Você está na página 1de 36

CASE REPORT

Asma Bronkhiale

Pembimbing:

dr. Andi Mulyawan

Disusun oleh:

dr. Amanda Ismoetia Malsyah

PROGRAM INTERNSIP DOKTER UMUM INDONESIA


RSUD PASAR REBO JAKARTA TIMUR 2018
CASE REPORT
I. IDENTITAS PASIEN

Nama : Ny. S
Umur : 43 tahun
Jenis Kelamin : Perempuan
Agama : Islam
Alamat : Ciracas
Tgl Pemeriksaan : 20 Desember 2018

II. ANAMNESIS

Anamnesis dilakukan dengan autoanamnesis tanggal 20 Desember 2018.


Keluhan Utama : Sesak napas sejak 2 jam smrs

Riwayat Penyakit Sekarang :

Pasien datang ke IGD RSUD Pasar Rebo pada tanggal 20 Desember 2018
dengan keluhan sesak napas sejak 2 jam SMRS, sesak dirasa semakin berat, terasa
seperti dada tertekan benda berat, sehingga pasien merasa seperti tercekik, sesak
diperberat dengan berbaring dan diperingan dengan posisi duduk. Sesak disertai
batuk dan suara napas yang mengi. Sesak tidak disertai dengan demam, batuk
berdarah dan pusing. Sebelumnya pasien sudah menyemprotkan obat semprot
lewat mulut tapi sesak tidak berkurang. Pasien mengaku sering mengalami sesak
seperti ini jika berada diruangan dingin dan saat terserang batuk dan pilek. Pasien
mengaku ayah pasien juga mengalami hal serupa.

Riwayat Penyakit Dahulu:

- Riwayat penyakit Asma sejak usia 17 tahun

Riwayat Alergi:
• Riwayat alergi obat maupun makanan disangkal.
1. PEMERIKSAAN FISIK

dilakukan pada tanggal 20 Desember 2018 pukul 10.56 WIB

Keadaan Umum : Tampak sakit sedang


Kesadaran : Compos Mentis, GCS E4 M6 V5
Tanda Vital : Tekanan darah : 110/70 mmHg
Nadi : 98 x/menit, regular

Pernafasan : 32 x/menit, bahu terangkat


Suhu : 36,6

Kepala : Normosefali.
Mata : CA (-/-), SI (-/-)
Mulut : mukosa oral kering
Leher : JVP tidak meningkat
Thorax :

2. Paru

- Auskultasi : vesikuler +/+, ronki -/-, wheezing +/+

3. Jantung

Auskultasi: BJ I & II reguler, murmur -, gallop -

Abdomen : perut tampak buncit, BU (+), supel

Ekstremitas : akral hangat, CRT < 2 detik, edema -/-/-/-

IV. PEMERIKSAAN PENUNJANG

Tidak dilakukan
Kesimpulan: Takipneu dengan wheeezing kedua lapang paru

4. DIAGNOSIS

Asma bronkhiale eksaserbasi akut

VI. PENATALAKSANAAN

a. Nebulizer Combivent+ pulmicort

b. Injeksi Kalmethason 2amp IV

4
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Istilah asma berasal dari kata Yunani yang artinya “terengah-engah”
dan berarti serangan nafas pendek(9). Nelson mendefinisikan asma sebagai
kumpulan tanda dan gejala wheezing (mengi) dan atau batuk dengan
karakteristik sebagai berikut; timbul secara episodik dan atau kronik,
cenderung pada malam hari/dini hari (nocturnal), musiman, adanya faktor
pencetus diantaranya aktivitas fisik dan bersifat reversibel baik secara
spontan maupun dengan penyumbatan, serta adanya riwayat asma atau atopi
lain pada pasien/keluarga, sedangkan sebab-sebab lain sudah
disingkirkan(7).
Asma merupakan penyakit inflamasi kronik saluran nafas yang
ditandai adanya mengi episodik, batuk dan rasa sesak di dada akibat
penyumbatan saluran nafas, termasuk dalam kelompok penyakit saluran
pernafasan kronik. World Health Organization (WHO) memperkirakan
100-150 juta penduduk dunia menderita asma. Bahkan jumlah ini
diperkirakan akan terus bertambah hingga mencapai 180.000 orang setiap
tahun. Sumber lain menyebutkan bahwa pasien asma sudah mencapai 300
juta orang di seluruh dunia dan terus meningkat selama 20 tahun belakangan
ini. Apabila tidak dicegah dan ditangani dengan baik, maka diperkirakan
akan terjadi peningkatan prevalensi yang lebih tinggi lagi pada masa akan
datang serta mengganggu proses tumbuh-kembang anak dan kualitas hidup
pasien(1).
Asma dapat diderita seumur hidup sebagaimana penyakit alergi
lainnya, dan tidak dapat disembuhkan secara total. Upaya terbaik yang dapat
dilakukan untuk menanggulangi permasalahan asma hingga saat ini masih
berupa upaya penurunan frekuensi dan derajat serangan, sedangkan
penatalaksanaan utama adalah menghindari faktor penyebab(5).

5
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi
Batasan asma yang lengkap yang dikeluarkan oleh Global Initiative
for Asthma (GINA) didefinisikan sebagai gangguan inflamasi kronik
saluran nafas dengan banyak sel yang berperan, khususnya sel mast,
eosinofil, dan limfosit T. Pada orang yang rentan inflamasi ini menyebabkan
mengi berulang, sesak nafas, rasa dada tertekan dan batuk, khususnya pada
malam atau dini hari. Gejala ini biasanya berhubungan dengan penyempitan
jalan nafas yang luas namun bervariasi, yang sebagian bersifat reversibel
baik secara spontan maupun dengan pengobatan, inflamasi ini juga
berhubungan dengan hiperreaktivitas jalan nafas terhadap berbagai
rangsangan(2).
2.2 Epidemiologi
Berdasarkan laporan National Center for Health Statistics atau
NCHS (2003), prevalensi serangan asma pada anak usia 0-17 tahun adalah
57 per 1000 anak (jumlah anak 4,2 juta) dan pada dewasa > 18 tahun, 38
per 1000 (jumlah dewasa 7,8 juta). Jumlah wanita yang mengalami
serangan lebih banyak daripada lelaki. WHO memperkirakan terdapat
sekitar 250.000 kematian akibat asma. Sedangkan berdasarkan laporan
NCHS (2000) terdapat 4487 kematian akibat asma atau 1,6 per 100 ribu
populasi(5).
Asma merupakan sepuluh besar penyebab kesakitan dan kematian
di Indonesia, hal itu tergambar dari data studi survei kesehatan rumah
tangga (SKRT) di berbagai propinsi di Indonesia. Survei kesehatan rumah
tangga (SKRT) 1986 menunjukkan asma menduduki urutan ke-5 dari 10
penyebab kesakitan (morbiditi) bersama-sama dengan bronkitis kronik dan
emfisema. Pada SKRT 1992, asma, bronkitis kronik dan emfisema sebagai
penyebab kematian (mortaliti) ke-4 di Indonesia atau sebesar 5,6 %. Tahun
1995, prevalensi asma di seluruh Indonesia sebesar 13/ 1000, dibandingkan
bronkitis kronik 11/ 1000 dan obstruksi paru 2/ 1000. Tahun 1993 UPF Paru

6
RSUD dr. Sutomo, Surabaya melakukan penelitian di lingkungan 37
puskesmas di Jawa Timur dengan menggunakan kuesioner modifikasi ATS
yaitu Proyek Pneumobile Indonesia dan Respiratory symptoms questioner
of Institute of Respiratory Medicine, New South Wales, dan pemeriksaan
arus puncak ekspirasi (APE) menggunakan alat peak flow meter dan uji
bronkodilator. Seluruhnya 6662 responden usia 13-70 tahun (rata-rata 35,6
tahun) mendapatkan prevalensi asma sebesar 7,7%, dengan rincian laki-kali
9,2% dan perempuan 6,6%.

