Você está na página 1de 3

AGAMA DAN AKAL:

Antara Maksimalisme dan Minimalisme Agama


Oleh: Ayatullah M.T. Misbah Yazdi

Apakah yang dimaksud dengan Minimalisme Agama dan Maksimalisme Agama? Pada
dasarnya, sejauh mana ruang lingkup peran agama dalam kehidpan umat manusia
menurut pandangan Islam dan pandangan Barat? Terlepas dari apakah setiap agama
itu menyimpan pesan-pesan dan ajaran-ajaran khas mengenai kehidupan manusia,
dari balik tinjauan luar terhadap agama ada sebuah pertanyaan serius, yaitu; pada
dasarnya, dalam perkara apa saja kita menantikan bantuan dan arahan agama? Ada
tiga jawaban atas pertanyaan ini yang pernah dikemukakan selama ini.

Jawaban Pertama:
Bahwasanya manusia dalam segenap urusan hidup privat ataupun sosialnya, mulai
dari cara makan, cara mengenakan pakaian, cara membangun tempat tinggal dan
gedung, cara duduk dan berdiri, cara berjalan dan tidur, sampai mendirikan
pemerintahan, menentukan tugas-tugas setiap pejabat dan menggariskan mekanisme
pengelolaan negara, juga bahkan menerangkan berbagai persoalan-persoalan ilmiah,
harus menunggu arahan-arahan dari agama. Dan, tanpa kita harus repot atau
menanggung sedikitpun beban dan ongkos penyelidikan, kita akan mendapatkan
keberhasilan sebanyak mungkin dari petunjuk agama.

Padangan di atas ini terhadap agama, yakni bahwa agama bertanggung jawab
memenuhi segala kebutuhan manusia, disebut juga dengan Maksimalisme Agama (Din
Haddeaksari). Berdasarkan pandangan ini, agama menjamin pemenuhan segenap
penantian dan harapan umat manusia. Pada gilirannya, umat manusia tidak perlu lagi
memanfaatkan atau memberdayakan kekuatan akal dan mengembangkan potensi-
potensi karuniawinya.

Padangan demikian terhadap agama sesungguhnya tidaklah benar. Agama sama sekali
tidak pernah mengajukan klaim bahwa ia datang untuk menggeser habis peranan akal
dan membekukan kandungan potensial manusia. Agama juga tidak datang dengan
mendakwakan kehadirannya sebagai penuntas segenap kebutuhan umat manusia.

Bertolak dari rapuhnya pandangan maksimalistik ini terhadap agama, pertanyaan yang
muncul selanjutnya adalah, apakah ruang cakup agama yang sebenarnya? Dan, dalam
urusan apa saja manusia berkewajiban mengikuti agama?

Inilah pertanyaan yang mengawali perseteruan sengit antara bapak-bapak Gereja dan
kalangan elite politik di Barat yang berlangsung selama berabad-abad, dan berakhir
dengan piagam perdamaian 'kosong' yang memproklamasikan jawaban kedua berikut
ini.

Jawaban Kedua:
Bahwasanya kehidupan manusia mencakup dua macam urusan; urusan dunia dan
urusan akhirat. Dua macam urusan ini benar-benar terpisah antara satu dari lainnya
sedemikian rupa, sehingga perilaku manusia dalam hal-hal duniawi sama sekali tidak
berpengaruh pada nasibnya di akhirat. Umat manusia dalam urusan-urusan ukhrawi
dan dalam hubungan dengan Tuhannya semestinya mendapatkan arahan dan
tuntunan dari agama. Adapun dalam urusan-urusan duniawi dan kehidupan di alam
ini, ia bebas melakukan apa saja yang dikehendaki dan disukainya.
Inilah pemikiran sekular yang meyakinkan pemisahan agama dari ruang-ruang
aktifitas sosial. Pemikiran ini juga lebih dikenal dengan Minimalisme Agama (Din
Hadeaqalli). Pandangan ini juga tampaknya perlu ditimbang secara serius, karena
kendati kehidupan manusia bisa dibagi kepada dua macam; urusan duniawai dan
urusan ukhrawi, dimana urusan dunia bermula dari kelahirannya dan berakhir
dengan kematiannya, sementara urusan akherat dihitung mulai dari kematiannnya
dan berlanjut dengan keabadiannya, dan masing-masing dari dua urusan hidup ini
memiliki ciri-ciri khas tersendiri. Tetapi, pembagian tersebut tidak berarti bahwa
perilaku dan perbuatan manusia di dunia ini juga terbagi kepada dua macam;
perbuatan duniawi dan perbuatan ukhrawi, tidak ada keterkaitan di antara keduanya
sama sekali.

