Você está na página 1de 34

TUGAS KEPANITERAAN KLINIK ILMU KESEHATAN MASYARAKAT

LAPORAN KASUS INDIVIDU

SKABIES

Oleh

Ni Komang Putri Laraswati

H1A 013 045

Pembimbing:

dr. Rika Hastuti Setyorini, M.Kes, FISPH, FISCM

dr. Deasy Irawati, M.Sc, PhD

DALAM RANGKA MENGIKUTI KEPANITERAAN KLINIK MADYA

BAGIAN ILMU KESEHATAN MASYARAKAT

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS MATARAM/PUSKESMAS


KEDIRI

2019
0
BAB I

PENDAHULUAN

Penyakit berbasis lingkungan masih merupakan masalah kesehatan


terbesar masayarakat Indonesia. Hal ini tercermin dari tingginya kunjungan
penderita Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA), diare, malaria, demam
berdarah dengue (DBD), kecacingan, infeksi kulit, dan lainnya.1,2 Penyakit kulit
infeksi merupakan masalah kesehatan masyarakat yang banyak ditemukan di
negara berkembang. Salah satunya adalah scabies, yang merupakan penyakit kulit
akibat infeksi yang disebabkan oleh tungau Sarcoptes scabiei dan bersifat
menular.2,3
Skabies menyebabkan penderitanya merasakan gangguan dan penderitaan
akibat tidak dapat tidur dengan tenang pada malam hari karena rasa gatal.
Penderita tidak dapat menghindari untuk menggaruk setiap saat akibat adanya
tungau di bawah kulit. Selain itu, penyakit scabies ini sering terdapat pada tempat-
tempat yang padat penduduknya dengan keadaan higiene yang buruk misalnya di
tempat pengungsian, asrama, lembaga pemasyarakatan dan perkampungan padat.
Skabies merupakan salah satu penyakit kulit yang endemik pada banyak
masyarakat. Penyakit ini dapat mengenai semua ras dan golongan di seluruh
dunia. Penyakit skabies banyak dijumpai pada anak dan orang dewasa muda,
insidennya sama terjadi pada pria dan wanita.4,5
Distribusi, prevalensi, dan insiden penyakit infeksi parasit pada kulit ini
tergantung dari area dan populasi yang diteliti. Data WHO tahun 2009
menunjukkan bahwa penyakit skabies telah ditemukan pada semua negara
berkembang, prevalensinya berkisar antara 7-35% dari populasi umum dan
insiden tertinggi terdapat pada kelompok anak usia 1-14 tahun sebesar (51,51%).6
Penelitian di suatu kota miskin di Bangladesh menunjukkan bahwa semua anak
usia dari 6 tahun menderita scabies, serta di pengungsian Sierra Leone ditemukan
86% anak pada usia 5-9 tahun terinfeksi Sarcoptes scabei.3

1
Menurut Depkes RI, prevalensi skabies di Puskesmas seluruh Indonesia
pada tahun 2008 adalah 5,6%-12,95% dan skabies menduduki urutan ketiga dari
12 penyakit kulit tersering. Begitu pula pada tahun 2010, skabies masih
menduduki peringkat ketiga dari sepuluh besar penyakit rawat jalan di Indonesia.
Menurut profil kesehatan provinsi NTB tahun 2015, penyakit kulit infeksi
menduduki peringkat ketiga dari 10 penyakit terbanyak di Puskesmas di provinsi
NTB tahun 2014 yaitu sebaesar 74.829, kemudian bertambah di tahun 2015
menjadi 81.693 kasus.7,8
Dari data 10 penyakit terbanyak tahun 2018 di Puskesmas Kediri, penyakit
skabies tercatat dalam 10 penyakit terbanyak dalam kunjungan rawat jalan di poli
anak Puskesmas Kediri. Berdasarkan laporan tahunan kunjungan pasien ke
Puskesmas Kediri pada tahun 2018, jumlah penderita skabies relatif tinggi setiap
bulannya dengan total jumlah di tahun 2018 sebanyak 610 kasus.9 Dengan
tingginya angka kejadian penyakit skabies tersebut, maka dapat menurunkan
derajat kesehatan masyarakat. Oleh sebab itu, diperlukan perencanaan strategi
kesehatan masyarakat dalam mengatasinya. Dibutuhkan upaya pencegahan dan
pemberantasan agar prevalensi skabies semakin berkurang dan tidak
menyebabkan penularan terhadap banyak orang. Penelusuran terhadap sumber
infeksi dilakukan untuk dapat memutus rantai penularan. Tentunya hal ini
membutuhkan partisipasi dari seluruh pihak, baik masyarakat maupun tenaga
medis agar dapat tercapai.10

2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi
Skabies adalah penyakit kulit yang disebabkan oleh infestasi dan
sensitisasi terhadap tungau Sarcoptes scabiei var hominis. Sarcoptes scabiei ini
dapat ditemukan di dalam terowongan lapisan tanduk kulit pada tempat-tempat
predileksi. Ada beberapa sinonim yang dikenal masyarakat untuk skabies ini
yaitu, the itch, gudik, budukan.4

2.2 Epidemiologi
Diperkirakan bahwa terdapat lebih dari 300 juta orang di seluruh dunia
terjangkit tungau skabies. Studi epidemiologi memperlihatkan bahwa prevalensi
skabies cenderung tinggi pada anak-anak serta remaja dan tidak dipengaruhi oleh
jenis kelamin, ras, umur, ataupun kondisi sosial ekonomi. Faktor primer yang
berkontribusi adalah kemiskinan dan kondisi hidup di daerah yang padat.4,11
Terdapat bukti menunjukkan insiden kejadian berpengaruh terhadap musim
dimana kasus skabies lebih banyak didiagnosis pada musim dingin dibanding
musim panas. Insiden skabies semakin meningkat sejak dua dekade ini dan telah
memberikan pengaruh besar terhadap wabah di rumah sakit, penjara, panti
asuhan, dan panti jompo. 4,12

