Você está na página 1de 22

PENDAHULUAN

Amenorea ialah keadaan tidak adanya haid untuk sedikitnya 3 bulan berturut-turut. Lazim
diadakan pembagian antara amenorea primer dan amenorea sekunder. Kita berbicara tentang
amenorea primer apabila seorang wanita berumur 16 tahun ke atas tidak pernah dapat haid; sedang
pada amenorea sekunder penderita pernah mendapat haid, tetapi kemudian tidak dapat lagi.1

Pubertas mewakili sebagian periode dari kehidupan yang ditandai dengan perubahan
hormonal, fisik dan psikologis. Selama periode ini, menarche mewakili peristiwa yang paling penting
yang terjadi pada wanita. Usia saat menarche berbeda-beda di tiap populasi. Selama dua tahun
pertama setelah menarche, lamanya menstruasi sering tidak teratur atau abnormal dikarenakan belum
matangnya hipotalamus-pituitary-ovarium. Amenore didefinisikan sebagai tidak adanya atau
penghentian anomali siklus menstruasi pada wanita selama masa reproduksi. Hanya dalam tiga
kondisi amenore dianggap fisiologis: selama kehamilan, menyusui dan menopause.2
Amenorea primer umumnya mempunyai sebab-sebab yang lebih berat dan lebih sulit untuk
diketahui, seperti kelainan-kelainan kongenital dan kelainan-kelainan genetik. Adanya amenorea
sekunder lebih menunjuk kepada sebab-sebab yang timbul kemudian dalam kehidupan wanita, seperti
gangguan gizi, gangguan metabolisme, tumor-tumor, penyakit infeksi, dan lain-lain.1
Telah diperkirakan bahwa amenore yang bukan karena kondisi fisiologis memiliki prevalensi
berkisar antara 3% sampai 4% (Bachmann & Kemmann, 1982; Pettersson et al, 1973.). Penyebab
paling sering dari amenore empat: amenore yang disebabkan oleh hipotalamus, hiperprolaktinemia,
kegagalan ovarium, dan sindrom ovarium polikistik.2
Istilah kriptomenorea menunjuk kepada keadaan di mana tidak tampak adanya haid karena
darah tidak keluar berhubung ada yang menghalangi, misalnya pada ginatresia himenalis, penutupan
kanalis servikalis, dan lain-lain.1
Selanjutnya ada pula amenorea fisiologis, yakni yang terdapat dalam masa sebelum pubertas,
masa kehamilan, masa laktasi, dan sesudah menopause.1

1
FISIOLOGI MENSTRUASI
DEFINISI
Haid ialah perdarahan secara periodik dan siklik dari uterus, disertai pelepasan (deskuamasi)
endometrium.1
Panjang siklus haid ialah jarak antara tanggal mulainya haid yang lalu dan mulainya haid yang
berikutnya. Hari mulainya perdarahan dinamakan hari pertama siklus. Panjang siklus haid yang
normal atau dianggap sebagai siklus haid yang klasik ialah 28 hari, tetapi variasinya cukup luas.
Panjang siklus yang biasa pada manusia adalah 25-32 hari. Jika siklusnya kurang dari 18 hari atau
lebih dari 42 hari dan tidak teratur, biasanya siklusnya tidak berovulasi (anovulator). Lama haid
biasanya antara 3-5 hari, ada yang 1-2 hari diikuti darah sedikit-sedikit kemudian, dan ada yang
sampai 7-8 hari. Pada setiap wanita biasanya lama haid itu tetap.1

FISIOLOGI HAID
Dalam proses ovulasi harus ada kerja sama antara korteks serebri, hipotalamus, hipofisis,
ovarium, glandula tiroidea, glandula suprarenalis, dan kelenjar kelenjar endokrin yang lainnya. Yang
memegang peranan penting dalam proses tersebut adalah hubungan hipotalamus, hipofisis, dan
ovarium. Hipotalamus mengawasi sekresi hormon gonadrotopin oleh adenohipofisis melalui sekresi
neurohormon yang disalurkan ke sel-sel adenohipofisis lewat portal yang khusus. Hipotalamus
menghasilkan Gonadotropin Releasing Hormone (GnRH) karena dapat merangsang Luteneizing
Hormon (LH) dan Follicle Stimulating Hormone (FSH) dari hipofisis.1
Siklus Haid normal dapat dipahami dengan baik dengan membaginya atas dua fase dan 1 saat,
yaitu fase folikuler, saat ovulasi dan fase luteal. Perubahan kadar hormon sepanjang siklus haid
disebabkan oleh mekanisme umpan balik (feedback) antara hormon steroid dan hormon gonadotropin.
Estrogen Menyebabkan umpan balik negatif jika kadarnya rendah, dan umpan balik negatif terhadap
FHS, sedangkan terhadap LH estrogen menyebabkan umpan balik negatif bila kadarnya rendah, dan
umpan balik posotif jika kadarnya tinggi. Tempat utama umpan balik terhadap hormon gonadotropin
ini mungkin pada hipotalamus.1
1. Fase Folikular
Secara fisiologis, hari pertama menstruasi dianggap hari pertama siklus menstruasi. 13 hari
berikut dari siklus ditujukan fase folikuler. Sebagai tingkat progesteron, estradiol, dan inhibin
menurun 2-3 hari sebelum menstruasi, hipofisis mulai melepaskan tingkat yang lebih tinggi
dari follicle-stimulating hormone (FSH), yang merekrut oosit untuk siklus menstruasi
berikutnya. Hipotalamus adalah inisiator dari fase folikular.2

2
Gonadotropin Releasing hormone (GnRH) adalah pompa yang terletak di hipotalamus,
melepaskan GnRH secara pulsatil ke dalam sistem pembuluh portal yang mengelilingi
kelenjar hipofisis anterior. GnRH berinteraksi dengan kelenjar hipofisis anterior untuk
melepaskan FSH dalam fase folikuler. FSH disekresi ke dalam sirkulasi akan berinteraksi
dengan sel-sel granulosa yang mengelilingi oosit yang sedang berkembang.

Sebagai FSH meningkat selama bagian awal dari fase folikuler , berinteraksi dengan sel-sel
granulosa untuk merangsang perubahan hormon androgen menjadi estradiol. Peningkatan
estradiol dan FSH menyebabkan peningkatan kadar FSH - reseptor di banyak folikel yang
sedang berkembang. Selama beberapa hari berikutnya, peningkatan yang stabil dari estradiol
( E2 ) tingkat memberikan pengaruh penekan semakin besar pada hipofisis rilis FSH. Hanya
satu yang dipilih memimpin folikel, dengan reservoir terbesar dari estrogen , dapat menahan
lingkungan FSH menurun. Oosit yang tersisa yang awalnya direkrut dengan folikel memimpin
mengalami atresia. Segera sebelum ovulasi, kombinasi E2 dan FSH menyebabkan produksi
luteinizing hormon ( LH ) reseptor pada sel-sel granulosa yang mengelilingi folikel memimpin
.

Selama akhir fase folikuler, estrogen memiliki pengaruh positif pada sekresi LH, bukannya
menekan sekresi LH hipofisis seperti halnya di awal fase folikuler. Untuk memiliki efek
positif ini, tingkat E2 harus mencapai ketinggian berkelanjutan selama beberapa hari.
Lonjakan LH meningkatkan pematangan oosit dominan, pelepasan oosit dan kemudian
luteinisasi dari sel granulosa dan sel teka sekitarnya folikel dominan sehingga produksi
progesteron. Tingkat yang tepat dari progesteron yang timbul dari folikel dominan jatuh tempo
berkontribusi pada waktu yang tepat lonjakan pertengahan siklus LH. E2 mendorong
pertumbuhan kelenjar endometrium rahim, yang memungkinkan untuk implantasi.