Pandangan demikian ini, yakni fungsi agama dianggap sebatas panjatan pribadi atau
ritual kolektif yang dilakukan di tempat-tempat peribadatan seperti; gereja, masjid,
dan semacamnya, dan sebatas hubungan privat manusia dengan Tuhannya, dan sama
sekali tidak berurusan dengan kehidupan sosialnya, disamping tidak adanya
dukungan argumentasi yang sahih, juga tidak sesuai dengan kandungan agama-agama
samawi.

Sesungguhnya, sebagaimana yang kita ketahui, semua agama yang benar, terlepas
dari luang sempitnya sistem hukum masing-masing, hanya mengajukan dakwaan
bahwa umat manusia berkewajiban menyesuaikan dan mengadaptasikan segenap
perilakunya, baik pada urusan personal ataupun sosial, dengan arahan-arahan
agamanya, dan bahwa manusia tidak bisa berbuat di dunia ini dengan sesuka
hatinya. Demikian ini tampak begitu jelas sekilas saja kita merujuk kepada
kandungan-kandungan ajaran semua agama samawi, khususnya agama Islam.

Jawaban Ketiga:
Bahwasanya kehidupan ukhrawi manusia merupakan hasil dan dampak sikap-
tindaknya di dunia. Yakni, manusia bisa melakukan perbuatan-perbuatan yang
bermanfaat untuk akhiratnya, sebagaimana ia juga bisa melakukan serangkaian
perbuatan yang merugikannya di akhirat. Manusia adalah makhluk yang menjalani
proses, dimana hakikat wujud dan pola hidupnya di dunia terdefinisikan lewat
perbuatan-perbuatannya. Maka, ia harus memperhatikan hukum-hukum agama
dalam memilih dan menentukan jalan bertindak. Inilah pandangan Islam yang jernih.
Pandangan yang tidak bisa sepenuhnya kompromi dengan pandangan maksimalistik
yang ekstrim atau pun pandangan minimalistik yang sinis.

Penjelasannya adalah bahwa perbuatan manusia dalam pranata hukum Islam terbagi
kepada lima macam:
1. Wajib, yaitu perbuatan-perbuatan yang harus dilakukan sesuai dengan cara tertentu
seperti: salat, puasa, haji, dll.
2. Haram, yaitu perbuatan-perbuatan yang harus ditinggalkan seperti: meminum
minuman yang memabukkan, memperkosa hak-hak orang lain.
3. Mustahab, yaitu perbuatan-perbuatan yang tidak harus dilakukan, tetapi bermanfaat
dalam mencapai kesempurnaan manusia seperti: infak, sedekah, dll.
4. Makruh, yaitu perbuatan-perbuatan yang sebaiknya ditinggalkan, meskipun tidak
seharusnya.
5. Mubah, yaitu perbuatan-perbuatan dimana Islam tidak memerintahkan atau
melarangnya, tidak pula memberikan penekanan dan dorongan atasnya.

Lima macam hukum ini yang berlaku pada seluruh perbuatan personal atau sosial
manusia, baik kecil maupun besar, sungguh berarti dalam kaitannya dengan
kebahagian dan keuntungan duniawi serta akhirat manusia. Dengan kata lain,
perbuatan-perbuatan yang harus kita lakukan untuk memenuhi kebahagian adalah
perbuatan wajib. Dan perbuatan yang mau tidak mau harus kita tinggalkan untuk
menghindarkan diri dari kesengsaraaan disebut perbuatan haram. Melakukan perkara-
perkara yang mustahab dan meninggalkan perkara-perkara yang makruh juga
bermanfaat dalam mencapai kebahagiaan. Oleh karena itu, semua itu sangat penting.
Adapun mubah yaitu perkara-perkara yang tidak ada pengaruhnya dalam kaitannya
dengan kebahagiaan ataupun dengan kesengsaraan manusia. Melakukan perkara
mubah pada dasarnya tidak menjauhkan pelakunya dari kesempurnaannya, tidak pula
mendekatkan kepadanya.

