Escolar Documentos
Profissional Documentos
Cultura Documentos
Abstrak
Analisis ini bertujuan untuk menjabarkan mengenai kohesi gramatikal dengan bentuk referensi endofora
dalam artikel “Membangun Rumah Puisi” pada koran Kompas edisi 21 Mei 2016. Referensi endofora atau
endoforis merupakan bentuk referensi dengan objek acuan di dalam teks. Referensi ini dikenal dengan dua
macam sistem rujukan, yaitu anafora dan katafora. Penelitian dilakukan dengan menandai referensi-
referensi yang ada dalam teks wacana tersebut dan menunjukkan acuannya. Acuan yang menjadi dominan
atau sering diacu biasanya merupakan topik dari sebuah wacana. Dalam artikel “Membaca Rumah Puisi”
yang menjadi topik adalah Aan Mansyur, penulis puisi-puisi yang ada di film Ada Apa Dengan Cinta 2.
I. Pendahuluan
Bahasa meliputi tataran gramatikal yakni mulai dari tataran fonologi, morfologi,
sintaksis, semantik dan wacana. Berdasarkan hierarkinya, wacana merupakan tataran
bahasa terbesar, tertinggi dan terlengkap. Wacana yang baik adalah wacana yang
memperhatikan hubungan antarkalimat, memelihara keterkaitan dan keruntutan
antarkalimat. Dalam wacana hubungan dapat dibedakan menjadi dua jenis yaitu
hubungan bentuk yang disebut kohesi, dan hubungan makna atau hubungan semantis
yang disebut koherensi.
Wacana dapat dibagi dua macam yakni, wacana tulis dan wacana lisan. Salah satu
wujud wacana tulis yang berasal dari media, seperti surat kabar ataupun majalah dapat
1
dikaji, baik dari segi gramatikalnya maupun dari segi konteksnya. Koran Kompas
merupakan salah satu media cetak yang mudah ditemukan di Indonesia. Koran Kompas
terbit setiap hari dengan isi berbagai macam rubrik yakni “Politik & Hukum”,
“Internasional”, “Pendidikan & Kebudayaan”, “Lingkungan & Kesehatan”, “Ilmu
Pengetahuan & Teknologi”, “Teropong”, “Bisnis & Keuangan”, “Sosok”, “Klasika”.
Pada penelitian kali ini penulis akan meneliti kohesi gramatikal, tepatnya
referensi endofora pada rubrik “Sosok” koran Kompas edisi 21 Mei 2016 dengan judul
“Membangun Rumah Puisi”.
2
Berdasarkan keseluruhan pendapat para ahli, dapat disimpulkan bahwa wacana
merupakan kesatuan bahasa yang terlengkap dan tertinggi yang disajikan secara kohesi
dan koherensi yang teratur, sistematis dan padu. Serta dibentuk oleh unsur segmemtal
dan nonsegmental bahasa dengan cara penyampaiannya secara lisan maupun tulisan.
Jika wacana tanpa terikat dengan konteks, yaitu hanya dengan bahasa, tidak akan
tercipta wacana yang dapat dipahami. Menurut Halliday dan Hasan (1976) dalam
(Kushartanti dkk, 2007: 96) ada sesuatu yang menciptakan suatu wacana (the property of
being a text), yaitu keadaan unsur-unsur bahasa yang saling merujuk dan berkaitan
secara semantis. Keadaan tersebut dinamakan kohesi. Dengan kohesi, sebuah wacana
menjadi padu: setiap bagian pembentuk wacana mengikat bagian yang lain secara terikat
dan wajar.
Konsep kohesi mengacu pada serangkaian kemungkinan makna yang ada untuk
menghubungkan suatu unsur teks dengan apa yang telah disebutkan sebelumnya, dengan
apa yang akan disebutkan sesudahnya, bahkan juga kadang-kadang dengan hal-hal yang
ada dalam situasi komunikasi. Kohesi menampilkan kontinuitas makna antara satu
bagian teks dengan bagian lainnya (Zaimar dan Ayu Basoeki Harahap, 2009:116).
