Escolar Documentos
Profissional Documentos
Cultura Documentos
PENDAHULUAN
Anestesi adalah istilah yang diturunkan dari dua kata Yunani yaitu “an” dan “esthesia”
dan bersama-sama berarti “hilangnya rasa atau hilangnya sensasi”. Secara umum berarti
menghilangkan rasa sakit pada seluruh tubuh secara sentral disertai hilangnya kesadaran secara
reversible. Perbedaannya dengan anestesi regional adalah anestesi pada sebagian tubuh, keadaan
bebas nyeri tanpa kehilangan kesadaran.1,2
Anestesiologi adalah cabang ilmu kedokteran yang memberikan pelayanan medis
terhadap pasien dalam hal-hal pemberian anestesia dan analgesia, menjaga keselamatan pasien
yang menjalani pembedahan atau tindakan medis lainnya, bantuan resusitasi pasien gawat,
mengelola unit perawatan terapi intensif, memberi pelayanan terapi inhalasi dan penanggulangan
nyeri membandel serta berperan aktif mengelola kedokteran gawat darurat serta tidak lepas juga
dari pelayanan sedasi.3
Pada saat ini, bila digunakan kata tunggal anastesi, berarti anastesi umum. Anastesi
inhalasi, anastesi intravena, anastesi intravaskular, anastesi perrektal adalah sub bagian dari
anastesi umum, dan kata “menerangkan” menunjukkan jalur masuknya obat ke dalam tubuh
untuk menghasilkan anastesi umum. Rees & Grey membagi komponen anestesi menjadi tiga
yaitu hipnotika (pasien kehilangan kesadaran), Anestesia (pasien bebas nyeri), Relaksasi (pasien
mengalami kelumpuhan otot rangka). Anastesi lokal menunjukkan anastesi pada sebagian tubuh,
keadaan bebas nyeri tanpa kehilangan kesadaran kecuali digunakan teknik anastesi gabungan
anastesi umum dan anastesi local atau digunakan sedasi. Anastesi regional seringkali digunakan
sebagai sinonim anastesi lokal, lebih menunjukkan akibat blockade saraf, pleksus, medulla
spinalis yang jauh dari daerah yang dibuat tidak peka.3
Anestesi regional adalah tindakan analgesia yang dilakukan dengan cara menyuntikkan
obat anestetika lokal pada lokasi serat saraf yang menginervasi regio tertentu, yang
menyebabkan hambatan konduksi impuls aferen yang bersifat temporer. Jenis anestesi regional
yaitu blok saraf tepi, blok pleksus brachialis, blok spinal sub arakhnoid. Blok epidural dan blok
regional intravena.3
1
Subarakhnoid blok (SAB) adalah blok regional yang dilakukan dengan jalan menyuntikan
obat anestetik lokal ke dalam ruang sub arakhnoid melalui tindakan pungsi lumbal. Indikasi dari
anestesi blok sub arakhnoid antara lain pembedahan pada daerah abdominal bawah dan inguinal,
anorektal dan genitalia eksterna serta ekstremitas inferior. Subarakhnoid blok lebih efektif dan
aman dibandingkan dengan anestesi umum.3,4
Anestesi regional semakin berkembang dan meluas pemakaiannya, mengingat berbagai
keuntungan yang ditawarkan, diantaranya relatif lebih murah, pengaruh sistemik yang minimal,
menghasilkan analgesi yang adekuat dan kemampuan mencegah respon stress secara lebih
sempurna. Namun demikian bukan berarti bahwa tindakan anestesi lokal tidak ada bahayanya.
Hasil yang baik akan dicapai apabila selain persiapan yang optimal seperti halnya anestesi umum
juga disertai pengetahuan tentang farmakologi obat anestesi lokal.5
Pilihan anestesi yang digunakan pada operasi herniorapi adalah anestesi regional (spinal
atau epidural) atau anesthesia umum melalui pipa endotrakea dan nafas kendali apabila ada
permintaan khusus dari pasien. Anestesi spinal lebih disukai untuk bedah dari thorakal 10
kebawah dikarenakan onset cepat, teknik sederhana, relatif mudah dilakukan dan menimbulkan
relaksasi otot yang sempurna dibandingkan dengan anestesi epidural.
2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. GERIATRI
Batasan lansia (lanjut usia) menurut WHO meliputi, usia pertengahan (middle
age) yaitu usia antara 45 sampai 59 tahun, lanjut usia (eldery) yaitu usia antara 60 sampai
74 tahun, lanjut usia tua (old) yaitu usia antara 76 sampai 90 tahun, dan usia sangat tua
(very old) yaitu usia diatas 90 tahun.13
Pada tahun 2040, penduduk berusia 65 tahun atau lebih diperkirakan mencapai
lebih dari 24 % dari total populasi, setengah dari ini akan mengalami pembedahan
sebelum mereka meninggal, walaupun resiko kematian perioperatif meningkat 3 x lipat
dibandingkan dengan usia muda. Pembedahan Emergensi, lokasi pembedahan dan status
pasien (ASA) akan meningkatkan resiko dilakukan anesthesia. Operasi dihubungkan
dengan peringkatan resiko perioperatif terhadap mortalitas dan morbiditas pada pasien-
pasien tua termasuk operasi thorak, operasi intraperitonial (terutama bedah colon) dan
bedah vaskular (pembuluh darah besar). Seperti pada pasien pediatrik, penanganan
anestesi yang optimal pada pasien geriatric tergantung pada mengerti atau pahamnya
terhadap perubahan normal dari fisiologi, anatomi, dan respon terhadap farmakologi
suatu obat.14
Pada kenyataannya, banyak sekali persamaan antara pasien tua dan pasien
pediatrik. Yaitu :
3
Dibandingkan dengan pasien pediatrik, bagaimanapun juga orang yang telah tua
mempelihatkan variasi range yang besar pada parameter tersebut. Frekuensi yang relatif
tinggi terhadap gangguan fisiologi yang serius pada orang tua menjadi hal yang utama
dalam mengevaluasi preoperative. Perubahan fisiologis dapat mempengaruhi hasil
operasi tetapi penyakit penyerta lebih berperan sebagai faktor risiko.
- Secara umum pada usia lanjut terjadi penurunan cairan tubuh total dan lean body mass
dan juga menurunnya respons regulasi termal, dengan akibat mudah terjadi intoksikasi
obat dan juga mudah terjadi hipotermi.
