Você está na página 1de 8

Analisis Referensi Endofora dalam Artikel “Membangun Rumah Puisi” pada

Rubrik “Sosok”, Koran Kompas edisi 21 Mei 2016

Izzatunnisa Galih (1306415106)

Abstrak

Analisis ini bertujuan untuk menjabarkan mengenai kohesi gramatikal dengan bentuk referensi endofora
dalam artikel “Membangun Rumah Puisi” pada koran Kompas edisi 21 Mei 2016. Referensi endofora atau
endoforis merupakan bentuk referensi dengan objek acuan di dalam teks. Referensi ini dikenal dengan dua
macam sistem rujukan, yaitu anafora dan katafora. Penelitian dilakukan dengan menandai referensi-
referensi yang ada dalam teks wacana tersebut dan menunjukkan acuannya. Acuan yang menjadi dominan
atau sering diacu biasanya merupakan topik dari sebuah wacana. Dalam artikel “Membaca Rumah Puisi”
yang menjadi topik adalah Aan Mansyur, penulis puisi-puisi yang ada di film Ada Apa Dengan Cinta 2.

Kata Kunci: kohesi, referensi endofora, wacana, Aan Mansyur

I. Pendahuluan

Bahasa merupakan alat komunikasi yang digunakan oleh manusia dalam


menyampaikan ide, gagasan, pemikiran kepada orang lain baik secara lisan maupun
tulisan yang disertai dengan unsur segmental dan nonsegmental. Menurut Kurniawan
(1999:221) dalam Darma (2009:3) bahasa merupakan alat komunikasi yang penting bagi
manusia sehingga dalam kenyataannya bahasa menjadi aspek penting dalam melakukan
sosialisasi atau berinteraksi sosial. Dengan bahasa manusia dapat menyampaikan
berbagai berita, pikiran, pengalaman, gagasan, pendapat, perasaan, keinginan dan lain-
lain kepada orang lain.

Bahasa meliputi tataran gramatikal yakni mulai dari tataran fonologi, morfologi,
sintaksis, semantik dan wacana. Berdasarkan hierarkinya, wacana merupakan tataran
bahasa terbesar, tertinggi dan terlengkap. Wacana yang baik adalah wacana yang
memperhatikan hubungan antarkalimat, memelihara keterkaitan dan keruntutan
antarkalimat. Dalam wacana hubungan dapat dibedakan menjadi dua jenis yaitu
hubungan bentuk yang disebut kohesi, dan hubungan makna atau hubungan semantis
yang disebut koherensi.

Wacana dapat dibagi dua macam yakni, wacana tulis dan wacana lisan. Salah satu
wujud wacana tulis yang berasal dari media, seperti surat kabar ataupun majalah dapat

1
dikaji, baik dari segi gramatikalnya maupun dari segi konteksnya. Koran Kompas
merupakan salah satu media cetak yang mudah ditemukan di Indonesia. Koran Kompas
terbit setiap hari dengan isi berbagai macam rubrik yakni “Politik & Hukum”,
“Internasional”, “Pendidikan & Kebudayaan”, “Lingkungan & Kesehatan”, “Ilmu
Pengetahuan & Teknologi”, “Teropong”, “Bisnis & Keuangan”, “Sosok”, “Klasika”.

Pada penelitian kali ini penulis akan meneliti kohesi gramatikal, tepatnya
referensi endofora pada rubrik “Sosok” koran Kompas edisi 21 Mei 2016 dengan judul
“Membangun Rumah Puisi”.

II. Referensi dalam Wacana

Menurut Tarigan (1987:27) dalam (Sobur, 2006:10) wacana adalah satuan


bahasa terlengkap dan tertinggi atau terbesar di atas kalimat atau klausa dengan
koherensi dan kohesi tinggi yang berkesinambungan, yang mampu mempunyai awal dan
akhir yang nyata, disampaikan secara lisan atau tertulis. Pendapat lain, menurut
Kridalaksana (1993) dalam Zaimar dan Ayu Basoeki Harahap (2009:11) wacana adalah
satuan bahasa terlengkap, dalam hierarki gramatikal merupakan satuan gramatikal
tertinggi atau terbesar. Berdasarkan pendapat di atas, dapat disimpulkan bahwa wacana
adalah satuan bahasa terlengkap dan tertinggi dengan kohesi dan koherensi yang
seimbang sehingga makna yang terbentuk menjadi serasi.

