Escolar Documentos
Profissional Documentos
Cultura Documentos
diajukan untuk memenuhi salah satu syarat Praktik Klinik Keperawatan Jiwa
Disusun Oleh:
Puji syukur kami panjatkan ke hadirat Allah SWT, karena berkat rahmat-Nya kami dapat
menyelesaikan Laporan Pendahuluan Keperawatan Jiwa ini. Laporan ini diajukan guna
memenuhi salah satu syarat Praktik Klinik Keperawatan Jiwa.
Kami mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu sehingga
Laporan ini dapat diselesaikan tepat pada waktunya. Laporan ini masih jauh dari kata sempurna.
Oleh karena itu, kritik dan saran yang bersifat membangun kami harapkan demi kesempurnaan
Laporan ini.
Penyusun
DAFTAR ISI
LAPORAN PENDAHULUAN
4. Factor Predisposisi
Faktor predisposisi terjadinya Harga Diri Rendah adalah penolakan orang tua yang
tidak realistis, kegagalan berulang kali, kurang mempunyai tanggung jawab
personal,ketergantungan dengan orang lain, ideal diri yang tidak realistis.
5. Factor Presipitasi
Factor presipitasi terjadinya harga diri rendah adalah hilangnya sebagian anggota tubuh,
berubahnya penampilan atau bentuk tubuh, mengalami kegagalan, serta menurunnya
produktivitas. Gangguan konsep diri : harga diri rendah kronis ini dapat terjadi secara
situasional maupun kronik.
Situasional Gangguan konsep diri : harga diri rendah yang terjadi secara
situasional bias disebabkan oleh trauma yang muncul secara tiba-tiba misalnya harus
dioperasi, mengalami kecelakaan.menjadi korban perkosaan atau menjadi narapidana
sehingga harus masuk penjara. Selain itu dirawat di Rumah Sakit juga menyebabkan
rendahnya harga diri seseorang di karenakan penyakit fisik, pemasangan alat bantu yang
membuat klien tidak nyaman, harapan yang tidak tercapai akan struktur, bentuk, dan
fungsi tubuh, serta perlakuan petugas kesehatan yang kurang menghargai klien dan
keluarga.
Kronik, Gangguan konsep diri : harga diri rendah kronis biasanya sudah
berlangsung sejak lama yang dirasakan klien sebelum sakit atau sebelum dirawat, klien
sudah memiliki pikiran negatife sebelum dirawat dan menjadi meningkat saat dirawat.
Baik factor predisposisi maupun presipitasi diatas bila telah memengaruhi
seseorang baik dalam berfikir, bersikap maupun bertindak, maka dianggap telah
memengaruhi koping individu tersebut sehingga menjadi tidak efektif (mekanisme
koping individu tidak efektif), bila kondisi klien dibiarkan tanpa ada intervensi lebih
lanjut dapat menyebabkan kondisi dimana klien tidak memiliki kemauan untuk bergaul
dengan orang lain (isolasi social), klien yang mengalami kondisi isolasi social dapat
membuat klien asyik dengan dunia dan pikirannya sendiri sehingga dapat muncul resiko
perilaku kekerasan.
6. Para Ahli mengenai Harga Diri Rendah Kronis
Peplau dan Sulivan dalam keliat 1999) mengatakan bahwa pengalaman interpersonal
di masa atau tahap perkembangan dari bayi sampai lanjut usia yang tidak menyenangkan
seperti good me, bad me, not me, merasa sering dipersalahkan, atau mereasa tertekan,
kelak menimbulkan perasaan aman yang tidak terpenuhi. Hal ini dapat menimbulkan
perasaan di tolak oleh lingkungan dan apabila koping yang digunakan tidak efektif dapat
menyebabkan harga diri rendah.
Caplan danya perubahan social seperti dikucilkan, ditolak, serta tidak dihargai akan
mdalam Keliat (1999) mengatakan bahwa lingkungan social, pengalaman individu, dan
aemengaruhi penyimpangan individu, keadaan seperti ini dapat menyebabkan stress dan
menimbulkan perilaku seperti harga diri rendah.
C. Kemungkinan data fokus
1.Pengkajian
Pengelompokan data pada pengkajian kesehatan jiwa berupa faktor presipitasi,
penilaian stressor, sumber koping yang dimiliki klien. Setiap melakukan pengkajian,
tulis tempat klien dirawat dan tanggal di rawat ini pengkajian meliputi :
a.Identitas klien meliputi
Nama klien, umur, jenis kelamin, status perkawinan, agama, tanggal MRS,
informan,tanggal pengkajian, no rumah klien dan alamat klien, No RM.
b. Keluhan utama
Keluhan pada pasien harga diri rendah biasanya berupa Mengkritik diri sendiri,
Perasaan tidak mampu, Pandangan hidup yang pesimistis, Tidak menerima pujian,
Penurunan produktivitas, Penolakan terhadap kemampuan diri, Kurang
memperhatikan perawatan diri, Berpakaian tidak rapi, Selera makan berkurang, Tidak
berani menatap lawan bicara, Lebih banyak menunduk, Bicara lambat dengan suara
lemah
c. Faktor predisposisi
Faktor predisposisi terjadinya Harga Diri Rendah adalah penolakan orang tua yang
tidak realistis, kegagalan berulang kali, kurang mempunyai tanggung jawab
personal,ketergantungan dengan orang lain, ideal diri yang tidak realistis.
d. Aspek fisik / biologis
Hasil pengukuran tanda tanda vital (suhu, nadi, TD, pernafasan, TB, BB) dan
kelainan fisik yang dialami oleh klien.
e. Aspek psikososial
1) Genogram yang menggambarkan tiga generasi
2) Konsep diri
a) Citra tubuh
Biasanya klien menyebutkan bagian tubuh yang disukainya atau bagian tubuh
yang tidak disukainya
b) Identitas diri
Biasanya pasien halusinani mampu menyebut identitasnya dengan baik, yaitu
nama, umur, agama, alamat, status perkawinan hanya saja saat di Tanya pasien
menunduk dan malu
c) Peran
Berubah atau berhenti fungsi peran yang disebabkan penyakit.
d) Ideal diri
Mengungkapkan keputusan karena penyakitnya : mengungkapkan keinginan
untuk sembuh
e) Harga diri
Perasaan malu berhadapan langsung dengan orang lain,merasa tidak pantas jika
beraada diantara orang lain,kurang interaksi sosial.