2.3 Etiologi dan Faktor Risiko


Secara umum faktor risiko asma dibagi kedalam dua kelompok besar,
faktor risiko yang berhubungan dengan terjadinya atau berkembangnya
asma dan faktor risiko yang berhubungan dengan terjadinya eksaserbasi
atau serangan asma yang disebut trigger faktor atau faktor pencetus.
Adapun faktor risiko pencetus asma bronkial yaitu (6):
1. Asap Rokok
2. Tungau Debu Rumah
3. Jenis Kelamin
4. Binatang Piaraan
5. Jenis Makanan
6. Perabot Rumah Tangga
7. Perubahan Cuaca
8. Riwayat Penyakit Keluarga
9. Lingkungan termasuk lingkungan kerja
10. Psikologis

Faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya asma: (1,8)


 Pemicu: Alergen dalam ruangan seperti tungau, debu rumah, binatang
berbulu (anjing, kucing, tikus), alergen kecoak, jamur, kapang, ragi, serta
pajanan asap rokok.
 Pemacu: Rhinovirus, ozon, pemakaian β2 agonist.

7
 Pencetus: Infeksi viral saluran napas, aeroalergen seperti bulu binatang,
alergen dalam rumah (debu rumat, kecoa, jamur), seasonal aeroalergen
seperti serbuk sari, asap rokok, polusi udara, pewangi udara, alergen di
tempat kerja, udara dingin dan kering, olahraga, menangis, tertawa,
hiperventilasi, dan kondisi komorbid (rinitis, sinusitis, dan gastroesofageal
refluks).

Secara umum faktor risiko asma dipengaruhi atas faktor genetik dan faktor
lingkungan:(8)
b. Faktor Genetik
1. Atopi

Hal yang diturunkan adalah bakat alerginya, meskipun belum diketahui


bagaimana cara penurunannya. Penderita dengan penyakit alergi biasanya
mempunyai keluarga dekat yang juga alergi. Dengan adanya bakat alergi
ini, penderita sangat mudah terkena penyakit asma bronkial jika terpajan
dengan faktor pencetus.

2. Hiperreaktivitas bronkus
Saluran pernapasan sensitif terhadap berbagai rangsangan alergen maupun
iritan.

3. Jenis Kelamin
Perbandingan laki – laki dan perempuan pada usia dini adalah 2:1 dan pada
usia remaja menjadi 1:1. Prevalensi asma lebih besar pada wanita usia
dewasa.

4. Ras

5. Obesitas
Obesitas atau peningkatan Body Mass Index (BMI) merupakan faktor resiko
asma. Mediator tertentu seperti leptin dapat mempengaruhi fungsi saluran
pernapasan dan meningkatkan kemungkinan terjadinya asma. Meskipun

8
mekanismenya belum jelas, penurunan berat badan penderita obesitas
dengan asma, dapat mempengaruhi gejala fungsi paru, morbiditas dan status
kesehatan.

c. Faktor Lingkungan
1. Alergen dalam rumah (tungau debu rumah, spora jamur, kecoa, serpihan
kulit binatang seperti anjing, kucing, dan lain-lain).
2. Alergen luar rumah (serbuk sari, dan spora jamur).

c. Faktor Lain
1. Alergen makanan
Contoh: susu, telur, udang, kepiting, ikan laut, kacang tanah, coklat, kiwi,
jeruk, bahan penyedap pengawet, dan pewarna makanan.

2. Alergen obat-obatan tertentu


Contoh: penisilin, sefalosporin, golongan beta laktam lainnya, eritrosin,
tetrasiklin, analgesik, antipiretik, dan lain lain.

3. Bahan yang mengiritasi


Contoh: parfum, household spray, dan lain-lain.

4. Ekspresi emosi berlebih


Stres/gangguan emosi dapat menjadi pencetus serangan asma, selain itu
juga dapat memperberat serangan asma yang sudah ada. Di samping gejala
asma yang timbul harus segera diobati, penderita asma yang mengalami
stres/gangguan emosi perlu diberi nasihat untuk menyelesaikan masalah
pribadinya. Karena jika stresnya belum diatasi, maka gejala asmanya lebih
sulit diobati.

5. Asap rokok bagi perokok aktif maupun pasif


Asap rokok berhubungan dengan penurunan fungsi paru. Pajanan asap
rokok, sebelum dan sesudah kelahiran berhubungan dengan efek berbahaya

9
yang dapat diukur seperti meningkatkan risiko terjadinya gejala serupa
asma pada usia dini.

6. Polusi udara dari luar dan dalam ruangan

7. Exercise-induced asthma
Pada penderita yang kambuh asmanya ketika melakukan aktivitas/olahraga
tertentu. Sebagian besar penderita asma akan mendapat serangan jika
melakukan aktivitas jasmani atau olahraga yang berat. Lari cepat paling
mudah menimbulkan serangan asma. Serangan asma karena aktivitas
biasanya terjadi segera setelah selesai aktivitas tersebut.

8. Perubahan cuaca
Cuaca lembab dan hawa pegunungan yang dingin sering mempengaruhi
asma. Atmosfer yang mendadak dingin merupakan faktor pemicu terjadinya
serangan asma. Serangan kadang-kadang berhubungan dengan musim,
seperti: musim hujan, musim kemarau, musim bunga (serbuk sari
beterbangan).

2.4 Klasifikasi
(PDPI, 2003)
Derajat Gejala Gejala Malam Faal Paru
Asma

Intermitten Gejala <1x/minggu 2x sebulan VEP1 80% nilai


prediksi
Tanpa gejala diluar
serangan APE 80% nilai
terbaik
Serangan singkat
Variability APE
<20%

10
Persisten Gejala >1x/minggu >2x sebulan VEP1 80% nilai
Ringan tapi <ix/hari prediksi

APE 80% nilai


terbaik

Variability APE
20%-30%

Persisten Gejala setiap hari >1x seminggu VEP1 60-80%


Sedang nilai prediksi
Serangan
mengganggu APE 60-80%
aktivitas dan tidur nilai terbaik

Membutuhkan Variability APE


bronkodilator tiap >30%
hari

Persisten Gejala terus Sering VEP1 <60%


Berat menerus nilai prediksi

Sering kambuh APE <60%


nilai terbaik
Aktivitas fisik
terbatas Variability APE
>30%

2.5 Patofisiologi
Asma merupakan penyakit inflamasi kronis yang melibatkan beberapa
sel. Inflamasi kronis mengakibatkan dilepaskannya beberapa macam
mediator yang dapat mengaktivasi sel target di saluran nafas dan
mengakibatkan bronkokonstriksi, kebocoran mikrovaskuler dan edema,
hipersekresi mukus, dan stimulasi refleks saraf . Pada asma terjadi
mekanisme hiperresponsif bronkus dan inflamasi, kerusakan sel epitel,
kebocoran mikrovaskuler, dan mekanisme saraf.