2.3 Etiologi
Sarcoptes scabiei termasuk filum Arthropoda, kelas Arachnida, ordo
Ackarima, super family Sarcoptes. Ukuran betina berkisar antara 330-450 mikron
x 250-350 mikron, sedangkan yang jantan lebih kecil. Siklus hidup tungau ini
adalah: Setelah kopulasi (perkawinan) di atas kulit, tungau jantan akan mati,
kadang-kadang masih dapat hidup beberapa hari dalam terowongan yang digali
oleh tungau betina. Tungau betina dapat bertahan hidup selama 1 sampai 2 bulan.
Tungau betina yang telah dibuahi menggali terowongan dalam stratum korneum,
dengan kecepatan 2 -3 milimeter sehari, sambil meletakkan telurnya 2 atau 4 butir
3
sehari sampai mencapai 40-50 telur. Selama itu tungau betina tidak meninggalkan
terowongan. Setelah 3-4 hari, larva berkaki enam akan muncul dari telur dan
keluar dari terowongan dengan memotong atapnya. Larva kemudian menggali
terowongan pendek (moulting pockets) tempat mereka berubah menjadi nimfa.
Setelah itu nimfa berkembang menjadi tungau jantan dan betina dewasa. Seluruh
siklus hidup mulai dari telur sampai bentuk dewasa antara 8 – 12 hari.4

Gambar 2.1. Siklus hidup Sacrcoptes scabiei11

2.4 Patogenesis
Mulanya hospes (inang) tidak menyadari adanya aktivitas penggalian
terowongan dalam epidermis, tetapi setelah 4-6 minggu terjadi reaksi
hipersensitivitas terhadap tungau atau bahan-bahan yang dikeluarkannya, dan
mulailah timbul rasa gatal. Adanya periode asimtomatis bermanfaat sekali bagi
parasit ini, karena dengan demikian mereka mempunyai waktu untuk membangun
dirinya sebelum hospes membuat respons imunitas.4

4
Tungau hidup didalam terowongan ditempat predileksi, yaitu sela jari,
pergelangan tangan bagian ventral, siku bagian luar, lipatan ketiak depan,
umbilikus, daerah gluteus, ekstremitas, genital eksterna pada laki-laki dan areola
mammae pada perempuan. Pada bayi dapat menyerang telapak tangan dan telapak
kaki. Pada tempat predileksi dapat ditemukan terowongan berwarna putih abu-abu
dengan panjang yang bervariasi, rata-rata 1 mm, berbentuk lurus atau berkelok-
kelok. Terowongan ini ditemukan bila belum terdapat infeksi sekunder. Diujung
terowongan dapat ditemukan vesikel atau papul kecil. Terowongan yang
berkelok-kelok umumnya ditemukan pada penderita kulit putih dan sangat jarang
ditemukan pada penderita di indonesia, karena umumnya penderita datang pada
stadium lanjut sehingga sudah terjadi infeksi sekunder.4,11

2.5 Cara Penularan


Penyakit skabies dapat ditularkan melalui kontak langsung maupun kontak
tak langsung. Yang paling sering adalah kontak langsung dan erat atau dapat pula
melalui alat-alat seperti tempat tidur, handuk, dan pakaian. Bahkan penyakit ini
dapat pula ditularkan melalui hubungan seksual antara penderita dengan orang
yang sehat. Di Amerika Serikat dilaporkan, bahwa scabies dapat ditularkan
melalui hubungan seksual meskipun bukan merupakan akibat utama. Penyakit ini
sangat erat kaitannya dengan kebersihan perseorangan dan lingkungan, atau
apabila banyak orang yang tinggal secara bersama-sama disatu tempat yang
relative sempit. Apabila tingkat kesadaran yang dimiliki oleh banyak kalangan
masyarakat masih cukup rendah, derajat keterlibatan penduduk dalam melayani
kebutuhan akan kesehatan yang masih kurang, kurangnya pemantauan kesehatan
oleh pemerintah, faktor lingkungan terutama masalah penyediaan air bersih, serta
kegagalan pelaksanaan program kesehatan yang masih sering kita jumpai, akan
menambah panjang permasalahan kesehatan lingkungan yang telah ada.4,11
Penularan skabies terjadi ketika orang-orang tidur bersama di satu tempat
tidur yang sama di lingkungan rumah tangga, sekolah-sekolah yang menyediakan
fasilitas asrama dan pemondokan, serta fasiltas-fasilitas kesehatan yang dipakai
oleh masyarakat luas. Di Jerman terjadi peningkatan insidensi, sebagai akibat
5
kontak langsung maupun tak langsung seperti tidur bersama. Faktor lainnya
fasilitas umum yang dipakai secara bersama-sama di lingkungan padat
penduduk.4,12,13

2.6 Diagnosis
Diagnosis dapat dibuat bila menemukan minimal 2 dari 4 tanda kardinal
sebagai berikut:4
1. Pruritus nokturna, artinya gatal pada malam hari yang disebabkan karena
aktivitas tungau ini lebih tinggi pada suhu yang lebih lembab dan panas.
2. Penyakit ini menyerang manusia secara kelompok, misalnya dalam sebuah
keluarga biasanya seluruh anggota keluarga terkena infeksi. Begitu pula dalam
sebuah perkampungan yang padat penduduknya, sebagian besar tetangga yang
berdekatan akan diserang oleh tungau tersebut. Dikenal keadaan
hiposensitisasi, yang seluruh anggota keluarganya terkena. Walaupun
mengalami infestasi tungau, tetapi tidak memberikan gejala. Penderita ini
bersifat sebagai pembawa (carrier).
3. Adanya terowongan (kunikulus) pada tempat-tempat predileksi yang berwarna
putih atau keabu-abuan, berbentuk garis lurus atau berkelok, rata-rata panjang
1 cm, pada ujung terowongan ditemukan papul atau vesikel. Jika timbul
infeksi sekunder ruam kulitnya menjadi polimorf (pustule, ekskoriasi dan lain-
lain). Tempat predileksinya biasanya merupakan tempat dengan stratum
korneum yang tipis, yaitu: sela-sela jari tangan, pergelangan tangan bagian
volar, siku bagian volar, siku bagian luar, lipat ketiak bagian depan, areola
mamae (wanita), umbilikus, bokong, genetalia eksterna (pria), dan perut
bagian bawah. Pada bayi dapat menyerang telapak tangan dan telapak kaki.
4. Menemukan tungau, merupakan hal yang paling diagnostik. Dapat ditemukan
salah satu atau lebih stadium hidup tungau ini.

