Escolar Documentos
Profissional Documentos
Cultura Documentos
Asma Bronkhiale
Pembimbing:
Disusun oleh:
Nama : Ny. S
Umur : 43 tahun
Jenis Kelamin : Perempuan
Agama : Islam
Alamat : Ciracas
Tgl Pemeriksaan : 20 Desember 2018
II. ANAMNESIS
Pasien datang ke IGD RSUD Pasar Rebo pada tanggal 20 Desember 2018
dengan keluhan sesak napas sejak 2 jam SMRS, sesak dirasa semakin berat, terasa
seperti dada tertekan benda berat, sehingga pasien merasa seperti tercekik, sesak
diperberat dengan berbaring dan diperingan dengan posisi duduk. Sesak disertai
batuk dan suara napas yang mengi. Sesak tidak disertai dengan demam, batuk
berdarah dan pusing. Sebelumnya pasien sudah menyemprotkan obat semprot
lewat mulut tapi sesak tidak berkurang. Pasien mengaku sering mengalami sesak
seperti ini jika berada diruangan dingin dan saat terserang batuk dan pilek. Pasien
mengaku ayah pasien juga mengalami hal serupa.
Riwayat Alergi:
• Riwayat alergi obat maupun makanan disangkal.
1. PEMERIKSAAN FISIK
Kepala : Normosefali.
Mata : CA (-/-), SI (-/-)
Mulut : mukosa oral kering
Leher : JVP tidak meningkat
Thorax :
2. Paru
3. Jantung
Tidak dilakukan
Kesimpulan: Takipneu dengan wheeezing kedua lapang paru
4. DIAGNOSIS
VI. PENATALAKSANAAN
4
BAB I
PENDAHULUAN
5
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi
Batasan asma yang lengkap yang dikeluarkan oleh Global Initiative
for Asthma (GINA) didefinisikan sebagai gangguan inflamasi kronik
saluran nafas dengan banyak sel yang berperan, khususnya sel mast,
eosinofil, dan limfosit T. Pada orang yang rentan inflamasi ini menyebabkan
mengi berulang, sesak nafas, rasa dada tertekan dan batuk, khususnya pada
malam atau dini hari. Gejala ini biasanya berhubungan dengan penyempitan
jalan nafas yang luas namun bervariasi, yang sebagian bersifat reversibel
baik secara spontan maupun dengan pengobatan, inflamasi ini juga
berhubungan dengan hiperreaktivitas jalan nafas terhadap berbagai
rangsangan(2).
2.2 Epidemiologi
Berdasarkan laporan National Center for Health Statistics atau
NCHS (2003), prevalensi serangan asma pada anak usia 0-17 tahun adalah
57 per 1000 anak (jumlah anak 4,2 juta) dan pada dewasa > 18 tahun, 38
per 1000 (jumlah dewasa 7,8 juta). Jumlah wanita yang mengalami
serangan lebih banyak daripada lelaki. WHO memperkirakan terdapat
sekitar 250.000 kematian akibat asma. Sedangkan berdasarkan laporan
NCHS (2000) terdapat 4487 kematian akibat asma atau 1,6 per 100 ribu
populasi(5).
Asma merupakan sepuluh besar penyebab kesakitan dan kematian
di Indonesia, hal itu tergambar dari data studi survei kesehatan rumah
tangga (SKRT) di berbagai propinsi di Indonesia. Survei kesehatan rumah
tangga (SKRT) 1986 menunjukkan asma menduduki urutan ke-5 dari 10
penyebab kesakitan (morbiditi) bersama-sama dengan bronkitis kronik dan
emfisema. Pada SKRT 1992, asma, bronkitis kronik dan emfisema sebagai
penyebab kematian (mortaliti) ke-4 di Indonesia atau sebesar 5,6 %. Tahun
1995, prevalensi asma di seluruh Indonesia sebesar 13/ 1000, dibandingkan
bronkitis kronik 11/ 1000 dan obstruksi paru 2/ 1000. Tahun 1993 UPF Paru
6
RSUD dr. Sutomo, Surabaya melakukan penelitian di lingkungan 37
puskesmas di Jawa Timur dengan menggunakan kuesioner modifikasi ATS
yaitu Proyek Pneumobile Indonesia dan Respiratory symptoms questioner
of Institute of Respiratory Medicine, New South Wales, dan pemeriksaan
arus puncak ekspirasi (APE) menggunakan alat peak flow meter dan uji
bronkodilator. Seluruhnya 6662 responden usia 13-70 tahun (rata-rata 35,6
tahun) mendapatkan prevalensi asma sebesar 7,7%, dengan rincian laki-kali
9,2% dan perempuan 6,6%.
