Você está na página 1de 12

ADAT LAOT, SUMBER MOTIVASI/ EDUKASI BUDAYA ADAT ACEH MEMBANGUN EKONOMI RAKYAT DAN

TANTANGAN MASA DEPAN


by Admin

Oleh: Badruzzaman Ismail, SH, M.Hum


Disampaikan pada: Gelar Tradisi Masyarakat Pesisir “Khanduri Laot Festival 2018” Sabang, 27
April- 1 Mai 2018.

1.BUDAYA ADAT ACEH, SUMBER DIMENSI MANFAAT BAGI KEHIDUPAN MASYARAKAT MASA
DULU, KINI DAN MASA DEPAN “Matei Aneuk mupat jeurat, gadoh adat pat ta mita” “Sigoe
meugantoh bak jeut keu-ubat, Dua lhee goe silap akan binasa” “Na keureuja, na peu pajoeh,
asai utoeh ta baca tanda” Ada 6 (enam) dimensi manfaat dalam Budaya Adat Aceh: Dimensi
ritualitas/agamis/ magic adalah suatu himpunan prilaku adat yang sarat dengan nilai-nilai
tatanan adat/ adat istiadat, yang berorientasi penuh kepada nilai-nilai syari’at/ Islam(setiap
upacara adat diiringi dengan doa).

Dimensi ekonomis/ berorientasi kepada kebutuhan hidup sebagai dinamika adat/ adat istiadat
yang mengandung nilai-nilai motivasi kehidupan ekonomi melalui kreativitas individu dan
masyarakat untuk berta’arafu antar sesama( marketing kehidupan) Dimensi pelestarian
lingkungan hidup, menumbuhkan nilai-nilai motivasi kebiasaan/ adat dalam mendorong
semangat untuk membangun lingkungan, bagi kelanjutan kehidupan generasi (penghijauan/
menanam, pemanfaatan berkelanjutan/ investasi). Dimensi hukum (norma/ kaedah)
melahirkan suatu produk hukum masyarakat (aturan/ tata prilaku yang hidup dan
berkembang)dalam penyelesaian berbagai sengketa Dimensi konpetitif, tumbuhnya sikap
motivasi/ inovasi prilaku mendorong kebanggaan/ keunggulan dan identiatas harkat dan
martabat diri/ keluarga, daerah untuk dapat berkompetisi/ bersaing merebut pasar dunia global
Dimensi identitas, menjadi amat penting sebagai potensi membangun produk keunggulan nilai-
nilai budaya adat Aceh (made in Aceh) menjadi standar harkat martabat bangsa dalam
peradaban dunia (World ’s civilization)

2. ADAT LAOT : Salah satu Sumber Produk Budaya Adat Aceh, Dalam Membangun Kemakmuran
Kahidupan(“Alam Rahmatan lil-’Alamin: Allah jamin, nyoe na usaha, rezki teuka”) Berbicara
tentang Adat Laot, ada tiga sisi pendekatan yang dilakukan, yaitu pemahaman: “budaya”,
“adat”, dan kaitannya dengan “Syari’at”, sbb: Budaya: adalah buah pikiran, akal budi yang
muncul berproses, akibat interaksi dengan wilayah lingkungan dan ruang waktu, yang penuh
dinamika proses pikiran kontemporer, budaya ideal untuk menjangkau masa depan, dengan
solusi menuju “ hasil nilai budaya “ untuk dinikmati, bermanfaat dan menjadi acuan standar
harkat/ martabat masyarakat dalam mewujudkan bangunan peradaban (civilization)=( Bad).

Adat/ adat istiadat adalah suatu proses interaksi antar manusia (personal/ kelompok) karena
arus dinamika, untuk mensolusikan persoalan kebutuhan/ larangan dalam membangun
kehidupan komunal, menjadi kebiasaan dan norma hukum (adat/ adat istiadat) sebagai
pedoman (Bad) Syari’at : adalah setiap ketentuan/ produk yang bersifat berbuat baik bagi
manfaat anusia, tidak merusak/ merugikan orang lain dalam bingkai amar ma’ruf dan nahi
mungkar, berlandaskan rukun Islam dan rukun Iman (Bad) Adat Laot adalah : Adat/ istiadat
yang berlaku di laot (dalam batasan wilayah jangkauan adat), berkaitan dengan segala
perangkat (Pawang laot beserta ABK), peralatan, tata aturan (adat), wewenang wilayah), dalam
hubungan mencari/ menangkap ikan sebagai sumber ekonomi rakyat.