11
Hiperresponsif bronkus adalah respon bronkus yang berlebihan akibat
berbagai rangsangan dan menyebabkan penyempitan bronkus. Peningkatan
respons bronkus biasanya mengikuti paparan alergen, infeksi virus pada
saluran nafas atas, atau paparan bahan kimia. Hiperesponsif bronkus
dihubungkan dengan proses inflamasi saluran napas. Pemeriksaan
histopatologi pada penderita asma didapatkan infiltrasi sel radang,
kerusakan epitel bronkus, dan produksi sekret yang sangat kental. Meskipun
ada beberapa bentuk rangsangan, untuk terjadinya respon inflamasi pada
asma mempunyai ciri khas yaitu infiltrasi sel eosinofil dan limfosit T
disertai pelepasan epitel bronkus .

Pada saluran napas banyak didapatkan sel mast, terutama di epitel


bronkus dan dinding alveolus, sel mast mengandung neutral triptase.
Triptase mempunyai bermacam aktivitas proteolitik antara lain aktivasi
komplemen, pemecahan fibrinogen dan pembentukan kinin. Sel mast
mengeluarkan berbagai mediator seperti histamin, prostaglandin-D2
(PGD2), dan Leukotrien-C4 (LTC4) yang berperan pada bronkokonstriksi.
Sel mast juga mengeluarkan enzim tripase yang dapat memecah peptida
yang disebut vasoactive intestinal peptide (VIP) dan heparin. VIP bersifat
sebagai bronkodilator . Heparin berperan dalam mekanisme anti inflamasi,
heparin mengubah basic protein yang dikeluarkan oleh eosinofil menjadi
tidak aktif.
Makrofag terdapat pada lumen saluran nafas dalam jumlah banyak,
diaktivasi oleh Ig E dependent mechanism sehingga makrofag berperan
dalam proses inflamasi pada penderita asma. Makrofag melepaskan
mediator seperti tromboksan A2, prostaglandin, platelet activating factor,
leukotrien-B4 (LTB4), tumor necrosis factor (TNF), interleukin-1 (IL-1),
reaksi komplemen dan radikal bebas oksigen. Berbeda dengan sel mast,
pelepasan mediator oleh makrofag dapat dihambat dengan pemberian
steroid tetapi tidak oleh golongan agonis beta-2. Infiltrasi eosinofil di
saluran napas, merupakan gambaran khas untuk penderita asma. Inhalasi

12
alergen menyebabkan peningkatan eosinofil pada cairan bilasan
bronkoalveolar pada saat itu dan beberapa saat sesudahnya (reaksi lambat).
Terdapat hubungan langsung antara jumlah eosinofil pada darah perifer dan
pada bilasan bronkoalveolar dengan hiperresponsif bronkus. Eosinofil
melepaskan mediator seperti LTC4, platelet activating factor (PAF), radikal
bebas oksigen, mayor basic protein (MBP), dan eosinofil derived

neurotoxin (EDN) yang bersifat sangat toksik untuk saluran napas(9).

Neutrofil banyak dijumpai pada asma yang diakibatkan oleh kerja.


Neutrofil diduga menyebabkan kerusakan epitel oleh karena pelepasan
metabolit oksigen, protease dan bahan kationik. Neutrofil merupakan
sumber mediator seperti prostaglandin, tromboxan, leukotrien-B4 (LTB4),
dan PAF. Limfosit T diduga mempunyai peranan penting dalam respon
inflamasi asma, karena masuknya antigen ke dalam tubuh melalui antigen
reseptor complemen-D3 (CD3). Secara fungsional CD3 dibagi menjadi 2
yaitu CD4 dan CD8. Limfosit T CD4 setelah diaktivasi oleh antigen, akan
melepaskan mediator protein yang disebut limfokin. Limfokin dapat
mengumpulkan dan mengaktifkan sel granulosit (9).
Limfosit T CD4 merupakan sumber terbesar dari IL-5. Zat IL-5 dapat
merangsang maturasi dan produksi sel granulosit dari sel prekursor,
memperpanjang kehidupan sel granulosit dari beberapa hari sampai
beberapa minggu, bersifat kemotaksis untuk sel eosinofil, merangsang
eosinofil untuk meningkatkan aktivitas respon efektor, mengaktivasi
limfosit B untuk membuat antibodi yang dapat menimbulkan respon imun.

Kerusakan sel epitel saluran napas dapat disebabkan oleh karena basic
protein yang dilepaskan oleh eosinofil atau pelepasan radikal bebas oksigen
dari bermacam-macam sel inflamasi dan mengakibatkan edema mukosa .
Sel epitel sendiri juga mengeluarkan mediator. Kerusakan pada epitel
bronkus merupakan kunci terjadinya hiperresponsif bronkus, ini mungkin
dapat menerangkan berbagai mekanisme hiperresponsif bronkus oleh
karena paparan ozon, infeksi virus, dan alergen. Pada manusia, epitel
bronkus dan trakea dapat membentuk PGE2 dan PGF2 alfa serta 12 dan 15

13
hydroxyicosotetraenoic (12- HETE dan 15-HETE). 15-HETE bersifat
kemotaksis terhadap eosinofil. Kerusakan epitel mempunyai peranan
terhadap terjadinya hiperresponsif bronkus melalui cara pelepasan epitel
yang menyebabkan hilangnya pertahanan, sehingga bila terinhalasi, bahan
iritan akan langsung mengenai submukosa yang seharusnya terlindungi.
Pelepasan epitel bronkus meningkatkan kepekaan otot polos bronkus
terhadap bahan spasmogen. Kerusakan epitel bronkus menyebabkan ujung
saraf perifer langsung terkena paparan atau teraktivasi oleh mediator
inflamasi sehingga mengakibatkan terjadinya inflamasi melalui mekanisme
akson refleks. Sel epitel mungkin dapat memproduksi enzim yang merusak
mediator, yaitu neutral actoenzym endopeptidase yang dapat merusak
bradikinin dan substan-P (9).
Mekanisme kebocoran mikrovaskuler terjadi pada pembuluh darah
venula akhir kapiler. Beberapa mediator seperti histamin, bradikinin, dan
leukotrin dapat menyebabkan kontraksi sel endotel sehingga terjadi
ekstravasasi makromolekul. Kebocoran mikrovaskuler mengakibatkan
edema saluran napas sehingga terjadi pelepasan epitel, diikuti penebalan
submukosa. Keadaan ini menyebabkan peningkatan tahanan saluran napas
dan merangsang konstraksi otot polos bronkus. Adrenalin dan
kortikosteroid dapat mengurangi kebocoran mikrovaskuler pada saluran
napas. Penurunan adrenalin dan kortikosteroid pada malam hari
mengakibatkan terjadinya pelepasan mediator dan dalam terjadinya asma
pada malam hari (9).