- Sistem saraf. Masa otak menurun sesuai dengan usia; neuron yang berkurang
menonjol di kortek cerebral, terutama lobus frontal. CBF menurun sekitar 10 – 20%
sesuai dengan berkurangnya sel saraf. Ini berhubungan erat dengan metabolisme ;
autoregulasi masih baik. Neuron menurun dalam ukuran dan kehilangan beberapa
kompletisitas dari cabang-cabang dendrit dan jumlah sinaps. Pembentukan beberapa
neurontransmiter seperti dopamin dan sejumlah reseptor berkurang. Ikatan
Serotonergic, adrenergic dan γ amino-buteric acid (GABA) juga berkurang. Jumlah
sel Astrocyt dan sel mikroglia meningkat. Degradasi sel-sel saraf perifer
mengakibatkan panjangnya kecepatan konduksi dan atropi dari otot skeletal. Penuaan
dihubungkan dengan peningkatan threshol / ambang dari hampir semua sensorik,
termasuk sentuh, sensasi temperatur, propioseptif, pendengaran dan penglihatan.
- Pada kulit: terjadi reepitelisasi yang melambat dan juga vaskularisasi berkurang
sehingga penyembuhan luka lebih lama.
4
- Paru dan sistem pernafasan: elastisitas jaringan paru berkurang, kontraktilitas
dinding dada menurun, meningkatnya ketidak serasian antara ventilasi dan perfusi,
sehingga mengganggu mekanisme ventilasi, dengan akibat menurunnya kapasitas
vital dan cadangan paru, meningkatnya pernafasan dia-fragma, jalan nafas menyempit
dan terjadilah hipoksemia. Menurunnya respons terhadap hiperkapnia, sehingga dapat
terjadi gagal nafas. Proteksi jalan nafas yaitu batuk, pembersihan mucociliary
berkurang, sehingga berisiko terjadi infeksi dan aspirasi.
- Ginjal: jumlah nefron berkurang, sehingga laju filtrasi glomerulus (LFG) menurun,
dengan akibat mudah terjadi intoksikasi obat. Respons terhadap kekurangan Na
menurun, sehingga berisiko terjadi dehidrasi. Kemampuan mengeluarkan garam dan
air berkurang, dapat terjadi overload cairan dan juga menyebabkan kadar
hiponatremia. Ambang rangsang glukosuria meninggi, sehingga glukosa urin tidak
dapat dipercaya. Produksi kreatinin menurun karena berkurangnya massa otot,
sehingga meskipun kreatinin serum normal, tetapi LFG telah menurun.
- Hati: aliran darah dan oksidasi mikrosomal berkurang, sehingga fungsi metabolisme
obat juga menurun.
- Sistem imun: fungsi sel T terganggu dan terjadi involusi kelenjar timus, dengan
akibat risiko infeksi.
5
servikal dapat membatasi ekstensi leher yang berpotensial menyebabkan kesulitan
dilakukannya intubasi.
Penurunan yang progresive pada masa otot dan meningkatnya lemak tubuh (lebih
sering pada wanita) menyebabkan menurunnya jumlah air dalam tubuh (total body
water). Penurunan volume distribusi dari obat yang larut dalam air dapat menyebabkan
konsentrasinya dalam plasma meningkat. Sebaliknya, meningkatnya volme distribusi
obat-obat yang larut dalam lemak dapat menyebabkan konsentrasi dalam plasma menjadi
sedikit. Perubahan volume distribuís ini mempengaruhi eliminase – waktu paruh nya.
Jika obat dengan volume distribusinya bertambah maka eliminasi – waktu paruh akan
memanjang, kecuali clearence rata-ratanya juga meningkat. Tetapi, karena fungsi ginjal
dan hati menurun sesuai dengan usia, penurunan clearence ini memperpanjang durasi
kerja dari banyak obat. Peneliti mengatakan bahwa tak sama dengan orang sakit, orang
sehat, aktif, pasien tua mempunyai volume plasma yang bisa sedikit atau bahkan tidak
ada perubahan sama sekali. Distribusi dan eliminasi juga dipengaruhi oleh perubahan
protein binding dalam plasma. Albumin yang cenderung berikatan dengan obat yang
besifat asam (spt. Barbiturat, Benzodiazepin, agonis opioit), biasanya menurun sesuai
dengan usia. Peningkatan ikatan α1-acid gycoprotein dengan bahan dasar obat (spt.
Anesthesi local). Ikatan obat – protein tidak dapat berinteraksi dengan reseptor di end-
organ dan tidak dapat dimetabolisme atau diekskresikan.
6
terjadinya efek samping dan perpanjangan durasi obat; Short acting agent / obat dengan
cara kerja yang singkat seperti propofol, desfluran, remifentanyl, dan suksinilkolin
mungkin bermanfaat sekali pada pasien yang sudah tua. Obat-obat yang tidak signifikan
tergantung terhadap fungsi hati atau ginjal atau aliran darah seperti mivacurium,
atracurium dan cisatracurium juga bermanfaat
B. DIABETES MELITUS
Diabetes mellitus adalah penyakit kronik yang disebabkan oleh defisiensi insulin
ditandai dengan peningkatan kadar glukosa dalam plasma. Diabetes mellitus dapat
diketahui dengan adanya gejala yang timbul sebagai akibat hiperglikemia seperti pofiuria,
polidifsia, polifagia, penurunan berat badan, gangguan kesadaran, ketosis dan gangguan
degeneratif (neuropati, retinopati, nefropati). WHO merekomendasikan bahwa diagnosis
diabetes mellitus dibuat jika kadar glukosa plasma sewaktu> 11,1 mmol/L atau 200
mg/dl (darah vena > 10,0 mmol/L atau 180 mg/dl). Diabetes mellitus dapat juga
didiagnosis bila kadar glukosa plasma puasa > 7,0 mmol/L (126 mg/dl) dan tes kedua
yang serupa atau tes toleransi glukosa oral memberikan .hasil pada batas diabetes.
Teknik anestesia, terutama dengan penggunaan spinal, epidural, spiangnik dan blokade
regional yang lain, dapat mengatur sekresi hormon katabolik dan sekresi insulin residual.
Peningkatan sirkulasi glukosa perioperatif, konsentrasi epinefrin dan kortisol yang
dijumpai pada pasien non diabetik yang timbul akibat stres pembedahan dengan anestesia
umum dihambat oleh anestesia epidural. Infus phentolamine perioperatif, suatu
penghambat kompetitif reseptor a-adrenergik, menurunkan respon gula darah terhadap
pembedahan dengan menghilangkan penekanan sekresi insulin secara parstal.7
Tidak ada bukti bahwa anestesia regional sendiri, atau kombinasi dengan
anestesia umum memberikan banyak keuntungan pada pasien diabetes yang dilakukan
pembedahan dalam hal mortalitas dan komplikasi mayor. Anestesia regional dapat
memberikan risiko yang lebih besar pada pasien diabetes dengan neuropati autonomik.