3) Hubungan sosial
Harga diri rendah karena klien malu untuk berinteraksi dengan orang lain
4) Spiritual
Tidak peduli terhadap perintah tuhan.
f. Status mental
1) Penampilan
Pada klien dengan harga diri rendah : berpenampilan tidak rapi, rambut acak-
acakan, kulit kotor, gigi kuning.
2) Pembicaraan
Pembicaraan klien dengan harga diri rendah :pembicaraannya lambat dengan suara
lemah dan tidak berani menatap lawan bicara
3) Aktivitas motorik
Klien lebih banyak menunduk, tidak bergairah dalam beraktifitas.
4) Alam perasaan
Alam perasaan pada klien dengan harga diri rendah biasanya tampak malu bertemu
dengan orang lain ada dimanifestasikan dengan sering menunduk.
5) Afek
Afek klien biasanya tidak sesuai dalam berfikir dan bicara klien lambat
6) Interaksi selama wawancara
Klien menunjukkan kurang kontak mata karena klien menunduk dan kadang-
kadang menolak untuk bicara dengan orang lain karena merasa malu
7) Persepsi
Klien dengan gangguan konsep diri pada kasus harga diri rendah pada umumnya
mengalami gangguan persepsi terutama halusinasi
8) Pola fikir
Proses pikir pada klien dengan gangguan konsep diri pada kasus harga diri rendah
akan kehilangan asosiasi, tiba-tiba terhambat atau blocking serta inkoherensi
dalam proses pikir.
9) Isi pikir
Klien dengan gangguan konsep diri pada kasus harga diri rendah pada umumnya
mengalami gangguan isi pikir : waham terutama waham curiga.
10) Tingkat kesadaaran
Klien tidak mengalami gangguan kesadaran.
11) Memori
Klien tidak mengalami gangguan memori, dimana klien mampu mengingat
masalalu nya
12) Tingkat konsentrasi dan berhitung
Klien tidak mengalami gangguan dalam konsentrasi dan berhitung.
13) Kemampuan penilaian
Klien tidak mengalami gangguan dalam penilaian
14) Daya tilik diri
biasanya, pasien menyadari bahwa dirinya sakit dan butuh bantuan agar dirinya
sembuh.
g.Mekanisme koping
Klien apabila merasa cemas atau ada masalah tidak menceritakan pada orang lain atau
lebih suka diam (ketida efektifan koping).
h. Aspek medic
Terapi yang diterima klien bisa berupa therapy farmakologi, dan Terapi Aktivitas
Kelompok (TAK).
G. Diagnosis Keperawatan
Harga Diri Rendah Kronis.
H. Rencana Tindakan Keperawatan
SP II
1.Mengevaluasi jadwal
kegiatan harian pasien
2.Melatih kemampuan
kedua
3.Menganjurkan pasien
memasukkan dalam
jadwal kegiatan harian
Keluarga mampu : Setelah …x pertemuan SP I
Merawat pasien dirumah keluarga mampu : 1.Mendiskusikan masalah
menjelaskan penyebab, yang dirasakan keluarga
tanda dan gejala akibat dalam merawat pasien
serta mampu 2.Menjelaskan pengertian,
memperagakan cara tanda dan gejala harga diri
merawat rendah yang dialami
pasien beerta proses
terjadinya
3.Menjelaskan cara cara
merawat pasien harga diri
rendah
4.RTL keluarga / jadwal
untuk merawat pasien
Setelah …x pertemuan SP II
keluarga mampu 1.Evaluasi kemampuan
1. Menyebutkan kegiatan keluarga (SP 1)
yang sudah dilakukan 2.Latih keluarga merawat
2. Memperagakan cara pasien (langsung pada
merawat pasien serta pasien)
mampu membuat RTL 3.RTL keluarga / jadwal
untuk merawat pasien
diajukan untuk memenuhi salah satu syarat Praktik Klinik Keperawatan Jiwa
Disusun Oleh:
Puji syukur kami panjatkan ke hadirat Allah SWT, karena berkat rahmat-Nya kami dapat
menyelesaikan Laporan Pendahuluan Keperawatan Jiwa ini. Laporan ini diajukan guna
memenuhi salah satu syarat Praktik Klinik Keperawatan Jiwa.
Kami mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu sehingga
Laporan ini dapat diselesaikan tepat pada waktunya. Laporan ini masih jauh dari kata sempurna.
Oleh karena itu, kritik dan saran yang bersifat membangun kami harapkan demi kesempurnaan
Laporan ini.
Penyusun
DAFTAR ISI
LAPORAN PENDAHULUAN
ISOLASI SOSIAL
A. MASALAH UTAMA
Isolasi Sosial
B. PROSES TERJADINYA MASALAH
1. Pengertian
Suatu sikap dimana individu menghindari diri dari interaksi dengan orang lain.
Individu merasa bahwa ia kehilangan hubungan akrab dan tidak mempunyai kesempatan
untuk membagi perasaan, pikiran, prestasi atau kegagalan. (Balitbang, 2007).
Merupakan percobaan untuk menghidari interaksi dengan orang lain, menghindari
hubungan maupun komunikasi dengan orang lain. (Rawlins, 1993).
Merupakan suatu gangguan hubungan interpersonal yang tidak fleksibel yang
menimbulkan perilaku maladaptive dan mengganggu fungsi seseorang dalam hubungan
sosial. (Depkes RI, 2000).