2. Fase Ovulasi
Adanya lonjakan LH merupakan indikator yang paling penting terjadinya ovulasi. Ovulasi
terjadi kira-kira 34-36 jam setelah terjadinya lonjakan LH atau 10-12 jam setelah puncak LH
dan 24-36 jam setelah tingkat puncak E2. Kenaikan progesteron meningkatkan distensibility
dinding folikel dan meningkatkan aktivitas enzimatik proteolitik, yang akhirnya memecah
dinding folikel kolagen.

3
Setelah sel telur dilepaskan, sel-sel granulosa bertambah besar dan lutein menjadi bentuk yang
memiliki karakteristik yaitu dengan pigmen yang berwarna kekuningan yang disebut dengan
korpus luteum. Korpus luteum kemudian menghasilkan estrogen, progesteron, dan androgen
dan menjadi semakin banyak.

3. Fase luteal
Umur dan kapasitas steroidogenik korpus luteum tergantung pada sekresi LH lanjutan dari
kelenjar pituitari. Corpus luteum mengeluarkan progesteron yang berinteraksi dengan
endometrium rahim untuk mempersiapkan untuk implantasi. Proses ini disebut desidualisasi
endometrium. Pada siklus menstruasi ovulasi normal, korpus luteum menurun dalam fungsi
9-11 hari setelah ovulasi . Jika korpus luteum tidak diselamatkan oleh human chorionic
gonadotropin (hCG) hormon dari plasenta berkembang, menstruasi andal terjadi 14 hari
setelah ovulasi. Jika pembuahan terjadi, hCG plasenta berinteraksi dengan reseptor LH untuk
mempertahankan fungsi luteal sampai produksi progesteron plasenta mapan.

Siklus menstruasi adalah sistem yang kompleks tetapi terkoordinasi dalam mengatur
perubahan hormonal serta respon dari organ. tujuan utama dari siklus menstruasi adalah untuk
merangsang pertumbuhan folikel untuk melepaskan telur dan mempersiapkan sebuah situs
untuk implantasi jika pembuahan harus terjadi. Apabila dalam suatu siklus tidak terjadi proses
pembuahan, akan terjadi proses pelepasan oleh endometrium, yang disebut menstruasi.

Saat lahir, bayi perempuan memiliki jumlah folikel primordial yang telah ditetapkan yang
ditangkap selama meiosis 1 pada tahap diplotene dari profase sampai stimulasi pada pubertas.
Sampai pubertas, hipotalamus dalam keadaan diam. Pada sekitar usia 8 tahun, GnRH disintesis
di hipotalamus dan dilepaskan. Korteks adrenal mulai menghasilkan
dehydroepiandrostenedione untuk memulai awal adrenarche (yaitu pertumbuhan rambut
seksual). Awal dari pubertas dimulai dengan tumbuhnya payudara (thelarche), percepatan
pertumbuhan, dan menstruasi (menarche). Pubarche, hasil dari fungsi GnRH, biasanya terjadi
antara mulai tumbuhnya payudara dan percepatan pertumbuhan yang dapat terjadi di mana
saja sepanjang waktu pubertas. Di Amerika Serikat, usia rata-rata anak perempuan di
menarche adalah 12,8 tahun, dengan kisaran 9-16 tahun.

4
Gambar 1. Menstruasi

AMENOREA

Amenorea ialah keadaan tidak adanya haid untuk sedikitnya 3 bulan berturut-turut. Lazim diadakan
pembagian antara amenorea primer dan amenorea sekunder. Kita berbicara tentang amenorea primer
apabila seorang wanita berumur 16 tahun ke atas tidak pernah dapat haid; sedang pada amenorea
sekunder penderita pernah mendapat haid, tetapi kemudian tidak dapat lagi.
Amenorea primer adalah tidak terjadi haid sampai usia 14 tahun tanpa adanya tumbuh kembang seks
sekunder, tidak terjadinya haid sampai usia 16 tahun tetapi telah terdapat tanda – tanda seks sekunder.
Amenorea sekunder telah terjadi haid tetapi kemudian haid terhenti untuk masa lebih dari 3 siklus
atau 6 bulan.3

5
Amenore Primer
1. GANGGUAN PADA KOMPARTEMEN I

a. Anomali duktus Mulleri


Pada keadaan amenorea primer, diskontinuitas oleh gangguan/kelainan segmental dari tubulus
Mulleri harus disingkirkan. Observasi langsung dapat menentukan ada tidaknya himen
imperforata, obliterasi orifisium vaginae dan adanya diskontinuitas kanalis vaginalis. Keadaan
lain yang jarang ditemukan, yaitu terdapat uterus tetapi tanpa terbentuknya kavum uteri, atau
terdapat kavum uteri tetapi endometriumnya kurang secara kongenital. Kecuali pada kelainan
kongenital yang disebutkan terakhir, problem klinik amenorea yang didasarkan pada adanya
obstruksi menimbulkan adanya keluhan nyeri yang disertai distensi dari hematokolpos,
hematometra, atau hematoperitoneum. Penanganan yang dapat dilakukan dengan insisi dan
drainage. Bahkan pada keadaan yang disertai komplikasi, perbaikan kontinuitas duktus Mulleri
biasanya dapat dicapai dengan pembedahan. Sayangnya dapat terjadi konsekuensi dari tindakan
ekstirpasi operatif terhadap massa yang nyeri di atas berupa kerusakan/trauma pada kandung

kencing, ureter, dan rektum.3

Merupakan suatu keuntungan bila mengetahui jenis kelainan sebelum koreksi bedah dilakukan.
Magnetic resonance imaging (MRI) dapat dilakukan untuk mengetahui abnormalitas anatomik yang
akurat. Diagnosis preoperatif akan memudahkan rencana dan pelaksanaan terapi bedah.
b. Agenesis duktus Mulleri
Terhambatnya perkembangan duktus Mulleri (Mayer-Rokitansky-Kuster-Hauser syndrome)
merupakan diagnosis pada individu dengan keluhan amenorea primer dan tidak terbentuknya
vagina. Kelainan ini relatif sering sebagai penyebab amenorea primer, lebih sering dari pada
insensitifitas androgen kongenital dan lebih jarang dibandingkan disgenesis gonad. Pada penderita
sindroma ini tidak ada vagina atau adanya vagina yang hipoplasi. Uterus dapat saja normal, tetapi
tidak mempunyai saluran penghubung dengan introitus, atau dapat juga uterusnya rudimenter,
bikornu. Jika terdapat partial endometrial cavity, penderita dapat mengeluh adanya nyeri abdomen
yang siklik. Karena adanya kemiripan dengan beberapa tipe pseudohermafroditism pria, diperlukan
pemeriksaan untuk menunjukkan kariotipe yang normal perempuan. Fungsi ovarium normal dan
dapat dilihat dari suhu basal tubuh atau kadar progesteron perifer. Pertumbuhan dan perkembangan
penderita normal.