Pembedahan pada penderita DM tipe II tidak meningkatkan risiko, sehingga hanya
membutuhkan sedikit perubahan terapi yang sudah ada sebelumnya. Tujuan utama dari
management gula darah intraoperatif adalah menghindari terjadinya hipoglikemi. Target
umum untuk mempertahankan gula darah operatif adalah 120 – 180 mg/dL. target gula
7
darah untuk pembedahan adalah 90 – 126 mg/dL dengan rasional angka kematian
menurun, lama rawat inap memendek dan infeksi lebih rendah. Untuk bedah yang relatif
kecil, jangan diberikan obat anti diabetes oral kerja pendek pada hari operasi, dan obat
kerja lama 2 hari sebelum pembedahan. Untuk bedah besar, dosis kecil insulin mungkin
dibutuhkan untuk mengontrol kadar gula darah dan glikosuria.13
C. ANESTESI REGIONAL11
a. Definisi
Anestesi regional adalah hambatan impuls nyeri pada bagian tubuh sementara pada
impuls saraf sensorik, sehingga impuls nyeri dari satu bagian tubuh diblokir untuk
sementara. Fungsi motorik juga dapat terpengaruh sebagian atau seluruhnya.
8
D. ANESTESI SPINAL
a. Defenisi
Anestesi spinal (intratekal, intradural, subdural, subarachnoid) ialah pemberian
obat anestesi lokal kedalam ruang subaraknoid. Anestesia spinal diperoleh dengan
cara menyuntikan anestesi lokal kedalam ruang subaracnoid. Teknik ini sederhana,
cukup efektif dan mudah dikerjakan.1
Kontraindikasi :
Kontra indikasi pada teknik anestesi subarakhnoid blok terbagi menjadi dua yaitu
kontra indikasi absolut dan relatif.
Kontraindikasi absolut:
9
Infeksi pada tempat suntikan: infeksi pada sekitar tempat suntikan bisa
menyebabkan penyebaran kuman ke dalam rongga subdural.
Hipovolemia berat karena dehidrasi, perdarahan, muntah ataupun diare: karena
pada anestesi spinal bisa memicu terjadinya hipovolemia.
Koagulapatia atau mendapat terapi koagulan.
Tekanan intrakranial meningkat: dengan memasukkan obat ke dalam rongga
subarakhnoid, maka dapat semakin menambah tinggi tekanan intrakranial dan
dapat menimbulkan komplikasi neurologis.
Fasilitas resusitasi dan obat-obatan yang minim: pada anestesi spinal bisa terjadi
komplikasi seperti blok total, reaksi alergi dan lain-lain, maka harus dipersiapkan
fasilitas dan obat emergensi lainnya.
Kurang pengalaman tanpa didampingi konsulen anestesi: hal ini dapat
menyebabkan kesalahan seperti misalnya cedera pada medulla spinalis,
keterampilan dokter anestesi sangat penting.
Pasien menolak.
Infeksi sistemik: jika terjadi infeksi sistemik perlu diperhatikan apakah diperlukan
pemberian antibiotik. Perlu dipikirkan kemungkinan penyebaran infeksi.
Infeksi sekitar tempat suntikan: bila ada infeksi di sekitar tempat suntikan bisa
dipilih lokasi yang lebih kranial atau lebih kaudal.
Kelainan neurologis: perlu dinilai kelainan neurologis sebelumnya agar tidak
membingungkan antara efek anestesi dan defisit neurologis yang sudah ada pada
pasien sebelumnya.
Kelainan psikis
Bedah lama: masa kerja obat anestesi lokal adalah kurang lebih 90-120 menit,
bisa ditambah dengan memberi adjuvant dan durasi bisa bertahan hingga 150
menit.
Penyakit jantung: perlu dipertimbangkan jika terjadi komplikasi ke arah jantung
akibat efek obat anestesi lokal.
10
Hipovolemia ringan: sesuai prinsip obat anestesi, memantau terjadinya
hipovolemia bisa diatasi dengan pemberian obat-obatan atau cairan.
Nyeri punggung kronik: kemungkinan pasien akan sulit saat diposisikan. Hal ini
berakibat sulitnya proses penusukan dan apabila dilakukan berulang-ulang, dapat
membuat pasien tidak nyaman.
2. Pemeriksaan fisik
3. Tidak dijumpai kelainan spesifik seperti kelainan tulang punggung.
4. Pemeriksaan laboratorium anjuran
5. Hemoglobin, trombosit, PT (prothrombine time) dan APTT (activated partial
thromboplastine time)
11
penyebabnya.
ASA IV : Pasien dengan gangguan sistemik berat yang mengancam jiwa,
yang tidak selalu dapat dikoreksi dengan pembedahan. Contoh
pasien dengan dekompensasi jantung.
ASA V : Pasien yang hanya mempunyai kemungkinan kecil untuk hidup.
Klasifikasi ASA juga dipakai pada pembedahan darurat dengan mencantumkan
tanda darurat (E= Emergency), misalnya ASA IE atau IIE.
1. Peralatan monitor
Tekanan darah, nadi, oksimetri denyut dan EKG.
12
yang ideal sebaiknya tidak bersifat iritan terhadap jaringan saraf. Batas keamanan harus lebar
dan onset dari obat harus sesingkat mungkin dan masa kerja harus cukup lama. Zat anestesi lokal
ini juga harus larut dalam air.
Tabel 1
Obat-obat Anestesi Spinal
Berat jenis cairan cerebrospinalis pada 37 derajat celcius adalah 1.003-1.008. Anastetik lokal
dengan berat jenis sama dengan LCS disebut isobarik. Anastetik lokal dengan berat jenis lebih
besar dari LCS disebut hiperbarik. Anastetik lokal dengan berat jenis lebih kecil dari LCS
disebut hipobarik.
1. Isobarik: digunakan untuk infiltrasi lokal, blok lapangan, blok saraf, blok plexus dan blok
epidural
2. Hipobarik: digunakan untuk analgesik regional intravena. Konsentrasi obat dibuat
separuh dari konsentrasi isobarik.
3. Hiperbarik: digunakan khusus untuk injeksi intrathecal atau blok subarachnoid.
Konsentrasi obat dibuat lebih tinggi
13
3. Bupivakaine (markaine) 0.5% dlm air: berat jenis 1.005, sifat isobarik, dosis 5-20mg (1-
4ml)
4. Bupivakaine (markaine) 0.5% dlm dextrose 8.25%: berat jenis 1.027, sifat hiperbarik,
dosis 5-15mg (1-3ml)
a. Lidokain
Lidokain (durasi pendek – intermediate spinal anestesia) dengan dosis 20 – 100 mg
seringkali dipilih untuk kasus-kasus yang diperkirakan memakan waktu 75 menit atau
kurang. Lidokain umumnya dipakai sebagai larutan 5 % dalam 7,5 % dektrose meskipun
1,5 dan 2 % lidokain juga berguna. Penambahan epinephrine 0,2 mg memanjangkan
anestesia 15 – 40 menit, tergantung dosis anestesi lokal yang dipakai, tetapi berhubungan
dengan blok motoris yang memanjang secara signifikan dan miksi yang terlambat.