6
Gambar 2.2. Predileksi skabies11

2.7 Penatalaksanaan
Terdapat beberapa terapi untuk skabies yang memiliki tingkat efektifitas
yang bervariasi. Faktor yang berpengaruh dalam keberhasilan yang antara lain
umur pasien, biaya pengobatan, berat derajat erupsi, dan faktor kegagalan terapi
yang pernah diberikan sebelumnya. Steroid topikal, anti histamin maupun steroid
sistemik jangka pendek dapat diberikan untuk menghilangkan ruam dan gatal
pada pasien yang tidak membaik setelah pemberian terapi skabisid yang lengkap.4
a. Penatalaksanaan Umum
Edukasi pada pasien skabies:4,11,12
1. Mandi dengan air hangat dan keringkan badan.
2. Pengobatan meliputi seluruh bagian dari kulit tanpa terkecuali baik yang
yang terkena oleh skabies ataupun bagian kulit yang tidak terkena.
3. Pengobatan yang diberikan dioleskan di kulit dan sebaiknya dilakukan
pada malam hari sebelum tidur.
4. Hindari menyentuh mulut dan mata dengan tangan.
5. Ganti pakaian, handuk, sprei, yang digunakan, selalu cuci dengan teratur
dan bila perlu direndam dengan air panas.
6. Jangan ulangi penggunaan skabisid yang berlebihan dalam seminggu
walaupun rasa gatal yang mungkin masih timbul selama beberapa hari.
7
7. Setiap orang yang tinggal dalam satu rumah sebaiknya mendapatkan
penanganan di waktu yang sama.
8. Melapor ke dokter anda setelah satu minggu.
b. Penatalaksanaan Khusus
Obat yang banyak digunakan untuk scabies yaitu obat jenis topikal
seperti:4
1. Salep yang mengandung asam salisilat 2% dan sulfur presitatum 4% dioleskan
di seluruh tubuh sesudah mandi dan dipakai 3-4 hari berturut-turut.
Kekurangannya adalah pemakaiannya tidak kurang dari 3 hari karena tidak
efektif terhadap stadium telur, berbau, mengotori pakaian dan dapat
menimbulkan iritasi.
2. Emulsi benzyl benzoate 20-25% efektif terhadap semua stadium, diberikan
setiap malam selama 3 hari. Obat ini sulit diperoleh, sering memberikan reaksi
iritasi dan kadang-kadang semakin gatal setelah dipakai.
3. Gama benzene heksaklorida (gameksan) 0,5-1% dalam salep atau krim. Obat
ini termasuk obat pilihan karena efektif terhadap semua stadium, mudah
digunakan dan jarang memberi reaksi iritasi. Obat ini tidak dianjurkan pada
anak di bawah 6 tahun dan wanita hamil karena toksik terhadap susunan saraf
pusat. Pemberiannya cukup sekali 8 jam. Jika masih ada gejala ulangi satu
minggu kemudian.
4. Krotamiton 10% dalam bentuk salep atau krim. Obat ini mempunyai 2 efek,
yaitu sebagai antiskabies dan antigatal. Harus dijauhkan dari mata, mulut dan
uretra. Digunakan selama 2 malam berturut-turut dan dibersihkan setelah 24
jam pemakaian teraktir.
5. Krim permetrin 5% dapat memberi hasil yang baik dan merupakan obat yang
paling efektif dan aman karena sangat mematikan untuk parasit Sarcoptes
scabiei dan memiliki toksisitas rendah terhadap manusia.

2.8 Cara-cara pemberantasan1,12,13


1. Cara-cara pencegahan

8
Lakukan penyuluhan kepada masyarakat dan komunitas kesehatan tentang
cara penularan, diagnosis dini dan cara pengobatan penderita scabies dan
orang-orang yang kontak dengan penderita.
2. Pengawasan penderita, kontak dan lingkungan sekitarnya
1) Laporan kepada Dinas Kesehatan setempat.
2) Isolasi: Siswa sekolah atau pekerja yang terinfeksi dilarang masuk ke
sekolah dan pekerja sampai dilakukan pengobatan. Penderita yang
dirawat di Rumah Sakit diisolasi sampai dengan 24 jam setelah
dilakukan pengobatan yang efektif.
3) Disinfeksi serentak: Pakaian dalam dan sprei yang digunakan oleh
penderita dalam 48 jam pertama sebelum pengobatan, dicuci dengan
menggunakan sistem pemanasan pada proses pencucian dan
pengeringan, hal ini membunuh kutu dan telur. Tindakan ini tidak
dibutuhkan pada infestasi yang berat. Mencuci sprei, sarung bantal dan
pakaian pada penderita Norwegian scabies sangat penting karena
potensi untuk menularkan sangat tinggi
4) Penyelidikan terhadap penderita kontak dan sumber penularan:
Temukan penderita yang tidak dilaporkan dan tidak terdeteksi diantara
teman dan anggota keluarga; penderita tunggal dalam satu keluarga
jarang ditemukan. Berikan pengobatan profilaktik kepada mereka yang
kontak kulit ke kulit dengan penderita (anggota keluarga dan kontak
seksual)
5) Pengobatan spesifik: Rincian pengobatan bervariasi tergantung dari
jenis obat yang digunakan. Rasa gatal mungkin akan tetap ada selama
1 sampai 2 minggu; hal ini jangan dianggap bahwa pengobatan
tersebut gagal atau telah terjadi reinfeksi. Pengobatan berlebihan
sering terjadi, untuk itu harus dihindari karena dapat menyebabkan
keracunan terhadap obat tersebut terutama gamma benzena
hexachloride. Sekitar 5% kasus, perlu pengobatan ulang dengan
interval 7 – 10 hari jika telur bertahan dengan pengobatan pertama.

9
Lakukkan supervisi ketat terhadap pengobatan, begitu juga mandi yang
bersih.
3. Penanggulangan wabah
1) Berikan pengobatan dan penyuluhan kepada penderita dan orang yang
berisiko.
2) Pengobatan dilakukan secara massal.
3) Penemuan kasus dilakukan secara serentak didalam keluarga,
lingkungan padat penduduk, atau pondok pesantren,
4) Sediakan sabun, sarana pemandian, dan pencucian umum.

10
BAB III
LAPORAN KASUS

I. IDENTITAS PASIEN
Nama Pasien : An. RAR
Umur : 20 bulan
Jenis kelamin : laki – laki
Agama : Islam
Suku : Sasak
Alamat : Dusun Gelogor Timur RT 04
Tanggal Pemeriksaan : 5 Januari
Identitas keluarga : Anak kandung kedua

Identitas Ibu Ayah


Nama Ny. S Tn. H
Umur 30 Th 35 Th
Pendidikan/Berapa tahun SMP SMP
Pekerjaan IRT Buruh

II. ANAMNESIS
Keluhan utama : Gatal-gatal
Riwayat Penyakit Sekarang :
Pasien datang ke Puskesmas Kediri diantar oleh orang tua pasien dengan
keluhan sering gatal-gatal sejak 2 minggu yang lalu. Gatal-gatal terutama
dikeluhkan pada malam hari sehingga pasien sulit tidur dan rewel. Pada
awalnya muncul bentol-bentol kecil berwarna merah pada kedua tangan
termasuk sela-sela jari tangan dan telapak tangan, kemudian muncul pada
kedua kaki. Selanjutnya muncul pada bagian pantat dan sekitar lipatan paha,
ketiak bagian depan, perut bagian bawah dan punggung. Bentol-bentol
tersebut terasa sangat gatal, kemudian beberapa ada yang ukurannya
membesar dan berisi cairan kekuningan, dan seringkali luka karena garukan
oleh kuku tangan pasien sendiri. Keluhan lain seperti demam, batuk, pilek,
11
maupun diare diangkal Ibu pasien. Nafsu makan maupun konsumsi ASI masih
sama seperti sebelum timbul keluhan pada pasien. Saat ini kakak pasien juga
mengalami keluhan serupa, muncul bentol berukuran kecil pada hampri
seluruh bagian tangan dan kaki sejak 1 minggu yang lalu.