7
Pencetus: Infeksi viral saluran napas, aeroalergen seperti bulu binatang,
alergen dalam rumah (debu rumat, kecoa, jamur), seasonal aeroalergen
seperti serbuk sari, asap rokok, polusi udara, pewangi udara, alergen di
tempat kerja, udara dingin dan kering, olahraga, menangis, tertawa,
hiperventilasi, dan kondisi komorbid (rinitis, sinusitis, dan gastroesofageal
refluks).
Secara umum faktor risiko asma dipengaruhi atas faktor genetik dan faktor
lingkungan:(8)
b. Faktor Genetik
1. Atopi
2. Hiperreaktivitas bronkus
Saluran pernapasan sensitif terhadap berbagai rangsangan alergen maupun
iritan.
3. Jenis Kelamin
Perbandingan laki – laki dan perempuan pada usia dini adalah 2:1 dan pada
usia remaja menjadi 1:1. Prevalensi asma lebih besar pada wanita usia
dewasa.
4. Ras
5. Obesitas
Obesitas atau peningkatan Body Mass Index (BMI) merupakan faktor resiko
asma. Mediator tertentu seperti leptin dapat mempengaruhi fungsi saluran
pernapasan dan meningkatkan kemungkinan terjadinya asma. Meskipun
8
mekanismenya belum jelas, penurunan berat badan penderita obesitas
dengan asma, dapat mempengaruhi gejala fungsi paru, morbiditas dan status
kesehatan.
c. Faktor Lingkungan
1. Alergen dalam rumah (tungau debu rumah, spora jamur, kecoa, serpihan
kulit binatang seperti anjing, kucing, dan lain-lain).
2. Alergen luar rumah (serbuk sari, dan spora jamur).
c. Faktor Lain
1. Alergen makanan
Contoh: susu, telur, udang, kepiting, ikan laut, kacang tanah, coklat, kiwi,
jeruk, bahan penyedap pengawet, dan pewarna makanan.
9
yang dapat diukur seperti meningkatkan risiko terjadinya gejala serupa
asma pada usia dini.
7. Exercise-induced asthma
Pada penderita yang kambuh asmanya ketika melakukan aktivitas/olahraga
tertentu. Sebagian besar penderita asma akan mendapat serangan jika
melakukan aktivitas jasmani atau olahraga yang berat. Lari cepat paling
mudah menimbulkan serangan asma. Serangan asma karena aktivitas
biasanya terjadi segera setelah selesai aktivitas tersebut.
8. Perubahan cuaca
Cuaca lembab dan hawa pegunungan yang dingin sering mempengaruhi
asma. Atmosfer yang mendadak dingin merupakan faktor pemicu terjadinya
serangan asma. Serangan kadang-kadang berhubungan dengan musim,
seperti: musim hujan, musim kemarau, musim bunga (serbuk sari
beterbangan).
2.4 Klasifikasi
(PDPI, 2003)
Derajat Gejala Gejala Malam Faal Paru
Asma
10
Persisten Gejala >1x/minggu >2x sebulan VEP1 80% nilai
Ringan tapi <ix/hari prediksi
Variability APE
20%-30%
2.5 Patofisiologi
Asma merupakan penyakit inflamasi kronis yang melibatkan beberapa
sel. Inflamasi kronis mengakibatkan dilepaskannya beberapa macam
mediator yang dapat mengaktivasi sel target di saluran nafas dan
mengakibatkan bronkokonstriksi, kebocoran mikrovaskuler dan edema,
hipersekresi mukus, dan stimulasi refleks saraf . Pada asma terjadi
mekanisme hiperresponsif bronkus dan inflamasi, kerusakan sel epitel,
kebocoran mikrovaskuler, dan mekanisme saraf.