6
Bila dari pemeriksaan didapatkan adanya struktur uterus, pemeriksaan ultrasonografi dapat
dilakukan menentukan ukuran dan simetris tidaknya struktur uterus tersebut. Bila gambaran
anatomis sebagai hasil USG tidak jelas, merupakan indikasi untuk dilakukan pemeriksaan MRI.
Pemeriksaan laparoskopi pelvis tidak diperlukan. Pemeriksaan MRI lebih akurat dibandingkan
pemeriksaan USG dan lebih murah serta tidak invasif bila dibandingkan laparoskopi. Ekstirpasi sisa
duktus Mulleri tidak diperlukan kecuali kalau menimbulkan masalah seperti berkembangnya uterine
fibroid, hematometra, endometriosis, atau herniasi simptomatis ke dalam kanalis inguinalis.
Karena berbagai kesulitan dan komplikasi yang terjadi pada pembedahan, maka bila
memungkinkan Speroff dkk lebih memilih alternatif untuk melakukan konstruksi bedah dengan
membuat vagina artifisial. Sebaliknya, Speroff menganjurkan penggunaan dilatasi yang progresif
seperti yang mula-mula diperkenalkan oleh Frank dan kemudian oleh Wabrek dkk. Mula-mula ke
arah posterior vagina, dan kemudian setelah 2 minggu diubah ke arah atas dari aksis vagina, tekanan
dengan dilator vagina dilakukan selama 20 menit setiap hari. Dengan menggunakan dilator yang
ditingkatkan makin besar, vagina yang fungsional dapat terbentuk kurang lebih dalam 6-12 minggu.
Terapi operatif ditujukan bagi penderita yang tidak dapat dilakukan penanganan dengan metode
Frank, atau gagal, atau bila terdapat uterus yang terbentuk baik dan fertilitas masih mungkin untuk
dipertahankan. Penderita seperti ini dapat diidentifikasi dengan adanya simptom retained
menstruation. Ada juga yang merekomendasikan untuk melakukan laparotomi inisial yang gunanya
untuk mengevaluasi kanalis servikalis; jika serviks atresia, uterus harus diangkat.
Penderita dengan septum vagina transversalis, dimana terjadi kegagalan kanalisasi sepertiga
distal vagina, biasanya disertai gejala obstruksi dan frekuensi urin. Septum transversalis dapat
dibedakan dari himen imperforata dengan kurang-nya distensi introitus pada manuver Valsava.
Pada kategori kelainan ini, obstruksi traktus genitalis bagian distal merupakan satu-satunya
kondisi yang dapat dipandang sebagai keadaan emergensi. Keterlambatan dalam terapi bedah dapat
menyebabkan terjadi infertilitas sebagai akibat perubahan peradangan dan endometriosis.
Pembedahan definitif harus dilakukan sesegera mungkin. Diagnostik dengan aspirasi menggunakan
jarum tidak boleh dilakukan karena dapat menyebabkan hematokolpos berubah menjadi pyokolpos.
c. Insensitifitas androgen (Feminisasi testikuler)

Insensitifitas androgen komplit (sindroma feminisasi testikuler) merupakan diagnosis yang paling
mungkin bilamana terjadi kanalis vaginalis yang buntu dan uterus tidak ada. Kelainan ini merupakan
penyebab amenorea primer yang ketiga setelah disgenesis gonad dan agenesis mullerian. Penderita
dengan feminisasi testikuler merupakan pseudohermafrodit pria. Kata pria disini, didasarkan pada

7
gonad yang dimiliki penderita; jadi individu ini memiliki testes dan kariotipe XY.
Pseudohermafrodit artinya bahwa alat genitalnya berlawanan dengan jenis gonad-nya; jadi, individu
tersebut secara fenotif wanita tetapi dengan tidak ada atau sangat kurangnya rambut kemaluan dan
ketiak.3

Pseudohermafrodit pria adalah genetik dan gonad yang dimilikinya pria dengan kegagalan
virilisasi. Kegagalan dalam perkembangan pria dapat meliputi suatu spektrum dengan bentuk
insensitifitas androgen yang inkomplit. Transmisi kelainan ini melalui X-linked recessive gene yang
bertanggung-jawab terhadap reseptor androgen intraseluler. Diagnosis klinik harus dipertimbangkan
pada keadaan berikut:
- anak perempuan dengan hernia inguinal karena testes seringkali mengalami parsial
descensus
- penderita dengan amenorea primer dan tidak ada uterus
- penderita tanpa bulu-bulu di tubuh.
Penderita kelihatan normal pada saat lahir kecuali mungkin adanya hernia inguinal, dan penderita
tidak dibawa ke dokter sampai usia pubertas. Pertumbuhan dan perkembangan normal. Payudara
abnormal dimana didapatkan jaringan kelenjar tidak cukup, puting susu kecil, dan areola mammae
pucat. Lebih dari 50% dengan hernia inguinalis, labia minora biasanya kurang berkembang, dan
blind vagina kurang dalam daripada normal. Tuba fallopi yang rudimenter terdiri dari jaringan
fibromuskuler kadang kala dengan hanya selapis epitel.3
Karena penderita ini sudah merasakan dirinya sebagai seorang wanita, maka kadang-kadang
tidak perlu dilakukan tindakan apa-apa. Testis yang berada intraabdominal perlu dilakukan tindakan
pengangkatan karena 10% dari kasus dengan testis intraabdominal dapat menjadi ganas. Bila telah
diputuskan untuk mengangkat testis, maka perlu diberikan pengobatan substitusi hormon.3,4

8
2. GANGGUAN PADA KOMPARTEMEN II

a. Sindroma Turner

Pada tahun 1938 Turner mengemukakan 7 kasus yang dijumpai dengan sindroma yang terdiri
atas trias yang klasik, yaitu infantilisme, webbed neck, dan kubitus valgus. Penderita-penderita ini
memiliki genitalia eksterna wanita dengan klitoris agak membesar pada beberapa kasus, sehingga
mereka dibesarkan sebagai wanita.
Fenotipe pada umumnya ialah sebagai wanita, sedang kromatin seks negatif. Pola kromosom
pada kebanyakan mereka adalah 45-XO; pada sebagian dalam bentuk mosaik 45-XO/46-XX. Angka
kejadian adalah satu di antara 10.000 kelahiran bayi wanita. Kelenjar kelamin tidak ada, atau hanya
berupa jaringan parut mesenkhim (streak gonads), dan saluran Muller berkembang dengan adanya
uterus, tuba, dan vagina, akan tetapi lebih kecil dari biasa, berhubung tidak adanya pengaruh dari
estrogen.
Selain tanda-tanda trias yang tersebut diatas, pada sindroma Turner dapat dijumpai tubuh yang
pendek tidak lebih dari 150 cm, dada berbentuk perisai dengan puting susu jauh ke lateral, payudara
tidak berkembang, rambut ketiak dan pubis sedikit atau tidak ada, amenorea, koarktasi atau stenosis
aortae, batas rambut belakang yang rendah, ruas tulang tangan dan kaki pendek, osteoporosis,
gangguan penglihatan, gangguan pendengaran, anomali ginjal (hanya satu ginjal), dan sebagainya.
Pada pemeriksaan hormonal ditemukan kadar hormon gonadotropin (FSH) meninggi, estrogen
hampir tidak ada, sedang 17-kortikosteroid terdapat dalam batas-batas normal atau rendah.
Diagnosis dapat dengan mudah ditegakkan pada kasus-kasus yang klasik berhubung dengan
gejala-gejala klinik dan tidak adanya kromatin seks. Pada kasus-kasus yang meragukan, perlu
diperhatikan dua tanda klinik yang penting yang dapat dipakai sebagai pegangan untuk menduga
sindrom Turner, yaitu tubuh yang pendek yang disertai dengan pertumbuhan tanda-tanda seks
sekunder yang sangat minimal atau tidak ada sama sekali.