Menurut Samsuri dalam (Sobur, 2006:10) wacana ialah rekaman kebahasaan


yang utuh tentang peristiwa komunikasi, biasanya terdiri atas seperangkat kalimat yang
mempunyai hubungan pengertian yang satu dengan yang lain. Sedangkan dalam
Kushartanti dkk (2007:92) wacana adalah kesatuan makna (semantis) antarbagian di
dalam suatu bangun bahasa. Dengan kesatuan makna, wacana dilihat sebagai bangun
bahasa yang utuh karena setiap bagian di dalam wacana itu berhubungan secara padu.
Pendapat lain oleh Sobur Alex (2001) dalam Darma (2009:3) mengungkap bahwa
wacana adalah rangkaian ujar atau rangkaian tindak tutur yang mengungkapkan suatu hal
(subjek) yang disajikan secara teratur, sistematis, dalam suatu kesatuan yang koheren,
dibentuk oleh unsur segmental maupun nonsegmental bahasa. Berdasarkan pendapat di
atas, dapat disimpulkan bahwa wacana merupakan kesatuan bahasa yang utuh, yang
memiliki hubungan antara yang satu dengan yang lain, teratur, sistematis dan dibentuk
oleh unsur segmental maupun nonsegmental bahasa, disampaikan baik secara lisam
maupun tulisan.

2
Berdasarkan keseluruhan pendapat para ahli, dapat disimpulkan bahwa wacana
merupakan kesatuan bahasa yang terlengkap dan tertinggi yang disajikan secara kohesi
dan koherensi yang teratur, sistematis dan padu. Serta dibentuk oleh unsur segmemtal
dan nonsegmental bahasa dengan cara penyampaiannya secara lisan maupun tulisan.

Menurut Tarigan (1987: 51) wacana diklasifikasikan menurut media (wacana


lisan dan wacana tulis), berdasarkan pengungkapannya (wacana langsung dan tidak
langsung), berdasarkan bentuk (wacana drama, wacana puisi, dan wacana prosa), dan
berdasarkan penempatan (wacana penuturan dan wacana pembeberan). Mulyana
(2005:47) membagi wacana berdasarkan beberapa segi, yaitu (1) bentuk, (2) media, (3)
jumlah penutur, dan (4) sifat. Berdasarkan pendapat dari ahli bahasa tersebut, wacana
dapat diklasifikasikan berdasarkan: media penyampaian (yang digunakan), sifat atau
jenis pemakaiannya, bentuk, cara dan tujuan pemaparannya.

Jika wacana tanpa terikat dengan konteks, yaitu hanya dengan bahasa, tidak akan
tercipta wacana yang dapat dipahami. Menurut Halliday dan Hasan (1976) dalam
(Kushartanti dkk, 2007: 96) ada sesuatu yang menciptakan suatu wacana (the property of
being a text), yaitu keadaan unsur-unsur bahasa yang saling merujuk dan berkaitan
secara semantis. Keadaan tersebut dinamakan kohesi. Dengan kohesi, sebuah wacana
menjadi padu: setiap bagian pembentuk wacana mengikat bagian yang lain secara terikat
dan wajar.

Konsep kohesi mengacu pada serangkaian kemungkinan makna yang ada untuk
menghubungkan suatu unsur teks dengan apa yang telah disebutkan sebelumnya, dengan
apa yang akan disebutkan sesudahnya, bahkan juga kadang-kadang dengan hal-hal yang
ada dalam situasi komunikasi. Kohesi menampilkan kontinuitas makna antara satu
bagian teks dengan bagian lainnya (Zaimar dan Ayu Basoeki Harahap, 2009:116).

Kohesi dalam wacana terbagi menjadi dua yakni kohesi gramatikal dan kohesi
leksikal. Kohesi gramatikal dapat berwujud referensi atau pengacuan, subtitusi atau
penyulihan, ellipsis atau pelesapan, dan konjungsi atau penghubungan. Sedangkan kohesi
leksikal dapat diwujudkan dengan reiterasi dan kolokasi.

Referensi atau pengacuan menampilkan hubungan antara bahasa dan dunia.


Dalam setiap bahasa, ada unsur-unsur bahasa yang tidak dipahami berdasarkan dirinya
sendiri, melainkan merujuk (mengacu) pada hal lain untuk pemahamannya, informasi

3
yang diberikan tergantung pada hal lain. Ini adalah salah satu alat kohesi, yaitu referensi
(Zaimar dan Ayu Basoeki Harahap, 2009:117). Kohesi terletak pada acuan, ketika hal
yang sama masuk ke dalam wacana dan terjadi berulang-ulang. Maka, suatu unsur yang
mempraanggapkan, memiki makna yang sesuai dengan hal lain yang dipraanggapkan.

Referensi dibagi menjadi dua, referensi eksoforis dan referensi endoforis.


Referensi endoforis (endofora) dikenal dengan dua macam sistem rujukan, yaitu anafora
dan katafora. Hubungan anafora terjadi apabila unsur yang diacu terdapat sebelum unsur
yang mengacu. Sedangkan hubungan katafora terjadi apabila unsur yang mengacu
terdapat lebih dahulu dari unsur yang diacu.