Pengaruh mekanisme saraf otonom pada hiperresponsif bronkus dan


patogenesis asma masih belum jelas, hal ini dikarenakan perubahan pada
tonus bronkus terjadi sangat cepat. Peranan saraf otonom kolinergik,
adrenergik, dan nonadrenergik terhadap saluran napas telah diidentifikasi.
Beberapa mediator inflamasi mempunyai efek pada pelepasan
neurotransmiter dan mengakibatkan terjadinya reaksi reseptor saraf otonom
. Saraf otonom mengatur fungsi saluran nafas melalui berbagai aspek seperti
tonus otot polos saluran napas, sekresi mukosa, aliran darah, permeabilitas

14
mikrovaskuler, migrasi, dan pelepasan sel inflamasi. Peran saraf kolinergik
paling dominan sebagai penyebab peneliti melaporkan bahwa rangsangan
yang disebabkan oleh sulfur dioksida, prostaglandin, histamin dan
bradikinin akan merangsang saraf aferen dan menyebabkan
bronkokonstriksi. Bronkokonstriksi lebih sering disebabkan karena
rangsangan reseptor sensorik pada saluran napas (reseptor iritan, C-fibre)
oleh mediator inflamasi (9).

Mekanisme adrenergik meliputi saraf simpatis, katekolamin yang


beredar dalam darah, reseptor alfa adrenergik, dan reseptor beta adrenergik.
Pemberian obat agonis adrenergik memperlihatkan perbaikan gejala pada
penderita asma, hal ini menunjukkan adanya defek mekanisme adrenergik
pada penderita asma. Saraf adrenergik tidak mengendalikan otot polos
saluran napas secara langsung, tetapi melalui katekolamin yang beredar
dalam darah (9).

15
2.6. Diagnosis
Studi epidemiologi menunjukkan asma underdiagnosed di seluruh
dunia, disebabkan berbagai hal antara lain gambaran klinis yang tidak khas
dan beratnya penyakit yang sangat bervariasi, serta gejala yang bersifat
episodik sehingga penderita tidak merasa perlu ke dokter. Diagnosis asma
didasari oleh gejala yang bersifat episodik, gejala berupa batuk, sesak napas,
mengi, rasa berat di dada dan variabiliti yang berkaitan dengan cuaca.
Anamnesis yang baik cukup untuk menegakkan diagnosis, ditambah dengan
pemeriksaan jasmani dan pengukuran faal paru terutama reversibiliti
kelainan faal paru, akan lebih meningkatkan nilai diagnostik (6).
Riwayat penyakit / gejala :
1. Bersifat episodik, seringkali reversibel dengan atau tanpa pengobatan
2. Gejala berupa batuk , sesak napas, rasa berat di dada dan berdahak
3. Gejala timbul/ memburuk terutama malam/ dini hari
4. Diawali oleh faktor pencetus yang bersifat individu
5. Respons terhadap pemberian bronkodilator

16
Hal lain yang perlu dipertimbangkan dalam riwayat penyakit :
1. Riwayat keluarga (atopi)
2. Riwayat alergi / atopi
3. Penyakit lain yang memberatkan
4. Perkembangan penyakit dan pengobatan

Pemeriksaan fisik
Gejala asma bervariasi sepanjang hari sehingga pemeriksaan jasmani
dapat normal. Kelainan pemeriksaan jasmani yang paling sering ditemukan
adalah mengi pada auskultasi. Pada sebagian penderita, auskultasi dapat
terdengar normal walaupun pada pengukuran objektif (faal paru) telah
terdapat penyempitan jalan napas. Pada keadaan serangan, kontraksi otot
polos saluran napas, edema dan hipersekresi dapat menyumbat saluran
napas; maka sebagai kompensasi penderita bernapas pada volume paru yang
lebih besar untuk mengatasi menutupnya saluran napas. Hal itu
meningkatkan kerja pernapasan dan menimbulkan tanda klinis berupa sesak
napas, mengi dan hiperinflasi. Pada serangan ringan, mengi hanya
terdengar pada waktu ekspirasi paksa. Walaupun demikian mengi dapat
tidak terdengar (silent chest) pada serangan yang sangat berat, tetapi
biasanya disertai gejala lain misalnya sianosis, gelisah, sukar bicara,
takikardi, hiperinflasi dan penggunaan otot bantu napas (6).
Faal paru
Umumnya penderita asma sulit menilai beratnya gejala dan persepsi
mengenai asmanya , demikian pula dokter tidak selalu akurat dalam menilai
dispnea dan mengi; sehingga dibutuhkan pemeriksaan objektif yaitu faal
paru antara lain untuk menyamakan persepsi dokter dan penderita, dan
parameter objektif menilai berat asma. Pengukuran faal paru digunakan
untuk menilai (6).
1. obstruksi jalan napas
2. reversibiliti kelainan faal paru
3. variabiliti faal paru, sebagai penilaian tidak langsung hiperes-ponsif jalan
napas

17
Banyak parameter dan metode untuk menilai faal paru, tetapi yang
telah diterima secara luas (standar) dan mungkin dilakukan adalah
pemeriksaan spirometri dan arus puncak ekspirasi (APE) (6).
a. Spirometri
Pengukuran volume ekspirasi paksa detik pertama (VEP1) dan kapasiti vital
paksa (KVP) dilakukan dengan manuver ekspirasi paksa melalui prosedur
yang standar. Pemeriksaan itu sangat bergantung kepada kemampuan
penderita sehingga dibutuhkan instruksi operator yang jelas dan kooperasi
penderita. Untuk mendapatkan nilai yang akurat, diambil nilai tertinggi dari
2-3 nilai yang reproducible dan acceptable. Obstruksi jalan napas diketahui
dari nilai rasio VEP1/ KVP < 75% atau VEP1 < 80% nilai prediksi .
Manfaat pemeriksaan spirometri dalam diagnosis asma :
- Obstruksi jalan napas diketahui dari nilai rasio VEP1/ KVP < 75% atau
VEP1 < 80% nilai prediksi.
- Reversibiliti, yaitu perbaikan VEP1 ³ 15% secara spontan, atau setelah
inhalasi bronkodilator (uji bronkodilator), atau setelah pemberian
bronkodilator oral 10-14 hari, atau setelah pemberian kortikosteroid
(inhalasi/ oral) 2 minggu. Reversibiliti ini dapat membantu diagnosis asma
- Menilai derajat berat asma

b. Arus Puncak Ekspirasi (APE)


Nilai APE dapat diperoleh melalui pemeriksaan spirometri atau
pemeriksaan yang lebih sederhana yaitu dengan alat peak expiratory flow
meter (PEF meter) yang relatif sangat murah, mudah dibawa, terbuat dari
plastik dan mungkin tersedia di berbagai tingkat layanan kesehatan
termasuk puskesmas ataupun instalasi gawat darurat. Alat PEF meter relatif
mudah digunakan/ dipahami baik oleh dokter maupun penderita, sebaiknya
digunakan penderita di rumah sehari-hari untuk memantau kondisi
asmanya. Manuver pemeriksaan APE dengan ekspirasi paksa
membutuhkan koperasi penderita dan instruksi yang jelas (6).