Kohesi dalam wacana terbagi menjadi dua yakni kohesi gramatikal dan kohesi
leksikal. Kohesi gramatikal dapat berwujud referensi atau pengacuan, subtitusi atau
penyulihan, ellipsis atau pelesapan, dan konjungsi atau penghubungan. Sedangkan kohesi
leksikal dapat diwujudkan dengan reiterasi dan kolokasi.
3
yang diberikan tergantung pada hal lain. Ini adalah salah satu alat kohesi, yaitu referensi
(Zaimar dan Ayu Basoeki Harahap, 2009:117). Kohesi terletak pada acuan, ketika hal
yang sama masuk ke dalam wacana dan terjadi berulang-ulang. Maka, suatu unsur yang
mempraanggapkan, memiki makna yang sesuai dengan hal lain yang dipraanggapkan.
Ada beberapa unsur teks yang tidak dapat dipahami jika tidak mengacu pada
sesuatu yang lain. Apabila hal yang diacu atau yang memberikan penjelasan informasi
itu terletak di dalam teks, maka hal itu disebut referensi tekstual (endofora). Dalam
referensi ini dikenal dua macam system rujukan yaitu anafora dan katafora. Hubungan
anafora terjadi apabila unsur yang diacu terdapat sebelum unsur yang mengacu.
Sedangkan hubungan katafora terjadi apabila unsur yang mengacu terdapat lebih dahulu
dari unsur yang diacu (Zaimar dan Ayu Basoeki Harahap, 2009:121-122).
Berikut analisis referensi endofora dalam artikel tulisan Ilham Khoiri dan Mohamad
Final Daeng, “Membangun Rumah Puisi” yang dimuat dalam rubrik “Sosok” pada
koran Kompas edisi 21 Mei 2016.
1) Aan adalah sulung dengan dua adik dari keluarga sederhana di Bone. Mereka hidup
bersama ibunya, seorang penjual sayur, setelah ayahnya pergi dan tidak pernah
kembali. Saat bocah, dia sering sakit-sakitan, pendiam, dan tidak punya banyak
teman. Anak itu mengurung diri dalam rumah.
2) Kebetulan di rumah ada koleksi buku kakeknya. Dia pun menenggelamkan diri
membaca buku-buku itu. Kecintaan Aan pada dunia tulis-menulis tumbuh saat itu.
Aan pun belajar menulis dongeng atau cerita.
4
3) Sejak SD, Aan menulis cerita-cerita pendek. Kemampuan ini terus diasah saat SMP
dan SMA. Beberapa majalah atau tabloid anak dan remaja cukup sering menerbitkan
tulisan Aan yang dikirimkan dengan berbagai nama samaran. Honornya untuk
menutup biaya sekolah.
4) Aan masih ingat, saat kelas II SMA, cerita pendek karyanya dimuat di majalah Anita
Cemerlang di Jakarta. Honornya cukup besar. ”Honor satu cerpen bisa untuk traktir
bakso untuk teman-teman satu kelas (40-an orang),” katanya.
7) Kemampuan menulis tumbuh dalam diri Aan. Kebetulan, ibunya juga menyukai puisi
dan keduanya sering berkomunikasi lewat surat. ”Ibu saya adalah orang pertama
yang membaca tulisan-tulisan saya,” katanya.
8) Tahun 1997, Aan merantau ke Makassar. Dia habiskan setahun pertama untuk
mengunjungi beberapa perpustakaan di kota itu. Setahun kemudian, dia kuliah di
Jurusan Sastra Inggris di Universitas Hasanuddin.
9) Sejak 2001, dia bertekad untuk serius menulis dan hidup dari menulis. Namun, dia
dinasihati ibunya, bahwa menjadi penulis itu mungkin akan miskin. ”Miskin, penulis.
Wah, kayaknya romantis. Itu pikiran bodoh saya waktu itu,” kenang Aan.
10) Peringatan sang ibu bukanlah isapan jempol. Aan pernah menghadapi masa-masa
sulit karena harus berhemat demi membeli buku. ”Saya pernah masak mi instan
untuk makan bertiga,” ujarnya.
11) Meski tak mudah, dia berjanji tidak mau keluar kampus sebelum punya buku.