11
Hiperresponsif bronkus adalah respon bronkus yang berlebihan akibat
berbagai rangsangan dan menyebabkan penyempitan bronkus. Peningkatan
respons bronkus biasanya mengikuti paparan alergen, infeksi virus pada
saluran nafas atas, atau paparan bahan kimia. Hiperesponsif bronkus
dihubungkan dengan proses inflamasi saluran napas. Pemeriksaan
histopatologi pada penderita asma didapatkan infiltrasi sel radang,
kerusakan epitel bronkus, dan produksi sekret yang sangat kental. Meskipun
ada beberapa bentuk rangsangan, untuk terjadinya respon inflamasi pada
asma mempunyai ciri khas yaitu infiltrasi sel eosinofil dan limfosit T
disertai pelepasan epitel bronkus .
12
alergen menyebabkan peningkatan eosinofil pada cairan bilasan
bronkoalveolar pada saat itu dan beberapa saat sesudahnya (reaksi lambat).
Terdapat hubungan langsung antara jumlah eosinofil pada darah perifer dan
pada bilasan bronkoalveolar dengan hiperresponsif bronkus. Eosinofil
melepaskan mediator seperti LTC4, platelet activating factor (PAF), radikal
bebas oksigen, mayor basic protein (MBP), dan eosinofil derived
Kerusakan sel epitel saluran napas dapat disebabkan oleh karena basic
protein yang dilepaskan oleh eosinofil atau pelepasan radikal bebas oksigen
dari bermacam-macam sel inflamasi dan mengakibatkan edema mukosa .
Sel epitel sendiri juga mengeluarkan mediator. Kerusakan pada epitel
bronkus merupakan kunci terjadinya hiperresponsif bronkus, ini mungkin
dapat menerangkan berbagai mekanisme hiperresponsif bronkus oleh
karena paparan ozon, infeksi virus, dan alergen. Pada manusia, epitel
bronkus dan trakea dapat membentuk PGE2 dan PGF2 alfa serta 12 dan 15
13
hydroxyicosotetraenoic (12- HETE dan 15-HETE). 15-HETE bersifat
kemotaksis terhadap eosinofil. Kerusakan epitel mempunyai peranan
terhadap terjadinya hiperresponsif bronkus melalui cara pelepasan epitel
yang menyebabkan hilangnya pertahanan, sehingga bila terinhalasi, bahan
iritan akan langsung mengenai submukosa yang seharusnya terlindungi.
Pelepasan epitel bronkus meningkatkan kepekaan otot polos bronkus
terhadap bahan spasmogen. Kerusakan epitel bronkus menyebabkan ujung
saraf perifer langsung terkena paparan atau teraktivasi oleh mediator
inflamasi sehingga mengakibatkan terjadinya inflamasi melalui mekanisme
akson refleks. Sel epitel mungkin dapat memproduksi enzim yang merusak
mediator, yaitu neutral actoenzym endopeptidase yang dapat merusak
bradikinin dan substan-P (9).
Mekanisme kebocoran mikrovaskuler terjadi pada pembuluh darah
venula akhir kapiler. Beberapa mediator seperti histamin, bradikinin, dan
leukotrin dapat menyebabkan kontraksi sel endotel sehingga terjadi
ekstravasasi makromolekul. Kebocoran mikrovaskuler mengakibatkan
edema saluran napas sehingga terjadi pelepasan epitel, diikuti penebalan
submukosa. Keadaan ini menyebabkan peningkatan tahanan saluran napas
dan merangsang konstraksi otot polos bronkus. Adrenalin dan
kortikosteroid dapat mengurangi kebocoran mikrovaskuler pada saluran
napas. Penurunan adrenalin dan kortikosteroid pada malam hari
mengakibatkan terjadinya pelepasan mediator dan dalam terjadinya asma
pada malam hari (9).
14
mikrovaskuler, migrasi, dan pelepasan sel inflamasi. Peran saraf kolinergik
paling dominan sebagai penyebab peneliti melaporkan bahwa rangsangan
yang disebabkan oleh sulfur dioksida, prostaglandin, histamin dan
bradikinin akan merangsang saraf aferen dan menyebabkan
bronkokonstriksi. Bronkokonstriksi lebih sering disebabkan karena
rangsangan reseptor sensorik pada saluran napas (reseptor iritan, C-fibre)
oleh mediator inflamasi (9).
15
2.6. Diagnosis
Studi epidemiologi menunjukkan asma underdiagnosed di seluruh
dunia, disebabkan berbagai hal antara lain gambaran klinis yang tidak khas
dan beratnya penyakit yang sangat bervariasi, serta gejala yang bersifat
episodik sehingga penderita tidak merasa perlu ke dokter. Diagnosis asma
didasari oleh gejala yang bersifat episodik, gejala berupa batuk, sesak napas,
mengi, rasa berat di dada dan variabiliti yang berkaitan dengan cuaca.