Fentanyl 15 – 25 ugr adalah aditif lain yang berguna. Menimbulkan reduksi substansial
pada dosis lidokain (untuk menimbulkan recovery lebih cepat dan insiden transient
neurologic simpton yang lebih rendah) dan efektif memblok nyeri torniquet pada
ekstremitas bawah.
b. Bupivakain HCl
Lebih kuat dan lama kerjanya 2 – 3 x lebih lama dibanding lidokain atau mepivakain.
Onset anesthesi lebih lambat dibanding lidokain.
Ikatan dengan HCl mudah larut dalam air.
Pada konsentrasi rendah blok motorik kurang adekuat. Sifat hambatan sensoris lebih
dominan dibandingkan dengan hambatan motorisnya.
Ekskresi melalui ginjal sebagian kecil dalam bentuk utuh, dan sebagian besar dalam
bentuk metabolitnya.
Konsentrasi 0,25 – 0,75 %. Dosis 1 – 2 mg/Kg BB.
Dosis maksimal untuk satu kali pemberian 200 – 500 mg.
14
150 menit, meskipun durasi dari bupivakain tampaknya memiliki deviasi yang lebih lebar
daripada standar, bila dibandingkan dengan lidokain.
Spinal anestesia umumnya dilakukan dengan 0,75% bupivacaine dalam 8,25 % dekstrosa.
Larutan bupivakain 0,5 % tanpa dekstrosa adalah isobarik atau sedikit hipobarik dan
umumnya dipakai untuk pembedahan ekstremitas bawah. Epinephrine memanjangkan
blok sensoris dan motoris kira-kira 30 – 45 menit saat ditambahkan pada bupivakain
dosis kecil (7,5 mg). Fentanyl juga dipakai sebagai adjuvant untuk mengurangi dosis
bupivakain (sehingga hipotensi lebih sedikit) dan meningkatkan analgesia.
c. Tetrakaine
Tetrakaine (durasi panjang spinal anestesia) dengan dosis 4 – 12 mg dipakai untuk
pembedahan dengan durasi 3 – 4 jam. Tetracaine merupakan salah satu dari agen spinal
anestesi tertua. Tersedia dalam sediaan komersial sebagai kristal niphanoid (20mg) atau
larutan 1 %. Tetracaine kurang stabil pada bentuk larutan cair (daripada lidokain) dan
menghasilkan tetracaine ampul dengan potensi rendah karena sebagian obat didegradasi
selama penyimpanan. Tetracaine adalah unik diantara agen spinal anestesi lainnya,
karena keberhasilan untuk memblok sangat tergantung dengan coadministration
epinephrine.
Kegagalan blok hampir 35 % pada plain tetracaine. Tetracaine & epinephrine adalah
spinal anestetik agent paling lama, menghasilkan anestesia pada abdomen bawah kira-
kira 4 jam dan ekstremitas bawah 5 – 6 jam.
15
b. Sistem Kardiovaskuler : hipotensi, hipertensi, syok, bahkan cardiac arrest
2. Gejala Lokal
a. Kerusakan saraf
b. Gangguan otot
3. Gejala Lain
a. Alergi
b. Methemoglobinemia
c. Adiksi
16
terjadi reaksi pelepasan histamin seperti gatal, edema, eritema. Apabila tidak sengaja
masuk ke pembuluh darah, dapat menyebabkan reaksi anafilaktik.
5. Sistem muskular: obat anestetik lokal bersifat miotoksik. Apabila disuntikkan langsung
ke dalam otot maka dapat menimbulkan kontraksi yang tidak teratur, bisa menyebabkan
nekrosis otot.
6. Sistem hematologi: obat anestetik dapat menyebabkan gangguan pembekuan darah. Jika
terjadi perdarahan maka membutuhkan penekanan yang lebih lama saat menggunakan
obat anestesi lokal.
Dalam penggunaan obat anestesi lokal, dapat ditambahkan dengan zat lain atau adjuvant.
Zat tersebut mempengaruhi kerja dari obat anestesi lokal khususnya pada anestesi spinal.
Tambahan yang sering dipakai adalah :
1. Vasokonstriktor: Vasokonstriktor sebagai adjuvant pada anestesi spinal dapat berfungsi
sebagai penambah durasi. Hal ini didasari oleh mekanisme kerja obat anestesi lokal di
ruang subaraknoid. Obat anestesi lokal dimetabolisme lambat di dalam rongga
subarakhnoid. Dan proses pengeluarannya sangat bergantung kepada pengeluaran oleh
vena dan saluran limfe. Penambahan obat vasokonstriktor bertujuan memperlambat
clearance obat dari rongga subarakhnoid sehingga masa kerja obat menjadi lebih lama.
2. Obat Analgesik Opioid: digunakan sebagai adjuvant untuk mempercepat onset terjadinya
fase anestetik pada anestesi spinal. Analgesik opioid misalnya fentanyl adalah obat yang
sangat cepat larut dalam lemak. Hal ini sejalan dengan struktur pembentuk saraf adalah
lemak. Sehingga penyerapan obat anestesi lokal menjadi semakin cepat. Penelitian juga
menyatakan bahwa penambahan analgesik opioid pada anestesi spinal menambah efek
anestesi post-operasi.
3. Klonidin: Pemberian klonidin sebagai adjuvant pada anestesi spinal dapat menambah
durasi pada anestesi. Namun perlu diperhatikan karena klonidin adalah obat golongan
Alfa 2 Agonis, maka harus diwaspadai terjadinya hipotensi akibat vasodilatasi dan
penurunan heart rate.
17
TEKNIK ANESTESI SPINAL
Posisi duduk atau posisi tidur lateral dekubitus dengan tusukan pada garis tengah ialah posisi
yang paling sering dikerjakan. Biasanya dikerjakan di atas meja operasi tanpa dipindah lagi dan
hanya diperlukan sedikit perubahan posisi pasien.
1. Pasang IV line. Berikan Infus Dextrosa/NaCl/RL sebanyak 500 - 1500 ml (preloading).
2. Oksigen diberikan dengan kanul hidung 2-4 L/menit
3. Setelah dipasang alat monitor, pasien diposisikan dengan baik. Dapat menggunakan 2
jenis posisi yaitu posisi duduk dan berbaring lateral.
4. Raba krista. Perpotongan antara garis yang menghubungkan kedua krista iliaka dengan
tulang punggung ialah L4 atau L4-L5.
