terjadi di Spanyo tatkala Islam
diusir dan dibantai oleh Ratu Isabella, sedangkan buku-buku Islam diterjemahkan lalu diakui
sebagai karya-karya orisinal buatan orang Barat hingga kini. Turki Ustmani sebagai pewaris
islam yang terakhir pun turut larut dalam modernisasi yang salah. Para pejabat yang mulai
korupsi dan sewenang-wenang ditambah masuknya paham modern seperti nasionalisme dan

23
demokrasi yang didengungkan oleh Inggris dan Prancis. Kemal Attaturk adalah orang yang
berusaha memodernisasikan Islam, namun caranya begitu menyimpang. Ia menganggap
Islam adalah agama yang kolot, orang yang memelihara jenggot dianggap sebagai kaum
ekstremis dan Barat adalah kiblat ke arah kemajuan.

Modernisasi akan membawa dampak buruk seperti yang terjadi pada Turki namun
modernisasi akan membawa dampak baik dikala modernisasi itu tetap berpegang pada Quran
dan hadits seperti pada saat dinasti Abassiyah.

Islam tidak melarang modernisasi selama modernisasi tersebut tidak bertentangan


dengan hukum Islam dan akidah islam

Berkat belajar dari peradaban Islam, Eropa Barat terstimulasi untuk bangkit dariDark
Age (zaman kegelapan) menuju masa renaissance (lahir kembali) yang bermula pada abad ke
16. Kebangkitan Eropa Barat diawali dengan proses sekularisasi yaitu pemisahan agama
Nasrani dari aturan kehidupan. Dengan demikian masyarakat terbebas dari kungkungan
dogma-dogma gereja dan terbukalah pengembangan ilmu pengetahuan melalui penalaran
akal. Maka, pada abad ke-18, Eropa Barat melahirkan peradaban modern yang dikenal
dengan Masa Pencerahan (Enlightenment).

Paham Modernisme ini lahir antara tahun 1650 sampai tahun 1800 M yangdikenal
dalam sejarah Eropa sebagai The Age of Reason (pemujaan akal)

5. Donor Organ, beserta hukum dan ketentuannya

Donor organ atau lebih sering disebut transplantasi adalah pemindahan suatu jaringan
atau organ manusia tertentu dari suatu tempat ke tempat lain pada tubuhnya sendiri atau
tubuh orang lain dengan persyaratan dan kondisi tertentu. Syarat tersebut melipui kecocokan
organ dari donor dan resipen. Atau dapat dikatakan, Donor organ adalah pemindahan organ
tubuh manusia yang masih memiliki daya hidup dan sehat untuk menggantikan organ tubuh
yang tidak sehat dan tidak berfungsi dengan baik apabila diobati dengan teknik dan cara
biasa, bahkan harapan hidup penderitan hampir tidak ada lagi. Sedangkan resipien adalah
orang yang akan menerima jaringan atau organ dari orang lain atau dari bagian lain dari
tubuhnya sendiri. Organ tubuh yang ditansplantasikan biasanya adalah organ vital seperti
ginjal, jantung, dan mata. namun dalam perkembangannya organ-organ tubuh lainnya pun
dapat ditransplantasikan untuk membantu ornag yang sangat memerlukannya.

24
Ada 3 tipe donor organ tubuh:

1. Donor dalam keadaan hidup sehat.

Dalam tipe ini perlu adanya seleksi yang cermat dan harus dilakukan general check
up (pemeriksaan kesehatan yang lengkap menyeluruh), baik terhadap donor maupun terhadap
resipien (penerima), demi menghindari kegagalan transplantasi yang disebabkan penolakan
tubuh resipien dan sekaligus menghindari dan mencegah resiko bagi donor.

2. Donor dalam keadaan koma.

Apabila donor dalam keadaan koma atau diduga kuat akan meninggal segera, maka
dalam pengambilan organ tubuh donor memerlukan alat kontrol dan penunjang kehidupan,
misalnya dengan bantuan alat pernafasan khusus. Kemudian alat-alat penunjang kehidupan
tersebut dicabut setelah selesai proses pengambilan organ tubuhnya.