Anamnesis yang baik cukup untuk menegakkan diagnosis, ditambah dengan
pemeriksaan jasmani dan pengukuran faal paru terutama reversibiliti
kelainan faal paru, akan lebih meningkatkan nilai diagnostik (6).
Riwayat penyakit / gejala :
1. Bersifat episodik, seringkali reversibel dengan atau tanpa pengobatan
2. Gejala berupa batuk , sesak napas, rasa berat di dada dan berdahak
3. Gejala timbul/ memburuk terutama malam/ dini hari
4. Diawali oleh faktor pencetus yang bersifat individu
5. Respons terhadap pemberian bronkodilator
16
Hal lain yang perlu dipertimbangkan dalam riwayat penyakit :
1. Riwayat keluarga (atopi)
2. Riwayat alergi / atopi
3. Penyakit lain yang memberatkan
4. Perkembangan penyakit dan pengobatan
Pemeriksaan fisik
Gejala asma bervariasi sepanjang hari sehingga pemeriksaan jasmani
dapat normal. Kelainan pemeriksaan jasmani yang paling sering ditemukan
adalah mengi pada auskultasi. Pada sebagian penderita, auskultasi dapat
terdengar normal walaupun pada pengukuran objektif (faal paru) telah
terdapat penyempitan jalan napas. Pada keadaan serangan, kontraksi otot
polos saluran napas, edema dan hipersekresi dapat menyumbat saluran
napas; maka sebagai kompensasi penderita bernapas pada volume paru yang
lebih besar untuk mengatasi menutupnya saluran napas. Hal itu
meningkatkan kerja pernapasan dan menimbulkan tanda klinis berupa sesak
napas, mengi dan hiperinflasi. Pada serangan ringan, mengi hanya
terdengar pada waktu ekspirasi paksa. Walaupun demikian mengi dapat
tidak terdengar (silent chest) pada serangan yang sangat berat, tetapi
biasanya disertai gejala lain misalnya sianosis, gelisah, sukar bicara,
takikardi, hiperinflasi dan penggunaan otot bantu napas (6).
Faal paru
Umumnya penderita asma sulit menilai beratnya gejala dan persepsi
mengenai asmanya , demikian pula dokter tidak selalu akurat dalam menilai
dispnea dan mengi; sehingga dibutuhkan pemeriksaan objektif yaitu faal
paru antara lain untuk menyamakan persepsi dokter dan penderita, dan
parameter objektif menilai berat asma. Pengukuran faal paru digunakan
untuk menilai (6).
1. obstruksi jalan napas
2. reversibiliti kelainan faal paru
3. variabiliti faal paru, sebagai penilaian tidak langsung hiperes-ponsif jalan
napas
17
Banyak parameter dan metode untuk menilai faal paru, tetapi yang
telah diterima secara luas (standar) dan mungkin dilakukan adalah
pemeriksaan spirometri dan arus puncak ekspirasi (APE) (6).
a. Spirometri
Pengukuran volume ekspirasi paksa detik pertama (VEP1) dan kapasiti vital
paksa (KVP) dilakukan dengan manuver ekspirasi paksa melalui prosedur
yang standar. Pemeriksaan itu sangat bergantung kepada kemampuan
penderita sehingga dibutuhkan instruksi operator yang jelas dan kooperasi
penderita. Untuk mendapatkan nilai yang akurat, diambil nilai tertinggi dari
2-3 nilai yang reproducible dan acceptable. Obstruksi jalan napas diketahui
dari nilai rasio VEP1/ KVP < 75% atau VEP1 < 80% nilai prediksi .
Manfaat pemeriksaan spirometri dalam diagnosis asma :
- Obstruksi jalan napas diketahui dari nilai rasio VEP1/ KVP < 75% atau
VEP1 < 80% nilai prediksi.
