Você está na página 1de 11

Laporan Praktikum Lapang

Perencanaan Wilayah dan Tata Ruang

ALIH FUNGSI LAHAN PERTANIAN

Nama : Siti Maryam Adinda Salsabila


NIM : G111 16 052
Kelas :A
Kelompok :1
Asisten : Nurul Azizah Zahraeni

PROGRAM STUDI AGROTEKNOLOGI

DEPARTEMEN ILMU TANAH

FAKULTAS PERTANIAN

UNIVERSITAS HASANUDDIN

MAKASSAR

2018
BAB I. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Indonesia sebagai negara agraris menjadi cita-cita yang diupayakan insan
pertanian sejak lama. Limpahan sumber daya alam yang terbilang cukup subur,
tentu menjadi modal menjanjikan untuk lahan pertanian. Pertanian di Indonesia
mampu diperhitungkan dalam kehidupan ekonomi masyarakat. Akan tetapi,
dewasa ini urbanisasi yang terjadi di Indonesia dapat dikatakan cukup pesat. Hal
ini ditandai dengan banyaknya alih fungsi lahan pertanian untuk perindustrian,
pemukiman, dan lain sebagainya.
Ketertarikan masyarakat yang telah menurun terhadap dunia pertanian,
menyebabkan lahan pertanian dikonversi menjadi sebidang tanah untuk keperluan
lain yang dianggap mengikuti perkembangan zaman. Peralihan lahan pertanian
menjadi lahan industri, pemukiman, kompleks perkantoran, dan kebutuhan
ekonomi lainnya menjadi lumrah di era globalisasi. Dampak peralihan lahan tentu
menggeser tatanan hidup masyarakat di sekitar wilayah tersebut. Pengalihan
fungsi lahan juga dapat mempengaruhi kesehatan lingkungan. Keuntungan yang
lebih banyak diperuntukkan untuk manusia dinilai berbanding terbalik dengan
kerugian yang terjadi pada lingkungan.
Berdasarkan uraian diatas maka dilakukanlah praktikum mata kuliah
perencanaan wilayah dan tata ruang di sekitar Jl. Hertasning-Jl. Poros Malino,
Kota Makassar untuk melihat alih fungsi lahan yang terjadi didaerah tersebut.
1.2 Tujuan dan Kegunaan
Tujuan dari dilakukannya praktikum lapang (Field Trip) ini adalah untuk
memberikan wawasan mengenai alih fungsi lahan pertanian yang telah terjadi
serta dampak-dampak yang timbul akibat alih fungsi lahan tersebut.
Adapun kegunaan dari dilakukannya praktikum lapang (Field Trip) ini
adalah diharapkan mampu memberikan pemahaman mengenai alih fungsi lahan
yang terjadi.
BAB II. KONDISI UMUM WILAYAH