3. PERANAN NELAYAN DAN PENGARUH TATANAN ADAT LAOT MERUPAKAN FAKTOR DOMINAN
DALAM PENATAAN PEMBINAAN NELAYAN DI ACEH

Menurut Denys Lombard :Orang Aceh yang paling dahulu ditemukan bangsa Eropa, ialah
Nelayan yang lalu lalang di teluk diatas perahu mereka yang bercadik dua. Pada 2 Juni 1602,
kata Lancaster: kami membuang sauh di teluk, beberapa orang di negeri itu naik ke kapal kami
dari perahu mereka, yang lebih besar, dengan cadik di sebelah. Menangkap ikan merupakan
bagian penting dalam kesibukan orang Aceh. Orang menangkap ikan lebih kaya dari orang lain
(Syamsudin Daud, 9:2014) Pertanyannya, bagaimana Nelayan Aceh sekarang? (tidak punya
data) Dalam kenyataan dari aspek adat, berkaitan dengan perangkat adat, seperti Pawang laot
dan anak buahnya,Peralatan penangkapan ikan, serta manajemen pengelolaan (pelatihan
personil, administrasi personal/ sistem jaminan hidup, masih konstan(minim perubahan).
Sekarang mmenggunakan alat-alat canggih/ teknologi , ilmu pengetahuan/ manajemen modern
Hal yang sangat menonjol adalah tentang pemberlakuan Hukum Adat Laot, terhadap berbagai
kasus, sangat dominan (dan pasti), artinya hampir tidak ada kasus berkaitan dengan adat laot
yang digiring ke Pengadilan. NGO-NGO asing dan penegak hukum, sangat respon terhadap
berlakunya hukum adat, meskipun sebagian besarnya belum tertulis, padahal masalah sengketa
dan kawasannya merupakan pusat sumber kegiatan ekonomi. Suatu hal yang harus di bangun
dari aspek hukum adat dan Ketata negaraan (istimewa/ khusus/ lex specialis), bahwa wilayah-
wilayah pesisir pantai, umumnya masuk wilayah otonomi Mukim(Imeum Mukim/ Penguasa
daerah), sedangkan Penglima Laot dan Adat Laot itu menyangkut kewenangan pengelolaan
usaha perikanan, karena itu Imeum Mukim harus dilibatkan dalam pembinaan masyarakat adat,
seperti Khanduri Llaot dan penyelesaian sengketa adat laot.

4. Beberapa Ilustrasi Sumber Budaya Adat Aceh dari Sisi Manfaat Motivasi/ Edukasi Ekonomi
Rakyat “Nyoe jeut ta peulaku, boh labu jeut keu asoe kaya. Hanjeut ta peulaku aneuk teungku
jeut keu beulaga” Mengacu kepada kebiasaan/ adat/ adat istiadat (dalam Budaya Adat Aceh),
maka pandangan pertama yang kita temukan adalah banyak sekali bentuk-bentuk adat Aceh
yang hidup dan berkembang dalam masyarakat sampai sekarang (kaya multikultural, hidup
terkawal, terbina sampai era (Global/ Now ?). Mengapa? karena nilai-nilainya (valuenya) hidup
dinamis, bermanfaat, ekonomis dan universal . Formatnya dapat dibangun sesuai dengan
kebutuhan zaman (yakin, termasuk zaman now). Kecuali runtuhnya identitas budaya/ daya
nalar berpikir, sinkronisasi dengan teknologi, saien (IT) dan kehilangan spirit, tidak kreatif dalam
motivasi, edukasi dan inovasi sebagai kebangsaan bangsa (etnis) untuk membangun keunggulan
(kompetitif). Jelasnya bila tidak mau kerja keras dan hanya pandai meniru, mengembek menjadi
jongos/ agen bangsa lain. Karena itu sekali-sekali perlu merenung pesan Rosevelt (Presiden
Amerika: Small mind, discuss people, Everage mind, discuss event , Great mind, discuss idea’s)
Betapa hebatnya pemikir-pemikir Aceh dulu, melahirkan berbagai produk adat budaya,menjadi
sumber inspirasi motivasi dan edukasi/ pendidikan untuk membangun kehidupan ekonomi
rakyat, seperti lapangan : Persawahan pertanian, Peternakan ada Keujruen Blang, Kebun,
Hutan, gunung, bukit, lembah, ada Petua Seuneubok, Pawang Glee/ Huteun, Pawang Rusa,
Pasar ada Haria Peukan, Pelabuhan Laut/ sungai ada Syahbandar dan Pesisir laot/ ikannya ada
Panglima laot/ Khanduri laotnya. Semua itu masih sangat relevan/ up to date(berlaku sampai
sekarang/ zaman Now) Karena itu, berbagai nilai-nilai adat lainnya, seperti Peusijuk, menjadi
motor penggerak adat alam, seperti :Peutron aneuk, antat aneuk bak beuet, buka lampoh,
sunnaturrasul, moulud, meugang, hari peukan dan banyak sekali lainnya. Pada hakekatnya
kegiatan-kegiatan/ lembaga adat penuh dengan nilai-nilai ekonomi dan edukasi untuk
kepentingan kemakmuran rakyat.