- Reversibiliti, yaitu perbaikan VEP1 ³ 15% secara spontan, atau setelah
inhalasi bronkodilator (uji bronkodilator), atau setelah pemberian
bronkodilator oral 10-14 hari, atau setelah pemberian kortikosteroid
(inhalasi/ oral) 2 minggu. Reversibiliti ini dapat membantu diagnosis asma
- Menilai derajat berat asma
18
Manfaat APE dalam diagnosis asma
- Reversibiliti, yaitu perbaikan nilai APE ³ 15% setelah inhalasi bronkodilator
(uji bronkodilator), atau bronkodilator oral 10-14 hari, atau respons terapi
kortikosteroid (inhalasi/ oral , 2 minggu)
- Variabiliti, menilai variasi diurnal APE yang dikenal dengan variabiliti APE
harian selama 1-2 minggu. Variabiliti juga dapat digunakan menilai derajat
berat penyakit (lihat klasifikasi)
Nilai APE tidak selalu berkorelasi dengan parameter pengukuran faal paru
lain, di samping itu APE juga tidak selalu berkorelasi dengan derajat berat
obstruksi. Oleh karenanya pengukuran nilai APE sebaiknya dibandingkan
dengan nilai terbaik sebelumnya, bukan nilai prediksi normal; kecuali tidak
diketahui nilai terbaik penderita yang bersangkutan (PDPI, 2003).
19
Peran pemeriksaan lain untuk diagnosis : (6)
20
Penyakit Paru Obstruksi Kronik
Pada PPOK sesak bersifat irreversibel, terjadi pada usia 40 tahun keatas dan
biasanya dengan riwayat paparan zat alergen dalam watu yang cukup lama.
Bronkitis kronik
Keluhan sesak nafas disertai dengan batuk produktif yang terus menerus
selama 3 bulan dalam 2 tahun berturut turut.
Gagal Jantung Kongestif
Sesak biasanya hilang timbul dan kumat-kumatan. Keluhan sesak biasanya
terjadi setelah melakukan aktivitas. Selain itu sesak nafas juga terjadi pada
saat tidur telentang sehingga pasien akan merasa lebih nyaman jika tidur
mnggunakan 2-3 buah bantal.
Obstruksi mekanis (misal tumor)
Keluhan sesak biasanya bertahan lama. Hal ini disebabkan karena adanya
penyempitan permanen dari saluran pernafasan. Bunyi mengi juga akan
terdengar setiap saat.
Anak :
Benda asing di saluran napas
Keluhan sesak disertai dengan riwayat tertelan benda asing. Setelah benda
asing berhasil dikeluarkan maka keluhan sesak akan hilang secara
permanen.
Laringotrakeomalasia
Laringotrakeomalasia adalah kelainan yang disebabkan oleh melemahnya
struktur supraglotis dan dinding trakea, sehingga terjadi kolaps dan
obstruksi saluran napas yang menimbulkan gejala utama berupa stridor.
Kelainan ini dapat hadir sebagai laringomalasia atau trakeomalasia saja.
Tumor
Keluhan sesak biasanya juga bertahan lama sama seperti tumor pada
dewasa. Hal ini disebabkan karena adanya penyempitan permanen dari
saluran pernafasan. Bunyi mengi juga akan terdengar setiap saat.
Bronkiolitis
Merupakan infeksi virus pada bronkiolus dan biasanya menyerang anak
dibawah usia 2 tahun.
21
2.8.Tatalaksana
Tujuan penatalaksanaan asma: (6)
1. Menghilangkan dan mengendalikan gejala asma
2. Mencegah eksaserbasi akut
3. Meningkatkan dan mempertahankan faal paru seoptimal mungkin
4. Mengupayakan aktiviti normal termasuk exercise
5. Menghindari efek samping obat
6. Mencegah terjadi keterbatasan aliran udara (airflow limitation) ireversibel
7. Mencegah kematian karena asma
22
4. Merencanakan dan memberikan pengobatan jangka panjang
5. Menetapkan pengobatan pada serangan akut
6. Kontrol secara teratur
7. Pola hidup sehat
Pengobatan yang lazim adalah agonis beta-2 kerja singkat hanya jika
dibutuhkan, atau sebelum exercise pada exercise-induced asthma, dengan
alternatif kromolin atau leukotriene modifiers; atau setelah pajanan alergen
dengan alternatif kromolin. Bila terjadi serangan, obat pilihan agonis beta-
2 kerja singkat inhalasi, alternatif agonis beta-2 kerja singkat oral,
kombinasi teofilin kerja singkat dan agonis beta-2 kerja singkat oral atau
antikolinergik inhalasi. Jika dibutuhkan bronkodilator lebih dari sekali
seminggu selama 3 bulan, maka sebaiknya penderita diperlakukan sebagai
asma persisten ringan.