2.1 STPP Gowa


2.1.1 Letak Geografis dan Batas Administratif
Berdasarkan letak geografis ini, maka Kabupaten Gowa menjadi wilayah yang
berbatasan langsung dengan Kota Makassar (Ibukota Provinsi Sulawesi Selatan).
Sebagai wilayah yang berbatasan dengan ibukota provinsi, daerah ini berada
dalam posisi yang sangat strategis dan prospektif sebagai wilayah pengembangan
kegiatan kegiatan ekonomi rakyat termasuk kegiatan pengembangan pada sektor
perikanan atau minapolitan (Ahmad, 2016).
Menurut Ahmad (2016), yang menyatakan bahwa secara geografis
Kabupaten Gowa terletak pada koordinat antara 5o33’ 6” sampai 5 o34’ 7”
Lintang Selatan dan 12o38’ 6” sampai 12o33’ 6” Bujur Timur. Secara
administratif, batas-batas wilayah administrasi Kabupaten Gowa adalah:
Sebelah Utara : Kota Makassar dan Kabupaten Maros
Sebelah Timur : Kabupaten Sinjai, Bulukumba danBantaeng.
Sebelah Selatan : Kabupaten Takalar dan Kabupaten Jeneponto.
Sebelah Barat : Kabupaten Takalar, Kota dan Selat Makassar.
2.1.2 Iklim
Iklim dan Cuaca Seperti halnya dengan daerah lain di Indonesia, di Kabupaten
Gowa hanya dikenal dua musim, yaitu musim kemarau dan musim hujan.
Biasanya musim kemarau dimulai pada Bulan Juni hingga September, sedangkan
musim hujan dimulai pada Bulan Desember hingga Maret. Keadaan seperti itu
berganti setiap setengah tahun setelah melewati masa peralihan, yaitu Bulan
April-Mei dan Oktober-Nopember (Ahmad, 2016).
Suhu udara bervariasi yang ditentukan dengan tinggi rendahnya dari
permukaan laut. Secara umum suhu rata-rata antara 240C sampai 270C. Keadaan
topografi dan perputaran arus udara. Jumlah curah hujan yang dipantau oleh
bebrapa stasiun/ pos pengaqmatan, maka curah hujan tertinggi pada bulan
Desember sampai Maret sedangkan pada bulan Juni sampai dengan Oktober
relatif sangat rendah (Ahmad, 2016).
2.1.3 Jenis Tanah
Tanah yang ada di keseluruhan kabupaten Gowa itu rata rata berupa tanah jenis
alluvial, tanah mediteran merah kuning, jenis latosol dan jenis litosol. Tanah ini
disebut juga tubuh tanah endapan yang belurn memiliki perkembangan profil
yang baik. Tanah berwarna kekelabu kelabuan sampai kecoklat-coklatan, tekstur
tanahnya adalah liat atau liat berpasir dengan kandungan pasir kurang dari 50
persen. Strukturnya pejal sedangkan konsistensinya keras waktu kering dan teguh
pada waktu lembab. Dilihat dari kandungan umur haranya relatif kaya dan
banyak tergantung kepada bahan indukan. Bahan induknya berasal dari bahan
alluvial dan kolluvial dari berbagai macam asalnya. Bahan organiknya umumnya
juga rendah sedangkan reaksi dari tanah tanahnnya itu sangatlah bervariasi dari
asam netral yang ada (Ahmad, 2016).
Umumnya semakin jauh posisi endapan aluvial dari sumber bahan yang
tererosi, sifat fisik dari tanah sawah yang terbentuk akan semakin halus, dan
semakin dekat dengan sumber bahan tererosi sifat tanah sawahnya semakin kasar.
Selain itu semakin panjang sungai akan semakin banyak anak sungainya, semakin
banyak jenis bahan yang terangkut pada aliran sungai, dan semakin pendek
sungainya semakin sedikit bahan yang terangkut dan akan langsung terendapkan
oleh sungai tersebut (Ahmad, 2016).
2.1.4 Geologi
Pada kondisi geologi di Kawasan STPP Gowa pada umumnya adalah jenis batuan
konglomerat, lava dan breksi (Ahmad, 2016).
2.1.5 Topografi
Wilayah Kabupaten Gowa sebagian besar berupa dataran tinggi berbukit-bukit,
yaitu sekitar 72,26% yang meliputi 9 kecamatan yakni Kecamatan Parangloe,
Manuju, Tinggimoncong, Tombolo Pao, Parigi, Bungaya, Bontolempangan,
Tompobulu dan Biringbulu. Selebihnya 27,74% berupa dataran rendah dengan