Menjelang lulus, tahun 2005, dia terbitkan kumpulan puisinya, Hujan Rintih-
rintih (2005). Dia semakin percaya diri. Dua tahun berikutnya, dia menerbitkan
novel Perempuan, Rumah Kenangan (2007). Menyusul kemudian Aku Hendak
Pindah Rumah (2008), Cinta yang Marah (2009), Tokoh-tokoh yang Melawan Kita
dalam Satu Cerita (2012), Sudahkah Kau Memeluk Dirimu Hari
Ini? (2012),Kukila (2012), dan Kepalaku: Kantor Paling Sibuk di Dunia (2014). Pada
2015, dia meluncurkan kumpulan puisi Melihat Api Bekerja.
12) Karya-karya itu diapresiasi publik karena menawarkan misteri yang disampaikan
dalam bahasa yang sederhana, tetapi sublim sekaligus indah. ”Eksteriornya sesimpel
mungkin, tapi interiornya lebih kompleks.”
13) Jika puisi itu seumpama rumah, Aan menyiapkan sebanyak mungkin ruangan di
dalamnya. ”Kalau ibu saya berkunjung ke situ, dia bisa istirahat di ruang tidur
nyaman, ada dapur, tempat bersantai yang hangat, juga beribadah,” katanya.
5
14) Karya-karya Aan mengajak pembaca untuk bertualang. Bagi dia, puisi adalah jalan
untuk mencari tahu daripada memberi tahu, menyodorkan pertanyaan ketimbang
jawaban, dan menggoda kita untuk meragukan berbagai hal yang diyakini. ”Tugas
saya, menyebarkan kegelisahan lewat puisi.”
Pada peringkat kedua terdapat pronomina dia yang merujuk kepada Aan Mansyur.
Referensi tersebut muncul sebanyak 13 kali dan mulai sering digunakan dari paragraf
kedelapan. Untuk merujuk kepada Aan Mansyur di dalam teks juga digunakan frasa anak
itu sebanyak satu kali (pada paragraf pertama) dan saya sebanyak 2 kali dalam kutipan-
kutipan langsung dari jawaban Aan Mansyur.
Selain itu, pronomina yang muncul adalah bentuk keduanya yang merujuk kepada
Aan Mansyur dan ibunya (paragraf 7) dan mereka yang merujuk pada Aan Mansyur dan
adik-adiknya (paragraf 1). Berdasarkan analisis pada artikel ini bentuk-bentuk referensi
yang muncul kebanyakan mengacu pada Aan Mansyur.
Berdasarkan data di atas, referensi yang paling sering muncul atau referensi dominan
adalah bentuk pronomina –nya, yang ditemukan sebanyak 12 kali, dan merujuk pada
beberapa acuan berbeda. Namun secara keseluruhan baik pronomina –nya atau dia secara
dominan merujuk kepada acuan tokoh Aan Mansyur. Ditambah dengan referensi anak itu
dan saya, yang juga merujuk pada Aan Mansyur, membuktikan bahwa yang menjadi
topik dalam artikel “Membangun Rumah Puisi” ini adalah Aan Mansyur, penulis yang
puisi-puisinya hadir dalam film Ada Apa Dengan Cinta 2.
6
Penutup
Wacana sebagai kesatuan paling besar dalam bahasa harus bersifat sistematis, oleh
karena itu diperlukan alat-alat kohesi, salah satunya referensi, untuk memadukan satu kalimat
dengan kalimat lainnya dalam sebuah wacana. Dalam artikel “Membangun Rumah Puisi”
yang dimuat dalam rubrik “Sosok” pada koran Kompas edisi 21 Mei 2016, ditemukan
beberapa referensi yang menunjukkan keterkaitan antarkalimat dalam teks wacana tersebut.
Beberapa bentuk referensi yang muncul adalah –nya, dia, keduanya, mereka, saya, dan anak
itu. Acuan yang dominan dirujuk adalah Aan Mansyur, yang ditetapkan sebagai topik teks
wacana tersebut. Hal ini menunjukkan referensi dapat menunjukkan hal yang terus menerus
dibicarakan dan menunjukkan fokus sebuah wacana.
7
Sumber Data
Khoiri, Ilham dan Mohamad Final Daeng. 2016. “Membangun Rumah Puisi”. Kompas, 21
Mei 2016.
Daftar Acuan
Tidak Ditampilkan.