Pengobatan terhadap penderita sindroma Turner adalah pengobatan substitusi yang bertujuan
untuk:
- merangsang pertumbuhan ciri-ciri seks sekunder, terutama pertumbuhan payudara
- menimbulkan perdarahan siklis yang menyerupai haid jika uterus sudah berkembang
- mencapai kehidupan yang normal sebagai istri walaupun tidak mungkin untuk mendapat
keturunan
- alasan psikologis, untuk tidak merasa rendah diri sebagai wanita.

Hormon yang diberikan adalah estrogen dalam kombinasi dengan progestagen secara siklis sampai
masa menopause atau pascamenopause. Berhubung dengan kemungkinan bahwa pemberian

9
estrogen mengakibatkan penutupan garis epifisis secara prematur sehingga menghalangi
pertumbuhan tubuh, terapi ditunda sampai penutupan garis epifisis sudah terjadi.
b. Disgenesis gonad XY
Penderita berfenotip wanita dengan kariotipe XY dengan sistem Mulleri yang teraba, kadar
testoteron wanita normal dan kurangnya perkembangan seksual dikenal sebagai sindroma Swyer.
Terdapat vagina, uterus, dan tuba falopii, tetapi pada usia pubertas gagal terjadi perkembangan
mammae dan amenorea primer. Gonad hampir seluruhnya berupa berkas-berkas tak berdiferensiasi
kendati pun terdapat kromosom Y yang secara sitogenetik normal. Pada kasus ini, gonad primitif
gagal berdiferensiasi dan tak dapat melaksanakan fungsi-fungsi testis, termasuk supremasi duktus
Mulleri. Sel-sel hillus dalam gonad mungkin mampu memproduksi sejumlah androgen; maka dapat
terjadi sedikit virilisasi, seperti pembesaran klitoris pada usia pubertas. Pertumbuhan normal; tidak
terdapat cacat penyerta. Transformasi tumor pada gonadal ridge dapat terjadi pada berbagai usia,
ekstirpasi gonadal streaks harus dilakukan segera setelah diagnosis dibuat, tanpa memandang usia.
c. Agenesis gonadal
Tidak terjadi komplikasi klinis yang terjadi bersama kegagalan gonad pada keadaan agenesis
ini. Keadaan ini disebut juga sindroma agenesis gonad XY atau sindroma regresi testis
embrionik. Pada sindroma yang langka ini, genitalis eksterna sedikit meragukan, namun hampir
menyerupai bentuk wanita. Ditemukan hipoplasia labia, derajat tertentu fusi labioskrotum, penis
kecil mirip klitoris, dan muara uretra pada perineum. Uterus, jaringan gonad, dan vagina tidak
ditemukan. Pada usia pubertas tidak terjadi perkembangan seksual, dan kadar gonadotropin meningkat.
Umumnya penderita diasuh sebagai wanita. Dalam kondisi ini, jaringan testis dianggap telah aktif
selama kehidupan janin sehingga mampu menghambat perkembangan duktus mulleri, tetapi fungsi sel
leydig minimal. Tanpa informasi yang tepat, hanya dapat diperkirakan saja apa yang menjadi penyebab
tidak terjadinya perkembangan gonad tersebut. Jadi harus diduga bahwa virus dan metabolik yang
berpengaruh pada awal kehamilan. Meskipun demikian hasil akhirnya berupa hipergonadotropik
hipogonadism yang tidak dapat diperbaiki kembali. Bila fungsi gonad tidak ada, perkembangan adalah

wanita.3

Pengangkatan gonadal streaks dengan pembedahan diperlukan untuk menghindari


kemungkinan terjadi neoplasia.
d. Sindroma ovarium resisten
Salah satu keadaan yang menarik dari faktor ovarium yang menimbulkan gangguan haid ialah
sindroma ovarium resisten gonadotropin, yang dikenal pula dengan istilah sindroma ovarium
insensitive atau ovarium hiposensitif gonadotropin. Penyebab yang pasti dari kelainan ini belum
seluruhnya terungkap. Kini yang banyak diperbincangkan adalah adanya gangguan pembentukan
reseptor-reseptor gonadotropin di ovarium akibat proses autoimun.
10
Dugaan ke arah diagnosis dari sindroma ovarium resisten gonadotropin ditegakkan baik
secara klinis mau pun secara laboratoris dan histopatologis. Secara klinis kelainan ini ditandai
dengan sindroma yang terdiri dari gangguan haid berupa oligomenorea sampai amenorea,
sedangkan secara laboratoris dijumpai hipergonadotropin dan hipoestrogen. Secara histologis pada
kelainan ini masih dijumpai struktur jaringan ovarium yang normal dengan folikel primordial yang
masih utuh.

Jarang terjadi penderita amenorea disertai peningkatan kadar gonadotropin walaupun terdapat
folikel-folikel ovarium normal dan tidak ada bukti penyakit autoimun. Laparotomi diperlukan untuk
sampai pada diagnosis yang benar dengan menghasilkan evaluasi histologis ovarium yang adequat.
Pemeriksaan ini dapat memperlihatkan adanya folikel-folikel tetapi tidak adanya infiltrasi limfositik
dengan penyakit autoimun. Karena kelainan ini jarang dan kesempatannya sangat kecil untuk dapat
hamil bahkan dengan pemberian gonadotropik eksogen dosis tinggi, Speroff berpendapat bahwa
tidak ada manfaat untuk melakukan laparotomi untuk biopsi ovarium pada setiap penderita
amenorea, gonadotropin tinggi, dan normal kariotipe.
Karena penyebab yang pasti dari penyakit ini belum diketahui, maka pengobatannya lebih
bersifat simptomatis. Banyak peneliti menganjurkan pemberian substitusi siklik estrogen dan
progesteron.
3. GANGGUAN PADA KOMPARTEMEN III
a. Gangguan hipofisis anterior
Adanya gangguan pada aksis hipotalamus-hipofisis pertama kali fokus kita harus tertuju pada
adanya masalah tumor hipofisis. Dengan munculnya amenorea, penderita dengan perkembangan
tumor hipofisis yang perlahan dapat muncul beberapa tahun sebelum tumor menjadi besar dan dapat
dideteksi secara radiologis. Untungnya, tumor maligna tidak terlalu banyak dijumpai. Sampai
dengan tahun 1989 tidak lebih dari 40 kasus yang dilaporkan di literatur internasional. Tetapi tumor
jinak dapat menimbulkan problem sebab dapat berkembang dan terjadi pendesakan ruangan maupun
jaringan lain, tumor akan tumbuh ke atas, akan menekan chiasma nervi optici yang menyebabkan
hemianopsia bitemporalis. Dengan ukuran tumor yang kecil, kelainan visual kadang sulit dideteksi.