topografi tanah yang datar meliputi 9 Kecamatan yakni Kecamatan Somba Opu,
Bontomarannu, Pattallassang, Pallangga, Barombong, Bajeng, Bajeng Barat,
Bontonompo dan Bontonompo Selatan (Ahmad, 2016).
Dengan bentuk topografi wilayah yang sebahagian besar berupa dataran
tinggi, wilayah Kabupaten Gowa dilalui oleh 15 sungai besar dan kecil yang
sangat potensial sebagai sumber tenaga listrik dan untuk pengairan. Salah satu
diantaranya sungai terbesar di Sulawesi Selatan adalah sungai Jeneberang dengan
luas 881 Km2dan panjang 90 km (Ahmad, 2016).
2.1.6 Penggunaan Lahan
Penggunaan lahan untuk di daerah Gowa ini berkisar penggunaan lahan sawah
(Pengairan teknis) pada musim hujan digunakan untuk tanaman padi, sedangkan
pada musim kemarau juga ditanami padi, luas lahan sawah 255,87 Ha.
Penggunaan lahan kering terdiri dari pekarangan, tegalan, kebun dengan luas
82,28 Ha. Terjadi alih fungsi lahan yaitu digunakan untuk pemukiman dan
bangunan sawah seluas 0,30 Ha (Ahmad, 2016).
2.2 Bendungan Bissua
2.2.1 Letak Geografis dan Batas Administratif
Kebijakan penataan ruang nasional (PP. 26 Tahun 2008 tentang RTRWN) seluruh
wilayah Kabupaten Takalar masuk dalam KSN Perkotaan Mamminasata
bersamaan dengan kawasan perkotaan Maros, Kota Makassar, perkotaan
Sungguminasata dan perkotaan Takalar (ibukota kabupaten Pattalasang).
Kabupaten Takalar merupakan salah satu wilayah kabupaten di Provinsi Sulawesi
Selatan yang terlatak pada bagian selatan. Letak astronomis Kabupaten Takalar
berada pada posisi 5O3’ – 5O38’ Lintang Selatan dan 119O22’ – 119O39’ Bujur
Timur, dengan luas wilayah kurang lebih 566,51 Km2 (Iqra, 2012).
Menurut Iqra (2012), yang menyatakan bahwa secara administrasi
Kabupaten Takalar memiliki wilayah berbatasan dengan:
Sebelah Utara berbatasan dengan Kabupaten Gowa
Sebelah Timur berbatasan dengan Kabupaten Gowa dan Kabupaten Jeneponto
Sebelah Selatan berbatasan dengan Selat Makassar
Sebelah Barat berbatasan dengan Laut Flores
Wilayah administrasi Kabupaten Takalar hingga tahun 2006 terdiri atas 7
kecamatan, dan pada tahun 2007 mengalami pemekaran wilayah menjadi 9
kecamatan. Dua wilayah kecamatan hasil pemekaran adalah Kecamatan
Sanrobone yang dimekarkan dari Kecamatan Mappakkasunggu, dan Kecamatan
Galesong yang dimekarkan dari Kecamatan Galesong Utara dan Galesong
Selatan. Wilayah kecamatan terluas adalah Kecamatan Polombangkeng Utara
dengan luas kurang lebih 212,25 Km2, atau sekitar 37,47% dari luas wilayah
Kabupaten Takalar, sedangkan kecamatan yang memiliki luasan terkecil adalah
Kecamatan Galesong Utara dengan luas wilayah kurang lebih 15,11 Km2 atau
sekitar 2,67% dari luas Kabupaten Takalar (Iqra, 2012).
2.2.2 Iklim
Kondisi iklim wilayah bendungan Bissua dan sekitarnya secara umum ditandai
dengan jumlah hari hujan dan curah hujan yang relatif tinggi, dan sangat
dipengaruhi oleh angin musim. Pada dasarnya angin musim di Kabupaten Takalar
dipengaruhi oleh letak geografis wilayah yang merupakan pertemuan Selat
Makassar dan Laut Flores, kondisi ini berdampak pada putaran angin yang dapat
berubah setiap waktu, hal terutama terjadi pada Kecamatan Mangarabombang,
sehingga pada beberapa kawasan di wilayah ini mengalami kekeringan terutama
pada musim kemarau (PPSP Takalar, 2013).
2.2.3 Jenis Tanah
Keadaan jenis tanah Kabupaten Takalar khususnya di Bissua sendiri secara umum
termasuk dalam golongan stadium dewasa dengan tekstur permukaan halus,
umunya kondisi tanah tersebut dipengaruhi fromasi pada pegunungan
Bawakaraeng dan Lompobattang. Tatanan statigrafi pada umumnya terdiri dari