Berdasarkan tipe objeknya, referensi digolongkan atas referensi personal,


referensi demonstratif, dan referensi komparatif. Referensi personal ditandai dangan
pemakaian pronomia persona, seperti saya dan anda. Referensi demonstratif ditandai
dengan penggunaan demonstrativa itu, situ, sana dan sini. Referensi komparatif detandai
dengan pemakaian kata yang digunakan untuk membandingkan, seperti sama, serupa,
dan berbeda.

III. Referensi Endofora dalam Artikel “Membangun Rumah Puisi”

Ada beberapa unsur teks yang tidak dapat dipahami jika tidak mengacu pada
sesuatu yang lain. Apabila hal yang diacu atau yang memberikan penjelasan informasi
itu terletak di dalam teks, maka hal itu disebut referensi tekstual (endofora). Dalam
referensi ini dikenal dua macam system rujukan yaitu anafora dan katafora. Hubungan
anafora terjadi apabila unsur yang diacu terdapat sebelum unsur yang mengacu.
Sedangkan hubungan katafora terjadi apabila unsur yang mengacu terdapat lebih dahulu
dari unsur yang diacu (Zaimar dan Ayu Basoeki Harahap, 2009:121-122).

Berikut analisis referensi endofora dalam artikel tulisan Ilham Khoiri dan Mohamad
Final Daeng, “Membangun Rumah Puisi” yang dimuat dalam rubrik “Sosok” pada
koran Kompas edisi 21 Mei 2016.

1) Aan adalah sulung dengan dua adik dari keluarga sederhana di Bone. Mereka hidup
bersama ibunya, seorang penjual sayur, setelah ayahnya pergi dan tidak pernah
kembali. Saat bocah, dia sering sakit-sakitan, pendiam, dan tidak punya banyak
teman. Anak itu mengurung diri dalam rumah.

2) Kebetulan di rumah ada koleksi buku kakeknya. Dia pun menenggelamkan diri
membaca buku-buku itu. Kecintaan Aan pada dunia tulis-menulis tumbuh saat itu.
Aan pun belajar menulis dongeng atau cerita.

4
3) Sejak SD, Aan menulis cerita-cerita pendek. Kemampuan ini terus diasah saat SMP
dan SMA. Beberapa majalah atau tabloid anak dan remaja cukup sering menerbitkan
tulisan Aan yang dikirimkan dengan berbagai nama samaran. Honornya untuk
menutup biaya sekolah.

4) Aan masih ingat, saat kelas II SMA, cerita pendek karyanya dimuat di majalah Anita
Cemerlang di Jakarta. Honornya cukup besar. ”Honor satu cerpen bisa untuk traktir
bakso untuk teman-teman satu kelas (40-an orang),” katanya.

5) Sebenarnya Aan pernah masuk Pesantren As’adiyah Sengkang, Wajo, Sulsel.


Namun, dia tidak kerasan sehingga kemudian pindah ke madrasah tsanawiyah negeri
di Watampone, Bone.

6) Suatu ketika, Aan menemukan buku kumpulan sajak karya Subagio


Sastrowardoyo, Simfoni Dua, dan langsung mengaguminya. ”Bagaimana orang bisa
menulis pendek, tetapi banyak yang dikatakan. Saya mau begini,” katanya.

7) Kemampuan menulis tumbuh dalam diri Aan. Kebetulan, ibunya juga menyukai puisi
dan keduanya sering berkomunikasi lewat surat. ”Ibu saya adalah orang pertama
yang membaca tulisan-tulisan saya,” katanya.

8) Tahun 1997, Aan merantau ke Makassar. Dia habiskan setahun pertama untuk
mengunjungi beberapa perpustakaan di kota itu. Setahun kemudian, dia kuliah di
Jurusan Sastra Inggris di Universitas Hasanuddin.

9) Sejak 2001, dia bertekad untuk serius menulis dan hidup dari menulis. Namun, dia
dinasihati ibunya, bahwa menjadi penulis itu mungkin akan miskin. ”Miskin, penulis.
Wah, kayaknya romantis. Itu pikiran bodoh saya waktu itu,” kenang Aan.

10) Peringatan sang ibu bukanlah isapan jempol. Aan pernah menghadapi masa-masa
sulit karena harus berhemat demi membeli buku. ”Saya pernah masak mi instan
untuk makan bertiga,” ujarnya.