5. ADAT LAOT; NILAI-NILAI MOTIVASI DAN EDUKASI YANG DINAMIS KONTEKSTUAL


MEMBANGUN MASYARAKAT PESISIR Dalam pembahasan dengan Adat Laot, bahasannya
khusus berkaitan Panglima laot dan Khanduri laot, sbb: Panglima laot atau nama lain adalah
orang yang memimpin dan mengatur adat istiadat di bidang pesisir dan kelautan. (Pasal 1 angka
20, Qanun No.10 Tahun 2008) . Pasal 27 menegaskan : Panglima Laot atau nama lain terdiri dari
: Panglima Laot lhok atau nama lain; Panglima Laot kabupaten/kota atau nama lain; dan
Panglima Laot Aceh atau nama lain. Panglima laot lhok atau nama lain, dipilih oleh pawang-
pawang boat lhok atau nama lain masing-masing melalui musyawarah. Panglima Laot kab/kota
atau nama lain dipilih dalam musyawarah panglima laot lhok atau nama lain. Panglima Laot
Aceh atau nama lain dipilih dalam musyawarah panglima laot kab/kota atau nama lain.
Khanduri Laot adalah perjamuan makan di pesisir laut (yang lazimnya di dahului oleh zikir, doa
dsb) karena sesuatu tujuan keagamaan (minta berkah, mendoakan orang yang telah meninggal
(arwah), memperingati sesuatu peristiwa, memperkuat silaturrahim, kebersamaan), selamatan
yang diadakan di siang hari, dengan mengharapkan ridha Allah SWT untuk kemudahan rezki dan
kemakmuran. Khanduri laot juga merupakan salah satu instrumen/ sarana dakwah/ relegius
dalam memperkuat hubungan manusia dengan Allah SWT dan hubungan dengan sesama
manusia. Upacara demikian sangat memberikan nilai-nilai motivasi dan edukasi kepada
masyarakat, dalam mempelajari alam mengambil manfaat sebagai Rahmatan lil-’Alamin begi
rakyat. Dari segi edukasi Metode Khanduri laot ini juga merupakan salah satu metode langsung
bernilai ganda dan sangat sikologis dalam mengajak rakyat untuk menggapai sesuatu. Dengan
demikian terlihat jelas bahwa Adat laot/ Khanduri laot, penuh dengan nilai-nilai motivasi dan
edukasi untuk membangun kemakmuran rakyat, yang penuh dengan nilai-nilai agamis,
sikologis, komunal dan bertatanan nilai-nilai musyawarah/ mupakat.

6. ADAT LAOT : SANGAT KAYA NILAI-NILAI EKONOMI KERAKYATAN (EKONOMIC VALUE)


SEBAGAI MODAL POTENSIAL, SIAP BERKIPRAH DI ERA TANTANGAN ZAMAN ADAT LAOT
termasuk salah satunya KHANDURI LAOT.adalah satu kesatuan yang sangat potensial sepanjang
sejarah kehidupan rakyat(masyarakat) Aceh. Terbukti begitu penting pengelolaan upaya
potensial mencari ikan, hampir tak ada kasus/ sengketa yang masuk pengadilan negeri,
dibanding bidang-bidang sumber ekonomi lainnya. Karena itu persolan utama adalah
bagaimana peningkatan manajemen menggali dan mengolah pembinaannya dalam hubungan
Kota Sabang dalam sistem Free port dan Pemerintahan Umum yang secara khusus dari aspek
Pariwisata (destination off turisme, masa kini dan kedepan. Beberapa hal perlu kita cermati,
sbb:

1. Peran Pemerintah untuk membina manajemen pengelolaan Adat Laot/ Pawang laot, dalam
hal organisasi, kebersamaan, administrasi, pelatihan skill pimpinan dan anak buah kapal,
pengadaan dan perawatan peralatan, jaminan sosial/ hari depan, menjadi suatu kewajiban.
Dasar hukum perintah UU Negara: seperti UUD.45 Pasal 18 B, ayat (1) dan (2), UU.No.44
Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Keistimewaan Aceh, UU.No.11 Tahun 2006 tentang
Pemerintahan Aceh, UU, No.6 Tahun 2014 tentang Bantuan Desa, UU,No.5 Tahun 2017
tentang Pemajuan Budaya, Keputusan MK.No.35 Tahun 2012, Permen Kemendagri, Qanun
dan Pergub Aceh tentang Pengkajian dan Pelestarian Adat, sangat kuat: ada perintah(amar)
untuk mendukung dan membangun kehidupan adat budaya (termasuk perintah dukungan
Anggaran. Apalagi Nilai-nilai Adat Budaya menjadi sumber pembangunan disnation
Pariwisata.
2. Menentukan secara konkrit wilayah laot nelayan adat dan tatanan kewenangan Panglima
laot dan hukum adatnya dan membangun hubungan koordinasi dengan Imeum Mukim,
Keuchik tentang wewenang selaku Kepala daerah (otonomi) kultural dan yuridis (Qanun
Mukim dan Qanun Gampong)

3. Panglim laot dengan adat laot dan khanduri laot atas kerjasama dengan Pemda, BPKS,
intansi Pemerintahan lainnya saling membangun even/ festival/ peukan kebudayaan secara
berkala dan terjadwal, memanfaatkan nilai-nilai adat budaya khanduri laot dan lainnya,
perlombaan perahu, perlombaan memancing da lain-lain. Perlu juga diolah dan diatata
kembali dengan kualitas dan format yang baik berkaitan dengan makanan pasar pagi/ siang
nelayan pesisir / laot, seperti ; Kopi tubruk, timphan leugoo’, pulot, bu lukat uu/ gula, pisang
rebus, bada goreeng, bubur kacang hijau/ jagung, meurajut pukat, celup pukat (Promosi
makanan pantai). Tempat promosi makanan , sederhana, seni, indah dan bersih
(warna/warni) dan ada tempat toilet/ tandas (bhs Aceh, selain bagan tak ada).Untuk ini perlu
dididik/ diberi pelatihan kepada ibu-ibu (daerah kawasan nelayan) setempat masing-masing
(Hak mengelola, bukan hak meuraheung). Pengawasan keamanan dan kebersihan lingkungan/
perawatan kenyamanan pesisir dapat kerjasama dengan ibu-ibu masyarakat setempat (sain of
bilonging).

 Share this article


Twitter Facebook Google

Copyright 2017 Design by Gumugu


Majelis Adat Aceh (MAA) Merupakan Lembaga keistimewaan Aceh yang melaksanakan
pembangunan bidang Adat Istiadat dan membina dan mengembangkan adat dan adat istiadat
yang tidak bertentangan dengan syariat Islam.
Download | Kontak | Pagu | E-Procurement | Sitemap

Beranda
Profil
Hukum Adat
Budaya dan Khasanah
Adat Istiadat
Putroe Phang
PPID
Search here & hit enter...

Nanggroe Aceh Darussalam [NAD]


Capital: Banda Aceh, Governor: Irwandi Yusuf, Area: 57,365.57 km² (22,149 sq mi), Population:
3,930,000 (2000), Density: 68.5/km² (177.4/sq mi), Ethnic groups: Acehnese (70%), Gayo Lut (7%), Gayo
Luwes (5%), Alas (4%), Singkil (3%), Javanese (3%), Simeulu (2%) [2] Religion: Islam (98.6%), Christianity
(0.7%), Hinduism (0.08%), Buddhism (0.55%). Website
Aceh Map | Aceh Logo | Regencies: Aceh Besar - Aceh Jaya - Aceh Singkil - Aceh Tamiang - Bener Meriah
- Bireuen - Central Aceh [web] - East Aceh [web] - Gayo Lues - Nagan Raya - North Aceh [web] - Pidie
[web] - Pidie Jaya - Simeulue - South Aceh [web] - Southeast Aceh - Southwest Aceh - West Aceh [web]
| Cities: Banda Aceh [web] - Langsa - Lhokseumawe - Sabang [web] - Subulussalam

09 Desember 2007
Memaknai Upacara Turun ke Sawah Pada Masyarakat Aceh
Oleh: Essi Hermaliza

Pendahuluan
Mata pencaharian utama mayoritas penduduk Aceh adalah di sektor pertanian. Pada akhir Pelita
keempat, penduduk Aceh yang bekerja di sektor pertanian yang meliputi pertanian tanaman, perikanan,
perkebunan, peternakan dan kehutanan tercatat telah mencapai 993.318 orang atau 71,68 prosen dari
jumlah angkatan kerja sebanyak 1.385.668 orang. Tingginya prosentase penduduk yang bekerja di sektor
pertanian menunjukkan bahwa peluang kerja di sektor lain belum cukup berkembang.

Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam memiliki lahan sawah seluas 258.266 hektar dan lahan kering yang
dapat digunakan untuk kegiatan pertanian 386.742 hektar. Lahan tersebut tersebar di semua Daerah
Tingkat II (Dati II). Sementara yang berusaha di perkebunan, ada pada perkebunan besar dan
perkebunan rakyat.

Sebagian besar areal perkebunan yang ada merupakan perkebunan rakyat yang mencapai 72 persen
(akhir Pelita keempat). Usaha perkebunan rakyat yang dikelola oleh petani perorangan dan badan
hukum atas tanah yang berstatus Hak Guna Usaha (HGU). Dari seluruh areal perkebunan besar, sekitar
77,2 persen diusahakan oleh swasta.

Mengingat begitu banyak harapan yang bertumpu pada sektor pertanian maka besar pula apresiasi
masyarakat terhadap keberadaannya. Pertanian bukan jenis mata pencaharian baru, sektor ini telah
digeluti sejak zaman nenek moyang di seluruh belahan bumi. Karena bidang ini berhubungan langsung
dengan kelangsungan hidup manusia. Sehingga sebagai wujud penghargaan, penghormatan akan alam
yang menjadi media serta pengharapan, maka dalam pelaksanaannya manusia membudayakan
serangkaian upacara yang telah menjadi tradisi di suatu daerah dan dilaksanakan secara turun-temurun.

Salah satu apresiasi masyarakat ini diwujudkan dalam berbagai upacara tradisional berupa ritual adat
yang berbeda caranya antara satu daerah dengan daerah lainnya. Upacara tersebut ada yang berkaitan
dengan kepercayaan, agama, daur hidup dan ada pula yang berkaitan dengan sosial masyarakat.

Dilihat dari etimologi, upacara itu sendiri merupakan perayaan atau kegiatan selebrasi karena alasan-
alasan tertentu. Kemudian upacara tersebut dilaksanakan dalam lingkup adat istiadat secara
berkelanjutan dan sesuai dengan hukum dan aturan yang berlaku.

Yang dimaksud adat istiadat adalah aturan tentang beberapa segi aturan tentang beberapa aspek
kehidupan manusia yang tumbuh dari usaha orang dalam suatu daerah tertentu di Indonesia sebagai
kelompok sosial untuk mengatur tata tertib tingkah laku anggota masyarakatnya.

Salah satu upacara adat yang masih dilaksanakan dan terus dilestarikan khususnya di Nanggroe Aceh
Darussalam adalah Upacara Turun ke Sawah atau dalam bahasa Aceh sering disebut Adat Tron U Blang.

Upacara ini merupakan suatu tradisi adat tahunan dalam pengerjaan sawah yang dilaksanakan di areal
persawahan oleh kaum petani, perangkat adat dan masyarakat terutama petani yang mempunyai lahan
persawahan untuk memberkati sawahnya.

Khanduri Tron U Blang dilakukan dalam tiga tahapan yaitu menjelang turun ke sawah, ketika padi
berbuah dan sesudah masa menuai. Dalam tiap tahapan, upacara tradisional digelar dengan maksud dan
tujuan berbeda yang saat ini dapat kita tinjau dalam konteks kekiniannya.

Menjelang Turun ke Sawah


Sebelum masa penanaman benih dimulai, dikenal satu tradisi yang disebut Khanduri ulee Lhueng atau
Babah Lhueng yang dilaksanakan pada saat air dimasukkan ke dalam alur pengairan dipimpin oleh
seorang Kuejren Blang dengan melibatkan para petani yang memiliki areal persawahan di daerah
tersebut. Upacara ini biasanya diselenggarakan secara masal.

Dalam upacara ini dilaksanakan ritual berupa penyembelihan hewan seperti kerbau dan kambing pada
babah Lhueng atau mulut parit pengairan menuju lahan, sehingga darah yang mengalir ke parit mengalir
bersama air ke lahan-lahan persawahan milik petani tadi.