endapan Aluvium, Miosen tengah-akhir serta Eosen akhir-Miosen tengah dengan
sedikit terobosan Andesit. Endapan Aluvium terdiri dari lempung, pasir, lumpur,
kerikil dan bongkah batuan yang tidak padu (lepas). Endapan ini berasal dari hasil
desintegrasi batuan yang lebih tua. Struktur tanah yang terbentuk meliputi jenis
tanah entisol, inceptisol, molisol, dan ultisol (PPSP Takalar, 2013).
2.2.4 Geologi
Struktur geologi Kabupaten Takalar dipengaruhi oleh formasi camba, terobosan,
gunung api cindako, formasi tonasa dan endapan aluvium. Masing masing formasi
batuan tersebut memiliki karakteristik yang membentuk struktur tanah dan batuan,
antara lain formasi Terobosan, terbentuk atas batuan basal , formasi Camba
terbentuk atas sendimen laut berselingan, formasi Tonasa terbentuk atas batuan
gamping , formasi Gunung Api–Cindako, terbentuk atas batuan lava-breksi-tufa
konglomerat dan terutama lava, endapan alivium dan pantai, terbentuk atas
kerikil, pasir, lempung, dan lumpur. Jenis batuan atau geologi Kabupaten Takalar
terdiri dari vulcanik (batuan vulkanik), batuan ini merupakan batuan tertua yang
telah mengalami perubahan, batu kapur terbentang yang ada di sepanjang ataupun
seluruh pantai perbatasan Takalar dengan Jeneponto (PPSP Takalar, 2013).
Gunung Api Baturape – Cindako merupakan batuan vulkanik basal yang
terdiri dari lava dan batuan piroklastik yang bersilangan dengan tufa dan batu
pasir. Batuan ini tersebar luas di wilayah pegunungan dan daerah dataran. Lapisan
batuan ini sangat memiliki porositas dan sangat kaya akan permeabilitas yang
sangat rendah. Batuan Instrusif terdiri atas batuan basal mulai dari dolerit, diorit,
gabbro hingga diabase (PPSP Takalar, 2013).
2.2.5 Topografi
Berdasarkan kondisi topografi Wilayah Kabupaten Takalar khususnya di Bissua
ini berada pada ketinggian 0 – 1000 meter diatas permukaan laut (mdpl), dengan
bentuk permukaan lahan relatif datar, bergelombang hingga perbukitan. Sebagian
besar wilayah Kabupaten Takalar merupakan daerah dataran dan wilayah pesisir
dengan ketinggian 0 – 100 mdpl, yaitu sekitar 86,10% atau kurang lebih 48,778
Km2. Sedangkan selebihnya merupakan daerah perbukitan dan berada pada
ketinggian diatas 100 mdpl, yaitu sekitar 78,73 Km2. Hasil analisa GIS,
menujukkan keadaan topografi dan kelerengan Kabupaten Takalar sangat
bervariasi, yang secara umum berada pada kisaran 0 - 2%, 2 - 15%, 15 - 30%, 30
– 40% dan > 40% (PPSP Takalar, 2013).
Kondisi topografi tersebut memiliki potensi untuk pengembangan beberpa
kegiatan perkeonomian masyarakat seperti pertanian, perikanan, perkebunan,
peruntukan lahan permukiman dan sarana prasarana sosial ekonomi lainnya.
Wilayah Kecamatan Polombangkeng Utaran dan Wilayah Kecamatan
Polombangkeng Selatan selain memiliki wilayah dataran dan sebagian kecil
wilayahnya yang perbukitan (PPSP Takalar, 2013).
2.2.6 Penggunaan Lahan
Penggunaan lahan untuk kawasan fungsional seperti persawahan, ladang dan
kawasan terbangun membutuhkan lahan dengan kemiringan dibawah 15%,
sedangkan lahan dengan kemiringan diatas 40% akan sangat sesuai untuk
penggunaan perkebunan, pertanian tanaman keras dan hutan. Luas areal budidaya
ikan pada tahun 2006 sekitar 4.856 ha, budidaya tambak dengan luas 4.343 ha
yang tersebar di hampir setiap kecamatan Produksi ikan laut di Kabupaten Takalar
pada tahun 2006 mencapai 26.776 ton. Selain itu Kabupaten Takalar dikenal
sebagai penghasil ikan terbang dan rumput laut. Dalam Program Gerbang Emas
Kabupaten Takalar sangat potensial dijadikan sebagai pusat inkubator
pengembangan rumput laut (PPSP Takalar, 2013).
BAB III. PEMBAHASAN