Dari penjelasan diatas dapat disimpulkan bahwa isolasi sosial adalah individu yang
berusaha menghindari diri dari interaksi dengan orang lain baik berupa komunikasi,
bertukar pikiran maupun bertukar perasaan, akibat dari gangguan hubungan interpersonal
itu sendiri yang tidak fleksibel sehingga menimbulkan perilaku maladaptive.
3. Rentang Respon
6) Status mental
(a) Penampilan
Pada klien dengan Kerusakan Interaksi Sosial : Menarik Diri berpenampilan
tidak rai, rambut acak-acakan, kulit kotor, gigi kuning, tetapi penggunaan pakaian
sesuai dengan keadaan serta klien tidak mengetahui kapan dan dimana harus
mandi.
(b) Pembicaraan
Pembicaraan klien dengan Kerusakan interaksisosial Menarik Diripada
umumnya tidak mampu memulai pembicaraan, bila berbicara topik yang
dibicarakan tidak jelas atau kadang menolak diajak bicara.
(c) Aktifitas motorik
Klien tampak lesu, tidak bergairah dalam beraktifitas, kadang gelisah dan
mondar-mandir.
(d) Alam perasaan
Alam perasaan pada klien dengan Kerusakan Interaksi Sosial pada kasus
Menarik Diri biasanya tampak putus asa dimanifestasikan dengan sering
melamun.
(e) Afek
Afek klien biasanya datar, yaitu tidak bereaksi terhadap rangsang yang normal.
(f) Interaksi selama wawancara
Klien menunjukkan kurang kontak mata dan kadang-kadang menolak untuk
bicara dengan orang lain.
(g) Persepsi
Klien dengan Kerusakan Interaksi Sosial pada kasus Menarik Diri pada
umumnya mengalami gangguan persepsi terutama halusinasi pendengaran, klien
biasanya mendengar suara-suara yang megancam, sehingga klien cenderung
sering menyendiri dan melamun.
Proses pikir pada klien dengan Kerusakan Interaksi Sosial pada kasus
Menarik Diri akan kehilangan asosiasi, tiba-tiba terhambat atau blocking serta
inkoherensi dalam proses pikir.
(i) Isi pikir
Klien dengan Kerusakan Interaksi Sosial pada kasus Menarik Diri pada
umumnya mengalami gangguan isi pikir : waham terutama waham curiga.
Klien dengan Kerusakan Interaksi Sosial pada kasus Menarik Diri tidak
mengalami gangguan kesadaran.
(k) Memori
Klien dengan Kerusakan Interaksi Sosial pada kasus Menarik Diri pada
umumnya tidak mengalami gangguan dalam konsentrasi dan berhitung.
Klien mengalami gangguan daya tilik diri karena klien akan mengingkari
penyakit yang dideritanya.
8) Mekanis mekoping
Klien apabila mendapat masalah takut atau tidak mau menceritakannya pada
orang lain (lebih sering menggunakan koping menarik diri)
10) Pengetahuan
Klien dengan Kerusakan Interaksi Sosial pada kasus Menarik Diri, kurang
mengetahuan dalam hal mencari bantuan, faktor predisposisi, koping mekanisme dan
sistem pendukung dan obat-obatan sehingga penyakit klien semakin berat.
Isolasi Sosial
Intoleransi Aktifitas
Objektif
Kurang spontan.
Apatis (acuh terhadap lingkungan).
Ekspresi wajah kurang berseri.
Tidak merawat diri dan tidak memperhatikan kebersihan diri.
Tidak ada atau kurang komunikasi verbal.
Mengisolasi diri.
Tidak atau kurang sadar terhadap lingkungan sekitarnya.
Asupan makanan dan minuman terganggu.
Retensi urine dan feses.
Aktivitas menurun.
Kurang energi.
Rendah diri.
Postur tubuh berubah, misalnya sikap fetus/janin (khususnya pada
posisi tidur).
7. DIAGNOSA KEPERAWATAN
Isolasi Sosial
SP 2
1. Evaluasi kegiatan yang lalu (SP1)
2. Pilih kemampuan kedua yang dapat dilakukan.
3. Latih kemampuan yang dipilih.
4. Masukan dalam jadwal kegiatan pasien.
SP3
1. Evaluasi kegiatan yang lalu (SP1 Dan 2).
2. Memilih kemampuan ketiga yang dapat
dilakukan.
3. Masukkan dalam jadwal kegiatan pasien.
SP3
1. Evaluasi SP1 dan SP2
2. Latih (langsung ke pasien)
3. Rencanakan tindak lanjut keluarga
a. Follow Up
b. Rujukan
LAPORAN PENDAHULUAN KEPERAWATAN JIWA
diajukan untuk memenuhi salah satu syarat Praktik Klinik Keperawatan Jiwa
Disusun Oleh:
HALUSINASI
A. MASALAH UTAMA
Gangguan Persepsi Sensori: Halusinasi
B. PROSES TERJADINYA MASALAH
1. Definisi Halusinasi
Halusinasi adalah suatu persepsi yang salah oleh panca indra tanpa adanya rangsangan
(stimulus) eksternal (Cook & Fontain, Essential of Menthal Helath Nursing, 1987).
Halusinasi merupakan persepsi yang salah tentang suatu objek, gambaran dan pikiran
yang sering terjadi tanpa adanya pengaruh rangsang dari luar yang terjadi pada semua
system pengindraan dan hanya dirasakan oleh klien tetapi tidak dapat dibuktikan dengan
nyata dengan kata lain objek tersebut tidak ada secara nyata. (Erlinafsiah, 2010)
Menurut May Durant Thomas (1991) halusinasi secara umum dapat ditemukan pada
pasien gangguan jiwa seperti Skizofrenia, Depresi, Delirium, dan kondisi yang
berhubungan dengan penggunaan alkohol dan substansi lingkungan. Jenis halusinasi yang
umum terjadi adalah halusinasi penglihatan dan pendengaran. Gangguan halusinasi ini
umumnya mengarah pada prilaku yang membahayakan orang lain, klien dan keluarga.