Menurut para petani, berkah dan doa yang diucapkan agar benih padi yang mereka tanam nantinya
akan tumbuh subur akan mengalir melalui media darah ke setiap petak sawah yang ada.

Seperti yang kita temui saat ini, pupuk-pupuk tanaman yang dianjurkan oleh penyuluh pertanian pada
umumnya, seperti penggunaan pupuk urea dan pupuk berbahan kimia lainnya, semuanya diberikan
pada masa pertumbuhan hingga masa panen dengan hitungan waktu masing-masing.
Sedangkan pada awal, sebelum masa tanam tidak ada pupuk tertentu yang diberikan untuk pengolahan
media tanah. Saat itulah darah hewan tadi bekerja memperkaya unsur-unsur hara di dalam tanah.
Namun bila dipandang dari sisi lain, darah kerbau atau kambing juga memiliki fungsi lain pada tahap
sebelum penanaman. Darah hewan sebenarnya dapat juga menyuburkan sawah. Dapat diperhatikan,
saat ini kaum ibu yag suka menanam bunga di halaman rumah sering menyiram bunganya dengan air
basuhan ikan yang mengandung darah, air tersebut dipercaya dapat menyuburkan tanaman sehingga
tanaman mereka akan lebih hijau dan cepat berbunga.

Demikian pula dengan darah kerbau yang mengalir ke lahan persawahan tentu dapat membantu
menyuburkan tanah yang sebentar lagi akan ditanami padi.
Para petani sering dikarakteristikkan sebagai masyarakat gotong royong. Mereka bergotong royong
sejak sebelum padi ditanam. Sebagaimana tergambar dalam Upacara Tron U Blang ini, mereka bekerja
bersama-sama menyelenggarakan upacara untuk sawah mereka.

Bersama-sama menyediakan hewan penyembelihan, memasak dan menyediakan lauk pauk lainnya
untuk melengkapi Khanduri di lokasi upacara. Untuk itu dibutuhkan tempat yang lebih luas seperti
lapangan di dekat areal persawahan atau lahan persawahan itu sendiri yang berada di tengah sebelum
penanaman.

Biasanya di daerah-daerah tertentu memang ada satu lahan yang dibiarkan untuk tempat
penyelenggaraan Khanduri setiap tahunnya. Di lahan itu di tanam pepohonan yang rindang yang
kemudian dapat dijadikan tempat berteduh dan beristirahat bagi petani.

Tidak itu saja, lahan itu juga bisa dimanfaatkan sebagai tempat untuk mengumpulkan padi yang telah
dipanen (Phui Pade) sebelum digirik. Kemudian disitu pula kaum ibu dapat membantu mengangin-
anginkan, membersihkan dan menyiangi padi, setelah itu baru dibawa pulang.

Selesainya upacara Tron U Blang tersebut merupakan pertanda bahwa lahan atau tanah telah siap
menerima benih baru, masa tanam dapat segera dilaksanakan. Makna lebih dalam dari hal ini adalah
agar para petani dapat dengan serentak menggarap lahan persawahannya, sehingga nanti dapat pula
saling menjaga dan mengawasi padinya bersama-sama atau paling tidak setiap proses, mulai masa
tanam hingga masa panen dapat terus dilaksanakan bersama-sama, mengeluarkan zakat bahkan hingga
menikmati hasilnya. Nilai kekeluargaan yang tumbuh menjadi begitu kental terasa di sawah dan terbawa
pula sampai ke lingkungan rumah dan sosial masyarakat.

Masa Padi Berbuah


Pada tahap berikutnya, setelah masa tanam tepatnya saat padi telah setengah umur yaitu ketika batang
padi membulat, biji padi mulai berisi atau biasanya disebut masa bunting/dara ada lagi ritual yang harus
dijalankan.

Namun pada umumnya tidak lagi diselenggarakan bersama-sama. Khanduri hanya dilakukan oleh
keluarga petani yang memiliki kemudahan / rezeki untuk melaksanakannya. Tapi biasanya Khanduri
tetap dilakukan walaupun secara sederhana. Bagi mereka yang ekonominya lemah dapat
melaksanakannya dengan memberi makan seorang yatim untuk sekali waktu.

Upacara tahap kedua ini dikenal dengan istilah Geuba Geuco dimana dalam ritual pelaksanaan
upacaranya dilaksanakan di kuburan yang dianggap keuramat. Hal itu dimaksudkan agar padi terhindar
dari hama dan penyakit sehingga dapat panen dengan hasil yang baik.