18
Manfaat APE dalam diagnosis asma
- Reversibiliti, yaitu perbaikan nilai APE ³ 15% setelah inhalasi bronkodilator
(uji bronkodilator), atau bronkodilator oral 10-14 hari, atau respons terapi
kortikosteroid (inhalasi/ oral , 2 minggu)
- Variabiliti, menilai variasi diurnal APE yang dikenal dengan variabiliti APE
harian selama 1-2 minggu. Variabiliti juga dapat digunakan menilai derajat
berat penyakit (lihat klasifikasi)
Nilai APE tidak selalu berkorelasi dengan parameter pengukuran faal paru
lain, di samping itu APE juga tidak selalu berkorelasi dengan derajat berat
obstruksi. Oleh karenanya pengukuran nilai APE sebaiknya dibandingkan
dengan nilai terbaik sebelumnya, bukan nilai prediksi normal; kecuali tidak
diketahui nilai terbaik penderita yang bersangkutan (PDPI, 2003).

Cara pemeriksaan variabiliti APE harian


Diukur pagi hari untuk mendapatkan nilai terendah, dan malam hari untuk
mendapatkan nilai tertinggi. Rata-rata APE harian dapat diperoleh melalui
2 cara):
- Bila sedang menggunakan bronkodilator, diambil variasi/ perbedaan
nilai APE pagi hari sebelum bronkodilator dan nilai APE malam hari
sebelumnya sesudah bronkodilator. Perbedaan nilai pagi sebelum
bronkodilator dan malam sebelumnya sesudah bronkodilator
menunjukkan persentase rata-rata nilai APE harian. Nilai > 20%
dipertimbangkan sebagai asma.

APE malam - APE pagi


Variabiliti harian = -------------------------------------------- x 100 %
1/2 (APE malam + APE pagi)

- Metode lain untuk menetapkan variabiliti APE adalah nilai terendah


APE pagi sebelum bronkodilator selama pengamatan 2 minggu,
dinyatakan dengan persentase dari nilai terbaik (nilai tertinggi APE
malam hari) .

19
Peran pemeriksaan lain untuk diagnosis : (6)

1. Uji Provokasi Bronkus


Uji provokasi bronkus membantu menegakkan diagnosis asma. Pada
penderita dengan gejala asma dan faal paru normal sebaiknya dilakukan uji
provokasi bronkus . Pemeriksaan uji provokasi bronkus mempunyai
sensitiviti yang tinggi tetapi spesifisiti rendah, artinya hasil negatif dapat
menyingkirkan diagnosis asma persisten, tetapi hasil positif tidak selalu
berarti bahwa penderita tersebut asma. Hasil positif dapat terjadi pada
penyakit lain seperti rinitis alergik, berbagai gangguan dengan penyempitan
jalan napas seperti PPOK, bronkiektasis dan fibrosis kistik.

2. Pengukuran Status Alergi


Komponen alergi pada asma dapat diindentifikasi melalui pemeriksaan uji
kulit atau pengukuran IgE spesifik serum. Uji tersebut mempunyai nilai
kecil untuk mendiagnosis asma, tetapi membantu mengidentifikasi faktor
risiko/ pencetus sehingga dapat dilaksanakan kontrol lingkungan dalam
penatalaksanaan.

Uji kulit adalah cara utama untuk mendiagnosis status alergi/atopi,


umumnya dilakukan dengan prick test. Walaupun uji kulit merupakan cara
yang tepat untuk diagnosis atopi, tetapi juga dapat menghasilkan positif
maupun negatif palsu. Sehingga konfirmasi terhadap pajanan alergen yang
relevan dan hubungannya dengan gejala harus selalu dilakukan.
Pengukuran IgE spesifik dilakukan pada keadaan uji kulit tidak dapat
dilakukan (antara lain dermatophagoism, dermatitis/ kelainan kulit pada
lengan tempat uji kulit, dan lain-lain). Pemeriksaan kadar IgE total tidak
(6)
mempunyai nilai dalam diagnosis alergi/ atopi .

2.7 Diagnosis banding


Diagnosis banding asma antara lain sbb : (6)
Dewasa :

20
 Penyakit Paru Obstruksi Kronik
Pada PPOK sesak bersifat irreversibel, terjadi pada usia 40 tahun keatas dan
biasanya dengan riwayat paparan zat alergen dalam watu yang cukup lama.
 Bronkitis kronik
Keluhan sesak nafas disertai dengan batuk produktif yang terus menerus
selama 3 bulan dalam 2 tahun berturut turut.
 Gagal Jantung Kongestif
Sesak biasanya hilang timbul dan kumat-kumatan. Keluhan sesak biasanya
terjadi setelah melakukan aktivitas. Selain itu sesak nafas juga terjadi pada
saat tidur telentang sehingga pasien akan merasa lebih nyaman jika tidur
mnggunakan 2-3 buah bantal.
 Obstruksi mekanis (misal tumor)
Keluhan sesak biasanya bertahan lama. Hal ini disebabkan karena adanya
penyempitan permanen dari saluran pernafasan. Bunyi mengi juga akan
terdengar setiap saat.
Anak :
 Benda asing di saluran napas
Keluhan sesak disertai dengan riwayat tertelan benda asing. Setelah benda
asing berhasil dikeluarkan maka keluhan sesak akan hilang secara
permanen.
 Laringotrakeomalasia
Laringotrakeomalasia adalah kelainan yang disebabkan oleh melemahnya
struktur supraglotis dan dinding trakea, sehingga terjadi kolaps dan
obstruksi saluran napas yang menimbulkan gejala utama berupa stridor.
Kelainan ini dapat hadir sebagai laringomalasia atau trakeomalasia saja.
 Tumor
Keluhan sesak biasanya juga bertahan lama sama seperti tumor pada
dewasa. Hal ini disebabkan karena adanya penyempitan permanen dari
saluran pernafasan. Bunyi mengi juga akan terdengar setiap saat.
 Bronkiolitis
Merupakan infeksi virus pada bronkiolus dan biasanya menyerang anak
dibawah usia 2 tahun.