Riwayat Penyakit Dahulu :


Sebelumnya pasien tidak pernah mengalami penyakit serupa.

Riwayat Penyakit Keluarga :


Kakak pasien menderita keluhan serupa sejak 1 minggu yang lalu.

Genogram Keluarga Pasien

Tn.A Tn.J
Ny.M Ny.N
(65th)
(62th) (60th) (58th)

Tn.H Ny.S Ny.A Tn.R


(35th) (30th) (26th) (23th)

An.E An.R
(8th) (20bln)

Keterangan :
: Laki-Laki

: Perempuan

: Menderita penyakit skabies

: Pasien

: Tinggal satu rumah


12
Riwayat Pengobatan
Ibu pasien mengaku belum pernah mengobati keluhan yang dialami pasien
saat ini.

Riwayat alergi
Pasien mengatakan tidak memiliki riwayat alergi terhadap makanan ataupun
obat – obatan tertentu.

Riwayat Sosial, ekonomi dan Lingkungan :


Pasien tinggal bersama orang tua dan kakak pasien. Berikut usia dan pekerjaan
dari masing-masing anggota keluarga:
- Ayah pasien 35 tahun, bekerja sebagai buruh
- Ibu pasien 30 tahun, sebagai IRT
- Kakak pasien 8 tahun, sebagai pelajar kelas 2 SD
Kondisi sosial ekonomi keluarga menengah kebawah, dimana ayah pasien
yang bekerja sebagai buruh memiliki penghasilan tidak menentu yaitu sekitar
Rp. 400.000-Rp. 500.000 per bulan. Keluarga pasien tinggal di lingkungan
padat penduduk di wilayah Gelogor Timur yang berdekatan dengan lokasi
pondok pesantren, dimana terdapat teman seusia pasien yang lebih dulu
menderita penyakit serupa. Ibu pasien mengaku pasien sering kontak mulai
dari bermain dan tidur bersama hampir setiap hari dengan temannya tersebut,
sebelum akhirnya pasien mengalami keluhan yang sama seperti temannya.
Untuk air minum digunakan air sumur yang dimasak. Untuk keperluan MCK
juga digunakan air sumur, dan semua anggota keluarga selalu mandi dan BAB
menggunakan kamar mandi yang terletak di dalam rumah pasien.

Riwayat Kehamilan dan Persalinan :


 Ibu pasien 6 kali ANC di posyandu
 Riwayat sakit berat selama hamil (-) dan minum obat-obatan tertentu (-)
 Pasien lahir normal di Puskesmas Kediri dengan BBL 3.000 gr

13
Riwayat Nutrisi
Menurut pengakuan ibu pasien, pasien diberikan ASI eksklusif sampai saat ini,
dan pasien sudah diberikan makanan pendamping ASI.
Status Imunisasi
Menurut pengakuan orang tua pasien dan berdasarkan buku KIA, pasien
mendapatkan imunisasi sesuai jadwal di posyandu.
Riwayat Tumbuh Kembang
Riwayat tumbuh kembang pasien sesuai dengan anak – anak seusianya.

III. PEMERIKSAAN FISIK


Keadaan Umum : Baik
Kesadaran : Compos Mentis
Frek. Nadi : 114 x/menit
Frek. Napas : 24 x/menit
Suhu : 36,80 C
Berat badan : 9 kg
Status Gizi : Gizi baik

Kepala-Leher:
Kepala : Deformitas (-)
Rambut : Hitam, lebat, distribusi merata
Mata : Konjungtiva pucat -/-, sklera ikterik -/-, mata cekung (-)
Telinga : Deformitas pinna (-), serumen (-)
Hidung : Deformitas (-), sekret (-)
Tenggorok : Uvula di tengah, arkus faring simetris, tonsil T1-T1,
detritus (-)
Gigi & mulut : Karies dentis (-), sianosis (-)
Leher : Tidak teraba pembesaran KGB
Thorax :
 Cor:
 Inspeksi : iktus kordis tidak tampak
14
 Palpasi : iktus kordis teraba ICS 5 midklavikula sinistra
 Perkusi : Batas atas pada ICS 2
 Auskultasi : S1S2 tunggal regular, murmur (-), gallop (-)
 Pulmo:
 Inspeksi : Bentuk simetris, Pergerakan simetris, frekuensi 20
x/menit, teratur
 Palpasi : Pergerakan simetris
 Perkusi : Sonor di kedua lapangan paru
 Auskultasi : Suara nafas vesikuler +/+, Suara tambahan rhonki -/-,
Suara tambahan wheezing -/-
Abdomen :
 Inspeksi : distensi (-)
 Auskultasi : Bising usus (+) normal
 Palpasi :Turgor dan tonus: normal, nyeri tekan epigastrium: (-),
Hepar/Lien/Ren: tidak teraba
 Perkusi : Timpani (+)
Ekstremitas atas : Akral hangat : +/+
Deformitas : (-)
Edema: (-/-)
Sianosis : (-)
Ekstremitas bawah : Akral hangat : +/+
Deformitas : (-)
Edema : (-/-)
Sianosis : (-)
Inguim-genital-anus : dalam batas normal
Sistem Integumen :
 Distribusi : regional
 Regio : interdigitalis dan palmar bilateral manus, interdigitalis dan
palmar bilateral pedis, aksila, abdomen, dan inguinal.

15
 Deskripsi UKK: papul multipel dan vesikel serta pustul, bentuk bulat,
ukuran 3-5 mm diatas permukaan kulit, batas tidak tegas, disertai
ekskoriasi.