Namun ritual yang satu ini juga telah mengalami pergeseran. Kepercayaan dinamisme seperti yang
dilakukan dalam upacara Geuba Geuco ini sudah sangat jarang ditemui. Sekarang para petani cenderung
melakukan hajatan atau syukuran atas kesuburan padi.
Upacara dapat dilakukan dirumah, tetapi ritual itu sendiri tetap dilakukan di sawah, pada beberapa
petak saja yang dipeusijuek secara simbolik. Sementara doa disampaikan untuk seluruh lahan si
empunya hajatan.

Tidak ada ketentuan seberapa besar Khanduri dilaksanakan, yang jelas tidak boleh sampai memberatkan
si petani. Karena yang terpenting adalah niat yang tulus. Sebagaimana pendapat para ulama, bahwa
Khanduri boleh dilakukan sejauh tidak berlebihan, memberi kebaikan dan bermanfaat.

Bila dianalisa lebih dalam Khanduri ini memiliki nilai keagamaan. Bukankah Tuhan menjanjikan rezeki
yang berlipat ganda atas sebuah keikhlasan? Jadi jika hari ini petani dengan ikhlas membagikan
rezekinya, di hari lainnya Tuhan akan membalasnya dengan menggandakan keikhlasannya dan bisa saja
imabalan itu diberikan melalui padi yang ditanamnya.

Sesudah Masa Menuai


Tahap kedua usai maka tahap ketiga menanti. Upacara terakhir adalah Khanduri Pade Baro. Upacara ini
dilaksanakan sesudah panen atau setelah kegiatan menuai selesai. Saat itu para petani telah sedikit
berleha-leha karena tugas di sawah baru selesai.

Upacara tersebut dilaksanakan oleh masing-masing petani di rumah mereka dengan tujuan untuk
memperoleh berkah. Artinya setelah imbalan atas keikhlasan diperoleh maka selanjutnya ia harus
mengadakan Khanduri lagi agar apa yang ia dpat dalm masa panen kali ini diberkati oleh Allah SWT, bila
hasilnya dijual dan diuangkan maka dapat pula digunakan dengan benar an membawa kebaikan lagi bagi
si petani dan keluarganya.

Dalam upacara ini digelar kegiatan doa bersama di rumah, mengundang kerabat dekat, anak yatim dan
orang yang kurang mampu untuk turut mencicipi padi yang baru dipanen itu sebagai suatu wujud
kesyukuran atas rezeki yang telah diberikan Allah SWT kali ini.

Berbagi, kata ini mengandung arti penting dan sangat dalam bagi masyarakat petani. Lihat saja, betapa
senangnya mereka ketika banyak orang dapat mencicipi hasil panennya, padi yang dengan keringatnya
selama berbulan-bulan dijaga dan diperhatikannya kini dapat dicicipi. Peluhnya seakan terbayar dengan
ucapan syukur dari penikmatnya, karena setelah tamu yang datang merasa kenyang maka kata
Alhamdulillah mewakili doa paling makbul akan kesyukuran. Dari setiap kata itu mengalir pula harapan
semoga panen di musim tanam yang akan datang hasilnya akan lebih baik lagi.

Tradisi ini memang tidak dilaksanakan secara serentak, bila ada beberapa orang hendak mengadakan
Khanduri itu maka waktu pelaksanaannya tidak boleh bersamaan. Oleh karena itu, petani harus
memusyawarahkan terlebih dahulu dengan Keujren Blang, Imum Meunasah dan Keuchik untuk
menentukan waktunya.

Sebenarnya meskipun setiap petani memulai masa tanam secara bersamaan, masa panen dapat saja
berbeda, karena tingkat kesuburan tanah, bibit yang ditanam dan pupuk yang digunakan berdeda. Tapi
perbedaan itu tentu saja tidak begitu mencolok.
Baiknya, dengan begitu, saudara, tetangga dan kerabat yang tinggal di desa yang sama yang datang tidak
bingung kemana harus menghadiri undangan. Khanduri si A atau si B. Satu waktu makan di satu tempat
tentunya lebih berkah daripada satu waktu makan di banyak tempat.