Di sini, dengan memperhatikan pembagian di atas tadi, dapat ditegaskan bahwa semua
perkara dan urusan yang pelaksanaannya ataupun cara pelaksanaannya tidak
diwajibkan agama berada dalam agenda perencanaan, penyelidikan dan penelaahan
manusia. Pengambilan sikap dan keputusan mengenai perlunya pelaksanan perkara
itu berikut caranya diserahkan kepada akal dan pengetahuan manusia, sehingga
dengan upaya-upaya penyelidikannya dan pemanfaatan hasil-hasil ilmiah dan riset
orang lain, manusia dapat menyiapkan lahan dan peluang untuk mencapai
kesempurnaan dan memenuhi kebutuhan-kebutuhan seoptimal dan sebaik mungkin.

Oleh karena itu, tatkala Islam menetapkan salah satu dari lima hukum di atas (wajib,
haram, mustahab, maktuh dan mubah) atas setiap perbuatan, bahkan atas setiap
pikiran dan khayalan manusia, yang berdasarkan ini pula semua perbuatan manusia
ditimbang di dalam kerangka sistem nilainya, pada saat yang sama, Islam sama sekali
tidak memberangus aktifitas dan peran akal dan mengharamkan pencerahan
pemikiran serta pengembangan potensi-potensi manusia. Tetapi, dengan penjelasan-
penjelasan yang beragam, Islam mendorong untuk mencari ilmu, mengembangkan
pemikiran, mendorong kemajuan dan memanfaatkan pengalaman serta penemuan
orang lain, walaupun jauh dari jangkauan mereka. "Tuntutlah ilmu walau ada di Cina!".

Maka dari itu, Islam menempatkan dunia dan perbuatan-perbuatan personal dan
sosial manusia di dalamnya sebagai mukadimah, lahan, sarana, dan syarat akhirat.
Sementara kehidupan alam akhirat adalah dampak dan hasil perbuatannya di dunia
ini. Dengan begitu, Islam sama sekali tidak akan pernah kompromi dengan pemikiran
sekular, yakni pemikiran yang mendepak agama dari ruang kehidupan sosial manusia,
dan membatasi peranannya sebatas hubungan-hubungan personal manusia dengan
Tuhannya.[]

Você também pode gostar

  • RJ1 20170331 081137 3786 PDF
    RJ1 20170331 081137 3786 PDF
    Documento118 páginas
    RJ1 20170331 081137 3786 PDF
    Hudzaifah Abdul Hakim
    Ainda não há avaliações
  • Jamur yang Menyerang Pohon Rambutan
    Jamur yang Menyerang Pohon Rambutan
    Documento4 páginas
    Jamur yang Menyerang Pohon Rambutan
    Hudzaifah Abdul Hakim
    Ainda não há avaliações
  • 109 190 1 SM
    109 190 1 SM
    Documento7 páginas
    109 190 1 SM
    Yometra
    Ainda não há avaliações
  • Akal (Aqli)
    Akal (Aqli)
    Documento5 páginas
    Akal (Aqli)
    Hudzaifah Abdul Hakim
    Ainda não há avaliações
  • 109 190 1 SM
    109 190 1 SM
    Documento1 página
    109 190 1 SM
    Hudzaifah Abdul Hakim
    Ainda não há avaliações
  • Ipi 286591
    Ipi 286591
    Documento7 páginas
    Ipi 286591
    Hudzaifah Abdul Hakim
    Ainda não há avaliações
  • Akal (Aqli)
    Akal (Aqli)
    Documento4 páginas
    Akal (Aqli)
    Novhy ALfino Nezious
    Ainda não há avaliações
  • Ali Ibn Abi Thalib
    Ali Ibn Abi Thalib
    Documento2 páginas
    Ali Ibn Abi Thalib
    Hudzaifah Abdul Hakim
    Ainda não há avaliações