IV. PEMERIKSAAN PENUNJANG


-
V. DIAGNOSIS
Skabies + Infeksi Sekunder

VI. TATALAKSANA
Tujuan Terapi
 Mencegah penularan penyakit dan kekambuhan penyakit
 Mengeradikasi parasit dan meringankan gejala
a. Farmakologi
 topikal salep yang mengandung asam salisilat 2% dan sulfur
presitatum 4% dioleskan di seluruh tubuh sesudah mandi pada
malam hari, kemudian bilas pagi harinya. Dipakai 3 hari berturut-
turut.
 CTM 3 x 1/4 tab
 Amoxicillin 3 x 1 cth
b. Konseling
 Pasien harus berobat bersama seluruh anggota keluarganya yang sakit.
 Seluruh pakaian, selimut, sarung bantal, sarung guling dan kasur harus
direndam dengan air mendidih, kemudian dijemur di terik matahari,
dan disetrika. Kasur bantal dan guling di jemur di bawah sinar
matahari langsung.
 Mengubah perilaku sehari-hari menjadi perilaku hidup bersih dan
sehat
 Rajin mandi dengan sabun minimal 2 kali sehari
 Tidak menggunakan pakaian dan handuk secara bersama

16
 Rajin mencuci pakaian yang digunakan dengan bersih dan
membersihkan tempat tinggal
VII. Prognosis
 Ad vitam : dubia ad bonam
 Ad functionam : dubia ad bonam
 Ad sanationam : dubia ad bonam

Denah Rumah Pasien


Rumah tetangga (±2m)

U
5m
3m T B
S
Kamar Tidur
3 m

Ruang
Keluarga
Halaman
Depan
1m

Dapur
1m

WC Dapur

Rumah tetangga (±1m)

17
BAB IV
PENELUSURAN HOME VISIT

4.1. Dasar Pemilihan Kasus


Skabies merupakan salah satu jenis penyakit kulit infeksi, dimana
penyakit kulit infeksi masuk dalam 10 penyakit terbanyak di Puskesmas
Kediri dan merupakan penyakit berbasis lingkungan yang masih
merupakan masalah kesehatan terbesar masyarakat Indonesia. Penyakit
skabies juga tercatat dalam 10 penyakit terbanyak dalam kunjungan rawat
jalan di poli anak Puskesmas Kediri. Berdasarkan laporan tahunan
kunjungan pasien ke Puskesmas Kediri pada tahun 2017, jumlah penderita
skabies sebanyak 344 kasus, kemudian meningkat hampir dua kali lipat di
tahun 2018 dengan jumlah mencapai 610 kasus (Gambar 4.1). Dimana
daerah yang termasuk wilayah kerja Puskesmas Kediri yang memiliki
kasus skabies tertinggi adalah desa Kediri sebesar 435 kasus (71%), diikuti
oleh desa Gelogor sebesar 116 kasus (19%) pada tahun 2018(Gambar 4.2).

80

70

60

50

40 Series1
2017
30 Series2
2018
20 2019
Series3

10

Gambar 4.1. Jumlah penderita scabies di Puskesmas Kediri bulan Januari-


Desember tahun 2017 dan 2018.
18
2% 1%
1% 1%
5%

Kediri selatan
19%
Ombe baru
Gelogor
Kediri
Montong are
Jagaraga indah
71%
Luar wilayah

Gambar 4.2. Sebaran jumlah penderita skabies di wilayah kerja Puskesmas Kediri
tahun 2018.

Berdasarkan hal tersebut, perlu dicari tahu mengapa kasus


penyakit kulit infeksi ini banyak terdapat di masyarakat. Berdasarkan
determinan masalah kesehatan yang diperkenalkan oleh H.L. Bloom dapat
dilihat bahwa salah satu faktor yang berperan adalah pelayanan kesehatan.
Puskesmas sebagai fasilitas pelayanan kesehatan tingkat pertama
menyelenggarakan upaya kesehatan masyarakat dan upaya kesehatan
perseorangan tingkat pertama, dengan lebih mengutamakan upaya
promotif dan preventif, untuk mencapai derajat kesehatan masyarakat yang
setinggi-tingginya di wilayah kerjanya. Dalam hal ini, Puskesmas sebagai
ujung tombak dalam pelayanan kesehatan masyarakat memiliki peranan
yang sangat penting demi tercapainya tujuan tersebut.

19
4.2. Hasil Penelusuran
 Pasien adalah anak kedua dari dua bersaudara. Pasien tinggal dirumah
berempat dengan ayah, ibu, dan satu saudaranya.
 Pasien tinggal dilingkungan padat penduduk di wilayah Gelogor Timur,
dimana terdapat teman seusia pasien yang menderita penyakit serupa.
 Rumah yang dihuni saat ini terdiri dari 1 kamar tidur, 1 ruang keluarga,
dan 1 kamar mandi, dan dapur. Luas rumah pasien ± 8 x 5 meter, jarak
rumah pasien dengan rumah tetangga di depan (barat) ± 3 meter, samping
kiri (utara) ± 2 meter, samping kanan (selatan) ± 1 meter, serta belakang
rumah (timur) tembok rumah menyatu dengan rumah tetangga. Dapur
berada di dalam rumah yang bersebelahan dengan kamar mandi.
 Satu kamar tidur dihuni oleh seluruh anggota keluarga, namun terkadang
ayahnya tidur di ruang keluarga. Ventilasi pada kamar tidur dan ruang
keluarga cukup baik karena selalu terbuka pada pagi sampai sore hari,
walaupun hanya terdapat satu jendela dan sinar matahari tidak dapat
sepenuhnya menyinari kamar dikarenakan terhalang oleh rumah tetangga.
Dari kedua kamar ditemukan banyak baju dan barang-barang yang
digantung dan ditumpuk. Lantai rumah terbuat dari semen, dinding rumah
berupa tembok, plafon terbuat dari triplek, dan atap rumah terbuat dari
genteng.
 Sumber air minum, mandi, dan cuci berasal dari air sumur yang berjarak ±
3 meter dari rumah.
 Pendapatan keluarga dari penghasilan ayah pasien yang bekerja sebagai
buruh. Kira-kira penghasilan ayah pasien mencapai Rp.400.000-
Rp.500.000 per bulan.
 Menurut ibu pasien, terdapat teman seusia yang memiliki keluhan yang
sama dengan pasien terlebih dahulu, serta pasien sering bermain ke rumah
temannya sampai sering tidur bersama. Pasien belum pernah dibawa
berobat sebelumnya untuk keluhan ini.
 Ibu pasien mengakui seluruh anggota keluarga mandi 2x sehari, namun
satu keluarga hanya memiliki 2 handuk yang digunakan secara bergantian.
20
Pakaian, handuk dan seprai yang akan dipakai tidak selalu disetrika
terlebih dahulu. Kasur dan bantal jarang dijemur. Ibu pasien mengaku
jarang memperhatikan kebersihan tangan pasien.