Dari penjelasan diatas dapat disimpulkan bahwa Halusinasi adalah Persepsi yang salah
terhadap suatu stimulus, gambaran, dan pikiran, tanpa adanya suatu objek. Halusinasi
secara umum dapat ditemukan pada pasien gangguan jiwa seperti Skizofrenia, Depresi,
Delirium, dll.
2. Jenis Halusinasi
Menurut (Menurut Stuart, 2007), jenis halusinasi antara lain :
a. Halusinasi pendengaran (auditorik) 70 %
Karakteristik ditandai dengan mendengar suara, terutama suara – suara orang,
biasanya klien mendengar suara orang yang sedang membicarakan apa yang sedang
dipikirkannya dan memerintahkan untuk melakukan sesuatu.
b. Halusinasi penglihatan (Visual) 20 %
Karakteristik dengan adanya stimulus penglihatan dalam bentuk pancaran cahaya,
gambaran geometrik, gambar kartun dan / atau panorama yang luas dan kompleks.
Penglihatan bisa menyenangkan atau menakutkan.
c. Halusinasi penghidu (olfactory)
Karakteristik ditandai dengan adanya bau busuk, amis dan bau yang menjijikkan
seperti : darah, urine atau feses. Kadang – kadang terhidu bau harum.
d. Halusinasi peraba (tactile)
Karakteristik ditandai dengan adanya rasa sakit atau tidak enak tanpa stimulus
yang terlihat. Contoh : merasakan sensasi listrik datang dari tanah, benda mati atau
orang lain.
e. Halusinasi pengecap (gustatory)
Karakteristik ditandai dengan merasakan sesuatu yang busuk, amis dan
menjijikkan, merasa mengecap rasa seperti rasa darah, urin atau feses.
f. Halusinasi sinestetik
Karakteristik ditandai dengan merasakan fungsi tubuh seperti darah mengalir
melalui vena atau arteri, makanan dicerna atau pembentukan urine.
g. Halusinasi Kinesthetic
Merasakan pergerakan sementara berdiri tanpa bergerak.
3. Tahapan Halusinasi
TAHAP KARAKTERISTIK PERILAKU KLIEN
Tahap I - Mengalami ansietas, - Tersenyum, tertawa
- Memberi rasa nyaman kesepian, rasa bersalah sendiri
- Tingkat ansietas sedang dan ketakutan - Menggerakan bibir
secara umum, - Mencoba berfokus pada tanpa suara
halusinasi merupakan fikiran yang dapat - Pergerakan mata yang
suatu kesenangan menghilangkan ansietas cepat
- Fikiran dan pengalaman - Diam dan
sensori masih ada dalam berkonsentrasi
control kesadaran,
nonpsikotik
Tahap II - Pengalaman sensori - Terjadi peningkatan
- Menyalahkan menakutkan denyut jantung,
- Tingkat kecemasan - Merasa dilecehkan oleh pernapasan dan tekanan
berat secara umum pengalaman sensori darah
halusinasi tersebut - Perhatian dengan
menyebabkan antisipasi - Mulai merasakan lingkungan berkurang
kehilangan control - Kehilangan kemampuan
- Menarik diri dari orang membedakan halusinasi
lain non psikotik dengan realitas
Tahap III - Klien menyerah dan - Perintah halusinasi di
- Mengontrol menerima pengalaman taati
- Tingkat kecemaan berat sensori (Halusinasi) - Sulit berhubungan
- Pengalaman halusinasi - Isi halusinasi menjadi dengan orang lain
tidak dapat ditolak lagi aktif - Perhatian terhadap
- Kesepian bila pengalamn lingkungan berkurang
sensori berakhir psiotik hanya beberapa detik
- Tiidak mampu
mengikuti perintah dari
perawat, tremor dan
berkeringat.
TAHAP IV (Conquering)
- Klien mengalami gangguan dalam menilai lingkungannya. Pengalaman sensori
menjadi mengancam jika klien mengikuti perintah halusinasi. Di sini terjadi perilaku
kekerasan, agitasi, menarik diri, tidak mampu berespon lebih dari satu orang. Kondisi
klien sangat membahayakan.
5. Etiologi Halusinasi
a. Faktor Predisposisi
1) Biologis
Ganggguan perkembangan dan fungsi otak, susunan syaraf – syaraf pusat
dapat menimbulkan gangguan realita. Gejala yang mungkin timbul adalah
hambatan dalam belajar, berbicara, daya ingat dan muncul perilaku menarik diri.
2) Psikologis
Keluarga pengasuh yang tidak mendukung (broken home, overprotektif,
dictator, dan lainnya) serta lingkungan klien sangat mempengaruhi respon
psikologis klien, sikap atau keadaan yang dapat mempengaruhi gangguan
orientasi realitas adalah penolakan atau tindakan kekerasan dalam rentang
kehidupan klien.
3) Sosial budaya
Kondisi social budaya mempengaruhi gangguan orientasi realita : dimana
terjadi kemiskinan, konflik social budaya (perang, kerusuhan, bencana alam) dan
kehidupan terisolasi yang disertai stress.
b. Faktor Presipitasi
Secara umum klien dengan gangguan halusinasi timbul gangguan setelah adanya
hubungan yang bermusuhan, tekanan, isolasi, perasaan tidak berguna, putus asa dan
tidak berdaya. (Erl inafsiah, 2010)
6. Kemungkinan Data Fokus
Pengelompokkan data pada pengkajian kesehatan jiwa berupa faktor presipitasi,
penilaian stresor, sumber koping yang dimiliki klien. Setiap melakukan pengkajian,
tulis tempat klien dirawat dan tanggal dirawat ini pengkajian meliputi:
a. Identitas klien
Meliputi nama klien, umur, jenis kelamin, status perkawinan, agama, tanggal
MRS, informan, tanggal pengkajian, no rumah klien dan alamat klien.
b. Keluhan utama
Keluhan pada pasien Halusinasi Pendengaran biasanya berupa pasien sering
mendengar suara – suara ribut dan mendengung, biasa nya suara – suara tersebut
tersusun menjadi kata – kata dan menyuruh pasien untuk melakukan sesuatu.