3. Donor dalam keadaan meninggal.

Dalam tipe ini, organ tubuh yang akan dicangkokkan diambil ketika donor telah
meninggal berdasarkan ketentuan medis dan yuridis, juga harus diperhatikan daya tahan
organ yang akan diambil untuk transplantasi, apakah masih ada kemungkinan untuk bisa
berfungsi bagi resipien atau apakah sel-sel jaringannya telah mati, sehingga tidak berguna
lagi bagi resipien.

Aspek hukum transplantasi

Dari segi hukum, transplantasi organ dan jaringan sel tubuh dipandang sebagai suatu usaha
mulia dalam upaya menyehatkan dan mensejahterakan manusia, walaupun ini adalah suatu
perbuatan yang melawan hokum pidana yaitu tindak pidana penganiayaan. Tetapi karena
adanya pengecualian maka perbuatan tersebut tidak lagi diancam pidana dan dapat
dibenarkan. Transplantasi dengan donor hidup menimbulkan dilema etik, dimana
transplantasi pada satu sisi dapat membahayakan donor namun di satu sisi dapat
menyelamatkan hidup pasien (resipien). Di beberapa negara yang telah memiliki Undang-
Undang Transplantasi, terdapat pembalasan dalam pelaksanaan transplantasi, misalnya
adanya larangan untuk transplantasi embrio, testis, dan ovarium baik untuk tujuan
pengobatan maupun tujuan eksperimental. Namun ada pula negara yang mengizinkan
dilakukannya transplantasi organ-organ tersebut di atas untuk kepentingan penelitian saja.

Transplantasi organ dari segi agama islam

25
1. Hukum Transplantasi Organ Tubuh Donor Dalam Keadaan Sehat
Apabila transplantasi organ tubuh diambil dari orang yang masih dalam keadaan hidup sehat,
maka hukumnya ‘Haram’, dengan alasan :

a. Firman Allah dalam Al Quran surah Al Baqarah ayat 195 :

َ َ‫َوالَ ت ُ ْلقُ ْوا بِأ َ ْي ِد ْي ُك ْم إ‬


‫لى التَّ ْهلُ َك ِة‬
“Dan janganlah kamu menjatuhkan dirimu sendiri dalam kebinasaan”.

Ayat tersebut mengingatkan manusia, agar jangan gegabah dan ceroboh dalam melakukan
sesuatu, namun tetap menimbang akibatnya yang kemungkinan bisa berakibat fatal bagi diri
donor, walaupun perbuatan itu mempunyai tujuan kemanusiaan yang baik dan luhur.
Umpamanya seseorang menyumbangkan sebuah ginjalnya atau matanya pada orang lain yang
memerlukannya karena hubungan keluarga, teman atau karena berharap adanya imbalan dari
orang yang memerlukan dengan alasan krisis ekonomi. Dalam masalah yang terakhir ini,
yaitu donor organ tubuh yang mengharap imbalan atau menjualnya, haram hukumnya,
disebabkan karena organ tubuh manusia itu adalah milik Allah (milk ikhtishash), maka tidak
boleh memperjualbelikannya. Manusia hanya berhak mempergunakannya, walaupun organ
tubuh itu dari orang lain.

Orang yang mendonorkan organ tubuhnya pada waktu masih hidup sehat kepada orang lain,
ia akan menghadapi resiko ketidakwajaran, karena mustahil Allah menciptakan mata atau
ginjal secara berpasangan kalau tidak ada hikmah dan manfaatnya bagi seorang manusia.
Maka bila ginjal si donor tidak berfungsi lagi, maka ia sulit untuk ditolong kembali. Maka
sama halnya, menghilangkan penyakit dari resipien dengan cara membuat penyakit baru bagi
si donor. Hal ini tidak diperbolehkan karena dalam qaidah fiqh disebutkan:

َّ ‫الض ََّر ُر الَ يُ َزا ُل ِب‬


‫الض‬

“Bahaya (kemudharatan) tidak boleh dihilangkan dengan bahaya (kemudharatan)


lainnya”.

b. Qaidah Fiqhiyyah

ِ ‫َلى َج ْل‬
ِ ‫ب اْل َمصَا ِل‬
‫ح‬ َ ‫س ِد ُمقَ َّد ٌم ع‬
ِ َ ‫د َْر ُء اْل َمفا‬
“Menghindari kerusakan/resiko, didahulukan dari/atas menarik kemaslahatan”.