5. Palpasi di garis tengah akan membantu untuk mengidentifikasi ligament interspinous.
6. Cari ruang interspinous cocok. Pada pasien obesitas anda mungkin harus menekan cukup
keras untuk merasakan proses spinosus.
7. Sterilkan tempat tusukan dengan betadine atau alkohol.
8. Beri anestesi lokal pada tempat tusukan, misalnya dengan lidokain 1-2% 2-3ml
9. Cara tusukan adalah median atau paramedian. Untuk jarum spinal besar 22G, 23G atau
25G dapat langsung digunakan. Sedangkan untuk jarum kecil 27G atau 29G dianjurkan
menggunakan penuntun jarum (introducer), yaitu jarum suntik biasa yaitu jarum suntik
biasa 10cc. Jarum akan menembus kutis, subkutis, ligamentum supraspinosum,
ligamentum interspinosum, ligamentum flavum, epidural, duramater, subarachnoid.
18
Setelah jarum spinal dicabut, cairan serebrospinal akan menetes keluar. Selanjutnya
disuntikkan obat analgesik ke dalam ruang arakhnoid tersebut.
10. Teknik penusukan bisa dilakukan dengan dua pendekatan yaitu median dan paramedian.
Pada teknik medial, penusukan dilakukan tepat di garis tengah dari sumbu tulang
belakang. Pada tusukan paramedial, tusukan dilakukan 1,5cm lateral dari garis tengah dan
dilakukan tusukan sedikit dimiringkan ke kaudal.
Setelah melakukan penusukan, tindakan berikutnya adalah melakukan monitoring. Tinggi
anestesi dapat dinilai dengan memberikan rangsang pada dermatom di kulit. Penilaian
berikutnya yang sangat bermakna adalah fungsi motorik pasien dimana pasien merasa
kakinya tidak bisa digerakkan, kaki terasa hangat, kesemutan, dan tidak terasa saat diberikan
rangsang. Hal yang perlu diperhatikan lagi adalah pernapasan, tekanan darah dan denyut
nadi. Tekanan darah bisa turun drastis akibat spinal anestesi, terutama terjadi pada orang tua
yang belum diberikan loading cairan. Hal itu dapat kita sadari dengan melihat monitor dan
keadaan umum pasien. Tekanan darah pasien akan turun, kulit menjadi pucat, pusing, mual,
berkeringat.
19
berlangsung lama. Efedrin meningkatkan curah jantung, tekanan darah, dan nadi melalui
stimulasi adrenergik alfa dan beta. meningkatkan aliran darah koroner dan skelet dan
menimbulkan bronkhodilatasi melalui stimulasi reseptor beta 2.
2. Bradikardia : dapat terjadi tanpa disertai hipotensi atau hipoksia, terjadi akibat blok
sampai T-2
3. Hipoventilasi : akibat paralisis saraf frenikus atau hipoperfusi pusat kendali nafas
4. Trauma pembuluh saraf
5. Trauma saraf
6. Mual-muntah : untuk mencegah mual muntah pasien dapat diberikan antiemetic berupa
ondancentron. Mekanisme kerja obat ini sebenarnya belum diketahui dengan pasti.
Meskipun demikian yang saat ini sudah diketahui adalah bahwa Ondansetron bekerja
sebagai antagonis selektif dan bersifat kompetitif pada reseptor 5HT3, dengan cara
menghambat aktivasi aferen-aferen vagal sehingga menekan terjadinya refleks muntah.
7. Gangguan pendengaran
8. Blok spinal tinggi atau spinal total
20
TERAPI CAIRAN
Prinsip dasar terapi cairan adalah cairan yang diberikan harus mendekati jumlah dan komposisi
cairan yang hilang. Terapi cairan perioperatif bertujuan untuk :
1. Memenuhi kebutuhan cairan, elektrolit dan darah yang hilang selama operasi.
2. Mengatasi syok dan kelainan yang ditimbulkan karena terapi yang diberikan.
1. Pra operasi
Dapat terjadi defisit cairan karena kurang makan, puasa, muntah, penghisapan isi lambung,
penumpukan cairan pada ruang ketiga seperti pada ileus obstruktif, perdarahan, luka bakar
dan lain-lain. Kebutuhan cairan untuk dewasa dalam 24 jam adalah 2 ml / kg BB / jam.
Setiap kenaikan suhu 10 Celcius kebutuhan cairan bertambah 10-15 %.
2. Selama operasi
Dapat terjadi kehilangan cairan karena proses operasi. Kebutuhan cairan pada dewasa untuk
operasi :
- Ringan = 4 ml / kgBB/jam
- Sedang = 6 ml / kgBB/jam
- Berat = 8 ml / kgBB/jam
Bila terjadi perdarahan selama operasi, di mana perdarahan kurang dari 10 % EBV maka
cukup digantikan dengan cairan kristaloid sebanyak 3 kali volume darah yang hilang.
Apabila perdarahan lebih dari 10 % maka dapat dipertimbangkan pemberian plasma / koloid
/ dekstran dengan dosis 1-2 kali darah yang hilang.
3. Setelah operasi
Pemberian cairan pasca operasi ditentukan berdasarkan defisit cairan selama operasi
ditambah kebutuhan sehari-hari pasien.
21
b. Na : 1 – 2 mEq/kgBB/hari
c. K : 1 mEq/kgBB/hari.
Kebutuhan kalori rata – rata/ kgBB orang dewasa, dipengaruhi oleh faktor trauma atau
stress.
MONITORING POSTOPERATIF
Proses monitoring sangat membantu dalam mempertahankan kondisi pasien, oleh karena itu
perlu standard monitoring intraoperatif yang diadopsi dari ASA (standard monitor berikut ini
adalah standard minimal monitoring):
Parameter yang biasanya digunakan untuk monitor pasien selama anestesi adalah:
E. HERNIA
a. Definisi
Hernia berasal dari kata latin yang berarti rupture. Hernia didefinisikan sebagai
suatu penonjolan abnormal organ atau jaringan melalui daerah yang lemah (defek) yang
diliputi oleh dinding. Meskipun hernia dapat terjadi di berbagai tempat dari tubuh
kebanyakan defek melibatkan dinding abdomen pada umumnya daerah inguinal.11
Hernia ingunalis dibagi menjadi dua yaitu Hernia Ingunalis Lateralis (HIL) dan
Hernia Ingunalis Medialis. Hernia inguinalis lateralis mempunyai nama lain yaitu hernia
indirecta yang artinya keluarnya tidak langsung menembus dinding abdomen. Selain
hernia indirek nama yang lain adalah Hernia oblique yang artinya kanal yang berjalan
miring dari lateral atas ke medial bawah. Hernia ingunalis lateralis sendiri mempunyai
22
arti pintu keluarnya terletak disebelah lateral Vasa epigastrica inferior. Hernia inguinalis
lateralis (HIL) terjadi disebabkan kelainan kongenital meskipun ada yang didapat.12
b. Etiologi
Penyebab terjadinya hernia inguinalis masih diliputi berbagai kontroversi, tetapi