Sedangkan pada pasien Halusinasi Penglihatan biasanya pasien terlihat tersenyum
atau berbicara sendiri, secara tiba-tiba marah atau menyerang orang lain, gelisah,
melakukan gerakan seperti sedang menikmati sesuatu.
c. Faktor Presipitasi
Secara umum klien dengan gangguan halusinasi timbul gangguan setelah adanya
hubungan yang bermusuhan, tekanan, isolasi, perasaan tidak berguna, putus asa dan
tidak berdaya.
d. Aspek fisik/biologis (Pemeriksaan Fisik)
Hasil pengukuran tanda vital (TD, Nadi, Suhu, Pernapasan, TB, BB) dan keluhan
fisik yang dialami oleh klien.
e. Aspek psikososial
1) Genogram yang menggambarkan tiga generasi
2) Konsep dirI
a) Citra tubuh :
Klien dengan halusinasi akan memperlihatkan adanya penurunan fungssi
ego. Halusinasi tersebut akan menimbulkan kewaspadaan dan dapat mengambil
seluruh perhatian klien dan tak jarang akan mengontrol semua prilaku klien.
b) Identitas diri
Biasanya pasien halusinani mampu menyebut identitasnya dengan baik,
yaitu nama, umur, agama, alamat, status perkawinan hanya saja saat ada
halusinasi pasien tersebut tidak kooperatif saat ditanya.
c) Peran
Berubah atau berhenti fungsi peran yang disebabkan penyakit.
d) Ideal diri
Mengungkapkan keputusasaan karena penyakitnya: mengungkapkan
keinginan untuk sembuh dan halusinasi nya hilang.
e) Harga diri
Perasaan malu terhadap diri sendiri, rasa bersalah terhadap diri sendiri dan
orang lain bila menyadari bahwa klien dapat mencelakakan diri sendiri dan
orang lain, gangguan hubungan social.
f. Hubungan Sosial
Klien mengalami gangguan interaksi social dalam fase awal dan comforting, klien
menganggap bahwa hidup bersosialisasi di alam nyata sangat membahayakan. Klien
asyik dengan halusinasinya, seolah – olah ia merupakan tempat untuk memenuhi
kebutuhan akan interaksi social, kontrol diri dan harga diri yang tidak didapatkan
dalam dunia nyata.
g. Kehidupan Spiritual
Secara spiritual klien halusinasi mulai dengan kehampaan hidup, rutinitas tidak
bermakna, hilangnya aktivitas ibadah dan jarang berupaya secara spiritual untuk
menyucikan diri. Irama sikardiannya terganggu, karena ia sering tidur larut malam
dan bangun sangat siang. Saat terbangun merasa hampa dan tidak jelas tujuan
hidupnya. Ia sering memaki takdir tetapi lemah dalam upaya menjemput rezeki,
menyalahkan lingkungan dan orang lain yang meyebabkan takdirnya memburuk.
h. Status mental
1) Penampilan
Klien tampak kotor dan pakaian tidak rapi dengan raut wajah cemas dan
berjalan modar – mandir.
2) Pembicaraan
Saat ditanya oleh perawat biasa nya pasien halusinasi kooperatif hanya saja
saat timbul halusinasi, pasien akan berkonsentrasi pada halusinasi yang ia rasakan.
3) Aktivitas Motorik (Psikomotorik)
Pasien halusinasi biasanya akan gaduh – gelisah (katatonik) karena merasa
cemas akan halusinasi yang ia rasakan
4) Afek dan Emosi
Pasien halusinasi biasanya akan merasa khawatir dan cemas karena halusinasi
yang ia rasakan.
5) Interaksi selama wawancara
Pasien kooperatif saat berinterksi dengan perawat namun arah pandangan
sering menengok ke arah lain.
6) Persepsi sensori
Pasien mengatakan bahwa ada suara – suara disekitar nya.
7) Proses Pikir
Pada pasien halusinasi biasanya pemikirannya tidak masuk akal karena ia
merasa yakin bahwa halusinasi yang ia rasakan benar – benar nyata.
8) Tingkat Kesadaran
Kesadaran pasien baik, namun kadang – kadang pasein dapat apatis pada dunia
luar selain diri nya dan halusinasinya sendiri.
9) Memory (Daya Ingat)
Daya ingat pasien baik.
10) Tingkat Konsentrasi dan Berhitung
Tidak ada gangguan pada tingkat konsentrasi dan berhitung pasien.
11) Kemampuan penilaian/Mengambil Keputusan
Pasien biasanya dapat mengambil keputusan sendiri.
12) Daya Tilik Diri
Biasanya, pasien menyadari bahwa dirinya sakit dan butuh bantuan agar
dirinya sembuh.
i. Mekanisme koping
Klien apabila merasa cemas, takut tidak mau menceritakannya pada orang lain
(lebih sering menggunakan koping menarik diri).
j. Aspek medic
Terapi yang diterima klien bisa berupa therapy farmakologi, Terapi kejang listrik /
Electro Compulsive Therapy (ECT) dan Terapi Aktivitas Kelompok (TAK).