21
2.8.Tatalaksana
Tujuan penatalaksanaan asma: (6)
1. Menghilangkan dan mengendalikan gejala asma
2. Mencegah eksaserbasi akut
3. Meningkatkan dan mempertahankan faal paru seoptimal mungkin
4. Mengupayakan aktiviti normal termasuk exercise
5. Menghindari efek samping obat
6. Mencegah terjadi keterbatasan aliran udara (airflow limitation) ireversibel
7. Mencegah kematian karena asma

Penatalaksanaan asma berguna untuk mengontrol penyakit. Asma dikatakan


terkontrol bila : (6)
1. Gejala minimal (sebaiknya tidak ada), termasuk gejala malam
2. Tidak ada keterbatasan aktiviti termasuk exercise
3. Kebutuhan bronkodilator (agonis b2 kerja singkat) minimal (idealnya tidak
diperlukan)
4. Variasi harian APE kurang dari 20%
5. Nilai APE normal atau mendekati normal
6. Efek samping obat minimal (tidak ada)
7. Tidak ada kunjungan ke unit darurat gawat

Tujuan penatalaksanaan tersebut merefleksikan pemahaman bahwa


asma adalah gangguan kronik progresif dalam hal inflamasi kronik jalan
napas yang menimbulkan hiperesponsif dan obstruksi jalan napas yang
bersifat episodik. Sehingga penatalaksanaan asma dilakukan melalui
berbagai pendekatan yang dapat dilaksanakan (applicable), mempunyai
manfaat, aman dan dari segi harga terjangkau . (6)

Program penatalaksanaan asma, yang meliputi 7 komponen : (6)


1. Edukasi
2. Menilai dan monitor berat asma secara berkala
3. Identifikasi dan mengendalikan faktor pencetus

22
4. Merencanakan dan memberikan pengobatan jangka panjang
5. Menetapkan pengobatan pada serangan akut
6. Kontrol secara teratur
7. Pola hidup sehat

Pengobatan berdasarkan derajat berat asma (6)


Asma Intermiten
Termasuk pula dalam asma intermiten penderita alergi dengan
pajanan alergen, asmanya kambuh tetapi di luar itu bebas gejala dan faal
paru normal. Demikian pula penderita exercise induced asthma atau
kambuh hanya bila cuaca buruk, tetapi di luar pajanan pencetus tersebut
gejala tidak ada dan faal paru normal.

Serangan berat umumnya jarang pada asma intermiten walaupun mungkin


terjadi. Bila terjadi serangan berat pada asma intermiten, selanjutnya
penderita diobati sebagai asma persisten sedang.

Pengobatan yang lazim adalah agonis beta-2 kerja singkat hanya jika
dibutuhkan, atau sebelum exercise pada exercise-induced asthma, dengan
alternatif kromolin atau leukotriene modifiers; atau setelah pajanan alergen
dengan alternatif kromolin. Bila terjadi serangan, obat pilihan agonis beta-
2 kerja singkat inhalasi, alternatif agonis beta-2 kerja singkat oral,
kombinasi teofilin kerja singkat dan agonis beta-2 kerja singkat oral atau
antikolinergik inhalasi. Jika dibutuhkan bronkodilator lebih dari sekali
seminggu selama 3 bulan, maka sebaiknya penderita diperlakukan sebagai
asma persisten ringan.

Asma Persisten Ringan


Penderita asma persisten ringan membutuhkan obat pengontrol
setiap hari untuk mengontrol asmanya dan mencegah agar asmanya tidak
bertambah bera; sehingga terapi utama pada asma persisten ringan adalah

23
antiinflamasi setiap hari dengan glukokortikosteroid inhalasi dosis rendah.
Dosis yang dianjurkan 200-400 ug BD/ hari atau 100-250 ug FP/hari atau
ekivalennya, diberikan sekaligus atau terbagi 2 kali sehari

Terapi lain adalah bronkodilator (agonis beta-2 kerja singkat inhalasi) jika
dibutuhkan sebagai pelega, sebaiknya tidak lebih dari 3-4 kali sehari. Bila
penderita membutuhkan pelega/ bronkodilator lebih dari 4x/ sehari,
pertimbangkan kemungkinan beratnya asma meningkat menjadi tahapan
berikutnya

Asma Persisten Sedang


Penderita dalam asma persisten sedang membutuhkan obat
pengontrol setiap hari untuk mencapai asma terkontrol dan
mempertahankannya. Idealnya pengontrol adalah kombinasi inhalasi
glukokortikosteroid (400-800 ug BD/ hari atau 250-500 ug FP/ hari atau
ekivalennya) terbagi dalam 2 dosis dan agonis beta-2 kerja lama 2 kali
sehari. Jika penderita hanya mendapatkan glukokortikosteroid inhalasi
dosis rendah (£ 400 ug BD atau ekivalennya) dan belum terkontrol; maka
harus ditambahkan agonis beta-2 kerja lama inhalasi atau alternatifnya. Jika
masih belum terkontrol, dosis glukokortikosteroid inhalasi dapat dinaikkan.
Dianjurkan menggunakan alat bantu/ spacer pada inhalasi bentuk IDT/MDI
atau kombinasi dalam satu kemasan (fix combination) agar lebih mudah).

Terapi lain adalah bronkodilator (agonis beta-2 kerja singkat


inhalasi) jika dibutuhkan , tetapi sebaiknya tidak lebih dari 3-4 kali sehari. .
Alternatif agonis beta-2 kerja singkat inhalasi sebagai pelega adalah agonis
beta-2 kerja singkat oral, atau kombinasi oral teofilin kerja singkat dan
agonis beta-2 kerja singkat. Teofilin kerja singkat sebaiknya tidak
digunakan bila penderita telah menggunakan teofilin lepas lambat sebagai
pengontrol.

24
Asma Persisten Berat
Tujuan terapi pada keadaan ini adalah mencapai kondisi sebaik
mungkin, gejala seringan mungkin, kebutuhan obat pelega seminimal
mungkin, faal paru (APE) mencapai nilai terbaik, variabiliti APE seminimal
mungkin dan efek samping obat seminimal mungkin. Untuk mencapai hal
tersebut umumnya membutuhkan beberapa obat pengontrol tidak cukup
hanya satu pengontrol. Terapi utama adalah kombinasi inhalasi
glukokortikosteroid dosis tinggi (> 800 ug BD/ hari atau ekivalennya) dan
agonis beta-2 kerja lama 2 kali sehari. Kadangkala kontrol lebih tercapai
dengan pemberian glukokortikosteroid inhalasi terbagi 4 kali sehari
daripada 2 kali sehari .

Teofilin lepas lambat, agonis beta-2 kerja lama oral dan leukotriene
modifiers dapat sebagai alternatif agonis beta-2 kerja lama inhalasi dalam
perannya sebagai kombinasi dengan glukokortikosteroid inhalasi, tetapi
juga dapat sebagai tambahan terapi selain kombinasi terapi yang lazim
(glukokortikosteroid inhalasi dan agonis beta-2 kerja lama inhalasi). Jika
sangat dibutuhkan, maka dapat diberikan glukokortikosteroid oral dengan
dosis seminimal mungkin, dianjurkan sekaligus single dose pagi hari untuk
mengurangi efek samping. Pemberian budesonid secara nebulisasi pada
pengobatan jangka lama untuk mencapai dosis tinggi glukokortikosteroid
inhalasi adalah menghasilkan efek samping sistemik yang sama dengan
pemberian oral, padahal harganya jauh lebih mahal dan menimbulkan efek
samping lokal seperti sakit tenggorok/ mulut. Sehngga tidak dianjurkan
untuk memberikan glukokortikosteroid nebulisasi pada asma di luar
serangan/ stabil atau sebagai penatalaksanaan jangka panjang.