diyakini ada tiga penyebab, yaitu:2
1. Peninggian tekanan intra abdomen yang berulang.
- Overweight
- Mengangkat barang yang berat yang tidak sesuai dengan ukuran badan
- Sering mengedan karena adanya gangguan konstipasi atau gangguan saluran
kencing
- Adanya tumor yang mengakibatkan sumbatan usus
- Batuk yang kronis disebabkan infeksi, bronkitis, asma, emfisema, alergi
- Kehamilan
- Ascites
2. Adanya kelemahan jaringan /otot.
3. Tersedianya kantong.
23
Tanda
Pada pemeriksaan hernia pasien harus diperiksa dalam keadaan berdiri dan
berbaring dan juga diminta untuk batuk pada hernia yang kecil yang masih sulit untuk
dilihat. Kita dapat mengetahui besarnya cincin eksternal dengan cara memasukan jari
ke annulus jika cincinnya kecil jari tidak dapat masuk ke kanalis inguinalis dan akan
sangat sulit untuk menentukan pulsasi hernia yang sebenarnya pada saat batuk. Lain
halnya pada cincin yang lebar hernia dapat dengan jelas terlihat dan jaringan tissue
dapat dirasakan pada tonjolan di kanalis ingunalis pada saat batuk dan hernia dapat
didiagnosa.8
Perbedaan hil dan him pada pemeriksaan fisik sangat sulit dlakukan dan ini
tidak terlalu penting mengingat groin hernia harus dioperasi tanpa melihat jenisnya.
Hernia ingunalis pada masing-masing jenis pada umumnya memberikan gambaran
yang sama .hernia yang turun hingga ke skrotum hampir sering merupakan hernia
ingunalis lateralis.8
Pada inspeksi, saat pasien berdiri dan tegang, pada hernia direct kebanyakan
akan terlihat simetris, dengan tonjolan yang sirkuler di cicin eksterna. Tonjolan akan
menghilang pada saat pasien berbaring.8
Pada palpasi, dinding posterior kanalis ingunalis akan terasa dan adanya
tahanan pada hernia inguanalis lateralis. Sedangkan pada hernia direct tidak akan
terasa dan tidak adanya tahanan pada dinding posterior kanalis ingunalis. Jika pasien
diminta untuk batuk pada pemeriksaan jari dimasukan ke annulus dan tonjolan terasa
pada sisi jari maka itu hernia direct. Jika terasa pada ujung jari maka itu hernia
ingunalis lateralis. Penekanan melalui cincin interna ketika pasien mengedan juga
dapat membedakan hernia direct dan hernia inguinalis lateralis. Pada hernia direct
benjolan akan terasa pada bagian depan melewati Trigonum Hesselbach’s dan
kebalikannya pada hernia ingunalis lateralis. Jika hernianya besar maka perbedaan
dan hubungan secara anatomi antara cincin dan kanalis inguinalis sulit dibedakan.
Pada kebanyakan pasien, jenis hernia inguinal tidak dapat ditegakkan secara akurat
sebelum dilakukan operasi.8
24
BAB III
LAPORAN KASUS
A. IDENTITAS
Nama : Tn. S
Umur : 48 tahun
Tempat Tanggal Lahir : Ujungpandang, 04 Oktober1970
Jenis Kelamin : Laki-laki
Alamat : Pasir II
Pekerjaan : Swasta
Tinggi Badan : 165 cm
Berat Badan : 50 kg
Tanggal MRS : 2 Oktober 2018
Tanggal Operasi : 04 Oktober 2018
Nomor Rekam Medik : 36 12 28
B. ANAMNESIS
Riwayat penyakit
Pasien datang ke Poli Bedah RSUD Dok II dengan keluhan terdapat benjolan pada
lipatan paha kanan. Benjolan ini dirasakan sejak 1 tahun terakhir, benjolan hilang timbul,
benjolan timbul saat duduk dan berdiri dan hilang saat berbaring. Pasien sehari-hari
bekerja di toko dan sering mengangkat galon dan barang berat lainnya, nyeri disangkal.
Pasien baru pertama kali menderita penyakit ini. Pasien sedang mengonsumsi obat
diabetes sejak 2 tahun yaitu obat metformin dan insulin. Mual (-), muntah (-), demam (-),
batuk (-), BAK normal, BAB normal, makan minum baik.
25
4. Riwayat penyakit dahulu
6. Riwayat Alergi
- Riwayat alergi makanan : disangkal
- Riwayat alergi minuman : disangkal
- Riwayat alergi obat : disangkal
7. Riwayat Kebiasaan
Merokok (-) alkohol (-)
26
C. PREOPERATIF
27
Pemeriksaan Penunjang
- Darah lengkap
- Kimia Darah
28
E. KESIMPULAN KONSUL ANESTESI
- Status PS ASA II
- Informed Consent dan SIO
- Puasa 8 jam pre operasi
- Periksa Gula darah puasa
- Acc. Anestesi
29
(injeksi bupivakain HCl 0,5% 20mg),
kemudian pasien dibaringkan.
Pernafasan Spontan respirasi dengan O2 nasal 2-3 liter
per menit
Posisi Supine
Infus Tangan kanan terpasang IV line abocath 18 G
dengan cairan Ringer Lactat
Penyulit selama pembedahan (-)
Obat yang digunakan
Premedikasi (-)
Induksi dan Maintanance Bupivakain HCl 0,5%
Medikasi Durante Operasi - Ranitidine 50mg
- Ondancentron 4mg
- Antrain 1gr
Keadaan akhir pembedahan TD 110/70; Nadi 75x/m regular, kuat angkat;
RR: 20x/menit; SpO2: 100%
30
G. TERAPI CAIRAN
Cairan yang Dibutuhkan Aktual
Pre - BB: 50 Kg Input:
Operasi 1. Maintenance : IVFD RL (diruangan) 1500 cc
- Kebutuhan cairan harian 40-50 IVFD RL (diruangan-OK) 350 cc
cc/kgBB/hari 1850 cc
40 cc x 50 kg = 2000 cc/jam
50 cc x 50 kg = 2500 cc/jam Output:
Jadi, total = 2000 cc – 2500 cc/jam Urin di OK 300 cc
- Kebutuhan cairan per jam IWL 15 x 50 = 750cc/24jam 750 cc
2000 cc : 24 jam = 83 cc/jam Urin yang tidak dipantau di 900 cc
2500 cc : 24 jam = 104 cc/jam ruangan
Jadi, total kebutuhan cairan : 83-104 1950 cc
cc/jam
31
900cc. Cairan IWL pada pasien ini dalam 24 adalah 750cc. Jadi, total cairan yang keluar melalui
urin dan IWL adalah 1950cc
Balance cairan pada pasien ini adalah cairan yang masuk dikurangi dengan cairan keluar adalah -
100cc. Hal ini menunjukkan bahwa adanya pengurangan cairan dalam tubuh yaitu jumlah cairan
yang keluar lebih banyak dibanding cairan yang masuk dalam tubuh.