11) Meski tak mudah, dia berjanji tidak mau keluar kampus sebelum punya buku.
Menjelang lulus, tahun 2005, dia terbitkan kumpulan puisinya, Hujan Rintih-
rintih (2005). Dia semakin percaya diri. Dua tahun berikutnya, dia menerbitkan
novel Perempuan, Rumah Kenangan (2007). Menyusul kemudian Aku Hendak
Pindah Rumah (2008), Cinta yang Marah (2009), Tokoh-tokoh yang Melawan Kita
dalam Satu Cerita (2012), Sudahkah Kau Memeluk Dirimu Hari
Ini? (2012),Kukila (2012), dan Kepalaku: Kantor Paling Sibuk di Dunia (2014). Pada
2015, dia meluncurkan kumpulan puisi Melihat Api Bekerja.

12) Karya-karya itu diapresiasi publik karena menawarkan misteri yang disampaikan
dalam bahasa yang sederhana, tetapi sublim sekaligus indah. ”Eksteriornya sesimpel
mungkin, tapi interiornya lebih kompleks.”

13) Jika puisi itu seumpama rumah, Aan menyiapkan sebanyak mungkin ruangan di
dalamnya. ”Kalau ibu saya berkunjung ke situ, dia bisa istirahat di ruang tidur
nyaman, ada dapur, tempat bersantai yang hangat, juga beribadah,” katanya.

5
14) Karya-karya Aan mengajak pembaca untuk bertualang. Bagi dia, puisi adalah jalan
untuk mencari tahu daripada memberi tahu, menyodorkan pertanyaan ketimbang
jawaban, dan menggoda kita untuk meragukan berbagai hal yang diyakini. ”Tugas
saya, menyebarkan kegelisahan lewat puisi.”

Dalam artikel “Membangun Rumah Puisi di atas, ditemukan beberapa bentuk


referensi yang mengacu pada satuan yang ada di dalam teks. Referensi yang paling
sering digunakan adalah pronomina –nya yang ditemukan sebanyak 12 kali merujuk
pada Aan Masyur, 4 kali merujuk pada karya tulisan Aan Mansyur, dan juga sempat
merujuk pada tokoh Subagio Sastrowardoyo pada paragraf 6, sebanyak satu kali.

Pada peringkat kedua terdapat pronomina dia yang merujuk kepada Aan Mansyur.
Referensi tersebut muncul sebanyak 13 kali dan mulai sering digunakan dari paragraf
kedelapan. Untuk merujuk kepada Aan Mansyur di dalam teks juga digunakan frasa anak
itu sebanyak satu kali (pada paragraf pertama) dan saya sebanyak 2 kali dalam kutipan-
kutipan langsung dari jawaban Aan Mansyur.

Selain itu, pronomina yang muncul adalah bentuk keduanya yang merujuk kepada
Aan Mansyur dan ibunya (paragraf 7) dan mereka yang merujuk pada Aan Mansyur dan
adik-adiknya (paragraf 1). Berdasarkan analisis pada artikel ini bentuk-bentuk referensi
yang muncul kebanyakan mengacu pada Aan Mansyur.

Berdasarkan data di atas, referensi yang paling sering muncul atau referensi dominan
adalah bentuk pronomina –nya, yang ditemukan sebanyak 12 kali, dan merujuk pada
beberapa acuan berbeda. Namun secara keseluruhan baik pronomina –nya atau dia secara
dominan merujuk kepada acuan tokoh Aan Mansyur. Ditambah dengan referensi anak itu
dan saya, yang juga merujuk pada Aan Mansyur, membuktikan bahwa yang menjadi
topik dalam artikel “Membangun Rumah Puisi” ini adalah Aan Mansyur, penulis yang
puisi-puisinya hadir dalam film Ada Apa Dengan Cinta 2.

6
Penutup

Wacana sebagai kesatuan paling besar dalam bahasa harus bersifat sistematis, oleh
karena itu diperlukan alat-alat kohesi, salah satunya referensi, untuk memadukan satu kalimat
dengan kalimat lainnya dalam sebuah wacana. Dalam artikel “Membangun Rumah Puisi”
yang dimuat dalam rubrik “Sosok” pada koran Kompas edisi 21 Mei 2016, ditemukan
beberapa referensi yang menunjukkan keterkaitan antarkalimat dalam teks wacana tersebut.
Beberapa bentuk referensi yang muncul adalah –nya, dia, keduanya, mereka, saya, dan anak
itu. Acuan yang dominan dirujuk adalah Aan Mansyur, yang ditetapkan sebagai topik teks
wacana tersebut. Hal ini menunjukkan referensi dapat menunjukkan hal yang terus menerus
dibicarakan dan menunjukkan fokus sebuah wacana.

7
Sumber Data

Khoiri, Ilham dan Mohamad Final Daeng. 2016. “Membangun Rumah Puisi”. Kompas, 21
Mei 2016.

Daftar Acuan

Tidak Ditampilkan.

Você também pode gostar