Indikator asma tidak terkontrol (6)


a. Asma malam, terbangun malam hari karena gejala-gejala asma
b. Kunjungan ke darurat gawat, ke dokter karena serangan akut
c. Kebutuhan obat pelega meningkat (bukan akibat infeksi pernapasan, atau
exercise-induced asthma).

25
Pertimbangkan beberapa hal seperti kekerapan/ frekuensi tanda-
tanda (indikator) tersebut di atas, alasan/ kemungkinan lain, penilaian
dokter; maka tetapkan langkah terapi, apakah perlu ditingkatkan atau tidak.
Alasan / kemungkinan asma tidak terkontrol :
1. Teknik inhalasi : Evaluasi teknik inhalasi penderita
2. Kepatuhan : Tanyakan kapan dan berapa banyak penderita menggunakan
obat-obatan asma
3. Lingkungan : Tanyakan penderita, adakah perubahan di sekitar lingkungan
penderita atau lingkungan tidak terkontrol
4. Konkomitan penyakit saluran napas yang memperberat seperti sinusitis,
bronkitis dan lain-lain
Bila semua baik pertimbangkan alternatif diagnosis lain (PDPI, 2003).

Pengobatan sesuai berat serangan asma


Semua tahapan : ditambahkan agonis beta-2 kerja singkat untuk pelega bila
dibutuhkan, tidak melebihi 3-4 kali sehari.

Berat Asma Medikasi Pengontrol Alternatif/Pilihan Alternatif


Harian Lain Lain

Intermitten ------ ------- ------

Persisten Ringan Glukokortikosteroid Teofilin lepas lambat ------


inhalasi (200-400 ug
Kromolin
BD/hari atau
ekivalennya) Leukotriene
Modifiers

Persisten Sedang Kombinasi inhalasi Glukokortikosteroid Ditambah


glukokortikosteroid inhalasi (400-800 ug agonis beta-2
BD atau ekivalennya) kerja lama oral,
(400-800 ug BD/hari
ditambah Teofilin atau
atau ekivalennya) dan
lepas lambat ,atau
agonis beta-2 kerja lama

26
Glukokortikosteroid Ditambah
inhalasi (400-800 ug teofilin lepas
BD atau ekivalennya) lambat
ditambah agonis beta-
2 kerja lama oral,
atau

Glukokortikosteroid
inhalasi dosis tinggi
(>800 ug BD atau
ekivalennya) atau

Glukokortikosteroid
inhalasi (400-800 ug
BD atau ekivalennya)
ditambah leukotriene
modifiers

Persisten Berat Kombinasi inhalasi Prednisolon/


glukokortikosteroid metilprednisolon oral
selang sehari 10 mg
(> 800 ug BD atau
ekivalennya) dan agonis ditambah agonis beta-
beta-2 kerja lama, 2 kerja lama oral,
ditambah 1 di bawah ini: ditambah teofilin
lepas lambat
- teofilin lepas lambat

- leukotriene modifiers

- glukokortikosteroid
oral

Semua tahapan : Bila tercapai asma terkontrol, pertahankan terapi paling tidak
3 bulan, kemudian turunkan bertahap sampai mencapai terapi seminimal
mungkin dengan kondisi asma tetap terkontrol (PDPI, 2003).

27
Penatalaksanaan Asma Eksaserbasi

Initial Assesment
Riwayat, pem.fisik (auskultasi, penggunaan otot bantu nafas, HR, RR, FEV1 atau PEF,
Saturasi Oksigen

Initial Treatment
Oksigen smapai saturasi oksigen >90%, inhalasi β2-agonist kerja cepat (1jam), sistemik
glukokortikosteroid, sedatif di kontraindikasikan

Re-Assesment setelah 1 jam


Pem.fisik (auskultasi, penggunaan otot bantu nafas, HR, RR, FEV1 atau PEF, Saturasi O2

Kriteria episode moderate (sedang) : Kriteria episode severe (berat)


- PEF 60-80% nilai prediksi/terbaik - PEF <60% nilai prediksi/terbaik
- Tes Fisik : Gejala moderate, - Gejala berat timbul pada waktu
penggunaan otot bantu nafas istirahat
Treatment - Riwayat faktor resiko yang mendekati
- O2 asma lanjut
- Inhalasi β2-agonist+antikolinergik tiap Treatment
jam - O2
- Oral glukokortikosteroid - Inhalasi β2-agonist+antikolinergik tiap
- Lanjutkan selama 1-3 jam jam
- Sistemik glukokortikosteroid
- Injeksi IV magnesium

Re-Assesment setelah 1 jam

Respon baik : Respon inkomplit (1-2 Respon buruk (1-2 jam):


- PEF >70% jam): - PEF<30%
- SO2 >90% - Gejala ringan-sedang - PCO2>45mmHg
- Tidak ada distress - PEF<60% - PO2<60mmHg
pernafasan - SO2 tidak ada perubahan Intensive Care (ICU) :
Acute care setting: - O2
- O2 - Inhalasi β2-
Perubahan : kriteria - Inhalasi β2- agonist+antikolinergik
pulang agonist+antikolinergik - Pertimbangkan IV β2-
- PEF >60% - IV magnesium agonist
- Obat oral/inhalasi - Monitor PEF, SO2, nadi - Pertimbangkan IV
- Lanjutkan β2- teofilin
agonist - Intubasi dan ventilasi
- Pertimbangkan oral Re-Assesment mekanik
glukokortikosteroid
- Pertimbangkan
kombinasi inhalasi Perbaikan Respon buruk : ICU
- Edukasi Respon inkomplit dalam 6-
12 jam : pertimbangkan ICU

(GINA, 2010).

28
Glukokortikosteroid inhalasi yang dapat digunakan pada penanganan
Asma

 Dewasa
Obat Dosis Harian Dosis Harian Dosis Harian
Rendah (µg) Sedang (µg) Tinggi (µg)

Beclomethasone
dipropionate - 200-500 >500-1000 >1000-2000
CFC
Beclomethasone
dipropionate - 100-250 >250-500 >500-1000
HFA
Budesonide 200-400 >400-800 >8--0-1680

Ciclesonide 80-160 >160-320 >320-1280

Flunisolide 500-1000 >1000-2000 >2000

Fluticazone >500-1000
100-250 >250-500
propionate
Mumetasone >800
200 400
fuoat
Triamcinolone >2000
400-1000 >1000-2000
acetonide

 Anak-anak
Obat Dosis Harian Dosis Harian Dosis Harian
Rendah (µg) Sedang (µg) Tinggi (µg)

Beclomethasone >400
100-200 >200-400
dipropionate
Budesonide 100-200 >200-400 >400

Budesenide neb 250-500 >500-1000 >1000

Ciclesonide 80-160 >160-320 >320

Flunisolide 500-750 >750-1250 >1250

Fluticazone >500
100-200 >200-500
propionate

29
Mumetasone >400
100 >200
fuoat
Triamcinolone >1200
400-800 >800-1200
acetonide

(GINA, 2010).