Kebutuhan cairan durante operasi 1 jam Input: 800cc
1. Maintenance Kristaloid
Kebutuhan cairan per jam 83 cc – 104 IVFD RL (Kristaloid) 300 cc
cc/jam Koloid
Untuk 1 jam = 83 cc – 104 cc Gelafusal (Koloid) 500 cc
32
2. Replacment : koloid masih ada dalam intravascular
a. Resusitasi perdarahan selama operasi yang terhitung 3 – 6 jam dalam tubuh.
Estimate Blood Volume (EBV) : 70
cc/KgBB x BB =
70 cc/KgBB x 50 Kg = 3500 cc
Estimate Blood Loss (EBL):
10 % = 350 cc
20 % = 700 cc
30 % = 1050 cc
Lama waktu durante operasi pada pasien ini adalah 1 jam, dimana kebutuhan cairan selama 1 jam
adalah 83-104cc. Jumlah perdarahan sebanyak 150cc, dengan perhitungan perdarahan < 10% EBL
masuk dalam perdarahan kelas I, dapat diganti dengan : Kristaloid 2-4 x EBL : (2x150 cc) s/d
(4x150cc) = 300cc - 600cc dan koloid 1 x EBL(1x150cc) = 150cc. Pada kasus ini adalah operasi
sedang dengan perkiraan jumlah penguapan sebanyak 300 – 400cc. Jadi kebutuhan cairan durante
operasi adalah 833 – 1254cc, dimana cairan yang masuk sebanyak 800 cc.
Jumlah cairan yang keluar melalui urin yaitu 400cc, perdarahan 150cc dan penguapan operasi
yang terjadi sekitar 300cc, jadi total cairan keluar 850cc.
33
Monitoring durante operasi :
09.30 130/74 85
09.40 128/78 85
09.50 125/72 90
10.00 120/68 82
10.10 125/76 83
10.20 125/70 74
10.30 127/75 70
10.50 127/70 74
34
Chart Title
160
140
120
100
80
60
40
20
0
8:50 9:05 9:20 9:20 9:30 9:40 9:50 10:00 10:10 10:20 10:30 10:40 10:50
POST - OPERASI
Pasca anestesi dilakukan pemulihan dan perawatan pasca operasi dan anestesi yang
biasanya dilakukan di ruang pulih sadar atau recovery room yaitu ruangan untuk observasi
pasien pasca operasi atau anestesi. Ruang pulih sadar menjadi batu loncatan sebelum pasien
dipindahkan ke bangsal atau masih memerlukan perawatan intensif di ICU. Dengan demikian
pasien pasca operasi atau anestesi dapat terhindar dari komplikasi yang disebabkan karena
operasi atau pengaruh anestesinya.
Untuk memindahkan pasien dari ruang pulih sadar ke ruang perawatan perlu dilakukan
skoring tentang keadaan pasien setelah anestesi dan pembedahan. Untuk regional anestesi
digunakan skor Bromage dan skor Alderete.
35
Monitoring Post Operatif (Ruang Pemulihan)
10.50 125/82 86
10.55 129/8 85
BROMAGE SCORING
Kriteria Skor
Pada pasien ini, nilai bromage score adalah 2 yaitu mampu memfleksikan lutut tapi tidak
bisa mengangkat tungkai, jika nilai bromage >2 pasien dapat pindah ke ruangan.
36
ALDERETE SCORE
Skor total 10
37
Cairan Post Operasi
04-10-2018 jam 12.00 s/d besok pagi 08.00 (20 jam) Input :
1. Maintenance Volume cairan :
- Kebutuhan cairan harian 40-50 cc/kgBB/hari RL: 1500 cc/24 jam
40 cc x 50 kg = 2000 cc/jam
50 cc x 50 kg = 2500 cc/jam
Jadi, total = 2000 cc – 2500 cc/jam
Setelah operasi, kebutuhan cairan harian yang terhitung dari jam 12 siang hingga jam 8 pagi (20
jam), sebanyak 1000 – 2000 cc. Terapi cairan yang diberikan adalah cairan kristaloid RL
1500cc/24 jam, ketika sudah stabil pasien dapat makan dan minum untuk menambah kebutuhan
cairan harian.
38
Instruksi Post Anestesi
FOLLOW UP RUANGAN
Ha Tanggal Follow Up
5/10-18 S : Nyeri bekas operasi (+), mual (-), muntah (-), pusing (-)
P:
39
B1 Airway: Bebas, Malampati score I, gigi goyah (-)
(breathing) Breathing : napas spontan, thoraks simetris, ikut gerak
napas, RR: 20 x/m, retraksi interkosta (-), cuping hidung
(-)
perkusi: sonor, suara napas vesikuler+/+, ronkhi-/-,
wheezing -/-
B2 Perfusi: hangat, kering, merah, Capilary Refill Time < 2
(blood) detik
Nyeri dada (-), BJ I-II regular, murmur (-), gallop (-)
TD 120/70mmHg ; Nadi 85x/menit regular, kuat angkat,
Suhu 36,8C
Pemeriksaan penunjang: Hb 11,9 gr/dl, Hct 33,7%,
Leukosit 7.310/l, Trombosit 321.000/mm3
B3 Kesadaran Compos Mentis, pupil isokor, refleks cahaya +/+,
(brain) riwayat kejang (-), riwayat pingsan (-)
Produksi urine dipantau melalui kateter, produksi (+),
B4 warna kuning jernih, urin 30cc/jam
(bladder) Pemeriksaan penunjang: BUN 11,5mg/dl, Kalium darah
4,75mEq/L, Kreatinin 0,73 mg/dL
Datar, supel, peristaltik usus (+), hepar/lien tidak teraba ,
B5 BAB (+), mual (-), muntah (-)
(bowel) Pemeriksaan penunjang: GDS 125 ul/L, SGOT 24,6 u/L,
SGPT 24,3 u/L
B6 Mobilisasi baik, motorik 5/5
(bone) Edema ekstremitas (-/-), fraktur (-), ulkus (-/-)
6/10-2018 S : Nyeri bekas operasi berkurang, mual (-), muntah (-), pusing (-)
O: KU : baik . Kes : CM
P:
40
Airway: Bebas, Malampati score I, gigi goyah (-)
Breathing : napas spontan, thoraks simetris, ikut gerak
B1 napas, RR: 20 x/m, retraksi interkosta (-), cuping hidung
(breathing) (-)
perkusi: sonor, suara napas vesikuler+/+, ronkhi-/-,
wheezing -/-
Perfusi: hangat, kering, merah, Capilary Refill Time < 2
detik
Nyeri dada (-), BJ I-II regular, murmur (-), gallop (-)
B2 TD 110/70mmHg ; Nadi 82x/menit regular, kuat angkat,
(blood) Suhu 36,8C
Pemeriksaan penunjang: Hb 11,9 gr/dl, Hct 33,7%,
Leukosit 7.310/l, Trombosit 321.000/mm3, Masa
perdarahan 2’30”, Masa pembekuan 10’00”
B3 Kesadaran Compos Mentis, pupil isokor, refleks cahaya +/+,
(brain) riwayat kejang (-), riwayat pingsan (-)
Produksi urine dipantau melalui kateter, produksi (+),
B4
warna kuning jernih, urin 30cc/jam, BUN 11,5mg/dl,
(bladder)
Kalium darah 4,75mEq/L, Kreatinin 0,73 mg/dL
Datar, supel, peristaltik usus (+), hepar/lien tidak teraba ,
B5
BAB (+), mual (-), muntah (-), GDS 131 ul/L, SGOT
(bowel)
24,6 u/L, SGPT 24,3 u/L
B6 Mobilisasi baik, motorik 5/5
(bone) Edema ekstremitas (-/-), fraktur (-), ulkus (-/-)
41
BAB IV
PEMBAHASAN
Pasien ini digolongkan dalam PS ASA II karena pasien berusia 48 tahun yang masuk
dalam kategori usia lanjut middle age yang dilakukan tindakan pembedahan dengan memiliki
kelainan sistemik diabetes mellitus yang terkontrol.