Tidak semua massa intrasellar adalah neoplasma. Gumma, tuberkuloma, dan deposit lemak
telah dilaporkan dan menyebabkan penekanan dan menyebabkan amenorea hipogonadotropin. Lesi
pada daerah sekitar sella tursika seperti aneurisma arteri karotis, obstruksi aquaeduktus Sylvii dapat
juga menyebabkan amenorea.
4. GANGGUAN PADA KOMPARTEMEN IV
a. Amenorea dan anosmia, Sindroma Kallmann

11
Suatu kondisi yang jarang pada wanita, yaitu ditandai oleh adanya sindroma
hipogonadotropik-hipogonadism kongenital yang berhubungan dengan anosmia atau hiposmia,
dikenal sebagai sindroma Kallmann. Untuk mempermudah mengingat gambaran gejalanya sering
disebut juga sebagai sindroma amenorea dan anosmia. Pada wanita, gejala yang muncul berupa
amenorea primer, perkembangan seksual infantil, kadar gonadotropin rendah, kariotipe
wanita normal, dan ketidakmampuan untuk mempersepsi aroma. Seringkali penderita tidak
menyadari adanya gangguan penciuman tersebut. Gonad mampu untuk memberikan respon
terhadap gonadotropin; dengan demikian induksi ovulasi dengan gonadotropin eksogen bisa

berhasil.4
Sindroma Kallmann mempunyai kaitan dengan defek anatomi yang spesifik. Pemeriksaan
MRI (seperti juga pemeriksaan postmortem) memperlihatkan bahwa terdapat hipoplasia atau tidak
ada sulkus olfaktorius di rhinencephalon. Defek ini mengakibatkan kegagalan olfactory axonal
dan GnRH neuronal bermigrasi dari placode olfaktorius di hidung. Sel-sel yang memproduksi
GnRH berasal dari area olfaktorius dan bermigrasi selama embriogenesis sepanjang nervus kranialis
yang menghubungkan hidung dan forebrain. Terjadinya sindroma ini sebagai akibat mutasi yang
melibatkan gen tunggal pada lengan pendek kromosom X yang berisi kode pembentukan protein
yang mengatur fungsi yang diperlukan untuk migrasi neuronal.

Gambar 2. Amenore Primer


AMENOREA SEKUNDER
Dikatakan amenorea sekunder bila seorang wanita usia reproduktif yang pernah mengalami haid,
tiba-tiba haidnya berhenti untuk sedikitnya tiga bulan berturut-turut. Penyebab tidak datangnya haid
ialah gangguan pada organ-organ yang bertanggung jawab terhadap proses terjadinya siklus haid,

12
yaitu: hipotalamus-hipofisis (amenorea sentral), ovarium (amenorea ovarium), dan uterus (amenorea
uteriner). Pervalensi amenorea sekunder sekitar 3-4% wanita usia reproduktif, sebagian besar kasus
disebabkan oleh sindroma ovarium polikistik (SOPK), amenorea hipotalamik, hiperprolaktinemia,
dan kegagalan ovarium dini.4
Prinsip dasar fisiologi dari fungsi menstruasi memungkinkan penyusunan beberapa sistem
kompartemen yang tepat di mana siklus menstruasi bergantung. Prinsip ini berguna untuk
mendapatkan evaluasi diagnostik yang memisahkan penyebab dari amenore ke dalam kompartemen
berikut ini: kompartemen I, gangguan pada uterus; kompartemen II, gangguan pada ovarium;
kompartemen III, gangguan pada hipofisis anterior; dan kompartemen IV, gangguan pada sistem saraf
pusat (hipotalamus).
1. Kompartemen gangguan haid Kompartemen I: Gangguan pada uterus
a. Sindrom Asherman
Pada sindrom Asherman, amenore sekunder terjadi setelah kerusakan endometrium. Umumnya
hal ini disebabkan kuretase berlebihan yang kemudian menghasilkan jaringan parut intrauterin. Pola
yang khas yaitu sinekia multipel yang tampak pada histerogram. Diagnosis dengan histeroskopi lebih
akurat karena dapat mendeteksi perlekatan minimal yang tidak tampak pada histerogram. Perlekatan
dapat terjadi secara sebagian atau seluruh-nya menutup rongga endometrium atau kanalis servikalis.
Sindrom Asherman dapat juga terjadi setelah pembedahan uterus, meliputi seksio saesaria atau
miomektomi.
Pasien dengan sindrom Asherman dapat memiliki masalah lain selain amenore, termasuk keguguran
dan dismenore. Pasien dengan abortus berulang, infertilitas, atau kegagalan kehamilan harus menjalani
pemeriksaan rongga endometrium dengan histerogram atau histeroskopi.
Terapi sindrom Asherman meliputi dilatasi dan kuretase untuk melepaskan sinekia dan bila
diperlukan dapat dilakukan histerogram untuk memastikan rongga uterus telah bebas dari sinekia.
Histeros-kopi dengan melisiskan secara langsung perlekatan, memberikan hasil yang lebih baik
daripada dilatasi dan kuretase “buta”. Untuk mencegah rongga uterus dari perlekatan digunakan
kateter Folley intra uterin, kantung diisi dengan 3 ml cairan, dan kateter diangkat setelah 7 hari. Selain
kateter Folley, intrauterine device (IUD) juga dapat digunakan untuk mencegah perlekatan ulang.
Kateter Folley merupakan metode ajuvan yang lebih aman dan lebih efektif dibandingkan dengan
IUD. Hal ini didukung oleh penelitian yang dilakukan Orhue et al. yang membandingkan 51 kasus
sindrom Asherman yang menggunakan IUD dan 59 kasus dengan kateter Folley untuk mencegah
perlekatan ulang dan ditemukan 81,4% pasien dari kelompok kateter Folley mendapatkan siklus
menstruasi yang normal sedangkan pada kelompok IUD sebanyak 62,7%. Tingkat konsepsi pada
kelompok kateter ialah 33,9% dibandingkan dengan 22,5% pada kelompok IUD. Antibiotik spektrum
luas dimulai sebelum operasi dan dipertahankan selama 10 hari. Pasien diterapi selama 2 bulan
13
dengan estrogen dosis tinggi 2,5 mg perhari selama 3 dari 4 minggu dan dengan medroksi-progesteron
asetat 10 mg perhari yang ditambahkan pada minggu ketiga.4
2. Kompartemen II: Gangguan pada ovarium
a. Tumor ovarium
Amenorea yang terjadi dapat disebabkan oleh tumor ovarium yang tidak memproduksi hormon
maupun oleh tumor ovarium yang memroduksi hormon. Tumor ovarium yang tidak memroduksi
hormon akan merusak seluruh jaringan ovarium. Hormon yang diproduksi oleh tumor ovarium ialah
androgen dan estrogen. Androgen yang tinggi menekan sekresi gonadotropin, sehingga menyebabkan
amenorea, hirsutisme, hipertrofi klitoris, perubahan suara, dan akne. Tumor yang memroduksi
estrogen jarang menyebabkan amenorea, namun sering terjadi perdarahan yang memanjang akibat
hiperplasia endometrium.
b. Kegagalan ovarium dini/premature ovarian failure (POF)
Sekitar 1% wanita akan mengalami kegagalan ovarium dini (deplesi dini dari folikel ovarium)
sebelum usia 40 tahun. Etiologi dari kegagalan ovarium dini pada sebagian besar kasus belum
diketahui dan lebih sering terjadi pada keluarga yang memiliki sindrom X fragil; hal ini berguna bila
kegagalan ovarium dini familial diidentifikasi. Perlu ditekankan bahwa pembawa mutasi X fragil
ialah pada peningkatan risiko untuk kegagalan ovarium dini. Gangguan autosomal dominan yaitu
sindrom blefaro-fimosis (kelainan kelopak mata), telah diidentifi-kasi berhubungan dengan
kegagalan ovarium dini, yang disebabkan oeh mutasi dalam gen faktor transkripsi (FOXL2) pada
kromosom 3. Selain itu, kegagalan ovarium dini dapat disebabkan oleh destruksi folikel karena
infeksi, misalnya ooforitis gondok, atau kerusakan fisik (misalnya radiasi atau kemoterapi).
Efek radiasi tergantung pada usia dan dosis sinar X. Kadar estrogen dan progesteron mulai
menurun dan gonado-tropin meningkat dalam 2 minggu setelah radiasi ovarium. Pada wanita berusia
lebih muda yang terpapar dengan radiasi kuat akan lebih sulit terjadi efek kastrasi total, karena
memiliki jumlah oosit yang lebih banyak. Kerusakan ovarium mungkin tidak terjadi saat itu, namun
akan muncul di kemudian hari dalam bentuk kegagalan ovarium dini. Bila daerah radiasi di luar
pelvis, tidak terdapat risiko kegagalan ovarium dini. Untuk alasan ini, transposisi elektif ovarium
menggunakan laparoskopi dari ovarium di luar pelvis sebelum radiasi memberikan harapan yang baik
untuk fungsi fertilitas di masa akan datang.5