4.3 Kerangka Konsep Masalah Pasien

BIOLOGIS
Tungau Sarcoptes Scabiei

LINGKUNGAN
PERILAKU
 Lingkungan
tempat tinggal  Kurangnya
pasien padat pengetahuan
penduduk SKABIES tentang penyakit
dengan rumah skabies yang
saling
diajarkan
berhimpitan.
 Peralatan mandi
 Kepadatan
hunian rumah (handuk) digunakan
cukup tinggi dan secara bersama-
lembab sama
 Keadaan rumah  Peralatan tidur
kurang bersih jarang dijemur
 Adanya teman  Kurangnya PHBS
pasien yang PELAYANAN
menderita gejala KESEHATAN
seperti pasien
lebih dulu
informasi yang
belum memadai
mengenai skabies
serta peran kader
dalam penemuan
kasus skabies dan
penanganannya yang
belum maksimal

21
BAB V

PEMBAHASAN

A. Aspek Klinik
Dari hasil anamnesis didapatkan keluhan gatal-gatal di kulit terutama
dirasakan pada malam hari, hal ini disebabkan karena skabies beraktivitas saat
udara dingin (malam hari). Selain itu, hampir seluruh anggota keluarga serta
tetangga pasien mengalami keluhan serupa, hal ini disebabkan karena skabies
menyerang manusia secara berkelompok (pada anggota keluarga lain dalam satu
rumah dan juga pada perkampungan padat penduduk). Dari hasil pemeriksaan
fisik ditemuka lokasi lesi yaitu disela jari, telapak tangan, pergelangan tangan,
ketiak bagian depan, paha bagian dalam, kedua kaki, peut bagian bawah dan
sekitar bokong, yang merupakan tempat predileksi dari skabies. Efloresensi
skabies yang ditemukan pada pasien ini berupa papul multipel dan vesikel serta
pustul, bentuk bulat, ukuran 3-5 mm diatas permukaan kulit, batas tidak tegas,
disertai ekskoriasi yang menandai adanya infeksi sekunder pada lesi akibat
garukan.
Dari anamnesis didapatkan 2 dari 4 tanda kardinal dari skabies, yaitu
gatal-gatal terutama pada malam hari (pruritus nokturnal) serta menyerang
manusia secara berkelompok dalam suatu rumah atau pemukiman padat
penduduk. Pemeriksaan penunjang yang sebenarnya dapat dilakukan adalah
dengan menemukan terowongan (kunikulus) dan tungau pada ujung terowongan,
namun diagnosis skabies sudah cukup ditegakkan dengan penemuan 2 dari 4
tanda kardinal tersebut.
Terapi yang diberikan untuk pasien ini adalah salep 2-4, hal ini
disesuaikan dengan ketersediaan obat yang dimiliki oleh puskesmas Kediri.
Penggunaan salep ini dilakukan dengan mengoleskannya di seluruh tubuh sesudah
mandi (pada alam hari sebelum tidur) dan dipakai 3-4 hari berturut-turut.
Kandungan dari salep 2-4 ini salah satunya adalah sulfur presipitatum.
Kekurangan obat dari jenis ini adalah tidak efektif terhadap stadium telur,
sehingga tidak boleh digunakan kurang dari 3 hari. Kekurangan yang lain adalah
22
berbau dan mengotori pakaian dan kadang-kadang menimbulkan iritasi. Namun,
pengobatan skabies yang tersedia di puskesmas hanyalah obat jenis ini sehingga
terapi yang diberikan sesuai dengan obat yang tersedia.
Selain pemberian salep 2-4, obat lain yang dapat diberikan adalah
antibiotik amoxicillin 3 x 1 cth untuk mengobati infeksi sekunder yang terjadi
akibat infestasi tungau serta garukan kuku pasien. CTM 3 x 1/4 tablet juga dapat
diberikan untuk mengurangi gatal-gatal yang dikeluhkan pasien.

B. Aspek Ilmu Kesehatan Masyarakat


Penyakit berbasis lingkungan masih merupakan masalah kesehatan
terbesar masyarakat Indonesia. Hal ini tercermin dari tingginya angka kejadian
penyakit berbasis lingkungan seperti ISPA dan penyakit kulit infeksi. Pada data
sepuluh penyakit terbanyak tahun 2018, penyakit skabies tercatat dalam 10
penyakit terbanyak dalam kunjungan rawat jalan di poli anak Puskesmas Kediri.
Salah satu upaya penting untuk memutuskan hubungan atau mata rantai penularan
penyakit yaitu dengan meningkatkan sanitasi dan higiene perorangan.
Secara umum kasus skabies dapat meluas secara cepat, baik jumlah kasus
maupun daerah terjangkit. Penularan penyakit skabies terutama di daerah yang
padat penghuninya seperti asrama, panti asuhan dan pondok pesantren, hal ini
disebabkan oleh kurangnya higiene perorangan dan buruknya sanitasi lingkungan.
Suatu penyakit dapat terjadi oleh karena adanya ketidakseimbangan
faktor-faktor utama yang dapat mempengaruhi derajat kesehatan masyarakat.
Paradigma hidup sehat yang diperkenalkan oleh H. L. Blum mencakup 4 faktor
yaitu faktor genetik (keturunan), perilaku (gaya hidup) individu atau masyarakat,
faktor lingkungan (sosial ekonomi, fisik, politik) dan faktor pelayanan kesehatan
(jenis, cakupan dan kualitasnya). Skabies juga menjadi masalah di mayarakat
disebabkan oleh karena faktor-faktor berikut :