Kriteria rawat inap dan pemulangan pasien asma

Pasien dengan nilai FEV1 atau PEF pada pre-treatment kurang dari 20%
atau pasien dengan nilai FEV1 atau PEF pada post-treatment kurang dari
40% merupakan indikasi untuk dilakukan rawat inap pada pasien asma.
Pada pasien dengan nilai FEV1 atau PEF pada post-treatment antara 40-
60% dapat dipulangkan namun dengan syarat harus diawasi secara adekuat.
Sedangkan pasien dengan nilai FEV1 atau PEF pada post-treatment lebih
dari 60% dapat langsung dipulangkan (3).

Klasifikasi berat serangan asma akut

Gejala dan Berat Serangan Asma Keadaan


Tanda Mengancam jiwa
Ringan Sedang Berat

Sesak napas Berjalan Berbicara Istirahat -

Posisi Dapat Duduk Duduk -


tidur membungku
telentang k

Cara 1 kalimat Beberap Kata demi -


berbicara a kata kata

Kesadaran Mungkin Gelisah Gelisah Mengantuk,


gelisah gelisah,
kesadaran
menurun

30
RR <20x/menit 20- >30x/menit -
30x/meni
t

Nadi <100x/men 100-120x >120x menit Bradikardia


it /menit

Pulsus - +/- 10-20 + -


paradoksus 10 mmHg mmHg
>25 mmHg Kelelahan otot

Otot bantu - + + Torakoabdomin


napas dan al paradoksal
retraksi
suprastern
al

Mengi Akhir Akhir Inspirasi Silent chest


ekspirasi ekspirasi dan
paksa ekspirasi

APE > 80 % 60-80 % < 60% -

PaO2 > 80 mmHg 80-60 < 60 mmHg -


mmHg

PaCO2 < 45 mmHg < 45 > 45 mmHg -


mmHg

SaO2 > 95 % 91-95 % < 90 % -

(PDPI, 2003).

31
Rencana pengobatan serangan asma berdasarkan berat serangan dan
tempat pengobatan

Serangan Pengobatan Tempat Pengobatan

RINGAN Terbaik : Di rumah

Aktivitas normal Inhalasi agonis β-2

Berbicara satu kalimat Alternatif : Di praktek


dalam satu nafas dokter/klinik/puskesmas
Kombinasi oral agins
Nadi < 100x/menit β-2 dan teofilin

APE > 80%

SEDANG Terbaik: UGD/RS

Jalan jarak jauh Nebulisasi agonis β-2 Klinik


timbulkan gejala tiap 4 jam
Praktek dokter
Bicara beberapa kata Alternatif :
dalam satu kali nafas Puskesmas
- Agonis β-2 subkutan
Nadi 100-120 x/ - Aminofilin IV
menit - Adrenalin 1/1000
0,3 ml SK
APE 60-80 %

Oksigen bila mungkin

Kortikosteroid
sistemik

BERAT Terbaik : UGD/RS

Sesak saat istirahat Klinik

32
Berbicara kata perkata Nebulisasi agonis β-2
dalam satu nafas tiap 4 jam

Nadi >120 x/menit Alternnatif :

APE <60 % atau 100 - Agonis β-2 SK/IV


l/detik - Adrenalin 1/1000
0,3 ml SK

Aminofilin bolus
dilanjutkan drip

Oksigen

Kortikosteroid IV

MENGANCAM Seperti serangan akut UGD/RS


JIWA berat
ICU
Kesadaran Pertimbangkan
berubah/menurun intubasi dan ventilasi
mekanis
Gelisah

Sianosis

Gagal nafas

(PDPI, 2003).
2.9 Prevensi dan Intervensi Dini(11)
- Pengendalian lingkungan : menghindarkan anak dari asap rokok, tidak
memelihara hewan berbulu, memperbaiki ventilasi ruangan, mengurangi
kelembaban kamar untuk anak yang sensitif terhadap debu rumah dan
tungau.
- Pemberian ASI ekslusif minimal 4 bulan
- Menghindari makanan berpotensi alergen

33
2.10 Prognosis
Sulit untuk meramalkan prognosis dari asma bronkial yang tidak disertai
komplikasi. Hal ini akan tergantung pula dari umur, pengobatan, lama
observasi dan definisi. Prognosis selanjutnya ditentukan banyak faktor. Dari
kepustakaan didapatkan bahwa asma pada anak menetap sampai dewasa
sekitar 26% - 78%. (12)
Umumnya, lebih muda umur permulaan timbulnya asma, prognosis lebih
baik, kecuali kalau mulai pada umur kurang dari 2 tahun. Adanya riwayat
dermatitis atopik yang kemudian disusul dengan rinitis alergik, akan
memberikan kemungkinan yang lebih besar untuk menetapnya asma sampai
usia dewasa. Asma yang mulai timbul pada usia lanjut biasanya berat dan
sukar ditanggulangi. Smith menemukan 50% dari penderitanya mulai
menderita asma sewaktu anak. Karena itu asma pada anak harus diobati dan
jangan ditunggu serta diharapkan akan hilang sendiri. Komplikasi pada
asma terutama infeksi dan dapat pula mengakibatkan kematian. (12)

34
DAFTAR PUSTAKA

1. Direktorat Jenderal PPM & PLP, Departemen Kesehatan Republik


Indonesia. Pedoman Pengendalian Penyakit Asma. Departemen Kesehatan
RI ;2009; 5-11.
2. GINA (Global Initiative for Asthma); Pocket Guide for Asthma
Management and Prevension In Children. www.
Ginaasthma.org.2006.
3. GINA (Global Initiative for Asthma); Pocket Guide for Asthma
Management and Prevension In Children. www.
Ginaasthma.org.2010.
4. Guyton AC, Hall JE. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran, Edisi 11. Jakarta:
Elsevier, 2006. p. 499-501
5. Kartasasmita CB. Epidemiologi Asma Anak. dalam: Rahajoe NN,
Supriyatno B, Setyanto DB, penyunting. Buku Ajar Respirologi Anak. edisi
pertama. Jakarta : Badan Penerbit IDAI ; 2008. h.71-83.
6. Konsensus PDPI. 2003. Asma Pedoman Diagnosis dan Penatalaksanaan di
Indonesia. Jakarta:PDPI
7. Nelson WE. Ilmu Kesehatan Anak.Terjemahan Wahab S. Vol I: Jakarta.
Penerbit EGC. 1996:775.
8. Nelson Textbook of Pediatrics : Childhood Asthma. Elsevier Science
(USA);2003.

9. Perhimpunan Dokter Paru Indonesia. Pedoman Diagnosis dan


Penatalaksanaan Asma di Indonesia. PDPI. Jakarta, 2006
10. Price AS, Alih Bahasa anugrah PatofisiologiProses-proses Penyakit, EGC,
1995 ; 689.
11. Rahajoe N, Supriyatno B, Setyanto DB. Pedoman Nasional Asma Anak.
Jakarta: UKK Pulmonologi PP IDAI; 2009.
12. Suyono. 2006. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid II. Jakarta: FKUI

35
36

Você também pode gostar