14
Tabel 1. Risiko infertilitas menurut dosis
Dosis ovarium Efek infertilitas

60 rad Tidak ada efek


150 rad Beberapa risiko di atas
usia 40 tahun
250-500 rad Usia 15-40 tahun:
60% infertil
500-800 rad Usia 15-40 tahun:
60-70% infertil
Di atas 800 rad 100% infertil permanen

c. Sindrom resistensi ovarium


Sindrom resistensi ovarium terjadi pada wanita amenore dengan pertumbuhan dan
perkembangan yang normal, namun memiliki peningkatan kadar gonadotropin. Wanita ini akan sulit
untuk hamil, bahkan dengan dosis gonadotropin eksogen yang tinggi. Penyebab pasti kelainan ini
belum sepenuhnya terungkap. Diduga adanya gangguan pembentukan reseptor gonado-tropin di
ovarium akibat proses autoimun. Perlu dilakukan biopsi ovarium untuk membedakan dengan
menopause prekok.
d. Sindroma ovarium polikistik (SOPK)
Sindrom ovarium polikistik adalah suatu anovulasi kronik yang menyebabkan infertilitas dan
bersifat hiperandrogenik, di mana terjadi gangguan hubungan umpan balik antara pusat (hipotalamus-
hipofisis) dan ovarium sehingga kadar estrogen selalu tinggi yang berakibat tidak pernah terjadi
kenaikan kadar FSH yang cukup adekuat.
Gambaran klinis SOPK sangat bervariasi, tetapi secara umum dapat dijumpai gangguan menstruasi
dan gejala hiperandrogenisme. Keadaan klinis yang ditemukan ialah gangguan menstruasi dengan
siklus menstruasi tidak teratur atau tidak menstruasi sama sekali, terkadang disertai terjadinya
perdarahan uterus disfungsional. Gejala hiperandrogenisme berupa hirsutisme, kelainan seboroik
pada kulit dan rambut serta kebotakan dengan pola seperti yang ditemukan pada pria. Tes
laboratorium yang dilakukan berupa tes hormonal, tidak saja penting untuk diagnosis tetapi juga
sangat penting untuk melihat kelainan secara keseluruhan. Kelainan endokrin yang ditemukan ialah
peningkatan konsentrasi LH dan aktivitas androgen yaitu testosteron dan androste-nedion. Pada
pemeriksaan ultrasonografi transvaginal didapatkan gambaran lebih dari 10 kista pada salah satu
ovarium dengan ukuran <1 cm.

15
3. Kompartemen III: Gangguan pada hipofisis anterior
a. Sindrom Sheehan
Penyebab terbanyak amenorea karena gangguan di hipofisis ialah sindrom Sheehan yang terjadi
akibat adanya iskemik atau nekrosis adenohipofisis. Kelainan ini sering dijumpai pada postpartum
dengan perdarahan banyak. Perlu diketahui, bahwa adenohipofisis sangat sensitif dalam kehamilan.
Gejala baru muncul bila ¾ dari adenohipofisis mengalami kerusakan. Bila hal ini terjadi, maka semua
hormon yang dihasilkan oleh adenohipofisis akan mengalami gangguan.
b. Amenorea galaktorea
Pada wanita dengan oligomenore, amenore, galaktorea atau infertilitas, harus diperiksa kadar
prolaktin serum. Hiper-prolaktinemia diperkirakan terjadi pada 9% wanita dengan amenore, 25%
wanita dengan galaktorea, dan 70% wanita dengan amenore dan galaktorea. Prolaktin merupa-kan
hormon yang diproduksi oleh sel-sel laktotrof yang terletak di bagian distal lobus anterior hipofisis.
Pengeluaran prolaktin dihambat oleh prolactin inhibiting factor (PIF) yang identik dengan dopamin. Bila
PIF ini tidak berfungsi, atau produksinya berkurang maka akan terjadi hiperprolaktinemia. Tidak
berfungsinya PIF dapat disebabkan oleh: gangguan di hipotalamus; obat-obatan (psikofarmaka, estrogen,
domperidon, simetidin); kerusakan pada sistem portal hipofisis; dan tumor hipofisis yang menghasilkan
prolaktin (prolaktinoma), hipertiroid, dan akromegali.
Hiperprolaktinemia mengakibatkan reaksi umpan balik terhadap hipotalamus, sehingga
terbentuk dopamin dalam jumlah besar yang akan menghambat pengeluaran gonadotropin-releasing
hormone (GnRH) dan dengan sendirinya akan terjadi penurunan sekresi FSH dan LH.
Hiperprolaktinemia juga menyebabkan penurunan sensitivitas ovarium terhadap FSH dan LH,
memicu produksi asi, serta memicu sintesis androgen suprarenal.
Pada hiperprolaktinemia didapatkan kadar prolaktin yang tinggi di dalam darah (normal 5-25
ng/ml). Bila didapatkan kadar prolaktin yang tinggi harus dicari ada tidaknya prolaktinoma dengan
mengguna-kan MRI atau CT scan. Umumnya terjadi gangguan haid mulai dari oligomenorea sampai
amenorea yang sangat bergantung dari kadar prolaktin serum. Kadar prolaktin >100 ng/ml selalu
menyebabkan amenorea. Hiperprolaktinemia mengakibatkan timbul-nya gangguan pada
pertumbuhan folikel, sehingga ovulasi tidak terjadi. Kadang-kadang pasien mengeluh sakit kepala
yang disertai dengan amenorea, serta gangguan penglihatan. Bila hal ini ditemukan maka harus
dipikirkan adanya prolaktinoma.

16
4. Kompartemen IV: Gangguan pada sistem saraf pusat
a. Amenore hipotalamik
Gangguan hipotalamus didiagnosis dengan menyingkirkan lesi hipofisis. Gangguan ini sering
berhubungan dengan keadaan yang penuh dengan tekanan. Penyebab fungsional yang paling sering
ditemukan berupa gangguan psikis. Gangguan fungsional seperti ini paling banyak dijumpai pada
wanita pengungsi, dipenjara, sering mengalami stres, atau hidup dalam ketakutan. Pasien dengn
amenore hipotalamik (hipogonadotropin hipogonadisme) memiliki defisiensi dari sekresi pulsatil
GnRH. Tingkat penekanan GnRH menentukan bagaimana klinis pasien ini. Penekanan ringan dapat
berhubungan dengan efek marginal dari reprofuksi, khususnya fase luteal yang tidak adekuat.
Penekanan sedang dapat menghasilkan anovulasi dengan ketidak-teraturan menstruasi, dan
penekanan yang kuat bermanifestasi sebagai amenore hipotalamik.
b. Anoreksia nervosa dan bulimia
Wanita yang mengalami gangguan pola makan seperti anoreksia nervosa dan bulimia dapat
menyebabkan gangguan psikis, dan neurotik, sehingga dapat terjadi kerusakan organ (atrofi). Bila
kerusakan tersebut mengenai hipotalamus, maka dengan sendirinya hipotalamus tidak dapat lagi
memroduksi GnRH. Pengeluaran FSH dan LH dari hipofisis pun berhenti. Akibatmya pematangan
folikel dan ovulasi di ovarium tidak terjadi. Anoreksia nervosa diagnosis bila ditemukan gejala
berikut:
 Onset antara usia 10 dan 30 tahun.
 Penurunan berat badan sebanyak 25% atau 15% di bawah normal untuk usia dan tinggi badan.
 Kelakuan khusus: penyangkalan, gambar tubuh yang berubah, perlakuan yang tidak biasa terhadap
makanan.
 Sedikitnya satu dari berikut ini: rambut halus (lanugo), bradikardi, overaktivitas, episode makan
berlebihan (bulimia), muntah, yang dapat diinduksi oleh diri sendiri.
 Amenore.
 Tidak ada penyakit medis yang diketahui.
 Tidak ada kelainan psikiatrik lain
Bulimia merupakan sebuah sindrom yang ditandai dengan makan berlebihan yang episodik dan
diikuti dengan induksi muntah, puasa, dan penggunaan laksatif dan diuretik, bahkan enema.
Tampaknya ini merupakan permasalahan yang berkembang pada wanita muda. Perilaku bulimik
sering tampak pada pasien dengan anoreksia nervosa. Pasien dengan bulimia memiliki insidensi
gejala depresif yang tinggi atau gangguan kecemasan. Baik anoreksia nervosa maupun bulimia
menetap sebagai masalah kronis yang berjangka waktu lama yang ditemukan pada 50% kasus.