26
Berkaitan transplantasi, seseorang harus lebih mengutamakan menjaga dirinya dari
kebinasaan, daripada menolong orang lain dengan cara mengorbankan diri sendiri dan
berakibat fatal, akhirnya ia tidak mampu melaksanakan tugas dan kewajibannya, terutama
tugas kewajibannya dalam melaksanakan ibadah.

2. Hukum Transplantasi Organ Tubuh Donor Dalam Keadaan Koma


Melakukan transplantasi organ tubuh donor dalam keadaan koma, hukumnya tetap haram,
walaupun menurut dokter, bahwa si donor itu akan segera meninggal, karena hal itu dapat
mempercepat kematiannya dan mendahului kehendak Allah, hal tersebut dapat dikatakan
‘euthanasia’ atau mempercepat kematian. Tidaklah berperasaan/bermoral melakukan
transplantasi atau mengambil organ tubuh dalam keadaan sekarat. Orang yang sehat
seharusnya berusaha untuk menyembuhkan orang yang sedang koma tersebut, meskipun
menurut dokter, bahwa orang yang sudah koma tersebut sudah tidak ada harapan lagi untuk
sembuh. Sebab ada juga orang yang dapat sembuh kembali walau itu hanya sebagian kecil,
padahal menurut medis, pasien tersebut sudah tidak ada harapan untuk hidup.

Maka dari itu, mengambil organ tubuh donor dalam keadaan koma, tidak boleh menurut
Islam dengan alasan sebagai berikut :

a. Hadits Nabi, riwayat Malik dari ‘Amar bin Yahya, riwayat al-Hakim, al-Baihaqi
dan al-Daruquthni dari Abu Sa’id al-Khudri dan riwayat Ibnu Majah dari Ibnu ‘Abbas dan
‘Ubadah bin al-Shamit :

‫الَ ض ََر َر َوالَ ِض َرا َر‬


“Tidak boleh membuat madharat pada diri sendiri dan tidak boleh pula membuat
madharat pada orang lain”.

Berdasarkan hadits tersebut, mengambil organ tubuh orang dalam keadaan koma/sekarat
haram hukumnya, karena dapat membuat madharat kepada donor tersebut yang berakibat
mempercepat kematiannya, yang disebut euthanasia.

b. Manusia wajib berusaha untuk menyembuhkan penyakitnya demi


mempertahankan hidupnya, karena hidup dan mati berada di tangan Allah. Oleh karena itu,
manusia tidak boleh mencabut nyawanya sendiri atau mempercepat kematian orang lain,
meskipun hal itu dilakukan oleh dokter dengan maksud mengurangi atau menghilangkan
penderitaan pasien.

3. Hukum Transplantasi Organ Tubuh Donor Dalam Keadaan Meninggal

27
Mengambil organ tubuh donor (jantung, mata atau ginjal) yang sudah meninggal secara
yuridis dan medis, hukumnya mubah, yaitu dibolehkan menurut pandangan Islam dengan
syarat bahwa :

1. Resipien (penerima sumbangan organ tubuh) dalam keadaan darurat yang mengancam
jiwanya bila tidak dilakukan transplantasi itu, sedangkan ia sudah berobat secara
optimal baik medis maupun non medis, tetapi tidak berhasil. Hal ini berdasarkan
qaidah fiqhiyyah :

‫ت‬ ُ ْ‫الض َُّر ْو َراتُ تُبِ ْي ُح اْل َمح‬


ِ ‫ظ ْو َرا‬
“Darurat akan membolehkan yang diharamkan”.