1. Faktor perilaku
Faktor perilaku manusia sangat berperan dalam penyebaran dan
perkembangan penyakit, terutama penyakit menular. Penerapan pola hidup yang
23
bersih dan sehat merupakan suatu kebiasaan baik, bersih dan berdaya guna serta
berhasil guna. Penerapan pola hidup seperti ini sedapat mungkin diterapkan di
rumah tempat tinggal, institusi-institusi maupun tempat-tempat umum.
Masyarakat awam secara luas menganggap bahwa skabies merupakan
penyakit gatal-gatal biasa bahkan karena tidak menyebabkan kematian skabies
tidak dianggap bermasalah hingga akhirnya si pasien yang terkena skabies
mengeluh kurang istirahat karena gatal-gatal yang sudah menyebar luas di
badannya. Perilaku yang terkesan kurang memperhatikan penyakit yang sedang
dideritanya ini terkait dengan kurangnya pengetahuan tentang skabies itu sendiri.
Perilaku hidup bersih sangat ditekankan untuk menghentikan penyebaran
dan perkembangan penyakit ini, terutama kebersihan diri (personal hygiene).
Pencegahan skabies dapat dilakukan dengan cara sebagai berikut:
1) Mandi secara teratur menggunakan sabun sebanyak 2 kali sehari
2) Mencuci tangan dengan sabun. Berikut ini merupakan lima waktu penting cuci
tangan pakai sabun, yaitu : sebelum makan, sesudah buang air besar, sebelum
memegang bayi, sesudah menceboki anak, dan sebelum menyiapkan
makanan.
3) Mencuci pakaian, seprei, sarung, bantal, selimut dan lainnya secara teratur
minimal 2 kali seminggu
4) Menjemur kasur dan bantal minimal 2 minggu sekali
5) Tidak saling bertukar pakaian dan handuk dengan orang lain
6) Hindari kontak dengan orang-orang atau kain serta pakaian yang dicurigai
terinfeksi tungau skabies
7) Menjaga kebersihan rumah dan ventilasi yang baik.
Perlu penyuluhan oleh petugas kesehatan untuk memberi pengetahuan
tentang berbagai hal tentang skabies seperti penyebab, cara penularan dan
pencegahan penularan. Cara-cara tersebut perlu disosialisasikan kepada
masyarakat agar mereka dapat mencegah berkembangan skabies di lingkungan
tempat tinggal mereka. Peran aktif masyarakat dalam hal ini sangat diperlukan
untuk mencegah berkembangan skabies sebab tanpa peran aktif masyarakat
skabies sulit diberantas.
24
2. Faktor Lingkungan
Faktor lingkungan menjadi hal yang sangat erat kaitannya dengan
penyebaran skabies di berbagai tempat, karena skabies dapat menular melalui
kontak langsung serta kontak tidak langsung. Kontak langsung (kontak kulit
dengan kulit) dapat terjadi saat bermain bersama bahkan sering tidur bersama.
Hubungan erat tersebut dimulai sejak lama, bahkan sebelum keduanya menderita
skabies. Kontak tak langsung (melalui benda), misalnya pakaian, handuk, seprei,
bantal dan lain-lain digunakan secara bersama-sama.
Pemukiman padat penduduk merupakan salah satu faktor lingkungan yang
menunjang perkembangan penyakit menular seperti skabies. Jarak antar rumah
yang berdempetan berperan penting dalam mudahnya transmisi parasit skabies.
Jarak yang demikian memungkinkan para penghuni dalam suatu kompleks untuk
berinteraksi lebih erat sehingga menyebabkan transmisi parasit skabies semakin
mudah.
Pada kasus ini pasien tinggal di lingkungan padat penduduk yang letaknya
di wilayah dekat pondok pesantren, dimana kebanyakan tetangga yang
berinteraksi erat dengan pasien memiliki keluhan yang serupa. Faktor kedekatan
inilah yang membuat pasien dapat terkena skabies dengan mudah. Penyebaran
juga terjadi dalam keluarga pasien, dimana Ibu pasien yang selalu tidur bersama
pasien serta masih menyusuinya ikut terinfeksi oleh skabies, begitupula dengan
kedua saudaranya yang tinggal serumah dan menggunakan handuk yang sama
dengan pasien. Keadaan ini diperparah dengan kondisi lingkungan di dalam
rumah, dimana ventilasi kurang baik, banyak ditemukan pakaian digantung dalam
kamar, dll.
Untuk mengurangi risiko penyebaran dan penularan skabies dapat
dilakukan dengan menciptakan pemukiman yang sehat dengan jarak antar rumah
yang tidak terlalu dekat. Selain mengatur jarak antar rumah, ventilasi yang baik
serta pengaturan intensitas cahaya yang masuk ke dalam rumah juga dapat
menekan risiko penyebaran dan penularan skabies.

25
3. Faktor Sosial, Ekonomi, dan Budaya
Faktor sosial ekonomi mempunyai peran yang sangat penting untuk
penularan dan penyebaran skabies. Keluarga pasien harus secara rutin dan berkala
mengganti seprei, sarung bantal, handuk, pakaian serta menjemur kasur untuk
memperkecil risiko perkembangan dan penyebaran skabies. Semua itu
memerlukan dana yang tidak sedikit untuk pengadaan barang-barang tersebut
sedangkan pada keluarga ini termasuk dalam golongan ekonomi menengah
kebawah, dimana penghasilan dari kepala keluarga tidak menentu namun harus
membiayai seluruh anggota keluarganya (4 orang).
Obat-obatan untuk pasien diperoleh secara gratis dari puskesmas Kediri
dengan menyertakan kartu Jamkesmas (Jaminan Kesehatan Masyarakat) yang di
harus dibawa ke puskesmas untuk dapat mengakses pelayanan kesehatan tanpa
dipungut biaya. Adanya program Jamkesmas ini mereka nilai cukup membantu
dalam mendapatkan pelayanan kesehatan dengan gratis.
Skabies merupakan penyakit kulit infeksi yang sangat menular bila
dikaitkan dengan kondisi lingkungan dan perilaku masyarakat di kecamatan
Kediri seperti demikian. Peningkatan kasus dari tahun ke tahun belum
meningkatkan kesadaran masyarakat tentang penyakit ini. Mereka menganggap
bahwa skabies merupakan penyakit gatal biasa dan tidak berbahaya. Masyarakat
perlu mengetahui bahwa rasa gatal yang ditimbulkannya terutama waktu malam
hari, secara tidak langsung juga ikut mengganggu kelangsungan hidupnya karena
waktu untuk istirahat tidur tersita karena gatal, sehingga kegiatan yang akan
dilakukannya disiang hari juga ikut terganggu. Jika hal ini dibiarkan berlangsung
lama, maka efisiensi dan efektifitas kerja menjadi menurun dan pada akhirnya
mengakibatkan menurunnya kualitas hidup masyarakat.
Skabies merupakan penyakit yang dapat disembuhkan secara total jika
diobati dengan baik. Namun dalam pelaksanaan pengobatan, kadang-kadang
penderita tidak melakukan dengan benar dan juga tidak memperhatikan
lingkungannya. Hal ini karena beberapa orang menganggap hanya dirinya saja
yang sakit, tanpa melihat bahwa tanpa memperhatikan keadaan lingkungan

26
sekitarnya, penyakit ini dapat menyerangnya kembali dan bahkan dapat juga
menyerang orang lain di lingkungan sekitarnya.