17
c. Olah raga dan amenore
Atlet wanita dengan olahraga yang penuh tekanan memiliki peningkatan insidensi bermakna dari
ketidakteraturan menstruasi dan amenore akibat efek penekanan hipotalamus. Bila latihan dimulai
sebelum menarke, menarke dapat tertunda hingga 2-3 tahun, dan insidensi berikutnya dari
ketidakteraturan menstruasi lebih tinggi. Olahraga menurunkan gonado-tropin dan meningkatkan
prolaktin, hormon pertumbuhan, testosteron, ACTH, steroid adrenal, dan endorfin sebagai akibat dari
sekresi yang meningkat maupun bersihan yang berkurang.
Hormon yang melepaskan kortiko-tropin (CRH) secara langsung menghambat sekresi GnRH
hipotalamik, mungkin dengan meningkatkan sekresi opioid endogen. Wanita dengan amenore hipo-
talamik (termasuk olahragawan dan wanita dengan gangguan pola makan) memperlihatkan
hiperkortisolisme (karena peningkatan CRH dan ACTH), yang menunjukkan bahwa ini merupakan
jalur dimana tekanan mengganggu fungsi reproduktif. Atlet amenore yang memiliki kadar kortisol
kembali ke rentang normal memperoleh kembali fungsi menstrual dalam 6 bulan, kebalikan dengan
atlet yang mempertahankan kadar kortisol yang meningkat dan terus mengalami amenore. Terdapat
beberapa perbedaan penting antara reaksi anorektik dan anoreksia nervosa sejati. Pasien dengan
anoreksia nervosa sejati memiliki persepsi yang salah tentang realitas dan kurang kesadaran diri
terhadap penyakit dan masalahnya sedangkan pasien dengan reaksi anorektik memiliki kemampuan
untuk menilai diri sendiri. Atlet wanita yang bertanding dapat mengalami reaksi anorektik mereka
dengan sengaja berusaha untuk mengurangi berat badan. Seorang dokter harus waspada akan masalah
ini dan akan ditemui oleh pasien karena keluhan yang terjadi baik amenore maupun penurunan berat
badan yang tidak terkontrol lagi.