Objektif:
a. Klien terlihat bicara atau tertawa sendiri saat
dikaji
b. Bersikap seperti mendengarkan sesuatu
c. Berhenti bicara di tengah- tengah kalimat
unutk menfengarkan sesuatu
d. Disorientasi
e. Kosentrasi rendah
f. Pikiran cepat berubah-ubah
g. Kekacauan alur pikiran
C. DIAGNOSA KEPERAWATAN
1. Gangguan persepsi sensori: Halusinasi
diajukan untuk memenuhi salah satu syarat Praktik Klinik Keperawatan Jiwa
Disusun Oleh:
PERILAKU KEKERASAN
A. MASALAH UTAMA
Perilaku kekerasan
B. PROSES TERJADINYA MASALAH
1. Pengertian
Perilaku kekerasan merupakan terhadap stressor yang dihadapi oleh seseorang, yang
ditunjukan dengan prilaku aktual melakukan kekerasan, baik pada diri sendiri, orang lain
maupun lingkungan, secara verbal maupun nonverbal, bertujuan untuk melukai oranglain
secara fisik maupun psikologis (Berkowitz, 2000 dalam Yosep, 2011).
Peilaku kekerasan adalah suatu keadaan dimana seseorang melakukan tindakan yang
dapat membahayakan secara fisik, baik pada dirinya sendiri maupun oranglain, disertai
dengan amuk dan gaduh gelisah yang tidak terkontrol (Kusumawati dan hartono, 2010
dalam Riyadi).
Berdasarkan definisi ini maka perilaku kekerasan dapat dilakukan secara verbal dan
fisik. Sedangkan marah tidak harus memiliki tujuan khusus. Marah lebih merujuk kepada
suatu perasaan-perasaan tertentu yang biasanya disebut perasaan marah. Dengan kata lain
kemarahan adalah perasaan jengkel yang muncul sebagai respon terhuadap kecemasan
yang dirasakan sebagai ancaman oleh individu. (Direja, 2011)
a. Faktor Predisposisi
1) Teori Biologik
(c) Cyrcardian Rhytm (Irama sirkardian tubuh), memegang peranan pada individu.
Menurut penelitian pada jam-jam tertentu manusia mengalami peningkatan
cortisol terutama pada jam-jam sibuk seperti menjelang masuk kerja dan
menjelang berakhirnya pekerjaan sekitar jam 9 dan jam 13. Pada jam tertentu
orang lebih mudah terstimulasi untuk bersikap agresif.
(e) Brain Area disorder, gangguan pada sistem limbik dan lobus temporal, sindrom
otak organik, tumor otak, trauma otak, penyakit ensepalitis, epilepsi ditemukan
sangat berpengaruh terhadap perilaku agresif dan tindak kekerasan.
2) Teori psikologik
3) Teori Sosiokultural
Dalam budaya tertentu seperti rebutan berkah, rebutan uang receh, sesaji atau
kotoran kerbau dikeraton, sertaritual-ritual yang cenderung mengasah pada
kemusyrikan secara tidak langsung turut memupuk sikap agresif dan ingin
menangsendiri. Kontrol masyarakat yang rendah dan kecenderungan menerima
perilaku kekerasan sebagai cara penyelesaian masalah dalam masyarakat merupakan
faktor predisposisi terjadinya perilaku kekerasan. Hal ini dipicu juga dengan
maraknya demonstrasi film-film kekerasan, mistik, tahayul, dan perdukunan
dalamtayangan televisi.
4) Aspek religiusitas
Dalam tinjauan religiusitas, kemarahan dan agresivitas merupakan dorongan
danbisikan syetan yang sangat menyukai kerusakan agar manusia menyesal (devil
support). Semua bentuk kekerasan adalah bisikan syetan melalui pembuluh darah ke
jantung. Otakdan organ vital manusia lain yang dituruti manusia sebagai bentuk
kompensasi bahwa kebutuhan dirinya terancam dan harus segera dipenuhi tetapi
tanpa melibatkan akal (Ego) dan norma agama ( Super Ego)
b. Faktor Presipitasi
Faktor-faktor yang dapat mencetuskan perilaku kekerasan seringkali berkaitan dengan :
- Ekspresi diri, ingin menunjukan eksistensi diri atau simbolsolidaritas seperti dalam
sebuah konser, penonton sepakbola, geng sekolah, perkelahian massal dan
sebagainya.
- Ekspresi dari tidak terpenuhinya kebutuhan dasar dan kondisi sosial ekonomi.
- Kesulitan dalam mengkomunikasikan sesuatu dalam keluarga serta tidak
membiasakan dialog untuk memecahkan masalah cenderung melakukan kekerasan
dalammenyelesaikan konflik.
- Ketidaksipan seorang ibu dalam merawat anaknya dan ketidakmampuan
menempatkan dirinya sebagai seorang yang dewasa.
- Adanya riwayat perilaku anti sosial meliputi penyalahgunaan obat dan alkoholisme
dan tidak mampu mengontrol emosinya pada saat menghadapi rasa frustasi.
- Kematian anggota keluarga yang terpenting, kehilangan pekerjaan, perubahan tahap
perkembangan atau perubahan tahap perkembangan keluarga.
Perilaku kekerasan merupakan suatu rentang emosi dan ungkapan kemarahan yang
dimanifestasikan dalam bentuk fisik. Kemarahan tersebut merupakan suatu bentuk
komunikasi dan proses penyampaian pesan dari individu. Orang yang mengalami
kemarahan sebenarnya ingin menyampaikan pesan bahwa ia “tidak setuju, tersinggung,
merasa tidak dianggap, merasa tidak diturut atau diremehkan“. Rentang respons kemarahan
individu dimulai dari respons normal (asertif) sampai pada respons sangat tidak normal
(maladaptif).
Rentang respons
Perawat perlu memahami dan membedakan berbagai perilaku yang ditampilkan klien. Hal
ini dapat dianalisa dari perbandingan berikut:
Perilaku kekerasa biasanya diawali dengan situasi berduka yang berkepanjangan dari
seseorang karena ditingal oleh seseorang yang dianggap sangat berpengaruh dalam
hidupnya. Bila kondisi tersebut tidak berakhir dapat menyebabkan perasaan harga diri
rendah sehingga sulit untuk bergaul dengan orang lain.