Juga berdasarkan qaidah fiqhiyyah :

‫الض ََّر ُر يُ َزا ُل‬


“Bahaya itu harus dihilangkan”.

1. Juga pencangkokan cocok dengan organ resipien dan tidak akan menimbulkan
komplikasi penyakit yang lebih gawat baginya dibandingkan dengan keadaan
sebelumnya. Disamping itu harus ada wasiat dari donor kepada ahli warisnya, untuk
menyumbangkan organ tubuhnya bila ia meninggal, atau ada izin dari ahli warisnya.
Demikian ini sesuai dengan fatwa Majelis Ulama Indonesia tanggal 29 Juni 1987, bahwa
dalam kondisi tidak ada pilihan lain yang lebih baik, maka pengambilan katup jantung orang
yang telah meninggal untuk kepentingan orang yang masih hidup, dapat dibenarkan oleh
hukum Islam dengan syarat ada izin dari yang bersangkutan (lewat wasiat sewaktu masih
hidup) dan izin keluarga/ahli waris.

Adapun fatwa MUI tersebut dikeluarkan setelah mendengar penjelasan langsung Dr. Tarmizi
Hakim kepada UPF bedah jantung RS Jantung “Harapan Kita” tentang teknis pengambilan
katup jantung serta hal-hal yang berhubungan dengannya di ruang sidang MUI pada tanggal
16 Mei 1987. Komisi Fatwa sendiri mengadakan diskusi dan pembahasan tentang masalah
tersebut beberapa kali dan terakhir pada tanggal 27 Juni 1987.

Adapun dalil-dalil yang dapat menjadi dasar dibolehkannya transplantasi organ tubuh,
antara lain:
a. Al-Quran surah Al-Baqarah ayat 195
yaitu bahwa Islam tidak membenarkan seseorang membiarkan dirinya dalam bahaya, tanpa
berusaha mencari penyembuhan secara medis dan non medis, termasuk upaya transplantasi,
yang memberi harapan untuk bisa bertahan hidup dan menjadi sehat kembali.

b. Al-Quran surah Al-Maidah ayat 32:

28
َ َّ‫َو َم ْن أَحْ يا َ َها فَ َكأَن َّما َ أَحْ يَا الن‬
‫اس جَ ِميْعا‬
“Dan barangsiapa yang memelihara kehidupan seorang manusia, maka seolah-olah ia
memelihara kehidupan manusia semuanya”.

Ayat tersebut menunjukkan bahwa tindakan kemanusiaan (seperti transplantasi) sangat


dihargai oleh agama Islam, tentunya sesuai dengan syarat-syarat yang telah disebutkan diatas.

c. Al-Quran surah Al-Maidah ayat 2


“Dan tolong-menolonglah kamu dalam kebaikan dan jangan tolong-menolong dalam
berbuat dosa”. Selain itu juga ayat 195, menganjurkan agar kita berbuat baik.
Artinya: “Dan berbuat baiklah karena Allah menyukai orang-orang yang berbuat baik”.

Menyumbangkan organ tubuh si mayit merupakan suatu perbuatan tolong-menolong dalam


kebaikan, karena memberi manfaat bagi orang lain yang sangat memerlukannya.

Pada dasarnya, pekerjaan transplantasi dilarang oleh agama Islam, karena agama Islam
memuliakan manusia berdasarkan surah al-Isra ayat 70, juga menghormati jasad manusia
walaupun sudah menjadi mayat, berdasarkan hadits Rasulullah saw. : “Sesungguhnya
memecahkan tulang mayat muslim, sama seperti memecahkan tulangnya sewaktu masih
hidup”. (HR. Ahmad, Abu Daud, Ibnu Majah, Said Ibn Mansur dan Abd. Razzaq dari
‘Aisyah).