Gambar 1. Perubahan penggunaan lahan di daerah persawahan


Pada gambar dapat dilihat bahwa daerah-daerah persawahan yang awalnya
terdapat di daerah Hertasning telah berukurang. Pada gambar ditunjukkan bahwa
bagian daerah atau wilayah yang masih memiliki area persawahan yaitu berada
pada daerah sekitaran Jl.Hertasning 1 yaitu Sawah Besar Farma.PT yang letaknya
berada di Jl.Hertasning 1 Blok E2 No 19 Tidung.

Gambar 2. Hertasning sebelum Gambar 3. Hertasning pada tahun 2015


terjadi perubahan setelah terjadi perubahan

Perubahan Land use awal dari daerah Hertasning ini awalnya daerah
daerah hertasning merupakan kawasan pertanian yang sangat produktif. Dan
daerah ini pernah disebut sebagai daerah agraris. Perubahan daerah Hertasning
pada saat ini dari area persawahan telah berubah menjadi daerah pemukiman,
tempat perdagangan, perkantoran, tempat pendidikan dan lain-lain. Perubahan ini
dicirikan dengan alih fungsi lahan pertanian menuju kearah pengembangan
aktivitas perkotaan yang beragam dan kompleks secara berkelanjutan. Perubahan
land use tersebut dapat terjadi karena pada daerah tersebut populasi penduduknya
terus bertambah sehingga memerlukan lahan untuk digunaka sebagai tempat untuk
membangun rumah. Selain itu dipengaruhi pula oleh faktor tertentu seperti
semakin tingginya tingkat social ekonomi di daerah tersebut dengan
perkembangan teknologi modern yang mamacu untuk mengembangkan daerah ini
lebih berkembang. Hal ini dapat dilihat dengan adanya fungsi keberadaan
bangunan baru atau ruang baru dengan perluasan koridor jalanan yang
menghubungkan antara Hertasning-Samata yang merupakan akses utama dari kota
Makassar menuju ke Gowa. Dengan perluasan koridor jalanan tersebut
berpengaruh dengan bidang lahan persawahan disekitarnya.
Dengan adanya perubahan land use tersebut maka akan ditimbulkan
dampak dan konsekuensi yang merugikan bagi sebagian warga sekitar. Misalya
untuk segi ekonomi dapat diliahat dari hilangnya mata pencaharian utama dari
warga sekitar yang telah lama bermukin di daerah tersebut, berbeda dengan warga
yang lain yang memiliki pendidikan yang tinggi maka mereka akan lebih mudah
mendapatkan pekerjaan dari adanya perubahan lahan menjadi bangunan-bangunan
yang baru. Untuk dampak lingkungannya sendiri apabila dilakukan perubahan
lahan dengan semakin banyaknya bagunan-bangunan maka daya serap oleh tanah
akan semiki berkurang dan berdampak dengan akan terjadninya banjir saat musim
hujan. Sedangkan untuk dampak social budaya akan mengakibatkan
BAB IV. KESIMPULAN

Berdasarkan kegiatan praktek lapang yang telah dilaksanakan maka dapat


disimpulkan bahwa kawasan Jalan Hertasning mengalami perubahan lahan yang
sangat signifikan. Perubahan pemanfaatan ruang koridor Hertasning diawali
dengan alih fungsi guna lahan dimana kondisi awalnya merupakan kawasan yang
belum terbangun dan dominan merupakan areal pertanian produktif yang kini
banyak yang beralih fungsi menjadi sentral perumahan dengan melakukan proses
ekspansi dan penambahan keruangan secara mendatar dengan cara menempati
ruang-ruang yang masih kosong.

Você também pode gostar