Hal lain yang tak kalah pentingnya dalam upacara tahap ketiga ini adalah menuanaikan zakat. Bagi hasil
panen yang telah sampai hisabnya diwajibkan membayar zakat, sehingga tamu penting yang seharusnya
diundang dalam upacara ini adalah pengurus zakat di desa yang bertugas menerima zakat.
Selesainya penyerahan zakat maka berakhir pula tugas petani untuk satu kali masa panen. Dan rentetan
upacara ini akan terus diselenggarakan setiap kali petani menggarap sawahnya mulai masa tanam
sampai masa panen, begitu seterunsnya.

Namun bila setelah ritual dilaksanakan hasil panen memburuk, apakah itu karena ritual yang tidak
benar? Belum tentu, upacara mengandung nilai-nilai yang abstrak. Sedangkan kenyataannya, sangat
bergantung pada ketelatenan petani dalam mengelola lahan persawahannya.

Tawakal bukan berarti menanti tanpa usaha. Panen yang melimpah tidak didapat hanya melalui ritual
tapi juga jerih payah si petani yang terus berusaha menyuburkan sawah-sawhnya dengan cara-cara yang
logis, sementara upacara hanya media yang membantu mewujudkan impian petani menjadi nyata, yaitu
memperoleh hasil panen yang melimpah.

Penutup
Masing-masing upacara tradisional yang termasuk Khanduri Blang sebagaimana telah dijelaskan diatas,
diselenggarakan sekali saja dalam setahun. Karena tradisi dibuat berdasarkan budaya lama. Dengan
kondisi lahan yang berupa sawah tadah hujan tanpa irigasi teknis yang memadai, petani hanya dapat
bertanam sekali dalam setahun yaitu di musim penghujan. Namun tak tertutup kemungkinan bagi
mereka yang kini telah memanfaatkan irigasi sebagai sumber pengairan untuk lahannya, tidak dilarang
bila ingin menyelenggarakan upacara Tron U Blang dan dua upacara lainnya itu dua kali dalam setahun.

Upacara ini dapat melatih masyarakat untuk selalu hidup bergotong royong. Lebih jauh lagi
pelaksanaannya mengajarkan betapa pentingnya menghargai alam terlebih yang berhubungan langsung
dengan kehidupan manusia.

Selain itu, ritual demi ritualnya kita diingatkan bahwa dalam hidup manusia tidak dapat hidup sendiri
namun senantiasa membutuhkan orang lain sehingga dapat dengan ikhlas saling membantu,
menghargai dan berbagi dalam kebaikan.

Rasa kebersamaan, senasib sepenanggungan dalam berusaha dalam mencapai kemapaman hidup
memberi peluang besar kepada petani melangkah dalam konteks hablumminallah, hablumminnas.

Penulis:
Essi Hermaliza, Spd, I. adalah Tenaga Teknis pada Balai Pelestarian Sejarah dan Nilai Tradisional Banda
Aceh

Download File Asli:


http://www.pintoaceh.com/hb/hb43/essi_hb43_sawah.rar
Diposting oleh Aceh di 23.02
Label: Adat/budaya
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Posting Lebih Baru Posting Lama Beranda
Langganan: Posting Komentar (Atom)
Arsip Blog
▼ 2007 (11)
▼ Desember (11)
Nanggroe Aceh Darussalam [NAD]: Ie Beuna Di Aceh
Makna Kenduri Maulid dalam Konteks Masyarakat Aceh...
Memaknai Upacara Turun ke Sawah Pada Masyarakat Ac...
Ritual Masyarakat Aceh Dalam Menyambut Kelahiran A...
Refungsionalisasi dan Reinterpretasi Budaya (Upaca...
Kenduri Laot dan Dinamika Kekiniannya
Seni dan Makna Rencong Aceh (Jenis Keahlian Tradis...
Tari Saman
Peusijuek (Antara Ada dan Terlupakan Pada Masyarak...
Alat Musik Tradisional di Nanggroe Aceh Darussalam...
Ie Beuna Di Aceh
Pencarian Aceh
Top of Form

Web gerbangaceh.blogspot.com
Bottom of Form
Top of Form
Bottom of Form
Apakah informasi ini bermanfaat?
Link ke Situs ini
Link-kan Web Anda ke Situs ini untuk mendapatkan rating tinggi di Searh Engine. Caranya, masukkan
saja script di bawah ini di dalam homepage Anda.
<a href="http://gerbangaceh.blo

Who links to me?


Link Terkait Aceh
Aceh Government Website
Pintu Gerbang ke Aceh
Forum Diskusi Aceh
Pencari Soulmate Aceh
Partners
Ilmu Website
Aulia87
AuctionAds

Você também pode gostar