4. Faktor Pelayanan Kesehatan


Pelayanan Kesehatan yang belum terpenuhi pada pasien ini adalah
informasi yang belum memadai mengenai skabies serta peran kader dalam
penemuan kasus skabies dan penanganannya yang belum maksimal. Pelayanan
kesehatan sangat berperan penting terhadap pencegahan penularan ataupun
penyebaran berbagai penyakit menular, termasuk skabies. Untuk kasus skabies
pelayanan kesehatan yang dimaksud meliputi KIE tentang penyebab, cara
penularan dan cara pencegahan skabies. Hal ini dapat dilakukan dengan
mengadakan penyuluhan-penyuluhan di lokasi-lokasi target seperti kompleks
perumahan padat penduduk asrama serta pondok pesantren. Di tempat-tempat
semacam inilah penularan dan penyebaran skabies dapat terjadi dengan mudah.
Selain mengadakan penyuluhan, pengadaan obat-obatan di tempat-tempat
pelayanan kesehatan merupakan hal mutlak yang harus diadakan dalam jumlah
yang cukup. Pengobatan simtomatis dan kausatif dapat diberikan kepada
penderita. Pengobatan kausatif dapat berupa pemberian salep 2-4 yang hingga kini
dapat memberikan angka kesembuhan yang cukup baik untuk pasien skabies.
Selain itu jenis obat inilah yang tersedia di puskesmas serta harga yang terjangkau
bagi pasien ekonomi rendah dan menengah. Antibiotik dapat juga diberikan
karena infestasi parasit ini seringkali disertai dengan infeksi sekunder. Gatal-gatal
yang sering dialami oleh penderita skabies sebagian besar disebabkan oleh sekret
yang dikeluarkan oleh tungau skabies yang memicu reaksi inflamasi yang
bermanifestasi sebagai rasa gatal. Untuk mengurangi rasa gatal tersebut terutama
pada malam hari dapat diberikan antihistamin yang tersedia di puskesmas, yaitu
CTM. Efek lain yang diharapkan dari CTM adalah efek mengantuk sehingga
dapat membantu pasien untuk mengurangi masalah kurang tidur yang dialaminya.
Penyuluhan dan pengadaan obat-obatan lengkap tidak efektif bila tidak
disertai dengan pengadaan tenaga kesehatan yang ahli dalam mendiagnosis
penyakit ini. Terdapat beberapa penyakit kulit yang mirip dengan lesi yang ada
27
pada skabies serta menimbulkan gejala gatal yang mirip dengan yang ada pada
skabies. Dengan pengetahuan dan pengalaman yang cukup seorang tenaga
kesehatan, terutama dokter dan perawat akan dapat menegakkan diagnosis skabies
yang selanjutnya akan berpengaruh pada tata laksana serta upaya pemberantasan
skabies.
Intervensi yang dilakukan oleh pihak puskesmas Kediri terhadap penderita
yang telah didiagnosis dengan skabies antara lain: memberikan terapi yang sesuai
di balai pengobatan, kemudian mengarahkan pasien ke klinik sanitasi untuk
mendapatkan penjelasan mengenai skabies, termasuk faktor resiko, cara
penularan, gejala, pengobatan serta pencegahannya. Selain itu, petugas sanitasi
juga melakukan kunjungan rumah untuk mengetahui secara langsung kondisi
lingkungan ditempat tinggal pasien.

28
BAB VI
KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan
 Pada data sepuluh penyakit terbanyak tahun 2017-2018, penyakit kulit
infeksi (termasuk skabies) selalu masuk dalam 10 penyakit terbanyak di
Puskesmas Kediri.
 Adanya laporan khusus mengenai jumlah kasus skabies dan tingkat
penyebarannya di tiap-tiap desa di Kediri di tahun 2018.
 Terdapat 3 faktor utama yang mempengaruhi kejadian penyakit skabies
pada pasien ini, yaitu: perilaku, lingkungan, dan pelayanan kesehatan.

B. Saran
 Untuk memutus mata rantai penularan dapat dilakukan dengan
meningkatkan sistem penemuan penyakit di tingkat masyarakat agar
anggota masyarakat mau melaporkannya ke pelayanan kesehatan
(penemuan kasus secara pasif), sehingga dapat dilakukan pengobatan
secara masal pada seluruh penderita skabies.
 Perlu lebih mengoptimalkan upaya promotif yaitu melalui sosialisasi
program pemerintah seperti GERMAS dan PHBS.
 Memberikan edukasi tentang skabies termasuk cara penularan, pengobatan
serta pengendaliannya.

29
DAFTAR PUSTAKA

1. Departemen Kesehatan RI. Standar Pelayanan Operasional Klinik Sanitasi.


Jakarta.2004
2. Chandra, Budiman. Pengantar Kesehatan Lingkungan. Cetakan I. Jakarta:
EGC. 2007
3. Khusnul, Ulfatusyifah. Hubungan Antara Sanitasi Lingkungan Dan Higiene
Perorangan Dengan Kejadian Scabies Di Pondok Pesantren “Al-
Bahroniyyah” Ngemplak Mranggen Kabupaten Demak. Universitas Negeri
Surabaya. Surabaya.2014
4. Djuanda, A. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. Edisi Ketujuh. Jakarta:
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. 2015
5. Akmal, Suci Chairiya., Semiarty, Rima., dan Gayatri. Hubungan Personal
Hygiene Dengan Kejadian Scabies Di Pondok Pendidikan Islam Darul Ulum,
Palakir Air Pacah Kecamatan Koto Tangan Padang. Jurnal kesehatan
Andalas; 2. 2015
6. Bahdri, M. Hygiene Perorangan Santri Pondok Pesantren Wali Songo Ngabar
Ponorogo. Media Litbang Kesehatan. Vol : xvii, No. 2. 2007
7. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. Profil Data Kesehatan Indonesia
Tahun 2011. 2012
8. Dinas Kesehatan Provinsi NTB. Profil Kesehatan Provinsi NTB Tahun 2015.
2016
9. UPT BLUD Puskesmas Kediri. Available at: <http://puskesmaskediri-
dikes.lombokbaratkab.go.id>
10. Mansyur, M. Pendekatan Kedokteran Keluarga pada Penatalaksanaan Skabies
Anak Usia Pra-Sekolah. Majalah Kedokteran Indonesia . Vol. 57, No. 2,
Februari 2007. Hal : 63-67. 2007
11. Tim Penyusun. Pedoman Diagnostik dan Terapi Ilmu Penyakit Kulit dan
Kelamin. RSU Dokter Soetomo : Surabaya. 2005
12. Depkes RI. Dirjen Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan.
Jakarta. 2010

30
13. Kandun, I. Nyoman. Manual Pemberantasan Penyakit Menular. Edisi 17.
Bakti Husada; Jakarta. 2000

LAMPIRAN

31
32
33

Você também pode gostar