Tetapi menurut Abdul Wahab al-Muhaimin; meskipun pekerjaan transplantasi itu diharamkan
walau pada orang yang sudah meninggal, demi kemaslahatan karena membantu orang lain
yang sangat membutuhkannya, maka hukumnya mubah/dibolehkan selama dalam pekerjaan
transplantasi itu tidak ada unsur merusak tubuh mayat sebagai penghinaan kepadanya.Hal ini
didasarkan pada qaidah fiqhiyyah :

ِِ‫ب أَ َخ ِِّف ِه َما‬ ْ ‫سدَتا َ ِن ُر ْو ِع َي أَ ْع َظ ُم ُه َما ض ََررا ِب‬


ِ ‫ارتِكَا‬ َ َ‫إذَا تَع‬
َ ‫ارضَتْ َم ْف‬
“Apabila bertemu dua hal yang mendatangkan mafsadah (kebinasaan), maka
dipertahankan yang mendatangkan madharat yang paling besar, dengan melakukan
perbuatan yang paling ringan madharatnya dari dua madharat”.

d. Hadits Nabi saw.

‫اح ٍد اْله ََر ُم‬


ِ ‫غي َْر دَاءٍ َو‬ َ ‫َاو ْوا ِعبَا َد هللاِ فَ ِإنَّ هللا َلَ ْم يَض َْع دَاء إِالَّ َو‬
َ ‫ض َع لَهُ د ََواء‬ ُ ‫تَد‬
“Berobatlah kamu hai hamba-hamba Allah, karena sesungguhnya Allah tidak meletakkan
suatu penyakit kecuali dia juga telah meletakkan obat penyembuhnya, selain penyakit
yang satu, yaitu penyakit tua”.

29
(HR. Ahmad, Ibnu Hibban dan al-Hakim dari Usamah ibnu Syuraih)

Oleh sebab itu, transplantasi sebagai upaya menghilangkan penyakit, hukumnya mubah,
asalkan tidak melanggar norma ajaran Islam.

Dalam hadits lain, Rasulullah bersabda pula :

“Setiap penyakit ada obatnya, apabila obat itu tepat, maka penyakit itu akan sembuh atas
izin Allah”. (HR. Ahmad dan Muslim dari Jabir).

BAB IV
PENUTUP

4.1 Kesimpulan

Setelah diuraikan konsep maqashid al-syariah menurut al-syatibi adalah tujuan-tujuan


disyariatkannya hukum oleh Allah SWT. Yang berintikan kemaslahatan umat manusia di
dunia dan kebahagiaan di akhirat. Setiap persyariatan hukum oleh Allah mengandung
maqashid (tujuan-tujuan) yakni kemaslahatan bagi umat manusia. Yakni tujuan persyariatan

30
hukum dalam rangka mewujudkan lima unsur pokok dalam kehidupan manusia, yaitu agama,
jiwa, keturunan, akal dan harta. Maqashid syariah persyariatan hukum dalam upaya memberi
kemudahan kepada manusia mewujudkan lima unsur pokok tersebut.
Perhatian Ibnu Asyur terhadap maqashid muncul melalui kitab kecilnya yang
cantik:Alaisa al-Shubh bi Qarîb. Dimana dalam kitab ini, dengan pemikiran maqashid, ia
mengkritik sistem pendidikan dalam Dunia Islam yang tetap mempertahankan gaya
tradisionalnya yang cenderung mengajarkan hukum Islam (fikih) secara tekstualis-literalistik,
tanpa menjelaskan alasan-alasan dan tujuan-tujuan Tuhan (maqashid) dibaliknya. Kurang-
lebih kitab ini dikarang pada tahun 20-an abad ke-20 M.

DAFTAR PUSTAKA

Al-Qardawi, Yusuf. Fiqih Maqashid Syariah. Jakarta : Pustka Al-Kaustar. 2007


Zuhri, Saifudin. Ushul fiqih akal sebagai sumber hukum Islam.. Yogyakarta : Pustaka Pelajar.
2009
Ali, Mohammad Daud. Hukum Islam. Jakarta : Rajagrafindo Persada. 2005
Jauhar, Ahmad Al-mursi Husain. Maqashid Syariah. Jakarta : Amzah. 2009
Bakri, Asafri Jaya. Konsep Maqashid Syariah. Jakarta : Rajagrafindo Persada. 1996

31
32

Você também pode gostar