Bila ketidak mampuan bergaul dengan orang lain ini tidak diatasi akan timbul
halusinasi yang menyuruh untuk melakukan tindakan kekerasan dan ini berdampak
terhadap resiko tinggi menciderai diri, orang lain, dan lingkungan.
Selain diakibatkan oleh berduka berkepanjangan, dukungan keluarga yang kurang baik
untuk menghadapi keadaan klien mempengaruhi perkembangan klien (koping keluarga
tidak efektif), hal ini tentunya menyebabkan klien akan sering keluar masuk RS/timbulnya
kekambuhan karena dukungan keluarga tidak maksimal.
6. Pohon masalah
Resiko tinggi
mencederai orang lain
Perawat dapat mengidentifikasi dan mengobservasi tanda dan gejala perilaku kekerasan :
a. Fisik
3) Tangan mengepal
4) Rahang mengatup
7) Pandangan tajam
9) Mengepalkan tangan
1) Bicara kasar
5) Suara keras
6) Ketus
c. Perilaku
4) Merusak lingkungan
5) Amuk/agresif
d. Emosi
Tidak adekuat, tidak aman dan nyaman, rasa terganggu, dendam dan jengkel.
Tidak berdaya, bermusuhan, mengamuk, ingin berkelahi, menyalahkan dan menuntut.
e. Intelektual
Mendominasi, cerewet, kasar, berdebat, meremehkan, sarkasme.
f. Spiritual
Merasa diri berkuasa, merasa diri benar, mengkritik pendapat oranglain,
menyinggung perasaan oranglain, tidak peduli dan kasar.
g. Sosial
Menarik diri, pengasingan, penolakan, kekerasan, ejekan, sindiran, perhatian,
bolos, mencuri, melarikan diri, penyimpangan seksual.
C. KEMUNGKINAN DATA FOKUS
1. Pengkajian
a. Identitas
Meliputi: nama klien, umur, jenis kelamin, agama, alamat lengkap, tanggal
masuk, no. rekam medik, informan, keluarga yang bisa dihubungi.
b. Alasan masuk
Alasan masuk klien dengan perilaku kekerasan biasanya timbul halusinasi yang
menyuruh untuk melakukan tindakan kekerasan yang berdampak terhadap resiko tinggi
menciderai diri, orang lain, dan lingkungan.
c. Faktor Predisposisi
1) Klien pernah mengalami gangguan jiwa dan kurang berhasil dalam pengobatan.
2) Klien pernah mengalami aniaya fisik, penolakan dan kekerasan fisik dalam keluarga.
3) Klien dengan perilaku kekerasan (PK) bisa herediter.
4) Pernah mengalami trauma masa lalu yang sangat menganggu/tidak menyenangkan.
d. Fisik
Pengkajian fisik difokuskan pada sistem dan fungsi organ yaitu : pemeriksaan
TTV (biasanya tekanan darah, nadi, dan pernafasan akan meningkat ketika klien
marah), diikuti dengan pemeriksaan fisik seperti tinggi badan, berat badan, serta
keluhan-keluhan fisik.
e. Psikososial
1) Genogram
2) Konsep diri
a) Citra tubuh
Biasanya klien dengan perilaku kekerasan menyukai semua bagian tubuhnya,
tetapi ada juga yang tidak.
b) Identitas diri
Biasanya klien dengan perilaku kekerasan tidak puas terhadap pekerjaan yang
sedang dilakukan maupun yang sudah dikerjakannya.
c) Peran diri
Biasanya klien klien dengan perilaku kekerasan memiliki masalah dalam
menjalankan peran dan tugasnya.
d) Ideal diri
Klien dengan perilaku kekerasan biasanya memiliki harapan yang tinggi
terhadap tubuh, posisi, status peran, dan kesembuhan dirinya dari penyakit.
e) Harga diri
Klien dengan perilaku kekerasan biasanya memiliki harga diri yang rendah.
3) Hubungan social
Menarik diri, pengasingan, penolakan, kekerasan, ejekan, sindiran, perhatian,
bolos, mencuri, melarikan diri, penyimpangan seksual.
4) Spiritual
Merasa diri berkuasa, merasa diri benar, mengkritik pendapat orang lain,
menyinggung perasaan orang lain, tidak peduli dan kasar.
f. Status Mental
1) Penampilan
Klien dengan perilaku kekerasan biasanya berpenampilan tidak rapi.
2) Pembicaraan
Klien tampak berbicara kasar, suara tinggi membentak atau berteriak, mengancam
secara verbal atau fisik, mengumpat dengan kata-kata kotor, suara keras dan ketus.
3) Aktifitas motorik
Muka merah dan tegang, mata melotot/pandangan tajam, tangan mengepal,
rahang mengatup, wajah memerah dan tegang, postur tubuh kaku, pandangan tajam,
mengatupkan rahang dengan kuat, mengepalkan tangan, jalan mondar-mandir.
Melempar atau memukul benda/orang lain, menyerang orang lain , melukai diri
sendiri/oranglain, merusak lingkungan, amuk/agresif.
4) Alam perasaan
Tidak adekuat, tidak aman dan nyaman, rasa terganggu, dendam dan jengkel.
Tidak berdaya, bermusuhan, mengamuk, ingin berkelahi, menyalahkan dan
menuntut.
5) Afek
Klien dengan perilaku kekerasan biasanya labil, emosi berubah dengan cepat.
Dimana klien mudah tersinggung ketika ditanyai hal-hal yang tidak mendukungnya,
klien memperlihatkan sikap marah dengan mimik muka yang tajam dan tegang.
6) Interaksi selama wawancara
a) Bermusuhan, tidak kooperatif, dan mudah tersinggung telah tampak jelas.
b) Defensif, selalu berusaha mempertahankan pendapat dan kebenaran dirinya.
7) Persepsi
Persepsi klien dengan perilaku kekerasan biasanya timbul halusinasi yang
menyuruh untuk melakukan tindakan kekerasan.