23
antiinflamasi setiap hari dengan glukokortikosteroid inhalasi dosis rendah.
Dosis yang dianjurkan 200-400 ug BD/ hari atau 100-250 ug FP/hari atau
ekivalennya, diberikan sekaligus atau terbagi 2 kali sehari
Terapi lain adalah bronkodilator (agonis beta-2 kerja singkat inhalasi) jika
dibutuhkan sebagai pelega, sebaiknya tidak lebih dari 3-4 kali sehari. Bila
penderita membutuhkan pelega/ bronkodilator lebih dari 4x/ sehari,
pertimbangkan kemungkinan beratnya asma meningkat menjadi tahapan
berikutnya
24
Asma Persisten Berat
Tujuan terapi pada keadaan ini adalah mencapai kondisi sebaik
mungkin, gejala seringan mungkin, kebutuhan obat pelega seminimal
mungkin, faal paru (APE) mencapai nilai terbaik, variabiliti APE seminimal
mungkin dan efek samping obat seminimal mungkin. Untuk mencapai hal
tersebut umumnya membutuhkan beberapa obat pengontrol tidak cukup
hanya satu pengontrol. Terapi utama adalah kombinasi inhalasi
glukokortikosteroid dosis tinggi (> 800 ug BD/ hari atau ekivalennya) dan
agonis beta-2 kerja lama 2 kali sehari. Kadangkala kontrol lebih tercapai
dengan pemberian glukokortikosteroid inhalasi terbagi 4 kali sehari
daripada 2 kali sehari .
Teofilin lepas lambat, agonis beta-2 kerja lama oral dan leukotriene
modifiers dapat sebagai alternatif agonis beta-2 kerja lama inhalasi dalam
perannya sebagai kombinasi dengan glukokortikosteroid inhalasi, tetapi
juga dapat sebagai tambahan terapi selain kombinasi terapi yang lazim
(glukokortikosteroid inhalasi dan agonis beta-2 kerja lama inhalasi). Jika
sangat dibutuhkan, maka dapat diberikan glukokortikosteroid oral dengan
dosis seminimal mungkin, dianjurkan sekaligus single dose pagi hari untuk
mengurangi efek samping. Pemberian budesonid secara nebulisasi pada
pengobatan jangka lama untuk mencapai dosis tinggi glukokortikosteroid
inhalasi adalah menghasilkan efek samping sistemik yang sama dengan
pemberian oral, padahal harganya jauh lebih mahal dan menimbulkan efek
samping lokal seperti sakit tenggorok/ mulut. Sehngga tidak dianjurkan
untuk memberikan glukokortikosteroid nebulisasi pada asma di luar
serangan/ stabil atau sebagai penatalaksanaan jangka panjang.
25
Pertimbangkan beberapa hal seperti kekerapan/ frekuensi tanda-
tanda (indikator) tersebut di atas, alasan/ kemungkinan lain, penilaian
dokter; maka tetapkan langkah terapi, apakah perlu ditingkatkan atau tidak.
Alasan / kemungkinan asma tidak terkontrol :
1. Teknik inhalasi : Evaluasi teknik inhalasi penderita
2. Kepatuhan : Tanyakan kapan dan berapa banyak penderita menggunakan
obat-obatan asma
3. Lingkungan : Tanyakan penderita, adakah perubahan di sekitar lingkungan
penderita atau lingkungan tidak terkontrol
4. Konkomitan penyakit saluran napas yang memperberat seperti sinusitis,
bronkitis dan lain-lain
Bila semua baik pertimbangkan alternatif diagnosis lain (PDPI, 2003).
26
Glukokortikosteroid Ditambah
inhalasi (400-800 ug teofilin lepas
BD atau ekivalennya) lambat
ditambah agonis beta-
2 kerja lama oral,
atau
Glukokortikosteroid
inhalasi dosis tinggi
(>800 ug BD atau
ekivalennya) atau
Glukokortikosteroid
inhalasi (400-800 ug
BD atau ekivalennya)
ditambah leukotriene
modifiers
- leukotriene modifiers
- glukokortikosteroid
oral
Semua tahapan : Bila tercapai asma terkontrol, pertahankan terapi paling tidak
3 bulan, kemudian turunkan bertahap sampai mencapai terapi seminimal
mungkin dengan kondisi asma tetap terkontrol (PDPI, 2003).