Pada kasus pasien dengan diagnosis Hernia Inguinalis Medialis dilakukan herniorepair.
Teknik anestesi yang dipilih pada kasus ini adalah anestesi regional yaitu spinal anestesi. Teknik
ini dipilih karena indikasi SAB:
1. Operasi pembedahan pada bagian abdomen bawah, selain itu operasi yang dilakukan tidak
memerlukan waktu yang lama
2. Pada pasien geriatri karena teknik yang sederhana, aman, pemulihan cepat dan efek samping
minimal dibandingkan anestesi umum.
3. Pada diabetes mellitus, teknik anestesi ini dapat mengatur sekresi dari hormone katabolic dan
sekresi insulin
Pasien memiliki penyakit penyerta yaitu Diabetes Melitus tipe II dan rutin mengonsumsi
metformin dan insulin. Sebelum dilakukan tindakan operatif diperiksa gula darah sewaktu pada
pasien ini adalah 121 mg/dL dan gula darah puasa adalah 118 mg/dl. Menurut teori, target gula
darah untuk pembedahan adalah 90 – 126 mg/dL dengan rasional angka kematian menurun, lama
rawat inap memendek dan infeksi lebih rendah.
42
3. Paralisis otot pernafasan, abdominal, intercostal. Oleh karenanya, pasien dapat mengalami
kesulitan bernafas. Untuk mencegah hal tersebut, perlu pemberian oksigen yang adekuat dan
pengawasan terhadap depresi pernafasan yang mungkin terjadi.
4. Mual muntah, untuk mencegah mual mintah dapat diberikan antiemetic berupa ondancentron,
dapat menghambat aktivasi aferen vagal sehingga menekan terjadinya refleks muntah.
Pada pasien diberikan obat Ondansetron, ondancentron adalah derivat dari karbazolon
yang strukturnya berkaitan dengan antagonis reseptor serotonin dan sub tipe 5-Hidroksitriptamin
tipe 3 (5-HT3) spesifik yang tidak mempunyai efek pada aktifitas reseptor dopamin, histamine,
adrenergik dan kolinergik. Ondansetron bekerja sebagai antagonis selektif dan bersifat
kompetitif pada reseptor 5HT3, dengan cara menghambat aktivasi aferen-aferen vagal sehingga
menekan terjadinya refleks muntah.
Pada kasus pasien ini, kebutuhan cairan harian pasien dengan berat badan 50kg sekitar
2000-2500cc. Pasien puasa selama 12 jam, jumlah cairan pengganti puasa adalah 996-1248cc.
Jumlah cairan yang masuk di ruang perawatan sebanyak 1500cc kristaloid (ringer laktat),
kemudian di ruang tunggu operasi di berikan lagi cairan kristaloid sebanyak 350cc. Jadi, total
cairan yang masuk adalah 1850cc. Cairan yang keluar pada pasien ini melalui urin dan IWL.
Pasien dengan berat badan 50kg, diperkirakan cairan yang keluar melalui urin dalam 24 jam
adalah 1200cc, dimana yang terpantau saat tiba di ruang tunggu operasi adalah 300cc dan urin
yang tidak terpantau di ruangan sekitar 900cc. Cairan IWL pada pasien ini dalam 24 adalah
750cc. Jadi, total cairan yang keluar melalui urin dan IWL adalah 1950cc Balance cairan pada
pasien ini adalah cairan yang masuk dikurangi dengan cairan keluar adalah - 100cc. Hal ini
menunjukkan bahwa adanya pengurangan cairan dalam tubuh yaitu jumlah cairan yang keluar
lebih banyak dibanding cairan yang masuk dalam tubuh.
Lama waktu durante operasi pada pasien ini adalah 1 jam, dimana kebutuhan cairan
selama 1 jam adalah 83-104cc. Jumlah perdarahan sebanyak 150cc, dengan perhitungan
perdarahan < 10% EBL masuk dalam perdarahan kelas I, dapat diganti dengan : Kristaloid 2-4 x
EBL : (2x150 cc) s/d (4x150cc) = 300cc - 600cc dan koloid 1 x EBL(1x150cc) = 150cc. Pada
kasus ini adalah operasi sedang dengan perkiraan jumlah penguapan sebanyak 300 – 400cc. Jadi
kebutuhan cairan durante operasi adalah 833 – 1254cc, dimana cairan yang masuk sebanyak 800
cc.
43
Jumlah cairan yang keluar melalui urin yaitu 400cc, perdarahan 150cc dan penguapan operasi
yang terjadi sekitar 300cc, jadi total cairan keluar 850cc. Balance cairan pada pasien ini adalah -
50 cc.
Setelah operasi, kebutuhan cairan harian yang terhitung dari jam 12 siang hingga jam 8
pagi (20 jam), sebanyak 1000 – 2000 cc. Terapi cairan yang diberikan adalah cairan kristaloid
RL 1500cc/24 jam, ketika sudah stabil pasien dapat makan dan minum untuk menambah
kebutuhan cairan harian.
44
BAB V
KESIMPULAN
45