Beberapa uji untuk mencari penyebab amenorea


1. Uji dengan menggunakan progestogen, (uji P)
Bila ternyata wanita tersebut diyakini tidak hamil, maka baru boleh dilakukan uji P. Jenis-jenis
progestogen yang dapat digunakan ialah medroksiprogesteron asetat (MPA), noretisteron,
didrogesteron, atau nomegestrol asetat. Dosis progestogen untuk uji P ialah 5-10 mg/hari dengan
lama pemberian 7 hari. Umumnya perdarahan akan terjadi 3-4 hari setelah obat habis, dan dikatakan
uji P pada wanita ini positif. Jika dalam 10 hari setelah obat habis belum juga terjadi perdarahan,
maka dikatakan uji P negatif. Bila terjadi perdarahan setelah uji P, berarti wanita tersebut masih
memiliki uterus, dengan endometrium normal. Perdarahan dapat keluar dari alat genitalia wanita
tersebut, berarti wanita tersebut memiliki vagina dan himen yang normal. Perdarahan dapat terjadi
karena endo-metrium telah mendapat pengaruh estrogen yang cukup (proliferasi). Estrogen dihasil-
kan oleh ovarium, tepatnya di folikel, artinya wanita tersebut memiliki ovarium dan pertumbuhan
folikel yang normal. Folikel-folikel di ovarium baru dapat menghasilkan estrogen bila sebelumnya
18
telah mendapat rangsangan dari FSH dan LH. Karena FSH dan LH disintesis di hipofisis dan
pengeluarannya dipicu oleh hormon pelepas GnRH, maka dapat dikatakan bahwa wanita tersebut
memiliki hipofisis dan hipotalamus yang normal. Pemberian progesteron pada wanita ini
menyebabkan endometrium menjadi fase sekresi, dan begitu kadar progesteron turun terjadilah
perdarahan. Dapat dikatakan bahwa wanita ini kekurangan progesteron yang dihasilkan oleh korpus
luteum. Korpus luteum baru akan terbentuk bila pada seorang wanita terjadi ovulasi. Jadi pada wanita
ini kemungkinan tidak terjadi ovulasi. Pada analisis hormonal seperti FSH, LH dan prolaktin
umumnya dalam batas normal. Tidak dijumpai tumor di hipofisis. Diagnosis pada wanita ini ialah
disregulasi hipotalamus-hipofisis. Sebagai penyebabnya kemungkinan besar karena gangguan pada
sistem umpan balik. Kadang-kadang ditemukan kadar FSH dan prolaktin normal, namun kadar LH
tinggi. Wanita ini sangat mungkin menderita sindroma ovarium polikistik.
Penanganan wanita dengan uji P positif bagi wanita yang belum menginginkan anak, cukup
diberikan progestogen dari hari ke 16 sampai hari ke 25 siklus haid. Hari pertama dihitung dari hari
pertama terjadinya perdarahan setelah uji P dilaku-kan. Setiap habis obat pada umumnya akan terjadi
perdarahan. Pengobatan diberikan untuk 3 siklus berturut-turut. Setelah itu dilihat apakah siklus haid
menjadi normal kembali atau tidak. Bila masih belum terjadi siklus haid normal, maka pengobatan
dilanjutkan lagi sampai dicapai siklus haid yang normal. Selama belum diperoleh siklus haid yang
normal, berarti wanita tersebut terus menerus berada di bawah pengaruh estrogen yang suatu waktu
dapat menyebabkan hiperplasia endo-metrium bahkan kanker endometrium. Pemberian progestogen
pada wanita ini selain untuk mendapatkan haid yang teratur juga sekaligus untuk mencegah timbulnya
kanker endometrium. Bila ternyata wanita tersebut telah mendapatkan siklus haid yang teratur, namun
wanita tersebut belum menginginkan anak, maka perlu dilanjutkan penggunaan IUD, atau yang paling
mudah ialah pemberian pil kontrasepsi kombinasi. Bila hasil uji P negatif, maka perlu dilakukan uji
berikutnya dengan menggunakan estrogen dan progestogen.4,5
2. Uji dengan menggunakan estrogen dan progestogen (uji E + P)
Cara melakukan uji E+P ialah dengan memberikan estrogen, seperti etinil estradiol 50 µg, atau
estrogen valerianat 2 mg, atau estrogen equin konjugasi 0, 625 mg selama 21 hari dan dari hari ke 12
sampai hari ke 21 diberikan progestogen 10 mg/hari. Paling mudah ialah dengan memberikan pil
kontrasepsi kombinasi, meskipun cara ini tidak dapat dikatakan sebagai uji E+P yang murni karena
sejak awal estrogen dan progestogen diberikan bersamaan. Uji E+P dikatakan positif, bila 2 atau 3
hari setelah obat habis terjadi perdarahan. Pada wanita tertentu perdarahan dapat saja terjadi 7-10 hari
setelah obat habis. Bila tidak terjadi perdarahan, maka dikatakan uji E+P negatif. Uji E+P positif
artinya pada wanita ini perdarahan baru terjadi setelah diberikan estrogen. Pada wanita ini terjadi
gangguan pematangan folikel, sehingga estrogen tidak dapat dihasilkan. Untuk pematangan folikel
diperlukan rangsangan dari FSH dan LH, sedangkan untuk pengeluaran FSH dan LH diperlukan
19
rangsangan dari GnRH yang dihasilkan oleh hipotalamus. Dapat dipastikan bahwa pada wanita ini
tidak terjadi ovulasi.
Penanganan wanita dengan uji E+P positif yaitu penyebab folikel tidak berkembang harus dicari
serta dilakukan analisis hormonal FSH, LH, dan prolaktin. Bila kadar FSH dan LH rendah, serta kadar
prolaktin normal, maka diagnosisnya ialah amenorea hipogonadotropin yang disebab-kan oleh
insufisiensi hipotalamus-hipofisis. Bila ditemukan kadar FSH dan LH tinggi dan prolaktin normal,
maka penyebab amenorea pada pasien ini ialah gangguan di ovarium, misalnya menopause prekok.
Diagnosisnya ialah amenorea hipergonado-tropin. Untuk memastikan secara pasti, perlu dilakukan
biopsi pada ovarium. Bila FSH dan LH sangat rendah berarti tidak terjadi pematangan folikel, atau
ovarium tidak memiliki folikel-folikel lagi.
Untuk mengetahui apakah ovarium benar-benar masih mengandung folikel dan masih memiliki
kemampuan untuk menumbuhkan folikel, dapat dilakukan uji stimulasi dengan hMG (uji hMG) yang
dapat mengandung hormon FSH dan LH. Pada ovarium yang normal, pemberian hMG akan memicu
pertumbuhan folikel dan memroduksi estrogen. Estrogen tersebut dapat diperiksa melalui urin atau
darah. Bila didapatkan kadar estrogen yang normal, maka uji hMG dikatakan positif. Hasil uji hMG
positif berarti amenorea yang terjadi disebabkan oleh rendahnya produksi FSH dan LH di hipofisis,
atau rendahnya FSH dan LH yang bisa disebabkan oleh rendahnya produksi hormon pelepas GnRH
di hipotalamus. Hasil uji hMG negatif menunjukkan bahwa ovarium tidak memiliki folikel, atau
masih memiliki folikel, tetapi tidak sensitif terhadap gonadotropin seperti pada kasus sindrom
ovarium resisten.
Untuk mencari tahu kemungkinan lokasi gangguan yang terjadi di hipotalamus atau di hipofisis,
maka perlu dilakukan uji stimulasi dengan clomifen sitrat dan uji dengan GnRH. Clomifen sitrat
diberikan 100 mg/ hari selama 5-10 hari. Uji clomifen sitrat dikatakan positif bila selama penggunaan
clomifen sitrat dijumpai peningkatan FSH dan LH serum 2 kali lipat dan 7 hari setelah penggunaan
clomifen sitrat ditemukan peningkatan serum estradiol paling sedikit 200 pg/mL. Darah untuk
pemeriksaan FSH, LH, dan E2 diambil pada hari ke 7. Peningkatan FSH dan LH yang terjadi
menunjukkan hipofisis normal, artinya masih tersedia FSH dan LH yang cukup. Bila uji clomifen
sitrat negatif, berarti terjadi gangguan di hipotalamus dengan kemungkinan tidak tersedia cukup
GnRH, maka tindakan selanjutnya adalah melakukan uji dengan GnRH. GnRH diberikan dengan
dosis 25-100 µg intravena. Tiga puluh menit setelah pemberian GnRH dilakukan pengukuran kadar
FSH dan LH serum. Uji GnRH dikatakan positif, bila dijumpai kadar FSH dan LH yang normal atau
tinggi, hal ini berarti gangguan yang terjadi adalah dihipotalamus, sedangkan bila tidak dijumpai
peningkatan FSH dan LH, maka gangguan yang terjadi ialah di hipofisis. Bila ditemukan FSH dan
LH normal, namun kadar prolaktin tinggi, maka pasien ini perlu ditangani sesuai dengan piñata-
laksanaan pasien dengan hiperprolaktin-emia.
20
Pada pasien dengan uji P negatif dan uji E + P positif yang belum menginginkan anak, cukup
diberikan estrogen-progesteron siklik, meskipun cara ini tidak mengobati penyebab dari amenorea
tersebut. Bila diduga kelainan di hipofisis, maka untuk pematangan folikel diberikan hMG atau FSH
dan untuk induksi ovulasi diberikan HCG, sedangkan bila diduga kelainan tersebut di hipotalamus,
maka diberikan GnRH secara pulsatif. Apabila tidak mungkin memberikan GnRH secara pulsatif,
maka terpaksa diberikan FSH dari luar, terutama bagi pasien yang ingin hamil.
Penanganan amenorea pada wanita dengan uji P dan uji E + P negative ialah pasien diperiksa
kadar FSH, LH, dan prolaktin serum. Bila hasilnya semua normal, maka diagnosis pasien ini ialah
normogonadotrop amenorea. Amenorea yang terjadi disebabkan oleh adanya defek di endometrium
(aplasia uterus, sindrom Asherman, dan tuberkulosis). Prognosis amenorea yang disebabkan oleh
kuman TBC tergolong buruk.

Gambar 3. Amenorea sekunder

KOMPLIKASI

Infertilitas adalah komplikasi signifikan amenore bagi wanita yang ingin hamil. Osteopenia
(penurunan kepadatan tulang) atau osteoporosis adalah komplikasi tingkat estrogen rendah, yang
mungkin terjadi dengan amenore berkepanjangan. Komplikasi lain amenore tergantung pada
penyebab amenore tersebut.

21
Daftar Pustaka

1. Prawirohardjo, Sarwono. 2002. Ilmu Kebidanan. Jakarta: Yayasan Bina Pustaka Sarwono
Prawirohardjo.
2. Fakultas Kedokteran Universitas Padjajaran. 2016. Obstetri Fisiologi. Bandung: FK Unpad.
3. Speroff L, Marc AF. 2005. Amenorrhea. In: Clinical Gynecologic Endocrinology & Infertility
(7th ed). Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins.
4. Baziad A. 2008. Amenorea sekunder. In Endokrinologi Ginekologi (3rd ed). Jakarta: Media
Aesculapius.
5. http://www.unmc.edu/obgyn/docs/Evaluation_and_Management_of_Primary_Amenorrhea_Delaney_8.
11.pdf. Diunduh 30 Januari 2019.

22

Você também pode gostar