27
Penatalaksanaan Asma Eksaserbasi
Initial Assesment
Riwayat, pem.fisik (auskultasi, penggunaan otot bantu nafas, HR, RR, FEV1 atau PEF,
Saturasi Oksigen
Initial Treatment
Oksigen smapai saturasi oksigen >90%, inhalasi β2-agonist kerja cepat (1jam), sistemik
glukokortikosteroid, sedatif di kontraindikasikan
(GINA, 2010).
28
Glukokortikosteroid inhalasi yang dapat digunakan pada penanganan
Asma
Dewasa
Obat Dosis Harian Dosis Harian Dosis Harian
Rendah (µg) Sedang (µg) Tinggi (µg)
Beclomethasone
dipropionate - 200-500 >500-1000 >1000-2000
CFC
Beclomethasone
dipropionate - 100-250 >250-500 >500-1000
HFA
Budesonide 200-400 >400-800 >8--0-1680
Fluticazone >500-1000
100-250 >250-500
propionate
Mumetasone >800
200 400
fuoat
Triamcinolone >2000
400-1000 >1000-2000
acetonide
Anak-anak
Obat Dosis Harian Dosis Harian Dosis Harian
Rendah (µg) Sedang (µg) Tinggi (µg)
Beclomethasone >400
100-200 >200-400
dipropionate
Budesonide 100-200 >200-400 >400
Fluticazone >500
100-200 >200-500
propionate
29
Mumetasone >400
100 >200
fuoat
Triamcinolone >1200
400-800 >800-1200
acetonide
(GINA, 2010).
Pasien dengan nilai FEV1 atau PEF pada pre-treatment kurang dari 20%
atau pasien dengan nilai FEV1 atau PEF pada post-treatment kurang dari
40% merupakan indikasi untuk dilakukan rawat inap pada pasien asma.
Pada pasien dengan nilai FEV1 atau PEF pada post-treatment antara 40-
60% dapat dipulangkan namun dengan syarat harus diawasi secara adekuat.
Sedangkan pasien dengan nilai FEV1 atau PEF pada post-treatment lebih
dari 60% dapat langsung dipulangkan (3).
30
RR <20x/menit 20- >30x/menit -
30x/meni
t
(PDPI, 2003).
31
Rencana pengobatan serangan asma berdasarkan berat serangan dan
tempat pengobatan
Kortikosteroid
sistemik
32
Berbicara kata perkata Nebulisasi agonis β-2
dalam satu nafas tiap 4 jam
Aminofilin bolus
dilanjutkan drip
Oksigen
Kortikosteroid IV
Sianosis
Gagal nafas
(PDPI, 2003).
2.9 Prevensi dan Intervensi Dini(11)
- Pengendalian lingkungan : menghindarkan anak dari asap rokok, tidak
memelihara hewan berbulu, memperbaiki ventilasi ruangan, mengurangi
kelembaban kamar untuk anak yang sensitif terhadap debu rumah dan
tungau.
- Pemberian ASI ekslusif minimal 4 bulan
- Menghindari makanan berpotensi alergen
33
2.10 Prognosis
Sulit untuk meramalkan prognosis dari asma bronkial yang tidak disertai
komplikasi. Hal ini akan tergantung pula dari umur, pengobatan, lama
observasi dan definisi. Prognosis selanjutnya ditentukan banyak faktor. Dari
kepustakaan didapatkan bahwa asma pada anak menetap sampai dewasa
sekitar 26% - 78%. (12)
Umumnya, lebih muda umur permulaan timbulnya asma, prognosis lebih
baik, kecuali kalau mulai pada umur kurang dari 2 tahun. Adanya riwayat
dermatitis atopik yang kemudian disusul dengan rinitis alergik, akan
memberikan kemungkinan yang lebih besar untuk menetapnya asma sampai
usia dewasa. Asma yang mulai timbul pada usia lanjut biasanya berat dan
sukar ditanggulangi. Smith menemukan 50% dari penderitanya mulai
menderita asma sewaktu anak. Karena itu asma pada anak harus diobati dan
jangan ditunggu serta diharapkan akan hilang sendiri. Komplikasi pada
asma terutama infeksi dan dapat pula mengakibatkan kematian. (12)
34
DAFTAR PUSTAKA
35
36