8) Proses pikir
Biasanya klien berbicara sesuai dengan apa yang ditanyakan perawat, tanpa
meloncat atau berpindah-pindah topik.
9) Isi pikir
Biasanya klien PK ini masih memiliki ambang isi fikir yang wajar, dimana ia
selalu menanyakan kapan ia akan pulang dan mengharapkan pertemuan dengan
keluarga dekatnya.
10) Tingkat Kesadaran
Biasanya tingkat kesadaran klien baik, dimana klien mampu menyadari tempat
keberadaanya dan mengenal baik bahwasanya ia berada dalam pengobatan atau
perawatan untuk mengontrol emosi labilnya.
11) Memori
Biasanya daya ingat jangka panjang klien baik, dimana klien masih bisa
menceritakan kejadian masa-masa lampau yang pernah dialaminya, maupun daya
ingat jangka pendek, seperti menceritakan penyebab ia masuk ke RSJ.
12) Tingkat konsentrasi dan berhitung
Klien tidak mampu berkonsentrasi.
13) Kemampuan penilaian
Biasanya klien masih memiliki kemampuan penilaian yang baik, seperti jika
klien disuruh memilih mana yang baik antara makan dulu atau mandi dulu, maka
klien akan menjawab lebih baik mandi dulu.
14) Daya tilik diri
Biasanya klien menyadari bahwa dirinya sedang berada dalam masa
pengobatan untuk mengendalikan emosinya yang labil.
g. Kebutuhan Persiapan Pulang
1) Makan
Biasanya klien dengan perilaku kekerasan tidak memiliki masalah dengan nafsu
makan maupun sistem pencernaannya, maka akan menghabiskan makanan sesuai
dengan porsi makanan yang diberikan.
2) Defekasi /berkemih
Biasanya klien masih bisa BAK/BAB ketempat yang disediakan atau ditentukan
seperti, wc ataupun kamar mandi.
3) Mandi
Biasanya untuk kebersihan diri seperti mandi, gosok gigi, dan gunting kuku masih
dapat dilakukan seperti orang-orang normal, kecuali ketika emosinya sedang labil.
4) Berpakaian
Biasanya masalah berpakaian tidak terlalu terlihat perubahan, dimana klien
biasanya masih bisa berpakaian secara normal.
5) Istirahat dan tidur
Biasanya untuk lama waktu tidur siang dan malam tergantung dari keinginan
klien itu sendiri dan efek dari memakan obat yang dapat memberikan ketenangan
lewat tidur. Untuk tindakan seperti membersihkan tempat tidur, dan berdoa sebelum
tidur maka itu masih dapat dilakukan klien seperti orang yang normal.
6) Penggunaan obat
Biasanya klien menerima keadaan yang sedang dialaminya, dimana dia masih
dapat patuh makan obat sesuai frekuensi, jenis, waktu maupu cara pemberian obat itu
sendiri.
7) Pemeliharaan kesehatan
Biasanya klien menyatakan keinginan yang kuat untuk pulang, dimana ia akan
mengatakan akan melanjutkan pengobatan dirumah maupun kontrol ke puskesmas
dan akan dibantu oleh keluarganya.
8) Aktivitas di dalam rumah
Biasanya klien masih bisa diarahkan untuk melakukan aktivitas didalam rumah,
seperti: merapikan tempat tidur maupun mencuci pakaian.
9) Aktivitas di luar rumah
Ini disesuaikan dengan jenis kelamin klien dan pola kebiasaan yang biasa dia
lakukan diluar rumah.
h. Mekanisme Koping
Mekanisme koping yang biasa digunakan adalah :
1) Sublimasi, yaitu melampiaskan masalah pada objek lain.
2) Proyeksi, yaitu menyatakan orang lain mengenal kesukaan/ keinginan tidak baik.
3) Represif, yaitu mencegah keinginan yang berbahaya bila diekspresikan dengan
melebihkan sikap/ perilaku yang berlawanan.
4) Reaksi formasi, yaitu mencegah keinginan yang berbahaya bila diekspresikan dengan
melebihkan sikap perilaku yang berlawanan.
5) Displecement, yaitu melepaskan perasaan tertekan dengan bermusuhan pada objek
yang berbahaya.
i. Masalah Psikososial dan lingkungan
Biasanya klien akan mengungkapakan masalah yamg menyebabkan penyakitnya
maupun apa saja yang dirasakannya kepada perawat maupun tim medis lainnya, jika
terbina hubungan yang baik dan komunikasi yang baik serta perawat maupun tim medis
yang lain dapat memberikan soludi maupun jalan keluar yang tepat dan tegas.
j. Pengetahuan
Biasanya klien memilki kemampuan pengetahuan yang baik, dimana ia dapat
menerima keadaan penyakitnya dan tempat ia menjalani perawatan serta melaksanakan
pengobatan dengan baik.
k. Aspek Medik
Diagnosa medik : Perilaku kekerasan
Obat farmakaologi : Anti ansietas dan Hipnotik sadatif, seperti :Diazepam
Anti depresan seperti : Amitriptilin
Matlexon dan Proponolol
Terapi:
1) Terapi keluarga
Dalam terapi keluarga, keluarga dibantu untuk menyelesaikan konflik, cara
membatasi konflik, salingmendukungdan menghilangkan stress.
2) Terapi kelompok
Terapi kelompok berfokus pada dukungan dan perkembangan keterampilan sosial
dan aktifitas lain dengan berdiskusi dan bermain untuk mengembalikan kesadaran
klien, karna masalah sebagian orang merupakan perasaan dan tingkah laku pada
orang lain.
3) Terapi music
Dengan terapi musik klien terhibur dan bermain untuk mengembalikan kesadaran
klien, karna dengan perasaan terhibur maka klien dapat mengontrol emosinya.
D. DIAGNOSA KEPERAWATAN
Perilaku Kekerasan
E. INTERVENSI / RENCANA TINDAKAN KEPERAWATAN